bab 1

27
BAB 1 Pendahuluan 1. Latar Belakang Merokok adalah kegiatan khas pada manusia yang tampaknya sama tuanya dengan peradaban manusia, padahal selain membawa mudharat, tak ada manfaat yang ditawarkan dari kebiasaan tersebut. Selain itu merokok merupakan faktor resiko terbesar terhadap 20 penyakit termasuk penyakit kardiovaskular seperti jantung koroner, stroke, hipertensi dan pembuluh darah perifer, penyakit respirasi seperti bronkitis kronik, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan kanker paru. Koagulasi darah lebih mudah terjadi pada perokok dibandingkan dengan tidak perokok sehingga terjadi peningkatan kadar fibrinogen yang mengakibatkan agregasi trombosit. Tembakau mengandung lebih 4000 bahan yang berpotensial sebagai karsinogenik seperti tar, nikotin, karbonmonoksida, aseton, naftilamin, ammonia, cadmium, metanol, arsen, toluen, uretan dan lainnya sehingga merupakan faktor resiko utama terjadi kanker paru, karsinoma nasofaring dan pencernaan atas (Imansyah, 2008). Merokok merupakan masalah kesehatan global, World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah perokok didunia sebanyak 2,5 milyar orang dengan dua pertiganya berada di negara berkembang. Indonesia menempati urutan kelima diantara negara-negara dengan tingkat agregasi konsumsi tembakau tertinggi di dunia. Negara-negara dengan konsumsi tembakau tertinggi pada tahun 2002 adalah cina 1.697.291, Amerika 463.504, Rusia 375.000, Jepang 299.085, Indonesia 178.300, Jerman 148.400. Namun Indonesia mengalami peningkatan tajam konsumsi tembakau dalam 30 tahun terakhir. Dari 33 milyar batang pertahun di tahun 1970 ke 217 milyar batang di tahun 2000. Antara tahun 1970 dan 1980, konsumsi meningkat sebesar 159%. Faktor-faktor yang ikut berperan adalah iklim ekonomi yang positif dan mekanisasi produksi rokok di tahun 1974. Antara tahun 1990 dan 2000, peningkatan lebih jauh sebesar 54% terjadi dalam konsumsi tembakau-walaupun terjadi krisis ekonomi. Di indonesia makin rendah penghasilan, makin tinggi prevalensi merokoknya. Sebanyak 62,9% pria berpenghasilan rendah merokok secara teratur dibandingkan dengan 57,4% pada pria berpenghasilan tinggi. Namun pendidikan yang lebih tinggi berarti konsumsi yang lebih tinggi pula. Pria berpenghasilan tinggi merokok sekitar 12,4 batang per hari dibandingkan dengan 10,2 batang pada pria berpenghasilan rendah. Sebagian besar (68,8%) perokok mulai merokok sebelum umur 19 tahun, saat masih anak-anak atau remaja. Rata-rata umur mulai merokok yang semula 18,8 tahun pada tahun 1995 menurun ke 18,4 tahun pada tahun 2001 (Depkes RI, 2003) Pemakaian nikotin mempunyai pola ketergantungan penggunaan secara terus-menerus. Ketergantungan nikotin karena peningkatan ekspresi reseptor nikotin di otak menyebabkan perubahan metabolisme glukosa di otak, elektroencetalografi dan penglepasan katekolamin, ketergantungan fisiologik sehingga efek ini akan meningkatkan ketagihan untuk merokok dan gejala ketergantungan terjadi dalam beberapa jam setelah merokok. Ketergantungan merokok sangat cepat terjadi terutama pada pagi hari dan menimbulkan gejala ketergantungan nikotin tergantung dari dosis dan penyerapan nikotin pada tiap individu (Imansyah, 2008). Penghentian secara tiba-tiba menyebabkan neuroadaptasi berupa perubahan morfologi pada otak yaitu desentisisasi dan inaktivasi sejumlah reseptor yang mengakibatkan penurunan mood, sulit tidur, frustasi, depresi, disforia, sulit berkonsentrasi, gelisah, cepat

Upload: evansdio-handy-dochino-osiris

Post on 04-Aug-2015

109 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1

BAB 1

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Merokok adalah kegiatan khas pada manusia yang tampaknya sama tuanya dengan peradaban manusia,

padahal selain membawa mudharat, tak ada manfaat yang ditawarkan dari kebiasaan tersebut. Selain

itu merokok merupakan faktor resiko terbesar terhadap 20 penyakit termasuk penyakit kardiovaskular

seperti jantung koroner, stroke, hipertensi dan pembuluh darah perifer, penyakit respirasi seperti

bronkitis kronik, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan kanker paru. Koagulasi darah lebih mudah

terjadi pada perokok dibandingkan dengan tidak perokok sehingga terjadi peningkatan kadar fibrinogen

yang mengakibatkan agregasi trombosit. Tembakau mengandung lebih 4000 bahan yang berpotensial

sebagai karsinogenik seperti tar, nikotin, karbonmonoksida, aseton, naftilamin, ammonia, cadmium,

metanol, arsen, toluen, uretan dan lainnya sehingga merupakan faktor resiko utama terjadi kanker paru,

karsinoma nasofaring dan pencernaan atas (Imansyah, 2008).

Merokok merupakan  masalah kesehatan global, World Health Organization (WHO) memperkirakan

jumlah perokok didunia sebanyak 2,5 milyar orang dengan dua pertiganya berada di negara

berkembang. Indonesia menempati urutan kelima diantara negara-negara dengan tingkat agregasi

konsumsi tembakau tertinggi di dunia. Negara-negara dengan konsumsi tembakau tertinggi pada tahun

2002 adalah cina 1.697.291, Amerika 463.504, Rusia 375.000, Jepang 299.085, Indonesia 178.300,

Jerman 148.400. Namun Indonesia mengalami peningkatan tajam konsumsi tembakau dalam 30 tahun

terakhir. Dari 33 milyar batang pertahun di tahun 1970 ke 217 milyar batang di tahun 2000. Antara

tahun 1970 dan 1980, konsumsi meningkat sebesar 159%. Faktor-faktor yang ikut berperan adalah iklim

ekonomi yang positif dan mekanisasi produksi rokok di tahun 1974. Antara tahun 1990 dan 2000,

peningkatan lebih jauh sebesar 54% terjadi dalam konsumsi tembakau-walaupun terjadi krisis ekonomi.

Di indonesia makin rendah penghasilan, makin tinggi prevalensi merokoknya. Sebanyak 62,9% pria

berpenghasilan rendah merokok secara teratur dibandingkan dengan 57,4% pada pria berpenghasilan

tinggi. Namun pendidikan yang lebih tinggi berarti konsumsi yang lebih tinggi pula. Pria berpenghasilan

tinggi merokok sekitar 12,4 batang per hari dibandingkan dengan 10,2 batang pada pria berpenghasilan

rendah. Sebagian besar (68,8%) perokok mulai merokok sebelum umur 19 tahun, saat masih anak-anak

atau remaja. Rata-rata umur mulai merokok yang semula 18,8 tahun pada tahun 1995 menurun ke 18,4

tahun pada tahun 2001 (Depkes RI, 2003)

Pemakaian nikotin mempunyai pola ketergantungan penggunaan secara terus-menerus. Ketergantungan

nikotin karena peningkatan ekspresi reseptor nikotin di otak menyebabkan perubahan metabolisme

glukosa di otak, elektroencetalografi dan penglepasan katekolamin, ketergantungan fisiologik sehingga

efek ini akan meningkatkan ketagihan untuk merokok dan gejala ketergantungan terjadi dalam beberapa

jam setelah merokok. Ketergantungan merokok sangat cepat terjadi terutama pada pagi hari dan

menimbulkan gejala ketergantungan nikotin tergantung dari dosis dan penyerapan nikotin pada tiap

individu (Imansyah, 2008).

Penghentian secara tiba-tiba menyebabkan neuroadaptasi berupa perubahan morfologi pada otak yaitu

desentisisasi dan inaktivasi sejumlah reseptor yang mengakibatkan penurunan mood, sulit tidur, frustasi,

depresi, disforia, sulit berkonsentrasi, gelisah, cepat lelah, penurunan denyut jantung, peningkatan nafsu

makan, dan kenaikan berat badan (Budi, 2008)

Berbagai upaya pengendalian bahaya merokok yang dikenal sebagai smoking cessation programtelah

banyak dilakukan. Secara umum smoking cessation program dapat dikategorikan sebagai program yang

menggunakan pendekatan perilaku (behavioral intervention), intervensi menggunakan

obat (pharmacological intervention), dan metode alternatif. Pendekatan perilaku mencakup konsultasi

dengan tenaga medis/dokter, konseling individu, konseling kelompok, dan konseling melalui telepon.

Page 2: Bab 1

Intervensi dengan obat misalnya nicotine replacement therapy (NRT) merupakan standar pendekatan

terhadap farmakoterapi pada ketergantungan nikotin dan nikotin antagonis. Saat ini terdapat empat

bentuk pengganti nikotin yaitu permen karet nikotin (nicotine gum), nikotin tempelan transdermal

(nicotine patch), nikotin semprotan hidung (nicotine nasal spray) dan nikotin hirup (nicotine inhaler)

(Imansyah, 2008).

Salah satu terapi yang digunakan adalah nikotin patch dimana nikotin diabsorbsi melalui kulit. Nikotin

patch melepaskan sejumlah nikotin secara konstan ke dalam tubuh. Berbeda dengan nikotin yang

terkandung dalam asap tembakau yang masuk ke pembuluh darah dengan segera melalui paru-paru,

nikotin yang terkandung di dalam patch membutuhkan 3 jam untuk melalui lapisan kulit dan mencapai

pembuluh darah pengguna. Patch yang digunakan bersifat adesif, patch yang berukuran lebar dapat

menghantarkan nikotin lebih banyak melalui kulit. Nikotin patch tidak dapat dilepas, harus dipasang

sepanjang hari sebagai pengganti rokok. Beberapa produk perlu diganti setiap 24 jam sekali. Beberapa

produk hanya digunakan selama beraktivitas dan dilepas selama tidur. Pemakaian patch nikotin dapat

mengurangi beberapa gejala utama kecanduan rokok, seperti gugup, mudah marah, mengantuk, dan

kurang konsentrasi. Beberapa efek samping pemakaian patch : iritasi kulit, pusing, denyut jantung yang

cepat, insomnia, sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, dan menjadi orang yang tidak ramah.

Dari uraian tersebut maka dilakukan penentuan formulasi yang tepat dalam pembuatan nikotin

transdermal system sebagai nicotine replacement therapy (NRT) serta proses prosuksinya berdasarkan

sifat-sifat dan karakteristik dari nikotin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 3: Bab 1

BAB 2

TINJAUAN PUsTAKA

2.1       Tinjauan tentang Kulit

Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar (Aiache, 1993). Kulit

berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya substansi-subtansi penting dari

dalam tubuh dan masuknya subtansi-subtansi asing ke dalam tubuh (Chien, 1987). Meskipun kulit relatif

permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh

senyawa-senyawa obat atau bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik

baik yang bersifat setempat maupun sistemik (Aiache, 1993). Dari suatu penelitian diketahui bahwa

pergerakan air melalui lapisan kulit yang tebal tergantung pada pertahanan lapisan

stratum corneum yang berfungsi sebagai rate-limiting barrier pada kulit (Swarbirck dan Boylan, 1995).

Kulit mengandung sejumlah bentukan bertumpuk dan spesifik yang dapat mencegah masuknya bahan-

bahan kimia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya lapisan tipis lipida pada permukaan lapisan tanduk

dan lapisan epidermis malfigi. Sawar kulit terutama disusun oleh lapisan tanduk (stratum corneum),

namun demikian cuplikan lapisan tanduk (stratum corneum) terpisah mempunyai permeabilitas yang

sangat rendah dengan kepekaan yang sama seperti kulit utuh. Lapisan tanduk saling berikatan dengan

kohesi yang sangat kuat merupakan pelindung kulit yang paling efisien (Aiache, 1993).

Secara mikroskopik, kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda, berturut-turut dari luar kedalam

yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening

dan lapisan dibawah kulit yang berlemak atau yang disebut hipodermis (Aiache, 1993). Struktur kulit

yang terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan hipodermis dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.1 Struktur Kulit

Stratum corneum

Stratum corneum merupakan lapisan terluar dari kulit, dimana merupakan pelindung utama dari

kebanyakan senyawa yang kontak dengan kulit. Stratum corneum terdiri dari 10-20 lapisan tebal dan

terdapat pada seluruh tubuh. Setiap sel datar, struktur mirip seperti piring dengan panjang sekitar 34-44

µm, lebar sekitar 25-36 µm, tebal sekitar 0,2-0,5 µm dengan luas area sekitar 750-1200 µm2. Stratum

corneum mengandung lemak (5-15%) termasuk fosfolipid, glikosphingolipid, kolesterol sulfat dan lipid

netral; protein (75-85%) dengan kandungan protein utama ialah keratin (Shembale, 2010)

Viable epidermis

Lapisan kulit ini terletak diantara stratum corneum dan dermis dan memiliki ketebalan sekitar 50-100

mm. Struktur sel pada viable epidermis secara fisikokimia mirip dengan jaringan lainnya. Antar sel

disatukan oleh tronofibrils. Densitas dari wilayah ini tidak jauh berbeda dengan air. Kandungan air di

dalamnya sekitar 90% (Shembale, 2010).

 

Dermis

Dermis terletak di bawah viabel epidermis. Strukturnya berupa fibrin dan sangat sedikit sel yang

memiliki struktur seperti ini dapat ditemukan secara histologi pada jaringan yang normal. Tebal dari

dermis sekitar 2000-3000 mm dan terdiri dari matriks. Matriks yang kehilangan jaringan ikat yang terdiri

dari benang protein melekat pada substansi dasar amorf (Shembale, 2010).

 

Jaringan Penghubung Subkutan (Subcutaneous connective tissue)

Jaringan subkutan atau hipodermis sebenarnya tidak di anggap sebagai bagian yang sebenarnya dari

jaringan ikat terstruktur yang terdiri dari jaringan bertekstur, putih, jaringan ikat berfibrosa yang

mengandung pembuluh darah dan getah bening, lubang pengeluaran dari kelenjar keringat dan saraf

kulit. Banyak peneliti yang menduga obat menembus kulit kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi

Page 4: Bab 1

sebelum mecapai hipodermis, meskipun jaringan lemak dapat bertindak sebagai depo obat. Banyak

penelitian menunjukkan obat paling banyak diserap melalui kulit masuk ke dalam sistem peredaran

darah sebelum mecapai hipodermis walaupun jaringan lemak bisa berfugsi sebagai depo obat

(Shembale, 2010).

2.2       Absorpsi Perkutan

Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari luar kulit ke dalam jaringan di bawah kulit,

kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif (Chien, 1987). Mengacu pada

Rothaman, penyerapan (absorpsi) perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan suatu

senyawa dari lingkungan luar ke bagian kulit sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit

ke dalam peredaran darah dan getah bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan terjadi

pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda (Aiache,

1993).

Fenomena absorpsi perkutan (atau permeasi pada kulit) dapat digambarkan dalam tiga tahap yaitu

penetrasi pada permukaan stratum corneum, difusi melalui stratum corneum, epidermis dan dermis,

masuknya molekul kedalam mikrosirkulasi yang merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Mekanisme

penghantaran obat melalui transdermal digambarkan pada gambar 2.2. (Chien, 1987).

 

 

Gambar 2.2 Mekanisme Penghantaran Obat melalui Transdermal mulai dari pelepasan

obat menuju jaringan target (Chien, 1987)

 

Penetrasi melintasi stratum corneum dapat terjadi melalui penetrasi transepidermal dan

penetrasitransappendageal. Pada kulit normal, jalur penetrasi obat umumnya melalui epidermis

(transepidermal), dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut maupun melewati kelenjar keringat

(transappendageal).

Jumlah obat yang terpenetrasi melalui jalur transepidermal berdasarkan luas permukaan pengolesan dan

tebal membran. Kulit merupakan organ yang bersifat aktif secara metabolik dan kemungkinan dapat

merubah obat setelah penggunaan secara topikal. Biotransformasi yang terjadi ini dapat berperan

sebagai factor penentu kecepatan (rate limiting step) pada proses absorpsi perkutan (Swarbrick dan

Boylan, 1995).

 

a. Penetrasi transappendageal

Rute transappendageal merupakan rute yang sedikit digunakan untuk transport molekul obat, karena

hanya mempunyai daerah yang kecil (kurang dari 0,1% dari total permukaan kulit). Akan tetapi, rute ini

berperan penting pada beberapa senyawa polar dan molekul ion hampir tidak berpenetrasi melalui

stratum corneum (Moghimi dkk, 1999).

Rute transappendageal ini dapat menghasilkan difusi yang lebih cepat, segera setelah penggunaan obat

karena dapat menghilangkan waktu yang diperlukan oleh obat untuk melintasi stratum corneum. Difusi

melalui transappendageal ini dapat terjadi dalam 5 menit dari pemakaian obat (Swarbrick dan Boylan,

1995).

 

b. Penetrasi transepidermal

Sebagian besar penetrasi zat adalah melalui kontak dengan lapisan stratum corneum. Jalur penetrasi

melalui stratum corneum ini dapat dibedakan menjadi jalur transelular dan interseluler. Prinsip

masuknya penetran kedalam stratum corneum adalah adanya koefisien partisi dari penetran. Obat-obat

yang bersifat hidrofilik akan berpenetrasi melalui jalur transeluler sedangkan obat-obat lipofilikakan

Page 5: Bab 1

masuk kedalam stratum corneum melalui rute interseluler. Sebagian besar difusan berpenetrasi

kedalam stratum corneum melalui kedua rute tersebut, hanya kadang-kadang obat-obat yang bersifat

larut lemak berpartisipasi dalam corneocyt yang mengandung residu lemak. Jalur interseluler yang

berliku dapat berperan sebagai rute utama permeasi obat dan penghalang utama dari sebagian besar

obat-obatan (Swarbrick dan Boylan, 1995).

 

1. 3. Jalur Penembusan Transdermal pada Kulit

Stratum corneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permeable,

dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi pasif. Jadi, jumlah obat yang pindah menyeberangi

lapisan kulit tergantung ada konsentrasi obat, kelarutannya dalam air dan koefisien partisi minyak atau

airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat  larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan

yang baik untuk difusi melalui stratum corneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit

(Ansel, 2008).

Penembusan atau penetrasi obat dapat terjadi dengan cara difusi melalui :

1. Penembusan transeluler melalui stratum corneum.

2. Penembusan interseluler melalui startum corneum.

3. Penembusan transappendaged melalui folikek rambut, sebaceous dan kelenjar keringat.

Pada keadaan normal, rute penetrasi yang dominan ialah melalui rute interseluler dan maka dari itu

banyak teknik enhancer dengan menghancurkan atau mengganggu atau membuat jalan baru pada

struktur moleklu kulit tersebut (Pathan, 2009).

 

Gambar 2.3 Jalur Penembusan Transdermal pada Kulit

2.3  Aspek Teori Perlintasan Membran

Perlintasan membran sintetik umumnya berlangsung dalam dua tahap. Tahap awal adalah proses difusi

zat aktif menuju permukaan yang kontak dengan membran. Pada tahap ini daya difusi merupakan

mekanisme pertama untuk menembus daerah yang tidak diaduk, dari lapisan yang kontak dengan

membran. Tahap kedua adalah pengangkutan. Tahap ini dapat dibagi atas dua bagian.

Bagian yang pertama adalah penstabilan gradien konsentrasi molekul yang melintasi membran sehingga

difusi terjadi secara homogen dan tetap. Bagian kedua adalah difusi dalam cara dan jumlah yang tetap.

Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi tidak berubah sebagai fungsi waktu. Dalam hal ini

diasumsikan bahwa interaksi zat aktif-pelarut dan pelarut-pelarut tidak berpengaruh terhadap aliran zat

aktif. Difusi dalam jumlah yang tetap dinyatakan dengan hukum Fick I.

 

Dimana J adalah fluks atau jumlah Q linarut yang melintasi membrane setiap satuan waktu t, A adalah

luas permukaan efektif membran, Cd dan Cr adalah konsentrasi pada kompartemen awal dan dalam

kompartemen reseptor, h adalah tebal membran dan D’ adalah tetapan dianalisa atau koefisien

permeabilitas (Aiache, 1993).

2.4  Penghantaran Obat melalui Transdermal

Sebagian besar obat-obat yang diberikan melalui kulit berpenetrasi dengan mekanisme difusi pasif

(Aiache, 1993; Swarbrick dan Boylan, 1995). Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan

massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan

adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer.

Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi karena permeasi molekular sederhana atau gerakan

melalui pori dan lubang (saluran) (Martin dkk, 1993). Laju penyerapan melalui kulit tidak segera

mencapai keadaan tunak, tetapi selalu teramati adanya waktu laten (gambar 2.4). Waktu laten

ditentukan oleh tebal membran dan tetapan difusi obat dalam stratum corneum (Aiache,1993). Obat

Page 6: Bab 1

akan mengalami difusi sesuai gradien konsentrasi dengan gerakan yang acak (Swarbrick dan Boylan,

1995).

 

Gambar 2.4 Profil penyerapan molekul yang berdifusi melalui kulit

 

2.5 Tinjauan Patch

Saat ini teknologi penghantaran obat mendapat perhatian dari perusahaan farmasi. Tujuan dari

pengembangan produk ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan pemberian obat serta

memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien. Substansial penelitian yang dilakukan selama

beberapa tahun terakhir ini telah mengarah pada pengembangan teknologi yang memenuhi kriteria

yang diperlukan untuk menyampaikan obat melalui rute non-invasif. Salah satu teknologi tersebut

adalah pengiriman obat transdermal.

2.5.1 Pengertian Transdermal

Penghantaran obat transdermal adalah penghantaran obat secara non-invasif dari permukaan kulit –

organ paling besar dan paling mudah digunakan dari tubuh manusia – melalui lapisannya, menuju ke

sistem sirkulasi. Penghantaran obat dihantarkan oleh sebuah patch yang ditempelkan pada permukaan

tubuh. Transdermal patch adalah perekat pembawa obat yang dirancang untuk melepaskan bahan aktif

dengan laju yang konstan selama periode beberapa jam sampai hari setelah digunakan pada permukaan

kulit. Hal ini juga disebut patch kulit. Sebuah patch kulit menggunakan membran khusus untuk

mengontrol tingkat di mana obat yang terkandung dalam patch dapat melewati kulit dan masuk ke

aliran darah. (Bayarski, 2006)

Sistem penghantaran obat secara transdermal merupakan salah satu inovasi dalam sistem

penghantaran obat modern untuk mengatasi problema bioavailabilitas obat tersebut jika diberikan

melalui jalur lain seperti oral. Obat yang diberikan secara transdermal masuk ke tubuh melalui

permukaan kulit yang kontak langsung dengannya baik secara transeluler maupun secara inter seluler.

Saat ini sistem penghantaran obat dengan patch melalui kulit meliputi scopolamin (untuk mual),

estrogen (untuk menopause dan untuk mencegah osteoporosis setelah menopause), nitrogliserin (untuk

angina), lidokain untuk meredakan nyeri pada ruam (herpes zoster). Patch yang tidak untuk pengobatan

secara langsung meliputi patch panas dan dingin, patch pengurang berat badan, patch nutrisi, patch

untuk perawatan kulit (terapeutik dan kosmetik), patch aromaterapi dan patch untuk mengukut paparan

sinar matahari (Bayarski, 2006).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.5 skema transdermal patch

 

2.5.2 Sediaan Transdermal

Sediaan transdermal yang biasa dijumpai di pasaran saat ini adalah transdermal therapeutic system

(TTS) yang biasa disebut sebagai plester. Secara sederhana, plester terdiri atas komponen – komponen

berikut (dimulai dari lapisan paling luar):

Page 7: Bab 1

1            Impermeable backing atau lapisan penyangga, biasanya terbuat dari lapisan polyester, ethylene

vinyl alcohol (EVA), atau lapisan polyurethane. Lapisan ini berguna untuk melindungi obat dari air dan

sebagainya yang dapat merusak obat. Lapisan ini harus lebih luas dari pada lapisan di bawahnya untuk;

2            Drug Reservoir atau lapisan yang mengandung obat (zat aktif) beserta dengan

perlengkapannya seperti material pengatur kecepatan pelepasan obat, dsb.;

3            Lapisan perekat atau semacam lem untuk menempelkan impermeable back beserta drug

reservoir pada kulit;

4            Lapisan pelindung yang akan dibuang ketika plester digunakan. Lapisan ini berguna untuk

mencegah melekatnya lapisan perekat pada kemasan sebelum digunakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.6 skema transdermal sistem membran

Terkadang, ada pula lapisan tambahan yaitu rate-controlling membrane yang terbuat dari polypropylene

berpori mikro dan yang berfungsi sebagai membrane pengatur jumlah dan kecepatan pelepasan obat

dari sediaan menuju permukaan kulit.

Saat ini, terdapat dua tipe plester yaitu plester dengan sistem reservoir dan plester dengan sistem

matriks (drug in adhesive system). Inti perbedaan di antara keduanya adalah pada sistem reservoir laju

pelepasan obat dari sediaan dan laju permeasi kulit ditentukan oleh kemampuan kulit mengabsorbsi

obat sedangkan pada sistem matriks laju pelepasan obat dari sediaan diatur oleh matriks.

Contoh obat yang diberikan secara transdermal adalah nitrogliserin (digunakan untuk pengobatan

angina). Pada umumnya patch nitrogliserin transdermal ditempelkan di dada atau punggung. Yang harus

diperhatikan adalah patch ini harus ditempatkan pada kulit yang bersih, kering, dan sedikit ditumbuhi

rambut agar patch dapat menempel dengan baik (Kurniasih, 2010).

2.5.3 Jenis dan Tipe Transdermal Patch

Ada empat jenis utama patch transdermal :

Single layer Obat in Adhesive

Dalam sistem ini obat ini termasuk langsung dalam-menghubungi perekat kulit. Dalam jenis ini patch

lapisan perekat bertanggung jawab atas pelepasan obat, dan berfungsi untuk mematuhi berbagai

lapisan bersama-sama, bersama dengan seluruh sistem pada kulit. Lapisan perekat dikelilingi oleh liner

sementara dan pendukung.

Multi layer Drug in Adhesive

Multi-layer Drug-in-Adhesive mirip dengan lapisan-Single Obat-in-Adhesive dalam bahwa obat ini

dimasukkan langsung ke dalam perekat. The-lapisan sistem multi menambahkan lapisan lain obat–

perekat dalam, biasanya dipisahkan oleh membran. Patch ini juga memiliki lapisan sementara-liner dan

dukungan permanen.

Reservoir

Desain sistem transdermal Reservoir termasuk kompartemen cair yang mengandung solusi obat atau

suspensi dipisahkan dari liner rilis oleh membran semi-permeabel dan perekat. Komponen perekat

produk dapat menjadi sebagai lapisan kontinu antara membran dan liner pelepasan atau sebagai

konfigurasi konsentris di sekitar membran.

Page 8: Bab 1

Matriks

Sistem Matrix memiliki lapisan obat dari matriks semipadat berisi larutan obat atau suspensi, yang

bersentuhan langsung dengan liner rilis. Lapisan perekat di patch ini mengelilingi lapisan overlay

sebagian obat itu (Kurniasih, 2010).

 

Ada dua prinsip pembuatan yang dominan dalam sistem patch yaitu membrane controlled

system danmatrix system.

(1)     Membrane Controlled System

Sistem ini secara umum terdiri dari tiga komponen utama yaitu suatu reservoir, rate controlling

membrane dan lapisan adhesif yang melekat pada kulit. Obat di dalam daerah reservoir tersebut harus

dapat berdifusi melewati membran. Bahan aktif di dalam reservoir dapat didispersikan dalam bentuk

suspensi, liquid, ataupun  gel.

(2)     Sistem matriks

Pada sistem ini, dispersi obat di dalam reservoir digantikan oleh adhesif. Obat dan bahan-bahan

tambahan, seperti polimer, enhancer, diformulasikan menjadi satu ke dalam larutan adhesif, yang

kemudian pelarutnya diuapkan untuk membentuk film matriks. Selanjutnya film matriks dan adhesif

tersebut ditempelkan pada backing film. Komponen utama dari sistem matriks yaitu bahan adhesif dan

backing. Keuntungan dari sistem matriks yaitu akan membentuk suatu sediaan patch yang tipis dan

elegan sehingga nyaman untuk digunakan serta proses pembuatan yang mudah, cepat dan murah.

 

2.5.4 Keuntungan dan Kerugian Transdermal

A. Keuntungan sistem Penghantaran Obat Transdermal

Keuntungan sistem penghantara obat transdermal, antara lain:

Durasi yang lebih lama dari tindakan yang mengakibatkan penurunan frekuensi dosis;

Peningkatan kenyamanan untuk mengelola obat-obatan, yang tidak akan membutuhkan dosis sering;

Meningkatkan bioavailabilitas;

Lebih seragam plasma level;

Mengurangi efek samping dan terapi karena pemeliharaan kadar plasma sampai akhir interval

pemberian dosis;

Peningkatan kepatuhan pasien dan kenyamanan melalui-invasif, tanpa rasa sakit dan aplikasi

sederhana;

Meminimalisasi ketidakteraraturan absorbsi dibandingkan dengan jalur oral yang dipengaruhi oleh

pH, makanan, kecepatan pengosongan lambung, waktu transit usus, dll;

Obat terhindar dari first passed effect;

Terhindar dari degradasi oleh saluran gastro intestinal;

Jika terjadi efek samping yang tidak diinginkan (missal reaksi alergi, dll) pemakaian dapat dengan

mudah dihentikan;

Absorbsi obat relatif konstan dan kontinyu;

Input obat ke sirkulasi sistemik terkontrol serta dapat menghindari lonjakan obat sistemik;

Relatif mudah digunakan dan dapat didesain sebagai sediaan lepas terkontrol yang digunakan dalam

waktu relatif lama (misalnya dalam bentuk transdermal patch atau semacam plester)sehingga dapat

meningkatkan patient compliance.

B. Kerugian sistem Penghantaran Obat Transdermal

Kerugian sistem penghantaran obat transdermal, antaran lain:

Memliki bobot molekul relatif kecil (kurang dari 500 Da). Hal ini karena pada dasarnya stratum

corneum pada kulit merupakan barrier yang cukup efektif untuk menghalangi molekul asing masuk

ke tubuh sehingga hanya molekul – molekul yang berukuran sangat kecil sajalah yang dapat

menembusnya;

Memiliki koefisien partisi sedang (larut baik dalam lipid maupun air);

Page 9: Bab 1

Memiliki titik lebur yang relatif rendah. Hal ini karena untuk dapat berpenetrasi ke dalam kulit, obat

harus dalam bentuk cair, serta;

Memiliki effective dose yang relatif rendah;

Range obat terbatas (terutama terkait ukuran molekulnya);

Dosisnya harus kecil;

Kemungkinan terjadinya iritasi dan sensitivitas kulit;

Tidak semua bagian tubuh dapat menjadi tempat aplikasi obat – obat transdermal. Misalnya telapak

kaki, dll;

Harus diwaspadai pre-systemic metabolism mengingat kulit juga memiliki banyak enzim

pemetabolisme.

(Kurniasih, 2010)

2.6 Tinjauan Nikotin

2.6.1 Sifat Fisika Kimia

Nikotin adalah alkaloid cair dari daun tembakau kering Nicotiana tabacum (Solanaceae). Kandungan

nikotin dalam daun tembakau 0,5-8%.

 

 

Gambar 2.7 Struktur Nikotin (sweetman, 2009)

 

Berat molekul nikotin adalah 162,2 dengan titik didih, TD745 247° (terdekomposisi sebagian); TD17 123-

125°.  Nikotin merupakan cairan kental tidak berwarna-sedikit coklat, mudah menguap, dan 

Higroskopis. Nikotin             mudah larut dalam dietil eter, larut dalam air dingin, Sangat larut  dalam

alkohol, kloroform, petroleum eter, dan minyak kerosen. (Nicotine MSDS). Nikotin disimpan dibawah

nitrogen yang kedap udara suhu 25o C terlindungi dari cahaya dan kelembaban (sweetman, 2009)

pH larutan nikotin 0.05M adalah 10.2, pK1 (15°) 6.16, pK2 10.96. Nikotin memiliki struktur yang optis aktif

dengan rotasi optis  [?]D20 -169.3° (neat); [?]5461 -204.1° dan Indes bias  (nD20) 1.5282. Densitas nikotin

( d420) 1.00925. Nikotin tidak stabil terhadap udara, cahaya, dan suhu tinggu. Pada kondisi asam nikotin

dapat membentuk garam dengan semua asam. (AHFS; Merck Index 13; sweetman, 2009). Nikotin reaktif

terhadap agen oksidasi dan bahan-bahan yg bersifat asam.(MSDS)

2.6.2 Farmakologi

Perubahan yang kompleks dan tidak dapat diduga terjadi pada tubuh setelah pemberian nikotin. Hal itu

bukan hanya disebabkan oleh aksinya pada berbagai neuroaffector dan situs kemosensitif, tetapi juga

fakta dimana nikotin merupakan alkaloid yang menstimulasi dan mendensitisasi reseptor. Nikotin

mengeluarkan epinephrine dari medulla adrenal yang mempercepatkan denyut nadi dan meningkatkan

tekanan darah (Brunton et al, 2008).

1. A. Sistem Saraf Periferal

Aksi  nikotin diawali dengan stimulasi yang bersifat sementara diikuti dengan penurunan ganglia

otonomik yang tetap. Dosis kecil nikotin menstimulasi secara langsung sel ganglia dan mungkin

membantu transmisi impuls. Apabila dosis yang lebih besar diberikan, stimulasi awal dimulai dan diikuti

dengan blockade transmisi yang cepat. Nikotin juga memiliki aksi bifasik pada medulla adrenal, dosis

kecil akan menimbulkan pengeluaran katekolamin dan dosis besar akan menghambat pengeluaran

katekolamin akibat respon kepada stimulasi saraf splanchnik.

Efek nikotin pada neuromuscular junction sama seperti pada ganglia. Akan tetapi, fase stimulasi banyak

diperoleh dengan menyebabkan paralisis dengan cepat. Pada fase berikutnya , nikotin juga

menghasilkan blockade neuromuscular dengan mendensitisasi reseptor.

Nikotin seperti Ach, akan merangsang sebagian reseptor sensor. Ini termasuk mekanoreseptor yang

merespon regangan dan tekanan pada kulit, mesentari, lidah, paru dan lambung; kemoreseptor pada

Page 10: Bab 1

badan carotid; reseptor thermal pada kulit dan lidah, dan reseptor nyeri. Pemberian terlebih dahulu

hexamethonium menghambat rangsangan reseptor sensor oleh nikotin tetapi mempunyai  efek yang

kecil pada aktivasi reseptor sensor oleh stimuli psikologis (Brunton et al, 2008).

1. B. Sistem Saraf Pusat

Nikotin dapat merangsangan SSP. Dosis rendah akan menghasilkan analgesia lemah; dengan dosis tinggi

akan menyebabkan tremor yang akan mengakibatkan konvulsi pada dosis toksik telah terbukti.

Perangsangan respiratori adalah aksi yang paling menonjol dari nikotin, akan tetapi dosis besar

bertindak langsung ke medulla oblongata, dosis yang lebih kecil menambah reflex resperatori dengan

merangsang kemoreseptor carotid dan aortic bodies. Rangsangan SSP dengan dosis besar akan diikuti

dengan penurunan dan kematian yang disebabkan oleh kegagalan respiratori yang diakibatkan oleh

paralisis yang disebabkan blockade pada kedua-dua saraf pusat dan peripheral pada otot pernafasan.

Nikotin dapat menginduksi muntah dengan aksi dari sistem saraf pusat dan peripheral. Situs aksi primer

nikotin pada SSP adalah prejunctional, yang mengakibatkan pelepasan transmitter lainnya. Oleh karena

itu, rangsangan dan aksi pleasure-reward nikotin muncul akibat dari rangsangan pengeluaran asam

amino, DA dan amina biogenic lainnya dari berbagai pusat SSP. Pelepasan  rangsangan asam amino

yang bertanggungjawab terhadap kebanyakkan aksi stimulasi nikotin. Paparan kronis terhadap nikotin

dapat meningkatkan densitas atau bilangan reseptor nikotin (Bruntonet al, 2008).

1. C. Sistem kardiovaskular

Secara umum, respon kardiovaskular terhadap nikotin diakibatkan oleh rangsangan pada ganglia

simpatis dan medulla adrenal, bersamaan dengan pengeluaran katekolamin dari ujung saraf simpatis.

Respon simpatomimetik kepada nikotin mengaktivasi kemoreseptor pada aortic dan badan carotid,

dimana dengan reflex akan mengakibatkan vasokonstriksi, takikardia, dan peningkatan tekanan darah.

1. D. Saluran gastrointestinal

Kombinasi aktivasi ganglia parasimaptis dan ujung saraf kolinergik oleh nikotin akan menyebabkan

peningkatan tonus dan aktivitas motor dari usus. Mual, muntah dan terkadang diare akibat  absoprsi

sistemik nikotin pada individu yang tidak pernah terpapar kepada nikotin sebelumnya (Brunton et al,

2008).

1. E. Kelenjar eksokrin

Nikotin menyebabkan rangsangan awal pada kelenjar saliva dan sekresi bronchial yang kemudiannya

diikuti dengan hambatan (Brunton et al, 2008).

 

2.6.3 Farmakokinetik

Nikotin dapat diabsorpsi secara langsung dari saluran pernafasan, membran bukal, dan kulit. Keracunan

berat disebabkan oleh absorpsi perkutan. Nikotin adalah basa kuat, oleh karena itu absorpsinya pada

lambung terbatas tetapi absorpsi pada usus lebih baik. Nikotin pada permen karet, diserap lebih

perlahan dari nikotin inhalasi karena mempunyai durasi efek yang lebih panjang. Rokok biasanya

mengandung 6-11 mg nikotin dan melepaskan 1-3 mg nikotin secara sistemik kepada perokok,

bioavailabilitas meningkat sebanyak 3 kali dengan peningkatan puffing dan teknik dari perokok.

Nikotin terdapat dalam berbagai bentuk sediaan untuk membantu mencegah merokok. Hasil efikasi

primer adalah mencegah withdrawal dan sindrom abstinence. Nikotin dapat diberikan secara oral dalam

bentuk permen karet, transdermal patch, nasal spray dan vapor inhaler. Sediaan permen karet dan

patch banyak digunakan dan objektifnya adalah untuk mempertahankan konsentrasi plasma nikotin

lebih rendah dari konsentrasi darah vena setelah merokok (konsentrasi darah arteri diikuti dengan

inhalasi mencapai 10 kali lebih tinggi dari konsentrasi vena). Efikasi dari sediaan ini dalam mencegah

perokok dari merokok dapat ditingkatkan dengan konseling dan terapi motivasi.

Page 11: Bab 1

Sekitar 80-90% nikotin diubah di dalam tubuh, kebanyakan di hati tetapi  juga ada di ginjal dan paru dan

metabolit yang dihasilkan adalah kotinine. Profil metabolit dan kadar metabolisme sama pada perokok

dan non perokok. Waktu paruh nikotin pada inhalasi atau pemberian parenteral adalah 2 jam. Nikotin

dan metabolitnya dieliminasi dengan cepat oleh ginjal. Kadar ekresi nikotin oleh urinary berkurang

apabila urin bersifat basa. Nikotin juga dieksresi pada susu oleh ibu yang menyusui yang merokok, susu

perokok berat mengandung 0,5 mg/L nikotin (Brunton et al, 2008).

 

2.6.4 Interaksi Obat

Dengan Acetaminophen, caffeine, imipramine, oxazepam, pentazocine, propanolol, theophylline.

Absorption efektif dari nikotin gum tergantung dari saliva yang sedikit alkalis. Kopi, cola dan makanan

atau minuman yang lain dapat menurunkan pH saliva dan harus dihindari selama 15 menit sebelum dan

selama mengunyah gum. (A to Z Drug Fact, 2003).

Rokok tembakau dapat menginduksi enzim metabolisme di hati dan mengubah farmakokinetika banyak

obat. Obat seperti methoxsalen yang menghambat sitokrom P450 isoenzim CYP2A6 dapat menurunkan

metabolisme dari nikotin, sehingga konsentrasi nikotin dalam plasme akan meningkat (sweetman,

2009).

 

2.6.5 Efek Samping

Keracunan nikotin dapat terjadi apabila menelan spray insektisida yang mengandung nikotin dengan

tidak sengaja atau pada anak-anak yang menelan produk tembakau. Dosis fatal akut nikotin pada

dewasa adalah 60mg. Rokok tembakau mengandung 1-2% nikotin. Absorpsi gastric  nikotin dari

tembakau yang dihisap dari mulut bersifat tertunda disebabkan pengosongan lambung yang perlahan,

jadi muntah disebabkan oleh efek sentral  dari fraksi yang terabsorpsi  dan mengeluarkan tembakau

yang masih tersisa di saluran pencernaan.

Onset gejala keracunan berat akut nikotin adalah cepat, mual, nyeri lambung, sekresi air liur meningkat,

muntah, diare, keringat dingin, pusing, dan gangguan pendengaran dan penglihatan, kekeliruan mental

dan lemah (Brunton et al, 2008).

 

2.7 Tinjauan Polimer

2.7.1 Tinjauan Eeudragid L 100

Eudragid merupakan kopolimer  polimetakrilat yang terdiri atas asam metakrilat dan metilmetakrilat

(1:1) yang memiliki berat molekul rata-rata sekitar 135.000. Rasio antara asam karboksilat dengan

esternya sebesar 1:1 (Rowe et al., 2009).  Polimer ini terbentuk dari poly ( acrylic acid ),(-

CH2CH(CO2H)-)n dengan mengganti atom hidrogen tersier dengan gugus metil , dan dengan esterifikasi

dari gugus asam karboksilat dengan metanol.

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.8 Struktur kimia polymetilmetakrilat (Rowe et al, 2009)

Eudragid L 100 berbentuk  kristal transparan jernih , glassy , berbentuk amorf pada tingkat

molekular. Memiliki sifat larut dalam etanol, aseton  dan NaOH 1N serta larut dalam cairan lambung

Page 12: Bab 1

sampai dengan larutan pH 5. Tidak larut dalam diklorometana, etil asetat, petroleum eter dan air

(Rowe et al., 2009).

Polimer Polimetakrilat biasanya digunakan sebagai bahan tambahan untuk membentuk matrik dari

transdermal delivery system dan juga digunakan dalam formulasi gel untuk penggunaan melalui rectal.

Eudragid bersifat nontoksik dan noniritan sehingga aman untuk digunakan (Rowe et al., 2009).

 

2.7.2 Tinjauan Polietilen Glikol 400

2.7.2.1 Karakteristik Fisika Kimia

Polietilen glikol sering digunakan dalam berbagai formulasi produk-produk farmasi, baik sediaan topikal,

parenteral, sediaan mata, oral dan sediaan rectal. PEG mempunyai fungsi sebagai basis ointment,

plasticizer, pelarut, basis suppositoria., lubrikan untuk tablet dan kapsul. Polietilen glikol ini cukup stabil

yang merupakan substansi hidrofilik yang tidak menimbulkan iritasi pada kulit. PEG stabil dengan udara

dan larutan, tidak mendukung pertumbuhan mikroba dan tidak dapat menjadi tengik.

PEG 400 berbentuk cairan yang bening, tidak berwarna atau berwarna sedikit kuning dan merupakan

cairan yang kental, bersifat higroskopis. Berbau dan berasa pahit, sedikit menimbulkan rasa terbakar.

PEG cair mempunyai densitas 1,11-1,14 g/cm pada 20°C, titik beku 4-8°C. PEG 400 larut dalam aseton,

alkohol, benzena, gliserin dan glikol. (Rowe et al, 2009)

2.7.2.2 Mekanisme PEG dalam meningkatkan kelarutan

Kerja dari bahan pembasah yaitu menurunkan sudut kontak antara permukaan dan cairan pembasah.

Sudut kontak adalah sudut antaratetes cairan dan permukaan ke atas mana suatu bahan menyebar

(Martin et al, 1993). Dalam hal ini, PEG menurunkan sudut kontak antara partikel bahan obat dan pelarut

yang digunakan. Bila sudut kontak  antara zat padat dengan cairan adalah 0°, menandakan pembasahan

sempurna. Sudut kontak 180° berarti zat padat tidak dapat terbasahi atau mengambang di atas

prmukaan cairan.

2.7.3 Tinjauan tentang Polyvinylpyrrolidone K-30

2.7.3.1 Karakteristik Fisika Kimia PVP K-30

PVP K-30 merupakan polimer sintetis dengan struktur kimia 1-vinyl-2-pyrrolidinone. Dapat berfungsi

sebagai disintegran ; enhencer ; dan suspending agent. PVP K-30 memiliki berat molekul 50000 dengan

titik didih sebesar1500 C. Densitas PVP: 1.180 g/cm3.

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. 12 struktur monomer Polyvinylpyrrolidone (Rowe et al, 2009)

Kelarutan dalam berbagai pelarut antara lain mudah larut dalam asam, kloroform, ethanol (95%),

methanol, dan air. Prktis tidak larut dalam eter, hidrokarbon, dan minyak. (Rowe et al, 2009)

2.7.3.2 Aplikasi dalam bidang farmasetika.

PVP banyak digunakan dalam berbagai macam pengembangan produk sediaan farmasi. Akan tetapi, PVP

paling sering digunakan dalam pembuatan sediaan tablet terutama proses granulasi basah. (Rowe et al,

2009)

2.8 Tinjauan Gliserin (C3H8O3)

2.8.1 Karakteristik Fisika Kimia

Page 13: Bab 1

Gliserin merupakan cairan, jernih, viskus, tidak berwarna, tidak berbau, higroskopis, dan memiliki rasa

yang manis. Gliserin berfungsi sebagai antimikroba, kosolven, emolient, humektan, plasticizer, solven,

pemanis, dan pengatur tonisitas (Rowe et al, 2009).

 

Gambar 2.9 struktur Gliserin

Kelarutan gliserin dalam berbagai pelarut pada suhu 20°C antara lain sedikit larut dalam aseton, praktis

tidak larut dalam benzena, kloroform, minyak, larut dalam metanol,  etanol 95%, dan air, larut dalam

1:500 dalam eter, dan 1:11 dalam etil asetat (Rowe et al, 2009).

2.8.2 Penggunaan Gliserin

Dalam teknologi farmasetik, gliserin digunakan dalam berbagai macam formulasi termasuk oral,

opthalmic, topical, dan sediaan parenteral.

Dalam formulasi farmasetikal topical dan kosmetik, gliserin digunkan sebagai humektan dan emolien.

Gliserin digunakan sebagai solven atau kosolven dalam krim dan emulsi. Gliserin ditambahkan dalam gel

dan juga sebagai aditif pada patch.

Dalam formulasi parenteral, gliserin digunakan sebagai solven dan kosolven. Dalam larutan oral gliserin

digunakan sebagai solven, pemansis, pengawet dan meningkatkan viskositas. Selain itu juga gliserin

berfungsi sebagai plasticizer dalam tablet salut film, plasticizer dalam produksi kapsul lunak gelatin dan

suppositoria gelatin. Gliserin masih digunakan sebagai agen terapetik di berbagai macam aplikasi klinikal

serta sebagai aditif makanan (Rowe et al, 2009).

 

2.8.3 Stabilitas dan kondisi penyimpanan

Gliserin bersifat higroskopis. Gliserin murni tidak mudah teroksidasi. Tetapi terdekomposisi pada panas

menjadi zat yang toksik. Campuran gliserin dan air, etanol 95% dan propilen glikol stabil secara kimia.

Gliserin dapat mengkristal bila disimpan pada temperatur rendah. Kristal tidak meleleh dengan

pemanasan sampai 20°C. Gliserin sebaiknya disimpan di ruang kedap udara, sejuk dan kering (Rowe et

al, 2009).

2.8.4 Inkompatibilitas Gliserin

Gliserin dapat meledak bila bercampur dengan oksidator kuat seperti kromium trioksida, potassium

klorat atau potassium permanganate. Perubahan warna pada gliserin, terjadi dalam paparan cahaya dan

kontak dengan ZnO/bismuth nitrat. Adanya kontaminan besi dalam gliserin menyebabkan perubahan

warna menjadi gelap. Gliserin membentuk asam borat kompleks dan asam gliseroboric. Dimana asam

gliseroboric lebih kuat daripada asam borat kompleks (Rowe et al, 2009).

 

2.9 Tinjauan Natrium Benzoat

Natrium benzoat (C7H5NaO2) memiliki berat molekul 144,11. Merupakan granular atau kristal berwarna

putih, serbuk yang sedikit higroskopis, tidak berbau atau dengan sedikit bau dari benzen serta memiliki

rasa manis dan asin yang tidak enak.  Sodium benzoat memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai

antimikroba, bahan pengawet, dan lubrikan untuk tablet dan kapsul. Fungsi utamanya sebagai pengawet

antimikroba pada kosmetik, makanan dan sediaan farmasi.

 

 

 

 

 

Gambar 2.10 struktur Natrium Benzoat

Page 14: Bab 1

Penggunaan dalam sediaan obat oral pada konsentrasi 0,02-0,5%, pada produk parenteral sebesar 0,5%

dan untuk kosmetik sebesar 0,1-0,5%. Pada beberapa penggunaan natrium benzoat menimbulkan rasa

yang tidak nyaman pada produk yang dihasilkan. Aktivitas antimikrobanya sangat baik pada kondisi

asam (pH 2-5) dan pada suasana basa hampir tidak menimbulkan efek. Natrium benzoat memiliki

densitas 1,497-1,527 g/cm pada 24°C, titik bekunya 0,24°C. Natrium benzoat larut dalam air (1:1,8 pada

20°C dan 1:1,4 pada 100°C), etanol 95% (1:75) dan etanol 90% (1:50). Natrium benzoat memiliki

inkompatibilitas dengan gelatin, garam ferri, garam kalsium dan garam dari logam berat seperti perak,

timah dan merkuri. Aktivitasnya sebagai pengawet akan hilang jika berinteraksi dengan kaolin atau

surfaktan nonionik. (Rowe et al, 2009)

 

2.10 Tinjauan Etanol 96%

2.10.1 Karakteristik Fisika Kimia

Etanol berfungsi sebagai pengawet antimikroba, disinfektan, enhancer dan solven. Alkohol merupakan

larutan yang jernih, tidak berwarna, mudah mengalir dan mudah menguap. Alkohol mempunyai bau

yang khas dan rasa terbakar. Etanol memiliki berat molekul sebesar 46,07 dengan titik didih 78,5°C dan

titik lebur -112°C. Etanol dapat campur dengan air dan dengan diklorometan. Larutan etanol aques

dapat disterilisasi dengan autoklaf atau dengan filtrasi dan harus disimpan didalam wadah tertutup rapat

di tempat dingin (Rowe et al, 2009).

 

2.10.2 Inkompatibilitas

dalam larutan yang bersifat asam, larutan etanol dapat bereaksi dengan material oksidasi. Campuran

dengan basa dapat mengelapkan warna disebabkan reaksi dengan residual aldehid. Garam organik atau

acacia akan mengendap jika dicampurkan dengan larutan aques. Etanol juga inkompabilitas dengan

wadah aluminium dapat dapat berinteraksi dengan beberapa obat (Rowe et al, 2009).

 

2.10.3 Aplikasi dalam Formulasi Farmasetika

Etanol dan larutan etanol aques dengan berbagai konsentrasi banyak digunakan dalam formulasi

farmasetika dan kosmetika. Walaupun secara umumnya etanol digunakan sebagai pelarut, etanol juga

dapat digunakan didalam larutan sebagai pengawet. Larutan topikal etanol dapat digunakan sebagai

enhancer dan disinfektan. Etanol juga telah digunakan dalam sediaan transdemal yang dikombinasikan

dengan Labrasol yang berfungsi sebagai co-sulfaktan. Sediaan yang mengandung lebih dari 50%v/v

alcohol dapat menyebabkan iritasi kulit apabila digunakan secara topical (Rowe et al, 2009).

2.11 Tinjauan Tentang Scotchpak Backing

Ada beberapa macan tipe dari Scotchpack backing, antara lain :

1. 3M Scotchpak 1109 Backing

Backing ini terdiri dari polietilen yang terpigmentasi dan vapor aluminium terlapisi poliester.

Backing patch tipe ini :

Berwarna coklat

Oklusif

Nyaman digunakan

Diproduksi untuk produk farmasetik

 

1. 3M Scotchpak 9733 Backing

Backing ini terdiri dari polyester dan kopolimer etilen vinil asetat heat seal layer.

Backing patch tipe ini memiliki sifat:

Tembus cahaya

Oklusif

Page 15: Bab 1

Nyaman digunakan

Heat sealable (12%EVA)

Diproduksi untuk produk farmasetik

 

1. 3M Scotchpak 9732 Backing

Backing ini terdiri dari polyester dan kopolimer etil vinil asetat heat seal layer.

Backing patch tipe ini bersifat:

Tembus cahaya

Oklusif

Nyaman digunakan

Heat sealable (9% EVA)

Diproduksi untuk produk farmasetik

 

1. 3M Scotchpak 9730 Backing

Backing ini terdiri dari polietilen yang terpigmentasi, vapor aluminium terlapisi polyester, dan etilen vinil

asetat heat seal layer.

Backing tipe ini bersifat :

Berwarna coklat

Oklusif

Nyaman digunakan

Heat sealable

Diproduksi untuk produk farmasetik

 

1. 3M Scotchpak 9736 Backing

Backing ini terdiri dari polietilen yang terpigmentasi dan vapor aluminium terlapisi polyester.

Sifat dari backing tipe ini :

Berwarna putih

Oklusif

Nyaman digunakan

Diproduksi untuk produk farmasetik

 

1. 3M Scotchpak 9734 Backing

Backing tipe ini terdiri dari polietilen dan polietilan heat seal layer.

Sifat dari backing tipe ini :

Menghalangi masuknya UV

Tembus cahaya

Oklusif

Nyaman digunakan

Heat sealable

Diproduksi untuk produk farmasetik

 

1. 3M Scotchpak 9738 Backing

Backing tipe ini digunakan untuk formulasi yang membutuhkan ikatan yang kuat antara lapisan film.

Backing ini terdiri dari polietilen yang terpigmentasi, resin termoplastik, vapor aluminium terlapisi

polyester.

Sifat dari backing tipe ini :

Berwarna coklat

Oklusif

Printable

Page 16: Bab 1

Nyaman digunakan

Diproduksi untuk produk farmasetik

Dapat secara langsung direkatkan ke adhesive

 

2.12Tinjauan Enhancer

2.12.1 Enhancer

Enhancer merupakan suatu senyawa yang dapat meningkatkan penetrasi obat ke dalam kulit dengan

menurunkan resistensi kulit secara reversibel.

Sifat enhancer yang ideal antara lain :

1. Inert secara farmakologi dan kimia serta stabil secara kimia.

2. Tidak toksik, tidak mengiritasi, dan tidak menyebabkan alergi.

3. Mempunyai mula kerja yang cepat lama kerja yang terprediksi serta efek yang reprodusibel.

4. Bisa tercampurkan secara fisika dan kimia dengan bahan formulasi yang lain.

5. Setelah dihilangkan dari kulit, stratum korneum dapat kembali secara cepat fungsi normalnya.

6. Tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, tidak mahal.

7. Bisa diterima secara farmasetikadan kosmetik.

Ada banyak mekanisme yang berperan dalam fungsi enhancer sebagai peningkat penetrasi. Salah satu

mekanisme yang mungkin adalah interaksi antara enhancer dengan gugus polar induk dari lipid,

sehingga interaksi antar gugus-gugus polar induk terganggu. Hasilnya akan memberi celah bagi obat-

obatan hidrofilik untuk bisa masuk. Gangguan terhadap gugus induk terhadap lipid bilayer oleh enhancer

yang bersifat polar pun dapat mempengaruhi bagian hidrofobik dari lipid dan akan menyebabkan

pengaturan ulang dari area bilayer tersebut. Hal ini bisa menjelaskan peningkatan penetrasi obat lipofilik

dengan menggunakan enhancer yang bersifat hidrofilik.

 

2.12.2 Tinjauan Mentol

2.12.2.1 Karakteristik Fisika Kimia

Mentol merupakan bahan yang memiliki nama kimia (1RS,2RS,5RS)-(_)-5-Methyl-2-(1-

methylethyl)cyclohexanol dengan berat molekul 156.27. Titik didih dari mentol adalah 2128°C dengan

Titik leleh sebesar  348°C. Indeks bias (nD20) Mentol adalah 1.4615. Mentol merupakan serbuk tidak

berwarna, berbentuk kristal mengkilap acicular atau prismatic, atau kristalin yang mudah mengalir atau

aglomerat.

 

Gambar 2.11 struktur Mentol (sweetman, 2009)

Kelarutan mentol dalam berbagai pelarut adalah mentol sangat larut dalam ethanol (95%), chloroform,

ether, minyak lemak dan paraffin cair; mudah larut dalam asam asetat glasial; larut dalam aseton dan

benzene; sangat sedikit larut dalam glycerin; Praktis tidak larut dalam water. Specific gravity 0.904 at

158°C. Mentol memiliki struktur yang optis aktif dengan rotasi optis [a]D 20 = –28 to þ28 (10% w/v

larutan alkohol)

Menthol banyak digunakan dalam farmasi, kembang gula, dan produk perlengkapan mandi sebagai agen

penambah rasa atau bau. Selain memberikan  karakteristik rasa peppermint, l-mentol secara alami, juga

memberikan rasa dingin atau sensasi yang menyegarkan dalam penggunaannya secara topikal. Tidak

seperti manitol, yang memberikan sebuah efek yang sama karena panas negatif dari solusi, l-menthol

berinteraksi langsung dengan reseptor dan member rasa dingin di tubuh. d-Menthol tidak memiliki efek

pendinginan. Ketika digunakan untuk perasa  tablet, mentol umumnya dilarutkan dalam etanol (95%)

dan disemprotkan ke butiran tablet dan tidak digunakan sebagai eksipien. Mentol telah diteliti sebagai

penambah penetrasi kulit dan juga digunakan dalam pembuatan wewangian, produk tembakau, permen

karet dan sebagai agen terapeutik. Bila digunakan pada kulit, mentol menyebabkan dilatasi pada 

Page 17: Bab 1

pembuluh darah, menyebabkan sensasi dingin diikuti oleh efek analgesik. Hal ini mengurangi rasa gatal

dan digunakan dalam krim, lotion, dan salep. Ketika diberikan secara oral dalam dosis kecil mentol

memiliki aktifitas karminatif.

2.12.2.2 Stabilitas dan Kondisi Penyimpanan

Formulasi yang mengandung 1% mentol w / w dalam krim air  dilaporkan stabil hingga 18 bulan bila

disimpan di suhu kamar. Mentol harus disimpan dalam wadah tertutup baik

tidak melebihi suhu 258C, karena mudah menyublim.

2.12.2.3 Inkompatibilitas

Tidak kompatibel dengan butilkloral hidrat, kapur barus, kloralhidrat, kromium trioksida, ?-naftol, fenol,

kalium permanganat, pyrogallol, dan timol.

2.12.2.4 Mekanisme menthol sebagai enhancher

Enhancer adalah bahan tambahan yang dapat meningkatkan laju penetrasi obat menembus stratum

corneum dengan berbagai macam mekanisme kerja. Mentol mempengaruhi permeasi kulit oleh dua

mechanism yaitu dengan membentuk campuran eutektik dengan komponen penetrasi, sehingga

meningkatkan kelarutannya, dan dengan mengubah sifat penghalang dari stratum korneum. Mentol

lebih memudahkanpendistribusian ke dalam ruang interseluler dari stratum korneum dan mungkin

menyebabkan gangguan domain lemak, sehingga meningkatkan permeasi obat (Kunta, JR,dkk ; 1997).

Menthol meningkatkan fluiditas  lapisan lipid bilayer dari stratum korneum, sehingga meningkatkan

permeasi zat hidrofilik (Kitagawa, S.,dkk ; 1997)

 

 

 

 

 

 

BAB 3

Metode Produksi

3.1 Formula

Bahan

 

Fungsi Formula 1 Formula 2 Formula 3

Nikotin Bahan Aktif 35 mg 25 mg 15 mg

Eudagrid-L100 Polimer Matrik Adhesif 82,46 mg 89,14 mg 95,80 mg

PVP Polimer Matrik Adhesif 41,74 mg 45,06 mg 48,40 mg

PEG 400 Plasticizer, stabilizer 27,40 mg 27,40 mg 27,40 mg

Glyserin Plasticizer,Enhancer 11,90 mg 11,90 mg 11,90 mg

Sodium Benzoat Pengawet 0,50 mg 0,50 mg 0,50 mg

Menthol Enhancher 1 mg 1  mg 1 mg

Ethanol Pelarut 2 ml 2 ml 2 ml

 

3.2 Cara Pembuatan/Produksi

3.2.1 Skala Laboratorium

 

 

 

 

 

Page 18: Bab 1

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3.1 skema kerja pembuatan nikotin transdermal skala laboratorium

3.2.2 Skala Industri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3.2 skema kerja pembuatan nikotin transdermal skala indus

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 19: Bab 1

 

 

 

Gambar 3.4 Alur alat yang digunakan selama produksi

3.3 Evaluasi

Evaluasi sedian transdermal diklasifikasikan kedalam tiga tipe yaitu :

1. Evaluasi fisikokimia

2. Evaluasi in vitro

3. Evaluasi in vivo

3.3.1 Evaluasi fisikokimia

A. Keseragaman Kandungan Patch

Film diambil secara acak dan dipotong kecil – kecil dan dimasukkan kedalam 100 ml buffer fosfat pH 7,4.

Kemudian diaduk dengan magnetic stirrer hingga diperoleh larutan homogen dan disaring. Diambil 1 ml

filtrat ditambahkan buffer fosfat ad 100 ml. Kemudian dari larutan ini dipipet 1 ml dan ditambahkan

dbuffer fosfat ad 10 ml. Kandungan bahan aktif dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV.

 

B. Film Tickness

Ketebalan film ditentukan dengan digital micrometer screw gauge pada tiga tempat yang berbeda dan

dihitung rata-ratanya.

C. Weight variation

Variasi berat ditentukan dengan cara  diambil 10 patch secara acak dan ditimbang masing-masing

beratnya. Kemudian dihitung rata-rata dari 10 patch tersebut. Berat masing-masing patch tidak boleh

menyimpang terlalu jauh dari berat rata-rata.

 

D. Tahanan Lipat

Evaluasi tahanan lipat termasuk penentuan kapasitas lipat dari film terhadap kondisi lipatan yang

ekstrim. Tahanan lipat ditentukan dengan melipat berkali-kali bagian dari film (2×2 cm) pada tempat

yang sama hingga patah. Jumlah lipatan dimana dapat film tidak patah merupakan nilai tahanan lipat.

Pembacaan dilakukan sebanyak tiga kali dan dihitung rata-rata tahanan lipatnya.

 

E. Tensil strength

Untuk menentukan tensil strength, polimer film diapit dengan menggunakan corked linear iron plete.

Salah satu ujung film dijaga tetap dengan bantuan  iron screen dan ujung yang lain dihubungkan secara

bebas ke katrol. Beban ditambahkan secara gradual ke pan yang digantung dengan benang. Penunjuk

pada benang digunakan untuk mengukur pemanjangan film. Beban yang cukup untuk mematahkan film

dicatat. Tensil strength dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

 

Tensile strength= F/a.b (1+L/l)

 

F = Beban yang dibutuhkan untuk mematahkan film; a = lebar film; b = ketebalan film; L =  panjang

film; l = pemanjangan film pada break point.

 

1. F. Moisture loss

Film diukur beratnya secara tepat. Kemudian film dimasukkan dalam desikator yang berisi kalsium

klorida anhidrat. Setelah 3 hari film dikeluarkan dan moisture loss dihitung dengan persamaan:

 

Page 20: Bab 1

 

G. Moisture content

Masing-masing ditentukan beratnya. Kemudian dimasukkan kedalam desikator silica aktif atau kalsium

klorida pada temperature ruang selama 24 jam. Masing-masing film ditentukan kembali beratnya hingga

diperoleh berat yang konstan. Persen moisture content dihitung dengan persamaan:

 

H. Moisture uptake

Ditentukan berat awal film yang telah dimasukkan desikator pada temperature ruang selama 24 jam.

Kemudian film dimasukkan desikator yang berisi 100 ml larutan jenuh aluminium klorida (RH dijaga 79,5

– 84%) hingga diperoleh berat konstan film. Moisture uptake dihitung dengan persamaan:

 

 

 

3.3.2 Uji In vitro

A. Uji permeasi kulit menggunakan hewan (Wistar rat)

Uji permeasi kulit dilakukan dengan menggunakan sel difusi. Kulit abdomen tikus Wistar jantan dengan

berat 200-250 g. Rambut bagian abdomen dicukur hati-hati dengan menggunakan pencukur elektrik.

Bagian dermis di bersihkan dengan aquadest untuk menghilangkan jaringan yang menempel atau

pembuluh darah. Direndam dalam dapar fosfat pH 7,4 selama 1 jam sebelum dilakukan eksperimen dan

diletakkan pada megnetik stirrer dengan jarum magnetik kecil untuk membentuk distribusi dari

diffusant. Temperatur dari sel dipertahankan pada 32±0,5°C menggunakan termostat. Isolat kulit tikus

diletakkan diantara kompartemen sel difusi, dengan epidermis menghadap keatas pada kompartemen

donor. Di ambil sejumlah volume dari volume tertentu yang dilepaskan dari kompartemen reseptor pada

interval waktu dan digantikan dengan media segar sejumlah sama dengan volume sampel yang diambil.

Sampel disaring melalui media penyaring dan di analisis menggunakan spektrofotometer UV atau HPLC.

Flux dapat ditentukan langsung dari slope kurva antara harga steady-state dari jumlah obat yang

terpenetrasi (mg/cm2) terhadap waktu dalam jam dan koefisien permeabilitas ditentukan dengan

membagi flux dengan obat yang ditambahkan mula-mula (mg/cm2) (Kumar et al, 2010).

 

B. Uji Pelepasan Obat dari Patch in vitro

Menurut Chinese Pharmacopoeia (2005), apparatus 3 digunakan untuk karakterisasi pelepasan bahan

obat dari patch. Untuk melakukan itu, 900ml dapar fosfat (pH 7,4) dimasukkan dalam bejana, dan

kemudian media diatur pada suhu 32±0,5°C. Setelah memasang  sistem transdermal pada disk, disk

diletakkan mendatar dibagian bawah bejana dengan permukaan pelepasan menghadap keatas dan

paralel dengan tepi paddle blade serta permukaan media. Bagian bawah paddle berjarak 25±2mm dari

permukaan disk. Apparatus dimulai dengan kecepatan 50 atau 75 rpm. Bejana ditutupi selama tes untuk

meminimalkan penguapan. Pada 1,2,4,6, dan 8 jam, 5 ml sampel dari zona tengah antara permukaan

media dan bagian atas paddle blade diambil dan diganti dengan media baru dengan volume yang sama.

Tiap harga yang dihasilkan merupakan rata-rata dari pembacaan 6 sampel. Kemudian sampel dianalisis

menggunakan HPLC. (Li et al, 2007)

 

3.3.3 Uji In vivo

A. Uji Permeasi Kulit In vivo

Studi permeasi in vivo dilakukan untuk melihat keefektifan sediaan dalam menembus kulit pada

mahluk hidup. Patch digunakan oleh subjek selama waktu tertentu.

Page 21: Bab 1

Keefektifan uji bisa dilihat dengan mengukur konsentrasi bahan aktif dalam darah atau urin subjek

atau dengan melihat efek farmakologinya.

In vivo :  – animal models

- human volunteers

Animal models yang biasanya digunakan tikus, hairless rat, hairless dog, hairless rhesus monkey,

kelinci, guinea pig, dan lain-lain.

Human models : terdiri dari 4 fase clinical trial

- fase I                : untuk menguji keamanan sediaan pada volunteer

- fase II              : untuk menguji keamanan dan efektifitas sediaan pada

volunteer

- fase III             : untuk menguji keamanan dan efektifitas sediaan pada

volunteer skala besar

- fase IV             : dilakukan setelah pemasaran sediaan untuk mengetahui reaksi

efek samping sediaan

B. Uji iritasi kulit

Hewan coba yang digunakan misal : tikus putih albino, mencit dan kelinci digunakan untuk

mengetahui reaksi hipersensitifitas pada kulit.

Hewan coba dibagi dalam 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 6 hewan coba.

Sehari sebelum dilakukan percobaan, bulu di daerah belakang hewan coba dicukur dan dibersihkan

Kelompok I : hewan coba tidak diberi perlakuan

Kelompok  II : sebagai kontrol diberi adhesive tape USP (Leucoplast)

Kelompok III : diberi sediaan patch tanpa bahan obat

Kelompok IV : diberi sampel sediaan patchyang mengandung bahan aktif

Kelompok V : dibeli larutan formalin 0,8% v/v sebagai standar iritan

Kelompok hewan coba diberi perlakuan setiap hari selama 7 hari dengan patch serta larutan formalin

yang baru setiap harinya. Kemudian dilakukan scoring terhadap  efek visual yang yang terjadi pada kulit

yang dilakukan oleh satu orang yang sama. Yang dilakukan pada uji ini adalah terjadinya eritema dan

edema pada kulit hewan coba yang diberikan perlakuan. Misal angka 0 tidak terjadi eritema, 1 sedikit

kemerahan, 2 terjadi eritema, 3 eritema sedang, dan 4 terjadi pembentukan luka. Begitu pula dengan

edema hampir sama dengan ritema 0 untuk tidak terjadi edema, 1 sedikit, 2 terjadi edema, 3 untuk

edema sedang dan 4 terjadi edema yang parah.

3.4 Kemasan

A. Kemasan Primer

Terlampir

B. Kemasan sekunder

Terlampir

C. Brosur

Terlampir

 

 

3.5 Registrasi

Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia

(Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor : Hk.00.05.3.1950).

Registrasi obat produksi dalam negeri hanya dilakukan oleh industri farrnasi yang memiliki izin industri

farmasi yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan. Industri farmasi yang teregistrasi harus memenuhi

persyaratan CPOB.

Obat yang akan diajukan untuk mendapatkan surat ijin edar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

Page 22: Bab 1

1. Efikasi atau khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui uji

preklinik dan uji klinik atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu

pengetahuan yang bersangkutan;

2. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat yang

Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap semua bahan yang digunakan serta

produk jadi dengan bukti yang sahih;

3. Dapat memperikan data-data informasi yang lengkap, obyektif, serta dapat menjamin

penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman.

Pada saat mendaftarkan produk untuk memperoleh ijin edar, Produsen harus mengisi formulir

pendaftaran yang disertai dengan dokumen-dokumen, antara lain:

1. Rancangan kemasan yang meliputi etiket, dus/bungkus luar, strip/blister, catch cover, dan

kemasan lain sesuai ketentuan tentang pembungkusan dan penandaan yang berlaku, yang

merupakan rancangan kemasan obat yang akan diedarkan dan dapat dilengkapi dengan

rancangan warna obat tersebut

2. Brosur yang berisi informasi mengenai obat.

Obat yang didaftarkan kemudian dievaluasi. Untuk melakukan evaluasi tersebut, dibentuk panitia

tersendiri, yang terdiri atas :

a. Komite Nasional Penilai Obat

b. Panitia Penilai Khasiat-Keamanan

c. Panitia Penilai Mutu, Teknologi, Penandaan dan Kerasionalan Obat

Pendaftar yang telah mendapat izin edar wajib memproduksi atau mengimpor dan mengedarkan

selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah tanggal persetujuan dikeluarkan. Setelah obat beredar,

dapat dilakukan evaluasi kembali (evaluasi ulang) terhadap obat. Hal ini dilakukan terhadap :

1. Obat dengan risiko efek samping lebih besar dibandingkan dengan efektifitasnya, dan baru 

terungkap sesudah obat dipasarkan.

2. Obat dengan efektifitas tidak lebih baik dari plasebo.

3. Obat yang tidak memenuhi persyaratan ketersediaan hayati/bioekivalensi.

Terhadap obat- obat yang dilakukan evaluasi kembali tersebut, produsen wajib menarik obat tersebut

dari pasaran. Selain ketiga kondisi di atas, evaluasi ulang terhadap obat juga dapat dilakukan atas tujuan

perbaikan dan pengembangan komposisi dan formula obat (KP Kepala BPOM RI, 1950; Peraturan MenKes

RI, 2008).

Adapun langkah-langkah registrasi produk adalah sebagai berikut :

 

PENGAJUAN PERMOHONAN IJIN

Perusahan melakukan pengajuan permohonan ijin dan tidak melakukan registrasi karena perusahaan

kami bukan merupakan perusahaan baru.

Langkah pengajuan permohonan ijin produk adalah sebagai berikut:

 

Buka Homepage Aplikasi E-Licensing BPOM dari sisi pengguna/Customer/Pemohon (http://e-

bpom.pom.go.id/) à log in

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 23: Bab 1

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tunggu hingga muncul tampilan sebagai berikut:

 

 

 

Pada Menu klik Pilih Dokumen Baru à pilih jenis komoditinya (Bahan Baku Obat).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kemudian akan muncul form Surat Permohonan Ijin seperti gambar berikut:

 

 

A. Memasukkan Detil Produk Menggunakan Form Entry

klik “Hal. Berikutnya” à Memasukkan Detil Produk Menggunakan Form Entry à tekan “Simpan”

 

 

B. Memasukkan Detil Produk Menggunakan Dokumen CSV

klik Updload Detil

 

Akan muncul tampilan updload dokumen CSV sebagai berikut:

 

 

Klik tombol Browse, untuk mencari file CSV yang akan diupload.

 

Page 24: Bab 1

setelah itu klik tombol Open, Bila dipilih file CSV yang akan di upload, akan muncul tampilan sebagai

berikut:

 

 

 

 

Untuk memulai proses entry detil produk dari file CSV tersebut klik tombol Simpan à muncul

Confirmation Box seperti berikut ini:

 

Produk akan masuk kedalam daftar, anda dapat menghapus atau mengedit data produk tersebut dengan

memilihnya pada dropdown kemudian pilih Proses.

 

Setiap produk tersebut harus dilengkapi dengan Dokumen Produk, untuk menambahkan dokumen

produk, Pilih Produk yang akan ditambahkan dokumen kemudian pilih Tambah Dokumen Produkdari

menu dropdown dan pilih Proses.

 

Akan muncul tampilan/form penambahan dokumen produk seperti berikut:

 

Isikan form penambahan produk tersebut à tekan simpan untuk menyimpan Dokumen Produk.

Untuk proses selanjutnya, surat permohanan ijin harus dilengkapi Dokumen Pelengkap seperti BL/AWB

dan Invoice. Untuk menambahkan dokumen pelengkap tersebut, klik Dokumen Pelengkap.

 

Akan Muncul tampilan/form Penambahan Dokumen Pelengkap seperti berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Isi form tersebut à tekan Simpan untuk menyimpan dokumen pelengkap tersebut à klik tombol  jika

semua data telah diidikan untuk memeriksa isian Surat Permohonan Ijin tersebut. Akan muncul tampilan

sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 25: Bab 1

 

 

 

 

 

 

Bila terdapat kekurangan data yang mandatory, akan muncul tampilan sebagai berikut:

 

 

Untuk mengirimkan data, Anda harus melengkapi data-data tersebut. Klik   à data dikirimkan, Klik tombol

untuk dilakukan proses selanjutnya oleh BPOM.

Data Aplikasi yang diajukan User yang telah masuk ke BPOM harus diperiksa terlebih dahulu oleh

Pemeriksa.

 

Incoming search terms:

artikel sistem penghantaran obat secara oral

titik leleh nikotin

fungsi Poli Etilen sebagai pelarut nikotin

transappendageal merupakan

cara pengujian sediaan sebagai emolien pada hewan uji

nikotin bagi lambung

proses nikotin terjadi secara difusi

nikotin dan nrt

pengertian transdermal

dunia farmasi formula peg 400