bab 1

35
BAB I PENDAHULUAN Rinitis berasal dari dua kata bahasa greek rhin/rhino” (hidung) dan “itis” (radang). Demikian rinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir (membran mukosa) hidung. Berdasarkan etiologi atau penyebabnya rinitis dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu rinitis alergi, rinitis non-alergi dan rinitis karena infeksi. Rinitis non-alergi contohnya adalah rinitis vasomotor dan rinitis medikamentosa, sedangkan rinitis karena infeksi contohnya adalah rinitis atrofi, rinitis hipertrofi, rinitis simpleks, rinitis difteri, rinitis jamur, rinitis tuberkulosa dan rinitis sifilis. 1 Rinitis atrofi atau disebut juga ozaena merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa hidung dan tulang konka, serta pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering 1

Upload: ilsasalsabil

Post on 07-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

hjdj

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis berasal dari dua kata bahasa greek “rhin/rhino” (hidung) dan

“itis” (radang). Demikian rinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

selaput lendir (membran mukosa) hidung. Berdasarkan etiologi atau penyebabnya

rinitis dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu rinitis alergi, rinitis non-

alergi dan rinitis karena infeksi. Rinitis non-alergi contohnya adalah rinitis

vasomotor dan rinitis medikamentosa, sedangkan rinitis karena infeksi contohnya

adalah rinitis atrofi, rinitis hipertrofi, rinitis simpleks, rinitis difteri, rinitis jamur,

rinitis tuberkulosa dan rinitis sifilis.1

Rinitis atrofi atau disebut juga ozaena merupakan infeksi hidung kronik,

yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa hidung dan tulang konka,

serta pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang

kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Orang

disekitar penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut sedangkan

penderita sendiri tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.1

Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering terjadi

pada wanita, terutama pada usia pubertas dan dewasa muda. Penelitian yang

dilakukan oleh Baser dkk3 dan Jiang dkk4 mendapatkan hasil terdapat 15 wanita

dan 12 laki-laki penderita ozaena. Samiadi3 mendapatkan hasil, terdapat 4

penderita ozaena wanita dan 3 penderita ozaena laki-laki. Menurut Boies5

perbandingan frekuensi penderita rinitis atrofi pada wanita : laki-laki adalah 3 : 1.

1

Page 2: BAB 1

Di RS H. Adam Malik dari bulan Januari tahun 1999–bulan Desember tahun 2000

ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 laki-laki, umur berkisar dari

10-37 tahun.2,3,4

Etiologtinya multifaktorial dan patogenesisnya hingga saat ini masih

belum dapat diterangkan secara pasti. Oleh karena etiologinya multifaktorial,

maka pengobatanya pun belum ada yang baku. Pengobatan ditunjukan untuk

mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat

bersifat konservatif atau jika tidak dapat menolong dapat dilakukan pembedahan.1

2

Page 3: BAB 1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga

hidung dengan perdarahan serta persarafan, serta fisiologi hidung. Hidung

luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :7

1) Pangkal hidung (bridge)

2) Batang hidung (dorsum nasi)

3) Puncak hidung (hip)

4) Ala nasi

5) Kolumela

6) Lubang hidung (nares anterior)

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum

nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior, tepat dibelakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi

oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang

yang disebut vibrise. Sedangkan nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai

empat buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior dan superior.7,9

3

Page 4: BAB 1

Gambar 1. Anatomi Hidung

Dinding medial hidung adalah kavum nasi. Septum dibentuk oleh

tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah :7

1) Lamina perpendikularis os. Ethmoid

2) Vomer

3) Krista nasalis os. Maxilla

4) Krista nasalis os. Palatine

Bagian tulang rawan adalah :9

1) Kartilago septum (kuadrangularis)

2) Kolumela

4

Page 5: BAB 1

Gambar 2. Kartilago Septum nasi

Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah

konka inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi

konka superior dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya

rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi

yang jumlahnya tiga buah, yaitu : meatus inferior, meatus media dan meatus

superior.9

Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung

dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara

(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media

dan dinding lateral rongga hidung yang bermuara pada sinus frontalis, sinus

etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada meatus superior yang nerupakan

ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid

posterior dan sinus sphenoid.7,9

5

Page 6: BAB 1

Gambar 3. Konka Nasi

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os.

Maksila dan os. Palatum. Dinding superior atau ataphidung sangat sempit dan

dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari

rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari

os. Ethmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat

masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga

hidung dibentuk oleh os. Sphenoid.7

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional

dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu

(mukosa olfaktori). Mukosa pernapasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar

berlapis yang mempunyai silia dan terdapat sel-sel goblet. Gangguan pada

fungsi silia menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan

hidung tersumbat.8

6

Page 7: BAB 1

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior

dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris

interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina.

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. fasialis.7

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.

sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor

yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach

letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi

sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan

berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur

luar hidung bermuara ke v. Oftalmika yang berhubungan dengan sinus

kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katub, sehingga merupakan

faktor predisposisi untuk mudahnya penyebab infeksi sampai ke intrakranial.7

Gambar 4. Pleksus Kiesselbach

7

Page 8: BAB 1

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang

berasal dari n. oftalmikus (n. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar

mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.7

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.

Ganglion ini menerima serabut dari n. maksila (n. V-2), serabut parasimpatis

dari n. petrosus superfisialis mayor, dan serabut saraf simapatis dari n.

petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak dibelakang dan sedikit di

atas ujung posterior konka media.7

Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius saraf ini turun melalui

lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian

berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah

sepertiga atas hidung.7

Gambar 5. Nervus Olfaktorius

8

Page 9: BAB 1

2.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional.

Fungsi hidung dan sinus paranasal adalah :7

1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),

penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan

dan mekanisme imunologik lokal. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur

yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut

(vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan palut lendir.

2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius pada atap rongga

hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau

dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila

menarik napas dengan kuat.

3) Fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan

mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Sumbatan

hidung dapat menyebabkan resonansi berkurang dan hilang, sehingga

terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukan

konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka serta

palatum mole turun untuk aliran udara.

4) Fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas

5) Refleks nasal, mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang

berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi

mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti.8

9

Page 10: BAB 1

Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung

dan pankreas.

Ketika seseorang mencium sesuatu, substansi kimia yang berbau

(odorant) masuk ketika udara naik ke lubang hidung luar (nares), ketika

odorant sampai di atas membran mukosa olfaktorius, odorant berikatan

dengan olfaktorius reseptor protein pada olfactory hairs. Setelah olfaktorius

reseptor protein berikatan dengan odorant, olfaktori reseptor sel berpasangan

dengan protein G dan mengaktifkan enzim adenilat siklase dan dihasilkan

cAMP yang merangsang pembukaan kanal Na+ dan K+ sehingga terjadi

perpindahan ion-ion yang menimbulkan depolarisasi dan terbentuknya

potensial aksi. Kemudian potensial aksi disalurkan sepanjang reseptor

olfaktorius, dari reseptor olfaktorius dihantarkan ke nervus olfaktorius, bulbus

olfaktorius dan berjalan sepanjang traktus olfaktorius sampai ke daerah-

daerah di sistem limbik, khususnya di sisi medial bawah lobus temporalis

(yang di anggap sebagai korteks olfaktorius primer).

10

Page 11: BAB 1

Gambar 6. Fisiologi Hidung

2.3 Definisi Rinitis Atrofi

Rinitis atrofi atau disebut juga ozaena merupakan infeksi hidung

kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa hidung dan

tulang konka, serta pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung

menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk

krusta yang berbau busuk. Karakteristiknya adalah adanya atrofi mukosa dan

jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai krusta yang

berbau khas (busuk). Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia

epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia

menghilang, lapisan submukosa menjadi lebih tipis dan kelenjar-kelenjar

berdegenerasi.1,2,3

11

Page 12: BAB 1

Gambar 7. Rinitis Atrofi

2.4 Etiologi

Penyebab pasti dari rinitis atrofi (ozaena) belum diketahui secara jelas

sampai sekarang. Terdapat berbagai teorimengenai penyebab rinitis atrofi dan

penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter.

Namun ada beberapa teori dan keadaan yang di anggap berhubungan dengan

terjadinya rinitis atrofi (ozaena), yaitu:1,4,5

1) Infeksi oleh kuman spesifik. Kuman yang paling sering ditemukan adalah

spesies Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman ini menghentikan

aktivitas silia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan

Klebsiella, kuman spesifik penyebab antara lain Stafilokokus,

Streotokokus, Pseudomonas aeruginosa, kokobasilus, Bacillus mucosus,

Diphteroid bacilli dan Cocobacillus foetidus ozaena.

2) Defisiensi Fe

3) Defisiensi vitamin A

4) Infeksi sekunder, misalnya sinusitis kronis

5) Kelainan hormonal, misalnya ketidakseimbangan hormon esterogen

12

Page 13: BAB 1

6) Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun

7) Teori mekanik dari zaufal

8) Ketidakseimbangan otonom, terjadi perubahan neurovaskular seperti

deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.

9) Variasi dari Refleks Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)

10) Herediter

11) Supurasi hidung dan paranasal

12) Golongan darah

Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas :

rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui (multifaktorial) dan

rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung dan

radioterapi) atau infeksi hidung kronis yang disebabkan oleh sifilis, lepra,

midline granuloma, rinoskleroma dan TBC. Radiasi pada hidung umumnya

segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir

selalu menyebabkan rinitis atrofi. Berbagai infeksi seperti eksantema akut,

scarlet fever, difteri dan infeksi kronik juga dapat menyebabkan terjadinya

cedera pembuluh darah submukosa dan menyebabkan rinitis atrofi. Faktor

lingkungan juga diduga berpengaruh, hal ini dibuktikan dari angka insiden

yang lebih tinggi pada masyarakat sosial ekonomi rendah.2,4

2.5 Klasifikasi

13

Page 14: BAB 1

Menurut dr. Spencer Watson,8 rinitis atrofi dapat diklasifikasikan

menjadi dua yaitu berdasarkan gejala klinis dan berdasarkan penyebab atau

etiologinya. Berdasarkan gejala klinis, rinitis atrofi dibedakan menjadi :10

1) Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan

mudah ditangani dengan irigasi.

2) Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang

berbau.

3) Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis,

ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.

Sedangkan berdasarkan penyebab atau etiologinya, rinitis atrofi dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :10,11

1) Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang

didiagnosis pereklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung

atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella

ozenae. Dengan kata lain, rinitis atrofi primer adlah rinitis atrofi yang

terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.

2) Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang paling sering di temukan

di negara berkembang. Rinitis atrofi sekunder merupakan komplikasi dari

suatu tindakan atau penyakit. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus,

radiasi, trauma serta penyakit granuloma dan infeksi.

2.6 Patogenesis

14

Page 15: BAB 1

Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasia epitel kolumner

bersilia menjadi epitel skuamos atau atrofik dan fibrosis dari tunika propria.

Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran serta

adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu

secara patologi, rinitis alergi dapat dibagi menjadi dua :2

1) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriol terminal akibat

infeksi kronik, membaik dengan efek vasodilator dari terapi esterogen.

2) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah buruk dengan

terapi esterogen.

Sebagian besar kasus rinitis atrofi merupakan tipe I. Endarteritis di

arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukos, juga akan

ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young2 mendapatkan sel

endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukan adanya

absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus

menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka

menyebabkan saluran nafas menjadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan

teori proses autoimun.2,12

Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan

surfaktan protein A. defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama

menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang

abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan

mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan

menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya

15

Page 16: BAB 1

mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan

dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium

yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.2,12

Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (ozaena),

yaitu :5

1) Mukosa hidung berubah menjadi lebih tipis

2) Silia hidung akan menghilang

3) Pada epitel hidung akan terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak

silia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis

4) Kelenjar hidung akan mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil)

atau jumlahnya berkurang.

2.7 Gejala klinis

Keluhan rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat,

gangguan penciuman (anosmia), ingus kental yang berwarna hijau, adanya

krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa

kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya

napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) sehingga pasien

sendiri kadang tidak merasakannya, sedangkan orang lain yang

penciumannya normal yang biasanya akan terganggu dengan bau tersebut.1,2

Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak

ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi lebar

atau lapang, pasien merasakan sumbatan yang semakin progresif saat

16

Page 17: BAB 1

bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur

perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sendorik dari mukosa

hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.2,3,5,6

2.8 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan

rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam. Jika

krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka

nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret

purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga

ditemui ulat atau telur larva (karena bau busuk yang timbul).2,5

Sutomo dan Samsudin3 membagi ozaena secara klinik dalam tiga

tingkat :2

1) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan

berlendir, krusta sedikit.

2) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering,

warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

3) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak

sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta

di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini

mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya

17

Page 18: BAB 1

pertama mengenai mukosa hidung, tampak beberapa daerah metaplasia yang

kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia dan terbentuk

krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan

pendarahan.4

Atrofi tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih

besar, namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung. Secara perlahan

keadaan ini akan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan

semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara

fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan akan semakin menyeluruh.

Jaringan diserkitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot

dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan

iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan

laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat

efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak

diharapkan pada aparatus lakrimalis termasuk keratitis sicca.2,4

2.9 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosis pada kasus rinitis atrofi (ozaena) antara lain :5,6

1) Transiluminasi

2) Foto rontgen, yaitu foto sinus paranasal

3) Tomografi komputer (CT Scan) sinus paranasal

4) Uji resistensi kuman

5) Pemerikasaan darah tepi

18

Page 19: BAB 1

6) Pemeriksaan Fe serum

7) Pemeriksaan serologi darah

8) Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi konja media. Dari

pemeriksaan histopatologi dapat terlihat mukosa hidung menjadi semakin

tipis, silia menghilang, metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel

kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya

berkurang dan bentuknya mengecil.

2.10 Diagnosis

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaaan penunjang lain seperti

pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan

histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk

menyingkirkan sifilis.2

2.11 Diagnosis banding

Diagnosis banding dari rinitis atrofi (ozaena) antara lain :5

1) Rinitis kronik TBC

2) Rinitis kronik lepra

3) Rinitis kronik sifilis

4) Rinitis sika

2.12 Komplikasi

Komplikasi dari rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :6

19

Page 20: BAB 1

1) Perforasi septum

2) Faringitis

3) Sinusitis

4) Miasis hidung

5) Hidung pelana

2.13 Penatalaksanaan dan Pencegahan

Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofi hanya bersifat

paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk,

terapi sistemik dan lokal dengan endokrin, steroid dan antibiotik,

vasodilator, pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol, serta

salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-

usaha langsung mengecilkan rongga hidung, sehingga dengan demikian juga

memperbaiki suplai darahke mukosa hidung.4

Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum

ada yang baku. Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi faktor etiologi

atau penyebabnya dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan

dapat bersifat konservatif atau kalau tidak dapat menolong dilakukan

operasi atau pembedahan.2,5

1. Pengobatan Konservatif

Pengobatan konservatif ozaenameliputi pemberian antibiotik, obat cuci

hidung dan pengobatan simptomatik untuk menghilangkan gejala,

diantaranya adalah sebagai berikut :1,2

20

Page 21: BAB 1

a. Antibiotik spektrum luas atau sesuaidengan uji resistensi kuman,

dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Lama

pengobatan bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa

sekret purulen kehijauan. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang

baik pada pengobatan dengan rifampicin oral 600 mg 1x sehari selama

12 minggu.

b. Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan

sekret, serta untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil

proses infeksi.

c. Obat tetes hidung, setelah krusta diangkat, diberikan antara lain:

glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol

dalam minyak Archis 10.000 U/ml, kemisetin anti ozaena solution dan

streptomisin 1 g + NaCl 30 ml, diberikan 3 kali sehari masing-masing

3 tetes.

d. Vitamin A 3 x 50.000 Unit selama 2 minggu.

e. Preparat Fe selama 2 minggu, diberikan sebagai obat simptomatik.

f. Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Samiadi dalam

laporannya memberikan : trisulfat 3x2 tablet sehari selama 2 minggu,

Na bikarbonat, cuci hidung dengan NaCl fisiologis 3 kali sehari,

kontrol darah dan urin seminggu sekali untuk melihat efek samping

obat, pembersihan hidung diklinik tiap 2 minggu sekali, serta cuci

hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil

yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.

21

Page 22: BAB 1

2. Operasi atau Pembedahan

Tujuan operasi atau pembedahan pada rinitis atrofi (ozaena) antara

lain untuk menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi

pengeringan dan pembentukan krusta, serta mengistirahatkan mukosa

sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Operasi dilakukan jika

dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan. Teknik operasi atau

bedah untuk rinitis atrofi dibedakan menjadi dua kategori utama yaitu :2,4

a. Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal

b. Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang

hidung ke arah dalam.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :2

a. Young’s operation. Penutupan rongga hidung dengan flap. Sinha

melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagai

atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-

masing selama tiga tahun

b. Modified Young’s operation. Penutupan lubang hidung dengan

meninggalkan 3 mm yang terbuka

c. Lautenschlager operation. Dengan memobilisasi dinding medial

antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang

hidung

d. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan

sintetis seperti teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue

22

Page 23: BAB 1

e. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksilaris (Wittmack’s

operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang

melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada

penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.

Bila pengobatan konservatif adekuat yang cukup lama tidak

menunjukkan perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan

lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares

anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau

dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.6

2.14 Prognosis

Dengan operasi atau pembedahan, diharapkan terjadi perbaikan

mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia di atas 40

tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

BAB III

KESIMPULAN

Rinitis atrofi atau disebut juga ozaena merupakan infeksi hidung kronik,

yang ditandai oleh adangannya atrofi progresif pada mukosa hidung dan tulang

konka, serta pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan

sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau

23

Page 24: BAB 1

busuk. Orang di sekitar penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut

sedangkan penderita sendiri tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.

Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda dan

pubertas.sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang

rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk, terutama di negara-negara yang

sedang berkembang. Etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya pun belum

ada yang baku.

Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya pun blm ada

yang baku. Pengobatan ditunjukkan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan

gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif atau jika tidak dapat

menolong dapat dilakukan pembedahan. Menurut pengalaman, untuk kepentingan

klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobatai, yaitu ringan, sedang, atau

berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Untuk

mendiagnosis ozaena secara klinis tidak sulit, biasanya discharge berbau, bilateral

serta terdapat krusta kuning kehijau-hijauan.

24