bab 1-5

95
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 3, pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, ditetapkan bahwa sasaran pembangunan kesehatan adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pencapaian tersebut tercermin dari indikator dampak pembangunan kesehatan, yaitu: KKS Ilmu Kesehatan Masyarakat 84 Universitas Malahayati Bandar Lampung 2013

Upload: chumbucket92

Post on 03-Oct-2015

225 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

ph

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 3, pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, ditetapkan bahwa sasaran pembangunan kesehatan adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pencapaian tersebut tercermin dari indikator dampak pembangunan kesehatan, yaitu: menurunnya angka kematian bayi dari 34 menjadi 24/1000 kelahiran hidup, menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118/100.000 kelahiran hidup, menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 18,4 % menjadi kurang dari 15,0% dan meningkatnya umur harapan hidup (UHH) dari 70,6 tahun menjadi 72,0 tahun (Sarjuni, 2009).Semakin meningkatnya UHH penduduk, menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Lansia), lansia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Namun, hal ini disesuaikan dengan kondisi Indonesia, dimana masa pensiun yang tergolong pada tahap dewasa akhir adalah 55 tahun, kecuali untuk orang dengan fungsi tertentu seperti professor, ahli hukum, dokter atau profesi lain (Depkes RI, 1998). Proses penuaan penduduk tentunya berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, dan terutama kesehatan, karena dengan semakin bertambahnya usia, fungsi organ tubuh akan semakin menurun baik karena faktor alamiah maupun karena penyakit (Badan Pusat Statistik, 2006).

Menurut U.S. Census Bureau, International Data Base (2009), tahun 2007 jumlah penduduk lansia sebesar 18,96 juta jiwa dan meningkat menjadi 20.547.541 jiwa pada tahun 2010. Badan Pusat Statistik (1992), memprediksi bahwa penduduk lansia di Indonesia tahun 2020 mencapai angka 11,34% atau 28,8 juta jiwa. Di wilayah Provinsi Sumatera Utara menurut Data Statistik Indonesia (2010), jumlah lansia mencapai 631.604 jiwa, sedangkan di kota binjai pada tahun 2010 tercatat jumlah lansia sebanyak 14.518 (BPS, Kota Binjai).Perubahan struktur umur penduduk menjadi struktur penduduk umur tua (UHH) meningkat akan mengakibatkan terjadinya pergeseran pola penyakit serta tingkat kesehatan di masyarakat. Terjadinya pergeseran pola penyakit menunjukan terjadinya perubahan status kesehatan masyarakat. Keadaan tersebut dikatakan sebagai transisi epidemiologi yakni lebih memfokuskan aspek pergeseran pola penyakit yang diawali wabah dan berbagai penyakit infeksi (Penyakit Menular/PM) bergeser ke penyakit degeneratif (Penyakit Tidak Menular/PTM) (Khomsan, 2001).Hasil SKRT 1995 dan SKRT 2001, menurut penyebab kematian tampak bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi epidemiologi yang diikuti transisi demografi. Proses ini diprediksi akan berjalan terus seiring dengan perubahan status sosial ekonomi dan gaya hidup. Proporsi penyebab kematian oleh PM di Indonesia telah menurun sepertiganya dari 44% menjadi 28%, sedangkan akibat PTM mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari 42% menjadi 60% (Depkes, 2008). Berdasarkan data WHO, tahun 2000 PTM diperkirakan mencapai 60% kematian di dunia dan diprediksikan pada tahun 2020 PTM mencapai 73% kematian di dunia (Soemantri, dkk, 2005).Penyakit PTM atau degeneratif telah banyak muncul di Indonesia, yang penyebabnya tidak terlepas dengan pola makan, diantara penyakit degeneratif yakni hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung koroner, kanker dan obesitas. Penyakit degeneratif adalah penyakit yang sulit untuk diperbaiki yang ditandai dengan degenerasi organ tubuh yang dipengaruhi gaya hidup (Walqvist (1997) dalam Modul Gizi Kesmas (2008)). Gaya hidup sehat menggambarkan pola perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya (Notoatmodjo, 2003).

Salah satu penyakit degeneratif yang perlu diwaspadai adalah hipertensi. Hipertensi adalah penyebab kematian utama ketiga di Indonesia untuk semua umur (6,8%), setelah stroke (15,4%) dan tuberculosis (7,5%) (Depkes, 2008). Menurut JNC 7 (2003), hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg pada seseorang yang tidak sedang makan obat antihipertensi (Yogiontoro, 2006). Hipertensi sering disebut the silent killer karena penderita hipertensi mengalami kejadian tanpa gejala (Asymtomatic) selama beberapa tahun dan kemudian mengalami stroke, gagal jantung yang fatal atau penyakit degeneratif lainnya (Krummel, 2004).Hipertensi kini menjadi masalah global karena prevalensinya yang terus meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup, terutama dalam pola makan. Pola makan tradisional yang tadinya tinggi karbohidrat, tinggi serat kasar, dan rendah lemak bergeser ke pola makan baru yang rendah karbohidrat, rendah serat kasar, dan tinggi lemak sehingga menggeser mutu makanan ke arah tidak seimbang. Perubahan pola makan ini dipercepat oleh makin kuatnya arus budaya makanan asing yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi dan globalisasi ekonomi. Disamping itu, perbaikan ekonomi menyebabkan berkurangnya aktifitas fisik masyarakat tertentu. Perubahan pola makan dan aktifitas fisik ini berakibat semakin banyaknya penduduk golongan tertentu mengalami masalah gizi lebih berupa kegemukan dan obesitas yang berdampak pada timbulnya penyakit degeneratif (Almatsier, 2001).Data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang atau 26,4% penghuni bumi menderita hipertensi, dan angka ini

diperkirakan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025 (Farmacia, 2007). Sedangkan angka Proporsional Mortality Rate di dunia akibat hipertensi adalah 13% atau sekitar 7,1 juta kematian (Yahya, 2005). Hasil Riskesdas (2007), prevalensi hipertensi yang tergolong lansia (55 sampai 75+ tahun) di Indonesia mencapai 62,8%. Di Provinsi Sumatera Utara jumlah penderita hipertensi sebanyak 26,3%. Jumlah penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas H.A.H. Hasan berjumlah 112 orang pada tahun 2013.Berikut ini merupakan beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap kenaikan tekanan darah pada seseorang antara lain: faktor yang tidak dapat diubah (umur, riwayat keluarga) dan faktor yang dapat diubah (obesitas, perokok, konsumsi alkohol, dan konsumsi makanan yang banyak mengandung lemak atau garam) (Cahyono, 2008).Kemampuan penderita hipertensi agar tidak menjadikan penyakitnya semakin parah adalah menjaga perilaku pola makan yang salah satunya adalah melakukan diet rendah garam dan rendah kolestrol. Namun demikian, kepatuhan diet makanan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi pengetahuan, sikap, perilaku dan dukungan keluarga. Dari uraian di atas dan karena belum pernah diadakannya identifikasi masalah hipertensi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas H.A.H. Hasan maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana Gambaran Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Lansia Terhadap Penyakit Hipertensi di Posyandu Lansia Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013.1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: belum diketahuinya Gambaran Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Lansia Terhadap Penyakit Hipertensi di Posyandu Lansia Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013.1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1Tujuan UmumTujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Lansia Terhadap Penyakit Hipertensi di Posyandu Lansia Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013.1.3.2Tujuan Khusus1. Untuk memperoleh gambaran tingkat pengetahuan lansia tentang hipertensi di Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat Provinsi Sumatera Utara2. Untuk memperoleh gambaran sikap lansia tentang hipertensi di Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat Provinsi Sumatera Utara3. Untuk memperoleh gambaran perilaku lansia tentang hipertensi di Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat Provinsi Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan serta kemampuan teoritis dan praktis tentang penyakit hipertensi pada lansia.1.4.2Bagi Puskesmas H.A.H HasanHasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna tentang gambaran prilaku lansia terhadap kejadian hipertensi, sehingga dapat mencegah terjadinya hipertensi.1.4.3Bagi Masyarakat

Sebagai informasi tambahan untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat khususnya lansia terhadap penyakit hipertensi, agar mereka lebih peduli terhadap kesehatan mereka.1.4.4 Bagi Dinas KesehatanSebagai masukan bagi pengelola program dalam mengetahui gambaran prilaku masyarakat tentang penyakit hipertensi di Kota Binjai pada umumnya dan wilayah kerja Puskesmas H.A.H Hasan khususnya, sehingga pengambil keputusan dapat menyusun rencana strategis yang efektif dalam penanganan dan pencegahan hipertensi .BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Perilaku

Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan kesehatan bertujuan mengubah perilaku yang belum sehat menjadi perilaku yang sehat, artinya perilaku yang berdasarkan pada prinsip-prinsip sehat atau kesehatan. Skinner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa prilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, disebut teori : S-O-R atau stimulus-organisme-respon.

Berdasarkan batasan perilaku tersebut maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman serta lingkungan.

Perilaku kesehatan di klasifikasikan menjadi 3 kelompok :

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)

Adalah perilaku seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan atau disebut perilaku pencarian pengobatan (Health Seeking Behavior). Perilaku ini adalah upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan, dimulai dari mengobati sendiri (Self Treatment) sampai mencari pengobatan.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan fisik maupun sosial budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Seorang ahli lain (Becker 1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan :

a. Perilaku hidup sehat

b. Perilaku sakit (illness behavior)

c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior)

2.1.1 Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting umtuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2003).

1. Tingkatan pengetahuan

Ada 6 (enam) tingkatan pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif, yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sistesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoajmodjo, 2003).2. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2 Sikap (Attitude)

Sikap adalah respon tertutup sesorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana, yakni: An individuals attitude is syndrome of response consistency with regard to object . jadi jelas dikatakan bahwa sikap itu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap ini melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain.

Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku atau tindakan (reaksi tertutup).

Pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting dalam pembentukan sikap. Seperti halnya pengetetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut:1. Menerima (receiving)

2. Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek)

3. Menanggapi (responding)

Menganggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.4. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon.

5. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah ada diyakini. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil resiko bila ada orang yang mencomoohkan atau adanya resiko lain.Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata setuju atau tidak setuju terhadap pertanyaan terhadap objek tertentu.2.1.3 Tindakan (practice)

Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

Pengukuran atau cara mengamati praktik dapat dilakukan melalui dua cara, secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengukuran yang baik adalah secara langsung yakni dengan pengamatan (observasi). Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali (recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan objek tertentu. 2.2 Hipertensi pada Lansia

2.2.1 Pengertian Lansia

Pengertian lansia menurut Dictionary of The Sports and Exercise Sciences (Hannan, 2000), menjelaskan pengertian tentang penuaan (aging), yaitu: Elderly is the normal proccess of growing old, without regard to chronological age characterized by a loss of ability to adapt. 2. Continuing molecular, cellular, and organismic differentional. Paragraf tersebut menjelaskan bahwa lansia adalah sebuah proses normal menjadi tua tanpa suatu kriteria usia tertentu dimana pada usia itu mengalami berbagai macam perubahan baik perubahan molekul, sel dan perubahan kemampuan fungsi organ. Ditinjau dari ilmu geriatri (Stanley dan Patricia, 2007), menua adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Santoso dan Andar (2009) menjelaskan penuaan adalah proses biologis alami atau normal meliputi seluruh masa kehidupan mulai dari lahir,pertumbuhan,dan perkembangan untuk mencapai usia matang pada usia 30-50 tahun yang kemudian diikuti dengan kemunduran dan adanya perubahan degeneratif yang bersifat progresif dan gradual mengenai bentuk tubuh maupun fungsinya akibat dari kerusakan sel disertai menurunnya kapasitas fisiologik yang terjadi selama proses kehidupan dan berujung pada kematian. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lansia dipandang dari segi aspek biologi, ekonomi, dan sosial ialah orang yang berusia 60 tahun ke atas. Lansia dipandang dari segi biologis, bahwa lansia mengalami penurunan fungsi biologis baik fisik maupun mentalnya yang berujung pada kematian karena terjadinya perubahan struktur dan fungsi sel. Dipandang dari segi ekonomi penduduk lansia dianggap sebagai beban bukan sebagai sumber daya sedangkan lansia dipandang dari segi sosial kelompok lansia merupakan suatu kelompok tersendiri.Menurut WHO (2002) membagi lansia menjadi 4 kelompok:

1) Usia pertengahan (middle Age 45-59 years), 2) Lansia (elderly 60- 74 years), 3) Lansia tua old (75- 90 years), dan 4) Lansia sangat tua (very old 90 years or over 90 years). Ada beberapa negara menetapkan usia kronologis yang berbeda bagi lansia. Di Indonesia sendiri orang dianggap lansia ketika sudah pensiun dari pekerjaannya kurang lebih usia 55 tahun. Di USA lansia ialah orang yang berusia 77 tahun lebih. Bagi orang Jepang kesuksesan justru dimulai usia 60 tahun ke atas dan WHO (2010) menetapkan usia 60 tahun sebagai titik awal seseorang memasuki masa lansia.Dari pengertian di atas lansia ialah sekelompok orang yang telah berusia sekitar 45-60 tahun ke atas dan mengalami penurunan fungsi biologis, sosial serta ekonomi (Saputri, 2009). Lansia mengalami penurunan struktur dan fungsi sel yang berujung pada kematian. Lansia dianggap sebagai beban yang tidak bermanfaat (Tamher dan Noorkasiani, 2009). 2.2.2. Pengertian Hipertensi pada Lansia

Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistole yang tingginya tergantung dari usia individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh, usia, dan tingkat stress yang dialami. Tekanan darah ialah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik tehadap tekanan diastolik dengan nilai dewasa normalnya berkisar 100/60 sampai 140/90 mmHg. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg (Swartz dan Mark, 2003).Untuk mengukur tekanan darah maka perlu dilakukan pengukuran darah secara rutin. Tekanan darah harus selalu diperiksa dalam setiap kunjungan. Tekanan darah harus diperiksa baik saat pasien dalam posisi terlentang, atau berdiri. Kantung udara yang terdapat dalam manset alat pengukur tekanan darah harus setidaknya menutup dua per tiga lingkar lengan pasien yang bersangkutan. Palpasi pada tekanan manset pengukur di mana denyut arteri radial menghilang merupakan salah satu cara untuk memeriksa kembali ketepatan dari auskultasi tekanan darah sistolik (Jain, 2011).

Bunyi-bunyi Korotkof didengarkan dengan mempergunakan sisi bel stetoskop yang ditekan ringan diatas arteri brachial. Tekanan saat pertama bunyi diatas terdengar merupakan tekanan darah sistolik. Bunyi-bunyi tersebut mungkin akan semakin tersamar sebelum hilang dan tidak terdengar lagi, dan tekanan yang tertera dalam alat pengukur saat timbulnya kesamaan bunyi harus diperhatikan sebagai titik diantara tekanan sistolik dan diastolik (Swartz dan Mark, 2003).

Hipertensi dengan peningkatan tekanan sistole tanpa disertai peningkatan tekanan diastole lebih sering terjadi pada lansia, sedangkan hipertensi dengan peningkatan tekanan diastole tanpa disertai peningkatan tekanan sistole lebih sering terjadi pada usia dewasa muda (Tambayong, 2000). Tekanan darah timbul ketika bersirkulasi di dalam pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam proses ini dimana jantung sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan darah dan pembuluh darah yang memiliki dinding yang elastis dan ketahanan yang kuat (Burnside dan Thomas, 2004).

Seseorang dikatakan mengalami hipertensi atau tekanan darah tinggi jika memiliki nilai systole 140 mmHg dan diastole 90 mmHg. Pada lansia hipertensi dicirikan dengan hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan diastolik masih dalam kisaran normal, keadaan ini biasanya ditemukan pada orang yang telah berusia 50 tahun ke atas dan memastikan hipertensi. Insiden hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia (Neutel, 2011).Hipertensi pada lansia dibedakan menjadi dua macam yaitu hipertensi dengan peningkatan sistolik dan diastolik dijumpai pada usia pertengahan dan hipertensi sistolik pada usia di atas 65 tahun. Tekanan diastolik meningkat pada usia sebelum 60 tahun dan menurun sesudah usia 60 tahun. Tekanan sistolik meningkat dengan bertambahnya usia (Kuswardhani, 2006).

Hipertensi menjadi masalah pada usia lanjut karena sering ditemukan menjadi faktor utama penyakit koroner. Lebih dari separuh kematian diatas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskuler. Hipertensi pada usia lanjut dibedakan menjadi dua macam yaitu hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau lebih 90 mmHg serta hipertensi sistolik terisolasi tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg (Nugroho, 2008). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hipertensi pada lansia dipengaruhi oleh faktor usia.

Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII (Join National Committee VII) dalam Budisetio (2005)Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VIIKlasifikasi Tekanan DarahSistolik (mmHg)Diastolik (mmHg)

Normal

Prahipertensi

Hipertensi derajat 1

Hipertensi derajat 2< 120

120 139

140 159

160< 80

80 89

90 99

100

2.2.3 Faktor Penyebab Hipertensi pada Lansia

Menurut Babatsikou dan Assimina (2010) hipertensi dari penyebabnya dibedakan menjadi 2 macam:

1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer (idiopatik)

Jenis hipertensi ini masih belum diketahui penyebabnya, meskipun begitu kasus hipertensi esensial ini memiliki beberapa faktor-faktor resiko tertentu, seperti faktor keturunan, usia, ras, obesitas, kurangnya aktivitas fisik, kurangnya asupan kalium, magnesium, dan kalsium, komsumsi alkohol yang berlebihan, dan kejadian ini terjadi lebih banyak pada lelaki. Gaya hidup yang tidak sehat dengan banyak mengkomsumsi garam juga menjadi salah satu pemicu timbulnya hipertensi.

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder dikenal juga dengan hipertensi renal. Berikut ini adalah beberapa faktor pemicu timbulnya hipertensi sekunder, antara lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal, tumor kelenjar hipofisis, produksi hormon yang berlebihan, seperti hormon adrenal dan tiroid, tumor otak atau gangguan yang melibatkan tekanan intra kranial meningkat.

Lewa, Abdul Farid, Dewa dan Bening Rahayu (2010) menjelaskan, faktor penyebab yang mempengaruhi hipertensi pada lansia yang dapat atau tidak dapat dikontrol antara lain:

1) Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol

a) Jenis kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada laki-laki sama dengan perempuan. Namun perempuan terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Perempuan yang belum menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar HDL (High Density Lipoprotein). Kadar kolesterol yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas perempuan pada usia premenopause. Pada premenopause perempuan mulai sedikit kehilangan hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan usia perempuan secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada perempuan usia 45-55 tahun. Hipertensi lebih banyak terjadi pada laki-laki bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang perempuan setelah usia 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah perempuan. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause (Harrison, Wilson, dan Kasper, 2005).b) Usia

Semakin tinggi usia seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda. Hipertensi pada lansia harus ditangani secara khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat.c) Keturunan (Genetik)

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu mempunyai resiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium. Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga riwayat dengan hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Kuswardhani, 2006). Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.2) Faktor resiko yang dapat dikontrol

a) Rokok

Meskipun efek jangka panjang merokok terhadap tekanan darah masih belum jelas, namun efek sinergis merokok dengan tekanan darah yang tinggi terhadap risiko kardiovaskuler telah didokumentasikan secara nyata. Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna.b) Alkohol

Penggunaan alkohol secara berlebihan juga dapat meningkatkan tekanan darah, mungkin dengan cara meningkatkan katekolamin plasma. Kebiasaan minum alkohol berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.c) Konsumsi garam dapur

Hubungan antara asupan natrium dan hipertensi masih kontroversial, tetapi jelas bahwa pada beberapa pasien hipertensi, asupan garam yang banyak menyebabkan peningkatan tekanan darah secara nyata. Pasien hipertensi hendaknya mengkonsumsi garam tidak lebih dari 100 mmol/hari (2.4 gram natrium, 6 gram natrium klorida). Ketika ada terlalu banyak natrium dalam cairan tubuh, ginjal mengambil peran alaminya mengeluarkan zat yang tidak terpakai atau yang tidak diinginkan seperti natrium. Namun, jika jumlah natrium yang dieksresikan oleh ginjal di luar kapasitas normal ginjal, masalahnya sekarang akan muncul. Dekat ginjal adalah sistem pembuluh darah, dan cairan yang membawa natrium berlebihan akan masuk ke aliran darah dan melalui pembuluh darah tersebut. Aliran darah akan menyempit dan menutup dengan sendirinya apabila ginjal lambat dalam mengambil natrium yang dibawanya. Sistem vaskular akan menutup untuk meningkatkan tekanan darah di dekat ginjal, peningkatan tekanan darah akan menciptakan dorongan atau kekuatan yang akan mendorong ginjal untuk membuang kelebihan sodium (Hopkinson, 2011).d) Kurang Aktivitas Olahraga

Kurang aktifitas fisik dapat mengakibatkan berbagai macam keluhan. Salah satunya pada sistem kardiovaskular yaitu ditandai dengan menurunnya denyut nadi maksimal serta menurunnya jumlah darah yang dipompa dalam tiap denyutan. Kurang aktifitas fisik juga dapat meningkatkan tekanan darah, dengan latihan olahraga yang rutin diharapkan akan menurunkan tekanan darah dengan sendirinya.e) Obesitas

Faktor yang diketahui dengan baik adalah obesitas, dimana berhubungan dengan peningkatan volume intravaskuler dan curah jantung. Pengurangan berat badan sedikit saja sudah menurunkan tekanan darah. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat memicu timbulnya berbagai macam penyakit seperti atritis, jantung, dan hipertensi.f) Stress

Hubungan antara stres dengan hipertensi, diduga terjadi melalui aktivasi saraf simpatis (saraf yang bekerja saat beraktifitas). Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Apabila stress berkepanjangan, dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi.2.2.4 Patofisiologi Hipertensi pada Lansia

Mekanisme dasar peningkatan tekanan sistolik sejalan dengan peningkatan usia terjadinya penurunan elastisitas dan kemampuan meregang pada arteri besar. Tekanan aorta meningkat sangat tinggi dengan penambahan volume intravaskuler yang sedikit menunjukkan kekakuan pembuluh darah pada lanjut usia. Secara hemodinamik hipertensi sistolik ditandai dengan penurunan kelenturan pembuluh darah arteri besar, resistensi perifer yang tinggi, pengisian diastolik abnormal dan bertambahnya masa ventrikel kiri. Penurunan volume darah dan output jantung disertai kekakuan arteri besar menyebabkan penurunan tekanan diastolik. Lanjut usia dengan keadaan hipertensi sistolik dan diastolik akan menyebabkan berkurangnya output jantung, peningkatan volume intravaskuler, menyebabkan aliran darah ke ginjal terhambat, mengakibatkan aktivitas plama renin yang lebih rendah dan menimbulkan resistensi perifer. Perubahan aktivitas sistem syaraf simpatik dengan bertambahnya norepinephrin menyebabkan penurunan tingkat kepekaan sistem reseptor beta adrenergik sehingga berakibat penurunan fungsi relaksasi otot pembuluh darah (Ferdinand, 2008).

Lanjut usia mengalami kerusakan struktural dan fungsional pada arteri besar yang membawa darah dari jantung menyebabkan semakin parahnya pengerasan pembuluh darah dan tingginya tekanan darah (Takasihaeng, 2002).2.2.5 Respon Penderita Hipertensi

Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang menerus tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Seseorang baru merasakan dampak gawatnya ketika telah terjadi komplikasi. Jadi baru disadari ketika mengalami gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung, gangguan fungsi ginjal, dan mengalami stroke. Oleh karena itu, hipertensi perlu dideteksi dini yaitu dengan cara pemeriksaan tekanan darah secara berkala ketika check-up (Appel dan Rafael, 2007). Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal yaitu sakit kepala, pusing, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sukar tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan; penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan perdarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan, gangguan kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).

2.2.6 Bahaya Hipertensi pada Lansia

Hipertensi apabila tidak disembuhkan maka dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan arteri di dalam tubuh sampai organ-organ yang mendapatkan suplai darah darinya seperti jantung, otak dan ginjal (Harber dan Scoot, 2009). Penyakit yang sering timbul akibat hipertensi adalah stroke, gagal ginjal, serangan jantung, dan lain sebagainya.

Infokes (2007) menyebutkan bahwa hipertensi adalah salah satu penyebab kematian nomor satu. Komplikasi yang ditimbulkan menyebabkan penyumbatan pembuluh darah yang mengakibatkan kerusakan jaringan, gagal ginjal, jantung koroner dan angka kematian yang tinggi. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hipertensi berdampak negatif. Terutama untuk para lansia dapat menyebabkan dampak ke jantung, ginjal, arteri dan paling fatal adalah kematian (Harrison, Wilson, dan Kasper, 2005).Berikut penjelasan mengenai komplikasi menurut Burnside dan Thomas (2004):

Tabel 2.2 Komplikasi HipertensiNoSistem organ Komplikasi

1Jantung Infark miokard, angina pectoris dan gagal jantung kongestif

2Sistem saraf pusat Stroke, ensefalopati hipertensif

3GinjalGagal ginjal kronis

4MataRetinopati hipertensif

5Pembuluh darh perifer Penyakit pembuluh darh perifer

2.2.7 Penatalaksanaan Hipertensi pada Lansia

Menurut Mansjoer (2002), katergori penatalaksanaan dikategorikan dalam kelompok risiko menjadi:

1) Pasien dengan tekanan darah perbatasan, atau tingkat 1, 2 tanpa gejala penyakit kardiovaskuler, kerusakan organ, atau faktor risiko lainnya. Bila dengan modifikasi gaya hidup tekanan darah belum dapat diturunkan, maka harus diberikan obat anti hipertensi.

2) Pasien tanpa penyakit kardiovaskuler atau kerusakan organ lainnya, tapi memiliki satu atau lebih faktor risiko yang tertera diatas, namun bukan diabetes mellitus. Jika terdapat beberapa faktor maka harus langsung diberikan obat antihipertensi.

3) Pasien dengan gejala klinis penyakit kardiovaskuler atau kerusakan organ yang jelas.

Tabel 2.3 Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi resikoTekanan darah Kelompok risiko 1Kelompok risiko 2Kelompok risiko 3

130 135/85-89Modifikasi gaya hidupModifikasi gaya hidupDengan obat

140-159/90-99Modifikasi gaya hidupModifikasi gaya hidupDengan obat

>160/>100Dengan obatDengan obatDengan obat

Penatalaksanaan secara umum bagi lansia penderita hipertensi menurut Mansjoer (2002) adalah menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (indeks masa tubuh >27), membatasi alkohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30-45menit/hari) sebanyak 3x dalam seminggu, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat, mengurangi asupan natrium, mempertahankan asupan kalium yang adekuat, dan berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.Anderson (2011) menjelaskan mengenai pemakaian obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya gangguan absorbsi dalam alat pencernaan, interaksi obat, efek samping obat dan gangguan akumulasi obat terutama obat-obatan yang ekskresinya melalui ginjal. Melaksanakan terapi anti hipertensi perlu penetapan jadwal rutin harian minum obat, mencatat obat-obatan yang diminum dan keefektifan mendiskusikan informasi untuk tindak lebih lanjut.

Pilihan obat dalam mengatasi hipertensi diantaranya :

1. Hipertensi tanpa komplikasi diberikan diuretik, beta blocker

2. Indikasi tertentu diberikan inhibitor ACE, penghambat reseptor angiotensin II, Alfa Blocker, Alfa Beta Blocker, diuretik

3. Indikasi yang disesuaikan : DM tipe 1 dengan proteinuria diberikan ACE Inhibitor, gagal jantung diberikan ACE Inhibitor, diuretik.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini rancangan yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional, yaitu suatu penelitian yang mempelajari dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat, dan bukan dimaksudkan semua objek diamati tepat pada saat yang sama melainkan setiap objek hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat wawancara pada responden dengan memakai kuesioner.

3.2 Tempat Waktu dan Sasaran Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat.

3.2.2 Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada tanggal 17 November - 1 Desember 2013.

3.2.3 Sasaran Penelitian

Penelitian ini ditujukan kepada anggota Posyandu Lansia di Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat.3.3 Populasi dan Sampel Penelitian3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoadmodjo, 2010). Populasi dari penelitian ini adalah semua Lansia di Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat yaitu sebanyak 200 orang.3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah adalah semua anggota Posyandu Lansia di Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat yaitu sebanyak 40 orang. 3.3.3 Cara Pengambilan sampel

Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan metode Random Sampling. Metode Random Sampling adalah pengambilan sampel secara acak pada populasi.3.4 Kerangka Konsep

3.5 Definisi Operasional3.5.1 Variabel Bebas (Independent Variabel)

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah bagaimana sampel itu tahu dalam memahami hipertensi, mencegah dan mengatasi hipertensi.

2. Sikap

Sikap adalah kemampuan masyarakat usia diatas 55 tahun untuk menganalisa dan memahami pentingnya pencegahan hipertensi secara dini.

3. Perilaku

Perilaku adalah kemampuan masyarakat usia diatas 55 tahun untuk melakukan tindakan pencegahan darah tinggi dengan mengatur pola makan, olahraga, tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol, istirahat cukup serta rajin kontrol hipertensi.

3.5.2 Variabel Tergantung (Dependent Variabel)

1. Hipertensi

Hipertensi adalah kenaikan tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg.3.6 Pengumpulan Data

3.6.1 Data primer

Data yang diperoleh dengan pengamatan dan pengukuran menggunakan instrument kuisioner pada sampel penelitian.3.6.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapatkan dari Puskesmas H.A.H Hasan Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat, data Kecamatan Binjai Barat dan data Kelurahan Binjai Barat.3.7 Instrumen Penelitian

Instrumen yang dipakai pada penelitian berupa kuisioner yang terdiri dari 30 pertanyaan dengan perincian sebagai berikut :

1. 10 pertanyaan untuk menilai pengetahuan

2. 10 pertanyaan untuk menilai sikap3. 10 sikap untuk menilai tindakan3.8 Teknik SkoringSkor jawaban dikategorikan berdasarkan tingkatan skala pengukuran menurut Hadi Pratomo dan Sudarti (1986). Kategori ordinalnya adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Tingkatan Skala Pengukuran Menurut Hadi Pratomo dan SudartiSkorKategori

>75% jawaban benar dari total nilai kuisionerBaik

45-75% jawaban benar dari total nilai kuisionerSedang