bab 1

129
BAB 35 KESEHATAN

Upload: kezziaauroraamanda

Post on 09-Nov-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

latar

TRANSCRIPT

BAB 35.

BAB 35 KESEHATAN

I.PENDAHULAN

Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II), yaitu mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi. Pembangunan manusia seutuhnya harus mencakup aspek jasmani dan kejiwaannya, di samping aspek spiritual, kepribadian, dan kejuangan. Untuk itu, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif.

Pembangunan manusia sebagai insan harus dilakukan dalam keseluruhan proses kehidupannya, mulai dari dalam kandungan, bahkan jauh sebelumnya, yaitu dengan memperhatikan tingkat kesejahteraan para calon ibu, kemudian sebagai bayi, balita, usia sekolah, remaja, pemuda, usia produktif, sampai kepada usia

lanjut. Untuk itu, pembangunan kesehatan memegang peran yang amat penting dalam meningkatkan kesejahteraan manusia dalam setiap tahap kehidupan tersebut, sesuai dengan permasalahan kesehatan yang dihadapi. Selain berperan dalam membangun manusia sebagai insan, pembangunan kesehatan juga berperan penting membangun manusia sebagai sumber daya pembangunan. Derajat kesehatan yang tinggi akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Peningkatan produktivitas ini akan mempertajam kemampuan daya saing bangsa dalam dunia yang makin ketat persaingannya.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). 1993 mengamanatkan bahwa dalam PJP II pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatkan mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan yang harus makin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat serta meningkatkan keadaan gizi dan membudayakan sikap hidup bersih dan sehat, didukung dengan pembangunan perumahan dan permukiman yang layak.

Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repelita VI), yang merupakan tahapan pertama PJP II, pembangunan kesehatan diarahkan untuk makin meningkatkan kualitas dan pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan, termasuk perbaikan gizi terutama melalui percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi, mendorong peran serta aktif masyarakat termasuk dunia usaha dalam pembangunan kesehatan, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan bersih serta peduli terhadap lingkungannya, yang semuanya didukung oleh sumber daya kesehatan yang cukup memadai dan andal termasuk industri farmasi dan peralatan kesehatan yang berkembang.

Pembangunan kesehatan telah berhasil meningkatkan pelayanan kesehatan dasar secara lebih merata sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi dan balita, meningkatkan kesehatan ibu dan anak, meningkatkan keadaan gizi masyarakat,

dan memperpanjang usia harapan hidup rata-rata penduduk. Namun peningkatan mutu, pemerataan pelayanan kesehatan, dan perbaikan gizi masyarakat masih memerlukan perhatian lebih besar lagi. GBHN 1993 juga mengamanatkan bahwa dalam Repelita VI pembangunan kesehatan masih perlu terus ditingkatkan dengan lebih mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kedokteran secara saksama dan bertanggung jawab.

Pembangunan kesehatan dalam PJP II dan Repelita VI disusun dan diselenggarakan dengan berlandaskan pada pengarahan GBHN 1993 seperti tersebut di atas.

H. PEMBANGUNAN KESEHATAN DALAM PJP I

Pembangunan kesehatan dalam PJP I dapat dikelompokkan atas peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta perkembangan cakupan dan mutu upaya pelayanan kesehatan.

1. Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat

Program pembangunan kesehatan selama PJP I telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu hasil terpenting yang menimbulkan kepercayaan dunia akan keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia adalah kondisi yang dicapai tahun 1974, yang dalam hal ini World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang telah bebas dari penyakit cacar.

Berbagai indikator lain juga menunjukkan keberhasilan pembangunan kesehatan. Angka kematian bayi (AKB) dapat diturunkan dengan laju penurunan rata-rata 3,4 persen setiap tahunnya. Jika pada tahun 1967 AKB di Indonesia masih berkisar sekitar 145 per 1.000 kelahiran hidup, pada tahun 1976 telah dapat ditekan menjadi 109 per 1.000 kelahiran hidup, dan pada tahun

1993 ditekan lagi menjadi sekitar 58 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu juga menunjukkan adanya penurunan, dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992.

Dampak makin menurunnya AKB di atas, antara lain tercermin pada angka harapan hidup. Angka harapan hidup waktu lahir penduduk Indonesia terus meningkat dari rata-rata 45,7 tahun pada tahun 1967 menjadi rata-rata 52,2 tahun pada tahun 1976, dan meningkat lagi menjadi 62,7 tahun pada tahun 1993.

Melalui program perbaikan gizi, penurunan AKB dan peningkatan rata-rata angka harapan hidup tersebut diikuti oleh perbaikan mutu anak balita dan masyarakat pada umumnya. Perbaikan mutu tersebut antara lain dapat terlihat dengan makin baiknya keadaan gizi rata-rata anak balita. Angka prevalensi kurang energi protein (KEP) sedang dan berat anak balita menurun dari 18,9 persen tahun 1978 menjadi 11,8 persen pada tahun 1992; atau menurun dengan 37,5 persen dalam satu setengah dasawarsa. Adapun prevalensi KEP total (ringan, sedang, dan berat) selama itu juga turun dari 48,2 persen menjadi 40 persen. Demikian pula dalam hal masalah gizi lainnya, seperti kebutaan akibat kurang vitamin A, anemia gizi besi, dan kurang zat iodium. Dari penelitian gizi tahun 1991/92, masalah kebutaan akibat kurang vitamin A di daerah-daerah rawan gizi di Indonesia ternyata hampir hilang. Artinya, pada masa yang akan datang hampir tidak ada lagi anak yang harus menderita buta karena kurang vitamin A. Demikian juga prevalensi gangguan akibat kurang iodium (GAKI) menunjukkan angka yang menurun. Pada tahun 1982 Total Goitre Rate (TGR) sebesar 37,2 persen, sedangkan pada tahun 1990 menurun menjadi 27,7 persen. Perbaikan gizi dampaknya tidak saja pada pertumbuhan fisik anak-anak yang menjadi makin baik, tetapi juga tingkat perkembangan intelektual anak menjadi makin meningkat pula. Secara keseluruhan perbaikan gizi masyarakat juga meningkatkan produktivitas kerja yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi.

2. Perkembangan Cakupan dan Mutu Upaya Pelayanan Kesehatan

Sebelum Repelita I di seluruh Indonesia baru terdapat 1.227 buah puskesmas dan pada akhir Repelita I menjadi 2.343 buah puskesmas. Melalui Inpres Bantuan Sarana Kesehatan yang dimulai sejak Repelita II selain puskesmas juga dibangun puskesmas pembantu. Pembangunan tersebut terus dilanjutkan sehingga pada tahun 1992/93 jumlah puskesmas dan puskesmas pembantu yang ada dan berfungsi masing-masing mencapai 6.277 buah dan 18.946 buah. Dengan jumlah puskesmas tersebut berarti satu puskesmas rata-rata melayani 28.000 penduduk, sedangkan pada tahun 1968 rasio puskesmas terhadap penduduk adalah satu puskesmas melayani sekitar 96.000 penduduk.

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanannya, sejak Repelita III sejumlah puskesmas ditingkatkan fungsinya menjadi puskesmas perawatan, yaitu puskesmas dengan tempat tidur. Puskesmas perawatan ini terutama dibangun di lokasi-lokasi yang jauh dari rumah sakit, di jalur-jalur jalan raya yang rawan kecelakaan dan di tempat-tempat atau pulau-pulau terpencil. Sampai dengan akhir Repelita IV jumlah puskesmas perawatan tercatat sebanyak 1.038 buah, dan sampai tahun keempat Repelita V jumlah tersebut seluruhnya menjadi 1.438 buah.

Untuk lebih meningkatkan cakupan pelayanan dan agar petugas puskesmas dapat aktif melakukan pelayanan di luar gedung puskesmas sambil melakukan penyuluhan kesehatan, sebagian besar puskesmas dilengkapi dengan puskesmas keliling roda-4 atau khusus untuk daerah sungai dan kepulauan dengan perahu bermotor. Puskesmas perahu bermotor sangat penting untuk pelayanan di daerah-daerah kepulauan dan desa pedalaman. Sampai dengan tahun 1992/93 telah dilaksanakan pengadaan 5.306 unit puskesmas keliling.

Selain itu, untuk daerah kepulauan, daerah terpencil, dan daerah perbatasan, sejak tahun 1985 pelayanan kesehatan juga ditingkatkan melalui pelayanan dokter terbang. Sejak tahun ketiga Repelita V paket pelayanan kesehatan masyarakat diorganisasi sesuai dengan kondisi setempat. Untuk itu, di Propinsi Irian Jaya paket pelayanan ini diberikan dalam bentuk puskesmas keliling jalan kaki dan di Propinsi Maluku dilaksanakan melalui paket pelayanan gugus pulau. Dengan paket-paket pelayanan tersebut, pemerataan pelayanan kesehatan makin meningkat, terutama dilihat dari kepentingan penduduk daerah-daerah terpencil yang pada waktu-waktu lalu sulit terjangkau.

Untuk menjamin tersedianya tenaga medis di daerah-daerah terpencil tersebut, sejak tahun 1991/92 dilakukan penempatan 924 tenaga dokter sebagai pegawai tidak tetap, yaitu tenaga dokter yang ditugaskan dalam waktu tertentu tanpa harus menjadi pegawai negeri dan diberikan tunjangan khusus sesuai dengan tingkat keterpencilan lokasi penempatannya. Pada tahun 1992/93 telah ditempatkan lagi 2.604 dokter sebagai pegawai tidak tetap.

Peranan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) melalui puskesmas dan puskesmas pembantu makin efektif setelah didukung oleh peran serta masyarakat dalam bentuk pos pelayanan terpadu yang dikenal dengan posyandu. Posyandu merupakan bentuk peran serta masyarakat yang nyata khususnya oleh pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK) dan organisasi wanita lainnya. Peningkatan peran serta PKK tersebut memungkinkan posyandu sebagai lembaga masyarakat dapat berkembang dengan pesat. Apabila pada akhir Repelita III baru tercatat sebanyak 25.000 posyandu, pada akhir Repelita IV menjadi lebih dari 213.000 buah, dan pada tahun 1992/93 bertambah lagi menjadi 241.236 posyandu.

Dalam terus meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di perdesaan, dalam Repelita V telah ditetapkan kebijaksanaan untuk menempatkan bidan di desa-desa. Tujuannya adalah agar kelak di

setiap desa setidak-tidaknya terdapat seorang bidan yang dapat memberikan pelayanan KIA, baik sebagai perseorangan maupun sebagai tenaga kesehatan puskesmas. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun 1992/93 telah dididik dan ditempatkan di desa sebanyak 19.400 bidan yang dilengkapi dengan peralatan bidan. Selain itu, sejak Repelita I kegiatan pembinaan bagi dukun bayi dengan memberikan pelatihan dan peralatan dukun terus dilanjutkan dan ditingkatkan sehingga sampai tahun 1992/93 telah mencakup lebih dari 124 ribu orang.

Untuk meningkatkan mute pelayanan kesehatan jumlah dokter dan dokter gigi terus ditambah. Jumlah tenaga dokter pada awal Repelita I sebanyak 5.000 orang selanjutnya meningkat menjadi 24.070 orang pada akhir Repelita IV, sedangkan selama Repelita V bertambah lagi dengan 6.256 dokter baru. Sampai akhir Repelita IV jumlah dokter gigi yang ditempatkan di puskesmas dan rumah sakit berjumlah 749 orang. Sampai tahun 1992/93 jumlah dokter gigi yang telah ditempatkan di puskesmas dan rumah sakit meningkat menjadi 2.184 orang sehingga pada tahun tersebut seorang dokter gigi rata-rata melayani 3 puskesmas.

Pada Repelita I jumlah rumah sakit tercatat 1.116 buah, terdiri atas rumah sakit pusat 45 buah, rumah sakit propinsi/kabupaten/ kotamadya 347 buah, rumah sakit ABRI dan departemen lainnya 221 buah, dan rumah sakit swasta 503 buah. Dari repelita ke repelita jumlah rumah sakit dan tempat tidur terus bertambah, sedangkan pertambahan terbesar berbagai jenis rumah sakit tersebut terjadi selama Repelita IV, yaitu 225 buah rumah sakit dan 11.949 tempat tidur. Penambahan jumlah terbanyak terjadi pada rumah sakit swasta yaitu bertambah sebesar 31 persen dibanding jumlah rumah sakit swasta pada repelita sebelumnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran serta masyarakat dalam pelayanan kesehatan rujukan makin meningkat. Jumlah rumah sakit dan tempat tidur terus meningkat pula sehingga pada tahun keempat Repelita V jumlah rumah sakit dan tempat tidur masing-masing bertambah menjadi 1.638 buah dan 123.441 buah.

Dalam Repelita V, kebijaksanaan pelayanan rumah sakit ditingkatkan terutama untuk meningkatkan jenis dan mutu pelayanan. Untuk itu, sejumlah rumah sakit kabupaten ditingkatkan kelasnya dari kelas D menjadi kelas C, yang berarti memiliki pelayanan spesialisasi paling tidak untuk empat keahlian dasar, yaitu spesialis kebidanan dan kandungan, anak, bedah, dan penyakit dalam. Di samping itu, rumah sakit kelas A dibangun baru di Medan dan Ujung Pandang, serta rumah sakit kelas B dan C di bangun di beberapa kota, yaitu Manado, Cirebon, Banjarmasin, Mataram, Balikpapan, Ambon, Jambi, dan Palangkaraya.

Untuk menunjang pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan di rumah sakit dikembangkan Balai Laboratorium Kesehatan (BLK). Selama Repelita I baru dibangun 11 BLK, sedangkan pada Repelita II dibangun lagi sebanyak 7 buah BLK. Sampai dengan tahun 1992/93, jumlah BLK yang telah dibangun mencapai 25 buah. Pelayanan laboratorium kesehatan oleh swasta juga mengalami kemajuan. Bila pada akhir Repelita IV baru terdapat 421 laboratorium klinik swasta di 25 propinsi, maka pada pertengahan tahun keempat Repelita V telah mencapai 517 laboratorium klinik swasta di 27 propinsi.

Kemampuan pemeriksaan BLK selalu meningkat dari tahun ke tahun. Selama Repelita III, baru 6 BLK yang mampu melakukan pemeriksaan terhadap hepatitis B. Pada Repelita IV dan V, seluruh BLK sudah mampu menangani pemeriksaan hepatitis B. Untuk pemeriksaan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), dalam Repelita IV hanya 6 BLK yang mampu melakukan pemeriksaan, kemudian bertambah menjadi 8 buah BLK pada tahun pertama Repelita V. Dengan makin lengkapnya peralatan dan makin banyak tenaga BLK yang dilatih secara khusus, maka pada tahun keempat Repelita V, seluruh BLK sudah mampu melakukan pemeriksaan AIDS. Selain itu, sejumlah 34 laboratorium rumah sakit dan 129 laboratorium PMI di seluruh Indonesia juga telah mampu melakukan pemeriksaan AIDS.

Upaya pemberantasan penyakit menular dimulai jauh sebelum Repelita I. Pada awal Repelita I kegiatan pemberantasan penyakit menular diprioritaskan pada peningkatan pemberantasan penyakit malaria, cacar, tuberkulosa paru, diare, frambusia, dan kusta, serta penyakit kelamin. Berhubung dengan masih terbatasnya upaya penyediaan vaksin dan belum terbentuknya lembaga pelayanan kesehatan masyarakat secara merata di semua lapisan masyarakat, kegiatan vaksinasi waktu itu diprioritaskan untuk pembasmian penyakit cacar dan pemberantasan tuberkulosa paru. Kegiatan tersebut telah membawa hasil yang sangat penting dalam Repelita II, yaitu pada tahun 1974 WHO menyatakan bahwa Indonesia "bebas cacar" . Selain itu, sebagai hasil dari berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit, penyakit frambusia atau patek yang sebelumnya dinyatakan endemis di Indonesia, mulai Repelita III dianggap tidak membahayakan lagi, kecuali untuk beberapa lokasi di luar Jawa dan Bali.

Sejak Repelita II jenis dan cakupan pemberian vaksinasi terus ditingkatkan sehingga pada Repelita III mulai dilaksanakan pemberian imunisasi lengkap yang mencakup vaksinasi BCG, DPT, polio, dan campak. Di samping itu, digalakkan vaksinasi tetanus pada calon pengantin, ibu hamil, serta tetanus dan DT pada anak SD. Angka pencapaian imunisasi tersebut ditingkatkan sehingga pada tahun 1992/93 secara nasional Indonesia telah melampaui sasaran Universal Child Immunization (UCI) dengan cakupan sebesar 89,9 persen. Artinya, sebanyak 89,9 persen dari jumlah bayi yang ada telah mendapat imunisasi lengkap. Sasaran UCI yang ditetapkan WHO secara internasional adalah 80,0 persen. Pada tahun keempat Repelita V, sasaran UCI tersebut tidak saja dicapai ditingkat nasional, tetapi juga oleh 25 propinsi di Indonesia. Pencapaian sasaran UCI tersebut amat penting artinya karena menunjukkan bahwa kegiatan imunisasi yang dilaksanakan selama ini telah mencapai sebagian besar sasaran penduduk yang harus memperoleh perlindungan kekebalan dengan imunisasi.

Pada awal Repelita I jumlah penduduk perkotaan dan perdesaan yang menikmati air bersih masih sangat kecil. Oleh karena itu sejak Repelita I diadakan berbagai upaya untuk memperbesar kapasitas produksi air bersih di perkotaan dan memperluas jaringan distribusinya ke rumah-rumah di daerah perkotaan. Sejak Repelita I sampai Repelita IV untuk daerah perdesaan melalui Inpres Bantuan Sarana Air Bersih telah dibangun ratusan ribu buah sarana air bersih dalam bentuk penampungan mata air dengan perpipaan, penampungan air hujan, perlindungan mata air, sumur artesis, sumur pompa tangan, dan sumur gali, yang tersebar hampir di semua desa.

Dalam Repelita V untuk penyediaan air bersih perdesaan perhatian lebih besar diberikan kepada peran serta masyarakat dalam pencarian sumber air bersih, perencanaan dan pembangunan sarana serta pemanfaatan dan pemeliharaannya. Dengan kebijaksanaan baru ini pembangunan sarana dalam lima tahun terakhir ini sangat dikurangi. Apabila dalam Repelita IV dibangun sekitar 250.000 buah sarana air bersih dari berbagai jenis, dalam Repelita V hanya kurang lebih 32.000 buah untuk berbagai jenis sarana air bersih yang sama. Sarana baru yang mulai dibangun pada tahun 1988/89 adalah sarana hidran umum yang dilengkapi dengan terminal air dan untuk daerah-daerah tertentu dilengkapi juga dengan mobil tangki air. Selama Repelita V telah dibangun 9.703 buah hidran umum. Sarana ini terutama dibangun di kampung-kampung kumuh perkotaan, di desa-desa terpencil, dan di daerah perdesaan yang sulit air bersih.

Program penyehatan lingkungan permukiman terutama ditekankan pada kegiatan penyuluhan kesehatan, pengawasan mutu lingkungan, pembangunan sarana jamban keluarga dan saluran pembuangan air limbah terutama untuk penduduk perdesaan. Untuk mendukung kegiatan penyuluhan tersebut, di sejumlah desa contoh dibangun sarana jamban keluarga dan saluran pembuangan air limbah. Sejak Repelita I sampai Repelita IV telah dibangun lebih dari 1,8 juta buah jamban keluarga dan sekitar 90.000 buah

saluran pembuangan air limbah. Dalam Repelita V telah dibangun 60.581 buah jamban keluarga, dan 7.077 buah saluran pembuangan air limbah.

Pada awal Repelita I, pada umumnya kebutuhan obat-obatan masih harus didatangkan dari luar negeri. Secara berangsur-angsur kebijaksanaan tersebut diarahkan pada pembelian bahan obat-obatan untuk pembuatan obat jadi di dalam negeri. Selanjutnya, industri obat terus berkembang. Bila pada akhir Repelita I industri obat baru berjumlah 157 buah, pada tahun keempat Repelita V jumlahnya telah mencapai 256 buah.

Prioritas program pada Repelita V terutama diarahkan pada pemanfaatan obat generik yang dapat menjangkau rakyat banyak. Untuk itu, dalam rangka menjamin kesinambungan penyediaan obat, produksi dan distribusi serta pelayanan obat generik makin ditingkatkan. Pada saat ini di setiap dati II telah ditunjuk sekurangkurangnya satu apotek yang menyediakan obat generik berlogo secara lengkap.

Upaya untuk meningkatkan kelancaran distribusi dan penyediaan obat sektor pemerintah khususnya untuk puskesmas, dilakukan dengan pembangunan gudang farmasi kabupaten/ kotamadya disertai upaya peningkatan pengelolaannya. Sampai dengan tahun keempat Repelita V, telah dibangun sebanyak 294 gudang farmasi, atau penambahan sebesar 56 persen dari jumlah yang ada pada akhir Repelita IV. Di samping pembangunan gudang farmasi, jumlah apotek yang dibangun swasta juga meningkat dari tahun ke tahun. Sampai tahun keempat Repelita V, jumlah apotek yang telah dibangun adalah sebanyak 3.301 buah; meningkat sebanyak 42 persen dari jumlah yang ada pada akhir Repelita IV, yaitu 2.332 buah.

Pada Repelita V pengawasan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan telah makin ditingkatkan melalui kegiatan, antara lain penilaian mutu dan keamanan produk, pengawasan produksi dan261

peredaran, pengujian laboratorium, standardisasi mutu dan pembinaan produksi dan distribusi. Demikian pula prasarana dan sarana pengawasan, termasuk laboratorium pengujian obat dan makanan di 27 propinsi dan di tingkat pusat telah makin ditingkatkan.

Pada awal Repelita I, jumlah lembaga dan jenis program .pendidikan tenaga kesehatan yang tersedia masih sangat terbatas. Untuk mempercepat penyediaan tenaga kesehatan dasar secara merata di seluruh propinsi diupayakan agar daya tampung lembaga pendidikan dan jumlah lembaga pendidikan tenaga kesehatan dapat ditingkatkan. Sampai akhir Repelita III jumlah lembaga pendidikan tenaga kesehatan adalah sebanyak 248 buah. Jumlah itu bertambah menjadi 394 buah pada akhir Repelita IV. Pada tahun 1992/93 jumlah itu bertambah lagi sehingga menjadi 474 buah. Jumlah lulusan selama Repelita III sebanyak 26.680 orang, meningkat dalam Repelita IV menjadi 70.640 orang dan sampai tahun keempat Repelita V menjadi 88.418 orang. Khusus untuk pendidikan bidan di desa, selama lima tahun yang lalu sampai dengan tahun keempat Repelita V telah berhasil dididik sebanyak 19.400 orang.

Sejalan dengan meningkatnya jumlah lembaga pendidikan, jumlah dan mutu guru terus ditingkatkan. Bila dalam Repelita I jumlah tenaga akademis bidang kesehatan baru berjumlah 2.269 orang, maka pada tahun keempat Repelita V meningkat menjadi 13.170 orang. Selain itu, selama empat tahun Repelita V juga telah dilaksanakan pendidikan program akta bagi 1.159 orang guru/instruktur dan pelatihan untuk pendalaman berbagai bidang studi bagi 3.194 orang guru.

III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN

Pembangunan Nasional dalam bidang kesehatan selama PJP I telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan. Namun, masih banyak permasalahan yang belum dapat dipecahkan sampai akhir PJP I, dan dalam PJP II diperkirakan masih akan dihadapi berbagai permasalahan baru. Untuk itu, perlu dikenali tantangan dan kendala yang akan dihadapi serta peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan.

1. Tantangan

Angka kematian bayi (AKB), sebagai salah satu indikator utama yang menggambarkan derajat kesehatan masyarakat, telah menurun dari 145 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1967 menjadi 63 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990. Walaupun penurunan AKB secara nasional cukup tajam, dibandingkan dengan negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), AKB di Indonesia masih cukup tinggi karena pada tahun yang sama AKB di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura masing-masing adalah 15, 34, 28, dan 8. Selain itu, perbedaan AKB antarpropinsi serta perbedaan antara perkotaan dan perdesaan masih cukup besar. Hasil sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa propinsi yang mempunyai AKB, paling rendah adalah DKI Jakarta, yaitu 35 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan paling tinggi adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu 123 per 1.000 kelahiran hidup. Di samping itu, rata-rata AKB di daerah perkotaan adalah 52 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di daerah perdesaan sekitar 78 per 1.000 kelahiran hidup.

Tingginya AKB, selain disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi, juga disebabkan keadaan kesehatan dan gizi ibu yang rendah selama masa hamil serta rendahnya derajat kesehatan dan gizi wanita pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari masih

263

tingginya angka kematian ibu (AKI) pada waktu melahirkan. Pada tahun 1986 diperkirakan rata-rata AKI nasional adalah sebesar 450 per 100.000 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi daripada AKI di negara-negara ASEAN. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992, AKI diperkirakan menurun menjadi 425 per 100.000 kelahiran hidup. Artinya, sekitar 4 orang ibu meninggal dari setiap 1.000 orang ibu yang melahirkan oleh sebab yang .berhubungan dengan persalinan. Seperti halnya dengan AKB, variasi AKI antarpropinsi cukup besar. Mengingat bahwa masalah yang timbul akibat tingginya AKI ini berkaitan erat dengan fungsi reproduksi wanita yang mempengaruhi kualitas generasi penerus yang dilahirkannya, upaya untuk mempercepat penurunan AKI dan peningkatan derajat kesehatan wanita amat penting dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia.

Angka harapan hidup waktu lahir penduduk Indonesia meningkat cukup berarti. Jika pada tahun 1967 umur harapan hidup baru sebesar 45,7 tahun, pada tahun 1990 meningkat menjadi 61,5 tahun. Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, angka harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia masih lebih rendah.

Berdasarkan berbagai kenyataan di atas, tantangan pembangunan kesehatan dalam Repelita VI dan PJP II adalah meningkatkan derajat kesehatan setiap orang, keluarga, dan masyarakat di Indonesia sehingga sejajar dengan negara tetangga atau dengan negara yang perkembangan sosial ekonominya sebanding.

Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 menunjukkan indikasi adanya beban ganda di bidang kesehatan masyarakat yang harus dihadapi. Di satu pihak tingginya penyakit infeksi masih merupakan masalah, di lain pihak mulai terlihat kecenderungan peningkatan penyakit degeneratif atau penyakit tidak menular yang penyebabnya berhubungan dengan perubahan gaya bidup karena perbaikan kondisi sosial ekonomi.

Di Jawa wabah penyakit malaria masih ditemukan di beberapa daerah di pantai selatan Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur, sedangkan di daerah luar Jawa - Bali, penyakit ini masih belum dapat dikendalikan. Penyebaran penyakit ini terutama tersebar di propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia dan di daerah-daerah transmigrasi di Sumatera. Selain itu, penyakit demam berdarah dengue yang semula hanya tersebar di daerah perkotaan, dalam perkembangan selanjutnya mulai menyebar ke daerah perdesaan sejalan dengan meningkatnya mobilitas penduduk antara kota dan desa.

Pada akhir Repelita V prevalensi penyakit tuberkulosa paru diperkirakan sebesar 2,4 per 1.000. Berarti sekitar 500.000 penduduk terutama yang berusia produktif dan dari kelompok berpenghasilan rendah mengidap penyakit ini. Angka kesakitan penyakit diare juga mengalami peningkatan sehingga pada tahun 1990 menjadi 103,6 per 1.000 balita. Masih tingginya angka kesakitan penyakit diare berkaitan erat dengan keadaan lingkungan yang belum baik dan perilaku masyarakat yang kurang mendukung hidup sehat. Di samping itu, penyakit AIDS juga menunjukkan kecenderungan meningkat dengan cepat. Jika pada tahun 1987 baru dilaporkan 2 kasus AIDS dan 4 kasus HIV positif, pada tahun 1993 meningkat menjadi 42 kasus AIDS dan 130 kasus HIV positif.

Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1986 dan tahun 1992 menunjukkan bahwa terjadi perubahan kecenderungan sebab kematian dari penyakit infeksi ke penyakit tidak menular (degeneratif). Penyakit tidak menular yang cenderung meningkat antara lain penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, penyakit gigi, dan penyakit gangguan jiwa. Selain itu, terlihat pula kecenderungan meningkatnya masalah kesehatan akibat dari kecelakaan, baik kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, maupun kecelakaan di rumah tangga. Hal tersebut menjadi tantangan pula dalam pembangunan kesehatan dalam mengatasi beban ganda di bidang kesehatan masyarakat, yaitu di satu pihak penyakit menular

masih merupakan masalah, terutama pada penduduk miskin, di pihak lain berbagai penyakit degeneratif harus diatasi, padahal sumber daya yang dimiliki masih sangat terbatas.

Indikator lainnya yang memberi gambaran keadaan kesehatan masyarakat adalah keadaan gizi. Walaupun selama PJP I persediaan pangan dalam bentuk energi sudah melebihi kebutuhan rata-rata penduduk, distribusinya belum merata sehingga sebahagian penduduk masih mengonsumsi energi di bawah kebutuhan rata-rata, yaitu 2.100 kilokalori per orang setiap hari. Mereka adalah kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan yang dalam tahun 1990 masih berjumlah 27 juta atau 15 persen dari jumlah penduduk. Di samping itu, masih banyak rumah tangga yang belum terpenuhi kebutuhan gizinya sesuai dengan mutu yang dianjurkan. Hal ini tercermin dari masih tingginya angka penderita berbagai bentuk kekurangan gizi.

Penyakit kekurangan gizi berupa kurang energi protein (KEP), yang dapat menghambat pertumbuhan fisik dan tingkat kecerdasan masih menjangkiti 4 dari 10 anak balita. Di samping itu, lebih dari setengah ibu hamil dan anak balita menderita kekurangan zat besi, sekitar 750.000 anak menderita kretin ("cebol"), dan lebih dari 25 persen murid sekolah dasar menderita pembesaran kelenjar gondok karena gangguan akibat kurang iodium. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan kadar vitamin A dalam serum darah anak balita masih rendah. Keadaan ini berpengaruh terhadap daya tahan tubuh anak sehingga lebih mudah dijangkiti penyakit infeksi yang sering menyebabkan kematian.

Adanya kecenderungan masalah gizi-salah mulai terlihat pada masyarakat perkotaan yang disebabkan oleh perubahan pola makan dan gaya hidup. Makanan mereka cenderung mempunyai kandungan lemak yang tinggi, kadar serat rendah, dan sering tidak seimbang mutu gizinya. Akibat perubahan pola makan dan gaya hidup serta meningkatnya berat badan akan meningkatkan risiko menderita penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung danpembuluh darah, penyakit kencing manis, dan kanker. Adanya masalah gizi kurang yang belum terselesaikan dan munculnya masalah gizi-salah sejalan dengan perubahan pola makan dan perbaikan ekonomi, melahirkan tantangan berikutnya, yaitu mendorong keluarga dan masyarakat agar makin sadar dan mandiri dalam upaya peningkatan status gizi mereka dan mencapai status gizi optimal sebanding dengan peningkatan sosial ekonomi.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan masyarakat. Faktor lingkungan yang penting terutama menyangkut ketersediaan air bersih, fasilitas sanitasi, dan keadaan perumahan. Walaupun telah terjadi peningkatan sarana air bersih selama PJP I, akses terhadap air bersih masih rendah. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyebaran penyakit menular yang disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan dan kualitas air bersih. Rumah tangga yang mempunyai sumber air yang memenuhi syarat, masih jauh dari ideal. Akibat meningkatnya industrialisasi dan urbanisasi, peningkatan pencemaran air dan kelangkaan sumber air akan menjadi masalah di masa datang.

Ketersediaan fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan, masih rendah. Pada tahun 1993 fasilitas sanitasi di daerah perdesaan baru mencapai 33 persen, dan di daerah perkotaan sekitar 69 persen. Selain itu, keadaan fisik perumahan akan mempengaruhi kesehatan penghuninya. Sekitar 9 persen perumahan di daerah perkotaan dan 34 persen di daerah perdesaan masih berlantai tanah, sedangkan rumah yang tidak mempunyai jendela dan tidak ada ventilasi adalah sekitar 3 persen di daerah perkotaan dan 8 persen di daerah perdesaan. Terdapatnya gangguan lingkungan berupa asap, bau limbah pabrik, bau sampah dan air tergenang juga dikeluhkan oleh masyarakat. Hasil pengawasan keadaan kesehatan lingkungan di perkotaan menunjukkan tingginya kontaminasi kuman pada makanan, baik pada pedagang kaki lima, restoran, maupun pada industri makanan rakyat. Pencemaran udara terutama di kota-kota

besar dan daerah industri sudah mulai terjadi dan akan cenderung meningkat di masa datang. Penggunaan pestisida juga makin meningkat dan akibat sampingnya dapat merugikan kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan lingkungan seperti yang diuraikan di atas melahirkan tantangan, yaitu melindungi keluarga dan masyarakat dari gangguan atau bahaya kesehatan karena kualitas lingkungan yang tidak sehat.

Perkembangan dan kemajuan produksi obat di Indonesia telah meningkat dengan pesat. Sekitar 98 persen dari nilai kebutuhan obat nasional telah dapat diproduksi di dalam negeri. Walaupun demikian, sebagian besar kebutuhan bahan bakunya masih harus diimpor. Konsumsi obat perkapita di Indonesia relatif masih rendah, pada tahun 1980 ditaksir sebesar US$ 3.27 per kapita, dan pada tahun 1990 meningkat menjadi sekitar US$ 5.0. Hal ini berkaitan dengan rendahnya kesadaran dan tingkat daya beli masyarakat. Dalam rangka meningkatkan pemakaian obat secara rasional dan optimalisasi penggunaan anggaran obat telah diterapkan penggunaan daftar obat esensial nasional (DOEN) terutama pada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Di masa datang masalah pengawasan akan makin penting meliputi pengawasan obat, obat tradisional, makanan, minuman dan alat kesehatan. Penyalahgunaan obat, narkotika, dan zat adiktif lainnya diperkirakan akan cenderung meningkat.

Tingkat pertumbuhan industri farmasi yang diukur oleh volume produksi terus meningkat, rata-rata 14 persen per tahun. Walaupun demikian, industri farmasi di Indonesia masih menghadapi beberapa masalah, yaitu sebagian besar bahan baku (sekitar 95 persen) masih tergantung pada impor; kapasitas produksi obat yang tersedia relatif lebih tinggi dari daya serap pasar domestik dan belum dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan ekspor; pemanfaatan obat generik yang bermutu tinggi dan harga yang lebih terjangkau oleh masyarakat belum optimal; serta penggunaan obat oleh tenaga kesehatan belum sepenuhnya rasional. Oleh karena itu, tantangan selanjutnya

adalah menjamin tersedianya obat dan alat kesehatan secara merata diseluruh tanah air, terjangkau oleh daya beli masyarakat serta didukung oleh industri farmasi dan alat kesehatan yang maju dan mandiri.

Kebutuhan dan kesadaran masyarakat akan pengobatan makin meningkat. Dari data survei sosial ekonomi nasional (susenas) tahun 1987 terlihat bahwa pola berobat masyarakat adalah 64 persen menggunakan fasilitas modern, 27,4 persen diobati sendiri, 4,4 persen tidak diobati dan 4,2 persen menggunakan pengobatan tradisional. Masalah pengobatan yang dijumpai adalah tidak semua masyarakat mampu melaksanakan pengobatan sendiri dengan benar. Pengambilan keputusan untuk berobat banyak dipengaruhi oleh budaya setempat. Di samping itu, masalah lain yang berpengaruh adalah para pengobat tradisional masih banyak yang belum memiliki pengetahuan kesehatan secara benar, penyebaran obat yang belum merata, biaya pengobatan yang masih tinggi serta belum meratanya jangkauan pelayanan kesehatan rujukan. Karena cakupan pelayanan obat modern masih terbatas, pengembangan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan perlu terus ditingkatkan. Mengingat potensi yang besar dari obat tradisional dan pengobatan tradisional bagi peningkatan kesehatan masyarakat, maka menjadi tantangan untuk meningkatkan pendayagunaan obat tradisional dan cara pengobatan tradisional, baik secara tersendiri maupun terpadu dalam pelayanan kesehatan paripurna sehingga meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan.

Pembiayaan kesehatan di Indonesia secara garis besar dikelompokkan menjadi dua sumber, yaitu pemerintah dan masyarakat atau swasta. Sekitar 70 persen pembiayaan kesehatan berasal dari masyarakat, termasuk swasta. Cakupan berbagai bentuk asuransi kesehatan masih terbatas, yaitu sekitar 12 persen dari total penduduk. Walaupun anggaran kesehatan terus meningkat, jumlahnya masih belum memadai dibandingkan dengan kebutuhan. Peranan masyarakat dan swasta dalam pembiayaan

kesehatan masih perlu terus digali dan diarahkan, terutama untuk mendukung upaya kesehatan preventif dan promotif. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan berkembangnya industri serta meningkatnya kebutuhan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu akan merangsang pelayanan kesehatan oleh pihak swasta, terutama untuk pelayanan pengobatan (kuratif), yang mungkin lebih berorientasi kepada pertimbangan komersial. Oleh karena itu, merupakan tantangan pula meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dunia usaha, dalam pembiayaan pemeliharaan kesehatan paripurna dengan titik berat pada upaya pelayanan kesehatan pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif) serta dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu.

Berbagai perubahan dalam kependudukan, pendidikan dan sosial budaya, akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan keadaan kesehatan dalam PJP II dan Repelita VI. Meningkatnya jumlah kelompok usia remaja wanita akan membawa implikasi terhadap masalah kesehatan yang mereka hadapi, terutama bagi remaja wanita sebagai calon ibu, di samping masalah kesehatan yang diakibatkan oleh arus globalisasi seperti penyalahgunaan obat dan narkotika serta penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Selain itu, meningkatnya jumlah kelompok lanjut usia, selain memberikan potensi untuk mendapatkan manfaat dari keahlian dan pengalaman mereka, juga membawa implikasi munculnya masalah kesehatan yang akan membutuhkan teknologi dan biaya tinggi. Untuk mengatasi semua permasalahan tersebut di atas diperlukan pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup sehat setiap penduduk sehingga dapat memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia di sekitar mereka.

Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam kesehatan yang selanjutnya akan berdampak terhadap derajat kesehatan. Untuk dapat menerima dan memanfaatkan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), dalam bidang kesehatan dan gizi tingkat pendidikan minimal adalah tamat sekolah dasar (SD) atau madrasah ibtidaiyah. Tingkat pendidikanwanita terutama di daerah perdesaan berdampak besar terhadap perilaku hidup sehat masyarakat. Dengan memperhitungkan tingkat pendidikan masyarakat terutama di perdesaan masih rendah, KIE kesehatan yang akan disampaikan harus direncanakan dengan baik, yang meliputi isi, metode, maupun saluran yang akan digunakan dalam KIE tersebut.

Faktor sosial budaya akan turut mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Beberapa perilaku konsumsi masyarakat yang kurang menunjang kesehatan antara lain kebiasaan mengonsumsi tembakau dan minum alkohol. Kebiasaan lain yang kurang menunjang kesehatan adalah kecenderungan mengonsumsi makanan yang mengandung lemak tinggi, pemakaian obat terlarang, dan meningkatnya stress akibat tekanan kehidupan. Berbagai perkembangan di atas akan mempengaruhi jenis masalah kesehatan yang akan dihadapi, bentuk pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, mengembangkan setiap pribadi, keluarga, dan masyarakat agar dapat berperilaku hidup sehat dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal merupakan tantangan pula bagi pembangunan kesehatan.

2. Kendala

Untuk menghadapi tantangan seperti diuraikan di atas, dalam Repelita VI akan dijumpai beberapa kendala. Persebaran tenaga kesehatan pada berbagai unit pelayanan kesehatan belum merata, mulai dari puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit dati II, terutama di kawasan timur Indonesia. Selain itu, pelaksanaan sistem rujukan pelayanan kesehatan belum mantap mulai dari masyarakat ke posyandu, puskesmas pembantu, puskesmas perawatan, dan rumah sakit serta kurangnya dukungan sarana penunjang seperti laboratorium, sarana transportasi dan komunikasi. Kendala lainnya menyangkut kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam membiayai upaya pelayanan kesehatan masih terbatas, serta kemampuan ekonomi masyarakat masih

271rendah. Selain itu, upaya penggerakkan dana dari masyarakat terutama untuk upaya pelayanan kesehatan promotif, preventif dan pemberian pelayanan kesehatan yang bermutu, belum berkembang.Dalam hal penyediaan obat dan alat kesehatan kendalanya adalah sebagian besar bahan baku obat untuk keperluan industri farmasi dan peralatan kesehatan masih tergantung dari impor. Kendala lain adalah kurang efektifnya pemasyarakatan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan, sehingga pengetahuan dan kepatuhan masyarakat dan petugas kesehatan tentang prosedur, persyaratan dan standar pelayanan kesehatan masih terbatas. Bagi daerah yang kondisi geografisnya sulit dijumpai kendala berupa terbatasnya sarana transportasi dan fasilitas komunikasi. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sehingga kemampuan untuk menyerap informasi penyuluhan kesehatan rendah, penerimaan terhadap konsep pengobatan modern lambat, dan kemampuan untuk menerapkan perilaku hidup sehat terbatas, merupakan kendala umum yang perlu diperhatikan dalam pembangunan kesehatan dalam PJP II.

3. Peluang

Peluang pembangunan kesehatan pada dasarnya merupakan keseluruhan sumber yang dimiliki oleh sektor kesehatan dan sektor lain yang berkaitan selama PJP I, baik yang efektif maupun potensial, dan akan didayagunakan pada PIP II. Peluang tersebut, antara lain, makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pola hidup sehat serta pentingnya lingkungan hidup yang sehat dan berkembangnya kewaspadaan dini terhadap bahan berbahaya akan sangat menunjang pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Peluang lainnya adalah berupa perluasan jangkauan pelayanan kesehatan yang makin mantap karena tersebarnya pembangunan sarana kesehatan secara merata dan penambahan tenaga kesehatan termasuk bidan di desa di seluruh pelosok tanah air. Ini terlihat

dari membaiknya rasio puskesmas dengan penduduk, rasio tenaga dokter yang bekerja di puskesmas, rasio dokter gigi dengan puskesmas, dan rasio tenaga paramedis perawatan dan bidan dengan puskesmas. Jumlah rumah sakit pada akhir Repelita I sebanyak 1.116 buah meningkat menjadi 1.638 buah pada tahun 1992/93, sedangkan jumlah tempat tidur meningkat dari 81.753 buah menjadi 123.441 buah. Perluasan jangkauan tersebut tercermin dari cakupan pelayanan kesehatan yang makin tinggi.

Peluang selanjutnya yang mendukung pembangunan kesehatan adalah perubahan kependudukan menunjukkan hal-hal yang menggembirakan, karena laju pertumbuhan penduduk sudah dibawah 1,7 persen per tahun, jumlah anggota rumah tangga rata-rata adalah 4,5 orang (1990) dan golongan balita jumlah dan persentasenya cenderung menurun. Di samping itu, pendidikan masyarakat makin meningkat, terlihat dari tingginya angka melek huruf, partisipasi murni sekolah anak-anak berusia 7-12 tahun serta makin meningkatnya anak-anak yang dapat menamatkan pendidikan tingkat SD, sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), dan akademi/universitas. Peluang berikutnya adalah makin meningkatnya pendapatan per kapita diikuti oleh penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin secara bermakna.

Komunikasi, informasi, dan transportasi yang makin membaik juga memberi peluang untuk mempercepat pencapaian pemerataan pelayanan kesehatan. Kemajuan di bidang teknologi pertanian berupa penerapan bioteknologi pertanian ditunjang dengan peningkatan upaya pertanian lainnya diharapkan dapat mempertahankan swasembada pangan, meningkatkan kuantitas dan kualitas bahan makanan sehingga dapat meningkatkan status gizi masyarakat. Peluang lainnya adalah hasil berbagai upaya deregulasi, debirokratisasi dan desentralisasi di bidang kesehatan sehingga lebih memantapkan pengelolaan upaya kesehatan. Dengan demikian, penanggulangan masalah akan lebih spesifik untuk setiap propinsi atau wilayah tertentu sehingga akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah setempat.

Meningkatnya peran serta masyarakat, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi profesi, termasuk swasta dalam hal pengorganisasian, penggerakan dan pendanaan kegiatan kesehatan merupakan peluang yang terus dimantapkan. Begitu pula halnya dengan berbagai upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh sektor di luar kesehatan, baik oleh Departemen Tenaga Kerja (kesehatan dan keselamatan kerja), Departemen Pertanian (pelayanan kesehatan di perkebunan), Departemen Dalam Negeri (rumah sakit dan puskesmas), Departemen Pekerjaan Umum (penyediaan air bersih dan sanitasi), termasuk pelayanan kesehatan di daerah permukiman baru (Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan), maupun oleh sektor-sektor lainnya. Selain itu, kegiatan lintas sektor dalam upaya perbaikan gizi dan penyehatan lingkungan, dan pencegahan serta penanggulangan penyakit amat berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan.

IV. ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN

1. Arahan GBHN 1993

Pembangunan kesehatan diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia serta kualitas kehidupan dan usia harapan hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat, serta untuk mempertinggi kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat. Perhatian khusus diberikan kepada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, daerah kumuh perkotaan, daerah perdesaan, daerah terpencil dan kelompok masyarakat yang hidupnya terasing, daerah transmigrasi, serta daerah permukiman baru.

Pengelolaan kesehatan yang terpadu perlu lebih dikembangkan agar dapat lebih mendorong peran serta masyarakat, termasuk dunia usaha, dalam pembangunan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan ditingkatkan dan jangkauan serta kemampuannya

diperluas agar masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah, dapat menikmati pelayanan yang berkualitas dengan terus memperhatikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran secara serasi dan bertanggung jawab.

Pengadaan dan peningkatan sarana kesehatan perlu terus dikembangkan. Tenaga kesehatan dan tenaga penunjang kesehatan lainnya ditingkatkan kualitas dan kemampuannya serta persebarannya terus diupayakan agar merata dan menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Penyediaan obat dan alat kesehatan yang makin merata dengan harga yang terjangkau oleh rakyat banyak ditingkatkan melalui pengembangan industri peralatan kesehatan dan industri farmasi yang makin maju dan mandiri, yang didukung oleh industri bahan baku obat yang andal melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Upaya perbaikan kesehatan masyarakat terus ditingkatkan antara lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan permukiman, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan, serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Perlindungan terhadap bahaya penyalahgunaan obat, zat adiktif, dan narkotika, terutama bagi generasi muda, serta pencemaran lingkungan perlu diberikan perhatian khusus, juga pengawasan ketat terhadap obat, makanan dan minuman. Penelitian dan pengembangan kesehatan perlu terus dilanjutkan antara lain untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan baik oleh Pemerintah maupun dengan peran serta masyarakat harus mengindahkan prinsip kemanusiaan dan kepatutan dengan memberikan perhatian khusus kepada fakir miskin, anak-anak dan penduduk usia lanjut yang terlantar. Semua usaha untuk mewujudkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat perlu dikembangkan dengan upaya memasyarakatkan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat berdasarkan prinsip gotong-royong.

Pengobatan tradisional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan terus dibina dalam rangka perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan. Pemeliharaan dan pengembangan pengobatan tradisional sebagai warisan budaya bangsa terus ditingkatkan dan didorong usaha pengembangannya melalui penggalian, penelitian, pengujian, dan pengembangan serta penemuan obat-obatan, termasuk budi daya tanaman obat tradisional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan.

2. Sasaran

a. Sasaran PJP II

Sasaran pembangunan kesehatan dalam PJP II sesuai amanat GBHN 1993 adalah terselenggaranya pelayanan kesehatan yang makin bermutu dan merata yang mampu mewujudkan manusia yang tangguh, sehat, cerdas, dan produktif.

Dalam rangka itu, pada akhir PJP.II dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sasaran yang akan dicapai adalah angka harapan hidup waktu lahir meningkat menjadi 70,6 tahun, angka kematian kasar menurun menjadi 7,4 per 1.000 penduduk, angka kematian bayi menurun menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup, angka kematian balita (04 tahun) menurun menjadi 40 per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian ibu melahirkan menurun menjadi 80 per 100.000 kelahiran hidup.

Sasaran lainnya menyangkut keadaan gizi masyarakat. Diharapkan bahwa persentase anak balita yang menderita KEP total dengan menggunakan parameter berat badan dibandingkan dengan umur (BB/U) menurun menjadi 5 persen, dan persentase bayi dengan berat badan lahir rendah menurun menjadi 6 persen (Tabel 35-1). Di samping itu, persentase anemia gizi besi diturunkan menjadi 9 persen pada ibu hamil dan 10 persen pada tenaga kerja, sedangkan untuk gangguan akibat kurang iodium (GAKI) diturunkan menjadi 9 persen, serta anak balita terbebas dari kurang vitamin A.

TABEL 351SASARAN PEMBANGUNAN KESEHATANDALAM PJP II

AkhirPJP II

Jenis SasaranSatuanRepelita V 1)Akhir

Repelita VIAkhir

Repelita VIIAkhir

Repelita VIIIAkhir

Repelita IX .Akhir

Repelita X

1. Angka harapan hidup

waktu lahirtahun62.764.666.367.869.370.6

2. Angka kematian kasarper 1.000

penduduk7.97.5727.17.17.4 2)

3. Angka kematian bayiper 1.000

kelahiran hidup585043373126

4. Angka kematian ibu

melahirkanper 100.000

kelahiran hidup425225189143108.80

5. Penderita kurang energi

protein (KEP) total

pada anak balita%40.030.021.016.012.05.0

6. Berat badan bayi Iahir

rendah %15.010.09.08.07.06.0

Catatan : 1) Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V) 2) Angka kematian kasar meningkat lagi karena pengaruh susunan umur penduduk yang makin tua

b. Sasaran Repelita VI

Sasaran pembangunan kesehatan dalam Repelita VI sesuai dengan amanat GBHN 1993 adalah meningkatnya derajat kesehatan melalui peningkatan kualitas dan pemerataan pelayanan kesehatan yang makin menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Sasaran tersebut dijabarkan lebih lanjut pencapaiannya dalam berbagai sasaran sebagai berikut: angka harapan hidup waktu lahir meningkat menjadi 64,6 tahun, angka kematian kasar menurun menjadi 7,5 per 1.000 penduduk, angka kematian bayi menurun menjadi 50 per 1.000 kelahiran hidup. Khusus untuk bayi muda (neonatus), kematian karena tetanus neonatorum dalam Repelita VI dapat ditiadakan sama sekali. Sasaran lainnya adalah angka kematian balita (0-4 tahun) diturunkan menjadi 66 per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian ibu melahirkan diturunkan menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup.

Sasaran keadaan gizi masyarakat yang dicapai pada akhir Repelita VI adalah persentase anak balita yang menderita KEP total menurun menjadi 30 persen, persentase bayi dengan berat badan lahir rendah menurun menjadi 10 persen (Tabel 35-2). Anemia gizi besi diturunkan menjadi 40 persen pada ibu hamil dan 20 persen pada tenaga kerja, dan anak balita menurun menjadi 40 persen. Prevalensi GAKI menurun menjadi 18 persen, dan bebas dari masalah kretin baru. Selain itu, kurang vitamin A pada anak balita turun menjadi 0,1 persen.

3. Kebijaksanaan

Sebagai penjabaran dari arah yang ditetapkan GBHN 1993 maka ditetapkan tujuan-tujuan pokok pembangunan kesehatan dalam Repelita VI. Pertama, peningkatan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk mengembangkan perilaku kemandirian dan hidup sehat serta melaksanakan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera; kedua, perbaikan mutu lingkungan hidup/permukiman

TABEL 35-2SASARAN INDIKATOR PEMBANGUNAN KESEHATAN1994/95 - 1998/99

Janis SasaranSatuan AkhirRepelita VI

Repelita V *)

1994/95 1995/961998/971997/981998/99

1. Angka harapan hidup

waktu lahirtahun82.783.183.563.964.364.6

2. Angka kematian kasarper 1.000

penduduk7.97.87.77.87.57.5

3. Angka kematian bayiper 1.000

kelahiran hidup585755545250

4. Angka kematian Ibu

melahirkanper 100.000

kelahiran hidup425385335285280225

5. Penderita kurang energi

protein (KEP) total pada

anak balita%4040: 38353230

6. Berat badan bayi lahir rendah%151.3121110.510

Catatan : *) Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V)

yang dapat menjamin hidup sehat; ketiga, perbaikan status gizi yang diarahkan pada peningkatan kemampuan fisik dan intelegensia serta produktivitas kerja; keempat, pengurangan angka kesakitan, kecacatan dan angka kematian; kelima, peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, terjangkau dan dapat diterima oleh masyarakat. Untuk mencapai tujuan pokok tersebut maka disusun kebijaksanaan pembangunan kesehatan dalam Repelita VI, yaitu sebagai berikut.

a. Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan ditingkatkan pemerataan dan mutunya. Titik berat diletakkan pada pelayanan kesehatan dasar, sebagai upaya terpadu, yang diselenggarakan melalui puskesmas, puskesmas pembantu, bidan di desa dan balai pengobatan lainnya serta pelayanan rujukan melalui rumah sakit kabupaten. Melalui peningkatan pelayanan kesehatan diharapkan terjadi penurunan angka kematian bayi, balita, dan anak serta angka kematian ibu (AKI), dan perbaikan status gizi anak dan keluarga. Mengingat penyebab utama rendahnya derajat kesehatan ialah penyakit menular, prioritas utama diberikan pada upaya penanggulangan penyakit menular. Perhatian khusus diberikan pada penyakit degeneratif yang cenderung meningkat.

Dalam pengentasan penduduk dari kemiskinan, prioritas tinggi diberikan kepada peningkatan kualitas program-program yang telah ada, terutama yang ditujukan bagi penduduk dan desadesa yang miskin, yaitu kegiatan pelayanan kesehatan dasar melalui puskesmas pembantu dan bidan di desa. Perhatian khusus diberikan kepada fakir miskin, anak, dan penduduk usia lanjut yang terlantar. Peningkatan kualitas yang dimaksud termasuk penempatan bidan di desa, pembangunan puskesmas pembantu lengkap dengan sarananya, penyediaan air bersih, pemberian makanan tambahan bagi balita dan anak SD yang kekurangan gizi dan penyehatan lingkungan. Lebih penting lagi, pendekatan

penyelenggaraannya berorientasi kepada desa dengan peningkatan peranan masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat dalam pembinaan dan penyuluhan secara optimal.

Dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja dan berlanjutnya industrialisasi dan pembangunan ekonomi, yang berkaitan erat dengan urbanisasi, maka perhatian yang lebih besar diberikan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang tinggi, antara lain melalui berbagai upaya pelayanan kesehatan kerja termasuk perbaikan gizi dan kebugaran jasmani tenaga kerja serta upaya kesehatan lain yang menyangkut kesehatan lingkungan kerja dan lingkungan permukiman, terutama bagi penduduk yang tinggal di daerah kumuh.

Pengembangan iptek di bidang kesehatan didorong untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan gizi, produksi dan pendayagunaan obat, pengobatan tradisional termasuk bahan bakunya, agar lebih bermutu dan berguna bagi kepentingan masyarakat banyak, dan dilaksanakan dengan memperhatikan etika penelitian yang berlaku dalam masyarakat. Pemahaman, penerimaan dan penggunaan obat dan pengobatan tradisional oleh tenaga kesehatan dan masyarakat ditingkatkan sehingga merupakan bagian terpadu dari pelayanan kesehatan. Penelitian yang berkaitan dengan ekonomi kesehatan dikembangkan untuk mengoptimalkan pembiayaan kesehatan yang masih terbatas serta pada penelitian bidang sosial budaya yang berkaitan dengan masalah kesehatan masyarakat.

b. Peningkatan Status Gizi Masyarakat

Status gizi masyarakat ditingkatkan melalui upaya perbaikan gizi. Upaya diarahkan pada kelompok masyarakat dengan resiko tinggi seperti anak balita, wanita usia produktif, wanita hamil, dan ibu menyusui serta golongan usia lanjut. Perhatian lebih besar diberikan pada upaya meningkatkan pemanfaatan aneka ragam bahan pangan, terutama ikan, sayuran, dan buah-buahan untuk peningkatan status gizi serta pencegahan dan penanggulangan penyakit gangguan gizi.

c. Peningkatan Peran Serta Masyarakat, Swasta dan Organisasi Profesi

Penyuluhan kesehatan diarahkan untuk membudayakan perilaku hidup sehat dan menciptakan lingkungan hidup yang bersih bagi pribadi, keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan melalui upaya pencegahan penyakit (preventif) dan peningkatan derajat kesehatan (promotif). Melalui upaya ini ditingkatkan pula kemampuan pencegahan terhadap penyakit-penyakit yang disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan perilaku, seperti AIDS, kanker, penyakit jantung, dan pembuluh darah, alkoholisme, kecelakaan lalu lintas, dan penyakit lain sebagai akibat pencemaran lingkungan. Upaya pencegahan antara lain dilakukan dengan menyampaikan informasi melalui berbagai media elektronik dan cetak serta forum pertemuan dengan melibatkan masyarakat dan dunia usaha. Persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan modern diperbaiki sehingga sarana pelayanan kesehatan yang telah disediakan lebih dimanfaatkan.

Peranan dunia usaha dalam pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan ditingkatkan melalui upaya-upaya seperti imunisasi, penyediaan sarana air bersih, penyehatan lingkungan permukiman serta sarana kebugaran jasmani, selain upaya kuratif melalui pendirian rumah sakit. Di pihak lain peran serta masyarakat baik yang melalui posyandu maupun yang melalui program pelayanan kesehatan lainnya, tetap mendapatkan perhatian bahkan makin dikembangkan untuk menjamin kesinambungannya.Mobilisasi dana untuk pembiayaan kesehatan dikembangkan agar lebih seimbang dan serasi antara subsidi yang diberikan oleh pemerintah dengan biaya yang dibebankan kepada masyarakat. Upaya ini terutama menyangkut mobilisasi dana potensial untuk pemeliharaan kesehatan dengan cara penyelenggaraan berdasarkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM), dan penyesuaian tarif pelayanan, tanpa merugikan penduduk miskin. Pendapatan yang diperoleh oleh Pemerintah dari institusi pelayan

kesehatan dikembalikan sepenuhnya untuk membiayai usaha meningkatkan mutu pelayanan dan menolong penduduk miskin. Untuk memacu peran masyarakat dalam pelayanan kesehatan, kepada pihak swasta, terutama yang melaksanakan kegiatan nirlaba diberikan kemudahan dalam hal perizinan, bantuan tenaga, dan kemudahan lainnya.

Peranan organisasi profesi dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan ditingkatkan terutama yang menyangkut penyusunan dan penggunaan standar profesi serta penerapan kode etik untuk mencapai hasil guna dan daya guna yang optimal. Organisasi profesi didorong berperan lebih aktif membantu pemerintah dalam perumusan kebijaksanaan dan pengelolaan pembangunan kesehatan. Organisasi profesi berfungsi pula dalam memberikan pendapat dan masukan melalui Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional dan memberikan pertimbangan terhadap tenaga dan penggunaan sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan melalui Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

d. Peningkatan Manajemen Upaya Kesehatan

Pengelolaan upaya kesehatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai ke penilaian, diselenggarakan secara terpadu, menyeluruh, dinamis dan didukung oleh sistem informasi kesehatan yang mantap sehingga lebih mencerminkan pemerataan yang dapat menjangkau kebutuhan pelayanan kesehatan sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat.

Desentralisasi atas dasar prinsip otonomi yang nyata, dinamis, serasi dart bertanggung jawab dipercepat melalui pelimpahan tanggung jawab pengelolaan pelayanan kesehatan kepada dati II. Dengan demikian, pemerintah daerah makin bertanggung jawab dalam perencanaan dan pembiayaan upaya pelayanan kesehatan serta lebih bermotivasi untuk secara bertahap mencukupi kebutuhan investasi, biaya operasional dan pemeliharaan pelayan kesehatan di

283

daerahnya, termasuk dengan dana yang berasal dari penerimaan melalui fasilitas kesehatan.

Penyediaan, pengelolaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan yang bermutu dioptimasikan, khususnya untuk tenaga yang berkaitan langsung dengan penanggulangan kematian ibu dan bayi seperti bidan di desa, dokter puskesmas dan tenaga spesialis kebidanan dan kandungan serta spesialis anak di rumah sakit kabupaten sebagai sarana rujukan pertama. Selain itu, dilakukan pula optimasi penyediaan, pengelolaan dan penggunaan sarana kesehatan termasuk obat dan slat kesehatan sesuai dengan kebutuhan nyata.

V. PROGRAM PEMBANGUNAN

Untuk mencapai tujuan dan sasaran serta didasarkan pada kebijaksanaan pembangunan kesehatan tersebut di atas, dalam Repelita VI program pembangunan kesehatan yang akan dilaksanakan secara terkoordinasi dengan pembangunan bidang lainnya serta mengikutsertakan masyarakat dan dunia usaha adalah sebagai berikut.

1. Program Pokok

a. Program Penyuluhan Kesehatan Masyarakat

Tujuan program ini adalah meningkatnya pengetahuan, kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup bersih dan sehat serta meningkatnya peran serta aktif masyarakat termasuk dunia usaha, dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Sasaran program ini adalah (1) membudayanya perilaku hidup sehat dan hidup bersih bagi pribadi, keluarga dan masyarakat umum sehingga dapat memberikan dampak yang bermaknaterhadap derajat kesehatan; (2) meningkatnya pengertian tentang pencegahan dan pengobatan terhadap berbagai penyakit yang disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan perilaku seperti AIDS, kanker, penyakit jantung dan pembuluh darah, ketergantungan obat dan minuman keras, dan lain-lain sehingga angka kesakitan untuk penyakit tersebut minimal dapat dipertahankan sama dengan keadaan pada akhir Repelita V; (3) meningkatnya peranan swasta/dunia usaha dalam berbagai upaya pembangunan kesehatan terutama pelayanan kesehatan pencegahan dan peningkatan derajat kesehatan, yang selama ini masih lebih banyak dibiayai Pemerintah, seperti balai imunisasi, penyemprotan rumah untuk pemberantasan malaria, pengasapan (fogging) untuk penanggulangan demam berdarah, penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan permukiman, serta peningkatan kebugaran jasmani; (4) meningkatnya kreativitas, produktivitas, dan peran generasi muda dalam mengatasi masalah kesehatan diri, lingkungan, dan masyarakatnya dengan memfungsikan remaja husada, taruna husada, dan sebagainya sebagai promotor dan pelaku upaya kesehatan di 50 persen dati II; (5) meningkatnya dan lebih rasionalnya pengeluaran pembiayaan kesehatan yang berasal dari masyarakat termasuk swasta, terutama melalui penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang dibiayai secara praupaya dan dikelola berdasarkan JPKM.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas, kegiatan program ini sebagai berikut.

1) Penyebarluasan Informasi Kesehatan

Kegiatan ini meliputi pengkajian keadaan sosial budaya kesehatan, sistem komunikasi, dan teknologi yang tepat dalam pengembangan masyarakat; pengembangan, penciptaan, dan penyebarluasan bahan penyuluhan kesehatan melalui media massa, penyuluhan individu dan kelompok; peningkatan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan media massa agar pesan kesehatan menjadi bagian terpadu dari pesan pembangunan285nasional; pengintensifan penyuluhan kesehatan terutama kepada keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat dengan memanfaatkan lembaga swadaya masyarakat, serta pemberian dorongan kepada masyarakat dalam menyebarluaskan cara memecahkan masalah kesehatan, terutama dalam keadaan darurat, seperti pada saat terjadinya wabah dan bencana alam.

2) Pengembangan Potensi Swadaya Masyarakat di Bidang Kesehatan

Kegiatan ini meliputi pengembangan sikap, kemampuan, dan motivasi lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan lainnya dalam pembudayaan hidup sehat; pengembangan, penciptaan dan penyebarluasan metodologi pengembangan masyarakat melalui Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), organisasi kemasyarakatan dan kelompok potensial lainnya; pembinaan iklim yang kondusif untuk membangkitkan prakarsa yang berasal dari masyarakat; pengembangan kerja sama yang saling menguntungkan antara pemerintah dan masyarakat berpenghasilan tinggi guna pengembangan derajat kesehatan kelompok masyarakat miskin; serta pengembangan kelompok-kelompok keluarga mandiri sebagai teladan bagi masyarakat lain dilingkungannya.

3) Pengembangan Penyelenggaraan Penyuluhan

Kegiatan ini dilaksanakan melalui pengembangan sikap, kemampuan, dan motivasi petugas kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dalam bidang penyuluhan; pembinaan dan pengembangan tenaga penyuluh kesehatan, baik tenaga struktural maupun fungsional; pembentukan jaringan kerja sama yang dinamis antara unit penyuluhan dan institusi pendidikan serta dengan unit penelitian dan pengembangan; serta pembentukan kemitraan antara pemerintah, kelompok profesi dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam penyelenggaraan penyuluhan.

b. Program. Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Program ini merupakan suatu program pelayanan dasar terpadu yang ditujukan untuk lebih memperluas cakupan dan sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dasar serta menumbuh kembangkan sikap dan kemandirian dalam pemeliharaan kesehatan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Pendekatan pelayanan kesehatan dasar lebih bersifat pencegahan dan peningkatan kesehatan yang diselenggarakan secara serasi dengan kegiatan pengobatan dan pemulihan.

Sasaran program ini adalah menurunnya angka kesakitan pada kelompok berisiko tinggi, yaitu ibu, bayi, dan anak balita, anak usia sekolah pendidikan dasar dan kelompok usia lanjut serta penduduk di desa miskin dan terpencil secara keseluruhan; meningkatnya kemampuan puskesmas dalam membina dan menggerakkan masyarakat untuk membangun lingkungan dan perilaku hidup sehat; serta meningkatnya jumlah tenaga dan sarana pelayanan kesehatan masyarakat sehingga terpenuhi standar yang memadai.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas, dilaksanakan kegiatan sebagai berikut.

1) Pelayanan Kesehatan Keluarga

Tujuan kegiatan ini adalah untuk mewujudkan hidup sehat di lingkungan keluarga dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Prioritas pelayanan kesehatan keluarga diarahkan untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan kontrasepsi, pemeliharaan anak dan ibu sesudah persalinan, perbaikan gizi dan pemberian imunisasi, serta pelayanan kesehatan bagi kelompok usia lanjut. Sasaran kesehatan keluarga adalah meningkatnya kesehatan kelompok usia subur melalui peningkatan cakupan pelayanan kontrasepsi dengan metode efektif terpilih (kontap, IUD, implant dan suntikan) pada akseptor baru

menjadi 70 persen dan deteksi dini untuk mengurangi efek samping pada pasangan usia subur (PUS). Di samping itu, akan ditingkatkan status gizi wanita usia produktif; meningkatnya cakupan pemeriksaan ibu hamil menjadi 90 persen dan sekaligus peningkatan cakupan imunisasi TT2 menjadi 85 persen. Selain itu, ditingkatkan pula pemberian tablet besi pada ibu hamil sehingga mencakup 85 persen ibu hamil. Khusus di daerah gondok endemis semua ibu hamil tercakup distribusi kapsul iodium. Sasaran selanjutnya adalah meningkatnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan menjadi 55 persen dan oleh tenaga terlatih menjadi 75 persen, dan cakupan pemeliharaan pascapersalinan bagi ibu menyusui termasuk pemberian vitamin A dosis tinggi dan tablet besi menjadi 80 persen; meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan usia lanjut pada puskesmas, secara paripurna sesuai dengan standar minimal mencapai sekitar 50 persen; meningkatnya kegiatan rujukan ibu hamil yang melahirkan dengan risiko tinggi dari puskesmas ke rumah sakit kabupaten menjadi sekitar 50 persen (Tabel 35-3). Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, pelayanan kesehatan keluarga meliputi pelayanan kesehatan bagi usia subur, pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan balita dan anak prasekolah serta pelayanan kesehatan bagi usia lanjut.

2) Pelayanan Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja

Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kehidupan dan lingkungan hidup, baik di dalam maupun di luar sekolah, dan mempertinggi kesadaran akan pentingnya hidup bersih dan sehat.

Sasaran kegiatan pelayanan kesehatan usia sekolah adalah tercakupnya semua sekolah oleh kegiatan usaha kesehatan sekolah (UKS); tercakupnya pelayanan kesehatan bagi anak luar biasa dan anak putus sekolah sebesar 80 persen; meningkatnya jumlah kader kesehatan sekolah dan kader kesehatan remaja pada 75 persen sekolah yang ada. Kegiatannya meliputi kegiatan di lingkungan sekolah dan di luar lingkungan sekolah.

TABEL 353

SASARAN PEMBANGUNAN KESEHATAN 1984/951998/99

Jenis SasaranSatuanAkhlrRepelita VI

Repelita V *)1994/951998/99

(1)(2)(3)(4)(5)

1. Pelayanan Kesehatan Masyyarakat

a.Peningkatan cakupan pelayanan kontrasepsi dengan metode efektif%888770

b.Cakupan pemeriksaan ibu hamil frekwensi minimum 4 kali%818390

c.Cakupan imunisasi TT2 ibu hamil%848785

d.Pemberian tablet besi kepada ibu hamil%838585

e.Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan%505055

f.Pertolongan persalinan oleh tenaga terlaith%858575

g.Cakupan pemeliharaan pasca persalinan bagi ibu menyusui%707080

h.Pelayanan kesehatan usia lanjut pada puskesmas%353850

i.Kegiatan rujukan ibu hamil yang melahirkan dengan risiko tinggi%202050

2. Pencegahan dan Pemberantasan Penyaklt

a.Cakupan imunisasl untuk semua jenis antigen%757880

terhadap bayi pada setiap kecamatan.

b.Penurunan angka kesakitan penyakit polio%83.67090.0

c.Penurunan angka kesakitan tetanus neonatorum%414890.0

d.Penurunan angka kesaktan difteri%38.84880.0

e.Penurunan angka kesakitan penyakit pertusis%425080.0

f.Penurunan angka kesakitan campak%80.788.790.0

g.Angka kesakitan penyakit tuberkulosa peruper 1.000 penduduk2.42.352.2

h.Angka kesakitan penyakit malaria di Jawa dan Baliper 1.000 penduduk1.00.80.1

i.Angka kesakitan penyakit malaria di luar Jawa dan Baliper 1.000 penduduk40.038.030

j.Angka kesakitan penyakit demam berdarah di kecamatan endemikper 1.000 penduduk0.50.50.3

k. Angka kesakitan diare pada semua umurper 1.000 penduduk330320280

I. Demam keong daerah endemic%1.41.41

3. Pembinaan Pengobatan Tradisional

a Pembentukan sentra pengembangan dan penerapansentra112

pengobatan tradisional

b. Pemantapan organisasl dan pola pengobatan traditionaldati II30300

4. Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih

a. Cakupan penggunaan air bersih di perkotaan%808090

b. Cakupan penggunaan air bersih di perdesaan%505080

Catatan : *) Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V)

Di lingkungan sekolah, kegiatan peningkatan pelayanan kesehatan usia sekolah dilaksanakan melalui pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sekolah yang sehat. Pendidikan kesehatan dilaksanakan secara intra dan ekstrakurikuler termasuk pelatihan kader UKS. Kegiatan pelayanan kesehatan meliputi penjaringan masalah kesehatan; pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi seluruh peserta didik dan guru; perbaikan gizi peserta didik terutama bagi murid SD di desa tertinggal termasuk pembinaan warung sekolah; pencegahan penyakit berupa imunisasi bagi murid kelas I dan murid wanita kelas VI SD; dan pengobatan serta rujukan. Pembinaan lingkungan sekolah yang sehat, meliputi pembinaan lingkungan sekolah, baik fisik maupun sosial yang dilaksanakan secara lintas sektor. Pelaksanaan kegiatan tersebut didukung oleh pembinaan manajemen bagi petugas, antara lain berupa pelatihan petugas di setiap jenjang administrasi. Di luar lingkungan sekolah, kegiatannya meliputi deteksi dini dan pelayanan kesehatan terhadap anak luar biasa, anak putus sekolah, dan anak usia sekolah di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan.

3) Pelayanan Kesehatan Kerja

Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kerja paripurna bagi masyarakat pekerja dari berbagai sektor dan meningkatkan kemampuan tenaga kerja untuk menolong dirinya sendiri terhadap ancaman, gangguan, dan risiko akibat kerja.

Sasaran pelayanan kesehatan kerja meliputi meningkatnya jumlah institusi kerja yang memenuhi persyaratan kesehatan kerja; berkembangnya upaya pelayanan kesehatan kerja di setiap institusi kerja termasuk pengintegrasian kesehatan kerja dalam pelayanan puskesmas; meningkatnya status kesehatan dan status gizi pekerja; dan terbinanya dunia usaha untuk melaksanakan proses dan menghasilkan produk yang bebas dari risiko kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kegiatan yang dilaksanakan meliputi penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja sesuai dengan jenis pekerjaan; pembinaan petugas pelaksana dan pengelola unit kerja dalam penyelenggaraan upaya kesehatan kerja; dan peningkatan kerja sama lintas sektor dan lintas program dalam upaya pelayanan kesehatan kerja.

4) Pelayanan Penyembuhan dan Pemulihan.

Kegiatan ini, yang dilakukan melalui puskesmas, bertujuan menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penduduk, terutama yang disebabkan oleh penyakit menular. Sasaran kegiatan itu adalah meningkatnya cakupan pengobatan dan menurunnya angka kesakitan dan angka kematian penduduk.

Kegiatan pelayanan tersebut antara lain mencakup penemuan dan pengobatan penderita penyakit infeksi paru (pneumonia) dan diare, terutama pada bayi dan balita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta masyarakat; pengobatan TB paru terutama di daerah kumuh perkotaan serta kantung kemiskinan lainnya. Peningkatan cakupan pengobatan infeksi penyakit saluran pernafasan tersebut termasuk yang dilakukan melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP 4); pengobatan malaria terutama di luar Jawa-Bali, yakni di daerah transmigrasi dan perbatasan serta daerah dengan tingkat endemisitas tinggi; penemuan dan pengobatan penyakit tidak menular; peningkatan upaya penemuan dan pengobatan penyakit demam berdarah, kusta, antraks, rabies, dan lain-lain; penyediaan dan penggunaan obat secara rasional sesuai dengan standar yang berlaku; perluasan pelayanan penyakit mata, termasuk yang dilaksanakan melalui Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM); perluasan,pelayanan kuratif kesehatan gigi dan pencegahan karies pada kelompok anak SD; perluasan cakupan pelayanan kesehatan jiwa pada puskesmas; serta berfungsinya semua puskesmas dengan tempat tidur untuk menangani cedera/kecelakaan.

5) Kesehatan Olahraga

Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan tingkat kesegaran jasmani masyarakat terutama golongan usia sekolah, usia produktif, atlet, dan golongan usia lanjut.

Sasarannya adalah terlaksananya penyuluhan kesehatan olahraga oleh puskesmas; pembinaan perkumpulan olahraga oleh puskesmas; tersusunnya peta tingkat kesegaran jasmani pada kelompok usia produktif; dan pembentukan pusat kesehatan olahraga propinsi; serta pemberian pelayanan kesehatan dan gizi terhadap atlet di daerah melalui pusat kesehatan olahraga propinsi.Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kegiatan kesehatan olahraga meliputi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan olahraga; pelayanan kesehatan olahraga; peningkatan kemampuan tenaga melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan; pengembangan sarana dan prasarana kesehatan olahraga; dan peningkatan kegiatan bimbingan dan penyuluhan melalui berbagai media penyuluhan; serta peningkatan kerja sama dengan berbagai sektor yang berkaitan.

6) Kesehatan Matra

Tujuan kegiatan ini adalah terselenggaranya upaya pelayanan kesehatan khusus dalam lingkungan matra yang serba berubah untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan (kesehatan haji, kesehatan transmigrasi, kesehatan dalam bencana alam, kesehatan di bumi perkemahan), kesehatan kelautan dan bawah air, serta kesehatan dirgantara.

Sasaran yang akan dicapai adalah tersusunnya pola pelayanan kesehatan matra; tersedianya sarana termasuk tenaga yang memadai untuk mendukung kegiatan operasional kesehatan matra;dan terbinanya kerja sama lintas sektor dan lintas program yang didukung oleh peran serta masyarakat termasuk dunia usaha.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi penyusunan dan pengembangan pola pelayanan kesehatan matra yang terpadu dengan program dan sektor lain dan didukung oleh peraturan perundang-undangan, peningkatan upaya pelayanan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kesehatan matra yang telah ada dan penelitian yang berkaitan dengan kesehatan matra.

7) Pelayanan Laboratorium

Kegiatan ini, yang dilakukan di puskesmas, bertujuan menunjang upaya pelayanan kesehatan masyarakat, terutama dalam menegakkan diagnosis, pengobatan dan tindak lanjut terhadap kasus yang dirujuk ke puskesmas dan puskesmas perawatan. Sasaran kegiatan yang ingin dicapai adalah setiap puskesmas mampu melakukan pemeriksaan, terutama dalam menunjang kesehatan ibu dan anak di daerah terpencil. Kegiatan yang dilakukan meliputi, antara lain pemeriksaan laboratorium kesehatan di semua puskesmas; pelayanan laboratorium sederhana yang dapat dilakukan oleh bidan desa terhadap beberapa jenis pemeriksaan; dan penyediaan bahan, reagen, serta peralatan laboratorium yang memadai.

8) Penyuluhan Kesehatan Masyarakat dan Pembinaan Peran Serta Masyarakat

Tujuan kegiatan ini, yang dilakukan melalui puskesmas/ puskesmas pembantu/bidan desa, adalah meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat serta menumbuhkembangkan berbagai bentuk upaya pelayanan kesehatan bersumber daya masyarakat. Sasaran kegiatan itu adalah kesadaran akan hidup sehat meningkat melalui peningkatan kemampuan dalam menolong diri sendiri, terutama dalam upaya pencegahan penyakit dan pemanfaatan fasilitas

pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain penyebarluasan informasi kesehatan; pengembangan potensi swadaya masyarakat di bidang kesehatan; dan penyelenggaraan, penyuluhan kepada masyarakat serta pembinaan lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi.

c. Program Kesehatan Rujukan dan Rumah Sakit

Program ini, bertujuan meningkatkan mutu, cakupan, dan efisiensi pelayanan rumah sakit serta memantapkan sistem rujukan antara puskesmas dengan rumah sakit kabupaten, rumah sakit propinsi dan rumah sakit di tingkat pusat melalui peningkatan dan pengembangan manajemen rumah sakit, terutama dalam bidang sumber daya tenaga, pembiayaan dan informasi menuju kemandirian rumah sakit dengan tetap memperhatikan fungsi sosial rumah sakit.Sasaran program ini dalam Repelita VI mencakup, antara lain, berkembang dan terlaksananya sistem rujukan antara puskesmas dan rumah sakit kabupaten dan rumah sakit propinsi; meningkatnya jumlah puskesmas yang sudah dapat melaksanakan kegiatan rujukan ke rumah sakit dan yang sudah dibina oleh rumah sakit kabupaten maupun di propinsi menjadi sekitar 75 persen; meningkatnya mutu pelayanan rumah sakit terutama rumah sakit kelas D, dilakukan secara bertahap melalui penambahan pelayanan spesialis minimal dalam bidang keahlian kebidanan dan anak; dan meningkatnya status rumah sakit dari kelas D menjadi kelas C sehingga pada akhir Repelita VI semua dati II telah memiliki rumah sakit kabupaten yang minimal memiliki empat keahlian dasar; meningkatnya partisipasi dunia usaha dalam pelayanan rumah sakit agar dapat mempercepat peningkatan jumlah tempat tidur di rumah sakit termasuk peningkatan persentase tempat tidur yang dapat digunakan oleh golongan masyarakat yang tidak mampu; peningkatan pola pelayanan rumah sakit di kawasan industri; mantapnya kemampuan manajemen rumah sakit melalui unit swadana; meningkatnya utilisasi rumah sakit umum dalam hal penggunaan tempat tidur lebih besar dari 60 persen, dan meningkatnya cakupan pelayanan rumah sakit jiwa.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kegiatan pokok program kesehatan rujukan dan rumah sakit yang akan dilaksanakan adalah (1) pelayanan kesehatan rumah sakit; (2) pelayanan rujukan; (3) penunjang pelayanan rumah sakit; (4) pelayanan kesehatan jiwa; (5) pelayanan kesehatan gigi, dan (6) pelayanan laboratorium kesehatan.

1) Pelayanan Rumah Sakit

Kegiatan ini terutama ditujukan untuk meningkatkan mutu dan cakupan pelayanan rumah sakit dan meningkatkan peran serta masyarakat. Kegiatannya meliputi (a) penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan rehabilitasi medis di seluruh rumah sakit kabupaten termasuk pelayanan spesialistik terutama di rumah sakit kabupaten sebagai unit pelaksana pelayanan rujukan dengan perhatian khusus kepada masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah; (b) penyediaan peralatan medis dan nonmedis sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan; (c) pelatihan tenaga medis dan paramedis mengenai teknis pelayanan medis di seluruh rumah sakit; (d) pembinaan pelayanan teknis medis bagi tenaga medis dan paramedis di puskesmas; (e) pembinaan praktek bersama spesialis di semua rumah Sakit; (f) pelaksanaan pengujian kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS); (g) pemberian pelayanan medis bagi peserta asuransi kesehatan di semua rumah sakit; (h) penyelenggaraan pelayanan medis di rumah sakit kawasan industri dalam rangka menanggulangi penyakit akibat kerja.

2) Pelayanan Rujukan

Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan kegiatan operasional pola rujukan kesehatan dan rujukan medik antarunit pelayanan kesehatan dimulai dari puskesmas, rumah sakit kabupaten, rumah sakit propinsi dan rumah sakit pusat, baik milik pemerintah maupun milik swasta. Kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut berupa (a) pembinaan puskesmas oleh rumah sakit kelas D dan C terutama di bidang pelayanan

kebidanan dan anak dengan prioritas diberikan kepada propinsipropinsi yang angka kematian ibu dan anaknya tinggi; (b) pengembangan, pelaksanaan dan pembinaan sistem pelayanan rujukan, baik dari puskesmas ke rumah sakit maupun antar rumah sakit dimulai dari kelas D ke C, B dan A; (c) penyelenggaraan pelayanan rujukan dengan menggunakan sarana transportasi dan komunikasi, terutama untuk daerah-daerah terpencil dan bagi kepentingan unit gawat darurat (UGD) serta evakuasi di seluruh rumah sakit kelas C, rumah sakit swadana dan puskesmas; (d) pengembangan dan pelaksanaan sistem rujukan pemeliharaan peralatan rumah sakit melalui Balai Pemeliharaan Fasilitas Kesehatan (BPFK).

3) Penunjang Pelayanan Rumah Sakit

Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manajemen rumah sakit terutama di bidang sumber daya manusia, sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) dan sistem pembiayaan dalam upaya menuju kemandirian rumah sakit. Selain itu, ditujukan pula untuk peningkatan dan pengamanan sarana, prasarana, dan alat serta pengawasan kesehatan lingkungan rumah sakit. Kegiatan yang dilaksanakan, antara lain (a) penyusunan dan penerapan standar untuk berbagai pelayanan, yang belum memiliki; (b) peningkatan sumber daya tenaga melalui penambahan tenaga dan pelatihan-pelatihan; (c) penerapan etika rumah sakit di seluruh rumah sakit; (d) penataan perizinan radiologi dan kedokteran nuklir di seluruh rumah sakit; (e) pelaksanaan pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuan rekam medik, manajemen, penyusunan pembiayaan, penerapan akreditasi, pengamanan, dan pemeliharaan di semua rumah sakit; (f) pengembangan dan pelaksanaan sistem informasi manajemen rumah sakit di seluruh rumah sakit; (g) pembinaan pola tarif pelayanan terutama untuk kelas III di seluruh rumah sakit, baik milik pemerintah maupun milik swasta; (h) penyelenggaraan pelayanan lintas program dan lintas sektor, seperti kegiatan penyuluhan kesehatan masyarakat, pelayanan keluarga berencana,dan pelayanan gizi di seluruh rumah sakit; (i) pembangunan rumah sakit, baik baru maupun bangunan tambahan pada rumah sakit yang sudah ada disesuaikan dengan fungsi pelayanannya; (j) perbaikan dan pemeliharaan gedung dan peralatan termasuk penggantian peralatan yang sudah tidak berfungsi lagi.

4) Kesehatan Jiwa

Kegiatan pokok ini ditujukan untuk menekan angka kesakitan gangguan jiwa, memperluas upaya pelayanan kesehatan jiwa, meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan kesehatan jiwa. Sasaran yang akan dicapai oleh kegiatan ini adalah angka penderita kelainan jiwa (psikosa) yang cenderung meningkat, pada akhir Repelita VI dapat dipertahankan pada tingkat 1-3 orang per 1.000 penduduk, angka penderita gangguan jiwa yang ringan (neurosa) dan gangguan perilaku ditekan pada tingkat 20 - 60 orang per 1.000 penduduk. Untuk itu, kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi (a) pengembangan pelayanan kesehatan jiwa di propinsi yang belum mempunyai rumah sakit jiwa; (b) perluasan cakupan pelayanan kesehatan jiwa di seluruh rumah sakit jiwa; (c) pengembangan fasilitas pelayanan penyalahgunaan narkotika dan laboratorium khusus narkotika di 7 rumah sakit jiwa; (d) pembinaan melalui pelatihan teknis pelayanan bagi seluruh rumah sakit jiwa, baik milik pemerintah maupun swasta serta bagi sekitar 20 persen dari jumlah puskesmas yang ada; (e) pengembangan pelayanan kesehatan jiwa di seluruh rumah sakit kelas C di Jawa; (f) penyediaan tenaga medis dan paramedic secara bertahap di seluruh rumah sakit jiwa sesuai dengan prioritas.

5) Kesehatan Gigi

Kegiatan ini meliputi perluasan cakupan dan peningkatan mutu serta efisiensi pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Kegiatannya meliputi (a) pemberian pelayanan kuratif kesehatan gigi dan pengobatan karies pada anak SD di 9 propinsi yang tinggi prevalensi penyakit giginya (Kalimantan Barat, Sumatera Selatan,Maluku, Kalimantan Selatan, Jambi, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan); (b) peningkatan cakupan pelayanan kesehatan gigi dengan cara menambah peralatan dan dokter gigi; (c) peningkatan pelayanan spesialistik kedokteran gigi dalam bidang bedah mulut, orthodentik dan prosthetik di seluruh rumah sakit swadana kelas C; (d) pemberian pelayanan kesehatan gigi di rumah sakit jiwa secara bertahap sesuai dengan prioritas; (e) peningkatan pembinaan dokter gigi dan perawat gigi di puskesmas; (f) pengkajian penggunaan bahan tradisional untuk pencegahan penyakit gigi.

6) Laboratorium Kesehatan

Kegiatan ini ditujukan untuk mendukung upaya pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Untuk itu, kegiatan yang akan dilaksanakan adalah (a) pengembangan jaringan rujukan laboratorium di bidang kesehatan yang meliputi laboratorium klinik, laboratorium kesehatan masyarakat, laboratorium unit transfusi darah, laboratorium pengujian mutu obat dan makanan serta laboratorium penelitian; (b) pelayanan laboratorium kesehatan sederhana di desa oleh bidan desa untuk mendukung upaya kesehatan ibu dan anak; (c) pengembangan laboratorium di puskesmas sejalan dengan kebutuhan program; (d) peningkatan laboratorium rumah sakit agar dapat berfungsi sebagai laboratorium rujukan; (e) peningkatan kemampuan Balai Laboratorium Kesehatan di tingkat propinsi; (f) membangun Laboratorium Kesehatan Nasional.

d. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit

Program ini bertujuan mencegah berjangkitnya penyakit, menurunkan angka kematian dan angka kesakitan serta mengurangi akibat buruk penyakit, baik yang menular maupun tidak menular. Untuk penyakit menular, prioritas diberikan pada bayi, anak balita dan ibu serta kelompok usia kerja, sedangkan untuk penanggulangan penyakit tidak menular, prioritas diberikan padakegiatan penyuluhan kesehatan dan peningkatan peran serta masyarakat termasuk ikatan profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha baik dalam pencegahan maupun dalam penanggulangan penyakit tersebut.

Sasaran program ini adalah meningkatnya cakupan imunisasi untuk semua jenis antigen minimal 80 persen secara merata di setiap kecamatan. Dengan demikian, angka kematian dan angka kesakitan penyakit menular yang dapat dicegah oleh imunisasi akan menurun. Angka kesakitan penyakit polio menurun sebesar 90 persen sehingga seluruh Indonesia akan bebas polio. Angka kesakitan tetanus neonatorum menurun lebih dari 90 persen sehingga di Jawa dan Bali bebas dari penyakit tersebut. Selanjutnya, angka kesakitan penyakit difteria, pertusis dan campak menurun masing-masing sebesar 80, 80 dan 90 persen sehingga angka kematian dari ketiga penyakit tersebut akan menurun secara bermakna. Selain itu, angka kesakitan penyakit hepatitis B menurun sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Jawa-Bali dan Sumatera.

Sasaran lain yang akan dicapai pada akhir Repelita VI, beberapa penyakit menular akan dihilangkan atau diturunkan. Angka kesakitan penyakit tuberkulosa pant menurun menjadi 2,2 per 1.000 penduduk, sedangkan untuk penyakit malaria di luar Jawa-Bali, menurun menjadi 30 per 1.000 penduduk. Penyakit malaria di Jawa-Bali dapat dipertahankan pada tingkat 0,1 per 1.000 penduduk. Angka kesakitan penyakit demam berdarah ditekan menjadi di bawah 0,3 per 1.000 penduduk di kecamatankecamatan endemik, dengan angka kematian kasus lebih kecil dari 2,5 persen per tahun.

Angka kematian dan kesakitan pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh diare dan infeksi saluran, pernafasan akut (ISPA) akan diturunkan. Angka kematian diare pada balita menurun dari 4 menjadi 3 per 1.000 balita per tahun, dan angka kesakitannya menurun dari 2 menjadi 1,5 episode per tahun, sedangkan angka

kesakitan diare pada semua umur menurun dari 330 menjadi 280 per 1.000 penduduk. Angka kematian balita karena penyakit pneumonia menurun sebanyak 33 persen dari keadaan tahun 1993 (Tabel 35-3).

Prevalensi penyakit frambusia ditekan sehingga semua propinsi bebas frambusia. Demam keong di daerah endemik angka kesakitannya ditekan menjadi kurang dari 1 persen, penyakit pes pada manusia dipertahankan tetap nol. Angka kesakitan penyakitpenyakit lain seperti gila anjing, kaki gajah, fasiolopsis buski, antraks, dan hepatitis B akan diturunkan secara bermakn