hiv hamil.docx

31
BAB I PENDAHULUAN HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Bila virus HIV tersebut menjadi tak terkendali dan telah menyerang tubuh dalam jangka waktu lama maka infeksi virus HIV tersebut dapat berkembang menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Virus HIV berbahaya bagi tubuh karena menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan virus, bakteri dan jamur yang menyebabkan penyakit infeksi. HIV menyebabkan tubuh menjadi rentan untuk terkena beberapa jenis kanker & infeksi yang biasanya secara normal dapat dilawan oleh kekebalan tubuh misalnya infeksi pneumonia & meningitis. HIV sendiri dapat ditularkan melalui cairan vagina, air mani ataupun darah penderita HIV yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini biasanya terjadi melalui hubungan seksual, baik secara oral, anal maupun vaginal transfusi darah yang terinfeksi HIV pemakaian jarum suntik secara bersama-sama ataupun dari ibu hamil yang terkena HIV kepada bayi yang di kandungnya pada saat hamil ataupun saat melahirkan. HIV sendiri tidak dapat ditularkan melalui kontak sehari-hari seperti : sentuhan, berpelukan, berciuman dan berjabat tangan. Khusus untuk resiko penularan dari ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada bayi yang di kandungnya pada masa persalinan biasanya terjadi karena : adanya tekanan pada plasenta sehingga terjadi sedikit pencampuran antara darah ibu dengan darah bayi (lebih sering terjadi jika plasenta mengalami radang/infeksi), bayi terpapar darah & lendir serviks pada saat melewati jalan lahir atau karena bayi kemungkinan terinfeksi akibat menelan darah & lendir serviks pada saat resusitasi.

Upload: muhammad-hasnul-fahmy

Post on 10-Nov-2015

224 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

afi

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Bila virus HIV tersebut menjadi tak terkendali dan telah menyerang tubuh dalam jangka waktu lama maka infeksi virus HIV tersebut dapat berkembang menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).

Virus HIV berbahaya bagi tubuh karena menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan virus, bakteri dan jamur yang menyebabkan penyakit infeksi. HIV menyebabkan tubuh menjadi rentan untuk terkena beberapa jenis kanker & infeksi yang biasanya secara normal dapat dilawan oleh kekebalan tubuh misalnya infeksi pneumonia & meningitis. HIV sendiri dapat ditularkan melalui cairan vagina, air mani ataupun darah penderita HIV yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini biasanya terjadi melalui hubungan seksual, baik secara oral, anal maupun vaginal transfusi darah yang terinfeksi HIV pemakaian jarum suntik secara bersama-sama ataupun dari ibu hamil yang terkena HIV kepada bayi yang di kandungnya pada saat hamil ataupun saat melahirkan. HIV sendiri tidak dapat ditularkan melalui kontak sehari-hari seperti : sentuhan, berpelukan, berciuman dan berjabat tangan.

Khusus untuk resiko penularan dari ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada bayi yang di kandungnya pada masa persalinan biasanya terjadi karena : adanya tekanan pada plasenta sehingga terjadi sedikit pencampuran antara darah ibu dengan darah bayi (lebih sering terjadi jika plasenta mengalami radang/infeksi), bayi terpapar darah & lendir serviks pada saat melewati jalan lahir atau karena bayi kemungkinan terinfeksi akibat menelan darah & lendir serviks pada saat resusitasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

B. EPIDEMIOLOGI Pada akhir 1999 diperkirakan bahwa terdapat sekitar 4,2 juta HIV positif Afrika Selatan, hampir separuh di antaranya adalah perempuan dalam masa reproduksi. Diperkirakan bahwa ada 50.000 anak-anak yang positif HIV, penularan HIVnya terutama melalui penularan dari ibu mereka. Lebih dari 90% dari infeksi HIV pada anak-anak yang diakuisisi oleh penularan dari ibu ke bayi mereka. Kebanyakan bayi yang terinfeksi mendapatkan infeksi mereka dekat dengan menyusui. Risiko bayi mendapatkan virus dari ibu yang terinfeksi berkisar dari 25% sampai 35%. Di Indonesia, hingga akhir Juni 2005 tercatat 7.098 kasus HIV/AIDS (3.740 kasus HIV dan 3.358 kasus AIDS). Meskipun secara umum prevalensi HIV di Indonesia tergolong rendah (kurang dari 0,1%), tetapi sejak tahun 2000 Indonesia telah dikatagorikan sebagai negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena terdapat kantung-kantung dengan prevalensi lebih dari 5% pada beberapa populasi tertentu. Contohnya, kasus HIV/AIDS pada pengguna narkoba suntikan sebesar 40%. Karena mayoritas pengguna narkoba suntikan yang terinfeksi HIV berusia reproduksi aktif, maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif akan meningkat di Indonesia.

C. ETIOLOGI Seperti halnya penanggulangan penyakit pada umumnya, usaha pertama yang selalu harus diusahakan adalah mencari penyebab resiko transmisi HIV antara ibu dan anak. Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi transmisi HIV antara ibu dan anak, Faktor ibu Faktor kebiasaan Faktor obstetri Faktor viral Faktor lain

Faktor-faktor Ibu Status kekebalan: Risiko MTCT meningkat dengan tingkat keparahan defisiensi imun. Perempuan dengan jumlah CD4 rendah ( partikel viral 50.000 atau lebih / ml).

PENELITIAN Pengobatan antiretroviral (ART) bagi ibu yang dimulai selama kehamilan dan dilanjutkan selama menyusui menghasilkan tingkat penularan HIV dari ibu-ke-bayi (mother to child HIV transmission/MTCT) yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan penggunaan rejimen baku jangka pendek. Hal itu berdasarkan laporan penelitian Kesho Bora dalam Konferensi International AIDS Society (IAS) ke-5 di Cape Town. Penelitian Kesho Bora, dilakukan di Kenya, Afrika Selatan dan Burkina Faso, menemukan bahwa ART dengan rejimen berbasis PI untuk ibu lebih efektif secara bermakna dibandingkan pengobatan jangka pendek dengan AZT dari minggu ke 28-36 kehamilan, dengan AZT/3TC dan nevirapine dosis tunggal saat sakit kelahiran, dan AZT/3TC selama satu minggu, sementara bayi menerima nevirapine dosis tunggal dengan AZT/3TC selama satu minggu, dan bayi diberi susu formula atau disusui lalu disapih saat enam bulan. Rejimen jangka pendek berbeda yang diteliti mencerminkan perbedaan dalam praktek yang merupakan hasil uji coba klinis sebelumnya. Dalam penelitian Kesho Bora 824 ibu hamil yang saat itu tidak memenuhi kriteria ART untuk kesehatannya sendiri, dengan jumlah CD4 antara 200 dan 500, secara acak diberi satu dari dua rejimen. Ibu dalam kelompok terapi tiga jenis (n = 413) menerima AZT/3TC dan lopinavir/ritonavir dari triwulan ketiga kehamilan hingga enam bulan pascakelahiran, titik saat menyusui disarankan dihentikan. Ibu dalam kelompok jangka pendek menerima AZT dari minggu ke 28 hingga 36 kehamilan hingga saat sakit kelahiran, saat mereka menerima AZT/3TC dan nevirapine dosis tunggal. Mereka tetap memakai AZT/3TC selama satu minggu setelah melahirkan, perubahan itu dimasukkan dalam penelitian pada Desember 2007. Seluruh bayi menerima nevirapine dosis tunggal dalam 72 minggu sejak kelahiran, dan satu minggu pengobatan AZT ditambahkan sejak Desember 2007. Ibu dikonseling tentang risiko penularan melalui menyusui dan ditawarkan pilihan susu formula gratis, atau menyusui secara eksklusif dengan menyapih selama dua minggu yang dimulai pada lima setengah bulan. Selama penelitian 76% dan 78% ibu dalam dua kelompok penelitian menyusui pada beberapa titik, dengan kurang lebih 45% pada masing-masing kelompok menyusui secara eksklusif selama tiga bulan pertama setelah kelahiran. Rata-rata masa menyusui adalah 21 minggu. Pendaftaran untuk penelitian dimulai pada Juni 2005 dan pendaftaran penuh pada Agustus 2008, dengan hasil sebagian besar kelahiran dalam penelitian terjadi sebelum perubahan protokol pada Desember 2007. Pada kelompok ART tiga jenis ada 402 kelahiran hidup, dan infeksi HIV pada bayi sebagaimana diukur dengan PCR sesaat terdeteksi pada 1,8% saat kelahiran, 3,3% pada enam minggu, 4,9% pada enam bulan dan 5,5% pada satu tahun. Penurunan risiko penularan pada satu tahun adalah 42% apabila dibandingkan dengan rejimen jangka pendek. Tes log rank pada 12 bulan menunjukkan perbedaan tersebut bermakna secara statistik (p = 0,039). Dalam perbandingan itu ada 411 kelahiran hidup pada kelompok ART jangka pendek, dan infeksi HIV pada bayi terdeteksi 2,2% pada saat kelahiran, 4,8% pada enam minggu, 8,5% pada enam bulan dan 9,5% pada satu tahun. Perbedaan pada ketahanan hidup bayi menjadi jelas setelah enam bulan: 6,3% pada kelompok bayi yang lahir dari ibu dalam kelompok terapi tiga jenis meninggal setelah 12 bulan masa tindak lanjut, dibandingkan 10% pada bayi dalam kelompok jangka pendek, penurunan risiko 37%. Namun, tes log rank pada 12 bulan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p = 0,086). Analisis subgroup menunjukkan bahwa penurunan tingkat infeksi HIV yang dikaitkan dengan terapi rejimen tiga jenis menjadi bermakna secara statistik hanya pada kelompok ibu dengan jumlah CD4 pada awal antara 200 dan 350. Pada bayi yang lahir dari ibu tersebut, tingkat infeksi HIV kumulatif adalah 5,5% pada enam bulan dalam kelompok ART tiga jenis dan 10,5% dalam kelompok jangka pendek, meningkat menjadi 6,1% dan 11,1% pada 12 bulan (p = 0,044). Perbedaan yang bermakna tidak terdeteksi pada bayi yang lahir dari ibu dengan jumlah CD4 pada awal antara 350 dan 500, dan tidak ada perbedaan yang bermakna pada infeksi HIV berdasarkan rejimen pada bayi dari ibu yang pernah menyusui selama penelitian) (5,9% banding10,2%, p = 0,064). Para penulis penelitian mencatat bahwa dampak terbesar ART tiga jenis terdeteksi antara enam minggu dan enam bulan setelah kelahiran, dan pada ibu dengan jumlah CD4 antara 200 dan 350, menekankan pandangan bahwa pengobatan lebih dini agar disarankan di rangkaian terbatas sumber daya, kelompok itu harus diprioritaskan. Median jumlah CD4 dalam populasi penelitian itu adalah 335. Para penulis juga mencatat bahwa sejumlah kecil penularan pascakelahiran terjadi setelah enam bulan, titik saat menyusui disarankan untuk dihentikan, menunjukkan pentingnya melanjutkan ART sampai menyusui dihentikan secara penuh.

PENATALAKSANAAN

KONSELING DAN TES HIV SUKARELA Konseling HIV menjadi salah satu komponen standar dari pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan. Penatalaksanaan konseling dan tes HIV sukarela untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV Sukarela. Tes HIV dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di seluruh rumah sakit rujukan Odha yang telah ditetapkan pemerintah. Ibu hamil menjalani konseling dan diberikan kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV atau tidak. Konseling dan pengujian sukarela harus tersedia kepada semua wanita hamil. Manfaat untuk perempuan mengetahui status HIV-nya mencakup kemampuan untuk membuat informasi pilihan tentang pemberian makanan bayi, perawatan bagi ibu dan anak, peluang untuk mengakhiri kehamilan sesuai indikasi dan hukum, dan kemampuan untuk membuat keputusan tentang aktivitas seksual dan kesuburan untuk selanjutnya. VCT (Voluntary Counseling and Testing) juga mengedepankan adanya keterbukaan, penerimaan atas HIV positif

Komponen pra-test konseling Privasi Kerahasiaan Menjelaskan atau menentukan alasan untuk pengujian Memberikan informasi tentang HIV dan AIDS, dan kehamilan Memberikan informasi tentang tes HIV, termasuk konsep "periode jendela" Review implikasi positif dan negatif hasil tes Informasi tentang prosedur pengujian Informed consent

Komponen Post-Test Konseling Interaksi pribadi dengan klien (tidak lewat telepon) Memberikan hasil tes HIV segera setelah pengujian mungkin Berurusan dengan perasaan yang timbul dari hasil positif dan negatif Pencegahan infeksi dan "periode jendela" Diskusikan apa yang mendukung dan kebutuhan wanita Diskusikandengan siapa klien mungkin ingin berbagi hasil Mengidentifikasi kesulitan klien meramalkan dan bagaimana menangani mereka Mendorong perempuan untuk mengajukan pertanyaan Memberikan informasi tentang gaya hidup sehat, medis

Di daerah prevalensi HIV tinggi yang tidak terdapat layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, untuk menentukan faktor-faktor risiko ibu hamil digunakan beberapa kriteria, seperti memiliki penyakit menular seksual, berganti-ganti pasangan, pengguna narkoba, dll. Layanan tes HIV dipromosikan dan dimungkinkan bagi laki-laki dan perempuan yang merencanakan untuk memiliki bayi. Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan yang memberikan konseling dan tes HIV sukarela dalam paket pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana, harus terdapat tenaga petugas yang mampu memberikan konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Pada pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana yang memberikan layanan konseling dan tes HIV sukarela, konseling pasca tes (post-test counseling) bagi perempuan HIV negatif memberikan bimbingan untuk tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui, dan seterusnya. Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan tersebut harus terjamin aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah memberikan bantuan biaya konseling dan tes HIV bagi ibu hamil di tiap jenjang layanan kesehatan. Kita mengetahui bayi bisa terinfeksi HIVV jika dites HIV, sebagian besar bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV-positif menunjukkan hasil positif. Ini berarti ada antibodi terhadap HIV dalam darahnya. Namun bayi menerima antibodi dari ibunya, agar melindunginya sehingga sistem kekebalan tubuhnya terbentuk penuh. Jadi hasil tes positif pada awal hidup bukan berarti si bayi terinfeksi. Jika bayi ternyata terinfeksi, sistem kekebalan tubuhnya akan membentuk antibodi terhadap HIV, dan tes HIV akan terus-menerus menunjukkan hasil positif. Jika bayi tidak terinfeksi, antibodi dari ibu akan hilang sehingga hasil tes menjadi negatif setelah kurang-lebih 6-12 bulan. Sebuah tes lain, serupa dengan tes viral load dapat dipakai untuk menentukan apakah bayi terinfeksi, biasanya beberapa minggu setelah lahir.

PEMBERIAN OBAT ANTIRETROVIRAL Protokol pemberian obat antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil HIV positif mengikuti Pedoman Nasional Pengobatan ARV di Indonesia. Pemerintah menyediakan ARV untuk ibu hamil HIV positif secara gratis untuk mengurangi risiko penularan HIV ke bayi. Pemerintah juga menyediakan ARV secara gratis untuk tujuan pengobatan jangka panjang jika ibu atau anaknya telah membutuhkan ARV untuk mempertahankan kualitas fisiknya. Terapi antiretroviral (ART) berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat. Karena HIV adalah retrovirus, obat ini biasa disebut sebagai obat antiretroviral (ARV). ARV tidak membunuh virus itu. Namun, ART dapat memperlambat pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan virus diperlambat, begitu juga penyakit HIV. Ibu HIV-positif dapat mengurangi risiko bayinya tertular dengan: pakai obat antiretroviral (ARV) jaga proses kelahiran tetap singkat waktunya hindari menyusui Penggunaan ARV: Risiko penularan sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai. Angka penularan hanya 12 persen bila ibu memakai ART. Angka ini kurang-lebih 4 persen bila ibu memakai AZT selama enam bulan terahkir kehamilannya dan bayinya diberikan AZT selama enam minggu pertama hidupnya. Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini.AZT dan 3TC (LI 424) dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir. Satu tablet nevirapine (LI 431) pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2-3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistansi terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistansi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang. Menjaga proses kelahiran tetap singkat waktunya: Semakin lama proses kelahiran, semakin besar risiko penularan. Bila si ibu memakai AZT dan mempunyai viral load di bawah 1000, risiko hampir nol. Ibu dengan viral load tinggi dapat mengurangi risiko dengan memakai bedah Sesar.

PEMBERIAN MAKANAN BAYI Ibu pasca melahirkan dianjurkan tidak menyusui. Kurang-lebih 14 persen bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat dihindari jika bayinya diberi pengganti ASI (PASI, atau formula). Namun jika PASI tidak diberi secara benar, risiko lain pada bayinya menjadi semakin tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air bersih, atau masalah biaya menyebabkan jumlah formula yang diberikan tidak cukup, lebih baik bayi disusui. Yang terburuk adalah campuran ASI dan PASI. Mungkin cara paling cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak campur dengan PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklusif (tidak campur dengan ASI).

INTERVENSI UNTUK MENCEGAH TRANSMISI HIV IBU-KE-ANAK Ada berbagai intervensi yang telah terbukti atau disarankan untuk mengurangi MTCT (Mother to child transmission). Intervensi kebiasaan Pencegahan HIV primer: Mencegah infeksi HIV di kalangan perempuan, dan laki-laki, usia produktif adalah metode terbaik untuk mengurangi kemungkinan MTCT. Mencegah infeksi HIV baru Infeksi HIV baru selama kehamilan (dan menyusui) dapat meningkatkan viraemia HIV yang akan meningkatkan risiko MTCT Wanita hamil harus disarankan aktivits seksual yang lebih aman, termasuk konsisten pada penggunaan kondom. Pengobatan penyakit menular seksual (PMS): Pengobatan yang efektif dari setiap STD (Sexual Transmitted Disease) dan infeksi kelamin lainnya akan mengurangi kemungkinan infeksi plasenta (Chorio-amnionitis) dan mengurangi risiko MTCT. Interventions Therapeutic Nutrisi suplemen: Suplemen gizi (besi, folat, multivitamin dan vitamin A) harus secara rutin diberikan dari diagnosis awal kehamilan sampai persalinan. Suplemen ini telah terbukti menghasilkan peningkatan kualitas kehamilan, termasuk mengurangi insiden masih lahir, lahir prematur dan berat lahir rendah. Intervensi Kebidanan Vaginal higiene: MTCT mungkin terjadi selama transmisi karena adanya darah dan lendir di jalan lahir. Penelitian telah menunjukkan bahwa pembersihan vagina dengan larutan antiseptik berhubungan dengan pengurangan MTCT dan perbaikan hasil perinatal Artificial rupture of membranes (AROM) Pecah ketuban selama lebih dari 4 jam sebelum pengiriman dikaitkan dengan peningkatan MTCT. AROM rutin harus dihindari dalam perempuan HIV positif atau negatif. AROM hanya boleh dilakukan jika ada indikasi spesifik. Trauma Janin Trauma janin harus dihindari. Pengisapan kuat pada bayi tidak dianjurkan karena hal ini dapat menyebabkan trauma pada selaput lendir. Pengisapan hanya dilakukan dengan indikasi cairan ketuban mekoneal. Hal ini di tujukan untuk membuang cairan ibu dari bayi. Ibu Episiotomi sebaiknya dihindari. Episiotomi seharusnya hanya dilakukan untuk indikasi obstetri, misalnya pada kala 2 yang memanjang. Mode transmisi Meskipun operasi caesar elektif telah terbukti untuk mengurangi risiko MTCT, tapi adanya kendala biaya mahal dan tidak praktis dengan adanya peningkatan risiko komplikasi pasca operasi. Operasi elektif rutin juga sebaiknya dihindari

PENGELOLAAN WANITA HAMIL POSITIF HIV Management pada wanita hamil positif HIV sangat spesial dan unik. Hal ini termasuk memperluas layanan konseling sukarela dan tes HIV untuk ibu hamil, dan penguatan kehamilan, intrapartum dan perawatan post partum. Termasuk penyediaan kebutuhan lingkungan sosial yang mendukung bagi oang dengan positif HIV serta anak-anak yatim piatu karena orang tua yang telah meninggal karena HIV atau karena sebuah epidemi. Strategi pengelolaan yang optimal wanita hamil positif HIV memerlukan berikut ini: Mendukung kesehatan dan lingkungan sosial Non-diskriminasi dan non-stigmatisasi konseling

Antenatal care Perawatan antenatal pada wanita hamil positif HIV, tidaklah berbeda dengan wanita dengan HIV negatif. Tetap harus dilakukan pemeriksaan fisik lengkap, penilaian kehamilan risiko tinggi dan pengawasan janin antepartum. Intervensi gizi Suplemen vitamin harus dimulai pada kehamilan pertama kunjungan. Multivitamin dan Vitamin A dalam tertentu telah terbukti efektif dalam meningkatkan kekebalan tubuh. Rekomendasi Multivitamin 3x sehari Vitamin A 200 000 unit setiap hari Ferrous sulfat 2 kali sehari Asam folat 1dosis harian

Medical Intervention Infeksi Spesifik Infeksi saluran kemih (ringan Perawatan Amoxicillin 500 mg tiga kali sehari Cotrimoxazole (untuk digunakan pada trimester kedua dan ketiga hanya - 80/400 mg) dua tablet tiga kali sehari selama 7-10 hari. Pneumocystis carinii pneumonia Profilaksis Profilaksis harus dimulai ketika jumlah CD4 di bawah 200/ml, atau bila ada tanda-tanda klinis defisiensi imun maju. Trimetoprim / sulfametoksazol (cotrimoxazole) (80/400mg) dua tablet sehari, atau Dapson 100 mg tiga kali seminggu, bagi perempuan sensitif terhadap cotrimoxazole Pengobatan: Berikut harus diberikan, sebaiknya melalui rute oral: Trimetoprim / sulfametoksazol 20/100 mg / kg / hari dalam 4 dosis terbagi selama 14-20 hari. Jika perempuan itu tidak mampu menelan, ini harus diberikan secara intravena. Dalam orang-orang yang hipoksia, prednison 40 mg per hari harus diberikan untuk 10-14 hari pada awalnya.

Cervicitis Pengobatan: Ampicillin 500 mg empat kali sehari Metronidazol 400 mg tiga kali sehari selama 5 hari. Kandidiasis Kandidiasis vagina atau vulva Pengobatan: Preparat antijamur Canesten, Canstat atau nistatin pessaries selama 7 hari Larutan 1 sendok teh cuka dalam 250 ml air untuk pembersihan vagina douching dan dua kali sehari, atau gentian violet dua kali sehari selama 7-10 hari. Kandidiasis sistemik Pengobatan: Ketoconazole 200-400 mg oral sehari selama 5-7 hari Clotrimazole 100 mg pessaries satu setiap malam selama 7-10 malam. Untuk immuno-compromised berat pada perempuan, dberlakukan untuk waktu yang cukup lama. Diare Perlakuan awal untuk memperbaiki elektrolit dan keseimbangan regulasi. Jika infeksi, berikan cotrimoxazole (trimetoprim / sulfametoksazol 80/400 mg) secara oral 2 tablet dua kali sehari selama 5 hari

Modus transmisi

harus diperhatikan dan direncanakan sebelumnya, yaitu Hindari amniotomi Antibiotik profilaksis pada wanita dengan jumlah CD4 kurang dari 200/ml; dimana terdapat tanda-tanda AIDS atau defisiensi kekebalan yang parah atau ketuban pecah selama lebih dari 4 jam Hindari episiotomi, tindakan invasif dan prosedur lain Perhatikan teknik aseptik seluruh tenaga kerja. Gunakan Chlorhexidine 0,25% untuk vulva dan vagina toilet saat melakukan pemeriksaan digital internal. Periksa dan mengelola infeksi saluran kemih

Teknik pembersihan vagina Sebelum pemeriksaan vagina sebaiknya membersihkan daerah kemaluan wanita dengan larutan chlorhexidine menggunakan botol semprot atau pembersih. Saluran vagina dibersihkan dengan larutan chlorhexidine 0,25% selama pemeriksaan vagina. Menambahkan 12.5ml chlorhexidine dengan 5 liter air membuat 0,25% chlorhexidene persiapan. Bungkus yang tebal atau kain kasa ganda Bagian yang vulvae dengan bersarung tangan kiri dan hati-hati membersihkan seluruh permukaan vagina dengan penyeka basah. Membuang penyeka dan menjaga daerah vulva berpisah sementara memeriksa memasukkan jari-jari, sebaiknya menggunakan krim chlorhexidene, untuk pemeriksaan vagina Caesarean section Konsep dasar intervensi PMTCT (Prevention Mother To Child Transmission) sendiri adalah : 1. Kurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif.2. Turunkan viral load (muatan virus HIV) pada tubuh si ibu hamil melalui pemberian ART (Terapi obat Anti Retroviral).3. Meminimalkan paparan janin/bayi dengan cairan tubuh ibu HIV positif melalui pemilihan cara persalinan yang sesuai (baik kelahiran secara pervaginam ataupun persalinan melalui cara Sectio Caesarean Elektif/SC elektif).4. Optimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif.Dahulu setiap ibu dengan HIV positif pasti akan selalu dianjurkan untuk melahirkan secara SC untuk menghindari resiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Tetapi manfaat SC sendiri dapat terjadi bila yang dilakukan adalah prosedur SC elektif (bayi dilahirkan melalui operasi section caesarean pada saat usia kandungan 38 minggu / belum menunjukkan tanda-tanda kelahiran seperti pecah ketuban) dan apabila SC dilakukan sesudah terjadinya pecah ketuban maka resiko penundaan yang terjadi setiap jamnya akan sama dengan persalinan pervaginam. Dan karena persalinan pervaginam juga memiliki keuntungan tersendiri maka untuk saat ini persalinan pervaginam dapat dilakukan oleh ibu dengan HIV positif asalkan sang ibu memenuhi persyaratan yang dibutuhkan, yaitu: 1. Sebelumnya telah dilakukan konseling kepada ibu dengan HIV positif & pasangan mengenai manfaat serta resiko dari persalinan pervaginam dan persalinan dengan SC elektif.2. Ibu dengan HIV positif selama masa kehamilannya teratur minum ARV, atau3. Muatan virus / viral load tidak terdeteksi pada tubuh ibu dengan HIV positif (untuk pemeriksaan muatan virus ini dianjurkan pada usia kehamilan 36 minggu keatas).Ibu hamil HIV positif perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani persalinan secara operasi seksio sesarea ataupun persalinan normal. Pelaksanaan persalinan, baik secara operasi seksio sesarea maupun persalinan normal, harus memperhatikan kondisi fisik dari ibu hamil HIV positif. Tindakan menolong persalinan ibu hamil HIV positif, baik secara operasi seksio sesarea maupun persalinan normal, mengikuti standar kewaspadaan universal yang biasa berlaku untuk persalinan ibu hamil HIV negatif. Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah memberikan bantuan layanan persalinan gratis kepada ibu hamil HIV positif. Profilaksis untuk sectio caesarian Metronidazol 400 mg secara oral tiga kali sehari selama 5 hari atau supositoria 500mg setiap 12 jam selama tiga hari. Ampisilin 1 g IV di induksi anestesi umum, Cefazolin 1-2 g intravena pada induksi anestesi umum. Ini dapat diulangi setelah post operasi

PASCA MELAHIRKAN Penggunaan syntometrine, jika tidak kontraindikasi dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Perempuan HIV-positif dalam periode pasca-melahirkan harus diawasi secara ketat. Perempuan dengan AIDS atau defisiensi kekebalan yang parah harus diberi antibiotik selama 7-10 hari. Makanan Bayi Pilihan Ibu hamil HIV positif perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui pemberian ASI, ibu HIV positif bisa memberikan susu formula kepada bayinya. Pada daerah tertentu dimana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan AFASS dari WHO (Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe = aman penggunaannya), maka ibu HIV positif dianjurkan memberikan ASI eksklusif hingga maksimal tiga bulan atau lebih pendek jika susu formula memenuhi AFASS sebelum tiga bulan. Setelah usai pemberian ASI eksklusif, bayi hanya diberikan susu formula dan menghentikan pemberian ASI. Sangat tidak direkomendasikan pemberian makanan campuran (mixed feeding) untuk bayi dari ibu HIV positif, yaitu ASI bersamaan dengan susu formula dan makanan/minuman lainnya. Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah menyediakan susu formula generik secara gratis kepada ibu hamil HIV positif jika susu formula memenuhi AFASS. Susu formula generik tersebut disimpan di pusat, dan didistribusikan secara rutin sesuai dengan kebutuhan daerah. Depot di daerah difungsikan untuk menyimpan susu formula. Pengadaan susu formula harus terpusat untuk menjamin ketersediaan susu formula generik dan mencegah terjadinya promosi susu formula terhadap ibu yang HIV negatif.Obat dalam wanita hamil positif HIV setelah melahirkan: Multivitamin tablet 1 dua kali sehari vitamin A 200 000 Ferrous sulfat 1 dua kali sehari Ergometrine 1 tablet dua kali sehari jika perlu Amoxycillin 500 mg tiga kali sehari selama 5-7 hari Metronidazol 400 mg tiga kali sehari Pencegahan penyakit menular seksual dan Keluarga Berencana Diskusikan bentuk-bentuk lain kontrasepsi, termasuk sterilisasi permanen, baik laki-laki (vasektomi) dan perempuan (ligasi tuba). Dianjurkan untuk menyediakan metode penghalang untuk mencegah infeksi kelamin dan kehamilan pada masa depan, setelah konseling komprehensif.

PENGHENTIAN KEHAMILAN Wanita hamil positif HIV yang telah menjalani penghentian kehamilan harus menerima antibiotik. Pengobatan infeksi kelamin yang jelas merupakan wajib sebelum prosedur dilakukan. Rekomendasi Cefazolin 1-2 g intravena pada induksi anestesi umum. Ini dapat diulangi setelah selesai operasi Ampisilin 1 g IV di induksi anestesi umum, Metronidazol 400 mg secara oral tiga kali sehari selama 5 hari atau supositoria 500mg setiap 12 jam selama tiga hari.AIDS Pengertian AIDS atauAcquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh vurus yang disebut HIV. Dalam bahasa Indonesia dapat dialih katakana sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan.Acquired : Didapat, Bukan penyakit keturunanImmune : Sistem kekebalan tubuhDeficiency : KekuranganSyndrome : Kumpulan gejala-gejala penyakit Kerusakan progrwsif pada system kekebalan tubuh menyebabkan ODHA ( orang dengan HIV /AIDS ) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal. AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh factor luar ( bukan dibawa sejak lahir ) AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus ( HIV ). ( Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare ) AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and Prevention )2. EtiologiAIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T.3. PatofisiologiSel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.4. KlasifikasiSejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indicator AIDS (kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap menderita AIDS.a. Kategori Klinis AMencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.2. Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGI : Persistent Generalized Limpanodenophaty )3. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.b. Kategori Klinis BContoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :1. Angiomatosis Baksilaris2. Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap terapi3. Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )4. Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5o C ) atau diare lebih dari 1 bulan.5. Leukoplakial yang berambut6. Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf.7. Idiopatik Trombositopenik Purpura8. Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Variic. Kategori Klinis CContoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :1. Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus2. Kanker serviks inpasif3. Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata4. Kriptokokosis ekstrapulmoner5. Kriptosporidosis internal kronis6. Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )7. Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )8. Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) 9. Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )10. Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner )11. Isoproasis intestinal yang kronis12. Sarkoma Kaposi13. Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak14. Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner15. M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )16. Mycobacterium, spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner17. Pneumonia Pneumocystic Cranii18. Pneumonia Rekuren19. Leukoenselophaty multifokal progresiva20. Septikemia salmonella yang rekuren21. Toksoplamosis otak22. Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV) 5. Gejala Dan TandaPasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikala. infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) Acut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh.b. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejalaDiketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif.c. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan.6. Komplikasia. Oral LesiKarena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.b. Neurologik- kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.- Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.-. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.- Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)c. Gastrointestinal- Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.- Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.- Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.d. RespirasiInfeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.e. DermatologikLesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.f. Sensorik- Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan- Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.7. PenatalaksanaanBelum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :- Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.- Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.- Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.- Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.- Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terpinya yaitu :a. Pengendalian Infeksi OpurtunistikBertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.b. Terapi AZT (Azidotimidin)Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya 3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3c. Terapi Antiviral BaruBeberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah : Didanosine Ribavirin Diedoxycytidine Recombinant CD 4 dapat larutd. Vaksin dan Rekonstruksi VirusUpaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.e. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.f. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).Konsep Dasar Asuhan Keperawatan1. Pengkajian a. Riwayat PenyakitJenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :- Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )Terapi radiasi,defisiensi nutrisi,penuaan,aplasia timik,limpoma,kortikosteroid,globulin anti limfosit,disfungsi timik congenital.- Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)Limfositik leukemia kronis,mieloma,hipogamaglobulemia congenital,protein liosing enteropati (peradangan usus)b. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)- Aktifitas / IstirahatGejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).- SirkulasiGejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.- Integritas dan Ego Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.- EliminasiGejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksiTanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal,perianal,perubahan jumlah,warna,dan karakteristik urine.- Makanan / CairanGejala : Anoreksia, mual muntah, disfagiaTanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema- HygieneGejala : Tidak dapat menyelesaikan AKSTanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.- NeurosensoroGejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.- Nyeri / KenyamananGejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak,pincang.- Pernafasan Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.- KeamananGejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi imun, demam berulang,berkeringat malam.Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.-SeksualitasGejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi,menurunnya libido,penggunaan pil pencegah kehamilan.Tanda : Kehamilan,herpes genetalia- Interaksi SosialGejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,isolasi,kesepian,adanya trauma AIDSTanda : Perubahan interaksi- Penyuluhan / Pembelajaran Gejala : Kegagalan dalam perawatan,prilaku seks beresiko tinggi,penyalahgunaan obat-obatan IV,merokok,alkoholik.c. Pemeriksaan Diagnostika. Tes LaboratoriumTelah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)1. Serologis- Tes antibody serumSkrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa- Tes blot westernMengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)- Sel T limfositPenurunan jumlah total- Sel T4 helperIndikator system imun (jumlah - T8 ( sel supresor sitopatik )Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.- P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV ) )Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi- Kadar IgMeningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal- Reaksi rantai polimeraseMendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.- Tes PHSPembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif2. BudayaHistologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi : parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.3. NeurologisEEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)4. Tes Lainnyaa. Sinar X dadaMenyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lainb. Tes Fungsi PulmonalDeteksi awal pneumonia interstisialc. Skan GalliumAmbilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.d. BiopsisDiagnosa lain dari sarcoma Kaposie. Brankoskopi / pencucian trakeobronkialDilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-parub. Tes AntibodiJika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic.Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :1. Tes Enzym Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.2. Western Blot AssayMengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)3. Indirect ImmunoflouresencePengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.4. Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )Mendeteksi protein dari pada antibody.c. Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24, pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV 1. tapi kadar p24 pada penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari menjadi AIDS.Pemeriksaan ini digunakan dengan tes lainnya untuk mengevaluasi efek anti virus. Pemeriksaan kultur Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau kultur plasma kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes tambahan yang mengukur beban virus ( viral burden )AIDS muncul setelah benteng pertahanan tubuh yaitu sistem kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, dengan runtuhnya/hancurnya sel-sel limfosit T karena kekurangan sel T, maka penderita mudah sekali terserang infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun, yang untuk orang normal tidak berarti. Jadi bukan AIDS nya sendiri yang menyebabkan kematian penderita, melainkan infeksi dan kanker yang dideritanya.HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang mengidap virus tersebut dan terdapat kontak langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk melalui luka atau lecet pada mulut rahim/vagina. Begitu pula virus memasuki aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka/lecet. Hubungan seks melalui anus berisiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga vaginal dan oral. HIV juga dapat ditularkan melalui kontak langsung darah dengan darah, seperti jarum suntik (pecandu obat narkotik suntikan), transfusi darah/produk darah dan ibu hamil ke bayinya saat melahirkan. Tidak ada bukti penularan melalui kontak sehari-hari seperti berjabat tangan, mencium, gels bekas dipakai penderita, handuk atau melalui closet umum, karena virus ini sangat rapuh.Masa inkubasi/masa laten sangat tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel T4 semakin menururn. Semakin rendah jumlah sel T4, semakin rusak sistem kekebalan tubuh.Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah dalam keadaan parah, seseorang yang mengidap HIV/AIDS akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS.