laporan kasus dian p (anemia & hiv & tb)

169

Click here to load reader

Upload: hendrawijaya

Post on 09-Apr-2016

129 views

Category:

Documents


69 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

RSPI PROF DR SULIANTI SAROSO

IDENTITAS MAHASISWA

Nama Lengkap : Dian Permata

NIM : 406147024

Periode : 27 Juli – 03 Oktober 2015

Pembimbing : dr. Dewi Muniarti, Sp.A(K)

Topik : Anemia dan TB Paru pada HIV

Page 2: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

IDENTITAS PASIENNama : An. RA

Tanggal lahir (umur) : 1 Juni 2007 (8 tahun 2 bulan 26 hari)

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Kp. Bulak TEKO no.30, Kali Deres, RT/RW 001/011

Suku bangsa : Jawa

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Anak ke : 2

IDENTITAS WALI

Nama Bibi : Ny. HS

Tanggal lahir (umur) : 24 Maret 1965 (50 tahun)

Suku Bangsa : Jawa

Alamat : Kp. Bulak TEKO no.30 RT/RW 001/011, Kali Deres, Jakarta Barat

Agama : Islam

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Hubungan dengan pasien : Bibi.

Page 3: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

IDENTITAS ORANG TUA

Nama Ayah : Tn. A

Tanggal lahir (umur) : 30 Juli 1967 (48 tahun)

Suku Bangsa : Jawa

Alamat : Kp. Bulak TEKO no.37 RT/RW 001/011, Kali Deres, Jakarta Barat

Agama : Islam

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Buruh

Nama Ibu : Ny. NH

Tanggal lahir (umur) : 04 Mei 1975- 16 September 2008 → meninggal (33 tahun)

Suku Bangsa : Islam

Alamat : Kp. Bulak TEKO no.37 RT/RW 001/011, Kali Deres, Jakarta Barat

Agama : Islam

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Hubungan dengan pasien : Orang tua kandung.

Page 4: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

ANAMNESA

Tanggal Masuk Rumah Sakit : 06 Agustus 2015

Tanggal Pemeriksaan : 07 Agustus 2015, pk. 10.00 WIB

Diambil dari : Autoanamnesis dan Alloanamnesis dari Bibi pasien

Keluhan Utama : Lemas sejak 3 hari SMRS

Keluhan Tambahan : Kleyengan dan mata berkunang-kunang sejak 3 hari

SMRS, sempoyongan, mudah lelah, dan mata buram.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang diantar oleh bibinya ke Poli Anak RSPI Sulianti Saroso dengan

keluhan lemas sejak 3 hari SMRS. Lemas dirasakan terus menerus dan semakin hari

bertambah berat. Saat bangun tidur pasien juga mengeluh kleyengan dan matanya berkunang-

kunang, jalannya juga sempoyongan, dan badannya terasa mudah lelah sejak 3 hari SMRS.

Saat di sekolah pasien juga mengeluh matanya terasa buram saat melihat ke papan tulis.

Keluhan pada mata pasien sendiri barusan dirasakan sejak 3 hari SMRS, terjadi tiba-tiba, dan

tidak bertambah berat. Untuk keluhan mata pasien yang sekarang ini, pasien telah berobat

ke dokter mata. Oleh dokter mata dinyatakan mata pasien normal, tidak ada rabun jauh.

Pasien juga terlihat pucat dalam 2 bulan terakhir.

Pasien tidak ada keluhan batuk, pilek, sesak, mual, muntah, maupun demam. Nafsu

makan dan minum pasien baik. Buang air besar lancar, setiap hari, dan tidak ada keluhan.

Buang air kecil kencing warna merah, jernih, tidak ada nyeri, tidak ada rasa panas dan

anyang-anyangan, jumlah banyak dan sehari bisa 5-6 kali.

Sebelumnya pasien belum pernah dibawa berobat kemana pun untuk keluhan yang

sekarang ini. Pasien datang ke poli untuk berobat keluhan lemas sekalian untuk kontrol TB

Paru dan HIV. Saat ini pasien sedang dalam pengobatan TB Paru bulan kelima dan

pengobatan HIV sejak bulan Desember 2014. Sebelumnya pasien sempat putus obat ART

selama 1 minggu pada bulan Maret 2015 karena kehabisan obat dari RSUD Cengkareng

Page 5: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

kemudian lanjut ART pada 18 Mei 2015 setelah sebelumnya sempat dihentikan ART selama

2 bulan karena pengobatan awal TB Paru selama 2 bulan.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien pernah dirawat di RSPI SS pada tanggal 15 Maret 2015 hingga 19 Maret 2015

karena TB Paru dan OMSK. Saat ini OMSK pada pasien telah dinyatakan sembuh sedangkan

pengobatan TB Paru masih berlanjut dan telah memasuki bulan kelima.

Pasien pernah dirawat kembali di RSPI SS pada tanggal 21 April 2015 hingga 30

April 2015 karena stomatitis luas dan oral kandidosis. Saat ini pasien telah dinyatakan

sembuh.

Riwayat Alergi Obat : Antibiotik (Kotrimoksazol)

Riwayat Alergi Makanan : Coklat, teh, kerang hijau, makanan berpengawet

Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal

Riwayat Asma : Disangkal

Riwayat Kejang : Disangkal

RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN

Kehamilan

Ibu pasien rajin memeriksakan kehamilannya ke bidan setempat, tidak mengalami

kelainan atau gangguan selama kehamilan. Ibu pasien juga tidak mengkonsumsi obat, rokok

ataupun minuman keras.

Kelahiran

Tempat kelahiran : Rumah

Penolong persalinan : Bidan

Page 6: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Cara persalinan : Spontan

Masa gestasi : Cukup bulan

Keadaan Bayi

Berat badan lahir : 3000 gram

Panjang badan lahir : 50 cm

Lingkar kepala : Bibi pasien tidak tahu

Langsung menangis : Bibi pasien tidak tahu

Pucat/Biru/Kuning/Kejang : Bibi pasien tidak tahu

Nilai APGAR : Bibi pasien tidak tahu

Kelainan bawaan : Disangkal

RIWAYAT IMUNISASI

Pasien telah mendapatkan imunisasi :

Imunisasi Dasar

BCG +

DPT ? ? ?

Polio ? ? ? ?

Campak ?

Hepatitis B ? ? ? ?

Bibi pasien mengaku tidak tahu karena ia barusan mengurus pasien sejak usia 1 tahun saat

ibu pasien meninggal. Sejak usia 1 tahun lebih hingga saat ini pasien belum pernah dibawa ke

Page 7: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

puskesmas maupun dokter untuk vaksinasi. BCG positif karena ada bekas scar di lengan

kanan atas pasien.

RIWAYAT PERKEMBANGAN

Pertumbuhan gigi pertama : Bibi pasien tidak tahu

Gangguan perkembangan mental dan emosi : Tidak ada

Psikomotor :

Tengkurap : Bibi pasien tidak tahu

Duduk : Bibi pasien tidak tahu

Berdiri sendiri : 1 tahun (sambil pegangan)

Berjalan : 1 tahun lebih

Berbicara : 3 tahun (belum lancar)

Membaca dan menulis : 6 tahun (belum lancar)

RIWAYAT MAKANAN

Pasien mengkonsumsi ASI sejak lahir hingga usia 1 tahun dan mendapatkan ASI

eksklusif.

Pasien mengkonsumsi susu formula sejak usia 1 tahun hingga 3 tahun.

Sejak usia 6 bulan pasien mulai mengkonsumsi bubur, buah, dan biskuit bayi

Sejak umur 1 tahun pasien mulai mengkonsumsi nasi tim

Umur

(bulan)

ASI / PASI Buah/Biskuit Bubur bayi Nasi Tim

0-2 √

2-4 √

4-6 √

6-8 √ √ √

Page 8: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

8-10 √ √ √

10-12 √ √ √

12-24 √ √

Umur lebih dari 1 tahun

Jenis makanan Frekuensi

Nasi 2-3x/hari, 2 centong nasi

Sayur 1-2x/minggu, ½ mangkok kecil (pasien

tidak suka sayur)

Buah 2-3 x / minggu, 1 piring kecil

Daging 2-3 x / minggu, 1 potong

Ikan Hampir setiap hari, 1 ekor ikan kecil/ 1/3

potong ikan besar

Telur Hampir setiap hari, 1-2 butir

Tempe Hampir setiap hari, 1-2 potong

Tahu Hampir setiap hari, 1-2 potong

Roti Hampir setiap hari, 1 potong

Susu 2-3x/hari, susu kotak/kental manis

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA

Penyakit Umur Penyakit Umur

Diare 7-8 tahun Morbili -

Otitis Media

Supuratif Kronik

6 tahun Varisela 6 tahun

Radang Paru - Parotitis -

Tuberkulosis

(Flek)

8 tahun Demam berdarah -

Kejang - Demam tifoid -

Page 9: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Ginjal - Cacingan -

Jantung - Alergi makanan &

obat

+

Darah - Kecelakaan -

Difteri - Operasi -

RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA

Riwayat Asma : Disangkal

Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal

Riwayat TB Paru : Kakak laki-laki pasien terkena TB paru pada tahun

2013, pengobatan selama 9 bulan, dan sekarang sudah

dinyatakan sembuh.

Riwayat Kejang : Disangkal

Riwayat Alergi obat & makanan : Ayah pasien

Riwayat HIV : Ibu Pasien (?)

Ayah Pasien

Kakak Laki-laki pasien

RIWAYAT PENYAKIT PADA ANGGOTA KELUARGA LAIN/ORANG

LAIN SERUMAH

Tidak ada

RIWAYAT SOSIAL

Pasien merupakan anak kedua, kakaknya laki-laki dengan jarak usia 3 tahun. Ibu

pasien telah meninggal saat pasien berumur 1 tahun. Saat ini pasien tinggal bersama 2 orang

bibi tertua dari ayah pasien, seorang paman, dan kakak laki-laki pasien. Ayah pasien

sekarang masih hidup dan tinggal berjarak kurang lebih 100 meter dari rumah pasien. Ayah

pasien kini hidup dengan keluarga barunya karena kini ayah pasien telah menikah lagi dan

mempunyai anak dari istri barunya. Ayah pasien jarang berjumpa dengan pasien, sebulan

Page 10: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

hanya satu kali ayahnya datang berkunjung ke rumah pasien. Pasien juga kini telah

bersekolah di SDN 02 Cengkareng dan sekarang duduk di kelas 3 SD. Pasien termasuk siswa

yang cukup pandai, selalu naik kelas. Pasien aktif bermain dengan teman sebayanya namun

terbatas hanya aktivitas yang tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga seperti bermain

kelereng, dan kartu. Pasien juga tidak ada gangguan dalam proses belajar, cukup pandai

menangkap materi pelajaran, dan di sekolahnya selalu masuk ranking 20 besar. Pasien

tercukupi kebutuhan sehari-harinya dan untuk kebutuhan makan dan minum, bibi pasien

sendiri yang memasakan buat pasien atau terkadang juga beli lauk di warteg dekat rumah.

Untuk sumber air minum menggunakan air galon sedangkan untuk MCK menggunakan air

PAM.

DATA PERUMAHAN

Kepemilikan rumah : Milik sendiri

Ukuran rumah : 7 x 10 m2.

Jumlah ventilasi tidak tetap : 2 buah jendela dan 1 buah pintu di bagian depan rumah,

hanya bagian depan rumah yang terkena cahaya matahari. Jendela juga jarang dibuka.

Jumlah ventilasi tetap : 5 buah, 3 di kamar dan 2 di kamar mandi.

Jumlah ruangan :

1 ruang tamu sekaligus ruang keluarga

3 kamar tidur

2 kamar mandi namun yang 1 lagi sudah tidak terpakai

1 dapur

Keadaan rumah : Padat, kurang cahaya dan ventilasi udara. Sirkulasi udara

kurang baik dan cukup lembab. Berisi 5 orang anggota

keluarga.

Keadaan lingkungan : Rumah antara pasien dengan tetangga disekitarnya itu

berdempetan.

Page 11: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

P EMERIKSAAN FISIK

Jumat, 7 Agustus 2015, pk. 10.00 WIB

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tinggi badan : 118 cm

Berat badan : 20,5 kg

IMT : 14,72 kg/m2

Plotting Status Gizi menggunakan Z score

Kesan : Normal

Page 12: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Kesan : Normal

Kesan : Normal

Page 13: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Tanda-Tanda Vital

Tekanan Darah : 105/59 mmHg

Suhu : 36,7 °C

Nadi : 80 x/mnt

Pernafasan : 21 x/mnt

Pemeriksaan Fisik

Kepala

Bentuk normal, ukuran normal, tidak teraba benjolan, rambut hitam agak kecoklatan,

distribusi merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan.

Mata

Kelopak mata tidak ada kelainan, konjungtiva anemis (+/+), konjungtiva bulbi

tidak hiperemis, epifora (-/-), sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor diameter 3 mm, reflek

cahaya langsung (+/+).

Telinga

Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak terlihat sekret, tidak terlihat serumen, tidak

terlihat luka pasca trauma, tidak ada nyeri tekan tragus, tidak ada nyeri tarik aurikuler,

kelenjar getah bening pre dan retroaurikular tidak teraba membesar.

Hidung

Bentuk normal, sekret (-), septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-).

Mulut

Mukosa bibir kering (+), tampak perioral sianosis (-), lidah kotor (-), ulkus di

mukosa bibir (-), krusta di bibir (+), bibir pucat (+).

Gigi Geligi

Multipel karies (+).

Page 14: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Tenggorokan

Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus (-). Faring posterior tidak

hiperemis. Tidak tampak bercak putih dan ulkus pada lidah, mukosa bagian dalam pipi,

faring posterior maupun tonsil.

Leher

Trachea di tengah, kelenjar thyroid tidak teraba membesar . Kelenjar getah bening

colli dextra teraba membesar 2 buah dengan ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm,

permukaan halus, batas tegas, mobile (+), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-). Kelenjar

submandibula, mental, submandibular sinistra, supra clavicular tidak teraba membesar.

Dada

Bentuk normal, retraksi otot-otot intercostalis, supraclavicula, subcostal (-).

Paru - paru

Inspeksi : Simetris dalam diam dan pergerakan nafas

Palpasi : Stem fremitus kanan kiri, depan belakang sama kuat

Perkusi : Sonor, batas paru – hepar ICS VI midclavicular line dextra

Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung

o Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis

o Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS IV midclavicula line sinistra

o Perkusi : Redup , batas jantung atas ICS III midclavicula line sinistra. Batas

jantung kanan midsternum ICS IV. Batas jantung kiri ICS IV midclavicula line

sinistra.

o Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, murmur (-), gallop (-).

Page 15: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Perut

Inspeksi : Datar, scar (+), striae (-), dilatasi vena (-)

Palpasi :

- Supel

- Hepar teraba membesar 3 jari di bawah arcus costae, tepi tajam, permukaan

licin, nyeri tekan (-)

- Lien teraba membesar di schuffner 1, nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani , tanda cairan bebas (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT < 2 detik, edema (-)

Tulang belakang : Bentuk normal, tidak ada skoliosis, lordosis, dan kifosis

Kulit : Turgor kembali cepat, sianosis (-), pucat (+) di telapak tangan dan

kaki, scar (+) di ke-4 ekstremitas, eritema (+) di wajah, leher, dan

tangan

Pemeriksaan Neurologis

• Rangsang meningeal

Kaku kuduk (-)

Brudzinski I dan II (-)

Kerniq (-)

Laseque (-)

• Refleks fisiologis

Biceps : +/+ normal

Page 16: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Triceps : +/+ normal

Patella : +/+ normal

Achilles : +/+ normal

• Refleks patologis

Babinski : -/-

Chaddock : -/-

Klonus Paha & Kaki : -/-

Parese : (-)

Page 17: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tabel Pemeriksaan Laboratorium Darah (06 Agustus 2015) pk. 13.55

Hematologi Hasil Nilai normal

Leukosit 3,2 4,5 – 13,5 ribu/µL

Eritrosit 1,03 3,80 – 5,80 juta/µL

Hb 3,8 10,8 – 15,6 g/dL

Ht 10 33 – 45 %

Trombosit 496 181 – 521 ribu/µL

M.C.V 99 72 – 88 fL

M.C.H 37 22 –34 pg

M.C.H.C 37 32– 36 g/dL

Hitung Jenis

Basofil 0 0-1 %

Eosinofil 0 1-5%

Batang 0 3-6%

Segmen 51 25-60 %

Limfosit 45 25-50 %

Monosit 4 1-6 %

Page 18: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

LED - 0-10 mm

Hasil Pemeriksaan Hapusan Darah Tepi (06 Agustus 2015) pk. 13.55

Pemeriksaan Hasil

Eritrosit Normositik Normokrom

Leukosit Jumlah kurang, morfologi normal

Trombosit Jumlah cukup, morfologi normal

Kesan Anemia gravis normositik normokrom

Leukopeni Saran Marker infeksi virus darah samar

Tabel Pemeriksaan Urinalisis Lengkap (07 Agustus 2015) pk. 11.16

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Berat Jenis 1.025 1.015-1.025

pH 5,5 4,8-7,4

Leukosit Esterase - Negatif ( ɲL)

Nitrit - Negatif

Albumin - Negatif (mg/dL)

Glukosa - Negatif (mg/dL)

Page 19: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Keton - Negatif (mg/dL)

Urobilinogen + < = 1 (mg/dL)

Bilirubin - Negatif (mg/dL)

Darah (Blood) - Negatif (/ɲL)

Sedimen Mikroskopis

Eritrosit Eritrosit Eritrosit

Leukosit Leukosit Leukosit

Silinder Silinder Silinder

Epitel Epitel Epitel

Bakteri Bakteri Bakteri

Kristal Kristal Kristal

Makroskopis

Warna Kuning --

Kejernihan Jernih --

Lain-lain - --

Page 20: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Tabel Pemeriksaan Laboratorium Darah (08 Agustus 2015) pk. 11.21

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Leukosit 1,9 4,5 – 13,5 ribu/µL

Eritrosit 3,12 3,80 – 5,80 juta/µL

Hb 10 10,8 – 15,6 g/dL

Ht 28 33 – 45 %

Trombosit 365 181 – 521 ribu/µL

M.C.V 90 72 – 88 fL

M.C.H 32 22 –34 pg

M.C.H.C 36 32– 36 g/dL

Page 21: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

RIWAYAT RAWAT INAP

Jumat, 7 Agustus 2015 (perawatan hari ke-2)

S : Lemas (+), kleyengan (+), mudah lelah (+), mata berkunang-kunang (+), mata buram

(-), demam (-). Gatal-gatal dan timbul ruam kemerahan dari semalam terutama di wajah,

leher, dan tangan. Nafsu makan dan minum baik. Belum BAB sejak kemarin. BAK lancar

warna kuning kemerahan, jernih, tidak ada keluhan lainnya.

O : KU : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 105/59 mmHg

Suhu : 36,5o C

Nadi : 80x/menit

RR : 21x/menit

Mata : CA (+/+) , SI (-/-), konjungtiva bulbi hiperemis (-/-), kelopak

mata cekung (-/-)

Hidung : Sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)

Mulut : Mukosa bibir kering (+),krusta (+), pucat (+), ulkus di mukosa

bibir (-)

Gigi geligi : Multipel karies (+)

Tenggorokan : Tonsil T1-T1tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus

(-), faring posterior tidak hiperemis. Tidak tampak bercak putih dan ulkus pada lidah,

mukosa bagian dalam pipi, faring posterior maupun tonsil

Leher : kelenjar getah bening colli dextra teraba membesar 2 buah

dengan ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm, permukaan halus,

batas tegas, mobile (-), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-)

Page 22: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Pulmo : Vesikular (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)

Cor : BJ I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen : Datar, skar (+), supel, timpani, bising usus (+) normal, NT (-), hepar

teraba membesar 3 jari dibawah arcus costae, tepi tajam, permukaan licin, NT (-), lien

teraba membesar di schuffner 1, NT (-)

Extremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)

Kulit : Pucat (+) di telapak tangan dan kaki, scar (+) di ke-4 ekstremitas,

eritema (+) di wajah, leher, dan tangan, turgor kembali cepat, sianosis

(-)

A : Anemia

HIV

TB

P : IVFD KaEn 3B 1500 cc / 24 jam

Oksigen 2 LPM

ART :

FDC 2 x 3 tablet

ZDV 2 x 3 tablet

OAT :

Rifampicin 300 mg 1 x 1 pulv (pagi)

INH 200mg 1 x 1 pulv (pagi)

Kotrimoksazol 1 x 1 cth

Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg (3 x 1 pulv)

Transfusi PRC 200 cc yang ke-2

Cek DR Hb post transfusi / 6 jam

Diet NB 1500 kkal & ekstra putih telur

Page 23: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Laboratorium (07-08-2015) :

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Berat Jenis 1.025 1.015-1.025

pH 5,5 4,8-7,4

Leukosit Esterase - Negatif ( ɲL)

Nitrit - Negatif

Albumin - Negatif (mg/dL)

Glukosa - Negatif (mg/dL)

Keton - Negatif (mg/dL)

Urobilinogen + < = 1 (mg/dL)

Bilirubin - Negatif (mg/dL)

Darah (Blood) - Negatif (/ɲL)

Sedimen Mikroskopis

Eritrosit Eritrosit Eritrosit

Leukosit Leukosit Leukosit

Silinder Silinder Silinder

Epitel Epitel Epitel

Page 24: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Bakteri Bakteri Bakteri

Kristal Kristal Kristal

Makroskopis

Warna Kuning --

Kejernihan Jernih --

Lain-lain - --

Page 25: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)
Page 26: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)
Page 27: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Sabtu, 8 Agustus 2015 (perawatan hari ke-3)

S : Lemas (+) tapi sudah berkurang, kleyengan (+) kalau berubah posisi dari tidur ke duduk,

mata berkunang-kunang (-), sempoyongan (-), mudah lelah (-), mata buram (-), demam (+)

semalam. Gatal-gatal semalam semakin bertambah di daerah wajah. Nafsu makan dan

minum baik. Belum BAB sejak 2 hari yang lalu. BAK lancar warna kuning kemerahan,

jernih, tidak ada keluhan lainnya.

O : KU : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 120/67 mmHg

Suhu : 37,0o c

Nadi : 87x/menit

RR : 23x/menit

Mata : CA (+/+) , SI (-/-), konjungtiva bulbi hiperemis (-/-), kelopak

mata cekung (-/-)

Hidung : Sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)

Mulut : Krusta (+), pucat (+), mukosa bibir kering (-), ulkus di

mukosa bibir (-)

Gigi geligi : Multipel karies (+)

Tenggorokan : Tonsil T1-T1tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus

(-), faring posterior tidak hiperemis. Tidak tampak bercak putih dan ulkus pada lidah,

mukosa bagian dalam pipi, faring posterior maupun tonsil

Leher : kelenjar getah bening colli dextra teraba membesar 2 buah

dengan ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm, permukaan halus,

batas tegas, mobile (-), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-)

Pulmo : Vesikular (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)

Cor : BJ I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)

Page 28: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Abdomen : Datar, skar (+), supel, timpani, bising usus (+) normal, NT (-), hepar

teraba membesar 3 jari dibawah arcus costae, tepi tajam, permukaan licin, NT (-), lien

teraba membesar di schuffner 1, NT (-)

Extremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)

Kulit : Pucat (+) di telapak tangan dan kaki, scar (+) di ke-4 ekstremitas,

eritema (+) di wajah, turgor kembali cepat, sianosis (-)

A : Anemia

HIV

TB

P : IVFD KaEn 3B 1500 cc / 24 jam

Oksigen 2 LPM

ART :

FDC 2 x 3 tablet

ZDV 2 x 3 tablet

OAT :

Rifampicin 300 mg 1 x 1 pulv (pagi)

INH 200mg 1 x 1 pulv (pagi)

Kotrimoksazol 1 x 1 cth

Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg (3 x 1 pulv)

Cek DR Hb post transfusi PRC 2 x 200 cc

Diet NB 1500 kkal & ekstra putih telur

Page 29: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Laboratorium (08-08-2015) :

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Leukosit 1,9 4,5 – 13,5 ribu/µL

Eritrosit 3,12 3,80 – 5,80 juta/µL

Hb 10 10,8 – 15,6 g/dL

Ht 28 33 – 45 %

Trombosit 365 181 – 521 ribu/µL

M.C.V 90 72 – 88 fL

M.C.H 32 22 –34 pg

M.C.H.C 36 32– 36 g/dL

Page 30: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Minggu, 9 Agustus 2015 (perawatan hari ke-4)

S : Lemas (-), kleyengan (-), mata berkunang-kunang (-), sempoyongan (-), mudah lelah (-),

pusing berputar (-), mata buram (-), demam (-). Gatal-gatal di wajah, leher, dan tangan

berkurang. Nafsu makan dan minum baik. BAB 1x, warna coklat, sedikit keras. BAK lancar

warna kuning kemerahan, tidak ada keluhan lainnya.

O : KU : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Suhu : 36,6o c

Nadi : 94x/menit

RR : 22x/menit

Mata : CA (-/-) , SI (-/-), konjungtiva bulbi hiperemis (-/-), kelopak

mata cekung (-/-)

Hidung : Sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)

Mulut : Krusta (+), pucat (+), mukosa bibir kering (-), , ulkus di

mukosa bibir (-)

Gigi geligi : Multipel karies (+)

Tenggorokan : Tonsil T1-T1tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus

(-), faring posterior tidak hiperemis. Tidak tampak bercak putih dan ulkus pada lidah,

mukosa bagian dalam pipi, faring posterior maupun tonsil

Leher : kelenjar getah bening colli dextra teraba membesar 2 buah

dengan ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm, permukaan halus,

batas tegas, mobile (-), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-)

Pulmo : Vesikular (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)

Cor : BJ I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)

Page 31: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Abdomen : Datar, skar (+), supel, timpani, bising usus (+) normal, NT (-), hepar

teraba membesar 3 jari dibawah arcus costae, tepi tajam, permukaan licin, NT (-), lien

teraba membesar di schuffner 1, NT (-)

Extremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)

Kulit : Pucat (+) di telapak tangan dan kaki, scar (+) di ke-4 ekstremitas,

eritema (-), turgor kembali cepat, sianosis (-)

A : Anemia → Post Transfusi

HIV

TB

P : IVFD KaEn 3B 1500 cc / 24 jam

ART :

FDC 2 x 3 tablet

ZDV 2 x 3 tablet

OAT :

Rifampicin 300 mg 1 x 1 pulv (pagi)

INH 200mg 1 x 1 pulv (pagi)

Kotrimoksazol 1 x 1 cth

Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg (3 x 1 pulv)

Diet NB 1500 kkal & ekstra putih telur

Pindah ruangan biasa

Page 32: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)
Page 33: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Senin, 10 Agustus 2015 (perawatan hari ke-5)

S : Lemas (-), sempoyongan (-), mudah lelah (-), kleyengan (-), mata buram dan berkunang-

kunang (-), demam (-). Gatal-gatal di muka, leher, dan tangan mulai berkurang terutama di

muka. Pasien sudah aktif bermain dan bisa berlari-larian di lorong RS. Nafsu makan dan

minum baik. BAB 1x, warna coklat, tidak keras. BAK lancar warna kuning kemerahan,

jernih, tidak ada keluhan lainnya.

O : KU : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Suhu : 36,8o c

Nadi : 98x/menit

RR : 21x/menit

Mata : CA(-/-) , SI (-/-), konjungtiva bulbi hiperemis (-/-), kelopak

mata cekung (-/-)

Hidung : Sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)

Mulut : krusta (+), pucat (+), mukosa bibir kering (-), lidah kotor (-)

Tenggorokan : Tonsil T1-T1tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus

(-), faring posterior tidak hiperemis. Tidak tampak bercak putih

dan ulkus pada lidah, mukosa bagian dalam pipi, faring

posterior maupun tonsil

Leher : kelenjar getah bening colli dextra teraba membesar 2 buah

dengan ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm, permukaan halus,

batas tegas, mobile (-), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-)

Pulmo : Vesikular (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)

Cor : BJ I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen : Datar, skar (+), supel, timpani, bising usus (+) normal, hepar

dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan(-)

Page 34: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Extremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)

Kulit : Pucat (+) di telapak tangan dan kaki, scar (+) di ke-4 ekstremitas,

eritema (-), turgor kembali cepat, sianosis (-)

A : Post Transfusi

HIV

TB

P : IVFD KaEn 3B 1500 cc / 24 jam

ART :

FDC 2 x 3 tablet

ZDV 2 x 3 tablet

OAT :

Rifampicin 300 mg 1 x 1 pulv (pagi)

INH 200mg 1 x 1 pulv (pagi)

Kotrimoksazol 1 x 1 cth

Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg (3 x 1 pulv)

Diet NB 1500 kkal & ekstra putih telur

Boleh pulang

Page 35: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

ANALISIS KASUS

1. ANAMNESISRiwayat Penyakit Sekarang

Pasien laki-laki berumur 8 tahun 2 bulan 26 hari dengan keluhan lemas, jalan

sempoyongan, pusing berputar, mudah lelah, mata berkunang-kunang dan buram, dapat

dicurigai terkena anemia.

Awalnya os di diagnosa anemia dengan melihat gejala-gejala yang dialami pasien

mendukung penegakan diagnosa tersebut, seperti lemas, jalan sempoyongan, pusing berputar,

mudah lelah, mata berkunang-kunang dan buram, terdapat konjungtiva anemis, mukosa bibir

pucat, telapak tangan dan kaki juga pucat, dan hasil laboratorium menunjukkan Hb pasien

sangat rendah.

Pasien kemudian diterapi transfusi PRC serta diberikan puyer sulfas ferosus

dicampur dengan vitamin C dan hasilnya di evaluasi setelah selesai transfusi yang kedua

kalinya. Hasilnya menunjukan perbaikan yang nyata, gejala klinis menghilang dan

konjungtiva sudah tidak anemis lagi meskipun dari pemeriksaan fisik lainnya masih

ditemukan mukosa bibir pucat dan telapak tangan dan kaki juga pucat. Selain itu dari hasil

laboratorium juga menunjukan peningkatan Hb dan eritrosit yang signifikan.

Diagnosa HIV sudah ditegakkan di RSUD Cengkareng pada bulan Oktober tahun

2014 dan dilakukan pengobatan ART pada bulan Desember hingga saat ini. Penegakan

diagnosis di dukung dari riwayat ayah dan kakak laki-laki pasien yang menderita HIV.

Sedangkan Ibu pasien riwayat HIV tidak diketahui karena tidak pernah diperiksa tes HIV

semasa hidupnya . Ibu pasien tapi dicurigai kemungkinan besar mengidap HIV karena

mantan suaminya dahulu adalah seorang bartender yang berkerja di diskotek dan ibu pasien

sendiri meninggal tanpa penyebab yang jelas, hanya mengeluh demam dan nyeri kepala hebat

selama sebulan terakhir sebelum akhirnya meninggal dunia. Pasien juga lahir secara spontan

dan mendapatkan ASI ekslusif bahkan hingga pasien berumur 1 tahun, hal ini dapat

meningkatkan resiko pasien terkena HIV menjadi lebih besar.

Diagnosa TB Paru sudah ditegakkan dengan di RSPI SS pada tanggal 19 Maret 2015

dan dilakukan pengobatan OAT hingga saat ini sudah memasuki bulan kelima. Penegakkan

diagnosis didukung dari gejala yang diderita pasien saat masuk ke IGD RSPI SS seperti sesak

napas sejak 1 hari SMRS yang memberat dalam 2 jam SMRS, kontak erat dengan penderita

Page 36: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

TB (kakak laki-laki pasien), demam hangat-hangat saja ± 1 bulan tanpa penyebab yang jelas,

naik turun sepanjang hari, batuk ± 1 bulan, berdahak warna kuning kehijauan, sering

berkeringat di malam hari, BB turun 2 kg dalam 1 bulan terakhir, sering diare berulang

dengan kurun waktu kurang dari 14 hari, hasil laboratorium juga menunjukan adanya

peningkatan LED, hasil tes mantoux dan rontgen dada tidak diketahui. Pasien kemudian

diterapi dengan OAT dan menunjukkan perbaikan klinis yang nyata dengan menghilangnya

gejala klinis serta mulai terjadinya peningkatan berat badan.

Page 37: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

ANEMIA PADA HIV

Epidemiologi

Teori Kasus

Anemia adalah kelainan hematologi

terbanyak yang terjadi pada pasien dengan

HIV dan biasanya berhubungan dengan

progresifitas penyakit tersebut dan hasil

klinis yang buruk serta kematian. Sebuah

studi epidemiologi sebanyak 32.867 pasien

infeksi HIV pada orang dewasa dan remaja

menemukan bahwa resiko kematian

meningkat hingga 170% pada pasien dengan

anemia persisten (Hb <10 mg/dL)

dibandingkan dengan pasien dengan anemia

yang tertangani. Anemia merupakan klinis

yang penting pada infeksi HIV dan

diperkirakan prevalensi pada HIV

asimtomatik sekitar 10% sedangkan pada

AIDS sekitar 92%.

Saat ini pasien menderita anemia (Hb awal

3,8 mg/dL) dan sudah 8 bulan terdiagnosa

HIV serta mengkonsumsi ART sejak 8

bulan yang lalu dan sempat dihentikan

selama 2 bulan 1 minggu.

Faktor Resiko

Teori Kasus

Riwayat TB dalam 6 bulan terakhir

Terinfeksi cacing tambang

Pasien menderita infeksi TB Paru sejak 5

bulan yang lalu

Manifestasi Klinis

Teori Kasus

Keluhan utama:

Pucat yang berlangsung lama tanpa

manifestasi perdarahan, mudah lelah, lemas,

sering pusing, mata berkunang-kunang.

Pucat 2 bulan terakhir, tidak ada

perdarahan, lemas, mudah lelah, pusing,

mata berkunang-kunang.

Pemeriksaan fisik

Teori Kasus

Pucat → telapak tangan dan kaki, mukosa Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Page 38: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

bibir

Konjungtiva anemis

Atrofi papil lidah

Koilonikia

Takikardi

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 105/59 mmHg

Suhu : 36,5 °C

Nadi : 80 x/mnt

Pernafasan : 21 x/mnt

Tanda :

- Konjungtiva anemis (+/+)

- Pucat (+) di mukosa bibir serta di

telapak tangan dan kaki

Pemeriksaan penunjang

Teori Kasus

Pemeriksaan darah lengkap

Hal yang dinilai :

- Hb

- MCV

- MCH

- MCHC

Kadar besi serum

Total Binding Iron Capacity

Nilai retikulosit

Serum Transferrin Receptor (STfR)

Hapusan darah tepi

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien :

6 Agustus 2015

Darah Rutin

- Leukosit : 3,2 ribu/µL

- Eritrosit : 1,03 juta/µL

- Hemoglobin : 3,8 g/dL

- Hematokrit : 10 %

- M.C.V : 99 fL

- M.C.H : 37 pq

- M.C.H.C : 37 g/dL

Hapusan Darah Tepi

- Eritrosit : Normositik

normokrom

- Leukosit : Jumlah kurang,

morfologi normal

- Trombosit : Jumlah normal,

morfologi normal

- Kesan : Anemia gravis

normositik normokrom dan

Leukopeni

8 Agustus 2015

Page 39: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

- Leukosit : 1,9 ribu/µL

- Eritrosit : 3,12 juta/µL

- Hemoglobin : 10 g/dL

- Hematokrit : 16 %

- M.C.V : 90 fL

- M.C.H : 32 pq

Tatalaksana

Teori Kasus

Jika kadar eritropoietin endogen < 500

mUnits/mL, terapi eritropietin (50-200

iu/kg/dose 3x/week) harus diberikan

untuk mengurangi kebutuhan tranfusi.

Suplemen besi oral (3-6mg/kg/hari) dan

asam folat (1mg/hari) harus diberikan

ketika eritropoietin mulai diberikan.

Jika gejala klinis anemia signifikan (Hb

< 7 mg/dL atau ada tanda-tanda

kegawatdaruratan Jantung-Paru),

penggunaan eritropoietin atau transfusi

direkomendasikan untuk penggunaan

zidovudine hingga diagnosis ditegakkan.

Dosis zidovudine tidak boleh diubah.

Terapi yang diberikan pada pasien :

Transfusi PRC 2 x 200 cc

Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg

(3 x 1 pulv)

Seharusnya pada pasien ini diberikan

kebutuhan transfusinya 430 cc

Tapi karena pada pasien ini Hb

terhitung sangat rendah sehingga

pemberian tranfusi darah harus

diberikan secara perlahan-lahan

sehingga untuk awal diberikan 400 cc

diraakan cukup.

Page 40: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

HIV

Epidemiologi

Teori Kasus

WHO memperkirakan pada tahun 2013, 3.2

juta anak anak dibawah 15 tahun hidup

dengan infeksi HIV-1, 90% diantaranya

berada di sub-saharan Africa. Walaupun

jumlah anak anak yang lahir dengan HIV

telah turun 43% antara tahun 2009 sampai

2013, masih 199.000 anak yang terinfeksi

baru hanya ditahun 2013. Kebanyakan dari

kasus anak adalah hasil dari transmisi secara

vertical dari ibu yang terinfeksi HIV.

Pasien berusia 8 tahun 2 bulan 26 hari

yang berarti pasien berusia dibawah 15

tahun.

Pasien diduga terkena HIV dari ibunya

karena kakak laki-laki pasien juga

terkena HIV.

Pasien juga riwayat lahir secara normal

dan mendapatkan ASI eksklusif yang

berarti resiko terjadinya penularan

secara vertical menjadi lebih besar.

Faktor Resiko

Teori Kasus

Heteroseksual

Homo-biseksual

Injection Drug Use

Transfusi Darah

Transmisi Perinatal

Tidak diketahui

Pasien lahir secara normal dan

mendapatkan ASI ekslusif bahkan hingga

pasien berumur 1 tahun.

Manifestasi Klinis

Teori Kasus

Keluhan utama:

Stadium 1

Asymptomatik

Persistent generalized lymphadenopathy

Stadium 2

Unexplained persistent

hepatosplenomegaly

Papular pruritic eruption

Bulan Oktober 2014

Stadium 1

Asymptomatik

Bulan Agustus 2015

Stadium 3

Hepatomegali 3 jari dibawah arcus

costae

Page 41: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Fungal nail infection

Angular cheilitis

Lyneal gingival erythema

Extensive wart virus infection

Extensive molluscum contagiosum

Recurrent oral ulcerations

Unexplained persistent parotid

enlargement

Herpes zoster

Recurrent or chronic upper respiratory

tract infections (otitis media, otorrhea,

sinusitis, atau tonsilitis)

Stadium 3

Unexplained moderate malnutrition or

wasting not adequately responding to

standart therapy

Unexplained persistent diarrhea

Unexplained persistent fever

Persistent oral candidiasis (after first 6-8

week of life)

Oral hairy leukoplakia

Acute necrotizing ulcerative gingivitis or

periodontitis

Lymph node tuberculosis

Pulmonary tuberculosis

Severe recurrent bacterial pneumonia

Symptomatic lymphoid interstitial

pneumonitis

Chronic HIV-associated lung disease

including bronchiectasis

Unexplained anemia, neutropenia,

thrombocytopenia

Splenomegai di schuffner 1

Papular pruritic eruption

Otitis media kronik supuratif berulang

Oral candidiasis

Lymph node tuberculosis

Pulmonary tuberculosis

Unexplained anemia

Acute necrotizing ulcerative gingivitis

or periodontitis

Riwayat demam naik turun ± 1bulan

tanpa penyebab yang jelas

Page 42: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Stadium 4

Unexplained severe wasting, stunting, or

severe malnutrion not responding to

standart therapy

Pneumocystis pneumonia

Recurrent severe bacterial infections

(such as empyema, pyomyositis, bone or

joint infection, or meningitis but

excluding pneumonia)

Chronic herpes simplex infection

Esophageal candidiasis (or candidiasis of

trachea, bronchi, or lungs)

Extrapulmonary tuberculosis

Kaposi sarcoma

Cytomegalovirus infection : retinitis or

cytomegalovirus infection affecting

another organ, with onset age older than 1

MO

Central nervous system toxoplasmosis

(after 1 MO of life)

Extrapulmonary cryptococcosis

HIV encephalopathy

Disseminated endemic mycosis

(coccidiomycosis or histoplasmosis)

Disseminated nontuberculous

mycobacterial infection

Chronic cryptosporidiosis (with diarrhea)

Chronic isosporiasis

Cerebral or B-cell non-Hodgkin

lymphoma

Progressive multifocal

leukoencephalopathy

Symptomatic HIV-associated

nephropathy or HIV-associated

Page 43: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

cardiomyopathy

Pemeriksaan penunjang

Teori Kasus

Anak > 18 bulan :

o Penegakkan infeksi → HIV antibodi

(immunoassay / rapid antibody)

o Memastikan → Western blot, Immune

fluorescent Antibody / rapid test ke-2

(dengan antigen / metode yang

berbeda) → karena bisa terjadi false

positif pada kasus dimana terjadi

cross-reacting antibodies

Perjalanan penyakit :

o Pe↓an jumlah total & presentase

CD4 T limfosit (prediksi tingkat

resiko infeksi oportunistik)

o Pe↑an presentase dari CD8 T

limfosit

Hipergammaglobuline dari IgG, IgA, &

IgM → hypogammaglobulinemia

(perjalanan lanjut)

Kelainan pemeriksaan darah (anemia,

neutropenia, trombositopenia)

CSS → normal / pe↑an protein &

mononuclear pleocystosis / HIV nucleid

acid testing (+ / -)

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien :

23 Februari 2015

CD4 absolut : 5 L cells / uL (410-1590)

[keterangan : lymfosit T helper sangat

kurang]

CD4% : 1 L % (31-60)

22 April 2015

CD4 : 4 cells /uL (410-1590)

CD3 : (-) cells/uL (410-1590)

3 September 2015

CD 4 : 165 cells / uL (410-1590)

CD3 : (-) cells / uL (410-1590)

15 Maret 2015 (RSUD Cengkareng)

L : 2,5 ribu/µL (5-14,5)

- Basofil : 0 % (0-1)

- Eosinofil : 2 % (1-5)

- Batang : 3 % (3-6)

- Segmen : 50 % (25-60)

- Limfosit : 43 % (25-50)

- Monosit : 2 % (1-6)

22 April 2015

L : 3,1 / uL (5-14,5)

6 Agustus 2015

Leukosit : 3,2 / uL (4,5 -13,5)

- Basofil : 0 % (0-1)

Page 44: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

- Eosinofil : 0 % (1-5)

- Batang : 0 % (3-6)

- Segmen : 51 % (25-60)

- Limfosit : 45 % (25-50)

- Monosit : 4 % (1-6)

8 Agustus 2015

Leukosit : 1,9 / uL (4,5 -13,5)

Tatalaksana

Teori Kasus

Anak > 5 tahun & dewasa :

- Inisiasi ART pada orang terinfeksi

HIV stadium klinis 3 & 4, atau jika

jumlah CD4 < 350 sel/mm

- Inisiasi ART tanpa melihat stadium

klinis WHO & berapapun jumlah

CD4

o Koinfeksi TB

o Koinfeksi Hepatitis

o Ibu hamil dan menyusui HIV +

o Orang terinfeksi HIV yang

pasangannya HIV negative

(pasangan serodiskordan)

o LSL,PS,Transgender,Waria, atau

penasun

o Populasi umum di daerah dengan

epidemic HIV meluas

Pasien berumur 7 tahun 4 bulan saat

terdiagnosis HIV → langsung diberi

ART (dari RSUD Cengkareng)

Pasien berumur 7 tahun 9 bulan → TB

Paru (19-03-2015) dan HIV (+)

[Oktober 2014] tetapi ART putus 1

minggu → terapi OAT 2 bulan →

lanjut terapi ART (18-05-2015)

Prognosis

Teori Kasus

Viral load <100.000 copies/mL → jarang

dijumpai perkembangan penyakit yang

cepat

Viral load >100.000 copies/mL →

23 Februari 2015

CD4 absolut : 5 L cells / uL (410-1590)

[keterangan : lymfosit T helper sangat

kurang]

Page 45: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

berkaitan dengan resiko perburukan &

kematian.

Jumlah CD4 limfosit <15% → me↑nya

angka mortalitas

CD4% : 1 L % (31-60)

TUBERKULOSIS PADA HIV

Page 46: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Epidemiologi

Teori Kasus

Tuberkulosis adalah infeksi oportunistik

yang sering menjadi ko-infeksi HIV dengan

kasus sebanyak 24% - 45% kasus TB pada

infeksi HIV asimptomatik dan sebanyak

70% pada pasien anak dengan AIDS.

Hasil survei yang dilakukan oleh

Departemen Kesehatan di beberapa propinsi

menunjukkan angka ko-infeksi TB-HIV

yang bervariasi, yaitu 24% di Bali, 32% di

Jawa Timur, dan 10% di Jakarta.

Pasien menderita HIV sejak 8 bulan

yang lalu dan terdiagnosis TB sejak

5 bulan yang lalu.

Pasien tinggal di kota Jakarta.

Anamnesis

Teori Kasus

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas

atau BB tidak naik dengan adekuat atau tidak

naik dalam 1bulan setelah diberikan upaya

perbaikan gizi yang baik.

2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang

tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,

ISK, malaria, dan lain-lain). Demam

umumnya tidak tinggi.

3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-

remitting (tidak pernah reda/ intensitas

semakin lama semakin parah) dan sebab lain

batuk telah dapat disingkirkan.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau

berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to

thrive).

5. Lesu/ malaise, kurang aktif bermain.

6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) tidak

sembuh dengan pengobatan baku diare.

1. Pasien mengalami penurunan berat

badan yang cukup signifikan dalam 1

bulan turun 2 kg. Dan menurut

pengakuan bibi pasien, nafsu makan

pasien baik, bahkan lebih banyak

makan dibandingkan kakak laki-laki

pasien.

2. Pasien sering mengalami demam

berulang tanpa penyebab yang jelas,

tidak terlalu tinggi, naik turun terus

menerus selama ± 1bulan.

3. Pasien juga mengalami batuk

berdahak ± 1 bulan terakhir, dahak

warna kuning kehijauan.

4. Nafsu makan cukup baik, BB

menurun namun belum masuk

kedalam gagal tumbuh.

5. Pasien lesu dan agak rewel.

6. Pasien mengalami diare akut yang

Page 47: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

berulang (<14 hari).

Pemeriksaan fisik

Teori Kasus

Pada sebagian besar kasus, tidak dijumpai

kelainan fisis yang khas.

Antropometri : gizi kurang dengan grafik

berat badan dan tinggi badan pada posisi

didaerah bawah atau di bawah P5.

Suhu subfebris dapat ditemukan pada

sebagian pasien.

Kelainan pada pemeriksaan fisis baru jumpai

jika Tb mengenai organ tertentu.

TB vertebra : gibbus, kifosis, paraparesis

atau paraplegia

TB koksae atau TB genu : jalan pincang,

nyeri pada pangkal paha atau lutut

Pembesaran KGB mutipel, tidak nyeri tekan,

dan konfluens (saling menyatu)

Meningitis TB : kaku kuduk dan tanda

rangsang meningeal lain

Sklofuroderma : ulkus kulit dengan

skinbridge biasanya terjadi di daerah leher,

axilla atau inguinal

Konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih

pada limbus korne yang sangat nyeri.

Pada pasien didapatkan:

Antropometri : gizi kurang.

Selama perawatan suhu pasien:

15/3/2015 : 38,5o C

16/3/2015 : 37,0 o C

17/3/2015 : 37,5o C

18/3/2015 : 36,0o C

19/3/2015 : 37,8o C

Ada pembesaran KGB :

Kelenjar getah bening submandibula

sinistra teraba membesar dengan ukuran

3 cm, permukaan halus, batas tegas,

mobile (+), nyeri tekan (-), tanda

inflamasi (-) dan kelenjar getah bening

colli dextra teraba membesar 2 buah

dengan ukuran diameter 2cm dan 2cm,

permukaan halus, batas tegas, mobile

(+), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-).

Pemeriksaan penunjang

Teori Kasus

Uji tuberkulin

Foto thorax AP dan lateral kanan

Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan

bilasan lambung atau sputum untuk mencari

BTA atau hasil biakan mycobacterium

Uji tuberkulin tidak diketahui.

Foto thorax AP dan lateral tidak

diketahui.

Pemeriksaan darah lengkap :

LED : 86

Page 48: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

tuberculosis

Pemeriksaab patologi dari biopsi kelenjar,

kulit, atau jaringan lain yang dicurigai TB

Fundoskopi untuk TB milier dan meningitis

TB

Pungsi lumbal pada TB milier untuk

mengetahui ada tidaknya meningitis TB

Foto tulang dan pungsi pleura dilakukan atas

indikasi

Pemeriksaan darah tepi, LED, urin, feses

untuk membantu menunjang diagnosis

namun tidak berperan penting.

Pemeriksaan lainnya tidak dilakukan.

Diagnosis

Teori Kasus

Diagnosis TB pada HIV bersifat presumtif

berdasarkan :

Riwayat dengan kontak TB dewasa

terutama yang BTA (+)

Uji tuberkulin ≥ 5 mm

Gambaran sugestif TB secara klinis

(misalnya gibbus)

Foto thorax yang menunjang sugestif TB

Pasien kontak dengan kakak laki-laki

pasien yang menderita TB karena

tinggal serumah

Uji tuberkulin ? (hasil tidak diketahui

→ data dari RM tidak ada,bibi pasien

juga tidak mengetahui hasilnya hanya

pernah mengatakan dahulu pernah di

tes tapi hasilnnya tidak tahu)

Tampak sakit berat :

- sesak napas sejak 1 hari

SMRS yang memberat dalam

2 jam SMRS,

- Demam hangat-hangat saja ±

1 bulan tanpa penyebab yang

jelas, naik turun sepanjang

hari

- Batuk ± 1 bulan, berdahak

warna kuning kehijauan

- Sering berkeringat di malam

Page 49: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

hari

- BB turun 2 kg dalam 1 bulan

terakhir,

Gambaran foto thorax ? (hasil tidak

diketahui → data dari RM tidak

ada,bibi pasien juga tidak mengetahui

hasilnya hanya pernah mengatakan

dahulu pernah di rontgen dada tapi

hasilnnya tidak tahu)

Tatalaksana

Teori Kasus

Pengobatan diberikan :

Klinis, foto thorax, dan uji tuberkulin yang

mendukung

Klinis dan pemeriksaan penunjang lemah →

observasi

Klinis sakit berat dan curiga TB serta

pemeriksaan penunjang lemah → mulai

terapi

Pengobatan diberikan pada pasien

karena:

Klinis berat dan hasil foto thorax dan

uji tuberkulin yang ada dahulu

mendukung kecurigaan penyakit TB

paru dan kelenjar

Klinis pasien berat dan kecurigaan

ke arah TB besar dengan tanda

gejala : sesak napas yang memberat,

demam ↑↓ ± 1 bulan, batuk

berdahak ± 1bulan, gizi kurang,

pe↓an BB 2 kg dalam 1 bulan

terakhir, diare akut berulang < 14

hari, terjadi pembesaran KGB, dan

keringat dingin di malam hari ;

meskipun klinis yang berat ini tidak

disertai dengan pemeriksaan

penunjang yang memperkuat

diagnosis tetap dilakukan

pengobatan TB.

Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu:

Fase intensif : 4-5 OAT selama 2 bulan awal

Pasien saat ini mendapatkan dosis sesuai

FDC dan sedang menjalani fase lanjutan

Page 50: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

(RHZE / RHZES)

Fase lanjutan dengan 2 OAT (INH-

Rifampisin) hingga 9-12 bulan.

Pada anak, obat TB diberikan secara harian

(daily) baik pada fase intensif maupun fase

lanjutan :

TB paru dan kelenjar : INH, rifampisin,

pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase

intensif dan dilanjutkan INH & rifampisin

hingga genap 9-12 bulan terapi (2HRZE & 6-

9HR).

INH : 10 (5-15) mg/kgBB/hari

Rifampisin : 15 (10-20) mg/kgBB/hari

Pirazinamid : 25 (15-30) mg/kgBB/hari

Etambutol : 20 mg/kgBB/hari

(bulan ke-5) :

INH : 200 mg/hari

Rifampisin : 300 mg/hari

RESUME

Telah diperiksa anak laki-laki berusia 8 tahun 2 bulan 26 hari

Dari anamnesa didapat :

Lemas sejak 3 hari SMRS, dirasakan terus menerus dan semakin lama semakin

memberat

Kleyengan dan mata berkunang-kunang saat bangun tidur sejak 3 hari SMRS

Badan terasa mudah lelah sejak 3 hari SMRS

Mata buram saat melihat ke papan tulis sejak 3 hari SMRS

Terlihat pucat dalam 2 bulan terkahir

Nafsu makan dan minum baik

Sedang pengobatan TB Paru bulan ke-5 dan pengobatan ART sejak bulan Desember

2014, sempat putus obat 1 minggu pada bulan maret 2015 kemudian 18 Mei 2015

kembali terapi ART setelah sempat diberhentikan 2 bulan karena OAT awal 2 bulan

Page 51: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Riwayat kontak dengan penderita TB BTA (+) [kakak laki-laki pasien]

Riwayat perumahan dengan sirkulasi udara yang kurang baik

Riwayat Penyakit Dahulu

- OMSK, stomatitis, dan oral kandidiasis.

- Sesak / asma : disangkal.

- Jantung : disangkal.

- Alergi : disangkal.

- Kejang : disangkal.

Riwayat Keluarga : Ayah os menderita HIV, kakak laki-laki os

menderita HIV dan riwayat TB Paru, Ibu os HIV

(?)

Riwayat Kehamilan dan kelahiran : Baik

Riwayat Tumbuh Kembang : Baik

Riwayat Makanan : Baik

Riwayat Imunisasi : Tidak diketahui, hanya riwayat BCG yang (+)

Pemeriksaan umum

Panjang badan : 118 cm

Berat Badan : 20,5 kg

Suhu : 36,7°C

Nadi : 80 x / menit, isi cukup, regular

RR : 21 x / menit

Tekanan Darah : 105/59 mmHg

Keadaan gizi : Gizi Baik

Page 52: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Kesadaran : Compos Mentis

Pemeriksaan Fisik yang Berarti (saat anamnesis 07 Agustus 2015)

Mata : konjungtiva anemis (+/+)

Mulut : bibir kering (+), pucat (+), krusta di bibir (+)

Gigi Geligi : mutipel karies (+)

Leher : kelenjar getah bening colli dextra teraba membesar 2 buah dengan

ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm, permukaan halus, batas tegas,

mobile (-), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-)

Abdomen :

- Skar (+)

- Hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae, tepi tajam, permukaan licin, NT (-)

- Lien teraba di schuffner 1, nyeri tekan (-)

Kulit : pucat (+) di telapak tangan dan kaki, skar (+) di ke-4 ekstremitas,

eritema (+) di muka, leher, dan tangan

Pemeriksaan Penunjang (06 Agustus 2015)

Leukosit : 3,2 ribu/µL

Eritrosit : 1,03 juta/µL

Hemoglobin : 3,8 g/dL

Hematokrit : 10 %

M.C.V : 99 fL

M.C.H : 37 pq

M.C.H.C : 37 g/dL

Page 53: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Pemeriksaan Hasil

Eritrosit Normositik Normokrom

Leukosit Jumlah kurang, morfologi normal

Trombosit Jumlah cukup, morfologi normal

Kesan Anemia gravis normositik normokrom

Leukopeni Saran Marker infeksi virus darah samar

DIAGNOSA

Diagnosa Awal : Anemia

HIV stadium III

TB Paru dan Kelenjar

Diagnosa Banding : -

TATA LAKSANA

Non Medikamentosa :

Tirah baring

Asupan makanan dan minuman yang adekuat, porsi kecil tapi sering

Meningkatkan asupan makanan kaya akan zat besi (daging sapi, ayam, ikan, hati,

kacang-kacangan, sayur berdaun hijau)

Mengkonsumsi makanan yang dapat membantu penyerapan zat besi (vitamin C)

Membatasi minuman yang dapat menghambat penyerapan zat besi (teh, kopi)

Perbaiki sirkulasi udara dalam rumah dengan membuka jendela dan pintu sehingga

sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah

Page 54: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Medikamentosa :

IVFD KaEn 3B 1500 cc / 24 jam

Transfusi PRC 2 x 200 cc

ART :

1. FDC 2 x 3 tablet

2. ZDV 2 x 3 tablet

OAT :

1. Rifampicin 300 mg 1 x 1 pulv (pagi)

2. INH 200 mg 1x 1 pulv (pagi)

Kotrimoksazol 1 x 1 cth

CTM 1 x 2 mg (jika gatal)

PCT 3 x 1 cth (jika demam ≥ 380 C)

Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg (3 x 1 pulv)

Diet NB 1500 kkal dan ekstra putih telur

PROGNOSA

Ad vitam : ad bonam

Ad functionam : ad bonam

Ad sanationam : dubia

Page 55: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

KESIMPULAN

Pada pasien ini berdasarkan anamnesis dengan keluhan lemas, kleyengan dan mata

berkunang-kunang setelah bangun tidur, badan terasa mudah lelah, mata buram, badan

terlihat pucat, nafsu makan baik, serta ditemukannya kelainan pada pemeriksaan fisik berupa

konjungtiva anemis, bibir pucat, telapak tangan dan kaki pucat, serta hasil pemeriksaan darah

yang menunjukkan penurunan Hb dibawah nilai normal sehingga mendukung diagnosis

anemia. Pada kasus ini dicurigai anemia dikarenakan penyakit infeksi kronis (HIV dan TB

Paru) atau karena penggunaan ART Zidovudine. Berdasarkan hasil pemeriksaan hapusan

darah tepi ditemukan gambaran morfologi eritrosit berupa normositik normokrom dan hasil

pemeriksaan darah yang terlihat terjadinya peningkatan pada MCV sehingga disimpulkan

anemia pada pasien ini disebabkan karena zidovudine karena hal itu sesuai dengan gambaran

anemia akibat penggunaan Zidovudine yang menunjukkan gambaran eritrosit normositik

normokrom dan nilai MCV yang biasanya menunjukkan nilai normal atau meningkat.

Pada pasien ini juga mempunyai riwayat ayah dan kakak laki-laki yang positif HIV.

Sedangkan ibu pasien tidak diketahui riwayat HIV semasa hidupnya karena tidak diperiksa.

Penyebab kematian pada ibu pasien yang tidak jelas serta mempunyai mantan suami seorang

pekerja diskotek meningkatkan kecurigaan ibu pasien juga terkena HIV. Pada pasien dengan

saudara sekandung yang menderita HIV menjadi anak terduga HIV sehingga harus dilakukan

pemeriksaan HIV. Usia kakak dan pasien yang masih anak-anak diduga terkena HIV secara

vertikal dari ibu pasien baik selama kehamilan, persalinan maupun setelah persalinan.

Dengan riwayat pasien lahir secara normal dan mendapatkan ASI hingga umur 1 tahun maka

resiko terjadinya penularan ke pasien menjadi lebih besar dibandingkan dengan anak yang

dilahirkan secara SC dan tidak mendapatkan ASI.

Pasien juga mempunyai riwayat datang ke IGD RSPI SS dengan keluhan klinis yang

berat berupa sesak napas 1 hari SMRS yang kemudian memberat 2 jam SMRS, demam

hangat-hangat saja ± 1 bulan dan naik turun, batuk berdahak ± 1 bulan, keringat malam hari,

penurunan BB 2 kg dalam 1 bulan terakhir, status gizi kurang, pada pemeriksaan fisik

ditemukan adanya pembesaran KGB, sedangkan hasil foto rontgen dan uji tuberkulin tidak

diketahui datanya baik dari Rekam Medis maupun dari bibi pasien. Berdasarkan klinis

dicurigai kemungkinan besar pasien ini terkena TB paru dan kelenjar. Pengobatan dilakukan

dengan 2 kemungkinan :

Page 56: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

1. Klinis ada, pemeriksaan uji Tuberkulin dan foto rontgen dada yang dahulu

mungkin mendukung diagnosis dengan hasil yang bermakna.

2. Dengan klinis yang berat tanpa pemeriksaan penunjang yang mendukung pun

untuk kasus anak TB pada HIV bisa dimulai pengobatan dengan OAT.

Page 57: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

ANEMIA PADA HIV

A. DEFINISI

Anemia pada HIV didefinisikan dengan kadar Ht < 33% dan kadar Hb < 10 mg/dL.

B. EPIDEMIOLOGI

Anemia adalah kelainan hematologi terbanyak yang terjadi pada pasien dengan

HIV dan biasanya berhubungan dengan progresifitas penyakit tersebut dan hasil

klinis yang buruk serta kematian. Sebuah studi epidemiologi sebanyak 32.867

pasien infeksi HIV pada orang dewasa dan remaja menemukan bahwa resiko

kematian meningkat hingga 170% pada pasien dengan anemia persisten (Hb <10

mg/dL) dibandingkan dengan pasien dengan anemia yang tertangani. Anemia

merupakan klinis yang penting pada infeksi HIV dan diperkirakan prevalensi pada

HIV asimtomatik sekitar 10% sedangkan pada AIDS sekitar 92%.

C. ETIOLOGI

Anemia terjadi karena kerusakan dari hematopoiesis (menurunnya produksi sel darah

merah) termasuk :

1. Supresi Sumsum Tulang

Dua mekanisme utama dimana HIV mempengaruhi sumsum tulang adalah :

a. Infeksi langsung dari sel-sel progenitor, atau

b. Tindakan tidak langsung sel aksesori terinfeksi.

Mekanisme utama bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain dan

dapat bervariasi pada pasien jika diberikan pada waktu yang berbeda. Megakaryosit,

misalnya, mengungkapkan CD4 dan CCR5 reseptor di mana HIV memasuki sel-sel

ini dan menciptakan efek penekan langsung. Atau, sel-sel T yang terinfeksi dan

sekresi makrofag mengubah factor pertumbuhan-β (TGF-β), interferon α, dan /

atau tumor necrosis factor-α (TNF ), α yang semuanya dikenal untuk

Page 58: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

menghambat megakaryocytopoiesis. HIV juga dapat menginfeksi sel-sel sumsum

stroma.

2. Terapi Obat

Terapi obat tunggal atau kombinasi berpotensial jadi agen myelosupresi,

seperti zidovudine, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ganciclovir, yang dapat

menyebabakan kerusakan hematopoiesis.

3. Infeksi Oportunistik

Mycobacterium avium complex

Parvovirus B19

CMV

Dan agen lain yang dapat menyebabkan kerusakan dari hematopoiesis

4. Infiltrasi Sumsum Tulang oleh Keganasan

Hal ini jarang terjadi pada anak-anak, terjadi kurang lebih pada 1,5% anak

yang terinfeksi HIV. Keganasan yang paling banyak pada anak dengan HIV adala

Limfoma Non-Hodgkin.

Sebuah etiologi yang mungkin untuk kerusakan perifer autoimun yang dimediasi

adalah pengembangan autoantibodi untuk trombosit dan unsur-unsur darah lainnya yang

kurang umum, yang dapat dipicu oleh HIV. Kerusakan autoimun juga dapat terjadi di

sumsum serta darah perifer.

D. FAKTOR RESIKO

1. Riwayat penyakit TB dalam kurun waktu 6 bulan yang lalu

2. Terinfeksi cacing tambang

E. MANIFESTASI KLINIS

Anamnesis

o Pusing

o Mudah berkunang-kunang

o Lesu

Page 59: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

o Aktivitas kurang

o Rasa mengantuk

o Sukar konsentrasi

o Cepat lelah

o Prestasi kerja fisik / pikiran menurun

o Kemungkinan ada komplikasi → timbul tanda-tanda kelainan pada jantung

Pemeriksaan Fisik

o Pucat (konjungtiva dan telapak tangan serta kaki)

o Takikardi

o Pulcus celer

o Suara pembuluh darah spontan

o Bising karotis

o Bising sistolik anorganik

o Pembesaran jantung

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hapusan darah tepi

Pemeriksaan darah lengkap

Hal yang dinilai :

- Hb

- MCV

- MCH

- MCHC

Kadar besi serum

Total Binding Iron Capacity

Nilai retikulosit

Serum Transferrin Receptor (STfR)

Page 60: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

ANEMIA YANG BIASANYA BERHUBUNGAN DENGAN HIV

Anemia Besi Total

Iron

Binding

Capacity

Mean

corpuscular

Volume

Retyculocyt

e Count

Hal yang

membedakan

Anemia karena Penyakit

Kronik

rendah Normal /

rendah

Normal /

Rendah

Rendah Yang paling umum

Defisiensi besi Rendah Tinggi Rendah

(jika tidak

ditutupi oleh

sebab yang

lain)

Normal /

menurun

Diet – mungkin sulit

untuk membedakan

anemia karena

penyakit kronik

dengan anemia

defisiensi besi

Hipoproduksi oleh karena

obat (zidovudine,

trimethoprim-

sulfamethoxazole, dapsone)

Norma

l

Normal Normal

hingga

meninggi

Normal /

rendah

Timbul dalam

jangka waktu

seminggu pertama

dari mulai terapi

Hemolisis oleh karena obat

(trimethoprim-

sulfamethoxazole, dapsone)

Norma

l

Normal Normal Tinggi /

normal

Bilirubin meningkat,

dehidrogenase susu,

low haptogoblin

smear; mungkin bisa

berhubungan dengan

defisiensi G6PD

Hipoproduksi berhubungan

dengan infeksi (parvo B19,

MAC)

Norma

l

Normal Normal

hingga

meninggi

Menurun Tanda dan gejala

dari 5 penyakit

mungkin tidak ada

Hipersplenism Norma

l

Normal Normal

hingga

meninggi

Meningkat /

normal

Splenomegali,

pancytopenia

Page 61: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

G. TATA LAKSANA

Jika kadar eritropoietin endogen < 500 mUnits/mL, terapi eritropietin (50-200

iu/kg/dose 3x/minggu) harus diberikan untuk mengurangi kebutuhan tranfusi. Suplemen

besi oral (3-6mg/kg/hari) dan asam folat (1mg/hari) harus diberikan ketika eritropoietin

mulai diberikan.

Jika gejala klinis anemia signifikan (Hb < 7 mg/dL atau ada tanda-tanda

kegawatdaruratan Jantung-Paru), penggunaan eritropoietin atau transfusi

direkomendasikan untuk penggunaan zidovudine hingga diagnosis ditegakkan. Dosis

zidovudine tidak boleh diubah. Jika anemia berat berkembang setelah minggu keempat

profilaksis AZT, AZT dapat dihentikan pada waktu itu dan hasilnya lebih baik dari pada

neonatus mendapat transfusi darah atau eritropoietin.

Kebutuhan untuk transfusi darah harus dievaluasi dengan hati-hati. Transfusi harus

disediakan untuk, anemia berat klinis yang signifikan. Iradiasi dan pengurangan leukosit dari

darah menurut protokol standar harus digunakan untuk semua transfusi.

Nevirapine diganti dengan efavirenz jika seorang anak sedang terapi TBC dengan

penggunaan rifampicin. Zidovudine diganti dengan stavudine jika anak memiliki kadar

Hb < 8 mg/dL.

Pengobatan anemia harus diarahkan untuk memperbaiki penyebab yang mendasari

melalui dukungan gizi, suplementasi besi untuk defisiensi zat besi, kontrol infeksi

oportunistik, dan kontrol perdarahan berkelanjutan disesuaikan dengan lokasi perdarahan

yang sesuai. Contohnya termasuk humidifikasi udara, mungkin aminokaproat untuk

epistaksis, dan pil kontrasepsi untuk perdarahan vagina. Secara umum, setelah masa neonatal

dan awal masa bayi, anemia disebabkan terapi ARV adalah sering ringan dan jarang

memerlukan penghentian terapi.

Saat lahir, perhatian khusus harus diberikan kepada hemoglobin bayi yang lahir dari

ibu yang terinfeksi HIV terkena AZT. Kadar hemoglobin cenderung sedikit lebih rendah pada

neonates lainnya, dengan anemia karena AZT terkait jelas pada usia 3 minggu.

Page 62: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Erythropoietin telah terbukti efektif pada anemia terkait HIV, terutama ketika hal itu

disebabkan oleh AZT atau tingkat erythropoietin endogen yang rendah.

Indikasi, risiko, dan manfaat untuk transfusi sel darah merah mirip dengan pasien

yang tidak terinfeksi HIV. Namun, ketika transfusi pasien yang terinfeksi HIV, ada beberapa

khusus kekhawatiran yang mendahului ketersediaan rutin leuko-reduksi. Penelitian telah

menunjukkan peningkatan viral load 5 hari setelah transfusi, peningkatan kejadian infeksi

sitomegalovirus dan kematian pada pasien dengan penyakit lanjut juga terjadi, meskipun

sebagian besar penelitian ini dilakukan pada orang dewasa. Tingkat kelangsungan hidup

yang mungkin menurun pada pasien yang diberi transfusi dibandingkan dengan pasien yang

memiliki derajat anemia dan imunodefisiensi yang sama yang tidak diberikan transfusi.

Iradiasi dan pengurangan leukosit telah sangat mengurangi risiko penyakit infeksi dan graft-

versus-host yang berkaitan dengan transfusi.

Page 63: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

HIV

A. Definisi

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel

sistem kekebalan tubuh, termasuk limfosit T helper (CD4 limfosit T), monosit, dan makrofag.

Dampak dari infeksi HIV adalah berkurangnya fungsi dan jumlah limfosit CD4 T dan sel-sel

lain yang terkena, sehingga menekan sistem pertahanan selular dan humoral tubuh. Tanpa

pengobatan, HIV akan menyebabkan hilangnya kekebalan tubuh, yang menyebabkan dengan

kondisi yang memenuhi definisi acquired immunodeficiency sindrom (AIDS) dan, akhirnya,

kematian. diagnosis klinis AIDS dibuat ketika anak terinfeksi HIV mengembangkan salah

satu infeksi oportunistik, keganasan, atau kondisi yang tercantum dalam stadium klinis 3 pada

klasifikasi menurut CDC atau WHO. Pada orang dewasa dan remaja, kriteria untuk diagnosis

AIDS juga mencakup jumlah CD4 T-limfosit absolut 200 sel / uL atau kurang.1

B. Epidemiologi

WHO memperkirakan pada tahun 2013, 3.2 juta anak anak dibawah 15 tahun hidup

dengan infeksi HIV-1, 90% diantaranya berada di sub-saharan Africa. Walaupun jumlah anak

anak yang lahir dengan HIV telah turun 43% antara tahun 2009 sampai 2013, masih 199.000

anak yang terinfeksi baru hanya ditahun 2013. Kebanyakan dari kasus anak adalah hasil dari

transmisi secara vertical dari ibu yang terinfeksi HIV.2

Page 64: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Di Indonesia sendiri kasus HIV dari hasil statistik oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI yang

dilaporkan sampai dengan September 2014 adalah sebagai berikut :

Page 65: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)
Page 66: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia

Jenis Kelamin/Sex

Dilapor s/d September 2014

Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI

C. Etiologi

HIV adalah anggota dari genus Lentivirus, bagian dari keluarga Retroviridae.

Lentivirus memiliki banyak morfologi dan sifat biologis yang sama. Banyak spesies yang

terinfeksi oleh lentivirus, yang khas bertanggung jawab untuk penyakit lama-lama dengan

masa inkubasi yang panjang.2

Page 67: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Lentivirus ditransmisikan sebagai untai tunggal, positif-rasa, menyelimuti virus RNA.

Setelah masuk ke dalam sel target, RNA genom virus dikonversi (reverse ditranskripsi)

menjadi DNA untai ganda oleh reverse transcriptase viral dikodekan yang diangkut bersama

dengan genom virus dalam partikel virus. DNA virus yang dihasilkan kemudian diimpor ke

dalam inti sel dan diintegrasikan ke dalam DNA sel oleh viral dikodekan integrase dan tuan

rumah co-faktor. Setelah terintegrasi, virus dapat menjadi laten, yang memungkinkan virus

dan sel inang untuk menghindari deteksi oleh sistem kekebalan tubuh. Atau, virus dapat

ditranskripsi, memproduksi genom RNA baru dan protein virus yang dikemas dan dibebaskan

dari sel sebagai partikel virus baru yang memulai siklus replikasi baru.

HIV dapat dibagi menjadi dua jenis utama, jenis HIV 1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2).

HIV-1 terkait dengan virus yang ditemukan pada simpanse dan gorila yang hidup di Afrika

barat, sementara HIV-2 virus terkait dengan virus yang ditemukan di Afrika terancam punah

barat jelaga primata mangabey.

HIV-1 virus dapat dibagi lagi menjadi kelompok. HIV-1 grup virus M mendominasi

dan bertanggung jawab untuk pandemi AIDS. Grup M dapat dibagi lagi menjadi subtipe

berdasarkan data urutan genetik. Beberapa subtipe diketahui lebih ganas atau tahan terhadap

obat yang berbeda. Demikian juga, HIV-2 virus dianggap kurang virulen dan menular dari

virus kelompok HIV-1 M, meskipun HIV-2 diketahui juga dapat menyebabkan AIDS.

HIV-1 adalah strain yang paling umum dan patogen virus. Para ilmuwan membagi-

HIV 1 menjadi kelompok besar (Group M) dan dua atau lebih kecil kelompok. Setiap

kelompok diyakini mewakili transmisi independen SIV menjadi manusia (tapi subtipe dalam

suatu kelompok tidak). Sebanyak 39 ORFs ditemukan di semua enam frame membaca

mungkin (RFS) dari HIV-1 urutan genom lengkap, tetapi hanya sedikit dari mereka yang

fungsional.

Page 68: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

D. Transmisi

Transmisi HIV-1 terjadi secara kontak seksual, melalui darah, atau transmisi secara

vertikal dari Ibu ke anak. Transmisi secara vertikal merupakan rute utama penularan infeksi

pada pasien anak.

Transmisi secara vertical dapat terjadi pada saat sebelum persalinan (intrauterine),

dalam persalinan (intrapartum), atau setelah persalinan (melalui pemberian ASI). Walaupun

transmisi pada masa intrauterine dapat diidentifikasi dengan kultur atau PCR dari jaringan

fetus pada minggu ke 10, data statistik menunjukan bahwa kebanyakan transmisi pada masa

intrauterine terjadi pada akhir usia gestasi, dimana integritas dari placenta melemah dan

terjadi microtransfusi dari ibu ke anak.

Persentase penularan terbesar yaitu pada saat persalinan (intrapartum), dibuktikan

dengan tidak ditemukannya virus sampai umur 1 minggu kehidupan. Mekanisme dari

transmisi ini nampaknya melalui mukosa bayi yang terekspos darah ibu dan sekresi

cervicovaginal pada jalan lahir, dan kontraksi aktif uterus pada saat persalinan.

Beberapa factor resiko yang dapat meningkatkan resiko penularan secara vertical

yaitu viral load dan jumlah CD4 ibu. Resiko penularan adalah sebesar 2 kali lipat setiap

penigkatan Log10 viral load ibu pada saat persalinan. Persalinan secara sectio cecarean

menurunkan resiko penularan sebesar 87% jika di berikan bersamaan dengan terapi

zidovudine pada ibu dan bayi. Akan tetapi data menunjukan pada pemberian antiretroviral

combinasi (cART) manfaat persalinan secara sectio secarean nampak kurang begitu berarti

dengan catatan viral load ibu <1000 copies/mL. angka kejadian penularan hanya sebesar

<0.1% pada ibu dengan viral load <50 copies/mL.

Transmisi melalui pemberian ASI merupakan rute yang paling jarang ditemukan

terutama pada Negara maju, namun transmisi melalui ASI berkontribusi sebanyak 40%

sebagai rute penularan pada Negara berkembang.

Di Negara maju, wanita yang diketahui terinfeksi HIV atau memiliki resiko terinfeksi

HIV,maka dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan disubstitusi dengan susu formula,

akan tetapi pada Negara berkembang dimana sering terdapat penyakit diare, pneumoni dan

malnutrisi pemberian ASI dianjurkan oleh WHO dengan pertimbangan manfaat pemberian

ASI melebihi resiko transmisi HIV setidaknya selama 6 bulan.2

Page 69: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

E. Patogenesis

Pada kebanyakan kasus, awal infeksi dimulai dari jumlah virus yang rendah, oleh

karena itu infeksi awal dapat dicegah dengan pengobatan profilaksis. Ketika virus masuk

melalui mukosa, sel yang pertama terpengaruh adalah sel dendritic. Sel ini mengambil dan

memproses antigen dari perifer dan membawanya ke jaringan limfe. HIV tidak menginfeksi

dendritic sel tapi melekat pada molekul permukaan DC-SIGN. Dengan begitu virus dapat

bertahan sampai mencapai jaringan limfe. Di dalam jaringan limfe virus secara selektif

mengikat pada sel yang mengekspresikan CD4 pada permukaannya, terutama sel T helper

dan turunan monocyte dan macrophage. Sel-sel lain yang memiliki CD4 seperti microglia,

astrocyte dan oligodendroglia dan jaringan placenta yang mengandung sel vilous Hofbauer

dapat juga terinfeksi HIV. Untuk masuk kedalam sel, HIV membutuhkan coreseptor yaitu

CCR5 dan CXCR4. Pada beberapa strain HIV tertentu dibutuhkan coreceptor lainnya seperti

CCR1, dan CCR3. Perbedaan Genetik pada host juga mempengaruhi kemampuan HIV dalam

menginfeksi. Progresivitas dari penyakit, dan respon pengobatan. Mutasi genetic pada orang-

orang tertentu yang sering ditemukan pada ras putih seperti mutase pada CCR5Δ32 yang

menyebabkan tidak adanya CCR5 memiliki efek protektif terhadap infeksi HIV. 2

Skema. siklus hidup virus

Page 70: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Biasanya CD4 limfosit bermigrasi ke jaringan limfe dalam merespon adanya antigen virus,

kemudian menjadi aktif dan berproliferasi, hal ini menjadikan CD4 rentan terhadap infeksi

virus HIV. Migrasi yang disebabkan antigen ini menyebabkan akumulasi sel CD4 pada

jaringan limfe dan berkontribusi pada limfadenopati generalisata yang menjadi karakteristik

syndrome retroviral akut pada orang dewasa dan remaja.

Ketika replikasi virus HIV mencapai batas tinggi (biasanya setelah minggu ke 3 – 6),

terjadi lonjakan viremia dalam plasma. Viremia ini menyebabkan gejala flu atau gejala

mononucleosis (demam, rash, limfadenopati, atrhalgia) pada 50 – 70% dewasa yang

terinfeksi.

Dengan terbentuknya respon sellular dan humoral dalam 2-4 bulan, jumlah viral load

dalam darah akan menurun, dan pasien masuk pada fase tak bergejala.

Replikasi awal virus HIV-1 pada anak tidak menunjukan gejala klinis. Walaupun di

tes dengan PCR, kurang dari 40% yang terdeteksi pada saat lahir. Virus load meningkat pada

1 – 4 bulan, dan hampir semua anak terdeteksi virus HIV dari darah perifer pada bulan ke – 4.

Mekanisme menurunnya jumlah CD4 pada dewasa dan anak termasuk, HIV-mediated

single cell killing, formation of multinucleated giant cells dari CD4 yang terinfeksi dan yang

tidak terinfeksi, virus-specific immune responses (sel natural killer, antibody-dependent

cellular cytotoxicity), superantigen-mediated activation of T cells, autoimmunity, dan

programmed cell death(apoptosis). Beban viral lebih banyak di jaringan limfoid dari pada di

darah perifer pada periode asimtomatik.

Monosit dan makrofag dapat terinfeksi oleh HIV dan tidak terkena efek cytopathic

dari virus, dengan masa hidup yang panjang, menjelaskan peran mereka sebagai reservoir

bagi virus HIV.

Anak yang terinfeksi HIV memiliki perubahan pada system imun yang mirip dengan

yang terjadi pada orang dewasa. Berkurangnya jumlah CD4 akan tampak lebih sedikit

dibandingkan dewasa karena pada bayi umumnya memiliki relative lymphocytosis. Jumlah

CD4 1.500 sel/uL pada anak kurang dari 1 tahun menandakan penurunan yang banyak

dibandingkan CD4 <200 pada dewasa. Lymphopenia jarang ditemukan pada anak yang

terinfeksi saat lahir dan biasanya hanya terlihat pada anak yang lebih tua dengan end-stage

disease.

Page 71: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Keterlibatan Sistem saraf pusat lebih umum dijumpai pada pasien anak dibandingkan

pada orang dewasa. Makrofag dan mikroglia memainkan peran penting dalam

neuropathogenesis HIV, dan data menunjukkan bahwa astrosit mungkin juga terlibat.

Meskipun mekanisme khusus untuk ensefalopati pada anak-anak yang belum jelas, otak

berkembang di bayi muda dipengaruhi oleh minimal 2 mekanisme. Virus itu sendiri mungkin

langsung menginfeksi berbagai sel-sel otak atau menyebabkan kerusakan langsung pada

sistem saraf dengan pelepasan sitokin (IL-1α, IL-1β, TNF-α, IL-2) atau oksigen reaktif dari

limfosit yang terinfeksi HIV atau makrofag.

Terapi yang tepat dengan ARV dapat mengakibatkan immune reconstitution

inflammatory syndrome (IRIS), yang ditandai oleh respon inflamasi yang meningkat akibat

pulihnya sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi oportunistik subklinis (misalnya,

Mycobacterium, virus herpes simpleks [HSV] infeksi, toksoplasmosis, sitomegalovirus

[CMV] infeksi, pneumonia, infeksi kriptokokus). Kondisi ini lebih umum diamati pada

pasien dengan progresif Penyakit dan CD4 + T-limfosit deplesi berat. Pasien dengan IRIS

mengembangkan demam dan memburuknya manifestasi klinis dari infeksi oportunistik atau

manifestasi baru (misalnya, pembesaran kelenjar getah bening, infiltrat paru), biasanya dalam

beberapa minggu 1 setelah mulai ART.

Menentukan apakah Gejala yang timbul merupakan IRIS, perburukan infeksi saat ini,

infeksi oportunistik baru, atau akibat toksisitas obat sering sangat sulit. Jika sindromadalah

benar IRIS, menambahkan agent antiinflamasi nonsteroid atau kortikosteroid dapat

mengurangi reaksi inflamasi, meskipun penggunaan kortikosteroid masih kontroversial.

Peradangan dapat mencapai beberapa minggu atau bulan untuk mereda. Dalam kebanyakan

kasus, kelanjutan pengobatan anti-HIV sementara mengobati infeksi oportunistik (dengan

atau tanpa agen antiinflamasi) sudah cukup. Jika infeksi oportunistik diduga sebelum dimulai

ART, pengobatan antimikroba yang sesuai harus diberikan terlebih dahulu.2

Page 72: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)
Page 73: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

F. Manifestasi Klinis

Bayi baru lahir dengan infeksi HIV jarang menimbulkan gejala saat lahir. Pada

pemeriksaan fisiknya juga tidak ditemukan perbedaan dengan bayi yang tidak terinfeksi.

Akan tetapi 30 – 80% bayi yang terinfeksi akan menunjukan gejala dalam tahun pertama

kehidupan. Hepatomegali, splenomegaly, limfadenopati, parotitis dan infeksi saluran nafas

berulang adalah tanda yang berkaitan dengan perkembangan yang lambat. Severe bacterial

infection, Progresive nerologic disease, anemia dan demam terkait dengan perkembangan

penyakit yang cepat. Pemberian ARV dapat memperlambat atau mencegah perkembangan

penyakit, oleh karena itu menegakkan diagnosis diawal sangat lah penting.1

Bayi dengan infeksi HIV sangat rentan terkena Pneumocystis Jiroveci pneumonia

(PCP), dengan insiden tertinggi saat berumur 2 – 6 bulan. Oleh karena itu pemberian

profilaksis untuk PCP mulai dari saat berumur 4 – 6 minggu. Bila terbukti tidak terinfeksi

saat berumur 6 minggu, profilaksis dapat dihentikan. Pada bayi yang mendapatkan ASI

profilaksis dapat terus diberikan sampai infeksi HIV dapat disingkirkan setelah penghentian

pemberian ASI.

Selama periode pemberian ARV profilaksis, beberapa bayi dapat timbul anemia atau

neutropenia yang biasanya tidak menimbulkan terlalu tampak dari klinisnya. Akan tetapi bayi

yang telah terbukti terinfeksi HIV umumnya akan sehat. Beberapa studi menemukan adanya

kemungkinan gangguan pertumbuhan dan perkembangan, daya tahan, dan beberapa

penurunan fungsi organ, akan tetapi belum sepenuhnya berarti secara klinis.

Pada Remaja dan dewasa dengan infeksi akut HIV, akan muncul gejala yang tidak

spesifik seperti flu atau mononulcosis-like illness dimulai 2-4 minggu setelah paparan,

umumnya tidak cukup parah sehingga membawa orang berobat. Sindrom retroviral akut ini

sulit dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Gejala yang lebih jarang terjadi namun lebih

spesifik yaitu adanya generalized limfadenopati, rash, oral dan genital ulcer, aseptic

meningitis, dan thrush. Umumnya antibody HIV akan terdeteksi setelah minggu ke-6, akan

tetapi pada sebagian orang dapat baru muncul pada bulan ke 3-6 setelah paparan.

Page 74: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Menurut perjalanan penyakitnya, CDC mengklasifikasian tiap anak baik dari stadium klinis

dan jumlah CD4 nya, sebagai berikut :1

Page 75: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Who juga membuat klasifikasi stadium klinis yang banyak digunakan diluar :

Klinis Stadium Klinis WHO

Asimtomatik 1

Ringan 2

Sedang 3

Berat 4

Anak anak dengan HIV juga memiliki peningkatan resiko terkena keganasan, salah satu yang

paling sering adalah limfoma hodkin yang timbul pada tempat yang tidak biasa (CNS, tulang,

saluran cerna, liver, dan paru). Infeksi HPV pada cervix lebih cenderung berkembang

menjadi keganasan, dan resiko ini tidak berkurang dengna pemberian HAART.

Page 76: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

G. Pemeriksaan Penunjang

Penegakan infeksi HIV pada anak diatas 18 bulan dapat dilakukan dengan mendeteksi

HIV antibody dengan pemeriksaan immunoassay atau dengan rapid antibody tests. Untuk

memastikan biasanya digunakan Western blot, immune fluorescent antibody atau rapid test

ke-2 dengan antigen dari produsen yang berbeda atau metode yg berbeda, harus dilakukan

karena terdapat kemungkinan false positif pada kasus-kasus tertentu dimana terjadi cross-

reacting antibodies.

Perjalanan penyakit HIV ditandai dengan penurunan dari jumlah total dan persetase

CD4 T limfosit dan peningkatan persentase dari CD8 T limfosit. Jumlah CD4 T limfosit

penting sebagai prediksi tingkat resiko kemingkinan terkena infeksi oportuniistik.

Bayi dan anak yang sehat memiliki jumlah CD4 T limfosit yang jauh lebih tinggi

dibandingkan dewasa; ini kemudian menurun ke level dewasa saat berumur 5-6 tahun. Oleh

karena itu untuk menilai jumlah CD4 T limfosit pada anak digunakan table yang telah

disesuaikan dengan umur. Akan tetapi persentase CD4 T limfosit tidak terlalu berbeda

dengan dewasa, juga dapat digunakan sebagai parameter.

Hipergammaglobuline dari IgG, IgA, dan IgM juga dapat terjadi, walaupun pada

perjalanan lanjut, pada beberapa individu terjadi hypogammaglobulinemia. Kelainan

pemeriksaan darah (anemia, neutropenia, trombositopenia) juga dapat terjadi.

Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat normal atau terdapat peningkatan protein dan

mononuclear pleocytosis. HIV nucleid acid testing dapat positif pada CSF.1

Page 77: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

H. Diagnosis

Bagan. Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan3

Page 78: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Bagan. Alur diagnosis HIV pada anak > 18 bulan, remaja dan dewasa

Page 79: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Tabel. Interpretasi hasil pemeriksaan anti HIV 3

Hasil tes Kriteria Tindak Lanjut

Positif Bila hasil A1 reaktif,

A2 reaktif dan A3

reaktif

Rujuk ke pengobatan HIV

Negatif Bila hasil A1 non

reaktif

Bila hasil A1 reaktif

tapi pada pengulangan

A1 dan A2 non-reaktif

Bila salah satu reaktif

tapi tidak beresiko

Bila tidak beresiko, dianjurkan

perilaku hidup sehat

Bila beresiko dianjurkan pemeriksaan

ulang minimum 3 bulan, 6 bulan, dan

12 bulan dari pemeriksaan pertama

sampai satu tahun

Indeterminate Bila dua hasil tes

reaktif

Bila hanya 1 tes reaktif

tapi mempunyai resiko

atau pasangan beresiko

Tes perlu diulang dengan specimen

baru minimal setelah dua minggu dari

pemeriksaan yang pertama

Bila hasil tetap indeterminate,

dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR.

Bola sarana pemeriksaan PCR tidak

memungkinkan, rapid tes diulang 3

bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari

pemeriksaan yang pertama. Bila

sampai satu tahun hasil tetap

indeterminate dan factor resiko

rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai

negatif.

I. Diagnosis Banding

Page 80: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Infeksi HIV harus selalu terpikirkan bila pada evaluasi terdapat tanda-tanda

immunodefisiensi, tergantung pada keadaan infeksi HIV dapat menyerupai B-Cell

(hypogammaglobinemia), T-Cell, atau kombinasi imunodefisiensi.

Infeksi HIV juga harus dipertimbangkan pada keadaan-keadaan seperti gagal tumbuh,

keterlambatan perkembangan, infeksi paru kronik, dan infeksi M.tuberculosis,

Infeksi kronik HIV dengan tanda pembengkakan limfadenopaty generalisata atau

hepatosplenomegaly juga dapat muncul pada infeksi virus seperti EBV atau CMV pada anak

atau remaja. Pemeriksaan darah adalah wajib dalam menegakkan diagnosis HIV.1

J. Pengobatan

Indikasi pemberian ARV :3

Tabel. Indikasi Pemberian ARV

Populasi Rekomendasi

Dewasa dan anak > 5 tahun Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan

4, atau jika jumlah CD4 < 350 sel/mm

Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan

berapapun jumlah CD4

Koinfeksi TB

Koinfeksi Hepatitis

Ibu hamil dan menyusui HIV +

Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV

negative (pasangan serodiskordan)

LSL,PS,Transgender,Waria, atau penasun

Populasi umum di daerah dengan epidemic HIV

meluas

Anak < 5 tahun Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan

Page 81: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

berapapun jumlah CD4

* Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8

minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4

kurang dari 50 sel/mm, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB.

Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan

kriptokokus.

Pemberian ARV

1. Pemberian ARV pencegahan pada bayi

Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV (+), baik yang diberi ASI eksklusif maupun

susu formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama 6 minggu.

Tabel. Dosis Zidovudin untuk pencegahan penularan HIV pada bayi

Keadaan Bayi Dosis Zidovudin

Bayi cukup bulan Zidovudin 4mg/KgBB/12 jam selama 6 minggu, atau dengan

dosis disederhanakan :

Berat lahir 2000-2499g = 10mg 2x sehari

Berat lahir > 2500 g = 15mg 2x sehari

Bayi dengan berat < 2000g harus mendapat dosis mg/kg,

disarankan dengan dosis awal 2mg/Kg sekali sehari

Bayi premature <

30 miggu

Zidovudin 2mg/KgBB/12 jam selama 4 minggu pertama,

kemudian 2mg/KgBB/8 jam selama 2 minggu

Bayi premature

30 – 35 minggu

Zidovudin 2mg/KgBB/12 jam selama 2 minggu pertama,

kemudian 2 mg/KgBB/8 jam selama 2 minggu, lalu

4mg/KgBB/12 jam selama 2 minggu

2. Pemberian ARV pengobatan pada bayi

Page 82: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Panduan ARV terdiri dari 3 jenis obat ARV yang terdiri dari 2 golongan NRTI dan 1

NNRTI untuk anak dan dewasa sebagaimana tercantum pada table dibawah.

Tabel pantuan ARV lini pertama pada anak usia <5 tahun

Pilihan NRTI ke-1 Pilihan NRTI ke-2 Pilihan NNRTI

Zidovudin (AZT) Lamivudin Nevirapin (NVP)

Stavudin (d4T) Efavirenz (EFV)

Tenofovir (TDF)

* Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5g/dl maka

dipertimbangkan pemberian Stavudin (d4T).

* Dengan adanya resiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka

dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 8 gl/dl) setelah pemakaian

6-12 bulan. Bola terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke d4T.

* Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak di atas 2 tahun. Selain itu perlu

dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh

karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu pertumbuhan tinggi badan.

* EFV dapat digunakan pada anak > 3tahun atau BB > 10kg, jangan diberikan pada

anak dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.

Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT

Page 83: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)
Page 84: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Tabel. Panduan ARV Lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan Dewasa

ARV Formula

Panduan pilihan TDF + 3TC

(atau FTC) +

EFV dalam

bentuk KDT

Tablet TDF

300mg +

3TC300mg +

EFV 600mg

Dewasa : 1 tablet, 1xsehari

Anak BB>35 kg : 1 tablet,

1x sehari

Panduan

alternative

AZT + 3TC +

EFV (atau NVP)

Tablet AZT

300mg + 3TC

150mg + EFV

600mg

Dewasa : 1 tablet, 2x

sehari, EFV 1x sehari

Anak : sesuai berat badan

Panduan

alternative

TDF + 3TC

(atau FTC) +

NVP

Tablet TDF

300mg + 3TC 300

mg + NVP 200mg

Dewasa 1 tablet, 1x sehari

untuk NVP 1x sehari

(selama 14 hari pertama)

dan setelahnya 2x sehari

Anak : Sesuai berat badan

Pengobatan pencegahan kotrimoksazol diberikan sesuai dengan kriteria pada table

berikut. Kotrimoksazol diberikan satu kali 960mg/hari pada dewasa, sementara pada anak

diberikan dengan dosis timetoprim 4-6 mg/KgBB/hari. Pemantauan dilakukan melalui

penilaian klinis setiap 3 bulan.3

Tabel. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol

Usia Kriteria Inisiasi Kriteria pemberhentian

Bayi terpajan HIV Semua bayi, dimulai usia 6

minggu setelah lahir

Sampai resiko transmisi HIV

berakhir atau infeksi HIV sudah

disingkirkan

Bayi HIV <1 tahun Semua bayi Sampai 1 tahun tanpa melihat %

CD4 atau gejala klinis

Anak HIV 1-5 tahun Stadium klinis WHO 2,3, dan 4 Bila CD4 mencapai > 25%

Page 85: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

tanpa melihat % CD4 atau

Stadium klinis WHO berapapun

dan CD4 <25%

>5 tahun – dewasa Stadium klinis WHO berapapun

dengan CD4 < 200 sel/mm, atau

stadium klinis WHO 3 atau 4

CD4> 200 sel/mm setelah 6

bulan ARV

Jika tidak tersedia pemeriksaan

CD4, PPK diberhentikan setelah

2 tahun ART

Tuberkulosis aktif, berapapun

nilai CD4

Sampai pengobatan TB selesai

apabila CD4 > 200 sel/mm

Page 86: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Lampiran : Formulasi dan dosis anti retroviral

Page 87: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)
Page 88: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

K. Prognosis

Meningkatnya pemahaman akan pathogenesis dari infeksi virus HIV pada anak anak

dan ketersediaan obat antiretroviral telah lumayan merubah prognosis. Semakin awal cART

dimulai semakin baik prognosisnya. Sebuah percobaan klinis yang ditujukan pemberian

pengobatan secepat mungkin setelah persalinan dimana tersedia akses untuk diagnosis lebih

awal, tingkat progresivitas menjadi AIDS telah sangat berkurang. Sejak ditemukannya cART

pada pertengahan 1990, angka kematian pada anak yang terinfeksi HIV telah menurun lebih

dari 90% dan banyak yang bertahan sampai remaja dan dewasa. Indicator yang dapat

menentukan prognosis adalah dengan ditekannya viral load pada plasma dan pengembalian

jumlah hitung CD4 limfosit. Pada viral load <100.000 copies/mL. jarang dijumpai

perkembangan penyakit yang cepat, tetapi sebaliknya pada viral load >100.000 copies/mL

berkaitan dengan resiko perburukan dan kematian.

Jumlah CD4 limfosit <15% juga diasosiasikan dengan meningkatnya angka mortalitas

Anak-anak dengan infeksi oportunistik, ensefalopati dan kemunduran perkembangan,

atau wasting syndrome memiliki prognosis yang paling buruk, dengan 75% meninggal

sebelum berusia 3 tahun.

Resiko yang lebih tinggi juga didokumentasikan pada anak yang tidak mendapat

terapi preventif TMP-SMZ. Demam persisten dan/atau oral thrush, infeksi bakteri yang serius

(meningitis, pneumoni, sepsis), hepatitis, anemia persisten (<8g/dL) dan/atau

trombositopenia (<100.000/uL) juga mengarah pada prognosis yang buruk, dengan >30%

meninggal sebelum usia 3 tahun. 2

L. Pencegahan

Penggunaan anti retroviral sebagai upaya untuk mencegah transmisi ibu ke anak pada

saat persalinan merupakan suatu pencapaian pada penelitian HIV. Pemberian cART pada itu

terbukti menurunkan penularan HIV-1 pada persalinan menjadi <2%, dan <1% pada ibu

dengan level RNA <1000 copies/mL pada saat melahirkan. Oleh sebab itu, direkomendasikan

pada setiap wanita hamil untuk dilakukan tes penyaringan HIV, dan bila positif diterapi

dengan cART regimen, tanpa melihat kondisi viral load atau hitung CD4. Setelah bayi lahir

juga diberikan profilaksis ZDV selama 4-6 minggu.

Page 89: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Sebagai langkah pencegahan persalinan dengan Sectio cesarean pada wanita dengan

viral load >1000 copies/mL menjelang persalinan lebih jauh lagi menurunkan resiko

penularan secara vertical.

Penelitian multinational randomized, controlled trial pada neonaturs yang ibunya

tidak mendapatkan terapi ARV selama hamil menunjukan profilaksis dengan 2 atau 3 ARV

regimen lebih baik dibandingkan hanya dengan ZDV. U.S Guideline Panel

merekomendasikan bayi yang lahir dari wanita terinfeksi HIV yang tidak mendapatkan ARV

pada saat hamil atau hanya mendapatkan ARV menjelang keleahiran, atau yang memiliki

HIV RNA >1000 copies/mL menjelang kelahiran, harus mendapat profilaksis ZDV selama 6

minggu dikombinasikan dengan 3 dosis NVP pada 1 minggu awal kehidupan ( pada saat

lahir, 48 jam setelahnya, dan 96 jam setelah dosis ke-2), dimulai sesegera mungkin setelah

lahir.

WHO merekomendasikan semua ibu hamil yang menerima cART regiman,

meneruskan pengobatannya setidaknya selama menyusui (pada Negara berkembang) dan

seumur hidupnya. Pendekatan ini berpotensi menurunkan resiko penularan pada saat

menyusui dan kehamilan berikutnya, menurukan resiko penularan ke pasangan sexual, dan

meningkatkan maternal survival.

Walaupun cara yang paling efektif untuk mencegah penularan postpartum adalah

dengan tidak memberikan ASI dan menggantinya dengan pengganti ASI, data membuktikan

pada Negara berkembang ini tidak aman karena tingginya tingkat malnutrisi dan diare pada

bayi yang diberi susu formula oleh karena kurang tersedianya air bersih. Lebih lagi

pemberian ASI eksklusif mempunyai resiko penularan yang lebih rendah dibandingkan

dengan mixed feeding. Guideline telah berubah dan merekomendasikan pemberian ASI pada

bayi setidaknya sampai usia 12 bulan, dengan ASI eksklusif sampai 6 bulan dan ARV harus

terus diberikan pada ibu dan bayi paling tidak sampai 1 minggu setelah ASI di hentikan.

Pada Negara maju dengan terjaminnya pengganti ASI yang bersih, pemberian

pengganti ASI direkomendasikan.

Pencegahan penularan HIV secara seksual termasuk menghindari pertukaran cairan

tubuh dengan menggunakan Pengaman saat berhubungan. 2

Page 90: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

TUBERKULOSIS PADA HIV

A. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB anak adalah penyakit TB yang terjadi

pada anak usia 0 – 14 tahun.

Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan

pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian pada

kelompok tersebut. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV

disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak

(CD4 kurang dari 15%, umur di bawah 5 tahun)

B. Epidemiologi

Sampai saat ini, benua Afrika masih menjadi region terbanyak dengan

penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS. Berdasarkan fakta epidemiologi HIV/AIDS di

Afrika Selatan menurut UNAIDS (United Programmes on HIV AIDS) pada tahun

2008 ini, bahwa sekitar 5,7 juta (64%) orang yang telah menjadi ODHA (Orang

Dengan HIV AIDS), dengan rata-rata prevalensi usia 15-49 tahun sekitar 5,4 juta

orang, 3,2 juta diantaranya termasuk wanita 15 tahun keatas, 280.000 anak-anak usia

0-14 tahun dan telah tercatat 350.000 pengidap HIV AIDS anak yang meninggal.

Kemudian disusul Asia Tenggara yaitu sekitar 15 % dari total keseluruhan, sehingga

menyebabkan kematian lebih dari 500.000 anak.

Kasus koinfeksi TB-HIV terjadi sebanyak 24% - 45% kasus TB pada infeksi

HIV asimptomatik dan sebanyak 70% pada pasien anak dengan AIDS, dengan bentuk

terbanyak adalah TB ekstrapulmoner termasuk limfadenitis, bakteremia, penyakit

sistem saraf pusat (tuberkuloma, meningitis TB).

Infeksi HIV/AIDS pada anak umumnya ditularkan oleh ibu secara vertikal

pada saat hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, penderita terbanyak

ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun (lebih dari 66%), sedangkan anak

Page 91: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

yang berusia antara 5-10 tahun sebanyak 26%, dan yang berusia lebih dari 10 tahun

hanya 7,9%. Sebagian besar penderita (92,7%) berasal dari daerah perkotaan,

kemudian sisanya berasal dari pedesaan. Sekitar 26% penderita sudah kehilangan

orang tua (ibu atau ayah) karena meninggal akibat menderita penyakit HIV/AIDS.

Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik utama yang

berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas penderita infeksi HIV/AIDS di negara-

negara berkembang termasuk di Indonesia, dan merupakan penyebab 30% kematian

pada populasi AIDS. Hasil survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di

beberapa propinsi menunjukkan angka ko-infeksi TB-HIV yang bervariasi, yaitu 24%

di Bali, 32% di Jawa Timur, dan 10% di Jakarta.

C. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang

lurus kadang dengan ujung melengkung, gram positif, lemah, pleiomorfik, tidak

bergerak, tidak membentuk spora, dengan ukuran panjang 2-4/um dan tebal 0,3-

0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan . Kuman

merupakan aerob wajib (obligat) yang tumbuh pada media sintesis yang mengandung

gliserol sebagai sumber karbon dan garam amonium sebagai sumber nitrogen. MTB

memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian

peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan

asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat

hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-

tahun dalam lemari es) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat ini

kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif

lagi.

Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di

dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya

karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini

menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan

oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru lebih tinggi dari

Page 92: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit

tuberculosis.

D. Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB

dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan

terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat

dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak

terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak

seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan

seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar

dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan

akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis

makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang

dinamakan fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi

fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer

terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar

limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang

akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,

dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi

TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu.

Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah

103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.

Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang

Page 93: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji

tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian

besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular

berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB

dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB

baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular

spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di

kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan

pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian

tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga

di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada

awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus

dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal

menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve

mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang

mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi

dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.

Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi

segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas

selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,

kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau

berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen

langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

Page 94: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai

penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,

kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di

seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering

di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang

di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di

sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses

patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian

hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah

besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini

dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang

disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan

setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi

kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis

diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam

mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di

bawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di

dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar

kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat

penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic

spread.

Page 95: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Gambar 4. Patogenesis infeksi TB

Page 96: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

E. Manifestasi Klinis

TB pada anak terinfeksi HIV sama dengan yang tidak terinfeksi HIV tetapi

pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB diseminata. Tuberkulosis

pada anak terinfeksi HIV sering sulit dibedakan dengan kondisi lain akibat infeksi

HIV seperti Lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP), pneumonia bakteri, PCP,

bronkiektasis dan Sarkoma Kaposi. Gejala klinis umum TB pada anak terinfeksi HIV

antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang tidak membaik setelah pemberian

antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2

minggu, keringat malam yang menyebabkan anak sampai harus ganti pakaian, gejala

umum non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif, tidak bergairah).

Indikator yang baik terdapatnya penyakit kronik dan TB anak adalah gagal tumbuh

meskipun keadaan ini dapat pula disebabkan kurang nutrisi, diare kronik dan infeksi

HIV.

Bila anak mengalami gejala respiratori tetapi tidak tampak tanda-tanda

penyakit akut dan pasien telah mendapat antibiotik spektrum luas maka dapat

dicurigai TB. Beberapa kelainan jantung bawaan dan kardiomiopati mempunyai

gejala klinis menyerupai TB paru.

i. Tuberkulosis Paru dan TB intratorakal lain

Tuberkulosis intratorakal dapat bermanifestasi sebagai TB paru, efusi pleura,

efusi perikardial dan TB milier. Tuberkulosis paru pada anak terinfeksi HIV

menunjukkan gejala yang sama dengan anak yang tidak terinfeksi HIV. Gejala

klinisnya sering menyerupai gejala klinis penyakit komorbid pada saluran napas

misalnya LIP, PCP, pneumonia dan bronkiektasis. Gambaran radiologi TB milier

menyerupai gambaran radiologi LIP. Tuberkulosis paru anak sering memberikan

gambaran radiologi berupa atelektasis karena terdapat penekanan bronkus yang

disebabkan oleh pembesaran KGB hilus sehingga terjadi kolaps alveoli. Pada

pemeriksaan fisis dapat ditemukan wheezing/mengi sehingga sering didiagnosis asma

tetapi tidak membaik dengan pemberian bronkodilator. Tuberkulosis milier

merupakan hasil penyebaran hematogen dengan jumlah kuman yang besar, yang

tersangkut di ujung kapiler paru dan membentuk tuberkel dengan ukuran sama yang

Page 97: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

menyerupai butir-butir padi (millet sheed). Efusi pleura dapat berbentuk serosa

(paling sering) atau empiema TB (jarang) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe

lambat antigen kuman TB pada rongga pleura. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat

unilateral. Efusi perikardial TB jarang ditemukan pada anak, terjadi akibat invasi

kuman secara langsung atau melalui drainase limfatik.

ii. Limfadenitis TB

Biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, terjadi setelah 6 bulan

terinfeksi akibat penyebaran hematogen atau limfogen. Manifestasi klinis tersering

terjadi di KGB leher (limfadenitis colli), KGB di aksila dan inguinal. Limfadenitis

colli umumnya terjadi di daerah anterior. Pembesaran KGB bersifat kenyal, tidak

nyeri tekan, multipel atau membentuk massa akibat pembesaran beberapa kelenjar

yang berlekatan menjadi satu (confluent). Pembesaran KGB generalisata dapat

disebabkan oleh infeksi HIV. Pembesaran KGB aksila dapat disebabkan oleh immune

reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) pada anak terinfeksi HIV yang sedang

mendapat ART dalam 3 - 6 bulan pertama. Biakan MTB dari biopsi aspirasi jarum

halus/fine-needle aspiration biopsy (FNAB) dapat membantu diagnosis. Gambaran

histopatologi dapat ditegakkan bila ditemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid,

limfosit dan sel datia Langhans.

iii. Tuberkulosis susunan saraf pusat

Merupakan komplikasi TB paling serius dan berakibat fatal bila tidak

diberikan pengobatan yang tepat. Tuberkulosis SSP dapat bermanifestasi menjadi 3

bentuk yaitu meningitis (paling banyak), tuberkuloma dan arakhnoiditis spinalis.

Gejala klinis meningitis TB pada anak dibagi menjadi fase prodromal (selama

2-3 minggu, berupa malaise, sefalgia, demam tidak tinggi dan muntah) dan fase

meningitik (gejala prodromal makin hebat, defisit neurologis dan disfungsi nervus III,

VI, VII) dan fase paralitik (penurunan kesadaran sampai sopor atau koma, hipertensi,

hidrosefalus dan deserebrasi). Pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)

memberikan gambaran khas berupa penurunan kadar glukosa kurang dari 50%

Page 98: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

glukosa darah, peningkatan kadar protein >100 mg/dL, hitung sel 10-1000 atau

ditemukan MTB. Salah satu faktor yang memperburuk meningitis TB dan

meningkatkan angka kematiannya adalah infeksi HIV. Meningitis TB jarang

ditemukan pada bayi umur < 3 bulan kecuali pada bayi yang terinfeksi HIV.

Tuberkuloma adalah massa seperti tumor yang terbentuk dari agregasi

tuberkel perkijuan. Di wilayah endemis TB, tuberkuloma ditemukan pada 40% anak

yang didiagnosis tumor otak. Pada anak umumnya infratentorial pada basis kranii di

dekat serebelum sedangkan pada dewasa di supratentorial. Lesi dapat tunggal atau

multipel. Gejala klinisnya berupa sakit kepala, muntah, kejang, kelumpuhan

ekstremitas dan gejala umum TB. Uji tuberkulin umumnya positif dan foto toraks

sering tidak ditemukan kelainan. Tindakan operasi tidak diperlukan karena

tuberkuloma membaik dengan pemberian OAT. Diagnosis ditegakkan dengan

pemeriksaan Computed Tomography (CT)-scan kepala atau Magnetic Resonance

Imaging (MRI).

iv. Tuberkulosis Abdomen

Tuberkulosis abdomen dapat bermanifestasi sebagai peritonitis, TB intestinal

(enteritis TB) atau bentuk yang sangat jarang yaitu TB orofaring. Gejala utama

peritonitis TB berupa asites disertai pembesaran kelenjar para-aorta dan mesenterik.

Kadang terjadi perlekatan antara peritoneum, omentum dan KGB sehingga teraba

sebagai massa ireguler, kasar dan tidak nyeri tekan. Selain gejala peritonitis TB,

ditemukan pula gejala sistemik TB. Uji tuberkulin umumnya positif.

Gejala TB abdomen umumnya bersifat kronik. Tuberkulosis enteritis dapat

menimbulkan keadaan akut abdomen. Tuberkulosis enteritis merupakan hasil

penyebaran hematogen atau tertelannya tuberkel kuman TB yang dibatukkan dari

paru. Tempat yang paling sering terkena adalah jejunum dan ileum. Gejala yang dapat

ditemukan berupa distensi abdomen, nyeri perut, mual, muntah, diare, konstipasi dan

perdarahan gastrointestinal (hematosezia lebih sering dibandingkan dengan

hematemesis). Bila ditemukan gejala kronik saluran cerna disertai hasil uji tuberkulin

positif maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan untuk konfirmasi TB (pemeriksaan

kolonoskopi dan Ultrasonografi/USG Abdomen).

Page 99: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

v. Tuberkulosis Kulit

Secara klinis, TB kulit yang paling sering ditemukan adalah skrofuloderma,

terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar getah bening di bawahnya

yang terinfeksi MTB. Sekret yang keluar dapat berupa cairan purulen atau kaseosa.

Selanjutnya akan membentuk jaringan parut dan dapat juga berupa massa yang

fluktuatif. Gejala klinis sistemik dan pemeriksaan penunjang sama seperti TB paru.

vi. Tuberkulosis Tulang

Dapat bermanifestasi sebagai TB tulang belakang atau spondilitis TB (paling

sering), TB sendi panggul atau koksitis TB dan TB sendi lutut atau ghonitis TB.

Selain gejala sistemik TB, dapat juga ditemukan gejala spesifik berupa bengkak,

kaku, kemerahan, nyeri pada pergerakan. Perjalanan penyakit bersifat kronik, sering

ditemukan setelah terjadi trauma. Tuberkulosis tulang belakang disebut gibbus yaitu

berupa tonjolan pada tulang belakang yang merupakan abses dingin. Koksitis TB

umumnya menunjukkan gejala berjalan pincang atau kesulitan berdiri. Ghonitis TB

ditandai dengan sulit berjalan dan berdiri serta atrofi otot paha dan betis. Anak

terinfeksi HIV lebih mudah terkena TB tulang dibandingkan yang tidak terinfeksi

HIV.

Pemeriksaan foto tulang belakang merupakan penunjang diagnosis yang

utama. Gambaran foto tulang belakang berupa destruksi di antara korpus vertebra

yang berdekatan dengan jarak antara dua korpus vertebra melebar, tepi korpus bagian

anterior bergerigi, terbentuk gibbus dan kalsifikasi jaringan lunak di sekitar korpus.

vii. Diagnosis

Diagnosis TB anak sampai saat ini masih banyak menghadapi tantangan akibat

sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan bakteriologi serta rendahnya konfirmasi

bakteriologi yang didapat. Pemeriksaan BTA aspirat lambung pada TB anak

menunjukkan hasil positif pada 10-15% pasien saja. Namun demikian pemeriksaan

bakteriologi (BTA dan biakan M. tuberculosis) tetap harus dilakukan pada setiap

pasien. Konfirmasi bakteriologi dapat dilakukan dengan pengambilan spesimen dari

Page 100: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

beberapa tempat yang memungkinkan sesuai dengan manifestasi klinis penyakit TB

nya, antara lain sputum, aspirasi cairan lambung, cairan pleura, induksi sputum,

biopsy jarum halus pada kelenjar getah bening (KGB) yang membesar dan biopsi

jaringan lainnya.

Tanpa konfirmasi bakteriologi, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal

yaitu :

Kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif

Uji tuberkulin positif

Gambaran sugestif TB secara klinis (misalnya gibus)

Gambaran sugestif TB pada foto toraks

Diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV lebih sulit dibandingkan yang tidak

terinfeksi HIV karena :

Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB, banyak

mempunyai kemiripan gejala.

Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi

imunikompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya

telah terinfeksi TB.

Anak yang kontak dengan orang tua pengidap HIV dengan BTA sputum positif

mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat

terjadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan keteraturan pengobatan.

Kementrian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan Permenkes 21 tahun

2013, semua pasien TB wajib ditawarkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK

(Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan). WHO merekomendasikan dilakukan

pemeriksaan HIV pada suspek TB maupun sakit TB. Kecurigaan adanya HIV pada

penderita terutama :

Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin, yaitu infeksi berulang (> 3

episode dalam infeksi bakteri yang sangat berat (seperti pneumonia, meningitis,

sepsis, dan sellulitis) pada 12 bulan terakhir), bercak putih di mulut (thrush),

parotitis kronik, limfadenopati generalisata, hepatomegaly tanpa penyebab yang

jelas, demam yang menetap dan atau berulang, disfungsi neurologis, herpes

zoster, dermatitis HIV, penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative

lung disease)

Page 101: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim

ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, yaitu : otitis media kronik,

diare persisten, gizi kurang atau gizi buruk.

Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV, yaitu :

PCP (Pneumocystis carinii pneumonia), kandidiasis esophagus, LIP (lymphoid

interstitial pneumonitis) atau Sarkoma Kaposi.

viii. Diagnosis sistem Skoring1

Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat

dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,

dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.

Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh

para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai

salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di

fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan

agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang

sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun

overdiagnosis TB.

Parameter 0 1 2 3 Skor

Kontak TB Tidak jelas - Laporan

keluarga, BTA

(-)/BTA tidak

jelas/tidak tahu

BTA (+)

Uji

tuberkulin

Negative - - Positif (≥ 10

mm, atau ≥

5 mm pada

keadaan

imunosupres

if)

Page 102: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Berat

Badan/Keada

an Gizi

- BB/TB <

90% atau

BB/U < 80%

Klinis gizi

buruk atau

BB/TB < 70%

atau BB/U <

60%

-

Demam yang

tidak

diketahui

penyebabnya

- ≥ 2 minggu - -

Batuk kronik - ≥ 3 minggu - -

Pembesaran

kelenjar limfe

kolli, aksila,

inguinal

- ≥ 1 cm,

jumlah > 1,

tidak nyeri

- -

Pembengkak

an

tulang/sendi

panggul,

lutut, falang

- Ada

pembengkaka

n

- -

Foto toraks Normal/

kelainan

tidak jelas

Gambaran

sugestif TB*

- -

Skor total

Penilaian pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut :

Page 103: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai

nilai tertinggi yaitu 3.

Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis

TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan

mendapat OAT.

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT

(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat

terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka

OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka

sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

3. Pemeriksaan Penunjang

i. Uji Tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TBC yang mempunyai sifat

antigenik yang kuat. Jika disuntikan secara intrakutan pada seseorang yang telah

terinfeksi TBC (kompleks primer pada tubuhnya) akan memberikan indurasi dilokasi

suntikan yang terjadi karena vasodilatasi lokal,edema, endapan fibrin dan

meningkatnya sel radang lain di daerah suntikan. Uji tuberkulin mempunyai nilai

diagnostik yang tinggi terutama pada anak dengan sensitivtas dan spesitifitas lebih

dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia adalah PPD RT-23 2TU buatan

Statens Serum Institu Denmark, dan PPD (Purified Protein Derivate) dari Biofarma.

Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara

mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½

bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, dengan menyuntikkan PPD (Purified

Protein Derivate) 5 IU sebanyak 0,1 cc secara intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian

uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari

pembengkakan (indurasi) yang terjadi bukan eritemnya.

Pada anak terinfeksi HIV, uji tuberkulin dikatakan positif bila diameter > 5

mm. Bila hasilnya < 5 mm, TB belum dapat lamgsung disingkirkan karena ada

Page 104: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

beberapa keadaan yang menyebabkan “negatif palsu”. Kondisi yang menyebabkan

“negatif palsu” adalah infeksi HIV, malnutrisi berat, infeksi bakteri berat, infeksi

virus, obat imunosupresif dan prosedur penyuntikan yang salah.

Interpretasi hasil uji Tuberkulin berdasarkan indurasi yang terbentuk :

0 – 4 mm

Uji tuberkulin negatif, yang berarti tidak ada infeksi M. tuberculosis.

5 – 9 mm

Uji tuberkulin meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang

dengan M. atipik atau setelah vaksinasi BCG.

≥ 10 mm, uji tuberculin positif, yang berarti sedang atau pernah terinfeksi M.

tuberculosis.

Definisi positif uji tuberculin pada bayi, anak dan dewasa

Indurasi ≥ 5 mm

Kontak dengan penderita atau suspek penyakit TB.

Anak-anak dengan tanda klinis dan gambaran radiologi penyakit TB.

Anak-anak dengan keadaan imunosupresi seperti HIV dan tranplantasi organ.

Pasien dalam pengobatan immunosupresif seperti kortikosteroid ( ≥ 15 mg/24

jam prednison atau sejenisnya selama ≥ 1 bulan )

Indurasi ≥ 10 mm

Bayi dan anak-anak usia ≤ 4 tahun.

Anak-anak dengan kondisi medis lemah yang meningkatkan resiko (penyakit

ginjal, gangguan hematologi, diabetes melitus, malnutrisi, pengguna obat suntik)

Anak-anak yang kontak erat dengan orang dewasa yang beresiko tinggi TB.

Lahir atau baru pindah ( ≤ 5 tahun ) dari negara dengan angka prevalensi TB

tinggi.

Indurasi ≥15 mm

Anak-anak usia > 4 tahun atau lebih tanpa ada faktor resiko.

Page 105: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

ii. Radiologis

Gambaran foto rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan

radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lainnya. Interpretasi foto

biasanya sulit, harus hti-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis.

Secara umum, gambaran radiologis sugestif TB pada anak terinfeksi HIV sama

dengan yang tidak terinfeksi, antara lain berupa :

Pembesaran kelenjar hilus.

Efusi pleura

Milier

Kalsifikasi dengan infiltrat

Gambaran pneumonia

Atelektasis

Kavitas

Bronkiektasis

Pada anak terinfeksi HIV, gambaran radiologis LIP menyerupai TB milier. Di

antara berbagai gambaran radiologis tersebut, pembesaran KGB hilus merupakan

gambaran yang paling sering ditemukan.

iii. Serologi

Pada anak sulit mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan TB, maka di cari

pemeriksaan yang mudah pelaksanaanya yaitu pemeriksaan serologi (imunitas

humoral). Berbagai penelitian pemeriksaan imunologik Ag-Ab spesifik untuk

M.Tuberculosis ELISA dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum cairan

bronkus, cairan pleura, dan LCS.Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di

antaranya adalah PAP TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-

lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat

membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.

iv. Mikrobiologi

Page 106: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan

mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman

M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.

Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit

mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas

lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur

hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini

PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk

pemeriksaan klinis rutin.

v. Patologi Anatomi

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya

kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma

tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah

granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.

4. Penatalaksanaan

i. Panduan pengobatan OAT

Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping

minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini, paduan

obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO (2011) adalah

INH (H), Rifampisin (R), PZA (Z) dan Etambutol (E) selama fase intensif 2 bulan

pertama dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin selama fase lanjutan. Pada TB milier

dan meningitis TB diberikan INH, Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin

selama fase intensif selanjutnya INH dan Rifampisin selama fase lanjutan 10 bulan.

Kategori diagnostik TB pada penderita HIV Fase awal Fase lanjutan

TB ringan, TB paru BTA negatif,

Limfadenitis TB

2RHZE RH (4 – 7 bulan)

Page 107: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

TB tulang 2RHZE RH (4 – 7 bulan)

TB miliar, TB meningitis 2RHZES RH (10 bulan)

Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps yang

lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini maka

pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu selama 9 bulan

sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan. Mortalitas

TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi karena

tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ

yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang,

malnutrisi berat dan imunosupresi berat.

Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernafasan, efusi pleura dan

efusi perikardial diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednisone 1

mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6 minggu, selanjutnya di-tapering-off selama 6

minggu.

Tuberkulosis sering didiagnosis sebelum status HIV seorang anak diketahui.

Pemberian OAT pada anak terinfeksi HIV yang akan atau sedang mendapat ARV

harus memperhatikan interaksi antar obat karena pemberian bersama-sama kedua obat

ini dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal serta meningkatkan risiko

toksisitas. Apabila Rifampisin berinteraksi dengan beberapa Non-nucleoside reverse

transcriptase inhibitor (NNRTI) maka kadar plasma NNRTI turun sebesar 20 – 60%;

sedangkan Protease inhibitor (PI) mmengakibatkan kadar plasma PI akan turun

sebesar 80% atau lebih. Rifampisin dapat diberikan bersama-sama dengan semua jenis

nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI). Rekomendasi pemberian OAT

bersama ARV adalah 2 jenis NRTI dikombinasi dengan efavirenz (EFV). Dosis OAT

tidak memerlukan penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh ARV. Pemberian ARV

dapat dimulai bila anak telah mendapat OAT selama minimal 2 – 8 minggu selama

syarat untuk pemberian ARV telah terpenuhi.

Masalah yang sering dihadapi pada pengobatan TB anak terinfeksi HIV adalah

respons pengobatan yang kurang baik dan angka relaps yang tinggi. Bila respons

klinis dan radiologi kurang maka pemberian OAT dapat dilanjutkan sampai 9-12

Page 108: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

bulan selanjutnya penyebab kegagalan pengobatan harus dievaluasi. Evaluasi respons

klinis dan radiologi yang kurang setelah pemberian OAT 6 bulan meliputi kepatuhan

minum obat, absorpsi obat yang kurang, resistensi obat dan kemungkinan diagnosis

TB salah.

Anti retroviral dan OAT sering menunjukkan gejala toksisitas yang sama

sehingga sulit diidentifikasi obat mana yang menjadi penyebab toksisitas tersebut.

Efek samping OAT lebih sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV. Efek

samping OAT paling sering ditemukan pada 2 bulan pertama pengobatan.

Meskipun pemberian INH pada anak jarang menimbulkan neuropati namun

pemberian INH pada anak terinfeksi HIV dan mendapat ARV disarankan untuk

ditambahkan piridoksin (vitamin B6). Rash merupakan efek samping pemberian OAT

yang cukup sering ditemukan, umumnya ringan sehingga tidak perlu menghentikan

pengobatan. Beberapa obat yang dapat menimbulkan rash antara lain kotrimoksazol,

nevirapin, EFV dan abacavir. Bila rash hebat maka OAT harus dihentikan dulu,

selanjutnya bila rash sudah hilang OAT dapat dimulai dengan cara desensitisasi. Efek

lain OAT misalnya pada gastrointestinal (mual, muntah dan diare) umumnya tidak

memerlukan penghentian obat. Apabila terdapat efek hepatotoksik (gangguan fungsi

hati) yaitu SGOT/SGPT meningkat lebih dari 5X nilai normal tertinggi tanpa disertai

ikterus; bilirubin total > 1,5 mg/dL tanpa disertai ikterus; gejala ikterus dengan Uji

fungsi hati normal maka INH, Rifampisin dan PZA dihentikan kemudian diberikan

Etambutol dan Streptomisin. Streptomisin dan Etambutol diberikan tidak lebih dari 2

bulan, sambil dipantau fungsi hati; apabila fungsi hati sudah normal, maka regimen

pengobatan kembali ke INH, Rifampisin dan PZA. Apabila gejala gangguan fungsi

hati tersebut berulang, perlu ditinjau ulang apakah OAT dan ARV dapat diberikan

bersama-sama atau tidak. Sedangkan apabila dalam 2 bulan pemberian Etambutol dan

Streptomisin ternyata fungsi hati masih tetap tinggi (> 5x batas normal tertinggi),

maka sebaiknya pasien dirujuk.

Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih efek samping OAT dan ARV

maka bila memungkinkan pemberian ARV ditunda sampai anak mendapat OAT 2

bulan tetapi apabila HIV sangat parah yaitu bila TB disertai penyulit seperti batuk

berdarah atau TB meningitis, maka ARV dapat dimulai setelah 2 – 8 minggu

pemberian OAT walaupun kemungkinan terjadinya IRIS lebih besar.

Page 109: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

ii. Efek samping pengobatan OAT

Infeksi HIV menyebabkan peningkatan terjadinya efek samping pada anak

yang sedang mendapat OAT terutama efek samping pada kulit dan hepatotoksisitas

karena OAT dan kotrimoksasol.

1. Kulit

Efek samping pada kulit dapat berupa nekrolisis epidermal toksik yang

mengancam kehidupan maupun rash yang tersebar pada wajah, dada dan seluruh

tubuh. Bila pasien mengalami gejala rash, gatal dan demam segera setelah makan

OAT, menunjukkan terdapatnya reaksi hipersensitivitas. Apabila timbul rash ringan

dan tidak ada rasa gatal maka OAT dilanjutkan; apabila disertai sedikit rasa gatal

maka diberikan antihistamin. Penyebab gatal yang lain perlu dipertimbangkan

misalnya skabies. Bila timbul rash disertai rasa gatal dengan atau tanpa efek samping

berat yaitu nekrolisis epidermal toksik atau Steven Johnson syndrome maka semua

jenis OAT harus dihentikan sampai klinis membaik. Bila rash sudah hilang maka

OAT dapat diberikan lagi mulai dosis paling rendah (INH 50 mg, Rifampisin 75 mg)

dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis yang sesuai dalam waktu 3 hari.

2. Hepatotoksik

Pada anak sakit TB yang terinfeksi HIV maka sebaiknya dilakukan

pemeriksaan uji fungsi hati sebelum pengobatan dimulai. Selanjutnya pemeriksaan uji

fungsi hati sebaiknya diperiksa rutin setiap bulan. Efek hepatotoksik OAT pada anak

terinfeksi HIV lebih sering ditemukan dibanding anak yang tidak terinfeksiHIV. Obat

Anti TB lini pertama yang menimbulkan efek hepatotoksisitas adalah

INH,Rifampisin dan PZA. Karena ke-3 obat tersebut diberikan sebagai kombinasi

maka agak sulit untuk menentukan obat mana yang menjadi penyebab gangguan

fungsi hati. Pemberian kembali OAT tersebut setelah hepatotoksisitas hilang,

umumnya tidak menimbulkan efek samping seperti sebelumnya. Streptomisin dan

Etambutol jarang sekali menimbulkan hepatotoksisitas. Gejala klinis hepatotoksisitas

bervariasi mulai dari gangguan fungsi hati ringan sampai kerusakan hati berat yang

menyebabkan gagal hati. Gejala konstitusional berupa lemah, mual, muntah, demam,

mialgia, artralgia dan sakit perut. Drug- induced hepatitis (DIH) karena OAT ini

harus didiagnosis banding dengan hepatitis virus. Bila ditemukan gejala klinis

Page 110: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

hepatotoksisitas maka OAT harus dihentikan kecuali bila tetap diperlukan pemberian

OAT maka dapat diberikan Streptomisin dan Etambutol. Obat Anti TB dapat

diberikan kembali 2 minggu setelah gejala klinis hepatotoksisitas hilang atau Uji

fungsi hati normal kembali.

3. Gastrointestinal

Efek gastrointestinal akibat OAT yang paling banyak ditemukan adalah mual,

muntah, dehidrasi dan imbalans elektrolit. Efek samping gastrointestinal umumnya

tidak memerlukan penghentian obat. Efek gastrointestinal sering merupakan gejala

awal efek hepatotoksisitas sehingga diperlukan pemantauan klinis yang baik. Bila

gejalanya ringan sampai sedang maka dapat diatasi dengan cara minum OAT

bersamaan dengan makanan atau diminum segera sebelum tidur atau memberikan anti

emetik. Bila gejala gartritis menonjol maka dapat diberikan antasid atau proton pump

inhibitor (PPI) walaupun antasid akan mengurangi absorpsi rifampisin sebesar 20-

40%. Antasid atau PPI sebaiknya diberikan 2 jam sebelum atau sesudah makan OAT.

4. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS)

Pemberian ART fase awal menyebabkan penekanan replikasi virus HIV secara

cepat (90% virus dalam 1-2 minggu) sehingga terjadi pemulihan sistem imun,

peningkatan CD4 yang besar pada fase inisial yang dilanjutkan dengan penurunan

jumlah virus. Immune reconstitution inflammatory syndrome merupakan kumpulan

gejala atau manifestasi klinis akibat respons imun yang meningkat secara cepat

terhadap berbagai infeksi maupun antigen non infeksius setelah pemberian ARV fase

inisial. Organisme yang paling sering menyebabkan IRIS adalah Mycobacterium

tuberculosis, Mycobacterium avium, Cryptococcus neoformans dan Cytomegalovirus.

Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah:

Munculnya lagi gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah

teratasi infeksinya. Penyebab terbanyak IRIS adalah TB.

Munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik, umumnya disebabkan oleh

Mycobacterium avium, jarang oleh Mycobacterium tuberculosis.

Penyakit autoimun dan inflamasi seperti Sarkoidosis.

Gejala klinis IRIS bersifat sementara, misalnya demam, limfadenopati yang

bertambah, tuberkuloma intraserebral menjadi muncul kembali, efusi pleura, sindrom

distress pernapasan, infeksi subklinis menjadi manifest atau gejala klinis memburuk

Page 111: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

pada pengobatan TB yang adekuat. Perburukan klinis TB pada pemberian ARV selain

disebabkan oleh IRIS, dapat pula disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap

antigen Mycobacterium tuberculosis yang mati. Hal ini bukan suatu kegagalan

pengobatan dan bersifat sementara. Immune reconstitution inflammatory syndrome

dapat juga disebabkan oleh mikobakteria atipik, Pneumocystis jiroveci, Varicella

zoster dan virus Herpes simpleks. Immune reconstitution inflammatory syndrome

umumnya terjadi pada pemberian OAT bersama-sama ARV dalam 2 bulan pertama.

Beberapa kriteria yang mendukung diagnosis IRIS pada TB-HIV (3 dari kriteria

sebagai berikut) :

a. Manifestasi klinis atipikal setelah ARV mulai diberikan.

b. Viral load menurun 1 log10 per mL.

c. CD4 meningkat.

d. Bukan TB relaps atau resisten OAT.

e. Bukan karena ketidakpatuhan minum obat.

f. Bukan akibat efek samping obat.

g. Bukan karena infeksi lain atau keadaan lain karena HIV.

iii. Regimen pengobatan OAT

1. Isoniazid (INH)

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5 –

15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian.

Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam

bentuk sirup 100 mg/5ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga

tidak dianjurkan penggunaannya. Konsetrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS

dapat dicapai dalam 1 – 2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6 – 8 jam. Anak-

anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga

memerlukan dosis mg/kgBB lebih tinggi daripada dewasa. Isoniazid terdapat pada air

susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta,

tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak membahayakan.

Isoniazid mempunyai dua pengaruh toksik utama, keduanya jarang pada anak,

yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Neuritis perifer akibat dari hambatan

Page 112: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

kompetitif penggunaan piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang

minum isoniazid, tapi manifestasi klinis jarang ada dan pemberian piridoksin biasanya

tidak dianjurkan, namun remaja dengan diet yang tidak cukup, kelompok anak-anak

dengan kadar susu dan masukan daging rendah, serta bayi yang sedang menyusu

sering memerlukan penambahan piridoksin. Piridoksin diberikan 25 – 50 mg satu kali

sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid. Manifestasi klinis neuritis

perifer yang paling sering adalah mati rasa dan rasa gatal pada tangan dan kaki.

Toksisitas isoniazid CSS jarang, terjadi biasanya bila overdosis yang bermakna.

Pengaruh toksis utama isoniazid adalah hepatotoksisitas, yang jarang pada anak, tapi

meningkat sesuai usia. Sebagian anak yang minum isoniazid mengalami kenaikan

kadar serum transaminase dalam 2 bulan pertama., tapi karena jarang makan

pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kcuali bila ada gejala dan tanda

klinis.

2. Rifampisin

Rifampisin adalah obat kunci pada manajemen tuberkulosis modern.

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua

jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh

isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat

prut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam.

Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 20 – 20 mg/kgBB/hari, dosis

maksimal 600 mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian per hari. Dosis rifampisin tidak

melebihi 15 mg/kgBB/hari jika diberikan bersamaan dengan isoniazid.

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek samping

tersebut berupa perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata, menjadi

warna orange kemerahan. Efek samping lain berupa gangguan gastrointestinal dan

hepatotoksik (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar

transaminase serum yang asimptomatik. Untuk mengurangi peningkatan resiko

hepatotoksisitas maka diturunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10

mg/kgBB/hari. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg

sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran

berat badan. Rifampisin sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian

makan karena dapat timbul malabsorbsi.

Page 113: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

3. Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan

dan cairan tubuh, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi

baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral dengan dosis 15 – 30

mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gr/hari. Pirazinamid diberikan pada fase

intensif karena sangat baik dalam suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman

masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang

dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping. Pirazinamid tersedia

dalam bentuk tablet 500 mg, dapat digerus dan diberikan bersamaan dengan makanan.

4. Etambutol

Dahulu etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitas pada

mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik dan bakterisid jika diberikan dengan

dosis tinggi dengan terapi intermiten. Obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi

terhadap obat-obat lain. Dosis yang dianjurkan adalah 15 – 20 mg/kgBB/hari,

maksimal 1,25 gr/hari dosis tunggal. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg

dan 500 mg. efek samping yang mungkin terjadi dari penggunaan etambutol adalah

neuritis optik dan buta warna merah hijau, sehingga sering kali pengunaannya

dihindari pada anak yang belum daapt diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di

FK UI menunjukkan bahwa etamutol dengan dosis 15 – 25 mg/kgBB/hari tidak

ditemukan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca

pengobatan.

5. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraselular pada keadaan

basa atau netral, jadi efektif membunuh kuman intraseluler. Obat ini penting pada

pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin dapat diberikan

secara intramuskular dengan dosis 15 – 40 mg/kgBB/hari, maksimal dosis 1 gram/hari

dan kadar puncak 40-50µg/ml dalam waktu 1-2 jam. Obat ini dapat melewati selaput

otak yang meradang, tetapi tidak dapat melawati selaput otak yang tidak meradang.

Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, diekskresi

melalui ginjal. Efek toksisitas kelainan pada nervus kranial VIII yang mengganggu

keseimbangan dan pendengaran berupa tinismus dan pusing. Dapat menembus

plasenta sehingga hati-hati menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat

merusak saraf pendengaran janin.

Page 114: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/har

i)

Dosis

maksimal

(mg/hari)

Efek Samping

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,

hipersensitivitas

Rifampisin

**

10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati,

cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan

berkurang, buta warna merah-hijau,

penyempitan lapang pandang,

hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisi

n

15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat

mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui

sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

5. Diagnosis Banding

i. Pneumocystis Jiroveci Pneumonia6,9

Kuman Pneumocystis diklasifikasikan dalam golongan jamur berdasarkan

analisis DNA, tetapi juga memiliki karakteristik biologis suatu protozoa. Kuman

penyebab infeksi pada manusia disebut P. jirovecii. Kuman ini biasa terdapat pada

anak dengan antibodi serum > 80% pada anak usia 2 – 4 tahun. Bayi dengan status

Page 115: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

imun yang masih kompeten infeksi P. Jirovecii akan memiliki gejala yang ringan pada

saluran nafas atau tanpa gejala.

Berdasarkan stadium klinis HIV/AIDS pada bayi dan anak menurut WHO,

PCP merupakan infeksi yang muncul pada infeksi HIV/AIDS stadium klinis IV.

Stadium ini diklasifikasikan sebagai stadium klinis berat.25 PCP merupakan

penyebab kematian terbanyak pada anak yang terinfeksi HIV, sekitar ±30% dari

seluruh kasus AIDS. Insidensi tertinggi PCP pada anak HIV ditemukan pada tahun

pertama kehidupan, dengan puncak kasus pada usia 3 – 6 bulan. Hitung CD4+ bukan

merupakan indikator yang baik untuk PCP pada bayi usia <1 tahun, kebanyakan bayi

dengan PCP memiliki hitung sel >1.500/μl dan hitung sel dapat turun cepat dalam

waktu yang singkat.

Gambaran klinis PCP pada anak HIV sama dengan yang terdapat pada orang

dewasa (contohnya demam, takipneu, dispneu, dan batuk) serta derajat keparahan dari

tanda dan gejala bervariasi dari satu anak ke anak lainnya. Awitan dapat tiba-tiba atau

tersembunyi dengan gejala tidak khas (batuk ringan, dispneu, susah makan dan

kehilangan berat badan). Beberapa penderita mungkin tidak ada demam, tetapi hampir

semua penderita mengalami takipneu pada saat diobservasi berdasarkan foto toraks.

Pemeriksaan fisik mungkin ditemukan ronkhi dengan distress pernafasan dan

hipoksia.

Pneumositosis ekstrapulmonal jarang terdapat pada anak. Predileksi meliputi

telinga, mata, tiroid, limpa, saluran cerna, kolon transversum, hati, dan pancreas.

Predileksi lainnya yang lebih jarang meliputi kelenjar adrenal, sumsum tulang,

jantung, ginjal serta ureter, kelenjar limfe, meningen, korteks serebral, dan otot.

Pada infeksi PCP, paru-paru meradang, alveoli dipenuhi pus dan cairan,

sehingga kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen

mengakibatkan sel-sel tubuh tidak dapat bekerja dengan baik. Oleh karena itu, selain

penyebaran infeksi ke seluruh tubuh, penderita bisa meninggal karena tidak mendapat

oksigen yang cukup.

Bayi dengan infeksi kombinasi CMV dan P. Jirovecii mengalami pneumonia

berat yang membutuhkan ventilator, kortikosteroid, atau bahkan sampai menyebabkan

Page 116: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

kematian. Prognosis lebih buruk jika didapatkan infeksi kombinasi dengan CMV bila

dibandingkan dengan infeksi PCP saja.

ii. Limfoid Interstitial Pneumonitis6,9

Pneumonia Interstitial Limfositik atau LIP adalah suatu sindrom yang meliputi

demam, batuk dan dyspneu dengan infiltrat paru bibasilar, yang terdiri dari akumulasi

limfosit interstitial dan sel plasma yang padat.40 LIP merupakan infeksi oportunistik

yang timbul pada stadium klinis III pada anak HIV yang diklasifikasikan sebagai

stadium klinis sedang.

LIP dapat dihubungkan dengan gangguan autoimun dan limfoproliferatif,

termasuk rheumatoid arthritis, tiroiditis Hashimoto, myasthenia gravis, anemia

pernisiosa, sindrom sentisasi autoeritrosit, hepatitis kronik aktif, Sjögren sindrom,

transplantasi sumsum tulang belakang alogenik, Systemic Lupus Erythematosus

(SLE), dan limfoma. LIP berhubungan dengan disproteinemia, infeksi HIV tipe 1,

virus Epstein-Barr, dan Human T-cell Leukimia Virus (HTLV) tipe 1.

Uji laboratorium tidak spesifik untuk mendiagnosis penyakit ini, oleh sebab

itu, untuk mendiagnosis dilakukan foto rontgen rongga dada, pengukuran difusi gas,

dan pemeriksaan histologi.40 Kematian pada anak HIV/AIDS yang menderita LIP

sebesar 33 – 50% dalam waktu lima tahun setelah diagnosis ditegakkan.

LIP dapat menyebabkan kematian pada anak penderita HIV/AIDS. Dalam

proses perjalanan penyakitnya, LIP menyebabkan kesulitan bernafas secara progresif,

sehingga penderita tidak mendapatkan pasokan oksigen yang optimal yang dapat

mengakibatkan kematian.

6. Pencegahan

1. Pelacakan Kontak

Upaya paling efektif untuk mencegah infeksi TB berulang pada anak adalah

“menutup lubang kran (tap)” dengan cara pengendalian secara epidemiologis, yaitu

diagnosis dan pengobatan segera terhadap kasus TB yang infeksius. Pada anak

penggunaan sistem skoring dapat mengurangi keterlambatan diagnosis. Meskipun

Page 117: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

gejala TB pada anak sangat tidak spesifik namun gejala-gejala sugestif TB tersebut

merupakan alat identifikasi yang cukup akurat pada “kelompok berisiko” misalnya

anak yang terinfeksi HIV. Pelacakan kontak TB pada anak terinfeksi HIV sangat

bermanfaat untuk mencegah terjadinya transmisi serta membuka kesempatan untuk

pemberian INH profilaksis. Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB maka

harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tertular TB. Sumber

penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak

tersebut.

Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan BTA sputum

dan foto toraks (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya maka perlu

pula dilakukan pelacakan sentrifugal yaitu mencari anak lain di sekitar sumber

penularan tersebut yang kemungkinan juga tertular, yaitu dengan pemeriksaan uji

tuberkulin. Demikian pula jika ditemukan pasien TB dewasa aktif maka anak

disekitarnya atau yang kontak erat harus dilakukan pemeriksaan ada tidaknya infeksi

maupun penyakit TB.

2. Pengendalian Infeksi

Pengendalian infeksi TB terutama adalah diagnosis kasus TB dan pengobatan

yang adekuat, serta mengikuti perkembangan pasien dengan baik (tidak terjadi drop-

out) di tingkat pelayanan kesehatan manapun. Selain upaya di atas, diperlukan pula

perbaikan lingkungan rumah seperti ventilasi (pintu dan jendela) yang baik dan

masuknya sinar matahari ke dalam rumah secara efektif. Pengendalian transmisi TB

di klinik HIV juga perlu diperhatikan karena anak terinfeksi HIV merupakan

kelompok yang sangat rentan terhadap infeksi apapun terutama TB dan apabila

mereka sakit TB maka dapat menjadi sumber penularan selanjutnya.

3. Pemberian INH Profilaksis

Pemberian INH profilaksis dapat mencegah terjadinya sakit TB pada anak

terinfeksi HIV. Diagnosis infeksi TB laten pada anak terinfeksi HIV sangat penting

karena kelompok ini berisiko besar mengalami reaktivasi. Meskipun faktor kepatuhan

tetap menjadi perhatian besar namun pemberian INH profilaksis pada anak terinfeksi

HIV tetap memberikan keuntungan. Isoniazid tidak menimbulkan drug-drug

interactions bila diberikan bersama ART dan tidak pula memerlukan penyesuaian

dosis pada pemberian kedua obat tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

Page 118: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

pemberian INH profilaksis pada anak terinfeksi HIV dapat menurunkan angka

kematian sampai setengahnya.

Profilaksis primer

Profilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, pada

profilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5 – 10 mg/kgBB/hari dengan

dosis tunggal. Profilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,

terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif).

Obat diberikan selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis

dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negative, profilaksis dilanjutkan hingga 6

bulan. Jika terjadi konversi tuberculin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada

akhir bulan ke enam pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap

negatif profilaksis dihentikan, jika terjadi konversi tuberculin menjadi positif, evaluasi

status TB pasien.

Profilaksis sekunder

Profilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum

sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal.

Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk

dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak

pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais

adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat

imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB

baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama

pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.

Kebijakan pemberian INH profilaksis adalah sebagai berikut :

a. Anak dengan infeksi laten TB

Umur HIV Kontak erat dengan

pasien TB paru dewasa

Tatalaksana

Balita (+)/(-) Ya INH profilaksis

Page 119: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

Balita (+)/(-) Tidak Observasi

> 5 tahun (-) Ya Observasi

> 5 tahun (+) Ya INH profilaksis

> 5 tahun (-) Tidak Observasi

> 5 tahun (+) Tidak Observasi

b. Anak bukan TB

Umur HIV Kontak erat dengan

pasien TB paru dewasa

Tatalaksana

Balita (+)/(-) Ya INH profilaksis

Balita (+)/(-) Tidak Pikirkan diagnosis

lain, bila perlu dirujuk

> 5 tahun (-) Ya Observasi

> 5 tahun (+) Ya INH profilaksis

> 5 tahun (-) Tidak Pikirkan diagnosis

lain, bila perlu dirujuk

> 5 tahun (+) Tidak Pikirkan diagnosis

lain, bila perlu dirujuk

4. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG)

Satu-satunya vaksin terhadap tuberculosis yang tersedia adalah Bacillus

Calmette et Guerin, diberi nama dengan nama dua pengamat Perancis yang

bertanggung jawab untuk perkembangannya. Organisme vaksin aslinya adalah strain

Page 120: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

M.bovis hidup yang dilemahkan dengan subkultur setiap tiga minggu selama 13

tahun. Strain ini didistribusikan pada beberapa lusin laboratorium yang menlanjutkan

subkultur organisme ini pada berbagai media dengan berbagai keadaan. Hasilnya

adalah produksi banyak vaksin BCG yang sangat berbeda dalam morfologi, sifat

pertumbuhan, potensi sensitisasi dan virulensi binatang. Imunisasi BCG diberikan

pada usia 0 – 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,

diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih

mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menganggu struktur otot dan

sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia > 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji

tuberculin terlebih dahulu. Insiden TB anak yang mendapat BCG berhubungan

dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin,

dan intensitas pemaparan infeksi.

Efek proteksi sangat bervariasi mulai dari 0 – 80% bahkan di wilayah endemis

TB diragukan efek proteksinya. Namun demikian, vaksin BCG memberikan proteksi

yang cukup baik terhadap terjadinya TB berat (TB milier dan meningitis TB).

Sebaliknya pada anak terinfeksi HIV maka vaksin BCG tidak banyak memberikan

efek menguntungkan dan dikhawatirkan dapat menimbulkan BCG-itis diseminata,

yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada pasien imunokompromais. World

Health Organization menetapkan bahwa vaksinasi BCG merupakan kontraindikasi

pada anak terinfeksi HIV yang bergejala. Hal ini sering menjadi dilema bila bayi

mendapat BCG segera setelah lahir pada saat status HIV-nya belum diketahui. Bila

status HIV ibu telah diketahui dan Preventing Mother to Child Transmission of HIV

(PMTCT) telah dilakukan maka vaksinasi BCG tidak segera diberikan pada bayinya.

Bayi baru lahir dengan ibu HIV positif dengan perlakuan pencegahan (PMTCT),

maka BCG tidak diberikan pada saat jadwalnya. Pemberian BCG menunggu status

bayi ditetapkan melalui pemeriksaan PCR (6 bulan) atau serologis pada umur

sesudahnya. Sebaiknya didahului uji tuberkulin.

7. Prognosis

Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT

terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman

sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang

Page 121: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih

harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai

rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut.

Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke

waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak

adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan.

Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampisin,

angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT

(terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB

milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai

100%.

Page 122: Laporan Kasus Dian p (Anemia & Hiv & Tb)

DAFTAR PUSTAKA

1. William W. Hay Jr, Myron J.Levin, Robin R.Deterding, Mark J. Abzug. Current

Diagnosis & Treatment Pediatrics 22nd Edition. Colorado: McGrawHill, 2014;

2. Kliegman, Stanton, St Geme, Schor. Nelson, Textbook of Pediatrics, 20e.

Philadelphia: Elsevier, 2015; 1345-1348.

3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada

Anak, Jakarta: WHO 2014

4. Soedarmo SSP, GarnaH, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri

Tropis Ed kedua. Jakarta: IDAI, 2010;312-321.

5. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta, 2009;106

6. Pudjiaji AH, Hegar B, Handrastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.

Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI, 2010;

7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tuberkulosis. Buku Ajar Respirologi. Jakarta: IDAI;

2012.

8. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia. Jakarta: 2012.

9. http://www.hivguidelines.org/GuideLine.aspx?page ID

=258&guideLineID=35&vType=text, diakses 5 September 2015

10. Tanzania Journal of Health Research Volume 14, Number 1, January 2012

(http://dx.doi.org/10.4314/thrb.v14i1.11, diakses 5 September 2015)

11. Amanda J. Redig and Nancy Berliner. Pathogenesis and clinical implications of

HIV-related anemia in 2013. Department of Medicine, and 2Division of

Hematology, Department of Medicine, Brigham and Women’s Hospital, Harvard

Medical School, Boston, MA

12. Indian J Med Res 132, October 2010, pp 359-361