bab 1
TRANSCRIPT
BAB 1
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Merokok adalah kegiatan khas pada manusia yang tampaknya sama tuanya dengan peradaban manusia,
padahal selain membawa mudharat, tak ada manfaat yang ditawarkan dari kebiasaan tersebut. Selain
itu merokok merupakan faktor resiko terbesar terhadap 20 penyakit termasuk penyakit kardiovaskular
seperti jantung koroner, stroke, hipertensi dan pembuluh darah perifer, penyakit respirasi seperti
bronkitis kronik, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan kanker paru. Koagulasi darah lebih mudah
terjadi pada perokok dibandingkan dengan tidak perokok sehingga terjadi peningkatan kadar fibrinogen
yang mengakibatkan agregasi trombosit. Tembakau mengandung lebih 4000 bahan yang berpotensial
sebagai karsinogenik seperti tar, nikotin, karbonmonoksida, aseton, naftilamin, ammonia, cadmium,
metanol, arsen, toluen, uretan dan lainnya sehingga merupakan faktor resiko utama terjadi kanker paru,
karsinoma nasofaring dan pencernaan atas (Imansyah, 2008).
Merokok merupakan masalah kesehatan global, World Health Organization (WHO) memperkirakan
jumlah perokok didunia sebanyak 2,5 milyar orang dengan dua pertiganya berada di negara
berkembang. Indonesia menempati urutan kelima diantara negara-negara dengan tingkat agregasi
konsumsi tembakau tertinggi di dunia. Negara-negara dengan konsumsi tembakau tertinggi pada tahun
2002 adalah cina 1.697.291, Amerika 463.504, Rusia 375.000, Jepang 299.085, Indonesia 178.300,
Jerman 148.400. Namun Indonesia mengalami peningkatan tajam konsumsi tembakau dalam 30 tahun
terakhir. Dari 33 milyar batang pertahun di tahun 1970 ke 217 milyar batang di tahun 2000. Antara
tahun 1970 dan 1980, konsumsi meningkat sebesar 159%. Faktor-faktor yang ikut berperan adalah iklim
ekonomi yang positif dan mekanisasi produksi rokok di tahun 1974. Antara tahun 1990 dan 2000,
peningkatan lebih jauh sebesar 54% terjadi dalam konsumsi tembakau-walaupun terjadi krisis ekonomi.
Di indonesia makin rendah penghasilan, makin tinggi prevalensi merokoknya. Sebanyak 62,9% pria
berpenghasilan rendah merokok secara teratur dibandingkan dengan 57,4% pada pria berpenghasilan
tinggi. Namun pendidikan yang lebih tinggi berarti konsumsi yang lebih tinggi pula. Pria berpenghasilan
tinggi merokok sekitar 12,4 batang per hari dibandingkan dengan 10,2 batang pada pria berpenghasilan
rendah. Sebagian besar (68,8%) perokok mulai merokok sebelum umur 19 tahun, saat masih anak-anak
atau remaja. Rata-rata umur mulai merokok yang semula 18,8 tahun pada tahun 1995 menurun ke 18,4
tahun pada tahun 2001 (Depkes RI, 2003)
Pemakaian nikotin mempunyai pola ketergantungan penggunaan secara terus-menerus. Ketergantungan
nikotin karena peningkatan ekspresi reseptor nikotin di otak menyebabkan perubahan metabolisme
glukosa di otak, elektroencetalografi dan penglepasan katekolamin, ketergantungan fisiologik sehingga
efek ini akan meningkatkan ketagihan untuk merokok dan gejala ketergantungan terjadi dalam beberapa
jam setelah merokok. Ketergantungan merokok sangat cepat terjadi terutama pada pagi hari dan
menimbulkan gejala ketergantungan nikotin tergantung dari dosis dan penyerapan nikotin pada tiap
individu (Imansyah, 2008).
Penghentian secara tiba-tiba menyebabkan neuroadaptasi berupa perubahan morfologi pada otak yaitu
desentisisasi dan inaktivasi sejumlah reseptor yang mengakibatkan penurunan mood, sulit tidur, frustasi,
depresi, disforia, sulit berkonsentrasi, gelisah, cepat lelah, penurunan denyut jantung, peningkatan nafsu
makan, dan kenaikan berat badan (Budi, 2008)
Berbagai upaya pengendalian bahaya merokok yang dikenal sebagai smoking cessation programtelah
banyak dilakukan. Secara umum smoking cessation program dapat dikategorikan sebagai program yang
menggunakan pendekatan perilaku (behavioral intervention), intervensi menggunakan
obat (pharmacological intervention), dan metode alternatif. Pendekatan perilaku mencakup konsultasi
dengan tenaga medis/dokter, konseling individu, konseling kelompok, dan konseling melalui telepon.
Intervensi dengan obat misalnya nicotine replacement therapy (NRT) merupakan standar pendekatan
terhadap farmakoterapi pada ketergantungan nikotin dan nikotin antagonis. Saat ini terdapat empat
bentuk pengganti nikotin yaitu permen karet nikotin (nicotine gum), nikotin tempelan transdermal
(nicotine patch), nikotin semprotan hidung (nicotine nasal spray) dan nikotin hirup (nicotine inhaler)
(Imansyah, 2008).
Salah satu terapi yang digunakan adalah nikotin patch dimana nikotin diabsorbsi melalui kulit. Nikotin
patch melepaskan sejumlah nikotin secara konstan ke dalam tubuh. Berbeda dengan nikotin yang
terkandung dalam asap tembakau yang masuk ke pembuluh darah dengan segera melalui paru-paru,
nikotin yang terkandung di dalam patch membutuhkan 3 jam untuk melalui lapisan kulit dan mencapai
pembuluh darah pengguna. Patch yang digunakan bersifat adesif, patch yang berukuran lebar dapat
menghantarkan nikotin lebih banyak melalui kulit. Nikotin patch tidak dapat dilepas, harus dipasang
sepanjang hari sebagai pengganti rokok. Beberapa produk perlu diganti setiap 24 jam sekali. Beberapa
produk hanya digunakan selama beraktivitas dan dilepas selama tidur. Pemakaian patch nikotin dapat
mengurangi beberapa gejala utama kecanduan rokok, seperti gugup, mudah marah, mengantuk, dan
kurang konsentrasi. Beberapa efek samping pemakaian patch : iritasi kulit, pusing, denyut jantung yang
cepat, insomnia, sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, dan menjadi orang yang tidak ramah.
Dari uraian tersebut maka dilakukan penentuan formulasi yang tepat dalam pembuatan nikotin
transdermal system sebagai nicotine replacement therapy (NRT) serta proses prosuksinya berdasarkan
sifat-sifat dan karakteristik dari nikotin.
BAB 2
TINJAUAN PUsTAKA
2.1 Tinjauan tentang Kulit
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar (Aiache, 1993). Kulit
berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya substansi-subtansi penting dari
dalam tubuh dan masuknya subtansi-subtansi asing ke dalam tubuh (Chien, 1987). Meskipun kulit relatif
permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh
senyawa-senyawa obat atau bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik
baik yang bersifat setempat maupun sistemik (Aiache, 1993). Dari suatu penelitian diketahui bahwa
pergerakan air melalui lapisan kulit yang tebal tergantung pada pertahanan lapisan
stratum corneum yang berfungsi sebagai rate-limiting barrier pada kulit (Swarbirck dan Boylan, 1995).
Kulit mengandung sejumlah bentukan bertumpuk dan spesifik yang dapat mencegah masuknya bahan-
bahan kimia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya lapisan tipis lipida pada permukaan lapisan tanduk
dan lapisan epidermis malfigi. Sawar kulit terutama disusun oleh lapisan tanduk (stratum corneum),
namun demikian cuplikan lapisan tanduk (stratum corneum) terpisah mempunyai permeabilitas yang
sangat rendah dengan kepekaan yang sama seperti kulit utuh. Lapisan tanduk saling berikatan dengan
kohesi yang sangat kuat merupakan pelindung kulit yang paling efisien (Aiache, 1993).
Secara mikroskopik, kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda, berturut-turut dari luar kedalam
yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening
dan lapisan dibawah kulit yang berlemak atau yang disebut hipodermis (Aiache, 1993). Struktur kulit
yang terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan hipodermis dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.1 Struktur Kulit
Stratum corneum
Stratum corneum merupakan lapisan terluar dari kulit, dimana merupakan pelindung utama dari
kebanyakan senyawa yang kontak dengan kulit. Stratum corneum terdiri dari 10-20 lapisan tebal dan
terdapat pada seluruh tubuh. Setiap sel datar, struktur mirip seperti piring dengan panjang sekitar 34-44
µm, lebar sekitar 25-36 µm, tebal sekitar 0,2-0,5 µm dengan luas area sekitar 750-1200 µm2. Stratum
corneum mengandung lemak (5-15%) termasuk fosfolipid, glikosphingolipid, kolesterol sulfat dan lipid
netral; protein (75-85%) dengan kandungan protein utama ialah keratin (Shembale, 2010)
Viable epidermis
Lapisan kulit ini terletak diantara stratum corneum dan dermis dan memiliki ketebalan sekitar 50-100
mm. Struktur sel pada viable epidermis secara fisikokimia mirip dengan jaringan lainnya. Antar sel
disatukan oleh tronofibrils. Densitas dari wilayah ini tidak jauh berbeda dengan air. Kandungan air di
dalamnya sekitar 90% (Shembale, 2010).
Dermis
Dermis terletak di bawah viabel epidermis. Strukturnya berupa fibrin dan sangat sedikit sel yang
memiliki struktur seperti ini dapat ditemukan secara histologi pada jaringan yang normal. Tebal dari
dermis sekitar 2000-3000 mm dan terdiri dari matriks. Matriks yang kehilangan jaringan ikat yang terdiri
dari benang protein melekat pada substansi dasar amorf (Shembale, 2010).
Jaringan Penghubung Subkutan (Subcutaneous connective tissue)
Jaringan subkutan atau hipodermis sebenarnya tidak di anggap sebagai bagian yang sebenarnya dari
jaringan ikat terstruktur yang terdiri dari jaringan bertekstur, putih, jaringan ikat berfibrosa yang
mengandung pembuluh darah dan getah bening, lubang pengeluaran dari kelenjar keringat dan saraf
kulit. Banyak peneliti yang menduga obat menembus kulit kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi
sebelum mecapai hipodermis, meskipun jaringan lemak dapat bertindak sebagai depo obat. Banyak
penelitian menunjukkan obat paling banyak diserap melalui kulit masuk ke dalam sistem peredaran
darah sebelum mecapai hipodermis walaupun jaringan lemak bisa berfugsi sebagai depo obat
(Shembale, 2010).
2.2 Absorpsi Perkutan
Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari luar kulit ke dalam jaringan di bawah kulit,
kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif (Chien, 1987). Mengacu pada
Rothaman, penyerapan (absorpsi) perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan suatu
senyawa dari lingkungan luar ke bagian kulit sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit
ke dalam peredaran darah dan getah bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan terjadi
pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda (Aiache,
1993).
Fenomena absorpsi perkutan (atau permeasi pada kulit) dapat digambarkan dalam tiga tahap yaitu
penetrasi pada permukaan stratum corneum, difusi melalui stratum corneum, epidermis dan dermis,
masuknya molekul kedalam mikrosirkulasi yang merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Mekanisme
penghantaran obat melalui transdermal digambarkan pada gambar 2.2. (Chien, 1987).
Gambar 2.2 Mekanisme Penghantaran Obat melalui Transdermal mulai dari pelepasan
obat menuju jaringan target (Chien, 1987)
Penetrasi melintasi stratum corneum dapat terjadi melalui penetrasi transepidermal dan
penetrasitransappendageal. Pada kulit normal, jalur penetrasi obat umumnya melalui epidermis
(transepidermal), dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut maupun melewati kelenjar keringat
(transappendageal).
Jumlah obat yang terpenetrasi melalui jalur transepidermal berdasarkan luas permukaan pengolesan dan
tebal membran. Kulit merupakan organ yang bersifat aktif secara metabolik dan kemungkinan dapat
merubah obat setelah penggunaan secara topikal. Biotransformasi yang terjadi ini dapat berperan
sebagai factor penentu kecepatan (rate limiting step) pada proses absorpsi perkutan (Swarbrick dan
Boylan, 1995).
a. Penetrasi transappendageal
Rute transappendageal merupakan rute yang sedikit digunakan untuk transport molekul obat, karena
hanya mempunyai daerah yang kecil (kurang dari 0,1% dari total permukaan kulit). Akan tetapi, rute ini
berperan penting pada beberapa senyawa polar dan molekul ion hampir tidak berpenetrasi melalui
stratum corneum (Moghimi dkk, 1999).
Rute transappendageal ini dapat menghasilkan difusi yang lebih cepat, segera setelah penggunaan obat
karena dapat menghilangkan waktu yang diperlukan oleh obat untuk melintasi stratum corneum. Difusi
melalui transappendageal ini dapat terjadi dalam 5 menit dari pemakaian obat (Swarbrick dan Boylan,
1995).
b. Penetrasi transepidermal
Sebagian besar penetrasi zat adalah melalui kontak dengan lapisan stratum corneum. Jalur penetrasi
melalui stratum corneum ini dapat dibedakan menjadi jalur transelular dan interseluler. Prinsip
masuknya penetran kedalam stratum corneum adalah adanya koefisien partisi dari penetran. Obat-obat
yang bersifat hidrofilik akan berpenetrasi melalui jalur transeluler sedangkan obat-obat lipofilikakan
masuk kedalam stratum corneum melalui rute interseluler. Sebagian besar difusan berpenetrasi
kedalam stratum corneum melalui kedua rute tersebut, hanya kadang-kadang obat-obat yang bersifat
larut lemak berpartisipasi dalam corneocyt yang mengandung residu lemak. Jalur interseluler yang
berliku dapat berperan sebagai rute utama permeasi obat dan penghalang utama dari sebagian besar
obat-obatan (Swarbrick dan Boylan, 1995).
1. 3. Jalur Penembusan Transdermal pada Kulit
Stratum corneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permeable,
dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi pasif. Jadi, jumlah obat yang pindah menyeberangi
lapisan kulit tergantung ada konsentrasi obat, kelarutannya dalam air dan koefisien partisi minyak atau
airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan
yang baik untuk difusi melalui stratum corneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit
(Ansel, 2008).
Penembusan atau penetrasi obat dapat terjadi dengan cara difusi melalui :
1. Penembusan transeluler melalui stratum corneum.
2. Penembusan interseluler melalui startum corneum.
3. Penembusan transappendaged melalui folikek rambut, sebaceous dan kelenjar keringat.
Pada keadaan normal, rute penetrasi yang dominan ialah melalui rute interseluler dan maka dari itu
banyak teknik enhancer dengan menghancurkan atau mengganggu atau membuat jalan baru pada
struktur moleklu kulit tersebut (Pathan, 2009).
Gambar 2.3 Jalur Penembusan Transdermal pada Kulit
2.3 Aspek Teori Perlintasan Membran
Perlintasan membran sintetik umumnya berlangsung dalam dua tahap. Tahap awal adalah proses difusi
zat aktif menuju permukaan yang kontak dengan membran. Pada tahap ini daya difusi merupakan
mekanisme pertama untuk menembus daerah yang tidak diaduk, dari lapisan yang kontak dengan
membran. Tahap kedua adalah pengangkutan. Tahap ini dapat dibagi atas dua bagian.
Bagian yang pertama adalah penstabilan gradien konsentrasi molekul yang melintasi membran sehingga
difusi terjadi secara homogen dan tetap. Bagian kedua adalah difusi dalam cara dan jumlah yang tetap.
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi tidak berubah sebagai fungsi waktu. Dalam hal ini
diasumsikan bahwa interaksi zat aktif-pelarut dan pelarut-pelarut tidak berpengaruh terhadap aliran zat
aktif. Difusi dalam jumlah yang tetap dinyatakan dengan hukum Fick I.
Dimana J adalah fluks atau jumlah Q linarut yang melintasi membrane setiap satuan waktu t, A adalah
luas permukaan efektif membran, Cd dan Cr adalah konsentrasi pada kompartemen awal dan dalam
kompartemen reseptor, h adalah tebal membran dan D’ adalah tetapan dianalisa atau koefisien
permeabilitas (Aiache, 1993).
2.4 Penghantaran Obat melalui Transdermal
Sebagian besar obat-obat yang diberikan melalui kulit berpenetrasi dengan mekanisme difusi pasif
(Aiache, 1993; Swarbrick dan Boylan, 1995). Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan
massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan
adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer.
Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi karena permeasi molekular sederhana atau gerakan
melalui pori dan lubang (saluran) (Martin dkk, 1993). Laju penyerapan melalui kulit tidak segera
mencapai keadaan tunak, tetapi selalu teramati adanya waktu laten (gambar 2.4). Waktu laten
ditentukan oleh tebal membran dan tetapan difusi obat dalam stratum corneum (Aiache,1993). Obat
akan mengalami difusi sesuai gradien konsentrasi dengan gerakan yang acak (Swarbrick dan Boylan,
1995).
Gambar 2.4 Profil penyerapan molekul yang berdifusi melalui kulit
2.5 Tinjauan Patch
Saat ini teknologi penghantaran obat mendapat perhatian dari perusahaan farmasi. Tujuan dari
pengembangan produk ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan pemberian obat serta
memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien. Substansial penelitian yang dilakukan selama
beberapa tahun terakhir ini telah mengarah pada pengembangan teknologi yang memenuhi kriteria
yang diperlukan untuk menyampaikan obat melalui rute non-invasif. Salah satu teknologi tersebut
adalah pengiriman obat transdermal.
2.5.1 Pengertian Transdermal
Penghantaran obat transdermal adalah penghantaran obat secara non-invasif dari permukaan kulit –
organ paling besar dan paling mudah digunakan dari tubuh manusia – melalui lapisannya, menuju ke
sistem sirkulasi. Penghantaran obat dihantarkan oleh sebuah patch yang ditempelkan pada permukaan
tubuh. Transdermal patch adalah perekat pembawa obat yang dirancang untuk melepaskan bahan aktif
dengan laju yang konstan selama periode beberapa jam sampai hari setelah digunakan pada permukaan
kulit. Hal ini juga disebut patch kulit. Sebuah patch kulit menggunakan membran khusus untuk
mengontrol tingkat di mana obat yang terkandung dalam patch dapat melewati kulit dan masuk ke
aliran darah. (Bayarski, 2006)
Sistem penghantaran obat secara transdermal merupakan salah satu inovasi dalam sistem
penghantaran obat modern untuk mengatasi problema bioavailabilitas obat tersebut jika diberikan
melalui jalur lain seperti oral. Obat yang diberikan secara transdermal masuk ke tubuh melalui
permukaan kulit yang kontak langsung dengannya baik secara transeluler maupun secara inter seluler.
Saat ini sistem penghantaran obat dengan patch melalui kulit meliputi scopolamin (untuk mual),
estrogen (untuk menopause dan untuk mencegah osteoporosis setelah menopause), nitrogliserin (untuk
angina), lidokain untuk meredakan nyeri pada ruam (herpes zoster). Patch yang tidak untuk pengobatan
secara langsung meliputi patch panas dan dingin, patch pengurang berat badan, patch nutrisi, patch
untuk perawatan kulit (terapeutik dan kosmetik), patch aromaterapi dan patch untuk mengukut paparan
sinar matahari (Bayarski, 2006).
Gambar 2.5 skema transdermal patch
2.5.2 Sediaan Transdermal
Sediaan transdermal yang biasa dijumpai di pasaran saat ini adalah transdermal therapeutic system
(TTS) yang biasa disebut sebagai plester. Secara sederhana, plester terdiri atas komponen – komponen
berikut (dimulai dari lapisan paling luar):
1 Impermeable backing atau lapisan penyangga, biasanya terbuat dari lapisan polyester, ethylene
vinyl alcohol (EVA), atau lapisan polyurethane. Lapisan ini berguna untuk melindungi obat dari air dan
sebagainya yang dapat merusak obat. Lapisan ini harus lebih luas dari pada lapisan di bawahnya untuk;
2 Drug Reservoir atau lapisan yang mengandung obat (zat aktif) beserta dengan
perlengkapannya seperti material pengatur kecepatan pelepasan obat, dsb.;
3 Lapisan perekat atau semacam lem untuk menempelkan impermeable back beserta drug
reservoir pada kulit;
4 Lapisan pelindung yang akan dibuang ketika plester digunakan. Lapisan ini berguna untuk
mencegah melekatnya lapisan perekat pada kemasan sebelum digunakan.
Gambar 2.6 skema transdermal sistem membran
Terkadang, ada pula lapisan tambahan yaitu rate-controlling membrane yang terbuat dari polypropylene
berpori mikro dan yang berfungsi sebagai membrane pengatur jumlah dan kecepatan pelepasan obat
dari sediaan menuju permukaan kulit.
Saat ini, terdapat dua tipe plester yaitu plester dengan sistem reservoir dan plester dengan sistem
matriks (drug in adhesive system). Inti perbedaan di antara keduanya adalah pada sistem reservoir laju
pelepasan obat dari sediaan dan laju permeasi kulit ditentukan oleh kemampuan kulit mengabsorbsi
obat sedangkan pada sistem matriks laju pelepasan obat dari sediaan diatur oleh matriks.
Contoh obat yang diberikan secara transdermal adalah nitrogliserin (digunakan untuk pengobatan
angina). Pada umumnya patch nitrogliserin transdermal ditempelkan di dada atau punggung. Yang harus
diperhatikan adalah patch ini harus ditempatkan pada kulit yang bersih, kering, dan sedikit ditumbuhi
rambut agar patch dapat menempel dengan baik (Kurniasih, 2010).
2.5.3 Jenis dan Tipe Transdermal Patch
Ada empat jenis utama patch transdermal :
Single layer Obat in Adhesive
Dalam sistem ini obat ini termasuk langsung dalam-menghubungi perekat kulit. Dalam jenis ini patch
lapisan perekat bertanggung jawab atas pelepasan obat, dan berfungsi untuk mematuhi berbagai
lapisan bersama-sama, bersama dengan seluruh sistem pada kulit. Lapisan perekat dikelilingi oleh liner
sementara dan pendukung.
Multi layer Drug in Adhesive
Multi-layer Drug-in-Adhesive mirip dengan lapisan-Single Obat-in-Adhesive dalam bahwa obat ini
dimasukkan langsung ke dalam perekat. The-lapisan sistem multi menambahkan lapisan lain obat–
perekat dalam, biasanya dipisahkan oleh membran. Patch ini juga memiliki lapisan sementara-liner dan
dukungan permanen.
Reservoir
Desain sistem transdermal Reservoir termasuk kompartemen cair yang mengandung solusi obat atau
suspensi dipisahkan dari liner rilis oleh membran semi-permeabel dan perekat. Komponen perekat
produk dapat menjadi sebagai lapisan kontinu antara membran dan liner pelepasan atau sebagai
konfigurasi konsentris di sekitar membran.
Matriks
Sistem Matrix memiliki lapisan obat dari matriks semipadat berisi larutan obat atau suspensi, yang
bersentuhan langsung dengan liner rilis. Lapisan perekat di patch ini mengelilingi lapisan overlay
sebagian obat itu (Kurniasih, 2010).
Ada dua prinsip pembuatan yang dominan dalam sistem patch yaitu membrane controlled
system danmatrix system.
(1) Membrane Controlled System
Sistem ini secara umum terdiri dari tiga komponen utama yaitu suatu reservoir, rate controlling
membrane dan lapisan adhesif yang melekat pada kulit. Obat di dalam daerah reservoir tersebut harus
dapat berdifusi melewati membran. Bahan aktif di dalam reservoir dapat didispersikan dalam bentuk
suspensi, liquid, ataupun gel.
(2) Sistem matriks
Pada sistem ini, dispersi obat di dalam reservoir digantikan oleh adhesif. Obat dan bahan-bahan
tambahan, seperti polimer, enhancer, diformulasikan menjadi satu ke dalam larutan adhesif, yang
kemudian pelarutnya diuapkan untuk membentuk film matriks. Selanjutnya film matriks dan adhesif
tersebut ditempelkan pada backing film. Komponen utama dari sistem matriks yaitu bahan adhesif dan
backing. Keuntungan dari sistem matriks yaitu akan membentuk suatu sediaan patch yang tipis dan
elegan sehingga nyaman untuk digunakan serta proses pembuatan yang mudah, cepat dan murah.
2.5.4 Keuntungan dan Kerugian Transdermal
A. Keuntungan sistem Penghantaran Obat Transdermal
Keuntungan sistem penghantara obat transdermal, antara lain:
Durasi yang lebih lama dari tindakan yang mengakibatkan penurunan frekuensi dosis;
Peningkatan kenyamanan untuk mengelola obat-obatan, yang tidak akan membutuhkan dosis sering;
Meningkatkan bioavailabilitas;
Lebih seragam plasma level;
Mengurangi efek samping dan terapi karena pemeliharaan kadar plasma sampai akhir interval
pemberian dosis;
Peningkatan kepatuhan pasien dan kenyamanan melalui-invasif, tanpa rasa sakit dan aplikasi
sederhana;
Meminimalisasi ketidakteraraturan absorbsi dibandingkan dengan jalur oral yang dipengaruhi oleh
pH, makanan, kecepatan pengosongan lambung, waktu transit usus, dll;
Obat terhindar dari first passed effect;
Terhindar dari degradasi oleh saluran gastro intestinal;
Jika terjadi efek samping yang tidak diinginkan (missal reaksi alergi, dll) pemakaian dapat dengan
mudah dihentikan;
Absorbsi obat relatif konstan dan kontinyu;
Input obat ke sirkulasi sistemik terkontrol serta dapat menghindari lonjakan obat sistemik;
Relatif mudah digunakan dan dapat didesain sebagai sediaan lepas terkontrol yang digunakan dalam
waktu relatif lama (misalnya dalam bentuk transdermal patch atau semacam plester)sehingga dapat
meningkatkan patient compliance.
B. Kerugian sistem Penghantaran Obat Transdermal
Kerugian sistem penghantaran obat transdermal, antaran lain:
Memliki bobot molekul relatif kecil (kurang dari 500 Da). Hal ini karena pada dasarnya stratum
corneum pada kulit merupakan barrier yang cukup efektif untuk menghalangi molekul asing masuk
ke tubuh sehingga hanya molekul – molekul yang berukuran sangat kecil sajalah yang dapat
menembusnya;
Memiliki koefisien partisi sedang (larut baik dalam lipid maupun air);
Memiliki titik lebur yang relatif rendah. Hal ini karena untuk dapat berpenetrasi ke dalam kulit, obat
harus dalam bentuk cair, serta;
Memiliki effective dose yang relatif rendah;
Range obat terbatas (terutama terkait ukuran molekulnya);
Dosisnya harus kecil;
Kemungkinan terjadinya iritasi dan sensitivitas kulit;
Tidak semua bagian tubuh dapat menjadi tempat aplikasi obat – obat transdermal. Misalnya telapak
kaki, dll;
Harus diwaspadai pre-systemic metabolism mengingat kulit juga memiliki banyak enzim
pemetabolisme.
(Kurniasih, 2010)
2.6 Tinjauan Nikotin
2.6.1 Sifat Fisika Kimia
Nikotin adalah alkaloid cair dari daun tembakau kering Nicotiana tabacum (Solanaceae). Kandungan
nikotin dalam daun tembakau 0,5-8%.
Gambar 2.7 Struktur Nikotin (sweetman, 2009)
Berat molekul nikotin adalah 162,2 dengan titik didih, TD745 247° (terdekomposisi sebagian); TD17 123-
125°. Nikotin merupakan cairan kental tidak berwarna-sedikit coklat, mudah menguap, dan
Higroskopis. Nikotin mudah larut dalam dietil eter, larut dalam air dingin, Sangat larut dalam
alkohol, kloroform, petroleum eter, dan minyak kerosen. (Nicotine MSDS). Nikotin disimpan dibawah
nitrogen yang kedap udara suhu 25o C terlindungi dari cahaya dan kelembaban (sweetman, 2009)
pH larutan nikotin 0.05M adalah 10.2, pK1 (15°) 6.16, pK2 10.96. Nikotin memiliki struktur yang optis aktif
dengan rotasi optis [?]D20 -169.3° (neat); [?]5461 -204.1° dan Indes bias (nD20) 1.5282. Densitas nikotin
( d420) 1.00925. Nikotin tidak stabil terhadap udara, cahaya, dan suhu tinggu. Pada kondisi asam nikotin
dapat membentuk garam dengan semua asam. (AHFS; Merck Index 13; sweetman, 2009). Nikotin reaktif
terhadap agen oksidasi dan bahan-bahan yg bersifat asam.(MSDS)
2.6.2 Farmakologi
Perubahan yang kompleks dan tidak dapat diduga terjadi pada tubuh setelah pemberian nikotin. Hal itu
bukan hanya disebabkan oleh aksinya pada berbagai neuroaffector dan situs kemosensitif, tetapi juga
fakta dimana nikotin merupakan alkaloid yang menstimulasi dan mendensitisasi reseptor. Nikotin
mengeluarkan epinephrine dari medulla adrenal yang mempercepatkan denyut nadi dan meningkatkan
tekanan darah (Brunton et al, 2008).
1. A. Sistem Saraf Periferal
Aksi nikotin diawali dengan stimulasi yang bersifat sementara diikuti dengan penurunan ganglia
otonomik yang tetap. Dosis kecil nikotin menstimulasi secara langsung sel ganglia dan mungkin
membantu transmisi impuls. Apabila dosis yang lebih besar diberikan, stimulasi awal dimulai dan diikuti
dengan blockade transmisi yang cepat. Nikotin juga memiliki aksi bifasik pada medulla adrenal, dosis
kecil akan menimbulkan pengeluaran katekolamin dan dosis besar akan menghambat pengeluaran
katekolamin akibat respon kepada stimulasi saraf splanchnik.
Efek nikotin pada neuromuscular junction sama seperti pada ganglia. Akan tetapi, fase stimulasi banyak
diperoleh dengan menyebabkan paralisis dengan cepat. Pada fase berikutnya , nikotin juga
menghasilkan blockade neuromuscular dengan mendensitisasi reseptor.
Nikotin seperti Ach, akan merangsang sebagian reseptor sensor. Ini termasuk mekanoreseptor yang
merespon regangan dan tekanan pada kulit, mesentari, lidah, paru dan lambung; kemoreseptor pada
badan carotid; reseptor thermal pada kulit dan lidah, dan reseptor nyeri. Pemberian terlebih dahulu
hexamethonium menghambat rangsangan reseptor sensor oleh nikotin tetapi mempunyai efek yang
kecil pada aktivasi reseptor sensor oleh stimuli psikologis (Brunton et al, 2008).
1. B. Sistem Saraf Pusat
Nikotin dapat merangsangan SSP. Dosis rendah akan menghasilkan analgesia lemah; dengan dosis tinggi
akan menyebabkan tremor yang akan mengakibatkan konvulsi pada dosis toksik telah terbukti.
Perangsangan respiratori adalah aksi yang paling menonjol dari nikotin, akan tetapi dosis besar
bertindak langsung ke medulla oblongata, dosis yang lebih kecil menambah reflex resperatori dengan
merangsang kemoreseptor carotid dan aortic bodies. Rangsangan SSP dengan dosis besar akan diikuti
dengan penurunan dan kematian yang disebabkan oleh kegagalan respiratori yang diakibatkan oleh
paralisis yang disebabkan blockade pada kedua-dua saraf pusat dan peripheral pada otot pernafasan.
Nikotin dapat menginduksi muntah dengan aksi dari sistem saraf pusat dan peripheral. Situs aksi primer
nikotin pada SSP adalah prejunctional, yang mengakibatkan pelepasan transmitter lainnya. Oleh karena
itu, rangsangan dan aksi pleasure-reward nikotin muncul akibat dari rangsangan pengeluaran asam
amino, DA dan amina biogenic lainnya dari berbagai pusat SSP. Pelepasan rangsangan asam amino
yang bertanggungjawab terhadap kebanyakkan aksi stimulasi nikotin. Paparan kronis terhadap nikotin
dapat meningkatkan densitas atau bilangan reseptor nikotin (Bruntonet al, 2008).
1. C. Sistem kardiovaskular
Secara umum, respon kardiovaskular terhadap nikotin diakibatkan oleh rangsangan pada ganglia
simpatis dan medulla adrenal, bersamaan dengan pengeluaran katekolamin dari ujung saraf simpatis.
Respon simpatomimetik kepada nikotin mengaktivasi kemoreseptor pada aortic dan badan carotid,
dimana dengan reflex akan mengakibatkan vasokonstriksi, takikardia, dan peningkatan tekanan darah.
1. D. Saluran gastrointestinal
Kombinasi aktivasi ganglia parasimaptis dan ujung saraf kolinergik oleh nikotin akan menyebabkan
peningkatan tonus dan aktivitas motor dari usus. Mual, muntah dan terkadang diare akibat absoprsi
sistemik nikotin pada individu yang tidak pernah terpapar kepada nikotin sebelumnya (Brunton et al,
2008).
1. E. Kelenjar eksokrin
Nikotin menyebabkan rangsangan awal pada kelenjar saliva dan sekresi bronchial yang kemudiannya
diikuti dengan hambatan (Brunton et al, 2008).
2.6.3 Farmakokinetik
Nikotin dapat diabsorpsi secara langsung dari saluran pernafasan, membran bukal, dan kulit. Keracunan
berat disebabkan oleh absorpsi perkutan. Nikotin adalah basa kuat, oleh karena itu absorpsinya pada
lambung terbatas tetapi absorpsi pada usus lebih baik. Nikotin pada permen karet, diserap lebih
perlahan dari nikotin inhalasi karena mempunyai durasi efek yang lebih panjang. Rokok biasanya
mengandung 6-11 mg nikotin dan melepaskan 1-3 mg nikotin secara sistemik kepada perokok,
bioavailabilitas meningkat sebanyak 3 kali dengan peningkatan puffing dan teknik dari perokok.
Nikotin terdapat dalam berbagai bentuk sediaan untuk membantu mencegah merokok. Hasil efikasi
primer adalah mencegah withdrawal dan sindrom abstinence. Nikotin dapat diberikan secara oral dalam
bentuk permen karet, transdermal patch, nasal spray dan vapor inhaler. Sediaan permen karet dan
patch banyak digunakan dan objektifnya adalah untuk mempertahankan konsentrasi plasma nikotin
lebih rendah dari konsentrasi darah vena setelah merokok (konsentrasi darah arteri diikuti dengan
inhalasi mencapai 10 kali lebih tinggi dari konsentrasi vena). Efikasi dari sediaan ini dalam mencegah
perokok dari merokok dapat ditingkatkan dengan konseling dan terapi motivasi.
Sekitar 80-90% nikotin diubah di dalam tubuh, kebanyakan di hati tetapi juga ada di ginjal dan paru dan
metabolit yang dihasilkan adalah kotinine. Profil metabolit dan kadar metabolisme sama pada perokok
dan non perokok. Waktu paruh nikotin pada inhalasi atau pemberian parenteral adalah 2 jam. Nikotin
dan metabolitnya dieliminasi dengan cepat oleh ginjal. Kadar ekresi nikotin oleh urinary berkurang
apabila urin bersifat basa. Nikotin juga dieksresi pada susu oleh ibu yang menyusui yang merokok, susu
perokok berat mengandung 0,5 mg/L nikotin (Brunton et al, 2008).
2.6.4 Interaksi Obat
Dengan Acetaminophen, caffeine, imipramine, oxazepam, pentazocine, propanolol, theophylline.
Absorption efektif dari nikotin gum tergantung dari saliva yang sedikit alkalis. Kopi, cola dan makanan
atau minuman yang lain dapat menurunkan pH saliva dan harus dihindari selama 15 menit sebelum dan
selama mengunyah gum. (A to Z Drug Fact, 2003).
Rokok tembakau dapat menginduksi enzim metabolisme di hati dan mengubah farmakokinetika banyak
obat. Obat seperti methoxsalen yang menghambat sitokrom P450 isoenzim CYP2A6 dapat menurunkan
metabolisme dari nikotin, sehingga konsentrasi nikotin dalam plasme akan meningkat (sweetman,
2009).
2.6.5 Efek Samping
Keracunan nikotin dapat terjadi apabila menelan spray insektisida yang mengandung nikotin dengan
tidak sengaja atau pada anak-anak yang menelan produk tembakau. Dosis fatal akut nikotin pada
dewasa adalah 60mg. Rokok tembakau mengandung 1-2% nikotin. Absorpsi gastric nikotin dari
tembakau yang dihisap dari mulut bersifat tertunda disebabkan pengosongan lambung yang perlahan,
jadi muntah disebabkan oleh efek sentral dari fraksi yang terabsorpsi dan mengeluarkan tembakau
yang masih tersisa di saluran pencernaan.
Onset gejala keracunan berat akut nikotin adalah cepat, mual, nyeri lambung, sekresi air liur meningkat,
muntah, diare, keringat dingin, pusing, dan gangguan pendengaran dan penglihatan, kekeliruan mental
dan lemah (Brunton et al, 2008).
2.7 Tinjauan Polimer
2.7.1 Tinjauan Eeudragid L 100
Eudragid merupakan kopolimer polimetakrilat yang terdiri atas asam metakrilat dan metilmetakrilat
(1:1) yang memiliki berat molekul rata-rata sekitar 135.000. Rasio antara asam karboksilat dengan
esternya sebesar 1:1 (Rowe et al., 2009). Polimer ini terbentuk dari poly ( acrylic acid ),(-
CH2CH(CO2H)-)n dengan mengganti atom hidrogen tersier dengan gugus metil , dan dengan esterifikasi
dari gugus asam karboksilat dengan metanol.
Gambar 2.8 Struktur kimia polymetilmetakrilat (Rowe et al, 2009)
Eudragid L 100 berbentuk kristal transparan jernih , glassy , berbentuk amorf pada tingkat
molekular. Memiliki sifat larut dalam etanol, aseton dan NaOH 1N serta larut dalam cairan lambung
sampai dengan larutan pH 5. Tidak larut dalam diklorometana, etil asetat, petroleum eter dan air
(Rowe et al., 2009).
Polimer Polimetakrilat biasanya digunakan sebagai bahan tambahan untuk membentuk matrik dari
transdermal delivery system dan juga digunakan dalam formulasi gel untuk penggunaan melalui rectal.
Eudragid bersifat nontoksik dan noniritan sehingga aman untuk digunakan (Rowe et al., 2009).
2.7.2 Tinjauan Polietilen Glikol 400
2.7.2.1 Karakteristik Fisika Kimia
Polietilen glikol sering digunakan dalam berbagai formulasi produk-produk farmasi, baik sediaan topikal,
parenteral, sediaan mata, oral dan sediaan rectal. PEG mempunyai fungsi sebagai basis ointment,
plasticizer, pelarut, basis suppositoria., lubrikan untuk tablet dan kapsul. Polietilen glikol ini cukup stabil
yang merupakan substansi hidrofilik yang tidak menimbulkan iritasi pada kulit. PEG stabil dengan udara
dan larutan, tidak mendukung pertumbuhan mikroba dan tidak dapat menjadi tengik.
PEG 400 berbentuk cairan yang bening, tidak berwarna atau berwarna sedikit kuning dan merupakan
cairan yang kental, bersifat higroskopis. Berbau dan berasa pahit, sedikit menimbulkan rasa terbakar.
PEG cair mempunyai densitas 1,11-1,14 g/cm pada 20°C, titik beku 4-8°C. PEG 400 larut dalam aseton,
alkohol, benzena, gliserin dan glikol. (Rowe et al, 2009)
2.7.2.2 Mekanisme PEG dalam meningkatkan kelarutan
Kerja dari bahan pembasah yaitu menurunkan sudut kontak antara permukaan dan cairan pembasah.
Sudut kontak adalah sudut antaratetes cairan dan permukaan ke atas mana suatu bahan menyebar
(Martin et al, 1993). Dalam hal ini, PEG menurunkan sudut kontak antara partikel bahan obat dan pelarut
yang digunakan. Bila sudut kontak antara zat padat dengan cairan adalah 0°, menandakan pembasahan
sempurna. Sudut kontak 180° berarti zat padat tidak dapat terbasahi atau mengambang di atas
prmukaan cairan.
2.7.3 Tinjauan tentang Polyvinylpyrrolidone K-30
2.7.3.1 Karakteristik Fisika Kimia PVP K-30
PVP K-30 merupakan polimer sintetis dengan struktur kimia 1-vinyl-2-pyrrolidinone. Dapat berfungsi
sebagai disintegran ; enhencer ; dan suspending agent. PVP K-30 memiliki berat molekul 50000 dengan
titik didih sebesar1500 C. Densitas PVP: 1.180 g/cm3.
Gambar 2. 12 struktur monomer Polyvinylpyrrolidone (Rowe et al, 2009)
Kelarutan dalam berbagai pelarut antara lain mudah larut dalam asam, kloroform, ethanol (95%),
methanol, dan air. Prktis tidak larut dalam eter, hidrokarbon, dan minyak. (Rowe et al, 2009)
2.7.3.2 Aplikasi dalam bidang farmasetika.
PVP banyak digunakan dalam berbagai macam pengembangan produk sediaan farmasi. Akan tetapi, PVP
paling sering digunakan dalam pembuatan sediaan tablet terutama proses granulasi basah. (Rowe et al,
2009)
2.8 Tinjauan Gliserin (C3H8O3)
2.8.1 Karakteristik Fisika Kimia
Gliserin merupakan cairan, jernih, viskus, tidak berwarna, tidak berbau, higroskopis, dan memiliki rasa
yang manis. Gliserin berfungsi sebagai antimikroba, kosolven, emolient, humektan, plasticizer, solven,
pemanis, dan pengatur tonisitas (Rowe et al, 2009).
Gambar 2.9 struktur Gliserin
Kelarutan gliserin dalam berbagai pelarut pada suhu 20°C antara lain sedikit larut dalam aseton, praktis
tidak larut dalam benzena, kloroform, minyak, larut dalam metanol, etanol 95%, dan air, larut dalam
1:500 dalam eter, dan 1:11 dalam etil asetat (Rowe et al, 2009).
2.8.2 Penggunaan Gliserin
Dalam teknologi farmasetik, gliserin digunakan dalam berbagai macam formulasi termasuk oral,
opthalmic, topical, dan sediaan parenteral.
Dalam formulasi farmasetikal topical dan kosmetik, gliserin digunkan sebagai humektan dan emolien.
Gliserin digunakan sebagai solven atau kosolven dalam krim dan emulsi. Gliserin ditambahkan dalam gel
dan juga sebagai aditif pada patch.
Dalam formulasi parenteral, gliserin digunakan sebagai solven dan kosolven. Dalam larutan oral gliserin
digunakan sebagai solven, pemansis, pengawet dan meningkatkan viskositas. Selain itu juga gliserin
berfungsi sebagai plasticizer dalam tablet salut film, plasticizer dalam produksi kapsul lunak gelatin dan
suppositoria gelatin. Gliserin masih digunakan sebagai agen terapetik di berbagai macam aplikasi klinikal
serta sebagai aditif makanan (Rowe et al, 2009).
2.8.3 Stabilitas dan kondisi penyimpanan
Gliserin bersifat higroskopis. Gliserin murni tidak mudah teroksidasi. Tetapi terdekomposisi pada panas
menjadi zat yang toksik. Campuran gliserin dan air, etanol 95% dan propilen glikol stabil secara kimia.
Gliserin dapat mengkristal bila disimpan pada temperatur rendah. Kristal tidak meleleh dengan
pemanasan sampai 20°C. Gliserin sebaiknya disimpan di ruang kedap udara, sejuk dan kering (Rowe et
al, 2009).
2.8.4 Inkompatibilitas Gliserin
Gliserin dapat meledak bila bercampur dengan oksidator kuat seperti kromium trioksida, potassium
klorat atau potassium permanganate. Perubahan warna pada gliserin, terjadi dalam paparan cahaya dan
kontak dengan ZnO/bismuth nitrat. Adanya kontaminan besi dalam gliserin menyebabkan perubahan
warna menjadi gelap. Gliserin membentuk asam borat kompleks dan asam gliseroboric. Dimana asam
gliseroboric lebih kuat daripada asam borat kompleks (Rowe et al, 2009).
2.9 Tinjauan Natrium Benzoat
Natrium benzoat (C7H5NaO2) memiliki berat molekul 144,11. Merupakan granular atau kristal berwarna
putih, serbuk yang sedikit higroskopis, tidak berbau atau dengan sedikit bau dari benzen serta memiliki
rasa manis dan asin yang tidak enak. Sodium benzoat memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai
antimikroba, bahan pengawet, dan lubrikan untuk tablet dan kapsul. Fungsi utamanya sebagai pengawet
antimikroba pada kosmetik, makanan dan sediaan farmasi.
Gambar 2.10 struktur Natrium Benzoat
Penggunaan dalam sediaan obat oral pada konsentrasi 0,02-0,5%, pada produk parenteral sebesar 0,5%
dan untuk kosmetik sebesar 0,1-0,5%. Pada beberapa penggunaan natrium benzoat menimbulkan rasa
yang tidak nyaman pada produk yang dihasilkan. Aktivitas antimikrobanya sangat baik pada kondisi
asam (pH 2-5) dan pada suasana basa hampir tidak menimbulkan efek. Natrium benzoat memiliki
densitas 1,497-1,527 g/cm pada 24°C, titik bekunya 0,24°C. Natrium benzoat larut dalam air (1:1,8 pada
20°C dan 1:1,4 pada 100°C), etanol 95% (1:75) dan etanol 90% (1:50). Natrium benzoat memiliki
inkompatibilitas dengan gelatin, garam ferri, garam kalsium dan garam dari logam berat seperti perak,
timah dan merkuri. Aktivitasnya sebagai pengawet akan hilang jika berinteraksi dengan kaolin atau
surfaktan nonionik. (Rowe et al, 2009)
2.10 Tinjauan Etanol 96%
2.10.1 Karakteristik Fisika Kimia
Etanol berfungsi sebagai pengawet antimikroba, disinfektan, enhancer dan solven. Alkohol merupakan
larutan yang jernih, tidak berwarna, mudah mengalir dan mudah menguap. Alkohol mempunyai bau
yang khas dan rasa terbakar. Etanol memiliki berat molekul sebesar 46,07 dengan titik didih 78,5°C dan
titik lebur -112°C. Etanol dapat campur dengan air dan dengan diklorometan. Larutan etanol aques
dapat disterilisasi dengan autoklaf atau dengan filtrasi dan harus disimpan didalam wadah tertutup rapat
di tempat dingin (Rowe et al, 2009).
2.10.2 Inkompatibilitas
dalam larutan yang bersifat asam, larutan etanol dapat bereaksi dengan material oksidasi. Campuran
dengan basa dapat mengelapkan warna disebabkan reaksi dengan residual aldehid. Garam organik atau
acacia akan mengendap jika dicampurkan dengan larutan aques. Etanol juga inkompabilitas dengan
wadah aluminium dapat dapat berinteraksi dengan beberapa obat (Rowe et al, 2009).
2.10.3 Aplikasi dalam Formulasi Farmasetika
Etanol dan larutan etanol aques dengan berbagai konsentrasi banyak digunakan dalam formulasi
farmasetika dan kosmetika. Walaupun secara umumnya etanol digunakan sebagai pelarut, etanol juga
dapat digunakan didalam larutan sebagai pengawet. Larutan topikal etanol dapat digunakan sebagai
enhancer dan disinfektan. Etanol juga telah digunakan dalam sediaan transdemal yang dikombinasikan
dengan Labrasol yang berfungsi sebagai co-sulfaktan. Sediaan yang mengandung lebih dari 50%v/v
alcohol dapat menyebabkan iritasi kulit apabila digunakan secara topical (Rowe et al, 2009).
2.11 Tinjauan Tentang Scotchpak Backing
Ada beberapa macan tipe dari Scotchpack backing, antara lain :
1. 3M Scotchpak 1109 Backing
Backing ini terdiri dari polietilen yang terpigmentasi dan vapor aluminium terlapisi poliester.
Backing patch tipe ini :
Berwarna coklat
Oklusif
Nyaman digunakan
Diproduksi untuk produk farmasetik
1. 3M Scotchpak 9733 Backing
Backing ini terdiri dari polyester dan kopolimer etilen vinil asetat heat seal layer.
Backing patch tipe ini memiliki sifat:
Tembus cahaya
Oklusif
Nyaman digunakan
Heat sealable (12%EVA)
Diproduksi untuk produk farmasetik
1. 3M Scotchpak 9732 Backing
Backing ini terdiri dari polyester dan kopolimer etil vinil asetat heat seal layer.
Backing patch tipe ini bersifat:
Tembus cahaya
Oklusif
Nyaman digunakan
Heat sealable (9% EVA)
Diproduksi untuk produk farmasetik
1. 3M Scotchpak 9730 Backing
Backing ini terdiri dari polietilen yang terpigmentasi, vapor aluminium terlapisi polyester, dan etilen vinil
asetat heat seal layer.
Backing tipe ini bersifat :
Berwarna coklat
Oklusif
Nyaman digunakan
Heat sealable
Diproduksi untuk produk farmasetik
1. 3M Scotchpak 9736 Backing
Backing ini terdiri dari polietilen yang terpigmentasi dan vapor aluminium terlapisi polyester.
Sifat dari backing tipe ini :
Berwarna putih
Oklusif
Nyaman digunakan
Diproduksi untuk produk farmasetik
1. 3M Scotchpak 9734 Backing
Backing tipe ini terdiri dari polietilen dan polietilan heat seal layer.
Sifat dari backing tipe ini :
Menghalangi masuknya UV
Tembus cahaya
Oklusif
Nyaman digunakan
Heat sealable
Diproduksi untuk produk farmasetik
1. 3M Scotchpak 9738 Backing
Backing tipe ini digunakan untuk formulasi yang membutuhkan ikatan yang kuat antara lapisan film.
Backing ini terdiri dari polietilen yang terpigmentasi, resin termoplastik, vapor aluminium terlapisi
polyester.
Sifat dari backing tipe ini :
Berwarna coklat
Oklusif
Printable
Nyaman digunakan
Diproduksi untuk produk farmasetik
Dapat secara langsung direkatkan ke adhesive
2.12Tinjauan Enhancer
2.12.1 Enhancer
Enhancer merupakan suatu senyawa yang dapat meningkatkan penetrasi obat ke dalam kulit dengan
menurunkan resistensi kulit secara reversibel.
Sifat enhancer yang ideal antara lain :
1. Inert secara farmakologi dan kimia serta stabil secara kimia.
2. Tidak toksik, tidak mengiritasi, dan tidak menyebabkan alergi.
3. Mempunyai mula kerja yang cepat lama kerja yang terprediksi serta efek yang reprodusibel.
4. Bisa tercampurkan secara fisika dan kimia dengan bahan formulasi yang lain.
5. Setelah dihilangkan dari kulit, stratum korneum dapat kembali secara cepat fungsi normalnya.
6. Tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, tidak mahal.
7. Bisa diterima secara farmasetikadan kosmetik.
Ada banyak mekanisme yang berperan dalam fungsi enhancer sebagai peningkat penetrasi. Salah satu
mekanisme yang mungkin adalah interaksi antara enhancer dengan gugus polar induk dari lipid,
sehingga interaksi antar gugus-gugus polar induk terganggu. Hasilnya akan memberi celah bagi obat-
obatan hidrofilik untuk bisa masuk. Gangguan terhadap gugus induk terhadap lipid bilayer oleh enhancer
yang bersifat polar pun dapat mempengaruhi bagian hidrofobik dari lipid dan akan menyebabkan
pengaturan ulang dari area bilayer tersebut. Hal ini bisa menjelaskan peningkatan penetrasi obat lipofilik
dengan menggunakan enhancer yang bersifat hidrofilik.
2.12.2 Tinjauan Mentol
2.12.2.1 Karakteristik Fisika Kimia
Mentol merupakan bahan yang memiliki nama kimia (1RS,2RS,5RS)-(_)-5-Methyl-2-(1-
methylethyl)cyclohexanol dengan berat molekul 156.27. Titik didih dari mentol adalah 2128°C dengan
Titik leleh sebesar 348°C. Indeks bias (nD20) Mentol adalah 1.4615. Mentol merupakan serbuk tidak
berwarna, berbentuk kristal mengkilap acicular atau prismatic, atau kristalin yang mudah mengalir atau
aglomerat.
Gambar 2.11 struktur Mentol (sweetman, 2009)
Kelarutan mentol dalam berbagai pelarut adalah mentol sangat larut dalam ethanol (95%), chloroform,
ether, minyak lemak dan paraffin cair; mudah larut dalam asam asetat glasial; larut dalam aseton dan
benzene; sangat sedikit larut dalam glycerin; Praktis tidak larut dalam water. Specific gravity 0.904 at
158°C. Mentol memiliki struktur yang optis aktif dengan rotasi optis [a]D 20 = –28 to þ28 (10% w/v
larutan alkohol)
Menthol banyak digunakan dalam farmasi, kembang gula, dan produk perlengkapan mandi sebagai agen
penambah rasa atau bau. Selain memberikan karakteristik rasa peppermint, l-mentol secara alami, juga
memberikan rasa dingin atau sensasi yang menyegarkan dalam penggunaannya secara topikal. Tidak
seperti manitol, yang memberikan sebuah efek yang sama karena panas negatif dari solusi, l-menthol
berinteraksi langsung dengan reseptor dan member rasa dingin di tubuh. d-Menthol tidak memiliki efek
pendinginan. Ketika digunakan untuk perasa tablet, mentol umumnya dilarutkan dalam etanol (95%)
dan disemprotkan ke butiran tablet dan tidak digunakan sebagai eksipien. Mentol telah diteliti sebagai
penambah penetrasi kulit dan juga digunakan dalam pembuatan wewangian, produk tembakau, permen
karet dan sebagai agen terapeutik. Bila digunakan pada kulit, mentol menyebabkan dilatasi pada
pembuluh darah, menyebabkan sensasi dingin diikuti oleh efek analgesik. Hal ini mengurangi rasa gatal
dan digunakan dalam krim, lotion, dan salep. Ketika diberikan secara oral dalam dosis kecil mentol
memiliki aktifitas karminatif.
2.12.2.2 Stabilitas dan Kondisi Penyimpanan
Formulasi yang mengandung 1% mentol w / w dalam krim air dilaporkan stabil hingga 18 bulan bila
disimpan di suhu kamar. Mentol harus disimpan dalam wadah tertutup baik
tidak melebihi suhu 258C, karena mudah menyublim.
2.12.2.3 Inkompatibilitas
Tidak kompatibel dengan butilkloral hidrat, kapur barus, kloralhidrat, kromium trioksida, ?-naftol, fenol,
kalium permanganat, pyrogallol, dan timol.
2.12.2.4 Mekanisme menthol sebagai enhancher
Enhancer adalah bahan tambahan yang dapat meningkatkan laju penetrasi obat menembus stratum
corneum dengan berbagai macam mekanisme kerja. Mentol mempengaruhi permeasi kulit oleh dua
mechanism yaitu dengan membentuk campuran eutektik dengan komponen penetrasi, sehingga
meningkatkan kelarutannya, dan dengan mengubah sifat penghalang dari stratum korneum. Mentol
lebih memudahkanpendistribusian ke dalam ruang interseluler dari stratum korneum dan mungkin
menyebabkan gangguan domain lemak, sehingga meningkatkan permeasi obat (Kunta, JR,dkk ; 1997).
Menthol meningkatkan fluiditas lapisan lipid bilayer dari stratum korneum, sehingga meningkatkan
permeasi zat hidrofilik (Kitagawa, S.,dkk ; 1997)
BAB 3
Metode Produksi
3.1 Formula
Bahan
Fungsi Formula 1 Formula 2 Formula 3
Nikotin Bahan Aktif 35 mg 25 mg 15 mg
Eudagrid-L100 Polimer Matrik Adhesif 82,46 mg 89,14 mg 95,80 mg
PVP Polimer Matrik Adhesif 41,74 mg 45,06 mg 48,40 mg
PEG 400 Plasticizer, stabilizer 27,40 mg 27,40 mg 27,40 mg
Glyserin Plasticizer,Enhancer 11,90 mg 11,90 mg 11,90 mg
Sodium Benzoat Pengawet 0,50 mg 0,50 mg 0,50 mg
Menthol Enhancher 1 mg 1 mg 1 mg
Ethanol Pelarut 2 ml 2 ml 2 ml
3.2 Cara Pembuatan/Produksi
3.2.1 Skala Laboratorium
Gambar 3.1 skema kerja pembuatan nikotin transdermal skala laboratorium
3.2.2 Skala Industri
Gambar 3.2 skema kerja pembuatan nikotin transdermal skala indus
Gambar 3.4 Alur alat yang digunakan selama produksi
3.3 Evaluasi
Evaluasi sedian transdermal diklasifikasikan kedalam tiga tipe yaitu :
1. Evaluasi fisikokimia
2. Evaluasi in vitro
3. Evaluasi in vivo
3.3.1 Evaluasi fisikokimia
A. Keseragaman Kandungan Patch
Film diambil secara acak dan dipotong kecil – kecil dan dimasukkan kedalam 100 ml buffer fosfat pH 7,4.
Kemudian diaduk dengan magnetic stirrer hingga diperoleh larutan homogen dan disaring. Diambil 1 ml
filtrat ditambahkan buffer fosfat ad 100 ml. Kemudian dari larutan ini dipipet 1 ml dan ditambahkan
dbuffer fosfat ad 10 ml. Kandungan bahan aktif dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV.
B. Film Tickness
Ketebalan film ditentukan dengan digital micrometer screw gauge pada tiga tempat yang berbeda dan
dihitung rata-ratanya.
C. Weight variation
Variasi berat ditentukan dengan cara diambil 10 patch secara acak dan ditimbang masing-masing
beratnya. Kemudian dihitung rata-rata dari 10 patch tersebut. Berat masing-masing patch tidak boleh
menyimpang terlalu jauh dari berat rata-rata.
D. Tahanan Lipat
Evaluasi tahanan lipat termasuk penentuan kapasitas lipat dari film terhadap kondisi lipatan yang
ekstrim. Tahanan lipat ditentukan dengan melipat berkali-kali bagian dari film (2×2 cm) pada tempat
yang sama hingga patah. Jumlah lipatan dimana dapat film tidak patah merupakan nilai tahanan lipat.
Pembacaan dilakukan sebanyak tiga kali dan dihitung rata-rata tahanan lipatnya.
E. Tensil strength
Untuk menentukan tensil strength, polimer film diapit dengan menggunakan corked linear iron plete.
Salah satu ujung film dijaga tetap dengan bantuan iron screen dan ujung yang lain dihubungkan secara
bebas ke katrol. Beban ditambahkan secara gradual ke pan yang digantung dengan benang. Penunjuk
pada benang digunakan untuk mengukur pemanjangan film. Beban yang cukup untuk mematahkan film
dicatat. Tensil strength dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:
Tensile strength= F/a.b (1+L/l)
F = Beban yang dibutuhkan untuk mematahkan film; a = lebar film; b = ketebalan film; L = panjang
film; l = pemanjangan film pada break point.
1. F. Moisture loss
Film diukur beratnya secara tepat. Kemudian film dimasukkan dalam desikator yang berisi kalsium
klorida anhidrat. Setelah 3 hari film dikeluarkan dan moisture loss dihitung dengan persamaan:
G. Moisture content
Masing-masing ditentukan beratnya. Kemudian dimasukkan kedalam desikator silica aktif atau kalsium
klorida pada temperature ruang selama 24 jam. Masing-masing film ditentukan kembali beratnya hingga
diperoleh berat yang konstan. Persen moisture content dihitung dengan persamaan:
H. Moisture uptake
Ditentukan berat awal film yang telah dimasukkan desikator pada temperature ruang selama 24 jam.
Kemudian film dimasukkan desikator yang berisi 100 ml larutan jenuh aluminium klorida (RH dijaga 79,5
– 84%) hingga diperoleh berat konstan film. Moisture uptake dihitung dengan persamaan:
3.3.2 Uji In vitro
A. Uji permeasi kulit menggunakan hewan (Wistar rat)
Uji permeasi kulit dilakukan dengan menggunakan sel difusi. Kulit abdomen tikus Wistar jantan dengan
berat 200-250 g. Rambut bagian abdomen dicukur hati-hati dengan menggunakan pencukur elektrik.
Bagian dermis di bersihkan dengan aquadest untuk menghilangkan jaringan yang menempel atau
pembuluh darah. Direndam dalam dapar fosfat pH 7,4 selama 1 jam sebelum dilakukan eksperimen dan
diletakkan pada megnetik stirrer dengan jarum magnetik kecil untuk membentuk distribusi dari
diffusant. Temperatur dari sel dipertahankan pada 32±0,5°C menggunakan termostat. Isolat kulit tikus
diletakkan diantara kompartemen sel difusi, dengan epidermis menghadap keatas pada kompartemen
donor. Di ambil sejumlah volume dari volume tertentu yang dilepaskan dari kompartemen reseptor pada
interval waktu dan digantikan dengan media segar sejumlah sama dengan volume sampel yang diambil.
Sampel disaring melalui media penyaring dan di analisis menggunakan spektrofotometer UV atau HPLC.
Flux dapat ditentukan langsung dari slope kurva antara harga steady-state dari jumlah obat yang
terpenetrasi (mg/cm2) terhadap waktu dalam jam dan koefisien permeabilitas ditentukan dengan
membagi flux dengan obat yang ditambahkan mula-mula (mg/cm2) (Kumar et al, 2010).
B. Uji Pelepasan Obat dari Patch in vitro
Menurut Chinese Pharmacopoeia (2005), apparatus 3 digunakan untuk karakterisasi pelepasan bahan
obat dari patch. Untuk melakukan itu, 900ml dapar fosfat (pH 7,4) dimasukkan dalam bejana, dan
kemudian media diatur pada suhu 32±0,5°C. Setelah memasang sistem transdermal pada disk, disk
diletakkan mendatar dibagian bawah bejana dengan permukaan pelepasan menghadap keatas dan
paralel dengan tepi paddle blade serta permukaan media. Bagian bawah paddle berjarak 25±2mm dari
permukaan disk. Apparatus dimulai dengan kecepatan 50 atau 75 rpm. Bejana ditutupi selama tes untuk
meminimalkan penguapan. Pada 1,2,4,6, dan 8 jam, 5 ml sampel dari zona tengah antara permukaan
media dan bagian atas paddle blade diambil dan diganti dengan media baru dengan volume yang sama.
Tiap harga yang dihasilkan merupakan rata-rata dari pembacaan 6 sampel. Kemudian sampel dianalisis
menggunakan HPLC. (Li et al, 2007)
3.3.3 Uji In vivo
A. Uji Permeasi Kulit In vivo
Studi permeasi in vivo dilakukan untuk melihat keefektifan sediaan dalam menembus kulit pada
mahluk hidup. Patch digunakan oleh subjek selama waktu tertentu.
Keefektifan uji bisa dilihat dengan mengukur konsentrasi bahan aktif dalam darah atau urin subjek
atau dengan melihat efek farmakologinya.
In vivo : – animal models
- human volunteers
Animal models yang biasanya digunakan tikus, hairless rat, hairless dog, hairless rhesus monkey,
kelinci, guinea pig, dan lain-lain.
Human models : terdiri dari 4 fase clinical trial
- fase I : untuk menguji keamanan sediaan pada volunteer
- fase II : untuk menguji keamanan dan efektifitas sediaan pada
volunteer
- fase III : untuk menguji keamanan dan efektifitas sediaan pada
volunteer skala besar
- fase IV : dilakukan setelah pemasaran sediaan untuk mengetahui reaksi
efek samping sediaan
B. Uji iritasi kulit
Hewan coba yang digunakan misal : tikus putih albino, mencit dan kelinci digunakan untuk
mengetahui reaksi hipersensitifitas pada kulit.
Hewan coba dibagi dalam 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 6 hewan coba.
Sehari sebelum dilakukan percobaan, bulu di daerah belakang hewan coba dicukur dan dibersihkan
Kelompok I : hewan coba tidak diberi perlakuan
Kelompok II : sebagai kontrol diberi adhesive tape USP (Leucoplast)
Kelompok III : diberi sediaan patch tanpa bahan obat
Kelompok IV : diberi sampel sediaan patchyang mengandung bahan aktif
Kelompok V : dibeli larutan formalin 0,8% v/v sebagai standar iritan
Kelompok hewan coba diberi perlakuan setiap hari selama 7 hari dengan patch serta larutan formalin
yang baru setiap harinya. Kemudian dilakukan scoring terhadap efek visual yang yang terjadi pada kulit
yang dilakukan oleh satu orang yang sama. Yang dilakukan pada uji ini adalah terjadinya eritema dan
edema pada kulit hewan coba yang diberikan perlakuan. Misal angka 0 tidak terjadi eritema, 1 sedikit
kemerahan, 2 terjadi eritema, 3 eritema sedang, dan 4 terjadi pembentukan luka. Begitu pula dengan
edema hampir sama dengan ritema 0 untuk tidak terjadi edema, 1 sedikit, 2 terjadi edema, 3 untuk
edema sedang dan 4 terjadi edema yang parah.
3.4 Kemasan
A. Kemasan Primer
Terlampir
B. Kemasan sekunder
Terlampir
C. Brosur
Terlampir
3.5 Registrasi
Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia
(Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor : Hk.00.05.3.1950).
Registrasi obat produksi dalam negeri hanya dilakukan oleh industri farrnasi yang memiliki izin industri
farmasi yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan. Industri farmasi yang teregistrasi harus memenuhi
persyaratan CPOB.
Obat yang akan diajukan untuk mendapatkan surat ijin edar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Efikasi atau khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui uji
preklinik dan uji klinik atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu
pengetahuan yang bersangkutan;
2. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap semua bahan yang digunakan serta
produk jadi dengan bukti yang sahih;
3. Dapat memperikan data-data informasi yang lengkap, obyektif, serta dapat menjamin
penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman.
Pada saat mendaftarkan produk untuk memperoleh ijin edar, Produsen harus mengisi formulir
pendaftaran yang disertai dengan dokumen-dokumen, antara lain:
1. Rancangan kemasan yang meliputi etiket, dus/bungkus luar, strip/blister, catch cover, dan
kemasan lain sesuai ketentuan tentang pembungkusan dan penandaan yang berlaku, yang
merupakan rancangan kemasan obat yang akan diedarkan dan dapat dilengkapi dengan
rancangan warna obat tersebut
2. Brosur yang berisi informasi mengenai obat.
Obat yang didaftarkan kemudian dievaluasi. Untuk melakukan evaluasi tersebut, dibentuk panitia
tersendiri, yang terdiri atas :
a. Komite Nasional Penilai Obat
b. Panitia Penilai Khasiat-Keamanan
c. Panitia Penilai Mutu, Teknologi, Penandaan dan Kerasionalan Obat
Pendaftar yang telah mendapat izin edar wajib memproduksi atau mengimpor dan mengedarkan
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah tanggal persetujuan dikeluarkan. Setelah obat beredar,
dapat dilakukan evaluasi kembali (evaluasi ulang) terhadap obat. Hal ini dilakukan terhadap :
1. Obat dengan risiko efek samping lebih besar dibandingkan dengan efektifitasnya, dan baru
terungkap sesudah obat dipasarkan.
2. Obat dengan efektifitas tidak lebih baik dari plasebo.
3. Obat yang tidak memenuhi persyaratan ketersediaan hayati/bioekivalensi.
Terhadap obat- obat yang dilakukan evaluasi kembali tersebut, produsen wajib menarik obat tersebut
dari pasaran. Selain ketiga kondisi di atas, evaluasi ulang terhadap obat juga dapat dilakukan atas tujuan
perbaikan dan pengembangan komposisi dan formula obat (KP Kepala BPOM RI, 1950; Peraturan MenKes
RI, 2008).
Adapun langkah-langkah registrasi produk adalah sebagai berikut :
PENGAJUAN PERMOHONAN IJIN
Perusahan melakukan pengajuan permohonan ijin dan tidak melakukan registrasi karena perusahaan
kami bukan merupakan perusahaan baru.
Langkah pengajuan permohonan ijin produk adalah sebagai berikut:
Buka Homepage Aplikasi E-Licensing BPOM dari sisi pengguna/Customer/Pemohon (http://e-
bpom.pom.go.id/) à log in
Tunggu hingga muncul tampilan sebagai berikut:
Pada Menu klik Pilih Dokumen Baru à pilih jenis komoditinya (Bahan Baku Obat).
Kemudian akan muncul form Surat Permohonan Ijin seperti gambar berikut:
A. Memasukkan Detil Produk Menggunakan Form Entry
klik “Hal. Berikutnya” à Memasukkan Detil Produk Menggunakan Form Entry à tekan “Simpan”
B. Memasukkan Detil Produk Menggunakan Dokumen CSV
klik Updload Detil
Akan muncul tampilan updload dokumen CSV sebagai berikut:
Klik tombol Browse, untuk mencari file CSV yang akan diupload.
setelah itu klik tombol Open, Bila dipilih file CSV yang akan di upload, akan muncul tampilan sebagai
berikut:
Untuk memulai proses entry detil produk dari file CSV tersebut klik tombol Simpan à muncul
Confirmation Box seperti berikut ini:
Produk akan masuk kedalam daftar, anda dapat menghapus atau mengedit data produk tersebut dengan
memilihnya pada dropdown kemudian pilih Proses.
Setiap produk tersebut harus dilengkapi dengan Dokumen Produk, untuk menambahkan dokumen
produk, Pilih Produk yang akan ditambahkan dokumen kemudian pilih Tambah Dokumen Produkdari
menu dropdown dan pilih Proses.
Akan muncul tampilan/form penambahan dokumen produk seperti berikut:
Isikan form penambahan produk tersebut à tekan simpan untuk menyimpan Dokumen Produk.
Untuk proses selanjutnya, surat permohanan ijin harus dilengkapi Dokumen Pelengkap seperti BL/AWB
dan Invoice. Untuk menambahkan dokumen pelengkap tersebut, klik Dokumen Pelengkap.
Akan Muncul tampilan/form Penambahan Dokumen Pelengkap seperti berikut:
Isi form tersebut à tekan Simpan untuk menyimpan dokumen pelengkap tersebut à klik tombol jika
semua data telah diidikan untuk memeriksa isian Surat Permohonan Ijin tersebut. Akan muncul tampilan
sebagai berikut:
Bila terdapat kekurangan data yang mandatory, akan muncul tampilan sebagai berikut:
Untuk mengirimkan data, Anda harus melengkapi data-data tersebut. Klik à data dikirimkan, Klik tombol
untuk dilakukan proses selanjutnya oleh BPOM.
Data Aplikasi yang diajukan User yang telah masuk ke BPOM harus diperiksa terlebih dahulu oleh
Pemeriksa.
Incoming search terms:
artikel sistem penghantaran obat secara oral
titik leleh nikotin
fungsi Poli Etilen sebagai pelarut nikotin
transappendageal merupakan
cara pengujian sediaan sebagai emolien pada hewan uji
nikotin bagi lambung
proses nikotin terjadi secara difusi
nikotin dan nrt
pengertian transdermal
dunia farmasi formula peg 400