anemia mikrositik hipokromik

18
1.1. ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROMIK 1.1.1. ANEMIA DEFISIENSI BESI Etiologi Kekurangan Fe dapat terjadi bila : makanan tidak cukup mengandung Fe komposisi makanan tidak baik untuk penyerapan Fe (banyak sayuran, kurang daging) gangguan penyerapan Fe (penyakit usus, reseksi usus) kebutuhan Fe meningkat (pertumbuhan yang cepat, pada bayi dan adolesensi, kehamilan) perdarahan kronik atau berulang (epistaksis, hematemesis, ankilostomiasis). Epidemiologi Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah ADB dan terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama selain kekurangaan kalori protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30-40%, pada anak sekolah 25-35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 55,5%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi belajar di sekolah. Patofisiologi

Upload: yolanda

Post on 17-Dec-2015

62 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Anemia Mikrositik Hipokromik merupakan salah satu tipe anemia dari tiga

TRANSCRIPT

1.1. ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROMIK1.1.1. ANEMIA DEFISIENSI BESIEtiologiKekurangan Fe dapat terjadi bila : makanan tidak cukup mengandung Fe komposisi makanan tidak baik untuk penyerapan Fe (banyak sayuran, kurang daging) gangguan penyerapan Fe (penyakit usus, reseksi usus) kebutuhan Fe meningkat (pertumbuhan yang cepat, pada bayi dan adolesensi, kehamilan) perdarahan kronik atau berulang (epistaksis, hematemesis, ankilostomiasis).EpidemiologiDiperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah ADB dan terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama selain kekurangaan kalori protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30-40%, pada anak sekolah 25-35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 55,5%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi belajar di sekolah.PatofisiologiZat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan hemoglobin (Hb). Kekurangan Fe mengakibatkan kekurangan Hb. Walaupun pembuatan eritrosit juga menurun, tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit dari pada biasa sehingga timbul anemia hipokromik mikrositik.Diagnosis

I. Anamnesis1. Riwayat faktor predisposisi dan etiologi : Kebutuhan meningkat secara fisiologis Masa pertumbuhan yang cepat Menstruasi Infeksi kronis Kurangnya besi yang diserap Asupan besi dari makanan tidak adekuat Malabsorpsi besi Perdarahan Perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)2. Pucat, lemah, lesu, gejala pika II. Pemeriksaan fisis Anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati Stomatitis angularis, atrofi papil lidah Ditemukan takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung III. Pemeriksaan penunjang Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat , saturasi menurun Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat Sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat

Diagnosis BandingAnemia hipokromik mikrositik :=Thalasemia (khususnya thalasemia minor) : Hb A2 meningkat Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun=Anemia karena infeksi menahun : Biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-kadang terjadi anemia hipokromik mikrositik Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun=Keracunan timah hitam (Pb) Terdapat gejala lain keracunan P=Anemia sideroblastik : Terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang

PenatalaksanaanI.MedikamentosaPemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg besi elemental/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal. Asam askorbat 100 mg/ 15 mg besi elemental (untuk meningkatkan absorbsi besi).II. BedahUntuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel.III. SuportifMakanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani (limfa,hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan)IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya )Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (Gizi, Infeksi, Pulmonologi, Gastro-Hepatologi, Kardiologi Pemantauan I.Terapi1. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu2. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat3. Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar di ulu hati, nyeri abdomen dan mual. Gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara. II. Tumbuh Kembang1. Penimbangan berat badan setiap bulan2. Perubahan tingkah laku3. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan konsultasi ke ahli psikologi4. Aktifitas motorikLangkah Promotif/PreventifUpaya penanggulangan AKB diprioritaskan pada kelompok rawan yaitu BALITA, anak usia sekolah, ibu hamil dan menyusui, wanita usia subur termasuk remaja putri dan pekerja wanita. Upaya pencegahan efektif untuk menanggulangi AKB adalah dengan pola hidup sehat dan upaya-upaya pengendalian faktor penyebab dan predisposisi terjadinya AKB yaitu berupa penyuluhan kesehatan, memenuhi kebutuhan zat besi pada masa pertumbuhan cepat, infeksi kronis/berulang pemberantasan penyakit cacing dan fortifikasi besi.1. 2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.3.1.

2.3.2. ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS

Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar hb berkisar 7-11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi dijaringan serta produksi sel darah merah berkurang.

Etiologi dan Patogenesis Laporan/data akibat penyakit TB, abses paru, endocarditis bakteri subakut, osteomyelitis dan infeksi jamur kronik serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringanyya gejala, seperti demam , penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan atriris rheumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, colitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit kronik.Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walupun masih dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti pada sarcoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut anemia pada kanker (cancer releted anemia)a. Pemendakan masa hidup eritrositDiduga anemia terjadi merupakan bagian dari sindrom stress hematologic, dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuetrasi makrofag sehingga mangikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang inadekuat pada eritropoesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 manjadi T3, menyebabkan hipotirod fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga sintesis eritropetin-pun akhirnya berkurang.

b. Penghancuran eritrositBeberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar 20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit pasien ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa, menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari eritrosit. c. Produksi eritrosit Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini memberikan konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb.Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi pemendakan masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit kronik, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan atau menurunya respon terhadap eritropoetin.

Gambaran KlinisKarena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan.

Pemeriksaan LaboratariumAnemia umumnya adalah normokrom-normosister, meskipun banyak pasien mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC