laporan kasus dian p (anemia & hiv & tb)
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RSPI PROF DR SULIANTI SAROSO
IDENTITAS MAHASISWA
Nama Lengkap : Dian Permata
NIM : 406147024
Periode : 27 Juli – 03 Oktober 2015
Pembimbing : dr. Dewi Muniarti, Sp.A(K)
Topik : Anemia dan TB Paru pada HIV
IDENTITAS PASIENNama : An. RA
Tanggal lahir (umur) : 1 Juni 2007 (8 tahun 2 bulan 26 hari)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kp. Bulak TEKO no.30, Kali Deres, RT/RW 001/011
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Anak ke : 2
IDENTITAS WALI
Nama Bibi : Ny. HS
Tanggal lahir (umur) : 24 Maret 1965 (50 tahun)
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Kp. Bulak TEKO no.30 RT/RW 001/011, Kali Deres, Jakarta Barat
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hubungan dengan pasien : Bibi.
IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ayah : Tn. A
Tanggal lahir (umur) : 30 Juli 1967 (48 tahun)
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Kp. Bulak TEKO no.37 RT/RW 001/011, Kali Deres, Jakarta Barat
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Buruh
Nama Ibu : Ny. NH
Tanggal lahir (umur) : 04 Mei 1975- 16 September 2008 → meninggal (33 tahun)
Suku Bangsa : Islam
Alamat : Kp. Bulak TEKO no.37 RT/RW 001/011, Kali Deres, Jakarta Barat
Agama : Islam
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hubungan dengan pasien : Orang tua kandung.
ANAMNESA
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 06 Agustus 2015
Tanggal Pemeriksaan : 07 Agustus 2015, pk. 10.00 WIB
Diambil dari : Autoanamnesis dan Alloanamnesis dari Bibi pasien
Keluhan Utama : Lemas sejak 3 hari SMRS
Keluhan Tambahan : Kleyengan dan mata berkunang-kunang sejak 3 hari
SMRS, sempoyongan, mudah lelah, dan mata buram.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang diantar oleh bibinya ke Poli Anak RSPI Sulianti Saroso dengan
keluhan lemas sejak 3 hari SMRS. Lemas dirasakan terus menerus dan semakin hari
bertambah berat. Saat bangun tidur pasien juga mengeluh kleyengan dan matanya berkunang-
kunang, jalannya juga sempoyongan, dan badannya terasa mudah lelah sejak 3 hari SMRS.
Saat di sekolah pasien juga mengeluh matanya terasa buram saat melihat ke papan tulis.
Keluhan pada mata pasien sendiri barusan dirasakan sejak 3 hari SMRS, terjadi tiba-tiba, dan
tidak bertambah berat. Untuk keluhan mata pasien yang sekarang ini, pasien telah berobat
ke dokter mata. Oleh dokter mata dinyatakan mata pasien normal, tidak ada rabun jauh.
Pasien juga terlihat pucat dalam 2 bulan terakhir.
Pasien tidak ada keluhan batuk, pilek, sesak, mual, muntah, maupun demam. Nafsu
makan dan minum pasien baik. Buang air besar lancar, setiap hari, dan tidak ada keluhan.
Buang air kecil kencing warna merah, jernih, tidak ada nyeri, tidak ada rasa panas dan
anyang-anyangan, jumlah banyak dan sehari bisa 5-6 kali.
Sebelumnya pasien belum pernah dibawa berobat kemana pun untuk keluhan yang
sekarang ini. Pasien datang ke poli untuk berobat keluhan lemas sekalian untuk kontrol TB
Paru dan HIV. Saat ini pasien sedang dalam pengobatan TB Paru bulan kelima dan
pengobatan HIV sejak bulan Desember 2014. Sebelumnya pasien sempat putus obat ART
selama 1 minggu pada bulan Maret 2015 karena kehabisan obat dari RSUD Cengkareng
kemudian lanjut ART pada 18 Mei 2015 setelah sebelumnya sempat dihentikan ART selama
2 bulan karena pengobatan awal TB Paru selama 2 bulan.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien pernah dirawat di RSPI SS pada tanggal 15 Maret 2015 hingga 19 Maret 2015
karena TB Paru dan OMSK. Saat ini OMSK pada pasien telah dinyatakan sembuh sedangkan
pengobatan TB Paru masih berlanjut dan telah memasuki bulan kelima.
Pasien pernah dirawat kembali di RSPI SS pada tanggal 21 April 2015 hingga 30
April 2015 karena stomatitis luas dan oral kandidosis. Saat ini pasien telah dinyatakan
sembuh.
Riwayat Alergi Obat : Antibiotik (Kotrimoksazol)
Riwayat Alergi Makanan : Coklat, teh, kerang hijau, makanan berpengawet
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Kejang : Disangkal
RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN
Kehamilan
Ibu pasien rajin memeriksakan kehamilannya ke bidan setempat, tidak mengalami
kelainan atau gangguan selama kehamilan. Ibu pasien juga tidak mengkonsumsi obat, rokok
ataupun minuman keras.
Kelahiran
Tempat kelahiran : Rumah
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Spontan
Masa gestasi : Cukup bulan
Keadaan Bayi
Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Lingkar kepala : Bibi pasien tidak tahu
Langsung menangis : Bibi pasien tidak tahu
Pucat/Biru/Kuning/Kejang : Bibi pasien tidak tahu
Nilai APGAR : Bibi pasien tidak tahu
Kelainan bawaan : Disangkal
RIWAYAT IMUNISASI
Pasien telah mendapatkan imunisasi :
Imunisasi Dasar
BCG +
DPT ? ? ?
Polio ? ? ? ?
Campak ?
Hepatitis B ? ? ? ?
Bibi pasien mengaku tidak tahu karena ia barusan mengurus pasien sejak usia 1 tahun saat
ibu pasien meninggal. Sejak usia 1 tahun lebih hingga saat ini pasien belum pernah dibawa ke
puskesmas maupun dokter untuk vaksinasi. BCG positif karena ada bekas scar di lengan
kanan atas pasien.
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama : Bibi pasien tidak tahu
Gangguan perkembangan mental dan emosi : Tidak ada
Psikomotor :
Tengkurap : Bibi pasien tidak tahu
Duduk : Bibi pasien tidak tahu
Berdiri sendiri : 1 tahun (sambil pegangan)
Berjalan : 1 tahun lebih
Berbicara : 3 tahun (belum lancar)
Membaca dan menulis : 6 tahun (belum lancar)
RIWAYAT MAKANAN
Pasien mengkonsumsi ASI sejak lahir hingga usia 1 tahun dan mendapatkan ASI
eksklusif.
Pasien mengkonsumsi susu formula sejak usia 1 tahun hingga 3 tahun.
Sejak usia 6 bulan pasien mulai mengkonsumsi bubur, buah, dan biskuit bayi
Sejak umur 1 tahun pasien mulai mengkonsumsi nasi tim
Umur
(bulan)
ASI / PASI Buah/Biskuit Bubur bayi Nasi Tim
0-2 √
2-4 √
4-6 √
6-8 √ √ √
8-10 √ √ √
10-12 √ √ √
12-24 √ √
Umur lebih dari 1 tahun
Jenis makanan Frekuensi
Nasi 2-3x/hari, 2 centong nasi
Sayur 1-2x/minggu, ½ mangkok kecil (pasien
tidak suka sayur)
Buah 2-3 x / minggu, 1 piring kecil
Daging 2-3 x / minggu, 1 potong
Ikan Hampir setiap hari, 1 ekor ikan kecil/ 1/3
potong ikan besar
Telur Hampir setiap hari, 1-2 butir
Tempe Hampir setiap hari, 1-2 potong
Tahu Hampir setiap hari, 1-2 potong
Roti Hampir setiap hari, 1 potong
Susu 2-3x/hari, susu kotak/kental manis
RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit Umur Penyakit Umur
Diare 7-8 tahun Morbili -
Otitis Media
Supuratif Kronik
6 tahun Varisela 6 tahun
Radang Paru - Parotitis -
Tuberkulosis
(Flek)
8 tahun Demam berdarah -
Kejang - Demam tifoid -
Ginjal - Cacingan -
Jantung - Alergi makanan &
obat
+
Darah - Kecelakaan -
Difteri - Operasi -
RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat TB Paru : Kakak laki-laki pasien terkena TB paru pada tahun
2013, pengobatan selama 9 bulan, dan sekarang sudah
dinyatakan sembuh.
Riwayat Kejang : Disangkal
Riwayat Alergi obat & makanan : Ayah pasien
Riwayat HIV : Ibu Pasien (?)
Ayah Pasien
Kakak Laki-laki pasien
RIWAYAT PENYAKIT PADA ANGGOTA KELUARGA LAIN/ORANG
LAIN SERUMAH
Tidak ada
RIWAYAT SOSIAL
Pasien merupakan anak kedua, kakaknya laki-laki dengan jarak usia 3 tahun. Ibu
pasien telah meninggal saat pasien berumur 1 tahun. Saat ini pasien tinggal bersama 2 orang
bibi tertua dari ayah pasien, seorang paman, dan kakak laki-laki pasien. Ayah pasien
sekarang masih hidup dan tinggal berjarak kurang lebih 100 meter dari rumah pasien. Ayah
pasien kini hidup dengan keluarga barunya karena kini ayah pasien telah menikah lagi dan
mempunyai anak dari istri barunya. Ayah pasien jarang berjumpa dengan pasien, sebulan
hanya satu kali ayahnya datang berkunjung ke rumah pasien. Pasien juga kini telah
bersekolah di SDN 02 Cengkareng dan sekarang duduk di kelas 3 SD. Pasien termasuk siswa
yang cukup pandai, selalu naik kelas. Pasien aktif bermain dengan teman sebayanya namun
terbatas hanya aktivitas yang tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga seperti bermain
kelereng, dan kartu. Pasien juga tidak ada gangguan dalam proses belajar, cukup pandai
menangkap materi pelajaran, dan di sekolahnya selalu masuk ranking 20 besar. Pasien
tercukupi kebutuhan sehari-harinya dan untuk kebutuhan makan dan minum, bibi pasien
sendiri yang memasakan buat pasien atau terkadang juga beli lauk di warteg dekat rumah.
Untuk sumber air minum menggunakan air galon sedangkan untuk MCK menggunakan air
PAM.
DATA PERUMAHAN
Kepemilikan rumah : Milik sendiri
Ukuran rumah : 7 x 10 m2.
Jumlah ventilasi tidak tetap : 2 buah jendela dan 1 buah pintu di bagian depan rumah,
hanya bagian depan rumah yang terkena cahaya matahari. Jendela juga jarang dibuka.
Jumlah ventilasi tetap : 5 buah, 3 di kamar dan 2 di kamar mandi.
Jumlah ruangan :
1 ruang tamu sekaligus ruang keluarga
3 kamar tidur
2 kamar mandi namun yang 1 lagi sudah tidak terpakai
1 dapur
Keadaan rumah : Padat, kurang cahaya dan ventilasi udara. Sirkulasi udara
kurang baik dan cukup lembab. Berisi 5 orang anggota
keluarga.
Keadaan lingkungan : Rumah antara pasien dengan tetangga disekitarnya itu
berdempetan.
P EMERIKSAAN FISIK
Jumat, 7 Agustus 2015, pk. 10.00 WIB
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tinggi badan : 118 cm
Berat badan : 20,5 kg
IMT : 14,72 kg/m2
Plotting Status Gizi menggunakan Z score
Kesan : Normal
Kesan : Normal
Kesan : Normal
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 105/59 mmHg
Suhu : 36,7 °C
Nadi : 80 x/mnt
Pernafasan : 21 x/mnt
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Bentuk normal, ukuran normal, tidak teraba benjolan, rambut hitam agak kecoklatan,
distribusi merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan.
Mata
Kelopak mata tidak ada kelainan, konjungtiva anemis (+/+), konjungtiva bulbi
tidak hiperemis, epifora (-/-), sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor diameter 3 mm, reflek
cahaya langsung (+/+).
Telinga
Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak terlihat sekret, tidak terlihat serumen, tidak
terlihat luka pasca trauma, tidak ada nyeri tekan tragus, tidak ada nyeri tarik aurikuler,
kelenjar getah bening pre dan retroaurikular tidak teraba membesar.
Hidung
Bentuk normal, sekret (-), septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-).
Mulut
Mukosa bibir kering (+), tampak perioral sianosis (-), lidah kotor (-), ulkus di
mukosa bibir (-), krusta di bibir (+), bibir pucat (+).
Gigi Geligi
Multipel karies (+).
Tenggorokan
Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus (-). Faring posterior tidak
hiperemis. Tidak tampak bercak putih dan ulkus pada lidah, mukosa bagian dalam pipi,
faring posterior maupun tonsil.
Leher
Trachea di tengah, kelenjar thyroid tidak teraba membesar . Kelenjar getah bening
colli dextra teraba membesar 2 buah dengan ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm,
permukaan halus, batas tegas, mobile (+), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-). Kelenjar
submandibula, mental, submandibular sinistra, supra clavicular tidak teraba membesar.
Dada
Bentuk normal, retraksi otot-otot intercostalis, supraclavicula, subcostal (-).
Paru - paru
Inspeksi : Simetris dalam diam dan pergerakan nafas
Palpasi : Stem fremitus kanan kiri, depan belakang sama kuat
Perkusi : Sonor, batas paru – hepar ICS VI midclavicular line dextra
Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
o Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
o Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS IV midclavicula line sinistra
o Perkusi : Redup , batas jantung atas ICS III midclavicula line sinistra. Batas
jantung kanan midsternum ICS IV. Batas jantung kiri ICS IV midclavicula line
sinistra.
o Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, murmur (-), gallop (-).
Perut
Inspeksi : Datar, scar (+), striae (-), dilatasi vena (-)
Palpasi :
- Supel
- Hepar teraba membesar 3 jari di bawah arcus costae, tepi tajam, permukaan
licin, nyeri tekan (-)
- Lien teraba membesar di schuffner 1, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani , tanda cairan bebas (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT < 2 detik, edema (-)
Tulang belakang : Bentuk normal, tidak ada skoliosis, lordosis, dan kifosis
Kulit : Turgor kembali cepat, sianosis (-), pucat (+) di telapak tangan dan
kaki, scar (+) di ke-4 ekstremitas, eritema (+) di wajah, leher, dan
tangan
Pemeriksaan Neurologis
• Rangsang meningeal
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I dan II (-)
Kerniq (-)
Laseque (-)
• Refleks fisiologis
Biceps : +/+ normal
Triceps : +/+ normal
Patella : +/+ normal
Achilles : +/+ normal
• Refleks patologis
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Klonus Paha & Kaki : -/-
Parese : (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel Pemeriksaan Laboratorium Darah (06 Agustus 2015) pk. 13.55
Hematologi Hasil Nilai normal
Leukosit 3,2 4,5 – 13,5 ribu/µL
Eritrosit 1,03 3,80 – 5,80 juta/µL
Hb 3,8 10,8 – 15,6 g/dL
Ht 10 33 – 45 %
Trombosit 496 181 – 521 ribu/µL
M.C.V 99 72 – 88 fL
M.C.H 37 22 –34 pg
M.C.H.C 37 32– 36 g/dL
Hitung Jenis
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 1-5%
Batang 0 3-6%
Segmen 51 25-60 %
Limfosit 45 25-50 %
Monosit 4 1-6 %
LED - 0-10 mm
Hasil Pemeriksaan Hapusan Darah Tepi (06 Agustus 2015) pk. 13.55
Pemeriksaan Hasil
Eritrosit Normositik Normokrom
Leukosit Jumlah kurang, morfologi normal
Trombosit Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan Anemia gravis normositik normokrom
Leukopeni Saran Marker infeksi virus darah samar
Tabel Pemeriksaan Urinalisis Lengkap (07 Agustus 2015) pk. 11.16
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Berat Jenis 1.025 1.015-1.025
pH 5,5 4,8-7,4
Leukosit Esterase - Negatif ( ɲL)
Nitrit - Negatif
Albumin - Negatif (mg/dL)
Glukosa - Negatif (mg/dL)
Keton - Negatif (mg/dL)
Urobilinogen + < = 1 (mg/dL)
Bilirubin - Negatif (mg/dL)
Darah (Blood) - Negatif (/ɲL)
Sedimen Mikroskopis
Eritrosit Eritrosit Eritrosit
Leukosit Leukosit Leukosit
Silinder Silinder Silinder
Epitel Epitel Epitel
Bakteri Bakteri Bakteri
Kristal Kristal Kristal
Makroskopis
Warna Kuning --
Kejernihan Jernih --
Lain-lain - --
Tabel Pemeriksaan Laboratorium Darah (08 Agustus 2015) pk. 11.21
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit 1,9 4,5 – 13,5 ribu/µL
Eritrosit 3,12 3,80 – 5,80 juta/µL
Hb 10 10,8 – 15,6 g/dL
Ht 28 33 – 45 %
Trombosit 365 181 – 521 ribu/µL
M.C.V 90 72 – 88 fL
M.C.H 32 22 –34 pg
M.C.H.C 36 32– 36 g/dL
RIWAYAT RAWAT INAP
Jumat, 7 Agustus 2015 (perawatan hari ke-2)
S : Lemas (+), kleyengan (+), mudah lelah (+), mata berkunang-kunang (+), mata buram
(-), demam (-). Gatal-gatal dan timbul ruam kemerahan dari semalam terutama di wajah,
leher, dan tangan. Nafsu makan dan minum baik. Belum BAB sejak kemarin. BAK lancar
warna kuning kemerahan, jernih, tidak ada keluhan lainnya.
O : KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 105/59 mmHg
Suhu : 36,5o C
Nadi : 80x/menit
RR : 21x/menit
Mata : CA (+/+) , SI (-/-), konjungtiva bulbi hiperemis (-/-), kelopak
mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)
Mulut : Mukosa bibir kering (+),krusta (+), pucat (+), ulkus di mukosa
bibir (-)
Gigi geligi : Multipel karies (+)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus
(-), faring posterior tidak hiperemis. Tidak tampak bercak putih dan ulkus pada lidah,
mukosa bagian dalam pipi, faring posterior maupun tonsil
Leher : kelenjar getah bening colli dextra teraba membesar 2 buah
dengan ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm, permukaan halus,
batas tegas, mobile (-), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-)
Pulmo : Vesikular (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Cor : BJ I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen : Datar, skar (+), supel, timpani, bising usus (+) normal, NT (-), hepar
teraba membesar 3 jari dibawah arcus costae, tepi tajam, permukaan licin, NT (-), lien
teraba membesar di schuffner 1, NT (-)
Extremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)
Kulit : Pucat (+) di telapak tangan dan kaki, scar (+) di ke-4 ekstremitas,
eritema (+) di wajah, leher, dan tangan, turgor kembali cepat, sianosis
(-)
A : Anemia
HIV
TB
P : IVFD KaEn 3B 1500 cc / 24 jam
Oksigen 2 LPM
ART :
FDC 2 x 3 tablet
ZDV 2 x 3 tablet
OAT :
Rifampicin 300 mg 1 x 1 pulv (pagi)
INH 200mg 1 x 1 pulv (pagi)
Kotrimoksazol 1 x 1 cth
Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg (3 x 1 pulv)
Transfusi PRC 200 cc yang ke-2
Cek DR Hb post transfusi / 6 jam
Diet NB 1500 kkal & ekstra putih telur
Laboratorium (07-08-2015) :
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Berat Jenis 1.025 1.015-1.025
pH 5,5 4,8-7,4
Leukosit Esterase - Negatif ( ɲL)
Nitrit - Negatif
Albumin - Negatif (mg/dL)
Glukosa - Negatif (mg/dL)
Keton - Negatif (mg/dL)
Urobilinogen + < = 1 (mg/dL)
Bilirubin - Negatif (mg/dL)
Darah (Blood) - Negatif (/ɲL)
Sedimen Mikroskopis
Eritrosit Eritrosit Eritrosit
Leukosit Leukosit Leukosit
Silinder Silinder Silinder
Epitel Epitel Epitel
Bakteri Bakteri Bakteri
Kristal Kristal Kristal
Makroskopis
Warna Kuning --
Kejernihan Jernih --
Lain-lain - --
Sabtu, 8 Agustus 2015 (perawatan hari ke-3)
S : Lemas (+) tapi sudah berkurang, kleyengan (+) kalau berubah posisi dari tidur ke duduk,
mata berkunang-kunang (-), sempoyongan (-), mudah lelah (-), mata buram (-), demam (+)
semalam. Gatal-gatal semalam semakin bertambah di daerah wajah. Nafsu makan dan
minum baik. Belum BAB sejak 2 hari yang lalu. BAK lancar warna kuning kemerahan,
jernih, tidak ada keluhan lainnya.
O : KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/67 mmHg
Suhu : 37,0o c
Nadi : 87x/menit
RR : 23x/menit
Mata : CA (+/+) , SI (-/-), konjungtiva bulbi hiperemis (-/-), kelopak
mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)
Mulut : Krusta (+), pucat (+), mukosa bibir kering (-), ulkus di
mukosa bibir (-)
Gigi geligi : Multipel karies (+)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus
(-), faring posterior tidak hiperemis. Tidak tampak bercak putih dan ulkus pada lidah,
mukosa bagian dalam pipi, faring posterior maupun tonsil
Leher : kelenjar getah bening colli dextra teraba membesar 2 buah
dengan ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm, permukaan halus,
batas tegas, mobile (-), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-)
Pulmo : Vesikular (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Cor : BJ I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen : Datar, skar (+), supel, timpani, bising usus (+) normal, NT (-), hepar
teraba membesar 3 jari dibawah arcus costae, tepi tajam, permukaan licin, NT (-), lien
teraba membesar di schuffner 1, NT (-)
Extremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)
Kulit : Pucat (+) di telapak tangan dan kaki, scar (+) di ke-4 ekstremitas,
eritema (+) di wajah, turgor kembali cepat, sianosis (-)
A : Anemia
HIV
TB
P : IVFD KaEn 3B 1500 cc / 24 jam
Oksigen 2 LPM
ART :
FDC 2 x 3 tablet
ZDV 2 x 3 tablet
OAT :
Rifampicin 300 mg 1 x 1 pulv (pagi)
INH 200mg 1 x 1 pulv (pagi)
Kotrimoksazol 1 x 1 cth
Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg (3 x 1 pulv)
Cek DR Hb post transfusi PRC 2 x 200 cc
Diet NB 1500 kkal & ekstra putih telur
Laboratorium (08-08-2015) :
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit 1,9 4,5 – 13,5 ribu/µL
Eritrosit 3,12 3,80 – 5,80 juta/µL
Hb 10 10,8 – 15,6 g/dL
Ht 28 33 – 45 %
Trombosit 365 181 – 521 ribu/µL
M.C.V 90 72 – 88 fL
M.C.H 32 22 –34 pg
M.C.H.C 36 32– 36 g/dL
Minggu, 9 Agustus 2015 (perawatan hari ke-4)
S : Lemas (-), kleyengan (-), mata berkunang-kunang (-), sempoyongan (-), mudah lelah (-),
pusing berputar (-), mata buram (-), demam (-). Gatal-gatal di wajah, leher, dan tangan
berkurang. Nafsu makan dan minum baik. BAB 1x, warna coklat, sedikit keras. BAK lancar
warna kuning kemerahan, tidak ada keluhan lainnya.
O : KU : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 36,6o c
Nadi : 94x/menit
RR : 22x/menit
Mata : CA (-/-) , SI (-/-), konjungtiva bulbi hiperemis (-/-), kelopak
mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)
Mulut : Krusta (+), pucat (+), mukosa bibir kering (-), , ulkus di
mukosa bibir (-)
Gigi geligi : Multipel karies (+)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus
(-), faring posterior tidak hiperemis. Tidak tampak bercak putih dan ulkus pada lidah,
mukosa bagian dalam pipi, faring posterior maupun tonsil
Leher : kelenjar getah bening colli dextra teraba membesar 2 buah
dengan ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm, permukaan halus,
batas tegas, mobile (-), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-)
Pulmo : Vesikular (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Cor : BJ I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen : Datar, skar (+), supel, timpani, bising usus (+) normal, NT (-), hepar
teraba membesar 3 jari dibawah arcus costae, tepi tajam, permukaan licin, NT (-), lien
teraba membesar di schuffner 1, NT (-)
Extremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)
Kulit : Pucat (+) di telapak tangan dan kaki, scar (+) di ke-4 ekstremitas,
eritema (-), turgor kembali cepat, sianosis (-)
A : Anemia → Post Transfusi
HIV
TB
P : IVFD KaEn 3B 1500 cc / 24 jam
ART :
FDC 2 x 3 tablet
ZDV 2 x 3 tablet
OAT :
Rifampicin 300 mg 1 x 1 pulv (pagi)
INH 200mg 1 x 1 pulv (pagi)
Kotrimoksazol 1 x 1 cth
Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg (3 x 1 pulv)
Diet NB 1500 kkal & ekstra putih telur
Pindah ruangan biasa
Senin, 10 Agustus 2015 (perawatan hari ke-5)
S : Lemas (-), sempoyongan (-), mudah lelah (-), kleyengan (-), mata buram dan berkunang-
kunang (-), demam (-). Gatal-gatal di muka, leher, dan tangan mulai berkurang terutama di
muka. Pasien sudah aktif bermain dan bisa berlari-larian di lorong RS. Nafsu makan dan
minum baik. BAB 1x, warna coklat, tidak keras. BAK lancar warna kuning kemerahan,
jernih, tidak ada keluhan lainnya.
O : KU : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 36,8o c
Nadi : 98x/menit
RR : 21x/menit
Mata : CA(-/-) , SI (-/-), konjungtiva bulbi hiperemis (-/-), kelopak
mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)
Mulut : krusta (+), pucat (+), mukosa bibir kering (-), lidah kotor (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus
(-), faring posterior tidak hiperemis. Tidak tampak bercak putih
dan ulkus pada lidah, mukosa bagian dalam pipi, faring
posterior maupun tonsil
Leher : kelenjar getah bening colli dextra teraba membesar 2 buah
dengan ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm, permukaan halus,
batas tegas, mobile (-), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-)
Pulmo : Vesikular (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Cor : BJ I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen : Datar, skar (+), supel, timpani, bising usus (+) normal, hepar
dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan(-)
Extremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)
Kulit : Pucat (+) di telapak tangan dan kaki, scar (+) di ke-4 ekstremitas,
eritema (-), turgor kembali cepat, sianosis (-)
A : Post Transfusi
HIV
TB
P : IVFD KaEn 3B 1500 cc / 24 jam
ART :
FDC 2 x 3 tablet
ZDV 2 x 3 tablet
OAT :
Rifampicin 300 mg 1 x 1 pulv (pagi)
INH 200mg 1 x 1 pulv (pagi)
Kotrimoksazol 1 x 1 cth
Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg (3 x 1 pulv)
Diet NB 1500 kkal & ekstra putih telur
Boleh pulang
ANALISIS KASUS
1. ANAMNESISRiwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki berumur 8 tahun 2 bulan 26 hari dengan keluhan lemas, jalan
sempoyongan, pusing berputar, mudah lelah, mata berkunang-kunang dan buram, dapat
dicurigai terkena anemia.
Awalnya os di diagnosa anemia dengan melihat gejala-gejala yang dialami pasien
mendukung penegakan diagnosa tersebut, seperti lemas, jalan sempoyongan, pusing berputar,
mudah lelah, mata berkunang-kunang dan buram, terdapat konjungtiva anemis, mukosa bibir
pucat, telapak tangan dan kaki juga pucat, dan hasil laboratorium menunjukkan Hb pasien
sangat rendah.
Pasien kemudian diterapi transfusi PRC serta diberikan puyer sulfas ferosus
dicampur dengan vitamin C dan hasilnya di evaluasi setelah selesai transfusi yang kedua
kalinya. Hasilnya menunjukan perbaikan yang nyata, gejala klinis menghilang dan
konjungtiva sudah tidak anemis lagi meskipun dari pemeriksaan fisik lainnya masih
ditemukan mukosa bibir pucat dan telapak tangan dan kaki juga pucat. Selain itu dari hasil
laboratorium juga menunjukan peningkatan Hb dan eritrosit yang signifikan.
Diagnosa HIV sudah ditegakkan di RSUD Cengkareng pada bulan Oktober tahun
2014 dan dilakukan pengobatan ART pada bulan Desember hingga saat ini. Penegakan
diagnosis di dukung dari riwayat ayah dan kakak laki-laki pasien yang menderita HIV.
Sedangkan Ibu pasien riwayat HIV tidak diketahui karena tidak pernah diperiksa tes HIV
semasa hidupnya . Ibu pasien tapi dicurigai kemungkinan besar mengidap HIV karena
mantan suaminya dahulu adalah seorang bartender yang berkerja di diskotek dan ibu pasien
sendiri meninggal tanpa penyebab yang jelas, hanya mengeluh demam dan nyeri kepala hebat
selama sebulan terakhir sebelum akhirnya meninggal dunia. Pasien juga lahir secara spontan
dan mendapatkan ASI ekslusif bahkan hingga pasien berumur 1 tahun, hal ini dapat
meningkatkan resiko pasien terkena HIV menjadi lebih besar.
Diagnosa TB Paru sudah ditegakkan dengan di RSPI SS pada tanggal 19 Maret 2015
dan dilakukan pengobatan OAT hingga saat ini sudah memasuki bulan kelima. Penegakkan
diagnosis didukung dari gejala yang diderita pasien saat masuk ke IGD RSPI SS seperti sesak
napas sejak 1 hari SMRS yang memberat dalam 2 jam SMRS, kontak erat dengan penderita
TB (kakak laki-laki pasien), demam hangat-hangat saja ± 1 bulan tanpa penyebab yang jelas,
naik turun sepanjang hari, batuk ± 1 bulan, berdahak warna kuning kehijauan, sering
berkeringat di malam hari, BB turun 2 kg dalam 1 bulan terakhir, sering diare berulang
dengan kurun waktu kurang dari 14 hari, hasil laboratorium juga menunjukan adanya
peningkatan LED, hasil tes mantoux dan rontgen dada tidak diketahui. Pasien kemudian
diterapi dengan OAT dan menunjukkan perbaikan klinis yang nyata dengan menghilangnya
gejala klinis serta mulai terjadinya peningkatan berat badan.
ANEMIA PADA HIV
Epidemiologi
Teori Kasus
Anemia adalah kelainan hematologi
terbanyak yang terjadi pada pasien dengan
HIV dan biasanya berhubungan dengan
progresifitas penyakit tersebut dan hasil
klinis yang buruk serta kematian. Sebuah
studi epidemiologi sebanyak 32.867 pasien
infeksi HIV pada orang dewasa dan remaja
menemukan bahwa resiko kematian
meningkat hingga 170% pada pasien dengan
anemia persisten (Hb <10 mg/dL)
dibandingkan dengan pasien dengan anemia
yang tertangani. Anemia merupakan klinis
yang penting pada infeksi HIV dan
diperkirakan prevalensi pada HIV
asimtomatik sekitar 10% sedangkan pada
AIDS sekitar 92%.
Saat ini pasien menderita anemia (Hb awal
3,8 mg/dL) dan sudah 8 bulan terdiagnosa
HIV serta mengkonsumsi ART sejak 8
bulan yang lalu dan sempat dihentikan
selama 2 bulan 1 minggu.
Faktor Resiko
Teori Kasus
Riwayat TB dalam 6 bulan terakhir
Terinfeksi cacing tambang
Pasien menderita infeksi TB Paru sejak 5
bulan yang lalu
Manifestasi Klinis
Teori Kasus
Keluhan utama:
Pucat yang berlangsung lama tanpa
manifestasi perdarahan, mudah lelah, lemas,
sering pusing, mata berkunang-kunang.
Pucat 2 bulan terakhir, tidak ada
perdarahan, lemas, mudah lelah, pusing,
mata berkunang-kunang.
Pemeriksaan fisik
Teori Kasus
Pucat → telapak tangan dan kaki, mukosa Keadaan umum : Tampak sakit sedang
bibir
Konjungtiva anemis
Atrofi papil lidah
Koilonikia
Takikardi
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 105/59 mmHg
Suhu : 36,5 °C
Nadi : 80 x/mnt
Pernafasan : 21 x/mnt
Tanda :
- Konjungtiva anemis (+/+)
- Pucat (+) di mukosa bibir serta di
telapak tangan dan kaki
Pemeriksaan penunjang
Teori Kasus
Pemeriksaan darah lengkap
Hal yang dinilai :
- Hb
- MCV
- MCH
- MCHC
Kadar besi serum
Total Binding Iron Capacity
Nilai retikulosit
Serum Transferrin Receptor (STfR)
Hapusan darah tepi
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien :
6 Agustus 2015
Darah Rutin
- Leukosit : 3,2 ribu/µL
- Eritrosit : 1,03 juta/µL
- Hemoglobin : 3,8 g/dL
- Hematokrit : 10 %
- M.C.V : 99 fL
- M.C.H : 37 pq
- M.C.H.C : 37 g/dL
Hapusan Darah Tepi
- Eritrosit : Normositik
normokrom
- Leukosit : Jumlah kurang,
morfologi normal
- Trombosit : Jumlah normal,
morfologi normal
- Kesan : Anemia gravis
normositik normokrom dan
Leukopeni
8 Agustus 2015
- Leukosit : 1,9 ribu/µL
- Eritrosit : 3,12 juta/µL
- Hemoglobin : 10 g/dL
- Hematokrit : 16 %
- M.C.V : 90 fL
- M.C.H : 32 pq
Tatalaksana
Teori Kasus
Jika kadar eritropoietin endogen < 500
mUnits/mL, terapi eritropietin (50-200
iu/kg/dose 3x/week) harus diberikan
untuk mengurangi kebutuhan tranfusi.
Suplemen besi oral (3-6mg/kg/hari) dan
asam folat (1mg/hari) harus diberikan
ketika eritropoietin mulai diberikan.
Jika gejala klinis anemia signifikan (Hb
< 7 mg/dL atau ada tanda-tanda
kegawatdaruratan Jantung-Paru),
penggunaan eritropoietin atau transfusi
direkomendasikan untuk penggunaan
zidovudine hingga diagnosis ditegakkan.
Dosis zidovudine tidak boleh diubah.
Terapi yang diberikan pada pasien :
Transfusi PRC 2 x 200 cc
Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg
(3 x 1 pulv)
Seharusnya pada pasien ini diberikan
kebutuhan transfusinya 430 cc
Tapi karena pada pasien ini Hb
terhitung sangat rendah sehingga
pemberian tranfusi darah harus
diberikan secara perlahan-lahan
sehingga untuk awal diberikan 400 cc
diraakan cukup.
HIV
Epidemiologi
Teori Kasus
WHO memperkirakan pada tahun 2013, 3.2
juta anak anak dibawah 15 tahun hidup
dengan infeksi HIV-1, 90% diantaranya
berada di sub-saharan Africa. Walaupun
jumlah anak anak yang lahir dengan HIV
telah turun 43% antara tahun 2009 sampai
2013, masih 199.000 anak yang terinfeksi
baru hanya ditahun 2013. Kebanyakan dari
kasus anak adalah hasil dari transmisi secara
vertical dari ibu yang terinfeksi HIV.
Pasien berusia 8 tahun 2 bulan 26 hari
yang berarti pasien berusia dibawah 15
tahun.
Pasien diduga terkena HIV dari ibunya
karena kakak laki-laki pasien juga
terkena HIV.
Pasien juga riwayat lahir secara normal
dan mendapatkan ASI eksklusif yang
berarti resiko terjadinya penularan
secara vertical menjadi lebih besar.
Faktor Resiko
Teori Kasus
Heteroseksual
Homo-biseksual
Injection Drug Use
Transfusi Darah
Transmisi Perinatal
Tidak diketahui
Pasien lahir secara normal dan
mendapatkan ASI ekslusif bahkan hingga
pasien berumur 1 tahun.
Manifestasi Klinis
Teori Kasus
Keluhan utama:
Stadium 1
Asymptomatik
Persistent generalized lymphadenopathy
Stadium 2
Unexplained persistent
hepatosplenomegaly
Papular pruritic eruption
Bulan Oktober 2014
Stadium 1
Asymptomatik
Bulan Agustus 2015
Stadium 3
Hepatomegali 3 jari dibawah arcus
costae
Fungal nail infection
Angular cheilitis
Lyneal gingival erythema
Extensive wart virus infection
Extensive molluscum contagiosum
Recurrent oral ulcerations
Unexplained persistent parotid
enlargement
Herpes zoster
Recurrent or chronic upper respiratory
tract infections (otitis media, otorrhea,
sinusitis, atau tonsilitis)
Stadium 3
Unexplained moderate malnutrition or
wasting not adequately responding to
standart therapy
Unexplained persistent diarrhea
Unexplained persistent fever
Persistent oral candidiasis (after first 6-8
week of life)
Oral hairy leukoplakia
Acute necrotizing ulcerative gingivitis or
periodontitis
Lymph node tuberculosis
Pulmonary tuberculosis
Severe recurrent bacterial pneumonia
Symptomatic lymphoid interstitial
pneumonitis
Chronic HIV-associated lung disease
including bronchiectasis
Unexplained anemia, neutropenia,
thrombocytopenia
Splenomegai di schuffner 1
Papular pruritic eruption
Otitis media kronik supuratif berulang
Oral candidiasis
Lymph node tuberculosis
Pulmonary tuberculosis
Unexplained anemia
Acute necrotizing ulcerative gingivitis
or periodontitis
Riwayat demam naik turun ± 1bulan
tanpa penyebab yang jelas
Stadium 4
Unexplained severe wasting, stunting, or
severe malnutrion not responding to
standart therapy
Pneumocystis pneumonia
Recurrent severe bacterial infections
(such as empyema, pyomyositis, bone or
joint infection, or meningitis but
excluding pneumonia)
Chronic herpes simplex infection
Esophageal candidiasis (or candidiasis of
trachea, bronchi, or lungs)
Extrapulmonary tuberculosis
Kaposi sarcoma
Cytomegalovirus infection : retinitis or
cytomegalovirus infection affecting
another organ, with onset age older than 1
MO
Central nervous system toxoplasmosis
(after 1 MO of life)
Extrapulmonary cryptococcosis
HIV encephalopathy
Disseminated endemic mycosis
(coccidiomycosis or histoplasmosis)
Disseminated nontuberculous
mycobacterial infection
Chronic cryptosporidiosis (with diarrhea)
Chronic isosporiasis
Cerebral or B-cell non-Hodgkin
lymphoma
Progressive multifocal
leukoencephalopathy
Symptomatic HIV-associated
nephropathy or HIV-associated
cardiomyopathy
Pemeriksaan penunjang
Teori Kasus
Anak > 18 bulan :
o Penegakkan infeksi → HIV antibodi
(immunoassay / rapid antibody)
o Memastikan → Western blot, Immune
fluorescent Antibody / rapid test ke-2
(dengan antigen / metode yang
berbeda) → karena bisa terjadi false
positif pada kasus dimana terjadi
cross-reacting antibodies
Perjalanan penyakit :
o Pe↓an jumlah total & presentase
CD4 T limfosit (prediksi tingkat
resiko infeksi oportunistik)
o Pe↑an presentase dari CD8 T
limfosit
Hipergammaglobuline dari IgG, IgA, &
IgM → hypogammaglobulinemia
(perjalanan lanjut)
Kelainan pemeriksaan darah (anemia,
neutropenia, trombositopenia)
CSS → normal / pe↑an protein &
mononuclear pleocystosis / HIV nucleid
acid testing (+ / -)
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien :
23 Februari 2015
CD4 absolut : 5 L cells / uL (410-1590)
[keterangan : lymfosit T helper sangat
kurang]
CD4% : 1 L % (31-60)
22 April 2015
CD4 : 4 cells /uL (410-1590)
CD3 : (-) cells/uL (410-1590)
3 September 2015
CD 4 : 165 cells / uL (410-1590)
CD3 : (-) cells / uL (410-1590)
15 Maret 2015 (RSUD Cengkareng)
L : 2,5 ribu/µL (5-14,5)
- Basofil : 0 % (0-1)
- Eosinofil : 2 % (1-5)
- Batang : 3 % (3-6)
- Segmen : 50 % (25-60)
- Limfosit : 43 % (25-50)
- Monosit : 2 % (1-6)
22 April 2015
L : 3,1 / uL (5-14,5)
6 Agustus 2015
Leukosit : 3,2 / uL (4,5 -13,5)
- Basofil : 0 % (0-1)
- Eosinofil : 0 % (1-5)
- Batang : 0 % (3-6)
- Segmen : 51 % (25-60)
- Limfosit : 45 % (25-50)
- Monosit : 4 % (1-6)
8 Agustus 2015
Leukosit : 1,9 / uL (4,5 -13,5)
Tatalaksana
Teori Kasus
Anak > 5 tahun & dewasa :
- Inisiasi ART pada orang terinfeksi
HIV stadium klinis 3 & 4, atau jika
jumlah CD4 < 350 sel/mm
- Inisiasi ART tanpa melihat stadium
klinis WHO & berapapun jumlah
CD4
o Koinfeksi TB
o Koinfeksi Hepatitis
o Ibu hamil dan menyusui HIV +
o Orang terinfeksi HIV yang
pasangannya HIV negative
(pasangan serodiskordan)
o LSL,PS,Transgender,Waria, atau
penasun
o Populasi umum di daerah dengan
epidemic HIV meluas
Pasien berumur 7 tahun 4 bulan saat
terdiagnosis HIV → langsung diberi
ART (dari RSUD Cengkareng)
Pasien berumur 7 tahun 9 bulan → TB
Paru (19-03-2015) dan HIV (+)
[Oktober 2014] tetapi ART putus 1
minggu → terapi OAT 2 bulan →
lanjut terapi ART (18-05-2015)
Prognosis
Teori Kasus
Viral load <100.000 copies/mL → jarang
dijumpai perkembangan penyakit yang
cepat
Viral load >100.000 copies/mL →
23 Februari 2015
CD4 absolut : 5 L cells / uL (410-1590)
[keterangan : lymfosit T helper sangat
kurang]
berkaitan dengan resiko perburukan &
kematian.
Jumlah CD4 limfosit <15% → me↑nya
angka mortalitas
CD4% : 1 L % (31-60)
TUBERKULOSIS PADA HIV
Epidemiologi
Teori Kasus
Tuberkulosis adalah infeksi oportunistik
yang sering menjadi ko-infeksi HIV dengan
kasus sebanyak 24% - 45% kasus TB pada
infeksi HIV asimptomatik dan sebanyak
70% pada pasien anak dengan AIDS.
Hasil survei yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan di beberapa propinsi
menunjukkan angka ko-infeksi TB-HIV
yang bervariasi, yaitu 24% di Bali, 32% di
Jawa Timur, dan 10% di Jakarta.
Pasien menderita HIV sejak 8 bulan
yang lalu dan terdiagnosis TB sejak
5 bulan yang lalu.
Pasien tinggal di kota Jakarta.
Anamnesis
Teori Kasus
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas
atau BB tidak naik dengan adekuat atau tidak
naik dalam 1bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang
tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
ISK, malaria, dan lain-lain). Demam
umumnya tidak tinggi.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-
remitting (tidak pernah reda/ intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain
batuk telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau
berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).
5. Lesu/ malaise, kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) tidak
sembuh dengan pengobatan baku diare.
1. Pasien mengalami penurunan berat
badan yang cukup signifikan dalam 1
bulan turun 2 kg. Dan menurut
pengakuan bibi pasien, nafsu makan
pasien baik, bahkan lebih banyak
makan dibandingkan kakak laki-laki
pasien.
2. Pasien sering mengalami demam
berulang tanpa penyebab yang jelas,
tidak terlalu tinggi, naik turun terus
menerus selama ± 1bulan.
3. Pasien juga mengalami batuk
berdahak ± 1 bulan terakhir, dahak
warna kuning kehijauan.
4. Nafsu makan cukup baik, BB
menurun namun belum masuk
kedalam gagal tumbuh.
5. Pasien lesu dan agak rewel.
6. Pasien mengalami diare akut yang
berulang (<14 hari).
Pemeriksaan fisik
Teori Kasus
Pada sebagian besar kasus, tidak dijumpai
kelainan fisis yang khas.
Antropometri : gizi kurang dengan grafik
berat badan dan tinggi badan pada posisi
didaerah bawah atau di bawah P5.
Suhu subfebris dapat ditemukan pada
sebagian pasien.
Kelainan pada pemeriksaan fisis baru jumpai
jika Tb mengenai organ tertentu.
TB vertebra : gibbus, kifosis, paraparesis
atau paraplegia
TB koksae atau TB genu : jalan pincang,
nyeri pada pangkal paha atau lutut
Pembesaran KGB mutipel, tidak nyeri tekan,
dan konfluens (saling menyatu)
Meningitis TB : kaku kuduk dan tanda
rangsang meningeal lain
Sklofuroderma : ulkus kulit dengan
skinbridge biasanya terjadi di daerah leher,
axilla atau inguinal
Konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih
pada limbus korne yang sangat nyeri.
Pada pasien didapatkan:
Antropometri : gizi kurang.
Selama perawatan suhu pasien:
15/3/2015 : 38,5o C
16/3/2015 : 37,0 o C
17/3/2015 : 37,5o C
18/3/2015 : 36,0o C
19/3/2015 : 37,8o C
Ada pembesaran KGB :
Kelenjar getah bening submandibula
sinistra teraba membesar dengan ukuran
3 cm, permukaan halus, batas tegas,
mobile (+), nyeri tekan (-), tanda
inflamasi (-) dan kelenjar getah bening
colli dextra teraba membesar 2 buah
dengan ukuran diameter 2cm dan 2cm,
permukaan halus, batas tegas, mobile
(+), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-).
Pemeriksaan penunjang
Teori Kasus
Uji tuberkulin
Foto thorax AP dan lateral kanan
Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan
bilasan lambung atau sputum untuk mencari
BTA atau hasil biakan mycobacterium
Uji tuberkulin tidak diketahui.
Foto thorax AP dan lateral tidak
diketahui.
Pemeriksaan darah lengkap :
LED : 86
tuberculosis
Pemeriksaab patologi dari biopsi kelenjar,
kulit, atau jaringan lain yang dicurigai TB
Fundoskopi untuk TB milier dan meningitis
TB
Pungsi lumbal pada TB milier untuk
mengetahui ada tidaknya meningitis TB
Foto tulang dan pungsi pleura dilakukan atas
indikasi
Pemeriksaan darah tepi, LED, urin, feses
untuk membantu menunjang diagnosis
namun tidak berperan penting.
Pemeriksaan lainnya tidak dilakukan.
Diagnosis
Teori Kasus
Diagnosis TB pada HIV bersifat presumtif
berdasarkan :
Riwayat dengan kontak TB dewasa
terutama yang BTA (+)
Uji tuberkulin ≥ 5 mm
Gambaran sugestif TB secara klinis
(misalnya gibbus)
Foto thorax yang menunjang sugestif TB
Pasien kontak dengan kakak laki-laki
pasien yang menderita TB karena
tinggal serumah
Uji tuberkulin ? (hasil tidak diketahui
→ data dari RM tidak ada,bibi pasien
juga tidak mengetahui hasilnya hanya
pernah mengatakan dahulu pernah di
tes tapi hasilnnya tidak tahu)
Tampak sakit berat :
- sesak napas sejak 1 hari
SMRS yang memberat dalam
2 jam SMRS,
- Demam hangat-hangat saja ±
1 bulan tanpa penyebab yang
jelas, naik turun sepanjang
hari
- Batuk ± 1 bulan, berdahak
warna kuning kehijauan
- Sering berkeringat di malam
hari
- BB turun 2 kg dalam 1 bulan
terakhir,
Gambaran foto thorax ? (hasil tidak
diketahui → data dari RM tidak
ada,bibi pasien juga tidak mengetahui
hasilnya hanya pernah mengatakan
dahulu pernah di rontgen dada tapi
hasilnnya tidak tahu)
Tatalaksana
Teori Kasus
Pengobatan diberikan :
Klinis, foto thorax, dan uji tuberkulin yang
mendukung
Klinis dan pemeriksaan penunjang lemah →
observasi
Klinis sakit berat dan curiga TB serta
pemeriksaan penunjang lemah → mulai
terapi
Pengobatan diberikan pada pasien
karena:
Klinis berat dan hasil foto thorax dan
uji tuberkulin yang ada dahulu
mendukung kecurigaan penyakit TB
paru dan kelenjar
Klinis pasien berat dan kecurigaan
ke arah TB besar dengan tanda
gejala : sesak napas yang memberat,
demam ↑↓ ± 1 bulan, batuk
berdahak ± 1bulan, gizi kurang,
pe↓an BB 2 kg dalam 1 bulan
terakhir, diare akut berulang < 14
hari, terjadi pembesaran KGB, dan
keringat dingin di malam hari ;
meskipun klinis yang berat ini tidak
disertai dengan pemeriksaan
penunjang yang memperkuat
diagnosis tetap dilakukan
pengobatan TB.
Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu:
Fase intensif : 4-5 OAT selama 2 bulan awal
Pasien saat ini mendapatkan dosis sesuai
FDC dan sedang menjalani fase lanjutan
(RHZE / RHZES)
Fase lanjutan dengan 2 OAT (INH-
Rifampisin) hingga 9-12 bulan.
Pada anak, obat TB diberikan secara harian
(daily) baik pada fase intensif maupun fase
lanjutan :
TB paru dan kelenjar : INH, rifampisin,
pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase
intensif dan dilanjutkan INH & rifampisin
hingga genap 9-12 bulan terapi (2HRZE & 6-
9HR).
INH : 10 (5-15) mg/kgBB/hari
Rifampisin : 15 (10-20) mg/kgBB/hari
Pirazinamid : 25 (15-30) mg/kgBB/hari
Etambutol : 20 mg/kgBB/hari
(bulan ke-5) :
INH : 200 mg/hari
Rifampisin : 300 mg/hari
RESUME
Telah diperiksa anak laki-laki berusia 8 tahun 2 bulan 26 hari
Dari anamnesa didapat :
Lemas sejak 3 hari SMRS, dirasakan terus menerus dan semakin lama semakin
memberat
Kleyengan dan mata berkunang-kunang saat bangun tidur sejak 3 hari SMRS
Badan terasa mudah lelah sejak 3 hari SMRS
Mata buram saat melihat ke papan tulis sejak 3 hari SMRS
Terlihat pucat dalam 2 bulan terkahir
Nafsu makan dan minum baik
Sedang pengobatan TB Paru bulan ke-5 dan pengobatan ART sejak bulan Desember
2014, sempat putus obat 1 minggu pada bulan maret 2015 kemudian 18 Mei 2015
kembali terapi ART setelah sempat diberhentikan 2 bulan karena OAT awal 2 bulan
Riwayat kontak dengan penderita TB BTA (+) [kakak laki-laki pasien]
Riwayat perumahan dengan sirkulasi udara yang kurang baik
Riwayat Penyakit Dahulu
- OMSK, stomatitis, dan oral kandidiasis.
- Sesak / asma : disangkal.
- Jantung : disangkal.
- Alergi : disangkal.
- Kejang : disangkal.
Riwayat Keluarga : Ayah os menderita HIV, kakak laki-laki os
menderita HIV dan riwayat TB Paru, Ibu os HIV
(?)
Riwayat Kehamilan dan kelahiran : Baik
Riwayat Tumbuh Kembang : Baik
Riwayat Makanan : Baik
Riwayat Imunisasi : Tidak diketahui, hanya riwayat BCG yang (+)
Pemeriksaan umum
Panjang badan : 118 cm
Berat Badan : 20,5 kg
Suhu : 36,7°C
Nadi : 80 x / menit, isi cukup, regular
RR : 21 x / menit
Tekanan Darah : 105/59 mmHg
Keadaan gizi : Gizi Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Pemeriksaan Fisik yang Berarti (saat anamnesis 07 Agustus 2015)
Mata : konjungtiva anemis (+/+)
Mulut : bibir kering (+), pucat (+), krusta di bibir (+)
Gigi Geligi : mutipel karies (+)
Leher : kelenjar getah bening colli dextra teraba membesar 2 buah dengan
ukuran diameter 2 cm dan 1,5 cm, permukaan halus, batas tegas,
mobile (-), nyeri tekan (-), tanda inflamasi (-)
Abdomen :
- Skar (+)
- Hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae, tepi tajam, permukaan licin, NT (-)
- Lien teraba di schuffner 1, nyeri tekan (-)
Kulit : pucat (+) di telapak tangan dan kaki, skar (+) di ke-4 ekstremitas,
eritema (+) di muka, leher, dan tangan
Pemeriksaan Penunjang (06 Agustus 2015)
Leukosit : 3,2 ribu/µL
Eritrosit : 1,03 juta/µL
Hemoglobin : 3,8 g/dL
Hematokrit : 10 %
M.C.V : 99 fL
M.C.H : 37 pq
M.C.H.C : 37 g/dL
Pemeriksaan Hasil
Eritrosit Normositik Normokrom
Leukosit Jumlah kurang, morfologi normal
Trombosit Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan Anemia gravis normositik normokrom
Leukopeni Saran Marker infeksi virus darah samar
DIAGNOSA
Diagnosa Awal : Anemia
HIV stadium III
TB Paru dan Kelenjar
Diagnosa Banding : -
TATA LAKSANA
Non Medikamentosa :
Tirah baring
Asupan makanan dan minuman yang adekuat, porsi kecil tapi sering
Meningkatkan asupan makanan kaya akan zat besi (daging sapi, ayam, ikan, hati,
kacang-kacangan, sayur berdaun hijau)
Mengkonsumsi makanan yang dapat membantu penyerapan zat besi (vitamin C)
Membatasi minuman yang dapat menghambat penyerapan zat besi (teh, kopi)
Perbaiki sirkulasi udara dalam rumah dengan membuka jendela dan pintu sehingga
sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah
Medikamentosa :
IVFD KaEn 3B 1500 cc / 24 jam
Transfusi PRC 2 x 200 cc
ART :
1. FDC 2 x 3 tablet
2. ZDV 2 x 3 tablet
OAT :
1. Rifampicin 300 mg 1 x 1 pulv (pagi)
2. INH 200 mg 1x 1 pulv (pagi)
Kotrimoksazol 1 x 1 cth
CTM 1 x 2 mg (jika gatal)
PCT 3 x 1 cth (jika demam ≥ 380 C)
Sulfas ferosus 200 mg : Vit C 10 mg (3 x 1 pulv)
Diet NB 1500 kkal dan ekstra putih telur
PROGNOSA
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia
KESIMPULAN
Pada pasien ini berdasarkan anamnesis dengan keluhan lemas, kleyengan dan mata
berkunang-kunang setelah bangun tidur, badan terasa mudah lelah, mata buram, badan
terlihat pucat, nafsu makan baik, serta ditemukannya kelainan pada pemeriksaan fisik berupa
konjungtiva anemis, bibir pucat, telapak tangan dan kaki pucat, serta hasil pemeriksaan darah
yang menunjukkan penurunan Hb dibawah nilai normal sehingga mendukung diagnosis
anemia. Pada kasus ini dicurigai anemia dikarenakan penyakit infeksi kronis (HIV dan TB
Paru) atau karena penggunaan ART Zidovudine. Berdasarkan hasil pemeriksaan hapusan
darah tepi ditemukan gambaran morfologi eritrosit berupa normositik normokrom dan hasil
pemeriksaan darah yang terlihat terjadinya peningkatan pada MCV sehingga disimpulkan
anemia pada pasien ini disebabkan karena zidovudine karena hal itu sesuai dengan gambaran
anemia akibat penggunaan Zidovudine yang menunjukkan gambaran eritrosit normositik
normokrom dan nilai MCV yang biasanya menunjukkan nilai normal atau meningkat.
Pada pasien ini juga mempunyai riwayat ayah dan kakak laki-laki yang positif HIV.
Sedangkan ibu pasien tidak diketahui riwayat HIV semasa hidupnya karena tidak diperiksa.
Penyebab kematian pada ibu pasien yang tidak jelas serta mempunyai mantan suami seorang
pekerja diskotek meningkatkan kecurigaan ibu pasien juga terkena HIV. Pada pasien dengan
saudara sekandung yang menderita HIV menjadi anak terduga HIV sehingga harus dilakukan
pemeriksaan HIV. Usia kakak dan pasien yang masih anak-anak diduga terkena HIV secara
vertikal dari ibu pasien baik selama kehamilan, persalinan maupun setelah persalinan.
Dengan riwayat pasien lahir secara normal dan mendapatkan ASI hingga umur 1 tahun maka
resiko terjadinya penularan ke pasien menjadi lebih besar dibandingkan dengan anak yang
dilahirkan secara SC dan tidak mendapatkan ASI.
Pasien juga mempunyai riwayat datang ke IGD RSPI SS dengan keluhan klinis yang
berat berupa sesak napas 1 hari SMRS yang kemudian memberat 2 jam SMRS, demam
hangat-hangat saja ± 1 bulan dan naik turun, batuk berdahak ± 1 bulan, keringat malam hari,
penurunan BB 2 kg dalam 1 bulan terakhir, status gizi kurang, pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya pembesaran KGB, sedangkan hasil foto rontgen dan uji tuberkulin tidak
diketahui datanya baik dari Rekam Medis maupun dari bibi pasien. Berdasarkan klinis
dicurigai kemungkinan besar pasien ini terkena TB paru dan kelenjar. Pengobatan dilakukan
dengan 2 kemungkinan :
1. Klinis ada, pemeriksaan uji Tuberkulin dan foto rontgen dada yang dahulu
mungkin mendukung diagnosis dengan hasil yang bermakna.
2. Dengan klinis yang berat tanpa pemeriksaan penunjang yang mendukung pun
untuk kasus anak TB pada HIV bisa dimulai pengobatan dengan OAT.
ANEMIA PADA HIV
A. DEFINISI
Anemia pada HIV didefinisikan dengan kadar Ht < 33% dan kadar Hb < 10 mg/dL.
B. EPIDEMIOLOGI
Anemia adalah kelainan hematologi terbanyak yang terjadi pada pasien dengan
HIV dan biasanya berhubungan dengan progresifitas penyakit tersebut dan hasil
klinis yang buruk serta kematian. Sebuah studi epidemiologi sebanyak 32.867
pasien infeksi HIV pada orang dewasa dan remaja menemukan bahwa resiko
kematian meningkat hingga 170% pada pasien dengan anemia persisten (Hb <10
mg/dL) dibandingkan dengan pasien dengan anemia yang tertangani. Anemia
merupakan klinis yang penting pada infeksi HIV dan diperkirakan prevalensi pada
HIV asimtomatik sekitar 10% sedangkan pada AIDS sekitar 92%.
C. ETIOLOGI
Anemia terjadi karena kerusakan dari hematopoiesis (menurunnya produksi sel darah
merah) termasuk :
1. Supresi Sumsum Tulang
Dua mekanisme utama dimana HIV mempengaruhi sumsum tulang adalah :
a. Infeksi langsung dari sel-sel progenitor, atau
b. Tindakan tidak langsung sel aksesori terinfeksi.
Mekanisme utama bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain dan
dapat bervariasi pada pasien jika diberikan pada waktu yang berbeda. Megakaryosit,
misalnya, mengungkapkan CD4 dan CCR5 reseptor di mana HIV memasuki sel-sel
ini dan menciptakan efek penekan langsung. Atau, sel-sel T yang terinfeksi dan
sekresi makrofag mengubah factor pertumbuhan-β (TGF-β), interferon α, dan /
atau tumor necrosis factor-α (TNF ), α yang semuanya dikenal untuk
menghambat megakaryocytopoiesis. HIV juga dapat menginfeksi sel-sel sumsum
stroma.
2. Terapi Obat
Terapi obat tunggal atau kombinasi berpotensial jadi agen myelosupresi,
seperti zidovudine, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ganciclovir, yang dapat
menyebabakan kerusakan hematopoiesis.
3. Infeksi Oportunistik
Mycobacterium avium complex
Parvovirus B19
CMV
Dan agen lain yang dapat menyebabkan kerusakan dari hematopoiesis
4. Infiltrasi Sumsum Tulang oleh Keganasan
Hal ini jarang terjadi pada anak-anak, terjadi kurang lebih pada 1,5% anak
yang terinfeksi HIV. Keganasan yang paling banyak pada anak dengan HIV adala
Limfoma Non-Hodgkin.
Sebuah etiologi yang mungkin untuk kerusakan perifer autoimun yang dimediasi
adalah pengembangan autoantibodi untuk trombosit dan unsur-unsur darah lainnya yang
kurang umum, yang dapat dipicu oleh HIV. Kerusakan autoimun juga dapat terjadi di
sumsum serta darah perifer.
D. FAKTOR RESIKO
1. Riwayat penyakit TB dalam kurun waktu 6 bulan yang lalu
2. Terinfeksi cacing tambang
E. MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis
o Pusing
o Mudah berkunang-kunang
o Lesu
o Aktivitas kurang
o Rasa mengantuk
o Sukar konsentrasi
o Cepat lelah
o Prestasi kerja fisik / pikiran menurun
o Kemungkinan ada komplikasi → timbul tanda-tanda kelainan pada jantung
Pemeriksaan Fisik
o Pucat (konjungtiva dan telapak tangan serta kaki)
o Takikardi
o Pulcus celer
o Suara pembuluh darah spontan
o Bising karotis
o Bising sistolik anorganik
o Pembesaran jantung
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hapusan darah tepi
Pemeriksaan darah lengkap
Hal yang dinilai :
- Hb
- MCV
- MCH
- MCHC
Kadar besi serum
Total Binding Iron Capacity
Nilai retikulosit
Serum Transferrin Receptor (STfR)
ANEMIA YANG BIASANYA BERHUBUNGAN DENGAN HIV
Anemia Besi Total
Iron
Binding
Capacity
Mean
corpuscular
Volume
Retyculocyt
e Count
Hal yang
membedakan
Anemia karena Penyakit
Kronik
rendah Normal /
rendah
Normal /
Rendah
Rendah Yang paling umum
Defisiensi besi Rendah Tinggi Rendah
(jika tidak
ditutupi oleh
sebab yang
lain)
Normal /
menurun
Diet – mungkin sulit
untuk membedakan
anemia karena
penyakit kronik
dengan anemia
defisiensi besi
Hipoproduksi oleh karena
obat (zidovudine,
trimethoprim-
sulfamethoxazole, dapsone)
Norma
l
Normal Normal
hingga
meninggi
Normal /
rendah
Timbul dalam
jangka waktu
seminggu pertama
dari mulai terapi
Hemolisis oleh karena obat
(trimethoprim-
sulfamethoxazole, dapsone)
Norma
l
Normal Normal Tinggi /
normal
Bilirubin meningkat,
dehidrogenase susu,
low haptogoblin
smear; mungkin bisa
berhubungan dengan
defisiensi G6PD
Hipoproduksi berhubungan
dengan infeksi (parvo B19,
MAC)
Norma
l
Normal Normal
hingga
meninggi
Menurun Tanda dan gejala
dari 5 penyakit
mungkin tidak ada
Hipersplenism Norma
l
Normal Normal
hingga
meninggi
Meningkat /
normal
Splenomegali,
pancytopenia
G. TATA LAKSANA
Jika kadar eritropoietin endogen < 500 mUnits/mL, terapi eritropietin (50-200
iu/kg/dose 3x/minggu) harus diberikan untuk mengurangi kebutuhan tranfusi. Suplemen
besi oral (3-6mg/kg/hari) dan asam folat (1mg/hari) harus diberikan ketika eritropoietin
mulai diberikan.
Jika gejala klinis anemia signifikan (Hb < 7 mg/dL atau ada tanda-tanda
kegawatdaruratan Jantung-Paru), penggunaan eritropoietin atau transfusi
direkomendasikan untuk penggunaan zidovudine hingga diagnosis ditegakkan. Dosis
zidovudine tidak boleh diubah. Jika anemia berat berkembang setelah minggu keempat
profilaksis AZT, AZT dapat dihentikan pada waktu itu dan hasilnya lebih baik dari pada
neonatus mendapat transfusi darah atau eritropoietin.
Kebutuhan untuk transfusi darah harus dievaluasi dengan hati-hati. Transfusi harus
disediakan untuk, anemia berat klinis yang signifikan. Iradiasi dan pengurangan leukosit dari
darah menurut protokol standar harus digunakan untuk semua transfusi.
Nevirapine diganti dengan efavirenz jika seorang anak sedang terapi TBC dengan
penggunaan rifampicin. Zidovudine diganti dengan stavudine jika anak memiliki kadar
Hb < 8 mg/dL.
Pengobatan anemia harus diarahkan untuk memperbaiki penyebab yang mendasari
melalui dukungan gizi, suplementasi besi untuk defisiensi zat besi, kontrol infeksi
oportunistik, dan kontrol perdarahan berkelanjutan disesuaikan dengan lokasi perdarahan
yang sesuai. Contohnya termasuk humidifikasi udara, mungkin aminokaproat untuk
epistaksis, dan pil kontrasepsi untuk perdarahan vagina. Secara umum, setelah masa neonatal
dan awal masa bayi, anemia disebabkan terapi ARV adalah sering ringan dan jarang
memerlukan penghentian terapi.
Saat lahir, perhatian khusus harus diberikan kepada hemoglobin bayi yang lahir dari
ibu yang terinfeksi HIV terkena AZT. Kadar hemoglobin cenderung sedikit lebih rendah pada
neonates lainnya, dengan anemia karena AZT terkait jelas pada usia 3 minggu.
Erythropoietin telah terbukti efektif pada anemia terkait HIV, terutama ketika hal itu
disebabkan oleh AZT atau tingkat erythropoietin endogen yang rendah.
Indikasi, risiko, dan manfaat untuk transfusi sel darah merah mirip dengan pasien
yang tidak terinfeksi HIV. Namun, ketika transfusi pasien yang terinfeksi HIV, ada beberapa
khusus kekhawatiran yang mendahului ketersediaan rutin leuko-reduksi. Penelitian telah
menunjukkan peningkatan viral load 5 hari setelah transfusi, peningkatan kejadian infeksi
sitomegalovirus dan kematian pada pasien dengan penyakit lanjut juga terjadi, meskipun
sebagian besar penelitian ini dilakukan pada orang dewasa. Tingkat kelangsungan hidup
yang mungkin menurun pada pasien yang diberi transfusi dibandingkan dengan pasien yang
memiliki derajat anemia dan imunodefisiensi yang sama yang tidak diberikan transfusi.
Iradiasi dan pengurangan leukosit telah sangat mengurangi risiko penyakit infeksi dan graft-
versus-host yang berkaitan dengan transfusi.
HIV
A. Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel
sistem kekebalan tubuh, termasuk limfosit T helper (CD4 limfosit T), monosit, dan makrofag.
Dampak dari infeksi HIV adalah berkurangnya fungsi dan jumlah limfosit CD4 T dan sel-sel
lain yang terkena, sehingga menekan sistem pertahanan selular dan humoral tubuh. Tanpa
pengobatan, HIV akan menyebabkan hilangnya kekebalan tubuh, yang menyebabkan dengan
kondisi yang memenuhi definisi acquired immunodeficiency sindrom (AIDS) dan, akhirnya,
kematian. diagnosis klinis AIDS dibuat ketika anak terinfeksi HIV mengembangkan salah
satu infeksi oportunistik, keganasan, atau kondisi yang tercantum dalam stadium klinis 3 pada
klasifikasi menurut CDC atau WHO. Pada orang dewasa dan remaja, kriteria untuk diagnosis
AIDS juga mencakup jumlah CD4 T-limfosit absolut 200 sel / uL atau kurang.1
B. Epidemiologi
WHO memperkirakan pada tahun 2013, 3.2 juta anak anak dibawah 15 tahun hidup
dengan infeksi HIV-1, 90% diantaranya berada di sub-saharan Africa. Walaupun jumlah anak
anak yang lahir dengan HIV telah turun 43% antara tahun 2009 sampai 2013, masih 199.000
anak yang terinfeksi baru hanya ditahun 2013. Kebanyakan dari kasus anak adalah hasil dari
transmisi secara vertical dari ibu yang terinfeksi HIV.2
Di Indonesia sendiri kasus HIV dari hasil statistik oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI yang
dilaporkan sampai dengan September 2014 adalah sebagai berikut :
Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia
Jenis Kelamin/Sex
Dilapor s/d September 2014
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI
C. Etiologi
HIV adalah anggota dari genus Lentivirus, bagian dari keluarga Retroviridae.
Lentivirus memiliki banyak morfologi dan sifat biologis yang sama. Banyak spesies yang
terinfeksi oleh lentivirus, yang khas bertanggung jawab untuk penyakit lama-lama dengan
masa inkubasi yang panjang.2
Lentivirus ditransmisikan sebagai untai tunggal, positif-rasa, menyelimuti virus RNA.
Setelah masuk ke dalam sel target, RNA genom virus dikonversi (reverse ditranskripsi)
menjadi DNA untai ganda oleh reverse transcriptase viral dikodekan yang diangkut bersama
dengan genom virus dalam partikel virus. DNA virus yang dihasilkan kemudian diimpor ke
dalam inti sel dan diintegrasikan ke dalam DNA sel oleh viral dikodekan integrase dan tuan
rumah co-faktor. Setelah terintegrasi, virus dapat menjadi laten, yang memungkinkan virus
dan sel inang untuk menghindari deteksi oleh sistem kekebalan tubuh. Atau, virus dapat
ditranskripsi, memproduksi genom RNA baru dan protein virus yang dikemas dan dibebaskan
dari sel sebagai partikel virus baru yang memulai siklus replikasi baru.
HIV dapat dibagi menjadi dua jenis utama, jenis HIV 1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2).
HIV-1 terkait dengan virus yang ditemukan pada simpanse dan gorila yang hidup di Afrika
barat, sementara HIV-2 virus terkait dengan virus yang ditemukan di Afrika terancam punah
barat jelaga primata mangabey.
HIV-1 virus dapat dibagi lagi menjadi kelompok. HIV-1 grup virus M mendominasi
dan bertanggung jawab untuk pandemi AIDS. Grup M dapat dibagi lagi menjadi subtipe
berdasarkan data urutan genetik. Beberapa subtipe diketahui lebih ganas atau tahan terhadap
obat yang berbeda. Demikian juga, HIV-2 virus dianggap kurang virulen dan menular dari
virus kelompok HIV-1 M, meskipun HIV-2 diketahui juga dapat menyebabkan AIDS.
HIV-1 adalah strain yang paling umum dan patogen virus. Para ilmuwan membagi-
HIV 1 menjadi kelompok besar (Group M) dan dua atau lebih kecil kelompok. Setiap
kelompok diyakini mewakili transmisi independen SIV menjadi manusia (tapi subtipe dalam
suatu kelompok tidak). Sebanyak 39 ORFs ditemukan di semua enam frame membaca
mungkin (RFS) dari HIV-1 urutan genom lengkap, tetapi hanya sedikit dari mereka yang
fungsional.
D. Transmisi
Transmisi HIV-1 terjadi secara kontak seksual, melalui darah, atau transmisi secara
vertikal dari Ibu ke anak. Transmisi secara vertikal merupakan rute utama penularan infeksi
pada pasien anak.
Transmisi secara vertical dapat terjadi pada saat sebelum persalinan (intrauterine),
dalam persalinan (intrapartum), atau setelah persalinan (melalui pemberian ASI). Walaupun
transmisi pada masa intrauterine dapat diidentifikasi dengan kultur atau PCR dari jaringan
fetus pada minggu ke 10, data statistik menunjukan bahwa kebanyakan transmisi pada masa
intrauterine terjadi pada akhir usia gestasi, dimana integritas dari placenta melemah dan
terjadi microtransfusi dari ibu ke anak.
Persentase penularan terbesar yaitu pada saat persalinan (intrapartum), dibuktikan
dengan tidak ditemukannya virus sampai umur 1 minggu kehidupan. Mekanisme dari
transmisi ini nampaknya melalui mukosa bayi yang terekspos darah ibu dan sekresi
cervicovaginal pada jalan lahir, dan kontraksi aktif uterus pada saat persalinan.
Beberapa factor resiko yang dapat meningkatkan resiko penularan secara vertical
yaitu viral load dan jumlah CD4 ibu. Resiko penularan adalah sebesar 2 kali lipat setiap
penigkatan Log10 viral load ibu pada saat persalinan. Persalinan secara sectio cecarean
menurunkan resiko penularan sebesar 87% jika di berikan bersamaan dengan terapi
zidovudine pada ibu dan bayi. Akan tetapi data menunjukan pada pemberian antiretroviral
combinasi (cART) manfaat persalinan secara sectio secarean nampak kurang begitu berarti
dengan catatan viral load ibu <1000 copies/mL. angka kejadian penularan hanya sebesar
<0.1% pada ibu dengan viral load <50 copies/mL.
Transmisi melalui pemberian ASI merupakan rute yang paling jarang ditemukan
terutama pada Negara maju, namun transmisi melalui ASI berkontribusi sebanyak 40%
sebagai rute penularan pada Negara berkembang.
Di Negara maju, wanita yang diketahui terinfeksi HIV atau memiliki resiko terinfeksi
HIV,maka dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan disubstitusi dengan susu formula,
akan tetapi pada Negara berkembang dimana sering terdapat penyakit diare, pneumoni dan
malnutrisi pemberian ASI dianjurkan oleh WHO dengan pertimbangan manfaat pemberian
ASI melebihi resiko transmisi HIV setidaknya selama 6 bulan.2
E. Patogenesis
Pada kebanyakan kasus, awal infeksi dimulai dari jumlah virus yang rendah, oleh
karena itu infeksi awal dapat dicegah dengan pengobatan profilaksis. Ketika virus masuk
melalui mukosa, sel yang pertama terpengaruh adalah sel dendritic. Sel ini mengambil dan
memproses antigen dari perifer dan membawanya ke jaringan limfe. HIV tidak menginfeksi
dendritic sel tapi melekat pada molekul permukaan DC-SIGN. Dengan begitu virus dapat
bertahan sampai mencapai jaringan limfe. Di dalam jaringan limfe virus secara selektif
mengikat pada sel yang mengekspresikan CD4 pada permukaannya, terutama sel T helper
dan turunan monocyte dan macrophage. Sel-sel lain yang memiliki CD4 seperti microglia,
astrocyte dan oligodendroglia dan jaringan placenta yang mengandung sel vilous Hofbauer
dapat juga terinfeksi HIV. Untuk masuk kedalam sel, HIV membutuhkan coreseptor yaitu
CCR5 dan CXCR4. Pada beberapa strain HIV tertentu dibutuhkan coreceptor lainnya seperti
CCR1, dan CCR3. Perbedaan Genetik pada host juga mempengaruhi kemampuan HIV dalam
menginfeksi. Progresivitas dari penyakit, dan respon pengobatan. Mutasi genetic pada orang-
orang tertentu yang sering ditemukan pada ras putih seperti mutase pada CCR5Δ32 yang
menyebabkan tidak adanya CCR5 memiliki efek protektif terhadap infeksi HIV. 2
Skema. siklus hidup virus
Biasanya CD4 limfosit bermigrasi ke jaringan limfe dalam merespon adanya antigen virus,
kemudian menjadi aktif dan berproliferasi, hal ini menjadikan CD4 rentan terhadap infeksi
virus HIV. Migrasi yang disebabkan antigen ini menyebabkan akumulasi sel CD4 pada
jaringan limfe dan berkontribusi pada limfadenopati generalisata yang menjadi karakteristik
syndrome retroviral akut pada orang dewasa dan remaja.
Ketika replikasi virus HIV mencapai batas tinggi (biasanya setelah minggu ke 3 – 6),
terjadi lonjakan viremia dalam plasma. Viremia ini menyebabkan gejala flu atau gejala
mononucleosis (demam, rash, limfadenopati, atrhalgia) pada 50 – 70% dewasa yang
terinfeksi.
Dengan terbentuknya respon sellular dan humoral dalam 2-4 bulan, jumlah viral load
dalam darah akan menurun, dan pasien masuk pada fase tak bergejala.
Replikasi awal virus HIV-1 pada anak tidak menunjukan gejala klinis. Walaupun di
tes dengan PCR, kurang dari 40% yang terdeteksi pada saat lahir. Virus load meningkat pada
1 – 4 bulan, dan hampir semua anak terdeteksi virus HIV dari darah perifer pada bulan ke – 4.
Mekanisme menurunnya jumlah CD4 pada dewasa dan anak termasuk, HIV-mediated
single cell killing, formation of multinucleated giant cells dari CD4 yang terinfeksi dan yang
tidak terinfeksi, virus-specific immune responses (sel natural killer, antibody-dependent
cellular cytotoxicity), superantigen-mediated activation of T cells, autoimmunity, dan
programmed cell death(apoptosis). Beban viral lebih banyak di jaringan limfoid dari pada di
darah perifer pada periode asimtomatik.
Monosit dan makrofag dapat terinfeksi oleh HIV dan tidak terkena efek cytopathic
dari virus, dengan masa hidup yang panjang, menjelaskan peran mereka sebagai reservoir
bagi virus HIV.
Anak yang terinfeksi HIV memiliki perubahan pada system imun yang mirip dengan
yang terjadi pada orang dewasa. Berkurangnya jumlah CD4 akan tampak lebih sedikit
dibandingkan dewasa karena pada bayi umumnya memiliki relative lymphocytosis. Jumlah
CD4 1.500 sel/uL pada anak kurang dari 1 tahun menandakan penurunan yang banyak
dibandingkan CD4 <200 pada dewasa. Lymphopenia jarang ditemukan pada anak yang
terinfeksi saat lahir dan biasanya hanya terlihat pada anak yang lebih tua dengan end-stage
disease.
Keterlibatan Sistem saraf pusat lebih umum dijumpai pada pasien anak dibandingkan
pada orang dewasa. Makrofag dan mikroglia memainkan peran penting dalam
neuropathogenesis HIV, dan data menunjukkan bahwa astrosit mungkin juga terlibat.
Meskipun mekanisme khusus untuk ensefalopati pada anak-anak yang belum jelas, otak
berkembang di bayi muda dipengaruhi oleh minimal 2 mekanisme. Virus itu sendiri mungkin
langsung menginfeksi berbagai sel-sel otak atau menyebabkan kerusakan langsung pada
sistem saraf dengan pelepasan sitokin (IL-1α, IL-1β, TNF-α, IL-2) atau oksigen reaktif dari
limfosit yang terinfeksi HIV atau makrofag.
Terapi yang tepat dengan ARV dapat mengakibatkan immune reconstitution
inflammatory syndrome (IRIS), yang ditandai oleh respon inflamasi yang meningkat akibat
pulihnya sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi oportunistik subklinis (misalnya,
Mycobacterium, virus herpes simpleks [HSV] infeksi, toksoplasmosis, sitomegalovirus
[CMV] infeksi, pneumonia, infeksi kriptokokus). Kondisi ini lebih umum diamati pada
pasien dengan progresif Penyakit dan CD4 + T-limfosit deplesi berat. Pasien dengan IRIS
mengembangkan demam dan memburuknya manifestasi klinis dari infeksi oportunistik atau
manifestasi baru (misalnya, pembesaran kelenjar getah bening, infiltrat paru), biasanya dalam
beberapa minggu 1 setelah mulai ART.
Menentukan apakah Gejala yang timbul merupakan IRIS, perburukan infeksi saat ini,
infeksi oportunistik baru, atau akibat toksisitas obat sering sangat sulit. Jika sindromadalah
benar IRIS, menambahkan agent antiinflamasi nonsteroid atau kortikosteroid dapat
mengurangi reaksi inflamasi, meskipun penggunaan kortikosteroid masih kontroversial.
Peradangan dapat mencapai beberapa minggu atau bulan untuk mereda. Dalam kebanyakan
kasus, kelanjutan pengobatan anti-HIV sementara mengobati infeksi oportunistik (dengan
atau tanpa agen antiinflamasi) sudah cukup. Jika infeksi oportunistik diduga sebelum dimulai
ART, pengobatan antimikroba yang sesuai harus diberikan terlebih dahulu.2
F. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dengan infeksi HIV jarang menimbulkan gejala saat lahir. Pada
pemeriksaan fisiknya juga tidak ditemukan perbedaan dengan bayi yang tidak terinfeksi.
Akan tetapi 30 – 80% bayi yang terinfeksi akan menunjukan gejala dalam tahun pertama
kehidupan. Hepatomegali, splenomegaly, limfadenopati, parotitis dan infeksi saluran nafas
berulang adalah tanda yang berkaitan dengan perkembangan yang lambat. Severe bacterial
infection, Progresive nerologic disease, anemia dan demam terkait dengan perkembangan
penyakit yang cepat. Pemberian ARV dapat memperlambat atau mencegah perkembangan
penyakit, oleh karena itu menegakkan diagnosis diawal sangat lah penting.1
Bayi dengan infeksi HIV sangat rentan terkena Pneumocystis Jiroveci pneumonia
(PCP), dengan insiden tertinggi saat berumur 2 – 6 bulan. Oleh karena itu pemberian
profilaksis untuk PCP mulai dari saat berumur 4 – 6 minggu. Bila terbukti tidak terinfeksi
saat berumur 6 minggu, profilaksis dapat dihentikan. Pada bayi yang mendapatkan ASI
profilaksis dapat terus diberikan sampai infeksi HIV dapat disingkirkan setelah penghentian
pemberian ASI.
Selama periode pemberian ARV profilaksis, beberapa bayi dapat timbul anemia atau
neutropenia yang biasanya tidak menimbulkan terlalu tampak dari klinisnya. Akan tetapi bayi
yang telah terbukti terinfeksi HIV umumnya akan sehat. Beberapa studi menemukan adanya
kemungkinan gangguan pertumbuhan dan perkembangan, daya tahan, dan beberapa
penurunan fungsi organ, akan tetapi belum sepenuhnya berarti secara klinis.
Pada Remaja dan dewasa dengan infeksi akut HIV, akan muncul gejala yang tidak
spesifik seperti flu atau mononulcosis-like illness dimulai 2-4 minggu setelah paparan,
umumnya tidak cukup parah sehingga membawa orang berobat. Sindrom retroviral akut ini
sulit dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Gejala yang lebih jarang terjadi namun lebih
spesifik yaitu adanya generalized limfadenopati, rash, oral dan genital ulcer, aseptic
meningitis, dan thrush. Umumnya antibody HIV akan terdeteksi setelah minggu ke-6, akan
tetapi pada sebagian orang dapat baru muncul pada bulan ke 3-6 setelah paparan.
Menurut perjalanan penyakitnya, CDC mengklasifikasian tiap anak baik dari stadium klinis
dan jumlah CD4 nya, sebagai berikut :1
Who juga membuat klasifikasi stadium klinis yang banyak digunakan diluar :
Klinis Stadium Klinis WHO
Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4
Anak anak dengan HIV juga memiliki peningkatan resiko terkena keganasan, salah satu yang
paling sering adalah limfoma hodkin yang timbul pada tempat yang tidak biasa (CNS, tulang,
saluran cerna, liver, dan paru). Infeksi HPV pada cervix lebih cenderung berkembang
menjadi keganasan, dan resiko ini tidak berkurang dengna pemberian HAART.
G. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan infeksi HIV pada anak diatas 18 bulan dapat dilakukan dengan mendeteksi
HIV antibody dengan pemeriksaan immunoassay atau dengan rapid antibody tests. Untuk
memastikan biasanya digunakan Western blot, immune fluorescent antibody atau rapid test
ke-2 dengan antigen dari produsen yang berbeda atau metode yg berbeda, harus dilakukan
karena terdapat kemungkinan false positif pada kasus-kasus tertentu dimana terjadi cross-
reacting antibodies.
Perjalanan penyakit HIV ditandai dengan penurunan dari jumlah total dan persetase
CD4 T limfosit dan peningkatan persentase dari CD8 T limfosit. Jumlah CD4 T limfosit
penting sebagai prediksi tingkat resiko kemingkinan terkena infeksi oportuniistik.
Bayi dan anak yang sehat memiliki jumlah CD4 T limfosit yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dewasa; ini kemudian menurun ke level dewasa saat berumur 5-6 tahun. Oleh
karena itu untuk menilai jumlah CD4 T limfosit pada anak digunakan table yang telah
disesuaikan dengan umur. Akan tetapi persentase CD4 T limfosit tidak terlalu berbeda
dengan dewasa, juga dapat digunakan sebagai parameter.
Hipergammaglobuline dari IgG, IgA, dan IgM juga dapat terjadi, walaupun pada
perjalanan lanjut, pada beberapa individu terjadi hypogammaglobulinemia. Kelainan
pemeriksaan darah (anemia, neutropenia, trombositopenia) juga dapat terjadi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat normal atau terdapat peningkatan protein dan
mononuclear pleocytosis. HIV nucleid acid testing dapat positif pada CSF.1
H. Diagnosis
Bagan. Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan3
Bagan. Alur diagnosis HIV pada anak > 18 bulan, remaja dan dewasa
Tabel. Interpretasi hasil pemeriksaan anti HIV 3
Hasil tes Kriteria Tindak Lanjut
Positif Bila hasil A1 reaktif,
A2 reaktif dan A3
reaktif
Rujuk ke pengobatan HIV
Negatif Bila hasil A1 non
reaktif
Bila hasil A1 reaktif
tapi pada pengulangan
A1 dan A2 non-reaktif
Bila salah satu reaktif
tapi tidak beresiko
Bila tidak beresiko, dianjurkan
perilaku hidup sehat
Bila beresiko dianjurkan pemeriksaan
ulang minimum 3 bulan, 6 bulan, dan
12 bulan dari pemeriksaan pertama
sampai satu tahun
Indeterminate Bila dua hasil tes
reaktif
Bila hanya 1 tes reaktif
tapi mempunyai resiko
atau pasangan beresiko
Tes perlu diulang dengan specimen
baru minimal setelah dua minggu dari
pemeriksaan yang pertama
Bila hasil tetap indeterminate,
dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR.
Bola sarana pemeriksaan PCR tidak
memungkinkan, rapid tes diulang 3
bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari
pemeriksaan yang pertama. Bila
sampai satu tahun hasil tetap
indeterminate dan factor resiko
rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai
negatif.
I. Diagnosis Banding
Infeksi HIV harus selalu terpikirkan bila pada evaluasi terdapat tanda-tanda
immunodefisiensi, tergantung pada keadaan infeksi HIV dapat menyerupai B-Cell
(hypogammaglobinemia), T-Cell, atau kombinasi imunodefisiensi.
Infeksi HIV juga harus dipertimbangkan pada keadaan-keadaan seperti gagal tumbuh,
keterlambatan perkembangan, infeksi paru kronik, dan infeksi M.tuberculosis,
Infeksi kronik HIV dengan tanda pembengkakan limfadenopaty generalisata atau
hepatosplenomegaly juga dapat muncul pada infeksi virus seperti EBV atau CMV pada anak
atau remaja. Pemeriksaan darah adalah wajib dalam menegakkan diagnosis HIV.1
J. Pengobatan
Indikasi pemberian ARV :3
Tabel. Indikasi Pemberian ARV
Populasi Rekomendasi
Dewasa dan anak > 5 tahun Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan
4, atau jika jumlah CD4 < 350 sel/mm
Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4
Koinfeksi TB
Koinfeksi Hepatitis
Ibu hamil dan menyusui HIV +
Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV
negative (pasangan serodiskordan)
LSL,PS,Transgender,Waria, atau penasun
Populasi umum di daerah dengan epidemic HIV
meluas
Anak < 5 tahun Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4
* Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8
minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4
kurang dari 50 sel/mm, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB.
Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan
kriptokokus.
Pemberian ARV
1. Pemberian ARV pencegahan pada bayi
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV (+), baik yang diberi ASI eksklusif maupun
susu formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama 6 minggu.
Tabel. Dosis Zidovudin untuk pencegahan penularan HIV pada bayi
Keadaan Bayi Dosis Zidovudin
Bayi cukup bulan Zidovudin 4mg/KgBB/12 jam selama 6 minggu, atau dengan
dosis disederhanakan :
Berat lahir 2000-2499g = 10mg 2x sehari
Berat lahir > 2500 g = 15mg 2x sehari
Bayi dengan berat < 2000g harus mendapat dosis mg/kg,
disarankan dengan dosis awal 2mg/Kg sekali sehari
Bayi premature <
30 miggu
Zidovudin 2mg/KgBB/12 jam selama 4 minggu pertama,
kemudian 2mg/KgBB/8 jam selama 2 minggu
Bayi premature
30 – 35 minggu
Zidovudin 2mg/KgBB/12 jam selama 2 minggu pertama,
kemudian 2 mg/KgBB/8 jam selama 2 minggu, lalu
4mg/KgBB/12 jam selama 2 minggu
2. Pemberian ARV pengobatan pada bayi
Panduan ARV terdiri dari 3 jenis obat ARV yang terdiri dari 2 golongan NRTI dan 1
NNRTI untuk anak dan dewasa sebagaimana tercantum pada table dibawah.
Tabel pantuan ARV lini pertama pada anak usia <5 tahun
Pilihan NRTI ke-1 Pilihan NRTI ke-2 Pilihan NNRTI
Zidovudin (AZT) Lamivudin Nevirapin (NVP)
Stavudin (d4T) Efavirenz (EFV)
Tenofovir (TDF)
* Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5g/dl maka
dipertimbangkan pemberian Stavudin (d4T).
* Dengan adanya resiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka
dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 8 gl/dl) setelah pemakaian
6-12 bulan. Bola terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke d4T.
* Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak di atas 2 tahun. Selain itu perlu
dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh
karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu pertumbuhan tinggi badan.
* EFV dapat digunakan pada anak > 3tahun atau BB > 10kg, jangan diberikan pada
anak dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.
Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT
Tabel. Panduan ARV Lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan Dewasa
ARV Formula
Panduan pilihan TDF + 3TC
(atau FTC) +
EFV dalam
bentuk KDT
Tablet TDF
300mg +
3TC300mg +
EFV 600mg
Dewasa : 1 tablet, 1xsehari
Anak BB>35 kg : 1 tablet,
1x sehari
Panduan
alternative
AZT + 3TC +
EFV (atau NVP)
Tablet AZT
300mg + 3TC
150mg + EFV
600mg
Dewasa : 1 tablet, 2x
sehari, EFV 1x sehari
Anak : sesuai berat badan
Panduan
alternative
TDF + 3TC
(atau FTC) +
NVP
Tablet TDF
300mg + 3TC 300
mg + NVP 200mg
Dewasa 1 tablet, 1x sehari
untuk NVP 1x sehari
(selama 14 hari pertama)
dan setelahnya 2x sehari
Anak : Sesuai berat badan
Pengobatan pencegahan kotrimoksazol diberikan sesuai dengan kriteria pada table
berikut. Kotrimoksazol diberikan satu kali 960mg/hari pada dewasa, sementara pada anak
diberikan dengan dosis timetoprim 4-6 mg/KgBB/hari. Pemantauan dilakukan melalui
penilaian klinis setiap 3 bulan.3
Tabel. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
Usia Kriteria Inisiasi Kriteria pemberhentian
Bayi terpajan HIV Semua bayi, dimulai usia 6
minggu setelah lahir
Sampai resiko transmisi HIV
berakhir atau infeksi HIV sudah
disingkirkan
Bayi HIV <1 tahun Semua bayi Sampai 1 tahun tanpa melihat %
CD4 atau gejala klinis
Anak HIV 1-5 tahun Stadium klinis WHO 2,3, dan 4 Bila CD4 mencapai > 25%
tanpa melihat % CD4 atau
Stadium klinis WHO berapapun
dan CD4 <25%
>5 tahun – dewasa Stadium klinis WHO berapapun
dengan CD4 < 200 sel/mm, atau
stadium klinis WHO 3 atau 4
CD4> 200 sel/mm setelah 6
bulan ARV
Jika tidak tersedia pemeriksaan
CD4, PPK diberhentikan setelah
2 tahun ART
Tuberkulosis aktif, berapapun
nilai CD4
Sampai pengobatan TB selesai
apabila CD4 > 200 sel/mm
Lampiran : Formulasi dan dosis anti retroviral
K. Prognosis
Meningkatnya pemahaman akan pathogenesis dari infeksi virus HIV pada anak anak
dan ketersediaan obat antiretroviral telah lumayan merubah prognosis. Semakin awal cART
dimulai semakin baik prognosisnya. Sebuah percobaan klinis yang ditujukan pemberian
pengobatan secepat mungkin setelah persalinan dimana tersedia akses untuk diagnosis lebih
awal, tingkat progresivitas menjadi AIDS telah sangat berkurang. Sejak ditemukannya cART
pada pertengahan 1990, angka kematian pada anak yang terinfeksi HIV telah menurun lebih
dari 90% dan banyak yang bertahan sampai remaja dan dewasa. Indicator yang dapat
menentukan prognosis adalah dengan ditekannya viral load pada plasma dan pengembalian
jumlah hitung CD4 limfosit. Pada viral load <100.000 copies/mL. jarang dijumpai
perkembangan penyakit yang cepat, tetapi sebaliknya pada viral load >100.000 copies/mL
berkaitan dengan resiko perburukan dan kematian.
Jumlah CD4 limfosit <15% juga diasosiasikan dengan meningkatnya angka mortalitas
Anak-anak dengan infeksi oportunistik, ensefalopati dan kemunduran perkembangan,
atau wasting syndrome memiliki prognosis yang paling buruk, dengan 75% meninggal
sebelum berusia 3 tahun.
Resiko yang lebih tinggi juga didokumentasikan pada anak yang tidak mendapat
terapi preventif TMP-SMZ. Demam persisten dan/atau oral thrush, infeksi bakteri yang serius
(meningitis, pneumoni, sepsis), hepatitis, anemia persisten (<8g/dL) dan/atau
trombositopenia (<100.000/uL) juga mengarah pada prognosis yang buruk, dengan >30%
meninggal sebelum usia 3 tahun. 2
L. Pencegahan
Penggunaan anti retroviral sebagai upaya untuk mencegah transmisi ibu ke anak pada
saat persalinan merupakan suatu pencapaian pada penelitian HIV. Pemberian cART pada itu
terbukti menurunkan penularan HIV-1 pada persalinan menjadi <2%, dan <1% pada ibu
dengan level RNA <1000 copies/mL pada saat melahirkan. Oleh sebab itu, direkomendasikan
pada setiap wanita hamil untuk dilakukan tes penyaringan HIV, dan bila positif diterapi
dengan cART regimen, tanpa melihat kondisi viral load atau hitung CD4. Setelah bayi lahir
juga diberikan profilaksis ZDV selama 4-6 minggu.
Sebagai langkah pencegahan persalinan dengan Sectio cesarean pada wanita dengan
viral load >1000 copies/mL menjelang persalinan lebih jauh lagi menurunkan resiko
penularan secara vertical.
Penelitian multinational randomized, controlled trial pada neonaturs yang ibunya
tidak mendapatkan terapi ARV selama hamil menunjukan profilaksis dengan 2 atau 3 ARV
regimen lebih baik dibandingkan hanya dengan ZDV. U.S Guideline Panel
merekomendasikan bayi yang lahir dari wanita terinfeksi HIV yang tidak mendapatkan ARV
pada saat hamil atau hanya mendapatkan ARV menjelang keleahiran, atau yang memiliki
HIV RNA >1000 copies/mL menjelang kelahiran, harus mendapat profilaksis ZDV selama 6
minggu dikombinasikan dengan 3 dosis NVP pada 1 minggu awal kehidupan ( pada saat
lahir, 48 jam setelahnya, dan 96 jam setelah dosis ke-2), dimulai sesegera mungkin setelah
lahir.
WHO merekomendasikan semua ibu hamil yang menerima cART regiman,
meneruskan pengobatannya setidaknya selama menyusui (pada Negara berkembang) dan
seumur hidupnya. Pendekatan ini berpotensi menurunkan resiko penularan pada saat
menyusui dan kehamilan berikutnya, menurukan resiko penularan ke pasangan sexual, dan
meningkatkan maternal survival.
Walaupun cara yang paling efektif untuk mencegah penularan postpartum adalah
dengan tidak memberikan ASI dan menggantinya dengan pengganti ASI, data membuktikan
pada Negara berkembang ini tidak aman karena tingginya tingkat malnutrisi dan diare pada
bayi yang diberi susu formula oleh karena kurang tersedianya air bersih. Lebih lagi
pemberian ASI eksklusif mempunyai resiko penularan yang lebih rendah dibandingkan
dengan mixed feeding. Guideline telah berubah dan merekomendasikan pemberian ASI pada
bayi setidaknya sampai usia 12 bulan, dengan ASI eksklusif sampai 6 bulan dan ARV harus
terus diberikan pada ibu dan bayi paling tidak sampai 1 minggu setelah ASI di hentikan.
Pada Negara maju dengan terjaminnya pengganti ASI yang bersih, pemberian
pengganti ASI direkomendasikan.
Pencegahan penularan HIV secara seksual termasuk menghindari pertukaran cairan
tubuh dengan menggunakan Pengaman saat berhubungan. 2
TUBERKULOSIS PADA HIV
A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB anak adalah penyakit TB yang terjadi
pada anak usia 0 – 14 tahun.
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan
pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian pada
kelompok tersebut. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV
disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak
(CD4 kurang dari 15%, umur di bawah 5 tahun)
B. Epidemiologi
Sampai saat ini, benua Afrika masih menjadi region terbanyak dengan
penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS. Berdasarkan fakta epidemiologi HIV/AIDS di
Afrika Selatan menurut UNAIDS (United Programmes on HIV AIDS) pada tahun
2008 ini, bahwa sekitar 5,7 juta (64%) orang yang telah menjadi ODHA (Orang
Dengan HIV AIDS), dengan rata-rata prevalensi usia 15-49 tahun sekitar 5,4 juta
orang, 3,2 juta diantaranya termasuk wanita 15 tahun keatas, 280.000 anak-anak usia
0-14 tahun dan telah tercatat 350.000 pengidap HIV AIDS anak yang meninggal.
Kemudian disusul Asia Tenggara yaitu sekitar 15 % dari total keseluruhan, sehingga
menyebabkan kematian lebih dari 500.000 anak.
Kasus koinfeksi TB-HIV terjadi sebanyak 24% - 45% kasus TB pada infeksi
HIV asimptomatik dan sebanyak 70% pada pasien anak dengan AIDS, dengan bentuk
terbanyak adalah TB ekstrapulmoner termasuk limfadenitis, bakteremia, penyakit
sistem saraf pusat (tuberkuloma, meningitis TB).
Infeksi HIV/AIDS pada anak umumnya ditularkan oleh ibu secara vertikal
pada saat hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, penderita terbanyak
ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun (lebih dari 66%), sedangkan anak
yang berusia antara 5-10 tahun sebanyak 26%, dan yang berusia lebih dari 10 tahun
hanya 7,9%. Sebagian besar penderita (92,7%) berasal dari daerah perkotaan,
kemudian sisanya berasal dari pedesaan. Sekitar 26% penderita sudah kehilangan
orang tua (ibu atau ayah) karena meninggal akibat menderita penyakit HIV/AIDS.
Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik utama yang
berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas penderita infeksi HIV/AIDS di negara-
negara berkembang termasuk di Indonesia, dan merupakan penyebab 30% kematian
pada populasi AIDS. Hasil survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di
beberapa propinsi menunjukkan angka ko-infeksi TB-HIV yang bervariasi, yaitu 24%
di Bali, 32% di Jawa Timur, dan 10% di Jakarta.
C. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang
lurus kadang dengan ujung melengkung, gram positif, lemah, pleiomorfik, tidak
bergerak, tidak membentuk spora, dengan ukuran panjang 2-4/um dan tebal 0,3-
0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan . Kuman
merupakan aerob wajib (obligat) yang tumbuh pada media sintesis yang mengandung
gliserol sebagai sumber karbon dan garam amonium sebagai sumber nitrogen. MTB
memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat
hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-
tahun dalam lemari es) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat ini
kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif
lagi.
Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di
dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya
karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru lebih tinggi dari
bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberculosis.
D. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan
akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu.
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular
spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga
di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve
mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas
selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau
berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering
di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang
di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian
hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan
setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di
bawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di
dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread.
Gambar 4. Patogenesis infeksi TB
E. Manifestasi Klinis
TB pada anak terinfeksi HIV sama dengan yang tidak terinfeksi HIV tetapi
pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB diseminata. Tuberkulosis
pada anak terinfeksi HIV sering sulit dibedakan dengan kondisi lain akibat infeksi
HIV seperti Lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP), pneumonia bakteri, PCP,
bronkiektasis dan Sarkoma Kaposi. Gejala klinis umum TB pada anak terinfeksi HIV
antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang tidak membaik setelah pemberian
antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2
minggu, keringat malam yang menyebabkan anak sampai harus ganti pakaian, gejala
umum non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif, tidak bergairah).
Indikator yang baik terdapatnya penyakit kronik dan TB anak adalah gagal tumbuh
meskipun keadaan ini dapat pula disebabkan kurang nutrisi, diare kronik dan infeksi
HIV.
Bila anak mengalami gejala respiratori tetapi tidak tampak tanda-tanda
penyakit akut dan pasien telah mendapat antibiotik spektrum luas maka dapat
dicurigai TB. Beberapa kelainan jantung bawaan dan kardiomiopati mempunyai
gejala klinis menyerupai TB paru.
i. Tuberkulosis Paru dan TB intratorakal lain
Tuberkulosis intratorakal dapat bermanifestasi sebagai TB paru, efusi pleura,
efusi perikardial dan TB milier. Tuberkulosis paru pada anak terinfeksi HIV
menunjukkan gejala yang sama dengan anak yang tidak terinfeksi HIV. Gejala
klinisnya sering menyerupai gejala klinis penyakit komorbid pada saluran napas
misalnya LIP, PCP, pneumonia dan bronkiektasis. Gambaran radiologi TB milier
menyerupai gambaran radiologi LIP. Tuberkulosis paru anak sering memberikan
gambaran radiologi berupa atelektasis karena terdapat penekanan bronkus yang
disebabkan oleh pembesaran KGB hilus sehingga terjadi kolaps alveoli. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan wheezing/mengi sehingga sering didiagnosis asma
tetapi tidak membaik dengan pemberian bronkodilator. Tuberkulosis milier
merupakan hasil penyebaran hematogen dengan jumlah kuman yang besar, yang
tersangkut di ujung kapiler paru dan membentuk tuberkel dengan ukuran sama yang
menyerupai butir-butir padi (millet sheed). Efusi pleura dapat berbentuk serosa
(paling sering) atau empiema TB (jarang) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe
lambat antigen kuman TB pada rongga pleura. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat
unilateral. Efusi perikardial TB jarang ditemukan pada anak, terjadi akibat invasi
kuman secara langsung atau melalui drainase limfatik.
ii. Limfadenitis TB
Biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, terjadi setelah 6 bulan
terinfeksi akibat penyebaran hematogen atau limfogen. Manifestasi klinis tersering
terjadi di KGB leher (limfadenitis colli), KGB di aksila dan inguinal. Limfadenitis
colli umumnya terjadi di daerah anterior. Pembesaran KGB bersifat kenyal, tidak
nyeri tekan, multipel atau membentuk massa akibat pembesaran beberapa kelenjar
yang berlekatan menjadi satu (confluent). Pembesaran KGB generalisata dapat
disebabkan oleh infeksi HIV. Pembesaran KGB aksila dapat disebabkan oleh immune
reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) pada anak terinfeksi HIV yang sedang
mendapat ART dalam 3 - 6 bulan pertama. Biakan MTB dari biopsi aspirasi jarum
halus/fine-needle aspiration biopsy (FNAB) dapat membantu diagnosis. Gambaran
histopatologi dapat ditegakkan bila ditemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid,
limfosit dan sel datia Langhans.
iii. Tuberkulosis susunan saraf pusat
Merupakan komplikasi TB paling serius dan berakibat fatal bila tidak
diberikan pengobatan yang tepat. Tuberkulosis SSP dapat bermanifestasi menjadi 3
bentuk yaitu meningitis (paling banyak), tuberkuloma dan arakhnoiditis spinalis.
Gejala klinis meningitis TB pada anak dibagi menjadi fase prodromal (selama
2-3 minggu, berupa malaise, sefalgia, demam tidak tinggi dan muntah) dan fase
meningitik (gejala prodromal makin hebat, defisit neurologis dan disfungsi nervus III,
VI, VII) dan fase paralitik (penurunan kesadaran sampai sopor atau koma, hipertensi,
hidrosefalus dan deserebrasi). Pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
memberikan gambaran khas berupa penurunan kadar glukosa kurang dari 50%
glukosa darah, peningkatan kadar protein >100 mg/dL, hitung sel 10-1000 atau
ditemukan MTB. Salah satu faktor yang memperburuk meningitis TB dan
meningkatkan angka kematiannya adalah infeksi HIV. Meningitis TB jarang
ditemukan pada bayi umur < 3 bulan kecuali pada bayi yang terinfeksi HIV.
Tuberkuloma adalah massa seperti tumor yang terbentuk dari agregasi
tuberkel perkijuan. Di wilayah endemis TB, tuberkuloma ditemukan pada 40% anak
yang didiagnosis tumor otak. Pada anak umumnya infratentorial pada basis kranii di
dekat serebelum sedangkan pada dewasa di supratentorial. Lesi dapat tunggal atau
multipel. Gejala klinisnya berupa sakit kepala, muntah, kejang, kelumpuhan
ekstremitas dan gejala umum TB. Uji tuberkulin umumnya positif dan foto toraks
sering tidak ditemukan kelainan. Tindakan operasi tidak diperlukan karena
tuberkuloma membaik dengan pemberian OAT. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan Computed Tomography (CT)-scan kepala atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI).
iv. Tuberkulosis Abdomen
Tuberkulosis abdomen dapat bermanifestasi sebagai peritonitis, TB intestinal
(enteritis TB) atau bentuk yang sangat jarang yaitu TB orofaring. Gejala utama
peritonitis TB berupa asites disertai pembesaran kelenjar para-aorta dan mesenterik.
Kadang terjadi perlekatan antara peritoneum, omentum dan KGB sehingga teraba
sebagai massa ireguler, kasar dan tidak nyeri tekan. Selain gejala peritonitis TB,
ditemukan pula gejala sistemik TB. Uji tuberkulin umumnya positif.
Gejala TB abdomen umumnya bersifat kronik. Tuberkulosis enteritis dapat
menimbulkan keadaan akut abdomen. Tuberkulosis enteritis merupakan hasil
penyebaran hematogen atau tertelannya tuberkel kuman TB yang dibatukkan dari
paru. Tempat yang paling sering terkena adalah jejunum dan ileum. Gejala yang dapat
ditemukan berupa distensi abdomen, nyeri perut, mual, muntah, diare, konstipasi dan
perdarahan gastrointestinal (hematosezia lebih sering dibandingkan dengan
hematemesis). Bila ditemukan gejala kronik saluran cerna disertai hasil uji tuberkulin
positif maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan untuk konfirmasi TB (pemeriksaan
kolonoskopi dan Ultrasonografi/USG Abdomen).
v. Tuberkulosis Kulit
Secara klinis, TB kulit yang paling sering ditemukan adalah skrofuloderma,
terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar getah bening di bawahnya
yang terinfeksi MTB. Sekret yang keluar dapat berupa cairan purulen atau kaseosa.
Selanjutnya akan membentuk jaringan parut dan dapat juga berupa massa yang
fluktuatif. Gejala klinis sistemik dan pemeriksaan penunjang sama seperti TB paru.
vi. Tuberkulosis Tulang
Dapat bermanifestasi sebagai TB tulang belakang atau spondilitis TB (paling
sering), TB sendi panggul atau koksitis TB dan TB sendi lutut atau ghonitis TB.
Selain gejala sistemik TB, dapat juga ditemukan gejala spesifik berupa bengkak,
kaku, kemerahan, nyeri pada pergerakan. Perjalanan penyakit bersifat kronik, sering
ditemukan setelah terjadi trauma. Tuberkulosis tulang belakang disebut gibbus yaitu
berupa tonjolan pada tulang belakang yang merupakan abses dingin. Koksitis TB
umumnya menunjukkan gejala berjalan pincang atau kesulitan berdiri. Ghonitis TB
ditandai dengan sulit berjalan dan berdiri serta atrofi otot paha dan betis. Anak
terinfeksi HIV lebih mudah terkena TB tulang dibandingkan yang tidak terinfeksi
HIV.
Pemeriksaan foto tulang belakang merupakan penunjang diagnosis yang
utama. Gambaran foto tulang belakang berupa destruksi di antara korpus vertebra
yang berdekatan dengan jarak antara dua korpus vertebra melebar, tepi korpus bagian
anterior bergerigi, terbentuk gibbus dan kalsifikasi jaringan lunak di sekitar korpus.
vii. Diagnosis
Diagnosis TB anak sampai saat ini masih banyak menghadapi tantangan akibat
sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan bakteriologi serta rendahnya konfirmasi
bakteriologi yang didapat. Pemeriksaan BTA aspirat lambung pada TB anak
menunjukkan hasil positif pada 10-15% pasien saja. Namun demikian pemeriksaan
bakteriologi (BTA dan biakan M. tuberculosis) tetap harus dilakukan pada setiap
pasien. Konfirmasi bakteriologi dapat dilakukan dengan pengambilan spesimen dari
beberapa tempat yang memungkinkan sesuai dengan manifestasi klinis penyakit TB
nya, antara lain sputum, aspirasi cairan lambung, cairan pleura, induksi sputum,
biopsy jarum halus pada kelenjar getah bening (KGB) yang membesar dan biopsi
jaringan lainnya.
Tanpa konfirmasi bakteriologi, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal
yaitu :
Kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif
Uji tuberkulin positif
Gambaran sugestif TB secara klinis (misalnya gibus)
Gambaran sugestif TB pada foto toraks
Diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV lebih sulit dibandingkan yang tidak
terinfeksi HIV karena :
Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB, banyak
mempunyai kemiripan gejala.
Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi
imunikompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya
telah terinfeksi TB.
Anak yang kontak dengan orang tua pengidap HIV dengan BTA sputum positif
mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat
terjadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan keteraturan pengobatan.
Kementrian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan Permenkes 21 tahun
2013, semua pasien TB wajib ditawarkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK
(Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan). WHO merekomendasikan dilakukan
pemeriksaan HIV pada suspek TB maupun sakit TB. Kecurigaan adanya HIV pada
penderita terutama :
Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin, yaitu infeksi berulang (> 3
episode dalam infeksi bakteri yang sangat berat (seperti pneumonia, meningitis,
sepsis, dan sellulitis) pada 12 bulan terakhir), bercak putih di mulut (thrush),
parotitis kronik, limfadenopati generalisata, hepatomegaly tanpa penyebab yang
jelas, demam yang menetap dan atau berulang, disfungsi neurologis, herpes
zoster, dermatitis HIV, penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative
lung disease)
Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim
ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, yaitu : otitis media kronik,
diare persisten, gizi kurang atau gizi buruk.
Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV, yaitu :
PCP (Pneumocystis carinii pneumonia), kandidiasis esophagus, LIP (lymphoid
interstitial pneumonitis) atau Sarkoma Kaposi.
viii. Diagnosis sistem Skoring1
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh
para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai
salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di
fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan
agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang
sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun
overdiagnosis TB.
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak jelas - Laporan
keluarga, BTA
(-)/BTA tidak
jelas/tidak tahu
BTA (+)
Uji
tuberkulin
Negative - - Positif (≥ 10
mm, atau ≥
5 mm pada
keadaan
imunosupres
if)
Berat
Badan/Keada
an Gizi
- BB/TB <
90% atau
BB/U < 80%
Klinis gizi
buruk atau
BB/TB < 70%
atau BB/U <
60%
-
Demam yang
tidak
diketahui
penyebabnya
- ≥ 2 minggu - -
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran
kelenjar limfe
kolli, aksila,
inguinal
- ≥ 1 cm,
jumlah > 1,
tidak nyeri
- -
Pembengkak
an
tulang/sendi
panggul,
lutut, falang
- Ada
pembengkaka
n
- -
Foto toraks Normal/
kelainan
tidak jelas
Gambaran
sugestif TB*
- -
Skor total
Penilaian pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut :
Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai
nilai tertinggi yaitu 3.
Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis
TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT
(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat
terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka
OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka
sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
3. Pemeriksaan Penunjang
i. Uji Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TBC yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikan secara intrakutan pada seseorang yang telah
terinfeksi TBC (kompleks primer pada tubuhnya) akan memberikan indurasi dilokasi
suntikan yang terjadi karena vasodilatasi lokal,edema, endapan fibrin dan
meningkatnya sel radang lain di daerah suntikan. Uji tuberkulin mempunyai nilai
diagnostik yang tinggi terutama pada anak dengan sensitivtas dan spesitifitas lebih
dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia adalah PPD RT-23 2TU buatan
Statens Serum Institu Denmark, dan PPD (Purified Protein Derivate) dari Biofarma.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½
bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, dengan menyuntikkan PPD (Purified
Protein Derivate) 5 IU sebanyak 0,1 cc secara intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian
uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi bukan eritemnya.
Pada anak terinfeksi HIV, uji tuberkulin dikatakan positif bila diameter > 5
mm. Bila hasilnya < 5 mm, TB belum dapat lamgsung disingkirkan karena ada
beberapa keadaan yang menyebabkan “negatif palsu”. Kondisi yang menyebabkan
“negatif palsu” adalah infeksi HIV, malnutrisi berat, infeksi bakteri berat, infeksi
virus, obat imunosupresif dan prosedur penyuntikan yang salah.
Interpretasi hasil uji Tuberkulin berdasarkan indurasi yang terbentuk :
0 – 4 mm
Uji tuberkulin negatif, yang berarti tidak ada infeksi M. tuberculosis.
5 – 9 mm
Uji tuberkulin meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang
dengan M. atipik atau setelah vaksinasi BCG.
≥ 10 mm, uji tuberculin positif, yang berarti sedang atau pernah terinfeksi M.
tuberculosis.
Definisi positif uji tuberculin pada bayi, anak dan dewasa
Indurasi ≥ 5 mm
Kontak dengan penderita atau suspek penyakit TB.
Anak-anak dengan tanda klinis dan gambaran radiologi penyakit TB.
Anak-anak dengan keadaan imunosupresi seperti HIV dan tranplantasi organ.
Pasien dalam pengobatan immunosupresif seperti kortikosteroid ( ≥ 15 mg/24
jam prednison atau sejenisnya selama ≥ 1 bulan )
Indurasi ≥ 10 mm
Bayi dan anak-anak usia ≤ 4 tahun.
Anak-anak dengan kondisi medis lemah yang meningkatkan resiko (penyakit
ginjal, gangguan hematologi, diabetes melitus, malnutrisi, pengguna obat suntik)
Anak-anak yang kontak erat dengan orang dewasa yang beresiko tinggi TB.
Lahir atau baru pindah ( ≤ 5 tahun ) dari negara dengan angka prevalensi TB
tinggi.
Indurasi ≥15 mm
Anak-anak usia > 4 tahun atau lebih tanpa ada faktor resiko.
ii. Radiologis
Gambaran foto rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lainnya. Interpretasi foto
biasanya sulit, harus hti-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis.
Secara umum, gambaran radiologis sugestif TB pada anak terinfeksi HIV sama
dengan yang tidak terinfeksi, antara lain berupa :
Pembesaran kelenjar hilus.
Efusi pleura
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Gambaran pneumonia
Atelektasis
Kavitas
Bronkiektasis
Pada anak terinfeksi HIV, gambaran radiologis LIP menyerupai TB milier. Di
antara berbagai gambaran radiologis tersebut, pembesaran KGB hilus merupakan
gambaran yang paling sering ditemukan.
iii. Serologi
Pada anak sulit mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan TB, maka di cari
pemeriksaan yang mudah pelaksanaanya yaitu pemeriksaan serologi (imunitas
humoral). Berbagai penelitian pemeriksaan imunologik Ag-Ab spesifik untuk
M.Tuberculosis ELISA dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum cairan
bronkus, cairan pleura, dan LCS.Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di
antaranya adalah PAP TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-
lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat
membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
iv. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman
M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas
lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur
hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini
PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk
pemeriksaan klinis rutin.
v. Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma
tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.
4. Penatalaksanaan
i. Panduan pengobatan OAT
Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping
minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini, paduan
obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO (2011) adalah
INH (H), Rifampisin (R), PZA (Z) dan Etambutol (E) selama fase intensif 2 bulan
pertama dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin selama fase lanjutan. Pada TB milier
dan meningitis TB diberikan INH, Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin
selama fase intensif selanjutnya INH dan Rifampisin selama fase lanjutan 10 bulan.
Kategori diagnostik TB pada penderita HIV Fase awal Fase lanjutan
TB ringan, TB paru BTA negatif,
Limfadenitis TB
2RHZE RH (4 – 7 bulan)
TB tulang 2RHZE RH (4 – 7 bulan)
TB miliar, TB meningitis 2RHZES RH (10 bulan)
Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps yang
lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini maka
pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu selama 9 bulan
sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan. Mortalitas
TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi karena
tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ
yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang,
malnutrisi berat dan imunosupresi berat.
Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernafasan, efusi pleura dan
efusi perikardial diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednisone 1
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6 minggu, selanjutnya di-tapering-off selama 6
minggu.
Tuberkulosis sering didiagnosis sebelum status HIV seorang anak diketahui.
Pemberian OAT pada anak terinfeksi HIV yang akan atau sedang mendapat ARV
harus memperhatikan interaksi antar obat karena pemberian bersama-sama kedua obat
ini dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal serta meningkatkan risiko
toksisitas. Apabila Rifampisin berinteraksi dengan beberapa Non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI) maka kadar plasma NNRTI turun sebesar 20 – 60%;
sedangkan Protease inhibitor (PI) mmengakibatkan kadar plasma PI akan turun
sebesar 80% atau lebih. Rifampisin dapat diberikan bersama-sama dengan semua jenis
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI). Rekomendasi pemberian OAT
bersama ARV adalah 2 jenis NRTI dikombinasi dengan efavirenz (EFV). Dosis OAT
tidak memerlukan penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh ARV. Pemberian ARV
dapat dimulai bila anak telah mendapat OAT selama minimal 2 – 8 minggu selama
syarat untuk pemberian ARV telah terpenuhi.
Masalah yang sering dihadapi pada pengobatan TB anak terinfeksi HIV adalah
respons pengobatan yang kurang baik dan angka relaps yang tinggi. Bila respons
klinis dan radiologi kurang maka pemberian OAT dapat dilanjutkan sampai 9-12
bulan selanjutnya penyebab kegagalan pengobatan harus dievaluasi. Evaluasi respons
klinis dan radiologi yang kurang setelah pemberian OAT 6 bulan meliputi kepatuhan
minum obat, absorpsi obat yang kurang, resistensi obat dan kemungkinan diagnosis
TB salah.
Anti retroviral dan OAT sering menunjukkan gejala toksisitas yang sama
sehingga sulit diidentifikasi obat mana yang menjadi penyebab toksisitas tersebut.
Efek samping OAT lebih sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV. Efek
samping OAT paling sering ditemukan pada 2 bulan pertama pengobatan.
Meskipun pemberian INH pada anak jarang menimbulkan neuropati namun
pemberian INH pada anak terinfeksi HIV dan mendapat ARV disarankan untuk
ditambahkan piridoksin (vitamin B6). Rash merupakan efek samping pemberian OAT
yang cukup sering ditemukan, umumnya ringan sehingga tidak perlu menghentikan
pengobatan. Beberapa obat yang dapat menimbulkan rash antara lain kotrimoksazol,
nevirapin, EFV dan abacavir. Bila rash hebat maka OAT harus dihentikan dulu,
selanjutnya bila rash sudah hilang OAT dapat dimulai dengan cara desensitisasi. Efek
lain OAT misalnya pada gastrointestinal (mual, muntah dan diare) umumnya tidak
memerlukan penghentian obat. Apabila terdapat efek hepatotoksik (gangguan fungsi
hati) yaitu SGOT/SGPT meningkat lebih dari 5X nilai normal tertinggi tanpa disertai
ikterus; bilirubin total > 1,5 mg/dL tanpa disertai ikterus; gejala ikterus dengan Uji
fungsi hati normal maka INH, Rifampisin dan PZA dihentikan kemudian diberikan
Etambutol dan Streptomisin. Streptomisin dan Etambutol diberikan tidak lebih dari 2
bulan, sambil dipantau fungsi hati; apabila fungsi hati sudah normal, maka regimen
pengobatan kembali ke INH, Rifampisin dan PZA. Apabila gejala gangguan fungsi
hati tersebut berulang, perlu ditinjau ulang apakah OAT dan ARV dapat diberikan
bersama-sama atau tidak. Sedangkan apabila dalam 2 bulan pemberian Etambutol dan
Streptomisin ternyata fungsi hati masih tetap tinggi (> 5x batas normal tertinggi),
maka sebaiknya pasien dirujuk.
Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih efek samping OAT dan ARV
maka bila memungkinkan pemberian ARV ditunda sampai anak mendapat OAT 2
bulan tetapi apabila HIV sangat parah yaitu bila TB disertai penyulit seperti batuk
berdarah atau TB meningitis, maka ARV dapat dimulai setelah 2 – 8 minggu
pemberian OAT walaupun kemungkinan terjadinya IRIS lebih besar.
ii. Efek samping pengobatan OAT
Infeksi HIV menyebabkan peningkatan terjadinya efek samping pada anak
yang sedang mendapat OAT terutama efek samping pada kulit dan hepatotoksisitas
karena OAT dan kotrimoksasol.
1. Kulit
Efek samping pada kulit dapat berupa nekrolisis epidermal toksik yang
mengancam kehidupan maupun rash yang tersebar pada wajah, dada dan seluruh
tubuh. Bila pasien mengalami gejala rash, gatal dan demam segera setelah makan
OAT, menunjukkan terdapatnya reaksi hipersensitivitas. Apabila timbul rash ringan
dan tidak ada rasa gatal maka OAT dilanjutkan; apabila disertai sedikit rasa gatal
maka diberikan antihistamin. Penyebab gatal yang lain perlu dipertimbangkan
misalnya skabies. Bila timbul rash disertai rasa gatal dengan atau tanpa efek samping
berat yaitu nekrolisis epidermal toksik atau Steven Johnson syndrome maka semua
jenis OAT harus dihentikan sampai klinis membaik. Bila rash sudah hilang maka
OAT dapat diberikan lagi mulai dosis paling rendah (INH 50 mg, Rifampisin 75 mg)
dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis yang sesuai dalam waktu 3 hari.
2. Hepatotoksik
Pada anak sakit TB yang terinfeksi HIV maka sebaiknya dilakukan
pemeriksaan uji fungsi hati sebelum pengobatan dimulai. Selanjutnya pemeriksaan uji
fungsi hati sebaiknya diperiksa rutin setiap bulan. Efek hepatotoksik OAT pada anak
terinfeksi HIV lebih sering ditemukan dibanding anak yang tidak terinfeksiHIV. Obat
Anti TB lini pertama yang menimbulkan efek hepatotoksisitas adalah
INH,Rifampisin dan PZA. Karena ke-3 obat tersebut diberikan sebagai kombinasi
maka agak sulit untuk menentukan obat mana yang menjadi penyebab gangguan
fungsi hati. Pemberian kembali OAT tersebut setelah hepatotoksisitas hilang,
umumnya tidak menimbulkan efek samping seperti sebelumnya. Streptomisin dan
Etambutol jarang sekali menimbulkan hepatotoksisitas. Gejala klinis hepatotoksisitas
bervariasi mulai dari gangguan fungsi hati ringan sampai kerusakan hati berat yang
menyebabkan gagal hati. Gejala konstitusional berupa lemah, mual, muntah, demam,
mialgia, artralgia dan sakit perut. Drug- induced hepatitis (DIH) karena OAT ini
harus didiagnosis banding dengan hepatitis virus. Bila ditemukan gejala klinis
hepatotoksisitas maka OAT harus dihentikan kecuali bila tetap diperlukan pemberian
OAT maka dapat diberikan Streptomisin dan Etambutol. Obat Anti TB dapat
diberikan kembali 2 minggu setelah gejala klinis hepatotoksisitas hilang atau Uji
fungsi hati normal kembali.
3. Gastrointestinal
Efek gastrointestinal akibat OAT yang paling banyak ditemukan adalah mual,
muntah, dehidrasi dan imbalans elektrolit. Efek samping gastrointestinal umumnya
tidak memerlukan penghentian obat. Efek gastrointestinal sering merupakan gejala
awal efek hepatotoksisitas sehingga diperlukan pemantauan klinis yang baik. Bila
gejalanya ringan sampai sedang maka dapat diatasi dengan cara minum OAT
bersamaan dengan makanan atau diminum segera sebelum tidur atau memberikan anti
emetik. Bila gejala gartritis menonjol maka dapat diberikan antasid atau proton pump
inhibitor (PPI) walaupun antasid akan mengurangi absorpsi rifampisin sebesar 20-
40%. Antasid atau PPI sebaiknya diberikan 2 jam sebelum atau sesudah makan OAT.
4. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS)
Pemberian ART fase awal menyebabkan penekanan replikasi virus HIV secara
cepat (90% virus dalam 1-2 minggu) sehingga terjadi pemulihan sistem imun,
peningkatan CD4 yang besar pada fase inisial yang dilanjutkan dengan penurunan
jumlah virus. Immune reconstitution inflammatory syndrome merupakan kumpulan
gejala atau manifestasi klinis akibat respons imun yang meningkat secara cepat
terhadap berbagai infeksi maupun antigen non infeksius setelah pemberian ARV fase
inisial. Organisme yang paling sering menyebabkan IRIS adalah Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium avium, Cryptococcus neoformans dan Cytomegalovirus.
Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah:
Munculnya lagi gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah
teratasi infeksinya. Penyebab terbanyak IRIS adalah TB.
Munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik, umumnya disebabkan oleh
Mycobacterium avium, jarang oleh Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit autoimun dan inflamasi seperti Sarkoidosis.
Gejala klinis IRIS bersifat sementara, misalnya demam, limfadenopati yang
bertambah, tuberkuloma intraserebral menjadi muncul kembali, efusi pleura, sindrom
distress pernapasan, infeksi subklinis menjadi manifest atau gejala klinis memburuk
pada pengobatan TB yang adekuat. Perburukan klinis TB pada pemberian ARV selain
disebabkan oleh IRIS, dapat pula disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen Mycobacterium tuberculosis yang mati. Hal ini bukan suatu kegagalan
pengobatan dan bersifat sementara. Immune reconstitution inflammatory syndrome
dapat juga disebabkan oleh mikobakteria atipik, Pneumocystis jiroveci, Varicella
zoster dan virus Herpes simpleks. Immune reconstitution inflammatory syndrome
umumnya terjadi pada pemberian OAT bersama-sama ARV dalam 2 bulan pertama.
Beberapa kriteria yang mendukung diagnosis IRIS pada TB-HIV (3 dari kriteria
sebagai berikut) :
a. Manifestasi klinis atipikal setelah ARV mulai diberikan.
b. Viral load menurun 1 log10 per mL.
c. CD4 meningkat.
d. Bukan TB relaps atau resisten OAT.
e. Bukan karena ketidakpatuhan minum obat.
f. Bukan akibat efek samping obat.
g. Bukan karena infeksi lain atau keadaan lain karena HIV.
iii. Regimen pengobatan OAT
1. Isoniazid (INH)
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5 –
15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg/5ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga
tidak dianjurkan penggunaannya. Konsetrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS
dapat dicapai dalam 1 – 2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6 – 8 jam. Anak-
anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga
memerlukan dosis mg/kgBB lebih tinggi daripada dewasa. Isoniazid terdapat pada air
susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta,
tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua pengaruh toksik utama, keduanya jarang pada anak,
yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Neuritis perifer akibat dari hambatan
kompetitif penggunaan piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang
minum isoniazid, tapi manifestasi klinis jarang ada dan pemberian piridoksin biasanya
tidak dianjurkan, namun remaja dengan diet yang tidak cukup, kelompok anak-anak
dengan kadar susu dan masukan daging rendah, serta bayi yang sedang menyusu
sering memerlukan penambahan piridoksin. Piridoksin diberikan 25 – 50 mg satu kali
sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid. Manifestasi klinis neuritis
perifer yang paling sering adalah mati rasa dan rasa gatal pada tangan dan kaki.
Toksisitas isoniazid CSS jarang, terjadi biasanya bila overdosis yang bermakna.
Pengaruh toksis utama isoniazid adalah hepatotoksisitas, yang jarang pada anak, tapi
meningkat sesuai usia. Sebagian anak yang minum isoniazid mengalami kenaikan
kadar serum transaminase dalam 2 bulan pertama., tapi karena jarang makan
pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kcuali bila ada gejala dan tanda
klinis.
2. Rifampisin
Rifampisin adalah obat kunci pada manajemen tuberkulosis modern.
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
prut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 20 – 20 mg/kgBB/hari, dosis
maksimal 600 mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian per hari. Dosis rifampisin tidak
melebihi 15 mg/kgBB/hari jika diberikan bersamaan dengan isoniazid.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek samping
tersebut berupa perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata, menjadi
warna orange kemerahan. Efek samping lain berupa gangguan gastrointestinal dan
hepatotoksik (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar
transaminase serum yang asimptomatik. Untuk mengurangi peningkatan resiko
hepatotoksisitas maka diturunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10
mg/kgBB/hari. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg
sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran
berat badan. Rifampisin sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian
makan karena dapat timbul malabsorbsi.
3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi
baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral dengan dosis 15 – 30
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gr/hari. Pirazinamid diberikan pada fase
intensif karena sangat baik dalam suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman
masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang
dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping. Pirazinamid tersedia
dalam bentuk tablet 500 mg, dapat digerus dan diberikan bersamaan dengan makanan.
4. Etambutol
Dahulu etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitas pada
mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik dan bakterisid jika diberikan dengan
dosis tinggi dengan terapi intermiten. Obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat-obat lain. Dosis yang dianjurkan adalah 15 – 20 mg/kgBB/hari,
maksimal 1,25 gr/hari dosis tunggal. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg
dan 500 mg. efek samping yang mungkin terjadi dari penggunaan etambutol adalah
neuritis optik dan buta warna merah hijau, sehingga sering kali pengunaannya
dihindari pada anak yang belum daapt diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di
FK UI menunjukkan bahwa etamutol dengan dosis 15 – 25 mg/kgBB/hari tidak
ditemukan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca
pengobatan.
5. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraselular pada keadaan
basa atau netral, jadi efektif membunuh kuman intraseluler. Obat ini penting pada
pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin dapat diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15 – 40 mg/kgBB/hari, maksimal dosis 1 gram/hari
dan kadar puncak 40-50µg/ml dalam waktu 1-2 jam. Obat ini dapat melewati selaput
otak yang meradang, tetapi tidak dapat melawati selaput otak yang tidak meradang.
Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, diekskresi
melalui ginjal. Efek toksisitas kelainan pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran berupa tinismus dan pusing. Dapat menembus
plasenta sehingga hati-hati menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merusak saraf pendengaran janin.
Nama Obat Dosis harian
(mg/kgBB/har
i)
Dosis
maksimal
(mg/hari)
Efek Samping
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin
**
10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan
berkurang, buta warna merah-hijau,
penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisi
n
15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui
sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
5. Diagnosis Banding
i. Pneumocystis Jiroveci Pneumonia6,9
Kuman Pneumocystis diklasifikasikan dalam golongan jamur berdasarkan
analisis DNA, tetapi juga memiliki karakteristik biologis suatu protozoa. Kuman
penyebab infeksi pada manusia disebut P. jirovecii. Kuman ini biasa terdapat pada
anak dengan antibodi serum > 80% pada anak usia 2 – 4 tahun. Bayi dengan status
imun yang masih kompeten infeksi P. Jirovecii akan memiliki gejala yang ringan pada
saluran nafas atau tanpa gejala.
Berdasarkan stadium klinis HIV/AIDS pada bayi dan anak menurut WHO,
PCP merupakan infeksi yang muncul pada infeksi HIV/AIDS stadium klinis IV.
Stadium ini diklasifikasikan sebagai stadium klinis berat.25 PCP merupakan
penyebab kematian terbanyak pada anak yang terinfeksi HIV, sekitar ±30% dari
seluruh kasus AIDS. Insidensi tertinggi PCP pada anak HIV ditemukan pada tahun
pertama kehidupan, dengan puncak kasus pada usia 3 – 6 bulan. Hitung CD4+ bukan
merupakan indikator yang baik untuk PCP pada bayi usia <1 tahun, kebanyakan bayi
dengan PCP memiliki hitung sel >1.500/μl dan hitung sel dapat turun cepat dalam
waktu yang singkat.
Gambaran klinis PCP pada anak HIV sama dengan yang terdapat pada orang
dewasa (contohnya demam, takipneu, dispneu, dan batuk) serta derajat keparahan dari
tanda dan gejala bervariasi dari satu anak ke anak lainnya. Awitan dapat tiba-tiba atau
tersembunyi dengan gejala tidak khas (batuk ringan, dispneu, susah makan dan
kehilangan berat badan). Beberapa penderita mungkin tidak ada demam, tetapi hampir
semua penderita mengalami takipneu pada saat diobservasi berdasarkan foto toraks.
Pemeriksaan fisik mungkin ditemukan ronkhi dengan distress pernafasan dan
hipoksia.
Pneumositosis ekstrapulmonal jarang terdapat pada anak. Predileksi meliputi
telinga, mata, tiroid, limpa, saluran cerna, kolon transversum, hati, dan pancreas.
Predileksi lainnya yang lebih jarang meliputi kelenjar adrenal, sumsum tulang,
jantung, ginjal serta ureter, kelenjar limfe, meningen, korteks serebral, dan otot.
Pada infeksi PCP, paru-paru meradang, alveoli dipenuhi pus dan cairan,
sehingga kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen
mengakibatkan sel-sel tubuh tidak dapat bekerja dengan baik. Oleh karena itu, selain
penyebaran infeksi ke seluruh tubuh, penderita bisa meninggal karena tidak mendapat
oksigen yang cukup.
Bayi dengan infeksi kombinasi CMV dan P. Jirovecii mengalami pneumonia
berat yang membutuhkan ventilator, kortikosteroid, atau bahkan sampai menyebabkan
kematian. Prognosis lebih buruk jika didapatkan infeksi kombinasi dengan CMV bila
dibandingkan dengan infeksi PCP saja.
ii. Limfoid Interstitial Pneumonitis6,9
Pneumonia Interstitial Limfositik atau LIP adalah suatu sindrom yang meliputi
demam, batuk dan dyspneu dengan infiltrat paru bibasilar, yang terdiri dari akumulasi
limfosit interstitial dan sel plasma yang padat.40 LIP merupakan infeksi oportunistik
yang timbul pada stadium klinis III pada anak HIV yang diklasifikasikan sebagai
stadium klinis sedang.
LIP dapat dihubungkan dengan gangguan autoimun dan limfoproliferatif,
termasuk rheumatoid arthritis, tiroiditis Hashimoto, myasthenia gravis, anemia
pernisiosa, sindrom sentisasi autoeritrosit, hepatitis kronik aktif, Sjögren sindrom,
transplantasi sumsum tulang belakang alogenik, Systemic Lupus Erythematosus
(SLE), dan limfoma. LIP berhubungan dengan disproteinemia, infeksi HIV tipe 1,
virus Epstein-Barr, dan Human T-cell Leukimia Virus (HTLV) tipe 1.
Uji laboratorium tidak spesifik untuk mendiagnosis penyakit ini, oleh sebab
itu, untuk mendiagnosis dilakukan foto rontgen rongga dada, pengukuran difusi gas,
dan pemeriksaan histologi.40 Kematian pada anak HIV/AIDS yang menderita LIP
sebesar 33 – 50% dalam waktu lima tahun setelah diagnosis ditegakkan.
LIP dapat menyebabkan kematian pada anak penderita HIV/AIDS. Dalam
proses perjalanan penyakitnya, LIP menyebabkan kesulitan bernafas secara progresif,
sehingga penderita tidak mendapatkan pasokan oksigen yang optimal yang dapat
mengakibatkan kematian.
6. Pencegahan
1. Pelacakan Kontak
Upaya paling efektif untuk mencegah infeksi TB berulang pada anak adalah
“menutup lubang kran (tap)” dengan cara pengendalian secara epidemiologis, yaitu
diagnosis dan pengobatan segera terhadap kasus TB yang infeksius. Pada anak
penggunaan sistem skoring dapat mengurangi keterlambatan diagnosis. Meskipun
gejala TB pada anak sangat tidak spesifik namun gejala-gejala sugestif TB tersebut
merupakan alat identifikasi yang cukup akurat pada “kelompok berisiko” misalnya
anak yang terinfeksi HIV. Pelacakan kontak TB pada anak terinfeksi HIV sangat
bermanfaat untuk mencegah terjadinya transmisi serta membuka kesempatan untuk
pemberian INH profilaksis. Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB maka
harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tertular TB. Sumber
penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak
tersebut.
Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan BTA sputum
dan foto toraks (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya maka perlu
pula dilakukan pelacakan sentrifugal yaitu mencari anak lain di sekitar sumber
penularan tersebut yang kemungkinan juga tertular, yaitu dengan pemeriksaan uji
tuberkulin. Demikian pula jika ditemukan pasien TB dewasa aktif maka anak
disekitarnya atau yang kontak erat harus dilakukan pemeriksaan ada tidaknya infeksi
maupun penyakit TB.
2. Pengendalian Infeksi
Pengendalian infeksi TB terutama adalah diagnosis kasus TB dan pengobatan
yang adekuat, serta mengikuti perkembangan pasien dengan baik (tidak terjadi drop-
out) di tingkat pelayanan kesehatan manapun. Selain upaya di atas, diperlukan pula
perbaikan lingkungan rumah seperti ventilasi (pintu dan jendela) yang baik dan
masuknya sinar matahari ke dalam rumah secara efektif. Pengendalian transmisi TB
di klinik HIV juga perlu diperhatikan karena anak terinfeksi HIV merupakan
kelompok yang sangat rentan terhadap infeksi apapun terutama TB dan apabila
mereka sakit TB maka dapat menjadi sumber penularan selanjutnya.
3. Pemberian INH Profilaksis
Pemberian INH profilaksis dapat mencegah terjadinya sakit TB pada anak
terinfeksi HIV. Diagnosis infeksi TB laten pada anak terinfeksi HIV sangat penting
karena kelompok ini berisiko besar mengalami reaktivasi. Meskipun faktor kepatuhan
tetap menjadi perhatian besar namun pemberian INH profilaksis pada anak terinfeksi
HIV tetap memberikan keuntungan. Isoniazid tidak menimbulkan drug-drug
interactions bila diberikan bersama ART dan tidak pula memerlukan penyesuaian
dosis pada pemberian kedua obat tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian INH profilaksis pada anak terinfeksi HIV dapat menurunkan angka
kematian sampai setengahnya.
Profilaksis primer
Profilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, pada
profilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5 – 10 mg/kgBB/hari dengan
dosis tunggal. Profilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,
terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif).
Obat diberikan selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis
dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negative, profilaksis dilanjutkan hingga 6
bulan. Jika terjadi konversi tuberculin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada
akhir bulan ke enam pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap
negatif profilaksis dihentikan, jika terjadi konversi tuberculin menjadi positif, evaluasi
status TB pasien.
Profilaksis sekunder
Profilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum
sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal.
Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk
dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak
pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais
adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat
imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB
baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama
pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.
Kebijakan pemberian INH profilaksis adalah sebagai berikut :
a. Anak dengan infeksi laten TB
Umur HIV Kontak erat dengan
pasien TB paru dewasa
Tatalaksana
Balita (+)/(-) Ya INH profilaksis
Balita (+)/(-) Tidak Observasi
> 5 tahun (-) Ya Observasi
> 5 tahun (+) Ya INH profilaksis
> 5 tahun (-) Tidak Observasi
> 5 tahun (+) Tidak Observasi
b. Anak bukan TB
Umur HIV Kontak erat dengan
pasien TB paru dewasa
Tatalaksana
Balita (+)/(-) Ya INH profilaksis
Balita (+)/(-) Tidak Pikirkan diagnosis
lain, bila perlu dirujuk
> 5 tahun (-) Ya Observasi
> 5 tahun (+) Ya INH profilaksis
> 5 tahun (-) Tidak Pikirkan diagnosis
lain, bila perlu dirujuk
> 5 tahun (+) Tidak Pikirkan diagnosis
lain, bila perlu dirujuk
4. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG)
Satu-satunya vaksin terhadap tuberculosis yang tersedia adalah Bacillus
Calmette et Guerin, diberi nama dengan nama dua pengamat Perancis yang
bertanggung jawab untuk perkembangannya. Organisme vaksin aslinya adalah strain
M.bovis hidup yang dilemahkan dengan subkultur setiap tiga minggu selama 13
tahun. Strain ini didistribusikan pada beberapa lusin laboratorium yang menlanjutkan
subkultur organisme ini pada berbagai media dengan berbagai keadaan. Hasilnya
adalah produksi banyak vaksin BCG yang sangat berbeda dalam morfologi, sifat
pertumbuhan, potensi sensitisasi dan virulensi binatang. Imunisasi BCG diberikan
pada usia 0 – 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,
diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih
mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menganggu struktur otot dan
sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia > 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberculin terlebih dahulu. Insiden TB anak yang mendapat BCG berhubungan
dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin,
dan intensitas pemaparan infeksi.
Efek proteksi sangat bervariasi mulai dari 0 – 80% bahkan di wilayah endemis
TB diragukan efek proteksinya. Namun demikian, vaksin BCG memberikan proteksi
yang cukup baik terhadap terjadinya TB berat (TB milier dan meningitis TB).
Sebaliknya pada anak terinfeksi HIV maka vaksin BCG tidak banyak memberikan
efek menguntungkan dan dikhawatirkan dapat menimbulkan BCG-itis diseminata,
yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada pasien imunokompromais. World
Health Organization menetapkan bahwa vaksinasi BCG merupakan kontraindikasi
pada anak terinfeksi HIV yang bergejala. Hal ini sering menjadi dilema bila bayi
mendapat BCG segera setelah lahir pada saat status HIV-nya belum diketahui. Bila
status HIV ibu telah diketahui dan Preventing Mother to Child Transmission of HIV
(PMTCT) telah dilakukan maka vaksinasi BCG tidak segera diberikan pada bayinya.
Bayi baru lahir dengan ibu HIV positif dengan perlakuan pencegahan (PMTCT),
maka BCG tidak diberikan pada saat jadwalnya. Pemberian BCG menunggu status
bayi ditetapkan melalui pemeriksaan PCR (6 bulan) atau serologis pada umur
sesudahnya. Sebaiknya didahului uji tuberkulin.
7. Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT
terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman
sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang
minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih
harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai
rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut.
Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke
waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak
adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan.
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampisin,
angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT
(terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB
milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai
100%.
DAFTAR PUSTAKA
1. William W. Hay Jr, Myron J.Levin, Robin R.Deterding, Mark J. Abzug. Current
Diagnosis & Treatment Pediatrics 22nd Edition. Colorado: McGrawHill, 2014;
2. Kliegman, Stanton, St Geme, Schor. Nelson, Textbook of Pediatrics, 20e.
Philadelphia: Elsevier, 2015; 1345-1348.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada
Anak, Jakarta: WHO 2014
4. Soedarmo SSP, GarnaH, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis Ed kedua. Jakarta: IDAI, 2010;312-321.
5. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta, 2009;106
6. Pudjiaji AH, Hegar B, Handrastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI, 2010;
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tuberkulosis. Buku Ajar Respirologi. Jakarta: IDAI;
2012.
8. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta: 2012.
9. http://www.hivguidelines.org/GuideLine.aspx?page ID
=258&guideLineID=35&vType=text, diakses 5 September 2015
10. Tanzania Journal of Health Research Volume 14, Number 1, January 2012
(http://dx.doi.org/10.4314/thrb.v14i1.11, diakses 5 September 2015)
11. Amanda J. Redig and Nancy Berliner. Pathogenesis and clinical implications of
HIV-related anemia in 2013. Department of Medicine, and 2Division of
Hematology, Department of Medicine, Brigham and Women’s Hospital, Harvard
Medical School, Boston, MA
12. Indian J Med Res 132, October 2010, pp 359-361