anemia malaria

16
A.Dasar patogenesis penyakit malaria Patologi malaria terkait dengan fase infeksi darah (Gambar 1) (Ocana-Morgner et.al, 2003). Infeksi plasmodium Falciparum memiliki laju multiplikasi yang lebih tinggi yang juga secara konal mengekspresikan varian antigen pada permukaan eritrosit yang terinfeksi (pf-EMP-1). Pf-EMP-1 berikatan dengan ligan pada permukaan sel-sel endotel dan memediasi keberadaan eritrosit yang terinfeksi dalam vena postcapillary. Kedua karakteristik ini memungkinkan parasit P. falciparum untuk menghindar dari sistem imun host, yang menyebabkan terjadinya parasitemia yang tinggi dengan infeksi berulang yang berkontribusi terhadap keadaaan kronis dari penyakit ini (Hvild, 2005). Pada malaria P. vivax dan P. ovale, parasitemia yang tinggi jarang terjadi karena invasi terhadap eritrosit terbatas pada retikulosit. Akan tetapi, P. vivax kadang-kadang dapat menyebabkan penyakit yang berat termasuk anemia melalui hemolisis berat (Tjitra, 2005; Rodriquez-Morales, 2006; Nosten, 1999).

Upload: meydita-mahardi

Post on 13-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

anemia pada malaria

TRANSCRIPT

Page 1: Anemia Malaria

A.Dasar patogenesis penyakit malaria

Patologi malaria terkait dengan fase infeksi darah (Gambar 1) (Ocana-

Morgner et.al, 2003). Infeksi plasmodium Falciparum memiliki laju multiplikasi yang

lebih tinggi yang juga secara konal mengekspresikan varian antigen pada permukaan

eritrosit yang terinfeksi (pf-EMP-1). Pf-EMP-1 berikatan dengan ligan pada permukaan

sel-sel endotel dan memediasi keberadaan eritrosit yang terinfeksi dalam vena

postcapillary. Kedua karakteristik ini memungkinkan parasit P. falciparum untuk

menghindar dari sistem imun host, yang menyebabkan terjadinya parasitemia yang tinggi

dengan infeksi berulang yang berkontribusi terhadap keadaaan kronis dari penyakit ini

(Hvild, 2005). Pada malaria P. vivax dan P. ovale, parasitemia yang tinggi jarang terjadi

karena invasi terhadap eritrosit terbatas pada retikulosit. Akan tetapi, P. vivax kadang-

kadang dapat menyebabkan penyakit yang berat termasuk anemia melalui hemolisis berat

(Tjitra, 2005; Rodriquez-Morales, 2006; Nosten, 1999).

Page 2: Anemia Malaria

Gambar 1. Siklus hidup parasit malaria (Lamikanra, 2007)

Spektrum gejala klinis dan tingkat keparahan P. falciparum cukup luas. Pada

daerah endemic, banyak infeksi pada anak-anak dan orang dewasa yang semi-imun dan

imun muncul karena penyakit febrile yang tidak sempurna. Pada sebagian besar penyakit

berat, individu non-imun dapat memiliki sejumlah sindrom termasuk anemia, koma,

distress pernapasan, dan hipoglikemia, serta memiliki frekuensi bakterimia yang tinggi

(Marah, 1995; Berkley, 2005). Banyak anak yang menderita anemia ringan, sedang, dan

bahkan berat tanpa sindrom penyakit berat yang lain. Akan tetapi, anemia berat dapat

diikuti oleh sindrom penyakit berat yang lain (Marah, 1999). Sebagai contoh, anak yang

menderita anemia dapat juga memunculkan gejala malaise, kelelahan, dyspnoea, atau

distress pernapasan karena metabolic acidosis supervenes (Krishna, 1994; English,1997).

Distribusi umur pada sindrom penyakit berat ini cukup menarik, tapi sangat sedikit

dipahami. Anak yang lahir di daerah endemic malaria cukup besar terlindungi dari

malaria berat pada 6 bulan pertama kehidupan melalui transfer pasif immunoglobulin ibu

dan haemoglobin semasa janin. Penampakan penyakit berubah dari anemia berat pada

anak usia 1 sampai 3 tahun di daerah transmisi tinggi menjadi malaria cerebral pada

orang yang lebih tua di daerah transmisi rendah (Snow, 1997). Seiring penurunan

intensitas transmisi, malaria berat lebih sering ditemukan pada kelompok usia yang lebih

tua.

Page 3: Anemia Malaria

Anemia pada malaria P. falciparum memiliki ciri normocytic dan

normochromic, dengan secara khusus tidak adanya retikulosit, walaupun microcytosis

dan hypocromia dapat muncul disebabkan karena sifat talasemia alpha dan beta dengan

frekuensi sangat tinggi dan/atau defisiensi besi pada daerah endemic malaria (Newton,

1997; Yeats, 1999; Abdalla, 2004; Roberts, 2005) perbedaan yang jelas pada

patofisiologi anemia dalam berbagai kondisi klinis, usia dan area geografis hanya sedikit

dipahami dan tentunya memerlukan lebih banyak penelitian lagi. Bentuk anemia yang

kurang umum pada malaria aalah “blackwater fever” yang ditandai dengan secara tibab-

tiba munculnya kemoglobin pada urin yang terkait dengan penggunaan kina yang tidak

beraturan (Stephens, 1937).

Oleh karena itu, keadaan klinis anemia berat cukup bervariasi dan komplks:

infeksi akut kemungkinan menyebabkan anemia dan/atau malaria cerebral, distress

pernapasan, dan hipoglikemia; dan infeksi kronis, infeksi berulang dapat menyebabkan

anemia berat. Di samping itu, kemungkinan ada pula background Hb normal atau rendah.

Dengan demikian, pemahaman mengenai proses patofisiologi utamanya telah dikaitkan

dengan konteks klinis yang berbeda-beda (Lamikanra, 2007).

A.Patofisiologi Anemia pada Penyakit Malaria

Penyebab yang mendasari anemia malaria berat pada manusia dapat mencakup

satu atau lebih dari beberapa mekanisme berikut: (1) penghilangan dan / atau

penghancuran sel darah merah yang terinfeksi, (2) penghilangan Sel darah merah yang

tidak terinfeksi, (3) penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis. Setiap dari

mekanisme ini telah terlibat dalam anemia malaria pada manusia.

B.1. Hilangnya sel darah merah yang terinfeksi

Selama infeksi terjadi, ada kehilangan yang jelas dari eritrosit yang terinfeksi

untuk pematangan parasit serta pada saat pengenalan makrofag. Jalur fagositik untuk

manusia dan tikus dapat dilihat pada tabel 1 (Casals-Pascual et.al 2006).

Page 4: Anemia Malaria

Tabel 1. Kenampakan patologis P. Falciparum dan anemia malaria pada manusia

dan tikus (Lamikanra, 2007)

Cukup jelas bahwa mekanisme yang sama juga ada untuk hilangnya eritrosit

yang terinfeksi pada manusia dan tikus. Akan tetapi, hilangnya eritrosit terinfeksi

pada manusia dengan parasitemia kurang dari 1% nampaknya tidak memberikan

Page 5: Anemia Malaria

dampak yang signifikan pada derajat anemia. Oleh karena itu, penghilangan ini,

dapat membuktikan lebih terkaitnya untuk onset anemia pada individu yang

menderita infeski akut, khususnya anak-anak dimana parasitemia biasanya lebih

besar dari 10% (Lamikanra, 2007).

Penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis

Eritropoiesis normal terganggu selama infeksi malaria. Pengamatan yang

paling awal mengenai eritropoiesis yang berkurang pada manusia yang menderita

malaria akut dibuat lebih dari 60 tahun yang lalu di mana reticulocytopenia diamati

dalam infeksi malaria P vivax dan P falciparum yang diikuti oleh retikulositosis

setelah penghilangan parasit (Vryonis, 1939). Kemudian, ditunjukkan bahwa jumlah

reticulocyte yang rendah pada pasien dengan malaria di Thailand diikuti dengan

penekanan eritropoiesis (Casals-Pascual & Roberts, 2006).

Bagian sumsum tulang yang diambil dari anak-anak Gambia dengan anemia

akut mengungkapkan bahwa meskipun peningkatan cellularity tidak berbeda secara

signifikan untuk jumlah total erythroblasts yang diamati ketika dibandingkan dengan

pasien yang tidak terinfeksi, hal ini memberikan bukti untuk respon erythroid yang

ditekan. Anak-anak yang mengalami anemia kronis (parasitemia < 1%) memiliki

kadar erythroid hyperplasia dan dyserythropoiesis yang lebih tinggi (Abdalla SH,

1990). Dyserythropoiesis atau secara morfologi dan / atau secara fungsional produksi

sel darah merah abnormal ditunjukkan oleh vacuolasi sitoplasma, stippling,

fragmentasi, jembatan intercytoplasmic, fragmentasi inti, dan multinuclearitas. Hal

ini bertepatan dengan berkurangnya retikulositosis yang mengindikasikan gangguan

fungsional produksi sel darah merah dari sumsum tulang (Abdalla SH, 1990)

(Gambar 2). Dalam penelitian yang lebih kecil dari 6 anak dengan penyakit kronis,

sebuah peningkatan proporsi erythroblasts polikromatik diamati di fase G2

pembelahan (Wickramasinghe, 1982). Pengobatan pasien dengan obat antimalaria

meningkatkan jumlah retikulosit, yang menunjukkan bahwa P. falciparum sebagai

penyebab dyserythropoiesis dan eritropoiesis tidak efektif.

Page 6: Anemia Malaria

Gambar 2. Pengaruh langsung dan tidak langsung parasit pada perkembangan

anemia malaria

Sebuah produk sampingan parasit dari pencernaan hemoglobin, hemozoin,

mungkin memiliki peran dalam terjadinya gangguan erythroid melalui pengaruh pada

fungsi monosit manusia. Hemozoin mengurangi aktivitas oksidatif yang berlebihan

pada manusia, mencegah up-regulasi penanda aktivasi, (Schwarzer, 1998) dan juga

merangsang sekresi endoperoxides yang aktif secara biologis dari monosit, seperti 15

(S)-hydroxyeicosatetraenoic (HETE) dan 4-hidroksi-nonenal (4-HNE) melalui

oksidasi lipid membran, (Schwarzer, 2003) yang dapat mempengaruhi pertumbuhan

Page 7: Anemia Malaria

erythroid. (Giribaldi, 2004) Disfungsi Makrofag juga bisa mengganggu fungsi pulau

erythroblastic dimana makrofag mendukung diferensiasi terminal erythroblasts di

sumsum tulang. Hemozoin dan TNFα-juga memiliki efek aditif pada eritropoiesis in

vitro, dan dalam studi klinis makrofag yang mengandung hemozoin dan hemozoin

plasma dikaitkan dengan anemia dan penekanan retikulosit. (Casals-Pascual, 2006)

Selain itu, bagian sumsum tulang dari anak-anak yang meninggal karena malaria

berat menunjukkan hubungan yang signifikan antara jumlah hemozoin (terletak di

prekursor erythroid dan makrofag) dan proporsi sel erythroid yang abnormal.

Temuan ini konsisten dengan efek penghambatan langsung hemozoin pada

eritropoiesis dan karena itu memerlukan penyelidikan lebih lanjut (Lamikanra, 2007)

Penekanan cytokine dalam erythropoiesis

Selama fase akut infeksi ada respon inflamasi yang kuat, yang menghasilkan

peningkatan TNFα dan IFNγ (Yap, 1994). TNFα menghambat semua tahapan

eritropoiesis (Dufour, 2003), dan IFNγ bekerja dengan TNFα untuk menghambat

pertumbuhan dan diferensiasi erythroid dengan up-regulasi ekspresi TRAIL,

TWEAK, dan CD95L dalam perkembangan erythroblasts (Felli, 2005). Sedangkan

penyakit berat pada anak dikaitkan dengan peningkatan kadar sitokin pro inflamasi

dan anti-inflamasi, tingkat keparahan anemia nampaknya tergantung pada tingkat

TNFα yang relatif terhadap regulatornya, anti-inflamasi sitokin IL-10 yang potensial.

Beberapa studi klinis telah menunjukkan bahwa rasio yang rendah dari plasma IL-10/

TNFα terkait dengan anemia malaria berat pada anak-anak (Othoro, 1999).

Selanjutnya, sejumlah polimorfisme dalam TNFα-promotor manusia menunjukkan

hubungan yang lebih besar dengan anemia dibandingkan dengan malaria serebral

(McGuire, 1999). Oleh karena itu dikemukakan bahwa pada manusia IL-10 dapat

melindungi terhadap penekanan sumsum tulang dan aktivitas erythrophagocytic yang

diinduksi oleh TNFα dan/atau mengurangi rangsangan proinflamasi lainnya.

Banyak sitokin pro inflamasi lain seperti, IL-12 IL-18, dan migrasi faktor

penghambat (MIF) juga telah terlibat dalam patogenesis anemia pada malaria. Pada

manusia, sekresi IL-12 dan IL-18 dari makrofag menginduksi produksi IFN dari

pembunuh alami (NK), sel B, dan sel T (Malaguamera, 2002), sementara MIF

diproduksi melalui sel T dan makrofag yang diaktifkan dan menghambat aktivitas

anti-inflamasi glukokortikoid (Clark & Cowden, 2003).

Page 8: Anemia Malaria

IL-12 berada dalam tingkat yang lebih tinggi pada keadaan non-lethal,

dibandingkan dengan keadaan lethal, sitokin ini dapat menjadi stimulator

eritropoiesis (Mohan, 1998). Sebaliknya, dengan peningkatan kadar yang ditemukan

selama infeksi, MIF telah terlihat menekan hematopoiesis (Martiney, 2000).

The Hubungan IL-12 dengan malaria falciparum berat masih kurang jelas.

Beberapa studi mengamati kenaikan moderat IL-12 dan IL-18 pada pasien dengan

anemia berat (Awandare, 2006), yang lain melaporkan penurunan IL-12 pada pasien

dengan malaria berat (Hb <75 g / L [7,5 g / dL]) dibandingkan dengan kontrol tidak

sempurna (Hb> 100 g / L [10 g / dL]), atau tidak ada peningkatan yang signifikan

pada pasien dengan penyakit berat dibandingkan dengan malaria tanpa komplikasi

(Lyke, 2004). Dalam 2 contoh terakhir di atas, anti-inflamasi sitokin seperti TGF

atau IL-10 juga berkurang pada pasien dengan penyakit parah. Sebaliknya, pasien

dengan penyakit akut dan peningkatan kadar IL-12 telah menandai peningkatan IL-

10 (Malaguamera, 2002). Karena sebagian besar pasien dengan anemia dalam studi

terakhir memiliki rata-rata kadar Hb 90 g / L (9 g / dL) adalah mungkin bahwa,

peningkatan IL-12 berhubungan dengan penurunan tingkat keparahan anemia malaria

berat.

Pengamatan ini menunjukkan kompleksitas respon sitokin, dan juga

menyoroti pentingnya keseimbangan antara sitokin proinflamasi dan antiinflamasi,

yang dapat menjadi pelindung atau merugikan host. Memahami peran sitokin akan

membutuhkan lebih banyak data dari studi yang kuat untuk memungkinkan

penggunaan analisis multivariat yang lebih canggih yang memungkinkan untuk

interaksi yang rumit antara masing-masing faktor.

Sebuah produk parasit yang ditemukan dalam plasma selama terjadi infeksi

yang mungkin terlibat dalam efek sitokin proinflamasi pada anemia malaria berat

adalah jangkar glycophosphatidylinositol (GPI) dari protein merozoit, MSP-1, MSP-

2, dan MSP-4 (Miller, 1993). GPIs cenderung untuk memberikan kontribusi untuk

anemia malaria karena dapat menginduksi pelepasan TNFα-dari makrofag manusia

(Schofield, 1993), yang dapat berkontribusi terhadap patologi dari anemia malaria

berat. Lebih khusus, baru-baru ini telah diperlihatkan bahwa respon proinflamasi dari

monosit manusia adalah melalui interaksi dengan GPIs TLR2, dan untuk TLR4 yang

lebih rendah (Krishnegowda, 2005).

Page 9: Anemia Malaria

Sebuah produk yang telah dibahas sebelumnya, hemozoin, juga dapat lebih

erat terkait dengan respon imun bawaan, dan dengan demikian terkait pula dengan

pelepasan proinflamasi sitokin. Pada manusia, pigmen sintetik menginduksi ekspresi

TNFα, yang telah dikaitkan dengan kemampuan hemozoin untuk menginduksi

metaloproteinase MMP-9 (Prato, 2005).

Erythropoietin.

Penurunan Hb dan penurunan berikutnya dalam tekanan oksigen harus

merangsang peningkatan kadar eritropoietin (Epo) pada pasien dengan anemia

malaria yang berat. Bukti klinis untuk peningkatan kadar Epo yang tepat pada

malaria agak kontradiktif. Studi pada orang dewasa dari Thailand dan Sudan telah

menunjukkan bahwa konsentrasi Epo, meskipun dinaikkan, kurang tepat untuk

derajat anemia (el Hassan, 1997). Namun, beberapa penelitian malaria pada anak-

anak Afrika yang menderita anemia malaria telah menunjukkan peningkatan

konsentrasi Epo dengan tepat (Verhoef, 2002). Bahkan, tingkat Epo pada anemia

malaria lebih dari 3 kali lipat lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak anemia

tanpa malaria. (72) Ada kemungkinan bahwa sintesis Epo yang tidak efektif atau

tidak memadai berkontribusi terhadap anemia malaria di beberapa tempat,

kemungkinan berhubungan dengan usia, asal etnis, atau presentasi pasien. Akan

tetapi, pada anak-anak Afrika dengan malaria, sintesis Epo memang meningkat lebih

dari yang diharapkan dan itu lebih mungkin bahwa berkurangnya respon terhadap

Epo, bukan tingkat Epo rendah yang tidak tepat, merupakan kontribusi yang lebih

signifikan untuk patologi.

Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) me- rupakan enzim pengkatalisis reaksi

pertama jalur pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua sel dalam bentuk

NADPH (bentuk tereduksi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate). Senyawa

NADPH memungkinkan sel-sel bertahan dari stres oksidatif yang dapat dipicu

oleh beberapa bahan oksidan dan menyediakan glutathione dalam bentuk tereduksi.

Eritrosit tidak me-miliki mitokondria sehingga jalur pentosa fosfat merupakan

satu-satunya sumber NADPH, sehingga pertahanan terhadap kerusakan oksidatif

tergantung pada G6PD

Page 10: Anemia Malaria

Defisiensi G6PD diturunkan melalui kromosom X. Laki-laki hanya memiliki

satu kromosom X sehingga dapat memiliki ekspresi gen yang normal maupun

defisiensi G6PD. Perempuan yang memiliki 2 kopi gen G6PD pada setiap kromosom X

dapat memiliki ekspresi gen normal, heterozigot, maupun homozigot. Perempuan

heterozigot dapat memiliki mosaic genetik akibat inaktivasi kromosom X, dan dapat

menderita defisiensi G6PD

Sebagian besar penderita defis iensi G 6PD tidak bergejala dan tidak mengetahui kondisinya. Penyakit ini muncul apabila eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat, infeksi, maupun konsumsi kacang fava. Defi siensi G6PD biasanya bermanifestasi sebagai anemia hemolitik akut yang di-induksi obat maupun infeksi, favisme, ikterus neonatorum maupun anemia hemolitik non-sferosis kronis. Beberapa kondisi seperti diabetes, infark miokard, latihan fi sik berat telah dilaporkan menginduksi hemolisis pada penderita defi siensi G6PD. Hemolisis akut pada penderita defi siensi G6PD biasa nya ditandai dengan rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan ikterus. Terjadi peningkatan kadar

bilirubin tidak terkonjugasi, laktat dehidrogenase dan retikulositosis.1-3

Anemia Hemolitik Terinduksi Obat Defisiensi G6PD ditemukan sebagai hasil

investigasi hemolisis pada penderita yang minum primakuin. Beberapa obat

dihubungkan dengan hemolisis akut pada penderita defisiensi G6PD ( Tabel 1). Obat-

obat spesifik penyebab langsung krisis hemolisis penderita defisiensi G6PD sulit di-

tentukan dengan tepat. Pertama, suatu obat yang dinyatakan aman untuk satu penderita

defisiensi G6PD belum tentu aman untuk penderita lain, mungkin karena perbedaan

farmakokinetik tiap individu. Kedua, obat yang memiliki efek oksidan sering diberikan

pada pasien dengan keadaan klinis (misalnya infeksi) yang dapat menyebabkan hemolisis.

Ketiga, pasien mengkonsumsi lebih dari satu jenis obat. Keempat, hemolisis pada

defisiensi G6PD biasanya sembuh sendiri, tidak menyebabkan anemia dan retikulo-

sitosis yang signifikan

Anemia Hemolitik Terinduksi Infeksi Infeksi merupakan penyebab

hemolisis tersering pada penderita defisiensi G6PD. Beberapa infeksi yang

dapat mencetuskan- nya antara lain infeksi virus Hepatitis A dan B,

Cytomegalovirus, pneumonia dan demam tifoid. Beratnya hemolisis dipengaruhi

oleh beberapa faktor antara lain pemberian obat, fungsi hati dan usia. Pada

hemolisis berat, transfusi darah segera memperbaiki luaran. Komplikasi serius

akibat infeksi virus hepatitis pada penderita defisiensi G6PD adalah gagal ginjal

Page 11: Anemia Malaria

akut; dapat disebabkan nekrosis tubular akut akibat iskemi ginjal maupun

obstruksi tubular karena hemoglobin cast. Beberapa pasien mungkin

memerlukan hemodialisis.1-3

Favisme

Konsumsi fava beans/kacang fava dapat menyebabkan hemolisis dan kondisi ini

disebut favisme. Favisme ditemukan di negara-negara Mediterania, Timur

Tengah dan Afrika Utara, tidak ditemukan di Indonesia. Tidak semua penderita

defisiensi G6PD yang memakan kacang fava menderita favisme, dapat terjadi

respons berbeda- beda dari individu yang sama tergantung kesehatan pasien

dan jumlah kacang fava yang dikonsumsi. Divicine, isouramil dan convicine

diperkirakan sebagai bahan toksik dari kacang fava yang meningkatkan aktivitas

hexose monophosphate shunt, sehingga menyebabkan hemolisis pada penderita

defisiensi G6PD.1-3

Favisme menyebabkan anemia hemolitik akut, biasanya 24 jam setelah kacang fava

dikonsumsi. Hemoglobinuria yang muncul lebih berat dibanding yang disebabkan oleh

induksi obat maupun infeksi meskipun kadar bilirubinnya lebih rendah. Hemolitik akibat

favisme dapat terjadi intravaskular maupun ekstravaskular dan dapat menyebabkan gagal

ginjal akut.