bab 1

19
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cidera otak traumatik merupakan cidera yang terjadi karena adanya tekanan mekanik eksternal yang mengenai kranium dan komponen intrakranial, sehingga menimbulkan kerusakan sementara atau permanen pada otak, gangguan fungsional, atau gangguan psikososial (Tahir, 2011). Berdasarkan akibat yang ditimbulkan pada kepala, cidera diklasifikasikan menjadi dua mekanisme atau tahapan, yaitu cidera primer (primary insult) dan cidera sekunder (secondary insult). Cidera primer merupakan akibat langsung trauma yang menimbulkan kerusakan primer atau kerusakan mekanis. Sedangkan cidera sekunder merupakan proses patologis yang dimulai pada saat cidera dengan presentasi klinis tertunda. Cidera otak sekunder dideskripsikan sebagai konsekuensi gangguan fisiologis, seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada area otak yang beresiko, beberapa saat setelah terjadinya cidera awal (cidera otak primer) (Mauritz, 2008). Cidera otak sekunder sensitif terhadap terapi dan proses terjadinya dapat dicegah (Moppet, 2007). 1

Upload: yosrasigitpramono

Post on 12-Jan-2016

14 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

keperawatan

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cidera otak traumatik merupakan cidera yang terjadi karena adanya tekanan

mekanik eksternal yang mengenai kranium dan komponen intrakranial,

sehingga menimbulkan kerusakan sementara atau permanen pada otak,

gangguan fungsional, atau gangguan psikososial (Tahir, 2011). Berdasarkan

akibat yang ditimbulkan pada kepala, cidera diklasifikasikan menjadi dua

mekanisme atau tahapan, yaitu cidera primer (primary insult) dan cidera

sekunder (secondary insult). Cidera primer merupakan akibat langsung

trauma yang menimbulkan kerusakan primer atau kerusakan mekanis.

Sedangkan cidera sekunder merupakan proses patologis yang dimulai pada

saat cidera dengan presentasi klinis tertunda. Cidera otak sekunder

dideskripsikan sebagai konsekuensi gangguan fisiologis, seperti iskemia,

reperfusi, dan hipoksia pada area otak yang beresiko, beberapa saat setelah

terjadinya cidera awal (cidera otak primer) (Mauritz, 2008). Cidera otak

sekunder sensitif terhadap terapi dan proses terjadinya dapat dicegah

(Moppet, 2007).

Menurut World Health Organization tahun (WHO) tahun 2004, Case Rate

(CFR) cidera akibat kecelakaan lalu lintas tertinggi di jumpai di beberapa

Negara Amerika Latin (41.7%), Korea Selatan (21.9%) (Banga, 2011) Dari

seluruh kecelakaan yang ada WHO mencatat bahwa, 90% kecelakaan lalu

lintas dengan cidera kepala banyak terjadi di negara berkembang seperti

Indonesia. Kecelakaan lalu lintas dengan cidera kepala penting diketahui,

karena kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan kematian serta kerugian

lainnya. Tercatat di data kepolisian Republik Indonesia tahun 2011

mencapai 108,696 jumlah kecelakaan dengan 31,195 korban meninggal dan

35,285 mengalami luka berat, dan 55.1% dari data tersebut mengalami

cidera kepala ( Febby dkk, 2012).

1

Page 2: BAB 1

2

Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic

Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang

dilaporkan yaitu sebanyak 78.7% trauma kepala dan kematian paling banyak

juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei,

2009). Di Indonesia jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ka

tahun. Menurut data Kantor Kepolisian Republik Indonesia (2007-2010)

tahun 2007 terdapat 49,553 orang dengan korban meninggal 16,955 orang,

luka berat 20,181, luka ringan 46,827. Tahun 2008 jumlah kecelakaan

59,164, korban meninggal 20,188, luka berat 23,440 yang menderita luka

ringan 55,731 orang. Tahun 2010 jumlah kecelakaan 62,960, korban

meninggal 19,979, luka berat 23,469, dan luka ringan 62,936, (Badan Pusat

Statistik Republik Indonesia). Jumlah pasien cidera kepala yang masuk

rumah sakit sekitar satu juta orang setiap tahun di Eropa. Sekitar 50%

disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Cidera kepala yang

disebabkan oleh kecelakaan olahraga diperkirakan sekitar 300,000 orang

tiap tahunnya. Jumlah pasien cidera kepala yang dirawat dan dibolehkan

pulang dari UGD sekitar 1 juta orang tiap tahun di Amerika. Sebanyak

230,000 orang dirawat inap dan hidup, sekitar 80,000 orang setiap tahun di

Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52,000 pasien

meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan

penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan

kematian (CDC, 2010).

Menurut Riyadina (2007) dalam Febby dkk (2012) Kasus terbanyak dari

kecelakaan lalu lintas saat ini adalah kecelakaan kendaraan bermotor dengan

cidera kepala dengan jumlah prevalensi hingga 50.1%. Cidera kepala adalah

trauma kepala yang paling sering melanda dunia bagaikan wabah dalam

kehidupan modern penggunaan kendaraan.Korban kecelakaan sepeda motor

sebagian besar antara umur 21-30 tahun yang tercatat mencapai 43.5%.

Cidera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat

menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cidera kepala

Page 3: BAB 1

3

adalah salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif antara

15-44 tahun Secara global insiden cidera kepala meningkat dengan tajam

terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. WHO

memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi

penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia (Nurfaise, 2012).

Klasifikasi etiologi cidera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab

ekstrakranial dan intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia,

hipotensi, hiponatremi, hipertermia, hipoglikemia atau hiperglikemia.

Penyebab intrakranial meliputi perdarahan ekstradural, subdural,

intraserebral, intraventrikular, dan subarachnoid. Selain itu cidera sekunder

juga dapat disebabkan karena pembengkakan dan infeksi. Pembengkakan

intrakranial meliputi kongesti vena/hiperemi, edema vasogenik, edema

sitotoksik, dan edema interstisial. Infeksi yang mengakibatkan cidera otak

sekunder antara lain meningitis dan abses otak (CDC, 2011 dan Brain

Trauma Foundation, 2007).

Hipotensi dan hipoksia merupakan penyebab utama terjadinya cidera otak

sekunder yang mengakibatkan terbentuknya lesi iskemik post traumatik

(Brain Trauma Foundation, 2007). Faktor lain yang juga berpengaruh

terhadap terjadinya cidera otak sekunder adalah hiperglikemi, hiperkapni,

dan hipokapni (Moppet, 2007). Masalah ekstrakranial menghasilkan

kerusakan otak sekunder baik oleh hipoksia ataupun oligemia/iskemia.

Konsekuensi utamanya adalah pengurangan dalam ketersediaan energi

tinggi fosfat (adenosin triphosphat, ATP). Hal ini menyebabkan kegagalan

pompa membran sehingga memicu kematian sel atau sel menjadi bengkak

(edema sitotoksik). Hipotensi terjadi karena adanya oligemia primer dan

iskemia yang mempengaruhi zona batas artery (arterial boundary zones).

Sedangkan hipoksemia cenderung menyebabkan kerusakan lebih luas yaitu

neuronal loss yang akan memicu atropi kortek pada pasien. Akibat lebih

fatal dari hipoksia yang berat dan panjang adalah keadaan vegetatif yang

Page 4: BAB 1

4

persisten (persistent vegetatif state PVS) atau kematian. PVS terjadi karena

masih masih adanya refleks batang otak tetapi hilangnya sebagian besar

reflek kortek. (Moppet, 2007. CDC, 2011 dan Brain Trauma Foundation,

2007).

Cidera otak primer terjadi saat benturan dan termasuk cidera seperti kontusio

batang otak dan hemisfer, diffuse axonal injurydan laserasi kortikal. Cedara

otak sekunder terjadi beberapa saat setelah terjadinya benturan dan biasanya

dapat dicegah. Penyebab utama terjadinya cidera otak sekunder adalah

hipoksia, hipotensi, peningkatan tekanan intrakranial, penurunan perfusi

darah ke otak dan pireksia. Pencegahan terjadinya cidera otak sekunder pada

kasus cidera kepala dapat memperbaiki outcome yang berbeda antara hidup

atau meninggal. Pasien cidera kepala penting menjaga kadar PaO2 dalam

batas normal. Apabila PaO2 berada dalam kadar yang terlalu rendah, maka

akan menimbulkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi

pembuluh darah otak yang akan diikuti oleh peningkatan laju aliran darah ke

otak, dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.

Apabila kadar PaO2 terlalu tinggi, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh

darah. Berdasarkan latar belakang di atas terlihat bahwa cidera kepala perlu

mendapat perhatian dan penanganan yang serius, mengingat jumlah kasus

yang semakin meningkat, dan jika terjadi outcome yang buruk bisa

menyebabkan perubahan kepribadian, biaya perawatan rehabilitasi yang

besar dan menjadi generasi tanpa penghasilan. Oleh karena itu, maka perlu

dilakukan penelitian tentang hubungan oxygen delivery dengan outcome

rawatan pada pasien cidera kepala sebagai salah satu upaya untuk

mengurangi/mencegah dampak dari cidera otak sekunder. Pada keadaan

normal otak membutuhkan 30 - 40 % oksigen dari kebutuhan oksigen tubuh

(Deem, 2006).

Page 5: BAB 1

5

Konsumsi oksigen otak yang besar ini disebabkan karena otak tidak

mempunyai cadangan oksigen, sehingga suplai oksigen yang masuk akan

habis terpakai. Untuk mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat maka

diperlukan keseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan (demand)

oksigen otak. Kesimbangan oksigen otak dipengaruhi oleh cerebral blood

flow yang besarnya berkisar 15-20 % dari curah jantung (Black & Hawks,

2009). Besarnya cerebral blood flow sangat ditentukan oleh faktor tekanan

darah sistemik, laju metabolisme otak, dan PaCO2. Keadaan cerebral blood

flow menentukan tekanan perfusi jaringan otak yang normalnya

dipertahankan 60 – 70 mmHg (Deem, 2006; Caballos, et al. 2005; Nortje &

Gupta, 2006).

Cidera kepala merupakan penyebab utama kematian dan cacat di antara

pengguna sepeda motor, dan biaya dari cidera kepala yang tinggi karena

mereka sering memerlukan perawatan medis khusus atau rehabilitasi jangka

panjang dan kerugian lainnya seperti kerugian material mencapai

Rp286.099.076.289 ( CDC, 2010 dan Febby dkk, 2012).

Hasil studi pendahuluan yang saya lakukan di RSUD Tanah Bumbu pada

tanggal 23-25 Oktober 2014 didapatkan hasil kejadian terbanyak di ruang

bangsal bedah cidera kepala menempati urutan ke tiga setelah fraktur dan

tumor, dengan jumlah 73 pasien pada semester I (satu) 2014. Hasil observasi

yang dilakukan terhadap 4 orang perawat di ruang bedah di RSUD

Kabupaten Tanah Bumbu dalam pemberian terapi oksigen pada pasien

cidera kepala, satu perawat memberikan terapi oksigen pada pasien cidera

kepala ringan dengan RR: 23x/menit dengan menggunakan nasal kanul

sebanyak 4 liter/menit dan hasil nilai yang diperiksa peneliti pada SPO2

adalah 98%. Satu perawat memberikan terapi oksigen pada pasien cidera

kepala sedang dengan RR: 26x/menit dengan menggunakan nasal kanul

sebanyak 4 liter/menit dan hasil nilai yang diperiksa peneliti pada SPO2

adalah 89%. Dua perawat memberikan terapi oksigen pada pasien cidera

Page 6: BAB 1

6

kepala berat dengan RR: 30x/menit dengan menggunakan nasal kanul

sebanyak 8 liter/menit dan hasil nilai yang diperiksa peneliti pada SPO2

adalah 73%.

Faktor yang berhubungan dengan ketidaktepatan tindakan pemberian terapi

oksigen perawat tersebut di atas juga bisa dipengaruhi oleh tidak tersedianya

fasilitas ataupun alat-alat kesehatan penunjang dalam pemberian terapi

oksigen, namun dari hasil observasi ternyata tersedia low flow oxygen system

diantaranya: nasal kanul, sungkup, Rebreathing Mask, dan Non Rebreathing

Mask, juga tersedianyanya High Flow Oxygen System diantaranya hanya ada

BVM (Bag Valve Mask), akan tetapi hanya salah satu fasilitas saja yang

digunakan perawat, yaitu nasal kanul.

Baik atau kurangnya hasil kerja atau kinerja seseorang dipengaruhi oleh

beberapa faktor, diantaranya: kompetensi, motivasi kerja, fasilitas yang

tersedia, kemampuan, beban kerja, struktur organisasi, desain pekerjaan,

pengembangan karir, kepemimpinan, serta system penghargaan (reward

system, Mangkunegara (2004).

Kebijakan Rumah Sakit menuntut selalu tanggap terhadap perkembangan

pelayanan kesehatan yang dinamis dan menuntut agar karyawan salah

satunya perawat agar terus meningkatkan kompetensi sehingga menjadi

yang terbaik dalam pelayanan. Rumah Sakit juga mempunyai kebijakan

mutu Service excellence yang berorientasi pada pelayanan prima, bermutu,

dan aman (quality and safety) serta mengutamakan kerja tim. Juga academic

environment yang memberikan pelayanan serta pendidikan dalam setiap

profesi dan kompetensinya yang bersifat ramah, disiplin, jujur, dan

bertanggungjawab. Sehingga membangkitkan kepercayaan masyarakat

terhadap pelayanan di RS. Kemudian ada salah satu faktor yaitu Standar

Operasional Prosedur (SOP) yang harus dilaksanakan untuk mencegah dan

mengatasi dan mencegah hipoksia jaringan dan beban kerja kardio respirasi,

Page 7: BAB 1

7

selain itu pemberian terapi oksigen juga untuk mempertahankan PaO2 > 60

mmHg atau SaO2 > 90% juga dapat meningkatkan bersihan jalan nafas

klien, mencegah infeksi dan meningkatkan rasa nyaman pada pasien Cidera

kepala.

Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang tepat akan

mempengaruhi hasil terpenuhi atau tidak nya kebutuhan oksigen pada pasien

Cidera kepala. Dari beberapa uraian masalah diatas yang ditemui maka

peneliti tertarik untuk meneliti faktor apa saja yang berhubungan dengan

ketepatan perawat dalam pemberian terapi oksigen pada pasien Cidera

kepala di RSUD Kabupaten Tanah Bumbu.

Pengelolaan cidera kepala yang baik harus dimulai dari tempat kejadian,

selama transportasi, di instalasi gawat darurat, hingga dilakukannya terapi

definitif. Pengelolaan yang benar dan tepat akan mempengaruhi outcome

pasien. Tujuan utama pengelolaan cidera kepala adalah mengoptimalkan

pemulihan dari cidera kepala primer dan mencegah cidera kepala sekunder

yang disebabkan oleh iskemi otak. Proteksi otak adalah serangkaian

tindakan yang dilakukan untukmencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel

otak yang diakibatkan oleh keadaaniskemia. (Tisdal Et Al, 2008; Arifin,

2008; Bullock, 2007; Mark, 2006).

1.2 Rumusan Masalah

Hasil penelitian dan kosep-konsep yang telah diuraikan di atas beberapa

masalah yang ditemui antara lain banyak ditemukan pasien cidera kepala di

dunia yang diperkirakan sekitar 300.000 orang tiap tahunnya. Jumlah pasien

cidera kepala yang dirawat dan diperbolehkan pulang dari Instalasi Gawat

Darurat sekitar 1 juta orang setiap tahun di Amerika. RSUD Kabupaten

Tanah Bumbu menempati urutan ke tiga setelah fraktur dan tumor dengan

jumlah 73 pasien pada semester pertama di tahun 2014, dengan banyaknya

pasien cidera kepala tersebut ternyata masih ada beberapa perawat yang

Page 8: BAB 1

8

kurang tepat dalam memberikan terapi oksigen pada pasien cidera kepala

tersebut, hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yang menyebabkan hal

tersebut terjadi antara lain motivasi, lingkungan kerja, kompetensi, fasilitas,

dan kebijakan rumah sakit.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

“Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan ketepatan perawat dalam

pemberian terapi oksigen pada pasien Cidera kepala di Ruang Bedah RSUD

Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan

antara faktor-faktor (motivasi, lingkungan kerja, kompetensi,

fasilitas, kebijakan Rumah Sakit) dengan ketepatan perawat dalam

pemberian terapi oksigen pada pasien Cidera kepala di Ruang Bedah

RSUD Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi hubungan antara faktor motivasi dengan

ketepatan perawat dalam pemberian terapi oksigen pada

pasien Cidera kepala sedang di Ruang Bedah RSUD

Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015.

1.3.2.2 Mengidentifikasi hubungan antara faktor lingkungan kerja

dengan ketepatan perawat dalam pemberian terapi oksigen

pada pasien Cidera kepala di Ruang Bedah RSUD

Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015.

1.3.2.3 Mengidentifikasi hubungan antara faktor Kompetensi

perawat dalam pemberian terapi oksigen pada pasien Cidera

kepala sedang di Ruang Bedah RSUD Kabupaten Tanah

Bumbu tahun 2015.

Page 9: BAB 1

9

1.3.2.4 Mengidentifikasi hubungan antara faktor tersedia atau

tidaknya fasilitas dan sarana prasarana dengan ketepatan

perawat dalam pemberian terapi oksigen pada pasien Cidera

kepala sedang di Ruang Bedah RSUD Kabupaten Tanah

Bumbu tahun 2015.

1.3.2.5 Mengidentifikasi hubungan antara faktor kebijakan Rumah

Sakit dengan ketepatan perawat dalam pemberian terapi

oksigen pada pasien Cidera kepala sedang di Ruang Bedah

RSUD Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015.

1.3.2.6 Menganalisis faktor yang paling berhubungan dengan

ketepatan perawat dalam pemberian terapi oksigen pada

pasien Cidera kepala sedang di Ruang Bedah RSUD

Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pelayanan Kesehatan

1.4.1.1 Menambah kesadaran perawat tentang ketepatan dalam

tindakan pemberian terapi oksigen pada pasien cidera kepala

sedang.

1.4.1.2 Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam

penatalaksanaan pasien cidera kepala sehingga mutu

pelayanan dalam manajemen resiko klinis pasien

cidera kepala dapat dikelola dengan baik.

1.4.2 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

1.4.2.1 Berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang

berdasarkan eviden based untuk meningkatkan pelayanan

yang lebih baik bagi pasien.

1.4.2.2 Menambah wawasan keilmuan dalam mengembangkan

inovasi-inovasi tindakan keperawatan pada pasien dengan

masalah pemberian terapi oksigen pada pasein cidera kepala.

Page 10: BAB 1

10

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

1.4.3.1 Menjadi landasan dalam melakukan penelitian selanjutnya

tentang terapi oksigen dalam keperawatan.

1.4.3.2 Menjadi dasar bagi penelitian yang berhubungan dengan

pernafasan.

1.4.3.3 Menjadi dasar bagi peneliti yang berhubungan dengan

tindakan keperawatan pada pasien cidera kepala.

1.5 Keaslian penelitian

1.5.1 Penelitian yang dilakukan oleh dr. Safrizal, dr. H. Syaiful Saanin,

Sp.BS, Dr. dr. H. Hafni Bachtiar, MPH yang berjudul Hubungan Nilai

Oxygen Delivery dengan Outcome Rawatan Pasien Cidera Kepala

Sedang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai

oxygen delivery dengan outcome rawatan pasien cidera kepala sedang.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan

cross sectional study terhadap 35 orang pasien cidera kepala GCS 9-

13 yang dilakukan terapi konservatif. Dilakukan pemeriksaan analisa

gas darah di instalasi gawat darurat, kemudian dinilai outcome

rawatan dengan Glasgow outcome scale saat pasien pulang. Hasil

yang didapatkan nilai rata-rata oxygen delivery kelompok death

835,40 mL/menit, kelompok persistent vegetative state 993,00

mL/menit, kelompok severe disability 821,21 mL/menit, kelompok

moderate disability 1075,42 mL/menit, dan kelompok good recovery

1197,64 mL/menit. Dilakukan uji ANOVA terhadap semua kelompok

dan didapatkan perbedaan signifikan rata-rata nilai oxygen delivery

tiap kelompok (p=0,007).

Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat hubungan yang signifikan nilai

oxygen delivery dengan outcome rawatan pasien cidera kepala sedang.

Penelitian ini dilakukan dalam periode Maret 2013 sampai dengan

Page 11: BAB 1

11

Mei 2013. Penelitian ini dilakukan di instalasi gawat darurat bedah

dan ruang rawatan bagian bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang.

1.5.2 Penelitian yang dilakukan oleh Hendrizal, Syaiful Saanin, Hafni

Bachtiar (2012-2013) di RS Dr. M. Djamil Padang tentang Pengaruh

Terapi Oksigen Menggunakan Non-Rebreathing Mask Terhadap

Tekanan Parsial CO2 Darah Pada Pasien Cidera Kepala Sedang,

merupakan penelitian Clinical Trial dengan rancangan penelitian one

shoot pretest and posttest, dimana penelitian ini bertempat di IGD dan

ruang HCU (High Care Unit) bedah. Populasi penelitian adalah semua

pasien cidera kepala murni GCS 9-13 yang datang berobat ke IGD RS

Dr. M. Djamil Padang. Sampel penelitian adalah pasien cidera kepala

Murni GCS 9-13. Pengambilan sampel menggunakan non-probability

sampling dengan teknik consecutive sampling karena populasi

penelitian tidak bisa dihitung (infinite). Pada penelitian eksperimental

jumlah sampel adalah 16 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan

ekslusi.

Berdasarkan karakteristik responden rata-rata umur pasien adalah 18

tahun. Sehingga hasil yang didapat menunjukkan bahwa ada

perbedaan bermakna tekanan parsial CO2 darah sebelum dan setelah

terapi oksigen menggunakan NRM (p<0,05). Terjadi penurunan

tekanan parsial CO2 darah setelah terapi oksigen mengunakan NRM

dari 39,00 ± 3,7 menjadi 432,06 ± 6,35, hal ini dilihat dari Nilai pH

darah setelah terapi oksigen menggunakan Non-rebreathing mask

sebagian besar dalam batas normal. Nilai pCO2 darah setelah terapi

oksigen menggunakan Non-rebreathing mask sebagan besar dibawah

normal, dan terjadi penurunaan pCO2 darah pada terapi oksigen

menggunakan Non-rebreathing mask.

Page 12: BAB 1

12

1.6 Perbedaan Penelitian

1.6.1 Subjek Penelitian

1.6.2 Lebih ditekankan pada ketepatan dan kinerja perawat