bab 1
DESCRIPTION
keperawatanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cidera otak traumatik merupakan cidera yang terjadi karena adanya tekanan
mekanik eksternal yang mengenai kranium dan komponen intrakranial,
sehingga menimbulkan kerusakan sementara atau permanen pada otak,
gangguan fungsional, atau gangguan psikososial (Tahir, 2011). Berdasarkan
akibat yang ditimbulkan pada kepala, cidera diklasifikasikan menjadi dua
mekanisme atau tahapan, yaitu cidera primer (primary insult) dan cidera
sekunder (secondary insult). Cidera primer merupakan akibat langsung
trauma yang menimbulkan kerusakan primer atau kerusakan mekanis.
Sedangkan cidera sekunder merupakan proses patologis yang dimulai pada
saat cidera dengan presentasi klinis tertunda. Cidera otak sekunder
dideskripsikan sebagai konsekuensi gangguan fisiologis, seperti iskemia,
reperfusi, dan hipoksia pada area otak yang beresiko, beberapa saat setelah
terjadinya cidera awal (cidera otak primer) (Mauritz, 2008). Cidera otak
sekunder sensitif terhadap terapi dan proses terjadinya dapat dicegah
(Moppet, 2007).
Menurut World Health Organization tahun (WHO) tahun 2004, Case Rate
(CFR) cidera akibat kecelakaan lalu lintas tertinggi di jumpai di beberapa
Negara Amerika Latin (41.7%), Korea Selatan (21.9%) (Banga, 2011) Dari
seluruh kecelakaan yang ada WHO mencatat bahwa, 90% kecelakaan lalu
lintas dengan cidera kepala banyak terjadi di negara berkembang seperti
Indonesia. Kecelakaan lalu lintas dengan cidera kepala penting diketahui,
karena kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan kematian serta kerugian
lainnya. Tercatat di data kepolisian Republik Indonesia tahun 2011
mencapai 108,696 jumlah kecelakaan dengan 31,195 korban meninggal dan
35,285 mengalami luka berat, dan 55.1% dari data tersebut mengalami
cidera kepala ( Febby dkk, 2012).
1
2
Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic
Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang
dilaporkan yaitu sebanyak 78.7% trauma kepala dan kematian paling banyak
juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei,
2009). Di Indonesia jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ka
tahun. Menurut data Kantor Kepolisian Republik Indonesia (2007-2010)
tahun 2007 terdapat 49,553 orang dengan korban meninggal 16,955 orang,
luka berat 20,181, luka ringan 46,827. Tahun 2008 jumlah kecelakaan
59,164, korban meninggal 20,188, luka berat 23,440 yang menderita luka
ringan 55,731 orang. Tahun 2010 jumlah kecelakaan 62,960, korban
meninggal 19,979, luka berat 23,469, dan luka ringan 62,936, (Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia). Jumlah pasien cidera kepala yang masuk
rumah sakit sekitar satu juta orang setiap tahun di Eropa. Sekitar 50%
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Cidera kepala yang
disebabkan oleh kecelakaan olahraga diperkirakan sekitar 300,000 orang
tiap tahunnya. Jumlah pasien cidera kepala yang dirawat dan dibolehkan
pulang dari UGD sekitar 1 juta orang tiap tahun di Amerika. Sebanyak
230,000 orang dirawat inap dan hidup, sekitar 80,000 orang setiap tahun di
Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52,000 pasien
meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan
penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan
kematian (CDC, 2010).
Menurut Riyadina (2007) dalam Febby dkk (2012) Kasus terbanyak dari
kecelakaan lalu lintas saat ini adalah kecelakaan kendaraan bermotor dengan
cidera kepala dengan jumlah prevalensi hingga 50.1%. Cidera kepala adalah
trauma kepala yang paling sering melanda dunia bagaikan wabah dalam
kehidupan modern penggunaan kendaraan.Korban kecelakaan sepeda motor
sebagian besar antara umur 21-30 tahun yang tercatat mencapai 43.5%.
Cidera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cidera kepala
3
adalah salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif antara
15-44 tahun Secara global insiden cidera kepala meningkat dengan tajam
terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi
penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia (Nurfaise, 2012).
Klasifikasi etiologi cidera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab
ekstrakranial dan intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia,
hipotensi, hiponatremi, hipertermia, hipoglikemia atau hiperglikemia.
Penyebab intrakranial meliputi perdarahan ekstradural, subdural,
intraserebral, intraventrikular, dan subarachnoid. Selain itu cidera sekunder
juga dapat disebabkan karena pembengkakan dan infeksi. Pembengkakan
intrakranial meliputi kongesti vena/hiperemi, edema vasogenik, edema
sitotoksik, dan edema interstisial. Infeksi yang mengakibatkan cidera otak
sekunder antara lain meningitis dan abses otak (CDC, 2011 dan Brain
Trauma Foundation, 2007).
Hipotensi dan hipoksia merupakan penyebab utama terjadinya cidera otak
sekunder yang mengakibatkan terbentuknya lesi iskemik post traumatik
(Brain Trauma Foundation, 2007). Faktor lain yang juga berpengaruh
terhadap terjadinya cidera otak sekunder adalah hiperglikemi, hiperkapni,
dan hipokapni (Moppet, 2007). Masalah ekstrakranial menghasilkan
kerusakan otak sekunder baik oleh hipoksia ataupun oligemia/iskemia.
Konsekuensi utamanya adalah pengurangan dalam ketersediaan energi
tinggi fosfat (adenosin triphosphat, ATP). Hal ini menyebabkan kegagalan
pompa membran sehingga memicu kematian sel atau sel menjadi bengkak
(edema sitotoksik). Hipotensi terjadi karena adanya oligemia primer dan
iskemia yang mempengaruhi zona batas artery (arterial boundary zones).
Sedangkan hipoksemia cenderung menyebabkan kerusakan lebih luas yaitu
neuronal loss yang akan memicu atropi kortek pada pasien. Akibat lebih
fatal dari hipoksia yang berat dan panjang adalah keadaan vegetatif yang
4
persisten (persistent vegetatif state PVS) atau kematian. PVS terjadi karena
masih masih adanya refleks batang otak tetapi hilangnya sebagian besar
reflek kortek. (Moppet, 2007. CDC, 2011 dan Brain Trauma Foundation,
2007).
Cidera otak primer terjadi saat benturan dan termasuk cidera seperti kontusio
batang otak dan hemisfer, diffuse axonal injurydan laserasi kortikal. Cedara
otak sekunder terjadi beberapa saat setelah terjadinya benturan dan biasanya
dapat dicegah. Penyebab utama terjadinya cidera otak sekunder adalah
hipoksia, hipotensi, peningkatan tekanan intrakranial, penurunan perfusi
darah ke otak dan pireksia. Pencegahan terjadinya cidera otak sekunder pada
kasus cidera kepala dapat memperbaiki outcome yang berbeda antara hidup
atau meninggal. Pasien cidera kepala penting menjaga kadar PaO2 dalam
batas normal. Apabila PaO2 berada dalam kadar yang terlalu rendah, maka
akan menimbulkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah otak yang akan diikuti oleh peningkatan laju aliran darah ke
otak, dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.
Apabila kadar PaO2 terlalu tinggi, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh
darah. Berdasarkan latar belakang di atas terlihat bahwa cidera kepala perlu
mendapat perhatian dan penanganan yang serius, mengingat jumlah kasus
yang semakin meningkat, dan jika terjadi outcome yang buruk bisa
menyebabkan perubahan kepribadian, biaya perawatan rehabilitasi yang
besar dan menjadi generasi tanpa penghasilan. Oleh karena itu, maka perlu
dilakukan penelitian tentang hubungan oxygen delivery dengan outcome
rawatan pada pasien cidera kepala sebagai salah satu upaya untuk
mengurangi/mencegah dampak dari cidera otak sekunder. Pada keadaan
normal otak membutuhkan 30 - 40 % oksigen dari kebutuhan oksigen tubuh
(Deem, 2006).
5
Konsumsi oksigen otak yang besar ini disebabkan karena otak tidak
mempunyai cadangan oksigen, sehingga suplai oksigen yang masuk akan
habis terpakai. Untuk mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat maka
diperlukan keseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan (demand)
oksigen otak. Kesimbangan oksigen otak dipengaruhi oleh cerebral blood
flow yang besarnya berkisar 15-20 % dari curah jantung (Black & Hawks,
2009). Besarnya cerebral blood flow sangat ditentukan oleh faktor tekanan
darah sistemik, laju metabolisme otak, dan PaCO2. Keadaan cerebral blood
flow menentukan tekanan perfusi jaringan otak yang normalnya
dipertahankan 60 – 70 mmHg (Deem, 2006; Caballos, et al. 2005; Nortje &
Gupta, 2006).
Cidera kepala merupakan penyebab utama kematian dan cacat di antara
pengguna sepeda motor, dan biaya dari cidera kepala yang tinggi karena
mereka sering memerlukan perawatan medis khusus atau rehabilitasi jangka
panjang dan kerugian lainnya seperti kerugian material mencapai
Rp286.099.076.289 ( CDC, 2010 dan Febby dkk, 2012).
Hasil studi pendahuluan yang saya lakukan di RSUD Tanah Bumbu pada
tanggal 23-25 Oktober 2014 didapatkan hasil kejadian terbanyak di ruang
bangsal bedah cidera kepala menempati urutan ke tiga setelah fraktur dan
tumor, dengan jumlah 73 pasien pada semester I (satu) 2014. Hasil observasi
yang dilakukan terhadap 4 orang perawat di ruang bedah di RSUD
Kabupaten Tanah Bumbu dalam pemberian terapi oksigen pada pasien
cidera kepala, satu perawat memberikan terapi oksigen pada pasien cidera
kepala ringan dengan RR: 23x/menit dengan menggunakan nasal kanul
sebanyak 4 liter/menit dan hasil nilai yang diperiksa peneliti pada SPO2
adalah 98%. Satu perawat memberikan terapi oksigen pada pasien cidera
kepala sedang dengan RR: 26x/menit dengan menggunakan nasal kanul
sebanyak 4 liter/menit dan hasil nilai yang diperiksa peneliti pada SPO2
adalah 89%. Dua perawat memberikan terapi oksigen pada pasien cidera
6
kepala berat dengan RR: 30x/menit dengan menggunakan nasal kanul
sebanyak 8 liter/menit dan hasil nilai yang diperiksa peneliti pada SPO2
adalah 73%.
Faktor yang berhubungan dengan ketidaktepatan tindakan pemberian terapi
oksigen perawat tersebut di atas juga bisa dipengaruhi oleh tidak tersedianya
fasilitas ataupun alat-alat kesehatan penunjang dalam pemberian terapi
oksigen, namun dari hasil observasi ternyata tersedia low flow oxygen system
diantaranya: nasal kanul, sungkup, Rebreathing Mask, dan Non Rebreathing
Mask, juga tersedianyanya High Flow Oxygen System diantaranya hanya ada
BVM (Bag Valve Mask), akan tetapi hanya salah satu fasilitas saja yang
digunakan perawat, yaitu nasal kanul.
Baik atau kurangnya hasil kerja atau kinerja seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya: kompetensi, motivasi kerja, fasilitas yang
tersedia, kemampuan, beban kerja, struktur organisasi, desain pekerjaan,
pengembangan karir, kepemimpinan, serta system penghargaan (reward
system, Mangkunegara (2004).
Kebijakan Rumah Sakit menuntut selalu tanggap terhadap perkembangan
pelayanan kesehatan yang dinamis dan menuntut agar karyawan salah
satunya perawat agar terus meningkatkan kompetensi sehingga menjadi
yang terbaik dalam pelayanan. Rumah Sakit juga mempunyai kebijakan
mutu Service excellence yang berorientasi pada pelayanan prima, bermutu,
dan aman (quality and safety) serta mengutamakan kerja tim. Juga academic
environment yang memberikan pelayanan serta pendidikan dalam setiap
profesi dan kompetensinya yang bersifat ramah, disiplin, jujur, dan
bertanggungjawab. Sehingga membangkitkan kepercayaan masyarakat
terhadap pelayanan di RS. Kemudian ada salah satu faktor yaitu Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang harus dilaksanakan untuk mencegah dan
mengatasi dan mencegah hipoksia jaringan dan beban kerja kardio respirasi,
7
selain itu pemberian terapi oksigen juga untuk mempertahankan PaO2 > 60
mmHg atau SaO2 > 90% juga dapat meningkatkan bersihan jalan nafas
klien, mencegah infeksi dan meningkatkan rasa nyaman pada pasien Cidera
kepala.
Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang tepat akan
mempengaruhi hasil terpenuhi atau tidak nya kebutuhan oksigen pada pasien
Cidera kepala. Dari beberapa uraian masalah diatas yang ditemui maka
peneliti tertarik untuk meneliti faktor apa saja yang berhubungan dengan
ketepatan perawat dalam pemberian terapi oksigen pada pasien Cidera
kepala di RSUD Kabupaten Tanah Bumbu.
Pengelolaan cidera kepala yang baik harus dimulai dari tempat kejadian,
selama transportasi, di instalasi gawat darurat, hingga dilakukannya terapi
definitif. Pengelolaan yang benar dan tepat akan mempengaruhi outcome
pasien. Tujuan utama pengelolaan cidera kepala adalah mengoptimalkan
pemulihan dari cidera kepala primer dan mencegah cidera kepala sekunder
yang disebabkan oleh iskemi otak. Proteksi otak adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan untukmencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel
otak yang diakibatkan oleh keadaaniskemia. (Tisdal Et Al, 2008; Arifin,
2008; Bullock, 2007; Mark, 2006).
1.2 Rumusan Masalah
Hasil penelitian dan kosep-konsep yang telah diuraikan di atas beberapa
masalah yang ditemui antara lain banyak ditemukan pasien cidera kepala di
dunia yang diperkirakan sekitar 300.000 orang tiap tahunnya. Jumlah pasien
cidera kepala yang dirawat dan diperbolehkan pulang dari Instalasi Gawat
Darurat sekitar 1 juta orang setiap tahun di Amerika. RSUD Kabupaten
Tanah Bumbu menempati urutan ke tiga setelah fraktur dan tumor dengan
jumlah 73 pasien pada semester pertama di tahun 2014, dengan banyaknya
pasien cidera kepala tersebut ternyata masih ada beberapa perawat yang
8
kurang tepat dalam memberikan terapi oksigen pada pasien cidera kepala
tersebut, hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yang menyebabkan hal
tersebut terjadi antara lain motivasi, lingkungan kerja, kompetensi, fasilitas,
dan kebijakan rumah sakit.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
“Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan ketepatan perawat dalam
pemberian terapi oksigen pada pasien Cidera kepala di Ruang Bedah RSUD
Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan
antara faktor-faktor (motivasi, lingkungan kerja, kompetensi,
fasilitas, kebijakan Rumah Sakit) dengan ketepatan perawat dalam
pemberian terapi oksigen pada pasien Cidera kepala di Ruang Bedah
RSUD Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi hubungan antara faktor motivasi dengan
ketepatan perawat dalam pemberian terapi oksigen pada
pasien Cidera kepala sedang di Ruang Bedah RSUD
Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015.
1.3.2.2 Mengidentifikasi hubungan antara faktor lingkungan kerja
dengan ketepatan perawat dalam pemberian terapi oksigen
pada pasien Cidera kepala di Ruang Bedah RSUD
Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015.
1.3.2.3 Mengidentifikasi hubungan antara faktor Kompetensi
perawat dalam pemberian terapi oksigen pada pasien Cidera
kepala sedang di Ruang Bedah RSUD Kabupaten Tanah
Bumbu tahun 2015.
9
1.3.2.4 Mengidentifikasi hubungan antara faktor tersedia atau
tidaknya fasilitas dan sarana prasarana dengan ketepatan
perawat dalam pemberian terapi oksigen pada pasien Cidera
kepala sedang di Ruang Bedah RSUD Kabupaten Tanah
Bumbu tahun 2015.
1.3.2.5 Mengidentifikasi hubungan antara faktor kebijakan Rumah
Sakit dengan ketepatan perawat dalam pemberian terapi
oksigen pada pasien Cidera kepala sedang di Ruang Bedah
RSUD Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015.
1.3.2.6 Menganalisis faktor yang paling berhubungan dengan
ketepatan perawat dalam pemberian terapi oksigen pada
pasien Cidera kepala sedang di Ruang Bedah RSUD
Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Pelayanan Kesehatan
1.4.1.1 Menambah kesadaran perawat tentang ketepatan dalam
tindakan pemberian terapi oksigen pada pasien cidera kepala
sedang.
1.4.1.2 Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam
penatalaksanaan pasien cidera kepala sehingga mutu
pelayanan dalam manajemen resiko klinis pasien
cidera kepala dapat dikelola dengan baik.
1.4.2 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
1.4.2.1 Berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang
berdasarkan eviden based untuk meningkatkan pelayanan
yang lebih baik bagi pasien.
1.4.2.2 Menambah wawasan keilmuan dalam mengembangkan
inovasi-inovasi tindakan keperawatan pada pasien dengan
masalah pemberian terapi oksigen pada pasein cidera kepala.
10
1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan
1.4.3.1 Menjadi landasan dalam melakukan penelitian selanjutnya
tentang terapi oksigen dalam keperawatan.
1.4.3.2 Menjadi dasar bagi penelitian yang berhubungan dengan
pernafasan.
1.4.3.3 Menjadi dasar bagi peneliti yang berhubungan dengan
tindakan keperawatan pada pasien cidera kepala.
1.5 Keaslian penelitian
1.5.1 Penelitian yang dilakukan oleh dr. Safrizal, dr. H. Syaiful Saanin,
Sp.BS, Dr. dr. H. Hafni Bachtiar, MPH yang berjudul Hubungan Nilai
Oxygen Delivery dengan Outcome Rawatan Pasien Cidera Kepala
Sedang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai
oxygen delivery dengan outcome rawatan pasien cidera kepala sedang.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan
cross sectional study terhadap 35 orang pasien cidera kepala GCS 9-
13 yang dilakukan terapi konservatif. Dilakukan pemeriksaan analisa
gas darah di instalasi gawat darurat, kemudian dinilai outcome
rawatan dengan Glasgow outcome scale saat pasien pulang. Hasil
yang didapatkan nilai rata-rata oxygen delivery kelompok death
835,40 mL/menit, kelompok persistent vegetative state 993,00
mL/menit, kelompok severe disability 821,21 mL/menit, kelompok
moderate disability 1075,42 mL/menit, dan kelompok good recovery
1197,64 mL/menit. Dilakukan uji ANOVA terhadap semua kelompok
dan didapatkan perbedaan signifikan rata-rata nilai oxygen delivery
tiap kelompok (p=0,007).
Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat hubungan yang signifikan nilai
oxygen delivery dengan outcome rawatan pasien cidera kepala sedang.
Penelitian ini dilakukan dalam periode Maret 2013 sampai dengan
11
Mei 2013. Penelitian ini dilakukan di instalasi gawat darurat bedah
dan ruang rawatan bagian bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang.
1.5.2 Penelitian yang dilakukan oleh Hendrizal, Syaiful Saanin, Hafni
Bachtiar (2012-2013) di RS Dr. M. Djamil Padang tentang Pengaruh
Terapi Oksigen Menggunakan Non-Rebreathing Mask Terhadap
Tekanan Parsial CO2 Darah Pada Pasien Cidera Kepala Sedang,
merupakan penelitian Clinical Trial dengan rancangan penelitian one
shoot pretest and posttest, dimana penelitian ini bertempat di IGD dan
ruang HCU (High Care Unit) bedah. Populasi penelitian adalah semua
pasien cidera kepala murni GCS 9-13 yang datang berobat ke IGD RS
Dr. M. Djamil Padang. Sampel penelitian adalah pasien cidera kepala
Murni GCS 9-13. Pengambilan sampel menggunakan non-probability
sampling dengan teknik consecutive sampling karena populasi
penelitian tidak bisa dihitung (infinite). Pada penelitian eksperimental
jumlah sampel adalah 16 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan
ekslusi.
Berdasarkan karakteristik responden rata-rata umur pasien adalah 18
tahun. Sehingga hasil yang didapat menunjukkan bahwa ada
perbedaan bermakna tekanan parsial CO2 darah sebelum dan setelah
terapi oksigen menggunakan NRM (p<0,05). Terjadi penurunan
tekanan parsial CO2 darah setelah terapi oksigen mengunakan NRM
dari 39,00 ± 3,7 menjadi 432,06 ± 6,35, hal ini dilihat dari Nilai pH
darah setelah terapi oksigen menggunakan Non-rebreathing mask
sebagian besar dalam batas normal. Nilai pCO2 darah setelah terapi
oksigen menggunakan Non-rebreathing mask sebagan besar dibawah
normal, dan terjadi penurunaan pCO2 darah pada terapi oksigen
menggunakan Non-rebreathing mask.
12
1.6 Perbedaan Penelitian
1.6.1 Subjek Penelitian
1.6.2 Lebih ditekankan pada ketepatan dan kinerja perawat