bab 1
DESCRIPTION
dfyuhTRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Jumlah penduduk di Indonesia semakin bertambah setiap tahunnya sehingga
meningkatkan mobilitas penduduk baik di desa maupun di kota. Jumlah kendaraan
bermotor pun ikut meningkat seiring dengan kebutuhan transportasi. Pertambahan
volume kendaraan tersebut, meningkatkan resiko kecelakaan lalu lintas. Ada banyak
faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial dapat terjadi, seperti
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan
akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab
terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.1
Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada pengendara
sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang keselamatan jiwa
mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya, seperti tidak menggunakan
pelindung kepala (helm), kecepatan dan rendahnya kesadaran tentang beretika lalu
lintas. Dalam studi mortalitas Pusat Nasional 16 Statistik Kesehatan data dari 1979-
1986, menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda motor yang tidak
menggunakan helm meninggal karena cedera kepala yang mereka alami.1,2,3
Fraktur maksilofasial mempunyai banyak variasi antara lain, dapat berupa fraktur
maksila, fraktur mandibula, fraktur nasal, dan fraktur dentoalveolaratau
kombinasinya. Dari beberapa macam fraktur tersebut, ada dua macam fraktur yang
memiliki pembagian tipe tersendiri, seperti fraktur maksila terbagi atas fraktur le fort
I, le fort II, dan le fort III sedangkan untuk fraktur mandibula terdiri dari fraktur
symfisis, angulus, dan body.4,5
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar
6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo.
Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu
masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal 12,
2
66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu
usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta
terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak
adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.5
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Maksilofasial6
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah
lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar
kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam
tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.
Gambar 1. Anatomi Tulang Maksilofasial
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum
oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Tengkorak wajah
dibagi atas dua bagian:
a. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di sudut
mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os
Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya
4
berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis
yang tegak.
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yang terdiri dari
dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua
buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari
dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu.
Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot.
2.2 Definisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak
yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan
keras wajah adalah tulang kepala.3
Trauma Jaringan lunak
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.
2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.
3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.
4. Cedera kelopak mata.
5. Cedera telinga.
6. Cedera hidung.
Trauma Jaringan keras
1. Fraktura sepertiga atas muka.
2. Fraktura sepertiga tengah muka.
a. Fraktura hidung (os nasale).
5
b. Fraktura maksila(os maxilla).
c. Fraktur zigomatikum(os zygomaticum dan arcus zygomaticus).
d. Fraktur orbital (os orbita).
3. Fraktura sepertiga bawah muka.
a. Fraktura mandibula (os mandibula).
b. Gigi (dens).
c. Tulang alveolus (os alveolaris).
2.3. Etiologi7,8
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu
lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian
dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka
terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah
karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai
ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh
trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
(automobile).3,7
2.4. Klasifikasi8,9
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma
jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak
biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu
lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.
a. Trauma jaringan lunak wajah
6
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari
luar.Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek(vulnus laceratum) , luka tusuk (vulnus
punctum)
c. Luka bakar (combustio)
d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
a. Skin Avulsion & Skin Loss
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.(Gambar
1)
Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan
mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan
sejajar dengan garis Langer (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut (Oral
surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987:226)
4. Berdasarkan Derajat Kontaminasi
a. Luka Bersih.
Luka Sayat Elektif.
7
Steril Potensial Terinfeksi.
Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius,
dan traktur genitourinarius.
b. Luka Bersih Tercemar.
Luka sayat elektif.
Potensial terinfeksi : Spillage minimal, Flora normal.
Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius, dan traktur
genitourinarius.
Proses penyembuhan lebih lama.
c. Luka Tercemar.
Potensi terinfeksi Spillage traktur elementarius, dan traktur genitourinarius dan
kandung empedu.
Luka trauma baru : laserasi,fraktur terbuka dan luka penetrasi.
d. Luka Kotor.
Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
Perforasi viscera,abses dan trauma lama.
5. Klasifikasi Lain.
a. Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).
b. Luka Tusukan (puncture).
c. Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara langsung.
b. Trauma Jaringan Keras Wajah
8
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya Trauma pada jarinagan keras wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan :
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.
a. Berdiri Sendiri : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla,
gigi dan alveolus.
b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks
mandibula.
Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C.
Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis (Banks P.
Fraktur mandibula (Killeys Fractures of the mandible). Alih bahasa, Lilian Yuwono,
Jakarta: Hipokrates, 1990:2).
9
Gambar 3. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah
inferomedial. B Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis (Pedersen GW.
Buku ajar praktis bedah mulut (Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno.
Jakarta:EGC, 1996:255)
2. Dibedakan berdasarkan kekhususan.
a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita).
b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III.
c. Fraktur segmental mandibula.
Gambar 4. (A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B). Le Fort I,
Le Fort II, Le Fort III (pandangan sagital) (London PS. The anatomy of injury and its
surgical implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5)
3. Berdasarkan Tipe fraktur.
a. Fraktur simple.
10
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus,
koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.
Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik
fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
b. Fraktur kompoun.
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.
Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir
selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut,
bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
c. Fraktur komunisi.
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru
yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.
Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan
kerusakan tulang dan jaringan lunak.
d. Fraktur patologis.
Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti
Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis
sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
4. Perluasan tulang yang terlibat.
a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk ).
5. Konfigurasi ( garis fraktur ).
a. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
b. Oblique ( miring ).
c. Spiral (berputar).
d. Comuniti (remuk).
11
6. Hubungan antar Fragmen.
Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat.
Undisplacement, bisa terjadi berupa :
o Angulasi / bersudut.
o Distraksi.
o Kontraksi.
o Rotasi / berputar.
o Impaksi / tertanam.
2.5. Manifestasi Klinis9
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
1. Dislokasi,berupa perubahan posisi yg menyebabkan mal oklusi terutama pada
fraktur mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi
daerah fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang
yang fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah
nervus alveolaris.
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus.
2.6. Diagnosis
12
Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan fraktur Maksilofasial,
dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
Anamnesa
Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang lain yang
melihat langsung kejadian. Yang harus ditanyakan adalah :
Penyebab pasien mengalami trauma :
kecelakaan lalu lintas.
Trauma tumpul.
Trauma benda keras.
Terjatuh.
Kecelakaan olah raga.
Berkelahi.
Dimana kejadiannya.
Sudah berapa lama sejak saat kejadian sampai tiba di rumah sakit.
Apakah setelah kejadian pasien sadar atau tidak, jika tidak sadar, berapa lama
pasien tidak sadarkan diri.
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
b. luka tembus.
c. Asimetris atau tidak.
d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
e. Otorrhea / Rhinorrhea
f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
g. Cedera kelopak mata.
h. Ecchymosis, epistaksis
13
i. defisit pendengaran.
j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis,
jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan
adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,
mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, Krepitasi, dan mati langkah, terutama di daerah
pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic,
dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos,
menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular,
jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik
langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti
hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada
kompleks nasoethmoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal terhadap
lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang
bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.
10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian
medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus
medial.
14
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi.
Palpasi untuk kelembutan dan Krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi
pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan Rhinorrhea cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas
membran timpani, hemotympanum, perforasi, atau ecchymosis daerah mastoid
(Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara
Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda Krepitasi atau
mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi
tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi
hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingiva dan
pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika
rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
18. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk
memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga
eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang
gerak kondilus menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut :
a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya.
b. Adanya Krepitasi.
15
c. Fraktur.
d. Deformitas, kelainan bentuk.
e. Trismus (tonik kontraksi rahang)
f. Edema.
g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.
Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II - VIII
1. N. Opticus (II), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya.
2. N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek motorik
tungkai, reflek cahaya langsung dan tak langsung, ptosis.
3. N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI), diplopia.
4. N. Trigeminal (V)
1. tes sensorik, Sentuh di dahi, bibir atas, dan dagu di garis tengah, Bandingkan satu
sisi ke sisi lain untuk membuktikan adanya defisit sensorik.
2. tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral.
5. N. Facial (VII)
1. area Temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.
2. area Zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat.
3. area Buccal, mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi.
4. area Marjinal mandibula, mengerutkan bibir.
5. area Cervical, menarik leher (saraf otot platysma, Namun, fungsi ini tidak terlalu
penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari).
6. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, Gosok jari atau
berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif, akan
terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.
Pemeriksaan Penunjang
Wajah Bagian Atas :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
CT-scan aksial koronal.
16
Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala.
Wajah Bagian Tengah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
CT scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan
posteroanterior (Caldwell’s), Submentovertek (Jughandle’s).
Wajah Bagian Bawah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
Panoramic X-ray.
Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :
Posteroanterior (Caldwell’s).
posisi lateral (Schedell).
posisi towne.8
Gambaran CT-scan
17
Gambar 14. (A) Gambaran CT-scan koronal, (B) CT scan 3D, (C) CT scan aksial
Gambaran CBCT-scan 3D.
18
19
Gambar 15. CBCT-scan 3D
Gambar 16. CBCT-scan 3D
Gambaran Panoramic X-ray
20
Gambar 17. Panoramic X-ray
2.7. Penatalaksanaan9,10,13
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu
meliputi :
1. Periksa Kesadaran pasien.
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :
Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
3. Apakah ada Hematoma :
a. Fraktur Zygomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat sebagai
permukaan yang bersambungan secara seragam.
Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada
hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.
b. Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial.
21
c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?
Apakah sejajar atau bergeser ?
Apakah pasien bisa melihat ?
Apakah dijumpai diplopia ?
Hal ini karena :
o Pergeseran orbita
o Pergeseran bola mata
o Paralisis saraf ke VI
o Edema
d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.
Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas,
iregularitas dan krepitasi.
Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung, pada fraktur Le
Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid.
Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara sempurna berarti pada
rahang sudah terjadi fraktur.
e. Cedera saraf
Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas).
f. Cedera gigi
Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga
disekitarnya.
a. Keadaan Darurat Trauma Maksilofasial
Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi dan ditangani
secara sistematis, dititik beratkan pada penentuan prioritas tindakan berdasarkan atas
riwayat terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya trauma.
22
1. Apakah Pasien dapat bernapas ?
jika sulit :
Ada obstruksi.
Palatum mole tertarik ke bawah lidah, curiga adanya fraktur Le Fort.
Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak, curiga adanya Fraktur Mandibula.
2. Palatum Mole tertarik ke arah lidah
Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan
tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan memperbaiki
jalan napas dan sirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan
ketrampilan yang baik juga gaya yang besar jika fraktur terjepit dan jika reduksi
tidak berhasil lakukan Tracheostomi.
Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan forcep
khusus (Rowe’s) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan goyangkan.
3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang
Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya, dan secara lembut
tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi
sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi.
Catatan : jika pernapasan membahayakan dan perlu dirujuk maka sebaiknya
dilakukan tracheostomi, tetapi jika perlu dilakukan pembebasan airway segera
dilakukan krikotirodotomi.
4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan
Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepala pada salah satu ujung
sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut diantara pegangan.
5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk
23
Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika
ia melakukannya.
Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah.
Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu.
6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah
Hisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebal yang sejenis ke satu
sisi.
Indikasi dilakukan Tracheostomi Jika :
1. Tidak dapat melepaskan himpitan fraktur atau mereduksi fraktur pada sepertiga
wajah pasien.
2. Tidak dapat mengontrol perdarahan yang berat.
3. Edema glotis.
4. Cedera berat dengan kehilangan banyak jaringan.
Jika terjadi Perdarahan :
Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit gunakan
tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep perdarahan yang
hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan perdarahan, Jika perlu
gunakan jahitan hemostasis sementara.
Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial :
1. Memperbaiki jalan napas.
2. Mengontrol perdarahan.
3. Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna.
4. Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma.
7. Pemeriksaan Intra Oral.
24
Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah
adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :
Mandibular floating.
Maxillar floating.
Zygomaticum floating.
Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur
tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya
floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut.
Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut
tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga
tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana
untuk mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah
yang efektif dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainya dari trauma
maksilofasial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang
meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam
melakukan salah satu tindakan ini dengan baik dapat berakibat fatal.22
Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma maksilofasial dapat dibagi
dalam 2 kelompok :
Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya
dipukul atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa
pada ruang gawat darurat.
Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat,
misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh
dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan kritis pada instalasi gawat
darurat :
25
1. Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area
diikuti dengan teknik ATLS.
2. Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher.
a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika penderita
perlu melakukannya.
b. Jaw trush dan chin lift.
c. Traksi lidah : Dengan jari,O-slik suture atau dengan handuk
3. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau krikotiroidotomi
4. Berikan oksigenasi yang adekuat .
5. Monitor tanda vital setiap 5 – 10 menit, EKG, cek pulse oximetry.
6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian cairan.
7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum / elektrolit /
kreatinin.
8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.
a. Penekanan langsung.
Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan.
b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron).
Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selam 5 – 10 menit.
Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani trauma dan
luka pada wajah :
Asepsis.
Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing.
Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa sesudah
dijahit.
Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari
pinggir luka.
Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik.
Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan teliti.
26
Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit.
Benang hanya berfungsi sebagai pemegang.
Eksposur, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena penyembuhan
dan perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada perdarahan di bawah luka
yang harus ditekan (pressure).
Perawatan Cedera maksilofasial
a. Jika pasien sadar.
Dudukkan pasien menghadap ke depan sehingga lidahnya, saliva dan darah mengalir
keluar.
b. Jika pasien tidak sadar
Saat perawatan perlu ditidurkan pada posisi recovery, hati – hati bila ada cedera lain
yang membahayakan.
Bila akan dilakukan operasi tetap siapkan sebagai operasi dengan general
anestesi.
Kebersihan dan desinfeksi. Jika sadar suruh untuk kumur – kumur dengan :
o Cairan kumur clorheksidin 0,5 %
o larutan garam 2 %
o jika tidak mungkin kumur dengan air bersih.
c. Obat-obatan
Tergantung dokter yang merawatnya,dengan pertimbangan kondisi dan keparahan
traumanya :
Antibiotika, diberikan golongan penisillin selama seminggu, harus diberikan
segera.
Jika terjadi kebocoran CSS diberikan sulfadimidin 1 gr setiap 6 jam s/d 48 jam.
Kebocoran berhenti secara spontan. Kebocoran tidak boleh di hentikan.
Jika gelisah berikan diazepam.
Berikan anti tetanus jika diperlukan.
27
2.8 Pencegahan
Kendati teknologi bedah memberi hasil yang baik, pencegahan trauma
merupakan langkah yang bijak. Pengendara motor yang berisiko tinggi terjadi trauma
hendaknya lebih memperhatikan keselamatan, terutama dibagian kepala. Dari suatu
penelitian, disimpulkan bahwa ternyata tidak ada perbedaan berarti pada frekuensi
kejadian trauma maksilofacial sebelum dan sesudah era wajib helm. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena masih sangat sedikit pengendara sepeda motor yang
mengenakan helm dengan benar. Oleh karena itu, peran serta pemerintah sangat
diperlukan untuk memaksimalkan upaya preventif, sedangkan kuratifnya kita
serahkan pada ahli bedah.11,12
2.9. Komplikasi13
Komplikasi yang paling sering timbul berupa:
a. Aspirasi.
b. Gangguan Airway.
c. Scars.
d. Deformitas wajah sekunder permanen akibat pengobatan yang tidak tepat.
e. Kerusakan saraf yang mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah,
bau, rasa.
f. Kronis sinusitis.
g. Infeksi.
h. Gizi Buruk & Penurunan Berat badan.
i. Fraktur non union atau mal union.
j. Mal oklusi.
k. Perdarahan.
28
2.10. Prognosis
Bila pengobatan diperoleh dengan tepat dan cepat setelah trauma maksilofasial,
prognosis bisa menjadi baik. Penyembuhan juga tergantung pada trauma yang timbul.
Kecelakaan mobil atau luka tembak, misalnya, dapat menyebabkan trauma wajah
berat yang mungkin memerlukan beberapa prosedur pembedahan dan cukup banyak
waktu untuk proses penyembuhan.
Trauma maksilofasial yang berat sering dikaitkan dengan trauma pada angota
tubuh lain yang mungkin mengancam nyawa. Trauma jaringan lunak yang luas atau
avulsi dan fraktur tulang wajah comuniti jauh lebih sulit untuk diobati dan mungkin
memiliki prognosa yang buruk. Perdarahan berat dari trauma yang luas dari wajah
dapat menyebabkan kematian. Obstruksi jalan napas, jika tidak diobati atau dideteksi,
dapat menyebabkan resiko kematian yang tinggi.3,9
29
BAB 4
KESIMPULAN
Seorang pasien, laki-laki, 49 tahun, datang ke IGD RSUP Haji Adam Malik
dengan keluhan sulit membuka mulut. Hal ini dialami pasien sejak ± 12 jam sebelum
masuk ke rumah sakit post KLL antara becak dan mobil. Riwayat pingsan dijumpai.
Sesak nafas tidak dijumpai. Riwayat kejang tidak dijumpai. Riwayat muntah tidak
dijumpai.
Pada pemeriksaan klinik didapatkan keadaan umum dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang yang dipakai pada kasus ini adalah foto pelvic, foto schedle,
foto waters, foto cervical, dan foto thoraks, laboratorium darah serta CT scan.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, maka pasien
didiagnosa dengan HI GCS 15+ Angle mandibula fracture (R)+ LE FORT II+
Lacerated wound.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Perhubungan Sulawesi Selatan. Profil dan kinerja perhubungan
darat Provinsi Sulawesi Selatan 2013. Sulawesi Selatan: Dishub, 2013:
p.10-23. Available on: [email protected].
2. Devadiga A, Prasad K. Epidemiology of maxillofacial fractures and
concomitant injuries in a craniofacial unit: a retrospective study. The Internet
Journal of Epidemiology. 2007; 5 (2).
3. Bailey H. Ilmu bedah gawat darurat Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1992.
4. Fonseca RJ, Walker RV. Oral and maxillofacial trauma. Ed. 2, Vol.2 USA:
W.B.Saunders Company, 2005.
5. Budiharja AS, Rahmat M. Trauma oral dan maksilofasial. Juwono L: Editor.
Jakarta: EGC, 2011: p.33-171.
6. Snell R. S. (2006) Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. Penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta.
7. Reksoprodjo S. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara, 1995.
8. Fitriana E, Syamsuddin E, Fathurrahman. Karakteristik, insiden dan
penatalaksanaan fraktur maksilofasial pada anak di Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Bandung: FK Universitas Padjajaran, 2013: p. 1-14.
9. http://emedicine.medscape.com/article/868517-overview
10. Baumann A, Troulis MJ, Kaban LB. Facial traumaII : dentoalveolar injuries
and mandibular fractures. In: Kaban LB, Troulis MJ, Pediatric oral and
maxillofacial surgery. USA: Elsevier Science, 2004 : p.446.
11. Bruce R, Fonseda RJ. Mandibular fractures dalam oral and maxillofacial
31
trauma. Vol 1. USA: W.B Saundres Company, 1991: p. 359-414.
12. Hoddeson E, Berg E, Moore C. Management of mandibular fractures from
penetrating trauma. The Open Otorhinolaryngology Journal. 2013; 7: 1-4.
13. Pramesthi E, Yusuf M. Penatalaksanaan fraktur maksilofasial dengan
menggunakan mini plat (laporan dua kasus). Surabaya: FK Universitas
Airlangga, 2009: p. 1-9.
32