kasus anemia

Upload: aan-sahputra

Post on 10-Jul-2015

191 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Salam sahabat

Studi kasus kontrol Anemia Ibu hamil (Jurnal Medika Unhas)Posted on May 24, 2007. Filed under: artikel ilmiah | STUDI KASUS KONTROL FAKTOR BIOMEDIS TERHADAP KEJADIAN ANEMIA IBU HAMIL DI PUSKESMAS BANTIMURUNG STUDI KASUS KONTROL FAKTOR BIOMEDIS TERHADAP KEJADIAN ANEMIA IBU HAMIL DI PUSKESMAS BANTIMURUNG MAROS TAHUN 2004Ridwan Amiruddin1, Wahyuddin2 1Staf Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas; 2 Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat -UIT. RINGKASAN Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan faktor umur ibu, ANC, jarak kelahiran, paritas dan keluhan ibu hamil terhadap kejadian anemia di wilayah puskesmas Bantimurung. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus kelola dengan sampel ibu hamil dan bersalin sebanyak 128 responden yang diambil secara purposive sampling. Uji statistik yang digunkan adalah analisis Odds Ratio, dan logistik regresi. Hasil penelitian yang diperoleh sekitar 83.6 % responden mengalami anemia, dengan ANC sebagian besar kurang dari 4 kali (72.7%). Hasil analisis bivariat ditemukan banhwa ANC tidak signifikan terhadap anemia, OR. 1.251 (95%CI.0.574-2.729), demikian juga dengan keluhan dengan OR 1.354, 95 % CI. 0.673-2.725. begitu juga paritas kurang dari satu dan lebih 4 tidak berefek terhadap anemia pada ibu hamil dengan OR 1.393 , 95%CI.0.474-4.096. Sedangkan jarak kelahiran bermakna terhadap kejadian anemia dengan OR 2.343, 95% CI.1.146-4.790. dan variabel Umur dengan OR 2.801, 95% CI 1.089-7.207. Kesimpulan variabel yang berhubungan adalah jarak kelahiran dan umur ibu hamil, sedangkan variabel paritas, ANCdan adanya keluhan tidak bermakna. Dengan demikian maka disarankan bahwa untuk menekan kejadian anemia dengan berbagai dampaknya maka pengaturan jarak kelahiran sangat diperlukan melalui perencanaan kelahiran melalui keluarga berencana, begitu juga dengan umur ibu, sangat penting untuk diperhatikan melahirkan pada usia 20- 35 tahun. (J Med Nus. 2004; 25:71-75) SUMMARY In pregnancy women, anemic increases the frequency of complication to the pregnancy and delivery. Risk of maternal mortality, prematurity number, low birth weight, and prenatal mortality are increase. This research intend to identify the relation factors of maternal age, ANC, delivery expanse, parity and maternal complain to the occurrence of anemic in Bantimurung public health service. Method of the research was case control study with samples consist of 128 respondents of pregnant and delivery women taken purposively sampling. Statistical test was Odds ratio and regression logistic. Result of the research obtained that approximately 83.6% respondents undergoes anemic with ANC mostly less than 4 times (72.7%). Bivariate analysis shows that ANC insignificant to anemic undergoes,

OR. 1.251 (95% Cl. 0.574-2.729), as well as maternal complain with OR 1.354, 95% Cl. 0.673-2.725 and parity less than one and more than four insignificant with anemic undergoes with OR 1.393, 95% Cl 0.474-4.096. Meanwhile deliveries expanse significant with anemic undergoes with OR 2.801, 95% Cl 1.146-4.790 and age variable with OR 2.801, 95% Cl 1.089-7.207. It terminates that the variables related with anemic undergoes were deliveries expanse and maternal age, meanwhile the variables of parity, ANC and maternal complain insignificant. It is suggested in a manner to diminish anemic undergoes with all of its impact is with dispose deliveries expanse trough family planning, as well as maternal age as a main factors to notice, to deliver in age of 25-35 years old. (J Med Nus. 2004; 25:71-75) LATAR BELAKANG Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping menunjukkan derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan kehamilan. Penyebab kematian langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa memperhatikan latar belakang (underlying factor), yang mana bersifat medik maupun non medik. Di antara faktor non medik dapat disebut keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga, pendidikan ibu, lingkungan hidup, perilaku, dan lain-lain. Kerangka konsep model analisis kematian ibu oleh Mc Carthy dan Maine menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat diturunkan secara tidak langsung dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai efek terhadap salah satu dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan perilaku reproduksi, status kesehatan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan.1 Ketiga hal tersebut akan berpengaruh pada tiga hasil akhir dalam model yaitu kehamilan, timbulnya komplikasi kehamilan/persalinan dan kematian ibu. Dari model Mc Carthy dan Maine tersebut dapat dilihat bahwa setiap upaya intervensi pada faktor tidak langsung harus selalu melalui faktor penyebab yang langsung. 2 Status kesehatan ibu, menurut model Mc Carthy dan Maine 1 merupakan faktor penting dalam terjadinya kematian ibu. Penyakit atau gizi yang buruk merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan ibu. Rao (1975) melaporkan bahwa salah satu sebab kematian obstetrik tidak langsung pada kasus kematian ibu adalah anemia.3,4 Grant 5 menyatakan bahwa anemia merupakan salah satu sebab kematian ibu, demikian juga WHO 6b menyatakan bahwa anemia merupakan sebab penting dari kematian ibu. Penelitian Chi, dkk 7 menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu.8 Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah.9 Soeprono.10 menyebutkan bahwa dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan stres kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian perinatal, dan lainlain).10 Prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia berkisar 20-80%, tetapi pada umumnya banyak penelitian yang menunjukkan prevalensi anemia pada wanita hamil yang lebih besar

dari 50%. Juga banyak dilaporkan bahwa prevalensi anemia pada trimester III berkisar 5079%.11 Affandi 12 menyebutkan bahwa anemia kehamilan di Indonesia berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 1990 adalah 60%. Penelitian selama tahun 1978-1980 di 12 rumah sakit pendidikan/rujukan di Indonesia menunjukkan prevalensi wanita hamil dengan anemia yang melahirkan di RS pendidikan /rujukan adalah 30,86%. Prevalensi tersebut meningkat dengan bertambahnya paritas.9 Hal yang sama diperoleh dari hasil SKRT 1986 dimana prevalensi anemia ringan dan berat akan makin tinggi dengan bertambahnya paritas.13 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan secara global 55% dimana secara bermakna tinggi pada trimester ketiga dibandingkan dengan trimester pertama dan kedua kehamilan.6a Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Oleh karena itu anemia gizi pada masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi Hal ini juga diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992 bahwa sekitar 70 % ibu hamil di Indonesia menderita anemia gizi. Indonesia, prevalensi anemia tahun l970an adalah 46,570%. Pada SKRT tahun 1992 dengan angka anemia ibu hamil sebesar 63,5% sedangkan data SKRT tahun 1995 turun menjadi 50,9%. Pada tahun 1999 didapatkan anemia gizi pada ibu hamil sebesar 39,5%. Propinsi Sulawesi Selatan berdasarkan SKRT pada tahun 1992 prevalensi anemia gizi khususnya pada ibu hamil berkisar 45,5 71,2% dan pada tahun 1994 meningkat menjadi 76,17% 14,3 % di Kabupaten Pinrang dan 28,7% di Kabupaten Soppeng dan tertinggi adalah di Kabupaten Bone 68,6% (1996) dan Kabupaten Bulukumba sebesar 67,3% (1997). Sedangkan laporan data di Kabupaten Maros khususnya di Kecamatan Bantimurung anemia ibu hamil pada tahun 1999 sebesar 31,73%, pada tahun 2000 meningkat menjadi 76,74% dan pada tahun 2001 sebesar 68,65%. Prevalensi anemia yang tinggi dapat membawa akibat negatif seperti: 1) gangguan dan hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak, 2) Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Pada ibu hamil dapat mengakibatkan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi yang dilahirkan. Studi di Kualalumpur memperlihatkan terjadinya 20 % kelahiran prematur bagi ibu yang tingkat kadar hemoglobinnya di bawah 6,5gr/dl. Studi lain menunjukkan bahwa risiko kejadian BBLR, kelahiran prematur dan kematian perinatal meningkat pada wanita hamil dengan kadar hemoglobin kurang dari 10,4 gr/dl. Pada usia kehamilan sebelum 24 minggu dibandingkan kontrol mengemukakan bahwa anemia merupakan salah satu faktor kehamilan dengan risiko tinggi. Sumber : Data primer METODE PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN DAN UNIT ANALISIS Penelitian ini menggunakan desain studi kasus kelola untuk melihat gambaran status kesehatan ibu hamil serta faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah kesehatan tersebut. Instrument studi terdiri dari kuesioner, serta formulir pemeriksaan ibu hamil, Unit analisis adalah ibu hamil dan ibiu nifas yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Bantimurung kab. Maros. B.POPULASI DAN SAMPEL 1. Populasi Populasi rujukan adalah semua ibu hamil yang ada di wilayah kerja Puskesmas Bantimurung kabupaten Maros pada periode Agustus September 2004. 2. Sampel

Sampel adalah ibu hamil dan ibu bersalin yang berada di wilayah kerja Puskesmas Bantimurung Kab. Maros pada saat penelitian dilaksanakan. Sampel diambil secara purposive sampling, dengan jumlah sampel yang berhasil diperoleh sebanyak 128 ibu hamil. C. PENGOLAHAN, DAN ANALISIS DATA 1. Pengolahan Data Sumber : Data Primer Tabel 1. menunjukkan bahwa analisis Hubungan ANC dengan kejadian anemia yang paling banyak menderita anemia adalah responden dengan ANC < 4 kali dengan jumlah 53 (57.0%) orang dan terendah pada responden dengan ANC 4 kali sebanyak 18 orang (51.4%). Hasil analisis uji statistik diperoleh nilai OR sebesar 1.251 dengan nilai lower 0.574 dan upper 2.729. 2. Keluhan dengan Anemia Tabel 2. Analisis Keluhan dengan Kejadian Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung Kabupaten Maros Tahun 2004 Tabel 2 menunjukkan analisis hubungan keluhan dengan kejadian anemia dan responden yang paling banyak menderita anemia adalah yang memiliki keluhan dengan jumlah 39 (59,1%) orang dan terendah pada responden yang tidak memiliki keluhan dengan jumlah 32 51.6%)orang. Hasil analisis uji statistik diperoleh nilai OR sebesar 1.354 dengan nilai lower 0.673 dan upper 2.725. 3. Paritas dengan Anemia Tabel 3. Analisis Paritas dengan Kejadian Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung Kabupaten Maros Tahun 2004 Sumber : Data Primer Tabel 3. menunjukkan analisis hubungan paritas dengan kejadian anemia dan responden yang paling banyak menderita anemia adalah pada paritas 2-3 dengan jumlah 61 (62.5%) orang dan terendah pada responden yang paritas < 1/>4 dengan jumlah 10 (54.5%)orang. Hasil analisis uji statistik diperoleh nilai OR sebesar 1.393 dengan nilai lower 0.474 dan upper 4.096. 4.Jarak Kelahiran dengan Anemia Tabel 4. Analisis Jarak Kelahiran dengan Kejadian Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung Kabupaten Maros Tahun 2004

Sumber : Data Primer Tabel 4. menunjukan analisis hubungan jarak kelahiran dengan kejadian anemia dan responden yang paling banyak menderita anemia adalah responden dengan jarak kelahiran < 2 tahun sebanyak 41 (66,1%) orang dan terendah pada responden dengan jarak kelahiran 2 tahun sebanyak 30 (45.5%) orang. Hasil analiis uji statistik diperoleh nilai OR sebesar 2.343 dengan nilai lower 1.146 dan upper 4.790. 5.Umur Ibu dengan Anemia Tabel 5. Analisis umur ibu dengan Kejadian Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung Kabupaten Maros Tahun 2004

Sumber : Data Primer Tabel 5. menunjukan analisis hubungan umur ibu dengan kejadian anemia dan responden yang paling banyak menderita anemia adalah responden dengan umur < 20 tahun dan >35 tahun sebanyak 20 (74,1%) orang dan pada umur 20-35 tahun sebanyak 51 (50.5%) orang yang menderita anemia. Hasil analiis uji statistik diperoleh nilai OR sebesar 2.801 dengan nilai lower 1.089 dan upper 7.207. B. Analisis Multivariat Tabel 6 : Analisis Regresi Logistik Antara Jarak Kelahiran dan Umur Penderita di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung Kabupaten Maros Tahun 2004

Sumber : Data Primer Tabel 6. menunjukkan analisis hubungan Regresi logistik antara jarak kelahiran dan umur penderita diwilayah kerja puskesmas Bantimurung. Dan menunjukkan bahwa dari dua variabel yang memiliki risiko kejadian anemia setelah dilakukan uji lebih lanjut diperoleh bahwa umur memilki pengaruh lebih besar terhadap kejadian anemia. C. Pembahasan 1. A N C dengan kejadian anemia. Antenatal care adalah pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan janinnya oleh tenaga professional meliputi pemeriksaan kehamilan sesuai dengan standar pelayanan yaitu minimal 4 kali pemeriksaan selama kehamilan, 1 kali pada trimester satu, 1 kali pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Dengan pemeriksaan ANC kejadian anemia pada ibu dapat dideteksi sedini mungkin sehingga diharapkan ibu dapat merawat dirinya selama hamil dan mempersiapkan persalinannya. Hasil analisis hububgan ANC dengan kejadian anemia didapatkan OR sebesar 1,251 dengan nilai lower 0,574 dan nilai upper 2,729, oleh karena nilai 1 berada diantara batas bawah dan batas atas maka tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemeriksaan ANC dengan

kejadian anemia pada ibu hamil. 2. Keluhan selama hamil Kehamilan adalah peristiwa alami yang melibatkan perubahan fisik dan emosional dari seorang ibu, utamanya pada umur kehamilan 1 3 bulan pertama kebanyakan ibu hamil mengalami beberapa keluhan seperti pusing, mual, kadang kadang muntah. Keadaan ini akan berlangsung sementara dan biasanya hilang dengan sendirinya pada kehamilan lebih dari 3 bulan. Dari hasil analisis hubungan keluhan selama hamil dengan kejadian anemia didapatkan nilai 1 berada antara batas bawah dan batas atas yaitu nilai lower 0,673 dan nilai upper 2,725, maka tidak terdapat hubungan antara faktor keluhan ibu selama hamil dengan kejadian anemia. 3. Parietas Parietas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami anemia pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi.Karena selama hamil zat zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang dikandungnya. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara parites dengan kejadian anemia pada ibu hamil, karena nilai 1 berada antara batas bawah dan batas atas dengan OR sebesar 1,393 dan nilai lower 0,474 dan nilai upper 4,096. 4. Jarak Kelahiran. Jarak kelahiran adalah waktu sejak ibu hamil sampai terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya anemia. Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan zat zat gizi belum optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung. Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa reponden paling banyak menderita anemia pada jarak kehamilan < 2 tahun. Hasil uji memperlihatkan bahwa jarak kelahiran mempunyai risiko lebih besar terhadap kejadian anemia, karena nilai 1 berada antara batas bawah dan batas atas dengan OR sebesar 2,343 dengan nilai lower 1,146 dan nilai upper 4,790. 5. Umur Umur seorang ibu berkaitan dengan alat alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang sehat dan aman adalah umur 20 35 tahun. Kehamilan diusia < 20 tahun dan diatas 35 tahun dapat menyebabkan anemia karena pada kehamilan diusia < 20 tahun secara biologis belum optimal emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa diusia ini. Hasil analisis didapatkan bahwa umur ibu pada saat hamil sangat berpengaruh terhadap kajadian anemia, dengan OR sebesar 2,801 dengan nilai lawer 1,089 dan nilai upper 7,207. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis status kesehatan ibu hamil di Kecamatan Bantimurung Kab Maros didapatkan 1. Umur ibu kurang dari 20 tahun dan lebih 35 tahun berisiko lebih besar untuk menderita anemia 2. ANC ibu hamil kurang dari 4 kali tidak berisiko untuk menderita anemia 3. Jarak kelahiran kurang dari dua tahun berisiko lebih besar untuk menderita anemia 4. Paritas > 3 orang tidak berisiko lebih besar untuk menderita anemia 5. Adanya keluhan tidak berisiko lebih besar untuk menderita anemia. B. SARAN 1. Perencanaan kehamilan/persalinan sangat penting dilaksanakan pada umur 20 sampai

35 tahun, untuk menekan kejadian anemia pada ibu hamil. 2. Program KB sangat diperlukan untuk mengatur jarak kelahiran sehingga kelahiran berikutnya dapat lebih dari dua tahun. 3. Meskipun secara statistik ANC tidak bermakna, namun tetap sangat diperlukan adanya kunjungan yang teratur bagi ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya, sebagai upaya deteksi dini kelainan kehamilan. 4. Perlu penelitian lanjutan terhadap variabel lain yang belum diteliti dalam penelitian ini, misalnya kebiasaan ibu serta faktor sosial budaya yang lain.

KASUS ANEMIA ANEMIA Pasien wanita 50 tahun datang menemui dokter dan mengeluhkan lelah, sesak nafas, kaki dan pergelangan kakinya bengkak dan membran mukosanya pucat. Dari hasil pemeriksaan fisik terlihat bahwa kuku pasien berbentuk sendok. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium diperoleh hasil sbb: WBC 4x109 /L RBC 3 x 109/L Hb 7 g/dL MVC 70 fL Berdasarkan hasil pemeriksaan labor ini, dokter mendiagnosa pasien ini mengalami anemia difisiensi besi. Karena nilai MVC dan Hb nya yang rendah. Pertanyaan: 1. Apakah yang dimaksud dengan anemia defisiensi besi 2. Apakah penyebab anemia defisiensi besi? 3. Apakah gejala anemia defisiensi besi? 4. Bagaimana penataksanaan pasien ini 5. Apa yang harus diinformasikan kepada pasien atau keluarga pasien? Jawaban : 1. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh berkurang sel darah merah karena komponen pembentuknya (besi ) juga berkurang. 2. Penyebabnya adalah: kehilangan darah dari saluran cerna atau urogenital, kebutuhan besi yang meningkat pada saat kehamilan juga bisa menyebabkan anemia ini, perempuan premenepouse, malabsorbsi akibat penyakit seliaka. Malbasorbsi karena kurangnya asupan, di daerah barat jarang terjadi. 3. Gejala: lelah, sesak nafas, kaki dan pergelangan kaki bengkak, membran mukosa pucat stomatitis angularis, glostisis, dan yang jarang terjadi koilonikia, kuku berbentuk sendok. 4. Berikan besi per oral untuk menggantikan dan memulihkan simpanan besi tubuh. Sebaiknya diberikan sampai MCV dan Hb mencapai nilai normal, kemudian dilanjutkan selama 3 bulan lagi untuk mencapai simpanan besi yang memadai. Untuk dosis pengobatan yang digunakan adalah 2-4 x 300 mg per hari dan untuk pencegahan 300 mg/hari. 5. Informasi kepada pasien: hindari pemakaian bersama obat gastritis, antibiotik tetrasiklin. Pada saat menggunakan obat hindari bersama makanan berikut ; Sereal, serat makanan, teh, kopi, telur dan susu akan menurunkan absorpsi

KASUS 3 (ANEMIA) An.B umur 3 tahun diRSDS dengan keluhan malaise, kurang nafsu makan, pada pemeriksaan fisik didapatkan: konjungtiva anemis, asites (+), BB=10Kg, TTV=P=60x/menit, RR=25x/menit, suhu=39^C. Pada pemeriksaan diagnostic didapatkan Hb=3gr/dl, WBC=3000ul, RBC=5gr/dl, albumin=2.3gr/dl. Ini yang kesekian kalinya klien dirawat, dan menjalani transfuse sebulan 3 kali. Ibu klien tampak gelisah, setiap perawat atau dokter mendekati anaknya ia selalu melontarkan pertanyaan yang sama walaupun sudah dijelaskan berkali-kali , sehingga memancinf kejengkelan. Pada kali kesekian ibu klien bertanya lagi dan marahlah peraway padanya.

SOAL PEMICU KASUS ANEMIA:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Jelaskan proses hemopoesis dan umur eritrosit Analisis penyebab masalah diatas dan dampaknya terhadap kesehatan individu Data apakah yang perlu ditelusuri untuk melengkapi pengkajian pada kasus 3 Pemeriksaan diagnostic apakah yang diperlukan dalam kasus ini Rumuskan diagnose keperawatan pada kasus 3 Susun NCP Jelaskan prinsip legal dan etik yang harus dilakukan saat melakukan transfuse (peran perawat)

8.

Mengapa terjadi perubahan prilaku pada orang tua kllien dan etiskah tindakan perawat dengan memarahinya

JAWABAN: Proses hemopoiesis 1. Hematopoiesis adalah proses pembentukan sel darah Hematopoiesis = proses produksi dan perkembangan sel darah Induk sel darah = steam sel Hematopoitik steam sel Fungsi : memproduksi sel darah untuk mengganti sel yang rusak/mati. TEORI PEMBENTUKAN DARAH :

1.

TEORI MONOFILATIK

Dimana sel darah berasal dari satu sel induk. Dimana sel-sel mesenkim berubah menjadi hemohistioblast bergranula (hemahitioblast myeloid) : mieloblast, eritroblast, megakarioblast. Tidak bergranula (hemohistioblast limfoid) : limfoblast, monoblast. Neomonofilaktik (monofiletik yang baru); Oleh Dounrey, dimana sel mesenkim Mieloblast, megakarioblast, promegakariosit, limfoblast, pronormobast. 2. POIFILEKTIK Masing-masing sel darah mempunyai induk steam sel yang tertentu dan terpisah satu sama lain. Sel2 mesenkim itu masing-masing : mieloblast, proeritrosit, eritroblast, megakarioblast, RES (Retikulo Endotelia Sytem) 3. a. b. TEORI KOMBINASI ANTARA MONOFILEKTIK DAN POLIFILEKTIK Duofilektik (oleh Erlich) : Sel Mesenkim mieloblast dan limfoblast Triofilektik (Nargali) : Sel Mesenkim mieloblast, pronormoblast, limfoblast. Masingmasing dari ketiga teori di atas, steam sel mengalami regulasi (pengaturan) dengan proliferasi dan deferensiasi menjadi Eritropoietin, Lekopoietein, Trombipoietin. Umur eritrosit = 105-120 hari

2.

a. Malaise Malaise hubungannya dengan anemia adalah malaise meningkatkan suhu tubuh sehingga pembentukan sel darah merah menurun yang ditandai dengan suhu pada pasien 39C.

b. kurang nafsu makan mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah.

3. a. b. c. d. e. f. 4.

Data yang mendukung : TB Kadar Fe Kulit pucat, letih, lesu, lemah, lelah dan lalai. Eritrosit dan leukosit Tes schilling Folat serum dan vitamin B12 a. Jumlah eritrosit dan leukosit b. Jumlah retikulosit c. SDP d. Tes Schilling

5. a. b. c. 6. 1.

DIAGNOSA KEPERAWATAN Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien. Intoleran aktifitas b/d ketidakseimbangan antara suplay oksigen dan kebutuhan Kurang pengetahuan b/d kurangnya pengetahuan mengenai anemia. NCP Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien. Intervensi :

Timbang berat badan tiap hari Rasional: memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan terapi.

Dorong tirah baring dan/ pembatasan aktifitas selama fase sakit akut Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan simpanan energi.

Anjurkan istirahat sebelum makan Rasional: Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan.

Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan, dengan situasi tidak terburu-buru, temani. Rasional: Lingkungan yang menyenangkan, menurunkan stress, dan lebih kondusif untuk makan.

2.

Intoleran aktifitas b/d ketidakseimbangan antara suplay oksigen dan kebutuhan Intervensi:

Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas/AKS normal. Rasional: mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.

Kaji kehilangan/ gangguan keseimbangan gaya jalan, kelemahan otot. Rasional: menunujukan perubahan neorologi karena defisiensi vit B12 mempengaruhi keamanan pasien/ resiko cidera.

Awasi TD, Nadi, Pernapasan, selama dan sesudah aktifitas. Rasional: manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat kejaringan.

Berikan lingkungan tenang, pertahankan tirah baring bila diindikasikan. Rasional: meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan tegangan jantung dan paru.

Anjurkan pasien untuk menghentikan aktifitas bila palpitasi, nyeri dada, nafas pendek,

kelemahan,/pusing terjadi. Rasional: regangan / stress kardiopulmonal berlebihan/ stress dapat menimbulkan dekompensasi/kegagalan. 3. Kurang pengetahuan tentang prognosis, dan kebutuhan pengobatan b/d tidak mengenal informasi. Intervensi: Berikan informasi tentang anemia spesifik. Rasional: memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat. Peringatkan tentang kemungkinan reaksi sistemik. Rasional: kemungkinan efek samping terapi memerlukan evaluasi ulang untuk pilihan dan dosis obat. 7. PRINSIP LEGAL DAN ETIK : 1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi aktif atau pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan kematian seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama sekali atau tindakan pendukung kehidupan lainnya yang dapat mempercepat kematian seseorang. Batas kedua tindakan tersebut kabur bahkan seringkali merupakan yang tidak relevan. 2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda, diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek sekunder untuk mempercepat kematiannya. 3. Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non maleficence) dapat dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri klien merupakan tindakan yang bermanfaat, namun peningkatan dosis yang mempercepat kematian klien dapat dipandang sebagai tindakan yang berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat membahayakan klien, dan tidak mempercepat kematian klien merupakan tindakan yang tepat (doing good). 8. Menurut Kaplan dan Sadock (1997), factor yang mem-pengaruhi kecemasan pasien antara lain : a. Faktor-faktor intrinsik, antara lain: 1) Usia pasien Menurut Kaplan dan Sadock (1997) gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Sebagian besar

kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun. 2) Pengalaman pasien men-jalani pengobatan Kaplan dan Sadock (1997) mengatakan pengalaman awal pasien dalam pengobatan merupakan pengalaman-penga laman yang sangat berharga yang terjadi pada individu terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari. Apabila penga laman individu tentang kemo terapi kurang, maka cenderung mempengaruhi peningkatan ke cemasan saat menghadapi tindakan kemote rapi. 3) Konsep diri dan peran Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu terhadap dirinya dan mem pengaruhi individu berhu bungan dengan orang lain. Menurut Stuart & Sundeen (1991) peran adalah pola sikap perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran yang dijalaninya. Juga keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran. Disamping itu pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, jadi setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisinya pada setiap waktu. Pasien yang mempunyai peran ganda baik didalam keluarga atau di masyarakat ada kecenderungan mengalami kecemasan yang berlebih disebabkan konsentrasi terganggu. b. Faktor-faktor ekstrinsik, antara lain: 1) Kondisi medis (diagnosis penyakit) Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis sering ditemukan walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing kondisi medis, misalnya: pada pasien sesuai hasil pemeriksaan akan mendapatkan diagnosa pembedahan, hal ini akan mempengaruhi tingkat kecema san klien. Sebaliknya pada pasien yang dengan diagnosa baik tidak terlalu mempengaruhi tingkat kecemasan 2) Tingkat pendidikan Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing-masing. Pendidikan pada umumnya ber guna dalam merubah pola piker, pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan (Noto atmodjo, 2000). Tingkat pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam mengiden tifikasi stresor dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi

kesadaran dan pemahaman terhadap stimulus (Jatman,2000). 3) Akses informasi Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk pendapatnya berdasarkan se suatu yang diketahuinya. Infor masi adalah segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan kemote rapi terdiri dari tujuan kemote rapi, proses kemoterapi, resiko dan komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses adminitrasi (Smeltzer & Bare, 2001). 4) Proses adaptasi Kozier and Oliveri (1991) menga takan bahwa tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal yang dihadapi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Pasien Dalam (Umi Lutfa dan Arina Maliya) 189 individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus. Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan dari sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Perawat merupakan sumber daya yang tersedia di lingkungan rumah sakit yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu pasien mengembalikan atau mencapai ke seimbangan diri dalam meng hadapi lingkungan yang baru. 5) Tingkat sosial ekonomi Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik. Berdasarkan hasil penelitian Durham diketahui bahwa masyarakat kelas sosial ekonomi rendah prevalensi psikiatriknya lebih banyak. Jadi keadaan ekonomi yang rendah atau tidak memadai dapat mempengaruhi peningkatan ke cemasan pada klien menghadapi tindakan kemoterapi. 6) Jenis tindakan kemoterapi Adalah klasifikasi suatu tindakan terapi medis yang dapat men datangkan kecemasan kare na terdapat ancaman pada inte gritas tubuh dan jiwa seseorang (Long, 1996). Semakin mengetahui tentang tindakan kemote rapi, akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien kemoterapi. 7) Komunikasi terapeutik Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat maupun pasien. Terlebih bagi pasien yang akan menjalani proses kemoterapi. Hampir sebagian besar pasien yang menjalani kemoterapi mengalami kece masan. Pasien sangat mem butuhkan penjelasan yang baik dari perawat. Komunikasi yang baik diantara mereka akan menen tukan tahap kemoterapi selan jutnya. Pasien yang cemas saat akan menjalani kemoterapi ke mungkinan mengalami efek yang tidak menyenangkan bahkan akan membahayakan. Dampak kecemasan terhadap sistem saraf

sebagai neuro transmitter terjadi peningkatan sekresi kelenjar norepinefrin, sero tonin, dan gama aminobuyric acid sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan: a) fisik (fisiologis), antara lain perubahan denyut jantung, suhu tubuh, pernafasan, mual, muntah, diare, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, berat badan menurun ekstrim, kelelahan yang luar biasa; b) gejala gangguan tingkah laku, antara lain aktivitas psikomotorik bertambah atau berkurang, sikap menolak, berbicara kasar, sukar tidur, gerakan yang aneh-aneh; c) gejala gangguan mental, antara lain kurang konsentrasi, pikiran meloncat - loncat, kehilangan kemampuan per sepsi, kehilangan ingatan, phobia, ilusi dan halusinasi. Tidak etis, karena kondisi ibu pasien dalam keadaan gelisah, sehingga memicu kecemasaan pasien. Seharusnya, memberikan penjelasan pada klien harus dalam keadaan tenang. Menurut kode etik keperawatan Indonesia, perawat dan klien : 1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial. 2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien. 3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan. 4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. KASUS 3 (ANEMIA) An.B umur 3 tahun diRSDS dengan keluhan malaise, kurang nafsu makan, pada pemeriksaan fisik didapatkan: konjungtiva anemis, asites (+), BB=10Kg, TTV=P=60x/menit, RR=25x/menit, suhu=39^C. Pada pemeriksaan diagnostic didapatkan Hb=3gr/dl,

WBC=3000ul, RBC=5gr/dl, albumin=2.3gr/dl. Ini yang kesekian kalinya klien dirawat, dan menjalani transfuse sebulan 3 kali. Ibu klien tampak gelisah, setiap perawat atau dokter mendekati anaknya ia selalu melontarkan pertanyaan yang sama walaupun sudah dijelaskan berkali-kali , sehingga memancinf kejengkelan. Pada kali kesekian ibu klien bertanya lagi dan marahlah peraway padanya. SOAL PEMICU KASUS ANEMIA:

1. Jelaskan proses hemopoesis dan umur eritrosit 2. Analisis penyebab masalah diatas dan dampaknya terhadap kesehatan individu 3. Data apakah yang perlu ditelusuri untuk melengkapi pengkajian pada kasus 3 4. Pemeriksaan diagnostic apakah yang diperlukan dalam kasus ini 5. Rumuskan diagnose keperawatan pada kasus 3 6. Susun NCP 7. Jelaskan prinsip legal dan etik yang harus dilakukan saat melakukan transfuse (peran perawat) 8. Mengapa terjadi perubahan prilaku pada orang tua kllien dan etiskah tindakan perawat dengan memarahinya JAWABAN: Proses hemopoiesis 1. Hematopoiesis adalah proses pembentukan sel darah Hematopoiesis = proses produksi dan perkembangan sel darah Induk sel darah = steam sel Hematopoitik steam sel Fungsi : memproduksi sel darah untuk mengganti sel yang rusak/mati. TEORI PEMBENTUKAN DARAH : 1. TEORI MONOFILATIK

Dimana sel darah berasal dari satu sel induk. Dimana sel-sel mesenkim berubah menjadi hemohistioblast bergranula (hemahitioblast myeloid) : mieloblast, eritroblast, megakarioblast. Tidak bergranula (hemohistioblast limfoid) : limfoblast, monoblast.

Neomonofilaktik (monofiletik yang baru); Oleh Dounrey, dimana sel mesenkim Mieloblast, megakarioblast, promegakariosit, limfoblast, pronormobast. 2. POIFILEKTIK Masing-masing sel darah mempunyai induk steam sel yang tertentu dan terpisah satu sama lain. Sel2 mesenkim itu masing-masing : mieloblast, proeritrosit, eritroblast,

megakarioblast, RES (Retikulo Endotelia Sytem) 3. a. TEORI KOMBINASI ANTARA MONOFILEKTIK DAN POLIFILEKTIK Duofilektik (oleh Erlich) : Sel Mesenkim mieloblast dan limfoblast

b. Triofilektik (Nargali) : Sel Mesenkim mieloblast, pronormoblast, limfoblast. Masing-masing dari ketiga teori di atas, steam sel mengalami regulasi (pengaturan) dengan proliferasi dan deferensiasi menjadi Eritropoietin, Lekopoietein, Trombipoietin.

Umur eritrosit = 105-120 hari 2. a. Malaise Malaise hubungannya dengan anemia adalah malaise meningkatkan suhu tubuh sehingga pembentukan sel darah merah menurun yang ditandai dengan suhu pada pasien 39C. b. kurang nafsu makan mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah. 3. Data yang mendukung : a. TB

b. Kadar Fe c. Kulit pucat, letih, lesu, lemah, lelah dan lalai.

d. Eritrosit dan leukosit e. f. Tes schilling Folat serum dan vitamin B12

4. a. Jumlah eritrosit dan leukosit b. Jumlah retikulosit c. SDP d. Tes Schilling 5. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien. b. Intoleran aktifitas b/d ketidakseimbangan antara suplay oksigen dan kebutuhan c. 6. Kurang pengetahuan b/d kurangnya pengetahuan mengenai anemia. NCP

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien. Intervensi : Timbang berat badan tiap hari Rasional: memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan terapi. Dorong tirah baring dan/ pembatasan aktifitas selama fase sakit akut Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan simpanan energi. Anjurkan istirahat sebelum makan Rasional: Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan, dengan situasi tidak terburu-buru, temani.

Rasional: Lingkungan yang menyenangkan, menurunkan stress, dan lebih kondusif untuk makan.

2. Intoleran aktifitas b/d ketidakseimbangan antara suplay oksigen dan kebutuhan Intervensi: Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas/AKS normal. Rasional: mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan. Kaji kehilangan/ gangguan keseimbangan gaya jalan, kelemahan otot. Rasional: menunujukan perubahan neorologi karena defisiensi vit B12 mempengaruhi keamanan pasien/ resiko cidera. Awasi TD, Nadi, Pernapasan, selama dan sesudah aktifitas. Rasional: manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat kejaringan. Berikan lingkungan tenang, pertahankan tirah baring bila diindikasikan. Rasional: meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan tegangan jantung dan paru. Anjurkan pasien untuk menghentikan aktifitas bila palpitasi, nyeri dada, nafas pendek, kelemahan,/pusing terjadi. Rasional: regangan / stress kardiopulmonal berlebihan/ stress dapat menimbulkan dekompensasi/kegagalan. 3. Kurang pengetahuan tentang prognosis, dan kebutuhan pengobatan b/d tidak mengenal informasi. Intervensi: Berikan informasi tentang anemia spesifik. Rasional: memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat. Peringatkan tentang kemungkinan reaksi sistemik. Rasional: kemungkinan efek samping terapi memerlukan evaluasi ulang untuk pilihan dan dosis obat. 7. PRINSIP LEGAL DAN ETIK : 1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi aktif atau pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan kematian seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama sekali atau tindakan pendukung kehidupan lainnya yang

dapat mempercepat kematian seseorang. Batas kedua tindakan tersebut kabur bahkan seringkali merupakan yang tidak relevan. 2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda, diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek sekunder untuk mempercepat kematiannya. 3. Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non maleficence) dapat dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri klien merupakan tindakan yang bermanfaat, namun peningkatan dosis yang mempercepat kematian klien dapat dipandang sebagai tindakan yang berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat membahayakan klien, dan tidak mempercepat kematian klien merupakan tindakan yang tepat (doing good). 8. Menurut Kaplan dan Sadock (1997), factor yang mem-pengaruhi kecemasan pasien antara lain : a. Faktor-faktor intrinsik, antara lain: 1) Usia pasien Menurut Kaplan dan Sadock (1997) gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Sebagian besar kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun. 2) Pengalaman pasien men-jalani pengobatan Kaplan dan Sadock (1997) mengatakan pengalaman awal pasien dalam pengobatan merupakan pengalaman-penga laman yang sangat berharga yang terjadi pada individu terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari. Apabila penga laman individu tentang kemo terapi kurang, maka cenderung mempengaruhi peningkatan ke cemasan saat menghadapi tindakan kemote rapi. 3) Konsep diri dan peran Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu terhadap dirinya dan mem pengaruhi individu berhu bungan dengan orang lain. Menurut Stuart & Sundeen (1991) peran adalah pola sikap perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran yang dijalaninya. Juga keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku

peran. Disamping itu pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, jadi setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisinya pada setiap waktu. Pasien yang mempunyai peran ganda baik didalam keluarga atau di masyarakat ada kecenderungan mengalami kecemasan yang berlebih disebabkan konsentrasi terganggu. b. Faktor-faktor ekstrinsik, antara lain: 1) Kondisi medis (diagnosis penyakit) Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis sering ditemukan walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing kondisi medis, misalnya: pada pasien sesuai hasil pemeriksaan akan mendapatkan diagnosa pembedahan, hal ini akan mempengaruhi tingkat kecema san klien. Sebaliknya pada pasien yang dengan diagnosa baik tidak terlalu mempengaruhi tingkat kecemasan 2) Tingkat pendidikan Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing-masing. Pendidikan pada umumnya ber guna dalam merubah pola piker, pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan (Noto atmodjo, 2000). Tingkat pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam mengiden tifikasi stresor dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan pemahaman terhadap stimulus (Jatman,2000). 3) Akses informasi Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk pendapatnya berdasarkan se suatu yang diketahuinya. Infor masi adalah segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan kemote rapi terdiri dari tujuan kemote rapi, proses kemoterapi, resiko dan komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses adminitrasi (Smeltzer & Bare, 2001). 4) Proses adaptasi Kozier and Oliveri (1991) menga takan bahwa tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal yang dihadapi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Pasien Dalam (Umi Lutfa dan Arina Maliya) 189 individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus. Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan dari sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Perawat merupakan sumber daya yang tersedia di lingkungan rumah sakit yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu pasien mengembalikan atau mencapai ke seimbangan diri dalam meng hadapi lingkungan yang baru.

5) Tingkat sosial ekonomi Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik. Berdasarkan hasil penelitian Durham diketahui bahwa masyarakat kelas sosial ekonomi rendah prevalensi psikiatriknya lebih banyak. Jadi keadaan ekonomi yang rendah atau tidak memadai dapat mempengaruhi peningkatan ke cemasan pada klien menghadapi tindakan kemoterapi. 6) Jenis tindakan kemoterapi Adalah klasifikasi suatu tindakan terapi medis yang dapat men datangkan kecemasan kare na terdapat ancaman pada inte gritas tubuh dan jiwa seseorang (Long, 1996). Semakin mengetahui tentang tindakan kemote rapi, akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien kemoterapi. 7) Komunikasi terapeutik Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat maupun pasien. Terlebih bagi pasien yang akan menjalani proses kemoterapi. Hampir sebagian besar pasien yang menjalani kemoterapi mengalami kece masan. Pasien sangat mem butuhkan penjelasan yang baik dari perawat. Komunikasi yang baik diantara mereka akan menen tukan tahap kemoterapi selan jutnya. Pasien yang cemas saat akan menjalani kemoterapi ke mungkinan mengalami efek yang tidak menyenangkan bahkan akan membahayakan. Dampak kecemasan terhadap sistem saraf sebagai neuro transmitter terjadi peningkatan sekresi kelenjar norepinefrin, sero tonin, dan gama aminobuyric acid sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan: a) fisik (fisiologis), antara lain perubahan denyut jantung, suhu tubuh, pernafasan, mual, muntah, diare, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, berat badan menurun ekstrim, kelelahan yang luar biasa; b) gejala gangguan tingkah laku, antara lain aktivitas psikomotorik bertambah atau berkurang, sikap menolak, berbicara kasar, sukar tidur, gerakan yang aneh-aneh; c) gejala gangguan mental, antara lain kurang konsentrasi, pikiran meloncat - loncat, kehilangan kemampuan per sepsi, kehilangan ingatan, phobia, ilusi dan halusinasi. Tidak etis, karena kondisi ibu pasien dalam keadaan gelisah, sehingga memicu kecemasaan pasien. Seharusnya, memberikan penjelasan pada klien harus dalam keadaan tenang. Menurut kode etik keperawatan Indonesia, perawat dan klien : 1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial. 2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana

lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien. 3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan. 4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.