bab 1-5

17
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Belakang Pulau Bali merupakan salah satu daerah wisata yang banyak dikunjungi wisatawan asing maupun domestik. Hal ini tidak terlepas dari situasi pulau Bali yang aman dan kondusif serta penduduknya yang ramah. Penduduk Bali terbagi dalam berbagai ras serta golongan suku dengan agama yang berbeda. Berdasarkan data yang berasal dari Dinas Kependudukan Bali, persentase pemeluk agama Hindu 67,94%, Islam 23,03%, Kristen 2,24 %, Protestan 4,87 dan Buddha 1,91 %. Walaupun mayoritas beragama Hindu, hal ini tidak menghalangi masyarakatnya untuk saling berbaur secara harmonis. Terlebih lagi dengan umat Islam yang merupakan agama mayoritas kedua di Bali. Ini bisa dilihat dengan akulturasi yang berjalan dengan harmonis di beberapa titik penyebaran agama, terutama agama Islam. Di tengah masyarakat Bali yang multikultural, ternyata masih terdapat masyarakat yang belum sepenuhnya bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Seperti yang kita ketahui, Bali merupakan daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai suku, bangsa dan agama yang membawa adat dan budayanya masing-masing. Hal ini dapat menimbulkan pergeseran nilai-nilai sosial agama pada masyarakat Bali. Pergeseran ini terbukti dengan adanya konflik-konflik sosial yang pada akhirnya mengatasnamakan agama. Berawal dari sebuah permasalahan kecil yang jika dibiarkan  berlarut-larut akan menimbulkan konflik yang besar (www.rezaantonius.wordpress.com, 2009) Ditambah lagi dengan kejadian Bom Bali yang yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan mengatasnamakan agama. Peristiwa ini seakan memprovokasi masyarakat pada agama tertentu sebagai penyebab terjadinya tragedi tersebut. Ini merupakan salah satu penyebab timbulnya rasa saling curiga, yang tentu saja memicu terjadinya konflik antar agama di tengah masyarakat Bali yang multikultural. Hal ini juga menyebabkan terganggunya harmonisasi antar umat beragama. Padahal ajaran agama di seluruh dunia tidak pernah mengajarkan umatnya untuk saling melecehkan satu sama lain terutama antar umat beragama (www.rezaantonius.wordpress.com, 2009). Seperti contoh konflik yang terjadi pada TK Khodijah salah satu TK Islam di Denpasar. Pada awalnya, pembangunan TK Khodijah berlangsung di daerah Pekambingan, namun ketika 99%  bangunan telah berdiri terjadi konflik antara penduduk sekitar dengan pihak yang membangun. Kemudian daerah pembangunan di pindah ke Sesetan, ketika pendaftaran murid 1

Upload: biologi13071993

Post on 07-Jul-2015

254 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 1/17

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Belakang

Pulau Bali merupakan salah satu daerah wisata yang banyak dikunjungi wisatawan

asing maupun domestik. Hal ini tidak terlepas dari situasi pulau Bali yang aman dan kondusif 

serta penduduknya yang ramah. Penduduk Bali terbagi dalam berbagai ras serta golongan

suku dengan agama yang berbeda. Berdasarkan data yang berasal dari Dinas Kependudukan

Bali, persentase pemeluk agama Hindu 67,94%, Islam 23,03%, Kristen 2,24 %, Protestan

4,87 dan Buddha 1,91 %. Walaupun mayoritas beragama Hindu, hal ini tidak menghalangi

masyarakatnya untuk saling berbaur secara harmonis. Terlebih lagi dengan umat Islam yang

merupakan agama mayoritas kedua di Bali. Ini bisa dilihat dengan akulturasi yang berjalan

dengan harmonis di beberapa titik penyebaran agama, terutama agama Islam.

Di tengah masyarakat Bali yang multikultural, ternyata masih terdapat masyarakat

yang belum sepenuhnya bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Seperti

yang kita ketahui, Bali merupakan daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh orang-orang

dari berbagai suku, bangsa dan agama yang membawa adat dan budayanya masing-masing.

Hal ini dapat menimbulkan pergeseran nilai-nilai sosial agama pada masyarakat Bali.

Pergeseran ini terbukti dengan adanya konflik-konflik sosial yang pada akhirnya

mengatasnamakan agama. Berawal dari sebuah permasalahan kecil yang jika dibiarkan

  berlarut-larut akan menimbulkan konflik yang besar (www.rezaantonius.wordpress.com,

2009)

Ditambah lagi dengan kejadian Bom Bali yang yang dilakukan oleh oknum-oknum

yang tidak bertanggung jawab dan mengatasnamakan agama. Peristiwa ini seakan

memprovokasi masyarakat pada agama tertentu sebagai penyebab terjadinya tragedi tersebut.

Ini merupakan salah satu penyebab timbulnya rasa saling curiga, yang tentu saja memicuterjadinya konflik antar agama di tengah masyarakat Bali yang multikultural. Hal ini juga

menyebabkan terganggunya harmonisasi antar umat beragama. Padahal ajaran agama di

seluruh dunia tidak pernah mengajarkan umatnya untuk saling melecehkan satu sama lain

terutama antar umat beragama (www.rezaantonius.wordpress.com, 2009).

Seperti contoh konflik yang terjadi pada TK Khodijah salah satu TK Islam di Denpasar. Pada

awalnya, pembangunan TK Khodijah berlangsung di daerah Pekambingan, namun ketika 99%

  bangunan telah berdiri terjadi konflik antara penduduk sekitar dengan pihak yang

membangun. Kemudian daerah pembangunan di pindah ke Sesetan, ketika pendaftaran murid

1

Page 2: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 2/17

 

dimulai, penduduk lingkungan daerah tersebut memberhentikan proses pendaftaran. Sampai

sekarang tidak ditemukan penyelesaian. Hingga akhirnya bangunan TK Qhodijah tidak 

digunakan lagi sampai sekarang. Sebenarnya hal ini terjadi akibat adanya kesalahpahaman

antara kedua belah pihak. Penduduk Hindu di sana berasumsi pembangunan TK tersebut pasti

akan berujung disertai dengan pembangunan mesjid. Mereka khawatir kenyamanan

lingkungan di sana akan terganggu jika dibangun TK apalagi disertai dengan pembangunan

masjid. Di sisi lain pihak yang akan membangun TK Qhadijah kurang memberikan

konfirmasi terhadap penduduk setempat (Muslimah Soal, 2009).

Hal yang berbeda terjadi di Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon. Di tengah

maraknya berbagai macam konflik yang mengatasnamakan agama, mereka selalu mengatasi

dan mengantisipasinya dengan cara keterbukaan dan kekeluargaan. Seperti yang

dikemukakan I Wayan Karma, SIP (2009) selaku Kasi Pemerintahan dan Tramtib, KelurahanSerangan menjelaskan ketika maraknya aksi terorisme, masyarakat Hindu di sekitar 

lingkungan Kampung Bugis dan Kepaon sempat merasa curiga terhadap penduduk di

kampung Islam tersebut. Namun hal itu dapat terselesaikan karena adanya sikap toleransi dan

keterbukaan. Sikap toleransi dan keterbukaan ini disebabkan oleh adanya nilai-nilai sejarah

yang selalu mereka jadikan pedoman dan diaplikasikan dalam menjalani kehidupan sehari-

hari. Dengan pedoman yang kuat, tidak peduli sebesar apapun konflik yang mungkin timbul

diantara masyarakatnya dapat diselesaikan secara damai.

Oleh karena itu masyarakat berbeda agama (Islam dan Hindu) di Kampung Bugis dan

Kampung Islam Kepaon dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa rasa curiga. Warga

kedua belah pihak salig menghargai dan menghormati budaya dan agama masing-masing

(Ahmad Subawai, 2009). Hal inilah yang patut menjadi panutan bagi seluruh masyarakat

dalam menjalani kehidupan yang multikultural di pulau Bali ini

Terkait kenyataan tersebut kami tertarik untuk meneliti tentang sejarah keberadaan Islam di

Kampung Bugis-Serangan dan Kampung Islam-Kepaon dan hubungan dengan masyarakat

Hindu di sekitarnya sebagai penerapan nilai-nilai sejarah dalam menyelesaikan konflik-

konflik agama di Bali.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun masalah-masalah yang telah dirumuskan

 penulis adalah:

1.2.1 Bagaimana sejarah keberadaan umat Islam di Kampung Bugis-Serangan dan

Kampung Islam-Kepaon?

2

Page 3: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 3/17

 

1.2.2 Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kampung Islam

Kepaon

1.2.3 Penerapan Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis dan

Kampung Islam Kepaon dalam Menyelesaikan Konflik Agama di Bali

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Untuk mengetahui sejarah keberadaan umat Islam di Kampung Bugis-

Serangan dan Kampung Islam-Kepaon

1.3.2  Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kampung Islam

Kepaon

1.3.3 Penerapan Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis dan

Kampung Islam Kepaon dalam Menyelesaikan Konflik Agama di Bali

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1.4.1 Membantu pemerintah dalam mencari solusi dalam mengurangi konflik antar 

umat beragama.

1.4.2 Memberikan informasi kepada masyarakat agar tidak melakukan tindakan

yang dapat memicu terjadinya konflik antar umat beragama.

1.5 Ruang Lingkup

Penelitian ini mencakup konflik-konflik sosial agama dan model penyelesaiannya.

3

Page 4: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 4/17

 

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Sejarah Masuknya Islam ke Bali

Islam pertama masuk ke wilayah Bali pada masa Kerajaan Gelgel (Klungkung)

sebagai sebuah Kerajaan terbesar di Bali yang wilayahnya mencakup Blambangan (Jawa

Timur), Lombok serta Sumbawa dengan seorang Raja yang bernama Sri Dalem

Waturenggong berkisar abad ke-XVI. Masuknya Islam pada saat itu bukan merupakan satu-

kesatuan yang utuh, namun mempunyai sejarah dan latar belakang tersendiri dari masing-

masing komunitas Islam yang ada di Pulau Dewata. Penyebaran agama Islam ke Bali berasal

dari sejumlah daerah di Nusantara antara lain Jawa, Madura, Lombok dan Bugis (

www.oncep.blogspot.com, 2008).

Pada masa pemerintahan Sri Dalem Waturenggong tahun 1460-tahun 1550 masehi.

Datanglah Raden Fatah dari Demak dalam misinya untuk mengislamkan seluruh Nusantara.

Menggunakan politik pendekatan, ia berusaha untuk membujuk Raja agar memeluk agama

Islam. Namun, Raja menolak karena setia dengan agama Hindu. Karena gagal mengislamkan

Raja, maka rombongan kembali ke Demak dan beberapa orang pengiringnya tinggal di Gelgel

dan orang-orang yang tinggal inilah yang kemudian menurunkan orang-orang Islam di Gelgel

(www.oncep.blogspot.com, 2008).

Raja Dalem Waturenggong yang berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, saat

  berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, kembalinya diantar oleh 40 orang

 pengawal yang beragama Islam. Ke-40 orang pengawal tersebut akhirnya diijinkan menetap

di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara

Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit. Para pengawal yang beragama Islam itu hanya

 bertindak sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel, menempati satu pemukiman dan membangun

sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang menjadi tempat ibadah umat Islamtertua di Bali (www.oncep.blogspot.com, 2008).

Demikian pula komunitas muslim yang kemudian tersebar di Banjar Saren Jawa,

Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon, Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman

(Buleleng) dan Loloan (Jembrana), membutuhkan waktu cukup panjang untuk menjadi satu

kesatuan (Anonim.2008). Dalam pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang juga

mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur Bali atau menyerupai corak ( style) wantilan

(joglo). Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid, menjadikan

tempat suci umat Islam di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah

4

Page 5: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 5/17

 

lainnya di Indonesia. Akulturasi unsur Islam-Hindu yang terjadi ratusan tahun silam

memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik (www.kapanlagi.com, 2008)

2.2 Sejarah Keberadaan Kampung Bugis dan Kepaon

2.2.1 Sejarah Keberadaan Kampung Bugis

Kampung Bugis terletak di sebelah selatan pulau Bali tepatnya di Pulau Serangan.

Pulau Serangan dipisahkan selat kecil selebar satu kilometer dengan Denpasar yang terletak di

Bali daratan. Pulau ini semula memiliki luas sekitar 112 hektar, tetapi sejak dibangun jalan

dan jembatan hampir 10 tahun silam, pulau kecil di selatan Kota Denpasar ini menyatu

dengan daratan Bali. Secara administratif, Serangan termasuk wilayah Kecamatan Denpasar 

Selatan. Desa ini mempunyai enam banjar adat yang mayoritas beragama Hindu, dan satu

lingkungan perkampungan Muslim, Kampung Bugis (www.munawirsr.multiply.com, 2007).

Asal-usul kampung Bugis dimulai ketika serombongan orang Bugis yang dipimpin

oleh Syekh Haji Mukmin meninggalkan Gowa karena penjajahan Belanda. Menggunakan

 perahu pinisi, orang-orang Bugis berlayar menyeberang lautan, hingga akhirnya berlabuh di

Pulau Serangan. Saat itu, di Pulau Bali sedang terjadi pertempuran antara Raja Badung

dengan Raja Mengwi. Mendengar kabar tentang kedatangan orang Bugis di wilayahnya, Raja

Badung kemudian meminta pertolongan orang Bugis untuk berperang. Mereka pun

menyanggupinnya. Berkat tambahan bantuan dari orang Bugis. Raja Badung berhasil

mengalahkan Raja Mengwi (Mohammad Mohadi, 2009)

Sebagai balasannya, Raja kemudian memberikan sebuah wilayah bagi orang-orang

Bugis tersebut di luar pulau Serangan. Namun, karena pada dasarnya mereka merupakan suku

yang dekat dengan laut. Mereka memohon untuk pindah kembali ke Pulau Serangan.

Permohonan merekapun dikabulkan. Sejak saat itu hingga sekarang orang-orang Bugis turun-

temurun menempati wilayah Pulau Serangan. Umumnya masyarakat di kampung Bugis

 berprofesi sebagai nelayan. Mereka mencari ikan kemudian menjualnya. Keahlian ini punkemudian dibagikan kepada para penduduk asli yang ada di Pulau Serangan. Warga

 pendatang maupun warga asli di Pulau Serangan hidup saling bahu membahu hingga saat ini

(Mohammad Mansyur, 2009).

2.2.2 Sejarah Keberadaan Kampung Islam Kepaon

5

Page 6: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 6/17

 

Selain kampung Bugis, terdapat satu lagi Kampung Islam yang terkenal di wilayah

Denpasar, yaitu Kampung Islam Kepaon. Kampung Islam Kepaon terletak di daerah

Pemogan, Denpasar Selatan. Sejarah Kampung Islam Kepaon, bermula dari hubungan yang

erat antara Kerajaan Badung dengan Kerajaan Bangkalan, Madura. Saat itu, Kerajaan Badung

tengah menghadapi perang dengan Kerajaan Mengwi. Untuk menambah kekuatan

  pasukannya, Raja Badung memohon bantuan kepada Raja Madura. Beliau pun

menyanggupinya dan mengirimkan satu Rhodat (satu peleton) pasukan untuk membantu Raja

Badung (Ahmad Subawai, 2009).

Dengan tambahan pasukan dari Madura, Kerajaan Badung berhasil memenangkan

 pertempuran dan wilayah kerajaan Mengwi pun menjadi bagian dari kerajaan Badung. Tak 

 berapa lama, datanglah seorang bangsawan dari Madura yang bernama Raden Sosroninggrat.

Oleh Raja Badung, beliau kemudian dinikahkan dengan putrinya yang bernama A.A. AyuMas Manik Dewi. Setelah menikah, A.A Ayu Manik Mas Dewi diboyong ke Madura

 berpindah memeluk agama Islam dan bernama Siti Hadijah (Ahmad Subawai, 2009).

Suatu saat, Siti Hadijah yang berkunjung ke Bali sedang menunaikan sholat maghrib,

dan dikira oleh masyarakat sekitar sedang mempraktekkan ilmu sesat. Siti Hadijah membela

diri dengan menjelaskan jika dirinya sedang menunaikan ibadahnya, namun karena rakyat

tidak ada yang mempercayainya, Siti Hadijah pun akhirnya dihukum mati. Setelah

kematiannya muncul wabah penyakit yang menyerang rakyat Badung. Oleh Raja, para

 pengikut Siti Hadijah dari Madura kemudian diijinkan untuk menetap di Bali, namun karena

 bingung menentukan tempat untuk tinggal, Raden Sosroninggrat pun datang dari Madura

untuk mencari solusinya. Oleh Raja Badung kemudian diberikan keris sakti. Dimana keris itu

menancap di situlah tempat mereka. Ternyata keris itu menancap di daerah Kepaon, Pemogan.

Demikianlah asal-usul kampung Islam Kepaon. Hingga saat ini tidak hanya warga keturunan

Madura yang tinggal di sana, tapi juga dari berbagai wilayah di nusantara. Warga kampung

Kepaon umumnya berprofesi sebagai sopir angkutan wisata, dan kusir dokar, sablon, serta

 pedagang (Ahmad Subawai, 2009).

2.3 Konflik Sosial Agama di Bali

Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara

sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga

kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan

menghancurkannya atau membuatnya tidak berday (www.melanbae.blogspot.com, tt)

6

Page 7: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 7/17

 

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu

interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,

 pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri

individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap

masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar 

anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan

dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan

Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan

menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

(www.wikipedia.com, 2010).

Contoh konflik sosial agama yang ada di Bali yaitu (1) Pembangunan Masjid Darul

Huda di Jalan Letda Ngurah Putra, (2) Pembangunan TK Qhodijah di Pekambingan danSesetan, (3) Pembangunan Musalah Safia di Jalan Belimbing, dan (4) Pembangunan Musolah

di Banjar Kaliungu Kaja, Denpasar (Muslimah Soal, 2009).

2.4 Bali Sebagai Masyarakat yang Multikultural

2.4.1 Pengertian Multikulturalisme

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang

menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok  kebudayaan dengan hak dan status

sosial   politik  yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering

digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam

suatu negara (www.wikipedia.com, 2010).

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah

menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19.

Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif  (istilah

'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belumterwujud (  pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan

untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi

 perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru (www.wikipedia.com, 2010).

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara  berbahasa-Inggris ( English-

  speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971.[1] Kebijakan ini kemudian

diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai

konsensus sosial di antara elit.[rujukan?] Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara

Eropa, terutama Belanda dan Denmark , mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan

7

Page 8: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 8/17

 

monokulturalisme.[2] Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di

Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya (www.wikipedia.com, 2010).

2.4.2 Bali Sebagai Masyarakat yang Multikultural

Bali yang menjadi daerah tujuan wisata dunia, telah teruji dalam kurun waktu yang

cukup lama sebagai daerah yang banyak dikunjungi turis dari bermacam-macam latar 

 belakang etnis, ras, kepercayaan dan agama. Masyarakat Bali telah menetapkan pilihan pada

aspek keselarasan hidup dalam hubungannya manusia dengan Tuhan, manusia dengan

manusia dan manusia dengan alam atau lingkungannya dalam konsep Tri Hita Karana (Dewa

 Nyoman Wastika, 2005).

Pemilihan orientasi strategi penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat

di Bali dalam bidang parhyangan adalah kasih sayang, yang menganggap Tuhan dan segala

  perwujudannya (dewa-dewi, batara-batari, termasuk butha kala) memberikan keleluasaankepada manusia untuk berbuat kebajikan. Orientasi hidup yang dipilih pada aspek pawongan

adalah kesetaraan yang mengedepankan orientasi collateral. Hubungan yang memunculkan

rasa saling menghargai antarkelompok, baik dalam struktur tradisional maupun

antarmasyarakat yang berlainan ras, etnis, agama dan kepercayaan. Orientasi keselarasan

dengan alam merupakan pilihan orientasi hidup dari aspek palemahan (Dewa Nyoman

Wastika, 2005).

Masyarakat Bali terdiri dari berbagai macam etnis, ras, suku dan agama. Sehubungandengan bagian dari ajaran Tri Hita Karana, yakni pawongan. Hubungan masyarakat Bali yang

mayoritas beragama Hindu dengan umat lainnya berjalan dengan harmonis hingga saat ini.

Hal ini mencerminkan betapa besarnya tingkat toleransi antar umat di Bali. Multikulturalisme

di Bali tidak dijadikan sumber dari perpecahan, namun dijadikan acuan untuk hidup

 berdampingam dengan damai dan melestarikan kebudayaan Bali yang unik percampuran dari

 berbagai budaya dan agama (Dewa Nyoman Wastika, 2005).

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

8

Page 9: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 9/17

 

Penelitian dilakukan pada tanggal 3- 20 Oktober 2009, di Kelurahan Serangan dan

Kampung Kepaon-Kelurahan Pemogan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kotamadya

Denpasar, Bali.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara. Observasi langsung di

kampong Bugis, Kelurahan Serangan dan Kampung Kepaon, Kelurahan Pemogan. Adapun

wawancara dilakukan dengan mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat yang terkait di kedua

kelurahan tersebut. Tokoh-tokoh masyarakat yang diwawancara sebagai informan tercantum

dalam table 3.4. berikut:

Tabel 3.2 Daftar Informan

 No. NAMA PEKERJAAN/JABATAN

1 Mohammad Mansyur Ketua adat Kampung Bugis

2 Mohammad Mohadi Kepala lingkungan Kampung Bugis, Kelurahan

Serangan

3 I Wayan Karma,SIP Kasi Pemerintahan dan Tramtib, Kelurahan

Serangan

4 Ahmad Subawai Kepala Dusun Kampung Islam Kepaon

5 Nyoman Mariana Ketua Lembaga Masyarakat Pemogan,

Denpasar Selatan

6 Dewa Bagus Ketua Badan Permusyawaratan Desa Pemogan

7 Muslimah Soal Salah satu Tokoh Islam

3.3 Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Tahapan penelitian ini meliputi:

3.3.1 Menentukan ide/topik penelitian.

3.3.2 Mengumpulkan data sekunder sebagai bahan dasar untuk menyusun kerangka

 penelitian.

3.3.3 Menentukan kerangka penelitian dan menentukan metode penelitian.

3.3.4 Melakukan observasi dan wawancara di kampung Bugis-Kelurahan Serangan

dan Kampung Islam Keapon di Kelurahan Pemogan.

3.3.5 Mengumpulkan data-data tambahan dari berbagai referensi.

3.3.6 Menganalisa data dan fakta hasil observasi dan wawancara.

3.3.7 Menarik kesimpulan dan penulisan hasil penelitian.

9

Page 10: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 10/17

 

3.4 Analisis Data

Setelah data terkumpul, dilakukan pengolahan data secara sistematis dan logis

menggunakan teknik analisis deskriptif argumentatif, dengan tulisan bersifat deskriptif,

menggambarkan tentang sejarah keberadaan Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon,

serta mengenai model penyelesaian konflik antar agama di kedua kampung tersebut.

3.5 Penarikan Kesimpulan

Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun dan

menghubungkan rumusan masalah, tujuan penulisan serta pembahasan yang dilakukan.

Berikutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal

sebagai upaya transfer gagasan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah Keberadaan Umat Islam di Kampung Bugis dan Kampung

Islam Kepaon

4.1.1 Sejarah Kebaradaan Umat Islam di Kampung Bugis

10

Page 11: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 11/17

 

Masuknya Islam ke wilayah-wilayah yang ada di Bali memiliki latar belakang yang

  berbeda. Membutuhkan waktu yang lama untuk membentuk suatu perkumpulan atau

komunitas Islam di suatu daerah yang baru. Termasuk di wilayah Serangan yang pada

akhirnya komunitas Islamnya lebih dikenal dengan Kampung Bugis.

Menurut Mohammad Mansyur selaku ketua adat Kampung Bugis (2009), sejarah

Kampung Bugis dimulai dari sekelompok pelaut atau nelayan Bugis terombang ambing di

lautan pada abad ke XVII. Di tengah keputusasaan, kemudian para nelayan melihat sebuah

 pulau kecil (Pulau Serangan) dan memutuskan untuk berlabuh di pulau tersebut. Akhirnya

nelayan Bugis yang berjumlah 40 orang itu memutuskan untuk tinggal sementara di Serangan.

Pada saat itu, Pulau Serangan dikuasai oleh Raja Badung yaitu Cokorda Pemecutan III.

Mendengar kedatangan nelayan yang tidak dikenal, Cokorda Pamecutan III menyuruh utusan

untuk menjemput nelayan tersebut. Karena pada masa itu terdapat peraturan yang menyatakan bahwa siapapun yang menginjakkan kaki di Serangan harus melapor kepada Raja, maka para

nelayan Bugis yang dipimpin Syekh Haji Mumin itupun menghadap Raja Badung.

Kedatangan Syekh Haji Mumin dan puluhan perantau Bugis ini diterima secara baik oleh

Raja Badung.

Lebih lanjut Mohammad Mohadi selaku Kepala lingkungan Kampung Bugis,

Kelurahan Serangan (2009) menceritakan bahwa ketika itu Kerajaan Badung tengah

  berperang dengan Kerajaan Mengwi. Karena kewalahan menghadapi pasukan Kerajaan

Mengwi, Raja Badung memutuskan untuk meminta bantuan dari para nelayan Bugis.

Mendengar kabar bahwa orang Bugis merupakan tipikal orang kuat, Raja Badung tak ragu

lagi meminta bantuan. Di lain pihak, para nelayan Bugis juga memiliki kepercayaan bahwa

 jika mereka telah menginjakkan kaki di suatu tempat apalagi telah tinggal di tempat tersebut,

mereka harus turut membantu tempat tersebut apabila ada masalah. Akhirnya 40 nelayan

Bugis turut berperang hanya dengan bersenjatakan bedik (pisau kecil).

Kemenangan akhirnya diraih Kerajaan Badung atas bantuan nelayan Bugis. Atas jasa

 para nelayan Bugis, Raja Badung menyediakan tempat bagi nelayan Bugis tinggal. Raja

Badung yang mengetahui bahwa para nelayan Bugis memiliki keahlian di bidang pelayaran

dan niaga akhirnya memberikan Syekh Haji Mumin beserta pengikutnya lahan di bagian

selatan Pulau Serangan. Hubungan antara para nelayan Bugis di Pulau Serangan dan Kerajaan

Badung pun terjalin erat, bahkan para nelayan Bugis ini dipercaya Raja Badung untuk 

menjadi penghubung perdagangan. Nelayan Bugis juga mengajari penduduk Pulau Serangan

cara-cara berlayar.

4.1.2 Sejarah Kebaradaan Umat Islam di Kampung Islam Kepaon

11

Page 12: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 12/17

 

Menuurut Ahmad Subawai, Kepala Dusun Kampung Islam Kepaon (2009) sejarah

Kampung Islam Kepaon sangat erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Pemecutan. Saat

Kerajaan Pemecutan akan diserang oleh Kerajaan Mengwi, mereka meminta pertolongan pada

Kerajaan Bangkalan, Madura. Pada saat itu Kerajaan Bangkalan mengirimkan satu Rhodat

(peleton) untuk membantu Kerajaan Pemecutan. Pada akhirnya, Kerajaan Badung berhasil

menaklukkan Kejaraan Mengwi. Hubungan antara Kerajaan Badung dan Bangkalan pun

semakin dekat. Pangeran Bangkalan, Raden Sastroningrat menikah dengan putri Raja

Pemecutan III bernama Anak Agung Ayu Rai. Perkawinan ini merupakan pembuktian adanya

harmonisasi antar umat Hindu dan Muslim. Di tengah perbedaan suku, agama, dan budaya

terjadi sebuah pernikahan antara dua pemeluk agama yang berbeda. Raden Sastroningrat

kemudian mengajak istrinya ke Madura. Anak Agung Ayu Rai resmi memeluk Islam dan

 berganti nama menjadi Siti Hadijah.Lebih lanjut Ahmad Subawai menerangkan, karena sudah lama meninggalkan Bali,

Siti Hadijah merasa rindu dengan kampung halaman. Siti Hadijah diiringi pengawalnya pun

  pergi mengunjungi orang tuanya di Bali. Selama tinggal di Bali, Siti Hadijah tetap

menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Suatu ketika, seseorang secara tidak sengaja

melihat Siti Hadijah sedang sholat Magrib. Gara-gara memakai baju serba putih, Siti Hadijah

sempat dikira akan ngeleak. Kemudian Siti Hadijah dipanggil pihak puri untuk dimintai

kejelasan, namun pihak puri tidak mempercayai penjelasan Siti Hadijah dan memberikan

hukuman mati kepadanya.

Sebelum dihukum, Siti Hadijah mengatakan apabila darah yang mengucur dari

tubuhnya menimbulkan bau harum, berati dia adalah orang suci yang hanya melaksanakan

ibadahnya, namun apabila tercium bau amis, berarti apa yang dituduhkan kepadanya

merupakan hal yang benar. Berbagai senjata tidak mampu menembus tubuh Siti Hadijah,

kemudian dia memberikan tusuk konde miliknya untuk ditancapkan ke lehernya. Setelah

kematian Siti Hadija tercium bau yang sangat harum dari darahnya yang semakin lama

semakin harum. Semenjak kejadian itu, seluruh penduduk Badung mengetahui apa yang

sebenarnya terjadi. Sampai saat ini, makam Siti Hadijah dipelihara dengan baik, bukan hanya

dijaga oleh umat Muslim, umat Hindu juga turut menjaga kuburan tersebut. Sebagai tanda

maaf atas apa yang terjadi dengan Siti Hadijah, Raja Pemecutan memberikan sebuah wilayah

untuk ditinggali para pengawal Kerajaan Bangkalan. Tempat ini kemudian diberi nama

Kepaon yang sekarang lebih dikenal dengan Kampung Islam Kepaon.

12

Page 13: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 13/17

 

4.2 Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kampung

Islam Kepaon

Dalam sejarah terbentuknya sebuah peristiwa, terdapat nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya. Nilai-nilai ini kemudian akan menjadi gambaran mengenai apa yang harus diterima

dan dilaksanakan oleh masyarakat. Nilai erat kaitannya dengan kebudayaan dan masyarakat.

Adapun nilai-nilai sejarah keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon,

yaitu:

4.2.1 Nilai Religius

 Nilai regius yang merupakan nilai ketuhanan yang tinggi dan mutlak yang bersumber 

dari keyakinan dan kepercayaan manusia. Hal ini dapat kita lihat pada sejarah Kampung Islam

Kepaon. Seperti yang diceritakan Ahmad Subawai (2009), sejarah terbentuknya Kampung

Islam Kepaon berawal dari Anak Agung Ayu Rai yang pindah ke agama Islam dan berubah

namanya menjadi Siti Hadijah memiliki iman yang sangat kuat. Siti Hadijah dapat

membuktikan bahwa agamanya, yaitu Islam adalah agama baik-baik. Tidak mengajarkan ilmu

 pengleakan atau ilmu hitam lainnya, seperti hal yang dituduhkan kepadanya. Walaupun hal

tersebut harus dibuktikan, sampai merengut nyawanya. Sampai saat ini makam Siti Hadijah

dipelihara dengan baik. Bukan hanya dijaga oleh umat Muslim, umat Hindu juga turut

menjaga kuburan tersebut.

4.2.2 Nilai Kepahlawanan (Patriotisme)

Patriotisme merupakan semangat mencintai tanah air. Seperti yang dijelaskan

Mohammad Mohadi (2009), orang-orang Bugis memiliki semboyang yang mengatakan,

dimana kaki perpijak di sana langit di junjung. Nilai kepahlawanan (patriotisme) dalam

sejarah keberadaan Kampung Bugis dapat dilihat pada saat para nelayan Bugis yang

membantu Kerajaan Pemecutan melawan Kerajaan Mengwi. Dimana mereka memiliki

kepercayaan yaitu, jika mereka telah menginjakkan kaki di suatu tempat apalagi telah tinggal

di tempat tersebut, mereka harus turut membantu tempat tersebut apabila ada masalah.

4.2.3 Nilai Keterbukaan

  Nilai keterbukaan kita dapatkan pada sejarah keberadaan Kampung Bugis dan

Kepaon. Dimana hal ini terjadi pada saat kedatangan Syekh Haji Mumin dan puluhan

 perantau Bugis ini yang diterima dengan baik dan terbuka oleh Raja Badung (Mohammad

Mansyur, 2009). Bahkan sampai sekarang, sikap saling terbuka masih digunakan penduduk 

Kampung Bugis dan Kepaon dalam menyelasaikan masalah yang terjadi.

13

Page 14: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 14/17

 

Menurut I Wayan Karma,SIP (2009) Ketika terjadinya Bom Bali, timbul rasa curiga

 penduduk sekitar terhadap warga Kampung Bugis dan Kepaon. Namun hal ini dapat segera

terselesaikan dengan adanya sikap keterbukaan antara kedua belah pihak.

4.2.4 Nilai Sosial

Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon memiliki kedekatan dengan pihak 

Kerajaan Pemecutan. Kedekatan ini merupakan salah satu simbol keharmonisan antara agama

Hindu dan Islam. Selain itu keharmonisan pada sejarah keberadaan kampung Islam Kepaon

dapat dirasakan pada perkawinan Raden Sastroningrat dengan Anak Agung Ayu Rai (Ahmad

Subawai, 2009). Ini merupakan pembuktian adanya harmonisasi antar umat Hindu dan

Muslim. Di tengah perbedaan suku, agama, dan budaya terjadi sebuah pernikahan antara dua

 pemeluk agama yang berbeda.

Keakraban serta harmonisasai antara pemeluk Islam dan Hindu di kedua wilayah inimasih berlangsung sampai sekarang. Menurut cerita Mohammad Mansyur (2009), apabila

  puri Pemecutan mengadakan acara, Cokorda (sebutan hormat bagi pemimpin puri) selalu

mengundang penduduk Kampung Bugis melalui tetua adatnya, begitu pun sebaliknya,

Cokorda selalu datang apabila Kampung Bugis mengadakan acara. Sikap saling menghormati

dan saling memiliki inilah yang terus dihidupkan antara warga Kampung Bugis yang

seluruhnya Muslim dan masyarakat Hindu yang berdiam di enam banjar di Desa Serangan.

Hal serupa juga terjadi antara Kampung Islam Kepaon dengan Kerajaan Pemecutan. Bahkandi Kampung Islam Kepaon menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari dan masih

mengadakan upacara tiga bulanan bagi bayi baru lahir yang biasa dilakukan umat Hindu.

 Namun, upacara yang dilakukan diadaptasikan dengan ajaran Islam.

4.3 Penerapan Nilai-Nilai Sejarah Keberadaan Islam di Kampung Bugis

dan Kampung Islam Kepaon dalam Menyelesaikan Konflik Agama di

Bali

Masyarakat di Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon selalu mengatasi dan

mengantisipasi konflik dengan cara keterbukaan dan kekeluargaan. Sikap toleransi dan

keterbukaan ini disebabkan oleh adanya nilai-nilai sejarah yang selalu mereka jadikan

 pedoman dan diimplementasikan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Menurut Dhidhik 

Setiabudi (2009)  nilai adalah suatu tujuan akhir yang di inginkan, mempengaruhi tingkah

laku, yang digunakan sebagai prinsip atau panduan dalam hidup seseorang atau masyarakat.

14

Page 15: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 15/17

 

Dapat dikatakan bahwa nilai-nilai pada hakikatnya merupakan sejumlah prinsip yang

dianggap berharga dan bernilai sehingga layak diperjuangkan dengan penuh pengorbanan.

Dengan pedoman dan prinsip yang kuat, tidak peduli sebesar apapun konflik yang mungkin

timbul diantara masyarakatnya dapat diselesaikan secara damai. Hal inilah yang patut menjadi

 panutan bagi seluruh masyarakat dalam menjalani kehidupan yang multikultural di pulau Bali

ini. Adapun nilai-nilai sejarah keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kepaon yang patut

diimplementasikan dalam menyelesaikan konflik Agama di Bali, yaitu:

4.3.1 Implementasi Nilai Religius

 Nilai ini kita implementasikan dengan mempelajari agama dengan sungguh-sungguh,

sehingga kita memiliki pengetahuan mengenai agama yang kita anut. Dengan demikian, akan

mencegah terjadinya fanatisme-fanatisme sempit terhadap agama lain. Fanatisme sempit

dalam artian seseorang yang selalu menganggap agamanya paling baik, dan berprasangka  buruk terhadap agama lain. Hal seperti inilah yang akhirnya akan menimbulkan konflik-

konflik antar umat beragama. Ini seharusnya bisa diselesaikan dengan baik-baik, jika kita

sadar bahwa perbedaan agama bukan menjadi masalah, karena fungsi agama adalah sama

 percaya dengan adanya Tuhan. Kita juga seharusnya yakin dan percaya bahwa agama apapun,

yang meyakini adanya Tuhan tidak akan mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan

terhadap orang lain.

4.3.2 Implementasi Nilai Pahlawan (Patriotisme)Sebagai warga negara yang baik, kita harus memiliki nilai patriotisme yang yang

tinggi. Nilai ini kita implementasikan dengan tidak mudah dihasut atau diprovokasi menuju

arah perpecahan. Kalau setiap masing-masing pribadi bisa mengimplementasikannya dalam

kehidupan sehari dan menyadari kita semua adalah saudara sebangsa dan setanah air. Serta

dengan menghilangkan sisi-sisi perbedaan dan mengedepankan toleransi tentu segala macam

konflik bisa diselesaikan dengan baik secara kekeluargaan. Pertikaian atau peperangan pun

dapat dihindarai. Walaupun kita hidup masyarakat yang multikultural seperti sekarang.

4.3.3 Implementasi Nilai Keterbukaan

Dalam kehidupan bermasyarakat, dibutuhkan rasa saling keterbukaan antar penduduk.

Sikap toleransi dan keterbukaan dalam masyarakat akan membangun rasa saling percaya dan

mengerti satu sama lain meskipun lingkungan tersebut terdiri dari agama yang berbeda.

Dengan munculnya rasa saling percaya antar penduduk, kemungkinan akan timbulnya konflik 

antar agamapun akan semakin kecil. Meskipun terjadi suatu masalah dalam lingkungan

tersebut, sikap saling keterbukaan antar penduduk yang bertikai akan segera menyelesaikan

 permasalahan tersebut

15

Page 16: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 16/17

 

4.3.4 Implementasi Nilai Sosial

  Nilai sosial merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan

tingkah laku yang sesuai dalam kehidupan sehari-hari. Nilai sosial juga merupakan segala

sesuatu yang dihargai masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi

  perkembangan kehidupan manusia nilai sosial berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol)

 perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai

dengan nilai yang dianutnya,.

Dalam keseharian penduduk Kampung Bugis dan Kepaon masih menjalin hubungan

dengan Kerajaan Pemecutan, bahkan keduanya masih saling mengunjungi. Ini menunjukkan

nilai sosial yaitu, nilai harmonisasi yang berlangsung sejak dulu masih terjalin dengan baik 

sampai sekarang. Dengan sikap seperti ini, selalu menjunjung dan mengimplementasikan

nilai-nilai sosial yang diwariskan leluhurnya terdahulu tentu hal ini akan meminimalisir konflik antar kedua belah pihak yang berbeda agama. Konflik antar agama pun akan lebih

mudah terselesaikan jika setiap orang selalu berpedoman nilai sosial dan tetap menjaga nilai

keharmonisan yang telah diwariskan nenek moyang kita terdahulu. Di tengah banyak 

 perbedaan, mereka tetap bisa menjaga keharmonisan. Apalagi sekarang di jaman pendidikan

(khususnya pendidikan agama) yang sudah maju ini kita seharusnya lebih meningkatkan

keharmonisan antar umat beragama bukan malah sebaliknya. Untuk itulah kita perlu banyak 

 belajar dan instropeksi diri dari nilai-nilai sejarah terdahulu.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

 berikut:

5.1.1 Sejarah keberadaan umat Islam di Kampung Bugis berawal sejak Nelayan Bugis

yang diberikan lahan di Serangan oleh Raja Badung. Ini merupakan balas budi atas

Jasa para nelayan Bugis yang telah ikut berperang mengalahkan kerajaan Mengwi.

Sejarah keberadaan Kampung Islam Kepaon juga berawal pemberiaan tanah Raja

16

Page 17: Bab 1-5

5/9/2018 Bab 1-5 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-5-559bf62cde0a6 17/17

 

Badung kepada pengawal Siti Hadijah. Namun dalam hal ini tanah tersebut merupakan

 permintaan maaf atas kesalapahaman yang terjadi terhadap Siti Hadijah.

5.1.2 Adapun nilai- nilai sejarah keberadaan Kampung Bugis dan Kampung Islam Kepaon

yaitu: nilai religius, nilai kepahlawanan (patriotisme), nilai keterbukaan dan nilai

sosial

5.1.3 Penerapan nilai-nilai sejarah keberadaan Islam di Kampung Bugis dan Kampung

Kepaon dalam menyelesaikan konflik agama di Bali yaitu dengan menyelesaikan

konflik yang terjadi dengan cara damai, kekeluargaan yang dan tetap berpedoman

 pada nilai-nilai sejarah tersebut. Dengan demikian keharmonisan antarumat beragama

 pun akan tercipta

5.2 SaranDiharapkan kepada masyarakat agar menghargai nilai-nilai sejarah dan

mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat menghindari dan

menyelesaikan konflik agama yang terjadi. Seperti yang terjadi di Kampung Bugis dan

Kampung Islam Kepaon, yang bisa menyelesaikan segala konflik dan permasalahan yang

terjadi dengan selalu berpedoman pada nilai-nilai sejarah mereka. Sehingga harmonisasi antar 

umat beragama pun dapat tercipta.

17