bab 1-5
TRANSCRIPT
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 1/17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Belakang
Pulau Bali merupakan salah satu daerah wisata yang banyak dikunjungi wisatawan
asing maupun domestik. Hal ini tidak terlepas dari situasi pulau Bali yang aman dan kondusif
serta penduduknya yang ramah. Penduduk Bali terbagi dalam berbagai ras serta golongan
suku dengan agama yang berbeda. Berdasarkan data yang berasal dari Dinas Kependudukan
Bali, persentase pemeluk agama Hindu 67,94%, Islam 23,03%, Kristen 2,24 %, Protestan
4,87 dan Buddha 1,91 %. Walaupun mayoritas beragama Hindu, hal ini tidak menghalangi
masyarakatnya untuk saling berbaur secara harmonis. Terlebih lagi dengan umat Islam yang
merupakan agama mayoritas kedua di Bali. Ini bisa dilihat dengan akulturasi yang berjalan
dengan harmonis di beberapa titik penyebaran agama, terutama agama Islam.
Di tengah masyarakat Bali yang multikultural, ternyata masih terdapat masyarakat
yang belum sepenuhnya bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Seperti
yang kita ketahui, Bali merupakan daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh orang-orang
dari berbagai suku, bangsa dan agama yang membawa adat dan budayanya masing-masing.
Hal ini dapat menimbulkan pergeseran nilai-nilai sosial agama pada masyarakat Bali.
Pergeseran ini terbukti dengan adanya konflik-konflik sosial yang pada akhirnya
mengatasnamakan agama. Berawal dari sebuah permasalahan kecil yang jika dibiarkan
berlarut-larut akan menimbulkan konflik yang besar (www.rezaantonius.wordpress.com,
2009)
Ditambah lagi dengan kejadian Bom Bali yang yang dilakukan oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab dan mengatasnamakan agama. Peristiwa ini seakan
memprovokasi masyarakat pada agama tertentu sebagai penyebab terjadinya tragedi tersebut.
Ini merupakan salah satu penyebab timbulnya rasa saling curiga, yang tentu saja memicuterjadinya konflik antar agama di tengah masyarakat Bali yang multikultural. Hal ini juga
menyebabkan terganggunya harmonisasi antar umat beragama. Padahal ajaran agama di
seluruh dunia tidak pernah mengajarkan umatnya untuk saling melecehkan satu sama lain
terutama antar umat beragama (www.rezaantonius.wordpress.com, 2009).
Seperti contoh konflik yang terjadi pada TK Khodijah salah satu TK Islam di Denpasar. Pada
awalnya, pembangunan TK Khodijah berlangsung di daerah Pekambingan, namun ketika 99%
bangunan telah berdiri terjadi konflik antara penduduk sekitar dengan pihak yang
membangun. Kemudian daerah pembangunan di pindah ke Sesetan, ketika pendaftaran murid
1
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 2/17
dimulai, penduduk lingkungan daerah tersebut memberhentikan proses pendaftaran. Sampai
sekarang tidak ditemukan penyelesaian. Hingga akhirnya bangunan TK Qhodijah tidak
digunakan lagi sampai sekarang. Sebenarnya hal ini terjadi akibat adanya kesalahpahaman
antara kedua belah pihak. Penduduk Hindu di sana berasumsi pembangunan TK tersebut pasti
akan berujung disertai dengan pembangunan mesjid. Mereka khawatir kenyamanan
lingkungan di sana akan terganggu jika dibangun TK apalagi disertai dengan pembangunan
masjid. Di sisi lain pihak yang akan membangun TK Qhadijah kurang memberikan
konfirmasi terhadap penduduk setempat (Muslimah Soal, 2009).
Hal yang berbeda terjadi di Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon. Di tengah
maraknya berbagai macam konflik yang mengatasnamakan agama, mereka selalu mengatasi
dan mengantisipasinya dengan cara keterbukaan dan kekeluargaan. Seperti yang
dikemukakan I Wayan Karma, SIP (2009) selaku Kasi Pemerintahan dan Tramtib, KelurahanSerangan menjelaskan ketika maraknya aksi terorisme, masyarakat Hindu di sekitar
lingkungan Kampung Bugis dan Kepaon sempat merasa curiga terhadap penduduk di
kampung Islam tersebut. Namun hal itu dapat terselesaikan karena adanya sikap toleransi dan
keterbukaan. Sikap toleransi dan keterbukaan ini disebabkan oleh adanya nilai-nilai sejarah
yang selalu mereka jadikan pedoman dan diaplikasikan dalam menjalani kehidupan sehari-
hari. Dengan pedoman yang kuat, tidak peduli sebesar apapun konflik yang mungkin timbul
diantara masyarakatnya dapat diselesaikan secara damai.
Oleh karena itu masyarakat berbeda agama (Islam dan Hindu) di Kampung Bugis dan
Kampung Islam Kepaon dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa rasa curiga. Warga
kedua belah pihak salig menghargai dan menghormati budaya dan agama masing-masing
(Ahmad Subawai, 2009). Hal inilah yang patut menjadi panutan bagi seluruh masyarakat
dalam menjalani kehidupan yang multikultural di pulau Bali ini
Terkait kenyataan tersebut kami tertarik untuk meneliti tentang sejarah keberadaan Islam di
Kampung Bugis-Serangan dan Kampung Islam-Kepaon dan hubungan dengan masyarakat
Hindu di sekitarnya sebagai penerapan nilai-nilai sejarah dalam menyelesaikan konflik-
konflik agama di Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun masalah-masalah yang telah dirumuskan
penulis adalah:
1.2.1 Bagaimana sejarah keberadaan umat Islam di Kampung Bugis-Serangan dan
Kampung Islam-Kepaon?
2
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 3/17
1.2.2 Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kampung Islam
Kepaon
1.2.3 Penerapan Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis dan
Kampung Islam Kepaon dalam Menyelesaikan Konflik Agama di Bali
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui sejarah keberadaan umat Islam di Kampung Bugis-
Serangan dan Kampung Islam-Kepaon
1.3.2 Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kampung Islam
Kepaon
1.3.3 Penerapan Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis dan
Kampung Islam Kepaon dalam Menyelesaikan Konflik Agama di Bali
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.4.1 Membantu pemerintah dalam mencari solusi dalam mengurangi konflik antar
umat beragama.
1.4.2 Memberikan informasi kepada masyarakat agar tidak melakukan tindakan
yang dapat memicu terjadinya konflik antar umat beragama.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini mencakup konflik-konflik sosial agama dan model penyelesaiannya.
3
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 4/17
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Sejarah Masuknya Islam ke Bali
Islam pertama masuk ke wilayah Bali pada masa Kerajaan Gelgel (Klungkung)
sebagai sebuah Kerajaan terbesar di Bali yang wilayahnya mencakup Blambangan (Jawa
Timur), Lombok serta Sumbawa dengan seorang Raja yang bernama Sri Dalem
Waturenggong berkisar abad ke-XVI. Masuknya Islam pada saat itu bukan merupakan satu-
kesatuan yang utuh, namun mempunyai sejarah dan latar belakang tersendiri dari masing-
masing komunitas Islam yang ada di Pulau Dewata. Penyebaran agama Islam ke Bali berasal
dari sejumlah daerah di Nusantara antara lain Jawa, Madura, Lombok dan Bugis (
www.oncep.blogspot.com, 2008).
Pada masa pemerintahan Sri Dalem Waturenggong tahun 1460-tahun 1550 masehi.
Datanglah Raden Fatah dari Demak dalam misinya untuk mengislamkan seluruh Nusantara.
Menggunakan politik pendekatan, ia berusaha untuk membujuk Raja agar memeluk agama
Islam. Namun, Raja menolak karena setia dengan agama Hindu. Karena gagal mengislamkan
Raja, maka rombongan kembali ke Demak dan beberapa orang pengiringnya tinggal di Gelgel
dan orang-orang yang tinggal inilah yang kemudian menurunkan orang-orang Islam di Gelgel
(www.oncep.blogspot.com, 2008).
Raja Dalem Waturenggong yang berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, saat
berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, kembalinya diantar oleh 40 orang
pengawal yang beragama Islam. Ke-40 orang pengawal tersebut akhirnya diijinkan menetap
di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara
Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit. Para pengawal yang beragama Islam itu hanya
bertindak sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel, menempati satu pemukiman dan membangun
sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang menjadi tempat ibadah umat Islamtertua di Bali (www.oncep.blogspot.com, 2008).
Demikian pula komunitas muslim yang kemudian tersebar di Banjar Saren Jawa,
Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon, Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman
(Buleleng) dan Loloan (Jembrana), membutuhkan waktu cukup panjang untuk menjadi satu
kesatuan (Anonim.2008). Dalam pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang juga
mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur Bali atau menyerupai corak ( style) wantilan
(joglo). Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid, menjadikan
tempat suci umat Islam di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah
4
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 5/17
lainnya di Indonesia. Akulturasi unsur Islam-Hindu yang terjadi ratusan tahun silam
memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik (www.kapanlagi.com, 2008)
2.2 Sejarah Keberadaan Kampung Bugis dan Kepaon
2.2.1 Sejarah Keberadaan Kampung Bugis
Kampung Bugis terletak di sebelah selatan pulau Bali tepatnya di Pulau Serangan.
Pulau Serangan dipisahkan selat kecil selebar satu kilometer dengan Denpasar yang terletak di
Bali daratan. Pulau ini semula memiliki luas sekitar 112 hektar, tetapi sejak dibangun jalan
dan jembatan hampir 10 tahun silam, pulau kecil di selatan Kota Denpasar ini menyatu
dengan daratan Bali. Secara administratif, Serangan termasuk wilayah Kecamatan Denpasar
Selatan. Desa ini mempunyai enam banjar adat yang mayoritas beragama Hindu, dan satu
lingkungan perkampungan Muslim, Kampung Bugis (www.munawirsr.multiply.com, 2007).
Asal-usul kampung Bugis dimulai ketika serombongan orang Bugis yang dipimpin
oleh Syekh Haji Mukmin meninggalkan Gowa karena penjajahan Belanda. Menggunakan
perahu pinisi, orang-orang Bugis berlayar menyeberang lautan, hingga akhirnya berlabuh di
Pulau Serangan. Saat itu, di Pulau Bali sedang terjadi pertempuran antara Raja Badung
dengan Raja Mengwi. Mendengar kabar tentang kedatangan orang Bugis di wilayahnya, Raja
Badung kemudian meminta pertolongan orang Bugis untuk berperang. Mereka pun
menyanggupinnya. Berkat tambahan bantuan dari orang Bugis. Raja Badung berhasil
mengalahkan Raja Mengwi (Mohammad Mohadi, 2009)
Sebagai balasannya, Raja kemudian memberikan sebuah wilayah bagi orang-orang
Bugis tersebut di luar pulau Serangan. Namun, karena pada dasarnya mereka merupakan suku
yang dekat dengan laut. Mereka memohon untuk pindah kembali ke Pulau Serangan.
Permohonan merekapun dikabulkan. Sejak saat itu hingga sekarang orang-orang Bugis turun-
temurun menempati wilayah Pulau Serangan. Umumnya masyarakat di kampung Bugis
berprofesi sebagai nelayan. Mereka mencari ikan kemudian menjualnya. Keahlian ini punkemudian dibagikan kepada para penduduk asli yang ada di Pulau Serangan. Warga
pendatang maupun warga asli di Pulau Serangan hidup saling bahu membahu hingga saat ini
(Mohammad Mansyur, 2009).
2.2.2 Sejarah Keberadaan Kampung Islam Kepaon
5
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 6/17
Selain kampung Bugis, terdapat satu lagi Kampung Islam yang terkenal di wilayah
Denpasar, yaitu Kampung Islam Kepaon. Kampung Islam Kepaon terletak di daerah
Pemogan, Denpasar Selatan. Sejarah Kampung Islam Kepaon, bermula dari hubungan yang
erat antara Kerajaan Badung dengan Kerajaan Bangkalan, Madura. Saat itu, Kerajaan Badung
tengah menghadapi perang dengan Kerajaan Mengwi. Untuk menambah kekuatan
pasukannya, Raja Badung memohon bantuan kepada Raja Madura. Beliau pun
menyanggupinya dan mengirimkan satu Rhodat (satu peleton) pasukan untuk membantu Raja
Badung (Ahmad Subawai, 2009).
Dengan tambahan pasukan dari Madura, Kerajaan Badung berhasil memenangkan
pertempuran dan wilayah kerajaan Mengwi pun menjadi bagian dari kerajaan Badung. Tak
berapa lama, datanglah seorang bangsawan dari Madura yang bernama Raden Sosroninggrat.
Oleh Raja Badung, beliau kemudian dinikahkan dengan putrinya yang bernama A.A. AyuMas Manik Dewi. Setelah menikah, A.A Ayu Manik Mas Dewi diboyong ke Madura
berpindah memeluk agama Islam dan bernama Siti Hadijah (Ahmad Subawai, 2009).
Suatu saat, Siti Hadijah yang berkunjung ke Bali sedang menunaikan sholat maghrib,
dan dikira oleh masyarakat sekitar sedang mempraktekkan ilmu sesat. Siti Hadijah membela
diri dengan menjelaskan jika dirinya sedang menunaikan ibadahnya, namun karena rakyat
tidak ada yang mempercayainya, Siti Hadijah pun akhirnya dihukum mati. Setelah
kematiannya muncul wabah penyakit yang menyerang rakyat Badung. Oleh Raja, para
pengikut Siti Hadijah dari Madura kemudian diijinkan untuk menetap di Bali, namun karena
bingung menentukan tempat untuk tinggal, Raden Sosroninggrat pun datang dari Madura
untuk mencari solusinya. Oleh Raja Badung kemudian diberikan keris sakti. Dimana keris itu
menancap di situlah tempat mereka. Ternyata keris itu menancap di daerah Kepaon, Pemogan.
Demikianlah asal-usul kampung Islam Kepaon. Hingga saat ini tidak hanya warga keturunan
Madura yang tinggal di sana, tapi juga dari berbagai wilayah di nusantara. Warga kampung
Kepaon umumnya berprofesi sebagai sopir angkutan wisata, dan kusir dokar, sablon, serta
pedagang (Ahmad Subawai, 2009).
2.3 Konflik Sosial Agama di Bali
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berday (www.melanbae.blogspot.com, tt)
6
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 7/17
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap
masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan
Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
(www.wikipedia.com, 2010).
Contoh konflik sosial agama yang ada di Bali yaitu (1) Pembangunan Masjid Darul
Huda di Jalan Letda Ngurah Putra, (2) Pembangunan TK Qhodijah di Pekambingan danSesetan, (3) Pembangunan Musalah Safia di Jalan Belimbing, dan (4) Pembangunan Musolah
di Banjar Kaliungu Kaja, Denpasar (Muslimah Soal, 2009).
2.4 Bali Sebagai Masyarakat yang Multikultural
2.4.1 Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang
menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status
sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering
digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam
suatu negara (www.wikipedia.com, 2010).
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah
menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19.
Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah
'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belumterwujud ( pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan
untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi
perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru (www.wikipedia.com, 2010).
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris ( English-
speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971.[1] Kebijakan ini kemudian
diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai
konsensus sosial di antara elit.[rujukan?] Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara
Eropa, terutama Belanda dan Denmark , mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan
7
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 8/17
monokulturalisme.[2] Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di
Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya (www.wikipedia.com, 2010).
2.4.2 Bali Sebagai Masyarakat yang Multikultural
Bali yang menjadi daerah tujuan wisata dunia, telah teruji dalam kurun waktu yang
cukup lama sebagai daerah yang banyak dikunjungi turis dari bermacam-macam latar
belakang etnis, ras, kepercayaan dan agama. Masyarakat Bali telah menetapkan pilihan pada
aspek keselarasan hidup dalam hubungannya manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam atau lingkungannya dalam konsep Tri Hita Karana (Dewa
Nyoman Wastika, 2005).
Pemilihan orientasi strategi penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat
di Bali dalam bidang parhyangan adalah kasih sayang, yang menganggap Tuhan dan segala
perwujudannya (dewa-dewi, batara-batari, termasuk butha kala) memberikan keleluasaankepada manusia untuk berbuat kebajikan. Orientasi hidup yang dipilih pada aspek pawongan
adalah kesetaraan yang mengedepankan orientasi collateral. Hubungan yang memunculkan
rasa saling menghargai antarkelompok, baik dalam struktur tradisional maupun
antarmasyarakat yang berlainan ras, etnis, agama dan kepercayaan. Orientasi keselarasan
dengan alam merupakan pilihan orientasi hidup dari aspek palemahan (Dewa Nyoman
Wastika, 2005).
Masyarakat Bali terdiri dari berbagai macam etnis, ras, suku dan agama. Sehubungandengan bagian dari ajaran Tri Hita Karana, yakni pawongan. Hubungan masyarakat Bali yang
mayoritas beragama Hindu dengan umat lainnya berjalan dengan harmonis hingga saat ini.
Hal ini mencerminkan betapa besarnya tingkat toleransi antar umat di Bali. Multikulturalisme
di Bali tidak dijadikan sumber dari perpecahan, namun dijadikan acuan untuk hidup
berdampingam dengan damai dan melestarikan kebudayaan Bali yang unik percampuran dari
berbagai budaya dan agama (Dewa Nyoman Wastika, 2005).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
8
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 9/17
Penelitian dilakukan pada tanggal 3- 20 Oktober 2009, di Kelurahan Serangan dan
Kampung Kepaon-Kelurahan Pemogan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kotamadya
Denpasar, Bali.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara. Observasi langsung di
kampong Bugis, Kelurahan Serangan dan Kampung Kepaon, Kelurahan Pemogan. Adapun
wawancara dilakukan dengan mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat yang terkait di kedua
kelurahan tersebut. Tokoh-tokoh masyarakat yang diwawancara sebagai informan tercantum
dalam table 3.4. berikut:
Tabel 3.2 Daftar Informan
No. NAMA PEKERJAAN/JABATAN
1 Mohammad Mansyur Ketua adat Kampung Bugis
2 Mohammad Mohadi Kepala lingkungan Kampung Bugis, Kelurahan
Serangan
3 I Wayan Karma,SIP Kasi Pemerintahan dan Tramtib, Kelurahan
Serangan
4 Ahmad Subawai Kepala Dusun Kampung Islam Kepaon
5 Nyoman Mariana Ketua Lembaga Masyarakat Pemogan,
Denpasar Selatan
6 Dewa Bagus Ketua Badan Permusyawaratan Desa Pemogan
7 Muslimah Soal Salah satu Tokoh Islam
3.3 Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Tahapan penelitian ini meliputi:
3.3.1 Menentukan ide/topik penelitian.
3.3.2 Mengumpulkan data sekunder sebagai bahan dasar untuk menyusun kerangka
penelitian.
3.3.3 Menentukan kerangka penelitian dan menentukan metode penelitian.
3.3.4 Melakukan observasi dan wawancara di kampung Bugis-Kelurahan Serangan
dan Kampung Islam Keapon di Kelurahan Pemogan.
3.3.5 Mengumpulkan data-data tambahan dari berbagai referensi.
3.3.6 Menganalisa data dan fakta hasil observasi dan wawancara.
3.3.7 Menarik kesimpulan dan penulisan hasil penelitian.
9
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 10/17
3.4 Analisis Data
Setelah data terkumpul, dilakukan pengolahan data secara sistematis dan logis
menggunakan teknik analisis deskriptif argumentatif, dengan tulisan bersifat deskriptif,
menggambarkan tentang sejarah keberadaan Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon,
serta mengenai model penyelesaian konflik antar agama di kedua kampung tersebut.
3.5 Penarikan Kesimpulan
Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun dan
menghubungkan rumusan masalah, tujuan penulisan serta pembahasan yang dilakukan.
Berikutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal
sebagai upaya transfer gagasan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sejarah Keberadaan Umat Islam di Kampung Bugis dan Kampung
Islam Kepaon
4.1.1 Sejarah Kebaradaan Umat Islam di Kampung Bugis
10
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 11/17
Masuknya Islam ke wilayah-wilayah yang ada di Bali memiliki latar belakang yang
berbeda. Membutuhkan waktu yang lama untuk membentuk suatu perkumpulan atau
komunitas Islam di suatu daerah yang baru. Termasuk di wilayah Serangan yang pada
akhirnya komunitas Islamnya lebih dikenal dengan Kampung Bugis.
Menurut Mohammad Mansyur selaku ketua adat Kampung Bugis (2009), sejarah
Kampung Bugis dimulai dari sekelompok pelaut atau nelayan Bugis terombang ambing di
lautan pada abad ke XVII. Di tengah keputusasaan, kemudian para nelayan melihat sebuah
pulau kecil (Pulau Serangan) dan memutuskan untuk berlabuh di pulau tersebut. Akhirnya
nelayan Bugis yang berjumlah 40 orang itu memutuskan untuk tinggal sementara di Serangan.
Pada saat itu, Pulau Serangan dikuasai oleh Raja Badung yaitu Cokorda Pemecutan III.
Mendengar kedatangan nelayan yang tidak dikenal, Cokorda Pamecutan III menyuruh utusan
untuk menjemput nelayan tersebut. Karena pada masa itu terdapat peraturan yang menyatakan bahwa siapapun yang menginjakkan kaki di Serangan harus melapor kepada Raja, maka para
nelayan Bugis yang dipimpin Syekh Haji Mumin itupun menghadap Raja Badung.
Kedatangan Syekh Haji Mumin dan puluhan perantau Bugis ini diterima secara baik oleh
Raja Badung.
Lebih lanjut Mohammad Mohadi selaku Kepala lingkungan Kampung Bugis,
Kelurahan Serangan (2009) menceritakan bahwa ketika itu Kerajaan Badung tengah
berperang dengan Kerajaan Mengwi. Karena kewalahan menghadapi pasukan Kerajaan
Mengwi, Raja Badung memutuskan untuk meminta bantuan dari para nelayan Bugis.
Mendengar kabar bahwa orang Bugis merupakan tipikal orang kuat, Raja Badung tak ragu
lagi meminta bantuan. Di lain pihak, para nelayan Bugis juga memiliki kepercayaan bahwa
jika mereka telah menginjakkan kaki di suatu tempat apalagi telah tinggal di tempat tersebut,
mereka harus turut membantu tempat tersebut apabila ada masalah. Akhirnya 40 nelayan
Bugis turut berperang hanya dengan bersenjatakan bedik (pisau kecil).
Kemenangan akhirnya diraih Kerajaan Badung atas bantuan nelayan Bugis. Atas jasa
para nelayan Bugis, Raja Badung menyediakan tempat bagi nelayan Bugis tinggal. Raja
Badung yang mengetahui bahwa para nelayan Bugis memiliki keahlian di bidang pelayaran
dan niaga akhirnya memberikan Syekh Haji Mumin beserta pengikutnya lahan di bagian
selatan Pulau Serangan. Hubungan antara para nelayan Bugis di Pulau Serangan dan Kerajaan
Badung pun terjalin erat, bahkan para nelayan Bugis ini dipercaya Raja Badung untuk
menjadi penghubung perdagangan. Nelayan Bugis juga mengajari penduduk Pulau Serangan
cara-cara berlayar.
4.1.2 Sejarah Kebaradaan Umat Islam di Kampung Islam Kepaon
11
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 12/17
Menuurut Ahmad Subawai, Kepala Dusun Kampung Islam Kepaon (2009) sejarah
Kampung Islam Kepaon sangat erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Pemecutan. Saat
Kerajaan Pemecutan akan diserang oleh Kerajaan Mengwi, mereka meminta pertolongan pada
Kerajaan Bangkalan, Madura. Pada saat itu Kerajaan Bangkalan mengirimkan satu Rhodat
(peleton) untuk membantu Kerajaan Pemecutan. Pada akhirnya, Kerajaan Badung berhasil
menaklukkan Kejaraan Mengwi. Hubungan antara Kerajaan Badung dan Bangkalan pun
semakin dekat. Pangeran Bangkalan, Raden Sastroningrat menikah dengan putri Raja
Pemecutan III bernama Anak Agung Ayu Rai. Perkawinan ini merupakan pembuktian adanya
harmonisasi antar umat Hindu dan Muslim. Di tengah perbedaan suku, agama, dan budaya
terjadi sebuah pernikahan antara dua pemeluk agama yang berbeda. Raden Sastroningrat
kemudian mengajak istrinya ke Madura. Anak Agung Ayu Rai resmi memeluk Islam dan
berganti nama menjadi Siti Hadijah.Lebih lanjut Ahmad Subawai menerangkan, karena sudah lama meninggalkan Bali,
Siti Hadijah merasa rindu dengan kampung halaman. Siti Hadijah diiringi pengawalnya pun
pergi mengunjungi orang tuanya di Bali. Selama tinggal di Bali, Siti Hadijah tetap
menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Suatu ketika, seseorang secara tidak sengaja
melihat Siti Hadijah sedang sholat Magrib. Gara-gara memakai baju serba putih, Siti Hadijah
sempat dikira akan ngeleak. Kemudian Siti Hadijah dipanggil pihak puri untuk dimintai
kejelasan, namun pihak puri tidak mempercayai penjelasan Siti Hadijah dan memberikan
hukuman mati kepadanya.
Sebelum dihukum, Siti Hadijah mengatakan apabila darah yang mengucur dari
tubuhnya menimbulkan bau harum, berati dia adalah orang suci yang hanya melaksanakan
ibadahnya, namun apabila tercium bau amis, berarti apa yang dituduhkan kepadanya
merupakan hal yang benar. Berbagai senjata tidak mampu menembus tubuh Siti Hadijah,
kemudian dia memberikan tusuk konde miliknya untuk ditancapkan ke lehernya. Setelah
kematian Siti Hadija tercium bau yang sangat harum dari darahnya yang semakin lama
semakin harum. Semenjak kejadian itu, seluruh penduduk Badung mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Sampai saat ini, makam Siti Hadijah dipelihara dengan baik, bukan hanya
dijaga oleh umat Muslim, umat Hindu juga turut menjaga kuburan tersebut. Sebagai tanda
maaf atas apa yang terjadi dengan Siti Hadijah, Raja Pemecutan memberikan sebuah wilayah
untuk ditinggali para pengawal Kerajaan Bangkalan. Tempat ini kemudian diberi nama
Kepaon yang sekarang lebih dikenal dengan Kampung Islam Kepaon.
12
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 13/17
4.2 Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kampung
Islam Kepaon
Dalam sejarah terbentuknya sebuah peristiwa, terdapat nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Nilai-nilai ini kemudian akan menjadi gambaran mengenai apa yang harus diterima
dan dilaksanakan oleh masyarakat. Nilai erat kaitannya dengan kebudayaan dan masyarakat.
Adapun nilai-nilai sejarah keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon,
yaitu:
4.2.1 Nilai Religius
Nilai regius yang merupakan nilai ketuhanan yang tinggi dan mutlak yang bersumber
dari keyakinan dan kepercayaan manusia. Hal ini dapat kita lihat pada sejarah Kampung Islam
Kepaon. Seperti yang diceritakan Ahmad Subawai (2009), sejarah terbentuknya Kampung
Islam Kepaon berawal dari Anak Agung Ayu Rai yang pindah ke agama Islam dan berubah
namanya menjadi Siti Hadijah memiliki iman yang sangat kuat. Siti Hadijah dapat
membuktikan bahwa agamanya, yaitu Islam adalah agama baik-baik. Tidak mengajarkan ilmu
pengleakan atau ilmu hitam lainnya, seperti hal yang dituduhkan kepadanya. Walaupun hal
tersebut harus dibuktikan, sampai merengut nyawanya. Sampai saat ini makam Siti Hadijah
dipelihara dengan baik. Bukan hanya dijaga oleh umat Muslim, umat Hindu juga turut
menjaga kuburan tersebut.
4.2.2 Nilai Kepahlawanan (Patriotisme)
Patriotisme merupakan semangat mencintai tanah air. Seperti yang dijelaskan
Mohammad Mohadi (2009), orang-orang Bugis memiliki semboyang yang mengatakan,
dimana kaki perpijak di sana langit di junjung. Nilai kepahlawanan (patriotisme) dalam
sejarah keberadaan Kampung Bugis dapat dilihat pada saat para nelayan Bugis yang
membantu Kerajaan Pemecutan melawan Kerajaan Mengwi. Dimana mereka memiliki
kepercayaan yaitu, jika mereka telah menginjakkan kaki di suatu tempat apalagi telah tinggal
di tempat tersebut, mereka harus turut membantu tempat tersebut apabila ada masalah.
4.2.3 Nilai Keterbukaan
Nilai keterbukaan kita dapatkan pada sejarah keberadaan Kampung Bugis dan
Kepaon. Dimana hal ini terjadi pada saat kedatangan Syekh Haji Mumin dan puluhan
perantau Bugis ini yang diterima dengan baik dan terbuka oleh Raja Badung (Mohammad
Mansyur, 2009). Bahkan sampai sekarang, sikap saling terbuka masih digunakan penduduk
Kampung Bugis dan Kepaon dalam menyelasaikan masalah yang terjadi.
13
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 14/17
Menurut I Wayan Karma,SIP (2009) Ketika terjadinya Bom Bali, timbul rasa curiga
penduduk sekitar terhadap warga Kampung Bugis dan Kepaon. Namun hal ini dapat segera
terselesaikan dengan adanya sikap keterbukaan antara kedua belah pihak.
4.2.4 Nilai Sosial
Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon memiliki kedekatan dengan pihak
Kerajaan Pemecutan. Kedekatan ini merupakan salah satu simbol keharmonisan antara agama
Hindu dan Islam. Selain itu keharmonisan pada sejarah keberadaan kampung Islam Kepaon
dapat dirasakan pada perkawinan Raden Sastroningrat dengan Anak Agung Ayu Rai (Ahmad
Subawai, 2009). Ini merupakan pembuktian adanya harmonisasi antar umat Hindu dan
Muslim. Di tengah perbedaan suku, agama, dan budaya terjadi sebuah pernikahan antara dua
pemeluk agama yang berbeda.
Keakraban serta harmonisasai antara pemeluk Islam dan Hindu di kedua wilayah inimasih berlangsung sampai sekarang. Menurut cerita Mohammad Mansyur (2009), apabila
puri Pemecutan mengadakan acara, Cokorda (sebutan hormat bagi pemimpin puri) selalu
mengundang penduduk Kampung Bugis melalui tetua adatnya, begitu pun sebaliknya,
Cokorda selalu datang apabila Kampung Bugis mengadakan acara. Sikap saling menghormati
dan saling memiliki inilah yang terus dihidupkan antara warga Kampung Bugis yang
seluruhnya Muslim dan masyarakat Hindu yang berdiam di enam banjar di Desa Serangan.
Hal serupa juga terjadi antara Kampung Islam Kepaon dengan Kerajaan Pemecutan. Bahkandi Kampung Islam Kepaon menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari dan masih
mengadakan upacara tiga bulanan bagi bayi baru lahir yang biasa dilakukan umat Hindu.
Namun, upacara yang dilakukan diadaptasikan dengan ajaran Islam.
4.3 Penerapan Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis
dan Kampung Islam Kepaon dalam Menyelesaikan Konflik Agama di
Bali
Masyarakat di Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon selalu mengatasi dan
mengantisipasi konflik dengan cara keterbukaan dan kekeluargaan. Sikap toleransi dan
keterbukaan ini disebabkan oleh adanya nilai-nilai sejarah yang selalu mereka jadikan
pedoman dan diimplementasikan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Menurut Dhidhik
Setiabudi (2009) nilai adalah suatu tujuan akhir yang di inginkan, mempengaruhi tingkah
laku, yang digunakan sebagai prinsip atau panduan dalam hidup seseorang atau masyarakat.
14
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 15/17
Dapat dikatakan bahwa nilai-nilai pada hakikatnya merupakan sejumlah prinsip yang
dianggap berharga dan bernilai sehingga layak diperjuangkan dengan penuh pengorbanan.
Dengan pedoman dan prinsip yang kuat, tidak peduli sebesar apapun konflik yang mungkin
timbul diantara masyarakatnya dapat diselesaikan secara damai. Hal inilah yang patut menjadi
panutan bagi seluruh masyarakat dalam menjalani kehidupan yang multikultural di pulau Bali
ini. Adapun nilai-nilai sejarah keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kepaon yang patut
diimplementasikan dalam menyelesaikan konflik Agama di Bali, yaitu:
4.3.1 Implementasi Nilai Religius
Nilai ini kita implementasikan dengan mempelajari agama dengan sungguh-sungguh,
sehingga kita memiliki pengetahuan mengenai agama yang kita anut. Dengan demikian, akan
mencegah terjadinya fanatisme-fanatisme sempit terhadap agama lain. Fanatisme sempit
dalam artian seseorang yang selalu menganggap agamanya paling baik, dan berprasangka buruk terhadap agama lain. Hal seperti inilah yang akhirnya akan menimbulkan konflik-
konflik antar umat beragama. Ini seharusnya bisa diselesaikan dengan baik-baik, jika kita
sadar bahwa perbedaan agama bukan menjadi masalah, karena fungsi agama adalah sama
percaya dengan adanya Tuhan. Kita juga seharusnya yakin dan percaya bahwa agama apapun,
yang meyakini adanya Tuhan tidak akan mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan
terhadap orang lain.
4.3.2 Implementasi Nilai Pahlawan (Patriotisme)Sebagai warga negara yang baik, kita harus memiliki nilai patriotisme yang yang
tinggi. Nilai ini kita implementasikan dengan tidak mudah dihasut atau diprovokasi menuju
arah perpecahan. Kalau setiap masing-masing pribadi bisa mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari dan menyadari kita semua adalah saudara sebangsa dan setanah air. Serta
dengan menghilangkan sisi-sisi perbedaan dan mengedepankan toleransi tentu segala macam
konflik bisa diselesaikan dengan baik secara kekeluargaan. Pertikaian atau peperangan pun
dapat dihindarai. Walaupun kita hidup masyarakat yang multikultural seperti sekarang.
4.3.3 Implementasi Nilai Keterbukaan
Dalam kehidupan bermasyarakat, dibutuhkan rasa saling keterbukaan antar penduduk.
Sikap toleransi dan keterbukaan dalam masyarakat akan membangun rasa saling percaya dan
mengerti satu sama lain meskipun lingkungan tersebut terdiri dari agama yang berbeda.
Dengan munculnya rasa saling percaya antar penduduk, kemungkinan akan timbulnya konflik
antar agamapun akan semakin kecil. Meskipun terjadi suatu masalah dalam lingkungan
tersebut, sikap saling keterbukaan antar penduduk yang bertikai akan segera menyelesaikan
permasalahan tersebut
15
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 16/17
4.3.4 Implementasi Nilai Sosial
Nilai sosial merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan
tingkah laku yang sesuai dalam kehidupan sehari-hari. Nilai sosial juga merupakan segala
sesuatu yang dihargai masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi
perkembangan kehidupan manusia nilai sosial berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol)
perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai
dengan nilai yang dianutnya,.
Dalam keseharian penduduk Kampung Bugis dan Kepaon masih menjalin hubungan
dengan Kerajaan Pemecutan, bahkan keduanya masih saling mengunjungi. Ini menunjukkan
nilai sosial yaitu, nilai harmonisasi yang berlangsung sejak dulu masih terjalin dengan baik
sampai sekarang. Dengan sikap seperti ini, selalu menjunjung dan mengimplementasikan
nilai-nilai sosial yang diwariskan leluhurnya terdahulu tentu hal ini akan meminimalisir konflik antar kedua belah pihak yang berbeda agama. Konflik antar agama pun akan lebih
mudah terselesaikan jika setiap orang selalu berpedoman nilai sosial dan tetap menjaga nilai
keharmonisan yang telah diwariskan nenek moyang kita terdahulu. Di tengah banyak
perbedaan, mereka tetap bisa menjaga keharmonisan. Apalagi sekarang di jaman pendidikan
(khususnya pendidikan agama) yang sudah maju ini kita seharusnya lebih meningkatkan
keharmonisan antar umat beragama bukan malah sebaliknya. Untuk itulah kita perlu banyak
belajar dan instropeksi diri dari nilai-nilai sejarah terdahulu.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
5.1.1 Sejarah keberadaan umat Islam di Kampung Bugis berawal sejak Nelayan Bugis
yang diberikan lahan di Serangan oleh Raja Badung. Ini merupakan balas budi atas
Jasa para nelayan Bugis yang telah ikut berperang mengalahkan kerajaan Mengwi.
Sejarah keberadaan Kampung Islam Kepaon juga berawal pemberiaan tanah Raja
16
5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 17/17
Badung kepada pengawal Siti Hadijah. Namun dalam hal ini tanah tersebut merupakan
permintaan maaf atas kesalapahaman yang terjadi terhadap Siti Hadijah.
5.1.2 Adapun nilai- nilai sejarah keberadaan Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon
yaitu: nilai religius, nilai kepahlawanan (patriotisme), nilai keterbukaan dan nilai
sosial
5.1.3 Penerapan nilai-nilai sejarah keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kampung
Kepaon dalam menyelesaikan konflik agama di Bali yaitu dengan menyelesaikan
konflik yang terjadi dengan cara damai, kekeluargaan yang dan tetap berpedoman
pada nilai-nilai sejarah tersebut. Dengan demikian keharmonisan antarumat beragama
pun akan tercipta
5.2 SaranDiharapkan kepada masyarakat agar menghargai nilai-nilai sejarah dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat menghindari dan
menyelesaikan konflik agama yang terjadi. Seperti yang terjadi di Kampung Bugis dan
Kampung Islam Kepaon, yang bisa menyelesaikan segala konflik dan permasalahan yang
terjadi dengan selalu berpedoman pada nilai-nilai sejarah mereka. Sehingga harmonisasi antar
umat beragama pun dapat tercipta.
17