hiv bacteriovaginosis

72
PORTOFOLIO MEDIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL H I V Disusun Oleh : dr. Arevia Mega Diduta Utami Pembimbing : dr. Dika Isnaini PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA Angkatan I Tahun 2015

Upload: areviamd

Post on 10-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

HIV

TRANSCRIPT

Page 1: HIV Bacteriovaginosis

PORTOFOLIO

MEDIK

INFEKSI MENULAR SEKSUAL

H I V

Disusun Oleh :

dr. Arevia Mega Diduta Utami

Pembimbing :

dr. Dika Isnaini

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

Angkatan I Tahun 2015

PERIODE FEBRUARI 2015 – FEBRUARI 2016

PUSKESMAS KECAMATAN TAMBORA

JAKARTA BARAT

2015

Page 2: HIV Bacteriovaginosis

LEMBAR PENGESAHAN

PORTOFOLIO

INFEKSI MENULAR SEKSUALINFEKSI MENULAR SEKSUAL

HIVHIV

Oleh :Oleh :

dr. Arevia Mega Diduta Utami

Disusun sebagai salah satu syarat dalamDisusun sebagai salah satu syarat dalam

Program Internsip Dokter IndonesiaProgram Internsip Dokter Indonesia

Periode Februari 2015- Februari 2016Periode Februari 2015- Februari 2016

PUSKESMAS KECAMATAN TAMBORA

Jakarta Barat

2015

Dokter PendampingDokter Pendamping

dr.Dika Isnaini dr.Dika Isnaini

Page 3: HIV Bacteriovaginosis

BAB I

PENDAHULUAN

AIDS pertama kali dikenal di Amerika saat musim panas 1981, saat U.S. Centers for

Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan timbulnya pneumonia yang disebabkan

oleh Pneumocystis jiroveci (P. carinii) pada lima pasien laki-laki homoseksual yang pada

awalnya sehat di Los Angeles dan sarkoma Kaposi dengan atau tanpa pneumonia P. jiroveci

pada 26 laki-laki homoseksual yang pada awalnya sehat di New York dan Los Angeles.

Penyakit ini kemudian ditemukan pada laki-laki maupun perempuan pemakai narkoba jenis

suntikan; pada pasien hemofilia dan penerima transfusi darah; pada perempuan yang

merupakan pasangan dari laki-laki dengan AIDS; pada bayi-bayi yang lahir dari ibu dengan

AIDS atau dengan riwayat pemakaian obat suntikan.1

Pada tahun1983, virus human immunodeficiency virus (HIV) telah diisolasi dari

seorang pasien dengan limfadenopati. Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc

Montagnier, yang pada waktu itu diberi nama LAV (lymphadenopathy virus), sedangkan

Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan

HTLV-III. Pada tahun 1985, pemeriksaan yang sensitif, enzyme-linked immunosorbent assay

(ELISA), telah berkembang; hal ini menyebabkan apresiasi pada bidang dan evolusi dari

epidemik HIV di Amerika dan negara-negara maju lainnya dan pada akhirnya pada negara-

negara berkembang di seluruh dunia. 1,2

Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan pada

tahun1987, yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu, telah

ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan

diagnosis AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang, menyatakan positif. Hanya, hasil tes

Western Blot, yang pada saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif sehingga

tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret

1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemophilia dan termasuk jenis non-

progressor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa

pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di

RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002. 1

Intervensi dini, terapi baru, dan strategi yang inovatif untuk mencegah infeksi

sekunder telah menurunkan morbiditas dan meningkatkan kelangsungan hidup secara

signifikan. Dengan perubahan penatalaksanaan yang lebih ke arah pasien, dokter umum

Page 4: HIV Bacteriovaginosis

memiliki peran yang lebih dalam perawatan secara komprehensif pada pasien dengan infeksi

HIV; dokter umum bertanggung jawab dalam diagnosis awal, konseling, pencegahan

penyebaran, inisiasi obat antiviral dan terapi profilaksis, penatalaksanaan infeksi sekunder,

penentuan kebutuhan akan rawat inap, dan pemberian terapi suportif pada penyakit yang

sudah memasuki tahap lanjut. Dalam hal ini dokter umum memerlukan pengetahuan tentang

perilaku yang berisiko terkena HIV, manifetasi penyakit tersebut, teknik laboratorium, terapi

saat ini, dan strategi profilaksis. Direkomendasikan untuk para ahli untuk ikut serta dalam

perawatan pasien dengan infeksi HIV. Hal ini dapat dilakukan oleh dokter umum yang

memiliki pengetahuan lebih atau oleh konsultan pakar dalam bidang ini.3

Page 5: HIV Bacteriovaginosis

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN 

Nama   : Ny. MA

Umur     : 18 tahun

Jenis kelamin  : Perempuan

Alamat    : Jl. Angke Jaya Rt 04/06

Agama    : Islam

Pekerjaan   : Ibu Rumah Tangga

Tanggal MRS  : 07 Agustus 2015

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama  : 

Keputihan sejak 2 Minggu sebelum datang ke Poli Cintta Puskesmas

Kecamatan Tambora

2. Riwayat Perjalanan Penyakit :

Pasien datang dengan keluhan utama keputihan sejak 2 minggu

sebelum datang ke poli Cintta Puskesmas Kecamatan Tambora. Keputihan

dirasakan bersamaan dengan gatal di daerah kemaluan. Riwayat keputihan

sebelumnya tidak pernah dirasakan.

Pasien sudah berobat 1 minggu yang lalu ke dokter umum di

puskesmas kelurahan dan diberikan obat selama 1 minggu namun tidak

dirasakan adanya perubahan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat keputihan sebelumnya (-), Riwayat DM (-) Riwayat HIV dan sifilis (-)

diperiksakan ketika hamil (saat ini usia anak 8 bulan)

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada riwayat penyakit keluarga , HIV (-), sifilis (-)

5. Riwayat Kegiatan Seksual dan Penggunaan Jarum Suntik :

Pasangan seksual hanya satu, seorang pria, suami pasien. Hubungan sex terakhir 7

hari yang lalu, pasien jarang menggunakan kondom. Pasien tidak pernah

menggunakan narkoba dan memakai jarum suntik.

Page 6: HIV Bacteriovaginosis

C. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran  : Compos mentis

A. Tanda Vital: 

TD : 110/70 mmHg

N : 80 x/menit 

R : 20 x/menit

T : 36.8 C    

B. Pemeriksaan Fisik Umum

a. Kepala-leher

Kepala    : Normocephal, deformitas (-)

Mata   : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor

ka-ki, reflek cahaya (+/+)

Leher   : pembesaran KGB (-), massa (-)

b. Thorax-Cardiovascular

 Inspeksi  : bentuk dada simetris, retraksi (-), sela iga dalam batas

normal

Palpasi   : vocal fremitus (+) normal, iktus cordis (+)

 Perkusi  : Jantung : Pekak

Paru : Sonor

Auskultasi  : Jantung : BJI-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

c. Abdomen

Inspeksi  : distensi (-),  darm countour (-), darm steifung (-), jejas

(-)

Auskultasi  : Bising usus (-)

Perkusi  : Hipertimpani  di seluruh lapang abdomen

Palpasi   : Defans muskular (+), nyeri tekan di seluruh abdomen (+)

d. Ekstremitas

Superior   : Edema (-/-), akral hangat

Inferior : Edema (-/-), akral hangat

Page 7: HIV Bacteriovaginosis

C. Pemeriksaan Genital

Vagina tampak kemerahan , Secret (+) berwarna keputihan agak berbau (+).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Laboratorium Darah 07 Agustus 2015

Test HIV1 Reaktif Reagen 1

Test HIV2 Reaktif Reagen 2

Test HIV3 Reaktif Reagen 3

TPHA Negatif

- Test Duh Tubuh Vaginal 07 Agustus 2015

PMN Serviks Positif

Diplokokus intrasel Negatif

T.Vaginalis Negatif

Kandida Negatif

Clue Cells Positif

E. DIAGNOSIS BANDING

- Bacterial Vaginosis

- HIV

- Tricomonas Vaginalis

- Gonorhea

- Kandida

- Herpes Genitalis

F. DIAGNOSIS KERJA

- Bacterial Vaginosis

- HIV

G. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana Bacterial Vaginosis

Cefixime 400 mg SD PO

Azitromisin 1 gr PO SD

Metronidazol 2x500 mg PO 14 Hari

Page 8: HIV Bacteriovaginosis

Tatalaksana HIV

Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap

Hasil pemeriksaan tanggal 11 Agustus 2015

Hb : 12,2 gr/dl

Leukosit : 7900 ul

LED : 50 mm/jam

Eritrosit : 4.6 juta/ul

Thrombosit : 240.000 /ul

Hematokrit : 34.2 %

Hitung Jenis

Basofil : 0 %

Eosinofil : 0%

Batang : 5 %

Segmen : 57 %

Monosit : 36 %

Plasmosit : 2%

Pemeriksaan Fungsi Ginjal dan Hati

SGOT : 13 u/l

SGPT : 14 u/l

` Ureum : error

Creatinin : 1.0

Pemilihan Regimen ARV : Zidovudine (AZT) 2x1 tab

Lamivudin (3TC) 2x1 tab

Nevirapin (NVP) 2x1 tab

H. PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia Ad Bonam

Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam

Ad Fuctionam : Dubia Ad Bonam

Page 9: HIV Bacteriovaginosis

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

HIV /AIDS

2.1 DEFINISI

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen etiologik dari AIDS. Virus

tersebut termasuk ke dalam famili retrovirus yang menyerang manusia (Retroviridae) dan

subfamili lentivirus. Keempat retrovirus yang telah diketahui dapat menyebabkan penyakit

pada manusia dibedakan dalam dua grup: human T lymphotropic viruses (HTLV)-I and

HTLV-II, serta HIV-1 dan HIV-2. Baik HIV-1 maupun HIV-2 dapat menyebabkan AIDS.

Namun HIV-1 banyak ditemukan di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 terutama ditemukan

pada Afrika Barat.2,4

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, dapat diartikan

sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh

akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir

dari infeksi HIV. Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan

HIV/AIDS) lebih dianjurkan agar pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi, sebagai subjek

dan tidak dianggap sebagai sekedar objek, sebagai pasien.1

2.2 EPIDEMIOLOGI

Infeksi HIV merupakan kejadian pandemik. Infeksi tersebut telah menjadi penyebab

utama kematian secara infeksius, dimana posisi sebelumnya ditempati oleh infeksi

tuberkulosis. Dalam tahun 2006, telah diestimasikan 2,9 juta orang meninggal akibat AIDS di

seluruh dunia. Sejak 1985 sampai 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di

Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual.

Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun

1999 mulai terlihat peningkatan tajan yang terutama disebabkan akibat penularan melalui

narkotika suntik.1,3

Page 10: HIV Bacteriovaginosis

Gambar 1. Infeksi HIV di seluruh dunia tahun 2006.5

Situasi Masalah HIV-AIDS di Indonesia Tahun 1987-Juni 2012

Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan Juni 2012, kasus HIV-AIDS

tersebar di 378 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia. Provinsi

pertama kali ditemukan adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali (1987), sedangkan

yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV (2011) adalah Provinsi Sulawesi Barat.6

1. Kasus HIV

a. Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 859

kasus, tahun 2006 (7.195 kasus), tahun 2007 (6.048 kasus), tahun 2008

(10.362 kasus), tahun 2009 (9.793 kasus), tahun 2010 (21.591 kasus), tahun

2011 (21.031 kasus), Januari-Juni 2012 (10.138 kasus). Jumlah kumulatif

kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2012 sebanyak 86.762 kasus.

b. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (21.030 kasus), diikuti Jawa

Timur (11.282 kasus), Papua (8.611 kasus), Jawa Barat (6.315 kasus) dan

Sumatera Utara (5.629 kasus).6

Page 11: HIV Bacteriovaginosis

Gambar 2. Grafik Laporan Surveillan AIDS Depkes RI.

2. Kasus AIDS

a. Sampai dengan tahun 2004 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak

2.682 kasus, tahun 2005 (2.639 kasus), tahun 2006 (2.873 kasus), tahun 2007

(2.947 kasus), tahun 2008 (4.969 kasus), tahun 2009 (3.863 kasus), tahun 2010

(5.744 kasus) dan tahun 2011 (4.162 kasus), Januari-Juni 2012 (2.224 kasus).

Jumlah kumulatif kasus AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Juni 2012

sebanyak 32.103 kasus.

b. Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun

(41,5%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,8%), 40-49 tahun

(11,6%), 15-19 (4,1%), dan 50-59 tahun (3,7%).

c. Persentase kasus AIDS pada laki-laki sebanyak 70% dan perempuan 29%.

d. Jumlah kasus AIDS tertinggi adalah pada wiraswasta (3.733 kasus), diikuti ibu

rumah tangga (3.368 kasus), tenaga non- profesional (karyawan) (3.220

kasus), petani/peternak/nelayan (1.169 kasus), buruh kasar (1.137), anak

sekolah/mahasiswa (944 kasus), dan penjaja seks (776).

e. Jumlah kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta (5.118), Papua

(4.865), Jawa Timur (4.664), Jawa Barat (4.043), Bali (2.775), Jawa Tengah

(1.948 kasus), Kalimantan Barat (1.358 kasus), Sulawesi Selatan (999 kasus),

Riau (731 kasus), dan DIY (712 kasus).

f. Angka kematian (CFR) menurun dari 2,4% pada tahun 2011 menjadi 0,9%

pada Juni tahun 2012.6

Page 12: HIV Bacteriovaginosis

3. Jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan

Juni 2012, yaitu sebanyak 27.175 orang. Sebanyak 96% (26.004 orang) dewasa dan

4% (1.171 orang) anak. Sedangkan pemakaian rejimennya adalah 95,5% (25.939

orang) menggunakan Lini 1 dan 4,5% (1.236 orang) menggunakan Lini 2.6

2.3 ETIOLOGI

HIV merupakan satu dari dua human T-cell lymphotropic retrovirus yang utama.

(human T-cell leukemia virus -HTCLV- adalah retrovirus utama lainnya). Dikenal dua tipe

HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun

1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat.4,7

Gambar 3. (Green WC: Mechanisms of Disease: The Molecular Biology of Human Immunodeficiency Virus Type I Infection. NEJM 1991, Vol. 324, No. 5, p. 309. Copyright © 1991 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) 4

Virus tersebut akan menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4), dan

menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan memiliki probabilitas yang besar untuk

terjadinya infeksi oportunistik. Sel-sel lain, seperti makrofag dan monosit, yang memiliki

protein CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi oleh HIV.4

HIV termasuk dalam golongan retrovirus dengan subgroup lentivirus, yang dapat

menyebabkan infeksi secara “lambat” dengan masa inkubasi yang panjang. HIV memiliki

bentuk inti seperti batang (tipe D) yang dibungkus oleh selubung (envelope) yang terdiri dari

glikoprotein spesifik, yaitu gp120 dan gp41. (Lihat Gambar 3 dan Gambar 4).4

Page 13: HIV Bacteriovaginosis

Gambar 4. (Human immunodeficiency virus—Electron micrograph. Panah yang panjang menunjukkan virion matur yang baru saja keluar dari limfosit yang terinfeksi di bagian bawah gambar. Panah yang pendek (pada bagian kiri bawah) menunjukkan beberapa virion baru di dalam sitoplasma yang akan menjadi tunas pada membran sel host. Provider: CDC/Dr. A. Harrison, Dr. P. Feirino, and Dr. E. Palmer.)4

Genom HIV terdiri dari dua molekul RNA untai tunggal yang identikal dan diploid.

Genom HIV merupakan genom yang paling kompleks bila dibandingkan dengan retrovirus-

retrovirus lainnya. Selain memiliki tiga buah gen yang mengkode protein struktural yaitu

gag, pol dan env, genom RNA HIV juga memililki enam gen regulator. (Tabel 1). Dua dari

enam gen reguator ini, tat dan rev, dibutuhkan untuk replikasi virus, sedangkan empat gen

lainnya, nef, vif, vpr, and vpu, tidak dibutuhkan dalam replikasi HIV, dan dapat dikatakan

sebagai gen asesoris.4

Tabel 1. Gen dan Protein HIV-Human Immunodeficiency Virus

Gen Protein yang dikode oleh Gen

Fungsi Protein

I. Gen Struktural yang Ditemukan dalam semua Retrovirus

gag p24, p7 Nucleocapsid

  p17 Matrix

pol Reverse Transkripsi RNA ke bentuk DNA

Page 14: HIV Bacteriovaginosis

transcriptase

  Protease Memecah polipeptida prekursor

  Integrase Mengintegrasikan DNA virus ke dalam DNA sel host

env gp120 Penempelan ke protein CD4

  gp41 Fusi terhadap sel host

II. Gen Regulator yang Ditemukan pada HIV yang Dibutuhkan dalam Proses Replikasi

tat Tat Sebagai aktivasi dalam proses transkripsi gen virus

rev Rev Mentransport mRNAs fase akhir dari nukleus ke sitoplasma

III. Gen Regulator yang Ditemukan pada HIV yang Tidak Dibutuhkan dalam Proses Replikasi (Gen Asesoris)

nef Nef Menurunkan protein CD4 dan protein MHC kelas I pada permukaan sel yang terinfeksi; menurunkan kemampuan sel T sitotoksik untuk membunuh sel yang telah terinfeksi HIV

vif Vif Menambah infektifitas dengan cara menginhibisi aksi dari APOBEC3G, suatu enzim yang menyebabkan hipermutasi dalam DNA retroviral.

vpr Vpr Mentrasport inti virus (core) dari sitoplasma ke dalam nukleus pada sel-sel yang tidak sedang membelah diri

vpu Vpu Menyebabkan virion dapat terlepas dari sel host

Gen gag mengkode protein “inti” bagian dalam, yang merupakan protein terpenting

yaitu p24, yang juga merupakan suatu antigen dalam tes serologik HIV. Gen pol mengkode

beberapa protein, termasuk untuk enzim reverse transkriptase yang mensintesa DNA

menggunakan genom RNA sebagai template; enzim integrase mengintegrasikan DNA virus

ke dalam DNA sel host; enzim protease berfungsi untuk memecah beberapa protein

prekursor virus. Gen env mengkode gp160, suatu glikoprotein yang dipecah untuk

menghasilkan dua selubung glikoprotein permukaan, gp120 dan gp41.3

Page 15: HIV Bacteriovaginosis

Gambar 5. (B) Struktur HIV-1, Copyright by George V. Kelvin). (Adapted from RC Gallo: Sci Am 256:46, 1987.)1

Gambar 6. (C) Hasil scan mikrograf electron virion HIV-1 menginfeksi limfosit T CD4+. Magnifikasi 8000x (Courtesy of Elizabeth R. Fischer, Rocky Mountain Laboratories, National Institute of Allergy and Infectious Diseases; with permission.)1

2.4 CARA PENULARAN

HIV dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam darah, dan

transmisi maternal. Transmisi melalui kontak seksual dapat secara oral, vaginal, dan anal,

sedangkan transmisi melalui darah, dapat melalui transfusi darah, kecelakaan jarum suntik,

serta pemakaian jarum suntik secara bergantian, untuk transmisi maternal dapat terjadi

melalui plasenta, saat proses kelahiran, atau melalui ASI. Telah diperkirakan 50% dari infeksi

neonatal timbul saat proses kelahiran, dan sisanya tidak jauh berbeda antara transmisi

transplasental maupun melalui ASI. 2, 3, 4, 8

Infeksi dapat terjadi baik akibat transfer sel yang terinfeksi HIV maupun virus HIV

yang bebas. Walaupun ditemukan virus HIV dalam jumlah yang sedikit dalam cairan tubuh

yang lain, seperti air liur dan air mata, tidak ada bukti bahwa hal tersebut berperan dalam

infeksi. Secara umum, transmisi mengikuti pola infeksi hepatitis B, kecuali bahwa infeksi

HIV kurang efisien dalam hal transfer, misalnya dosis yang dibutuhkan untuk terjadinya

infeksi HIV lebih banyak dibandingkan untuk infeksi hepatitis B. Infeksi mikroorganisme

seperti Treponema pallidum and herpes simplex virus merupaka ulserasi genital yang penting

terkait transmisi virus HIV. Selain itu, patogen yang bertanggung jawab sebagai PMS yang

nonulseratif seperti Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan Trichomonas

Page 16: HIV Bacteriovaginosis

vaginalis juga terkait dengan risiko yang meningkat dalam transmisi infeksi HIV. Vaginosis

bakterial, suatu infeksi yang terkait perlakuan seksual, namun bukan suatu PMS, juga dapat

dihubungkan dengan risiko yang meningkat dalam risiko terjadinya infeksi HIV. Laki-laki

yang tidak disunat memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi HIV dibanding laki-laki

yang telah disunat. 1, 4

Gambar 7. Probabilitas transmisi HIV per coitus, perbandingan antara host dengan PMS yang ulseratif dan host tanpa PMS yang ulseratif.1

Cara penularan yang jarang namun dapat terjadi termasuk melalui luka akibat tusukan

jarum yang tidak disengaja, inseminasi artifisial dengan semen yang terinfeksi HIV,

transplantasi organ dengan organ yang terinfeksi HIV. Bank darah dan program donor organ

akan menskrining pendonor, baik darah, maupun jaringan untuk mencegah risiko terjadinya

infeksi. Transmisi HIV melalui transfusi darah telah menurun secara drastis dengan adanya

skrining darah yang akan didonasi akan adanya antibodi terhadap HIV. Di lain pihak,

terdapat periode jendela (window period) pada saat infeksi awal HIV dimana darah dari orang

yang terinfeksi telah mengandung virus HIV namun tidak dapat terdeteksi dengan tes

antibodi. Bank darah kini melakukan tes antigen p24 untuk mendeteksi darah yang

mengandung HIV. 4, 8

Infeksi HIV tidak menular melalui kontak kasual seperti berpelukan, gigitan nyamuk,

participasi dalam olahraga, barang-barang yang telah disentuh oleh individu yang telah

terinfeksi HIV. Individu dengan risiko besar terinfeksi HIV termasuk pemakai obat suntik

secara bergantian, bayi yang lahir dari ibu dengan HIV dan tidak mendapatkan terapi HIV

selama kehamilan, individu yang melakukan hubungan seks tanpa pelindung (terutama

Page 17: HIV Bacteriovaginosis

dengan individu yang memiliki kebiasaan yang berisiko tinggi, atau yang positif HIV, atau

memiliki riwayat AIDS), mendapat transfusi darah atau produk pembekuan darah antara

tahun1977 dan 1985 (sebelum screening virus menjadi standar pemeriksaan), memiliki

pasangan seksual yang berpartisipasi dalam aktivitas yang berisiko tinggi (seperti memakai

narkoba jenis suntikan, atau seks anal). 8

2.5 PATOFISIOLOGI

Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama, sel

dendritik (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV. DC

bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) dan mempresentasikan HIV ke sel limfosit

CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T naive. Hal ini terjadi karena DC

mengekspresikan molekul major histocompability complex (MHC) klas I, MHC klas II, dan

molekul kostimulator lain pada permukaannya. Setelah HIV tertangkap, DC akan menuju

kelenjar limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T naive. Di samping

mengangkut HIV ke kelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel limfosit CD4, dengan

demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel limfosit Th.5

Gambar 8. Kejadian awal infeksi HIV (Adapted from Haase, 2005.)1

Replikasi virus HIV yang terjadi secara cepat berkaitan dengan mutasi yang

berkontribusi dalam ketidakmampuan antibodi tubuh untuk menetralisasi virus dalam satu

waktu secara bersamaan. Analisis yang ekstensif mengenai isolasi HIV sekuensial dan respon

Page 18: HIV Bacteriovaginosis

host telah mendemonstrasikan bahwa kemampuan virus untuk lolos dari epitop sel B dan sel

T CD8+ timbul di awal segera setelah infeksi dan menyebabkan virus satu langkah lebih baik

dibandingkan dengan imun respon yang efektif sekalipun. Selain itu, kloning sel limfosit T

sitotoksik yang memperbanyak diri selama infeksi primer HIV, yang diperkirakan menjadi

respon imun yang sangat efektif dalam mengeliminasi virus HIV ternyata tidak dapat

dideteksi lagi setelah ekspansinya yang pertama. Hal ini diperkirakan akibat terjadi disfungsi

dan penghilangan kloning tersebut yang disebabkan oleh replikasi virus yang persisten dan

kelelahan respon sel limfosit T sitotoksik yang sama dengan penelitian pada infeksi virus

limfositik koriomeningitis (LCMV). Mekanisme lain yang berkontribusi dalam pengaruh

HIV terhadap kontrol merusak protein MHC kelas I pada permukaan sel yang terinfeksi

menggunakan protein Nef pada virus HIV, sehingga menurunkan kemampuan sel limfosit

sitotoksik untuk mengenali dan membunuh sel target yang terinfeksi virus HIV. Prinsip target

antibodi dalam menetralisasi HIV adalah protein gp120 dan gp41 pada selubung (envelope)

virus HIV. Namun HIV memiliki sedikitnya tiga mekanisme untuk melawan respon

netralisasi tersebut, yaitu: hipervariabilitas dari pola selubung primer, glikosilasi selubung

secara ekstensif, dan pemalsuan epitop yang akan dinetralisasi.1, 4

Siklus Replikasi HIV

Replikasi HIV mengikuti siklus retroviral pada umumnya (Gambar 9). Langkah awal

dari masuknya virus HIV ke dalam sel host adalah pentautan gp120 dari protein selubung

virion dengan protein CD4 pada permukaan sel host. Kemudian protein gp120 virion

berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel, suatu reseptor kemokin. Langkah

selanjutnya adalah protein gp41 virion akan bertindak sebagai perantara dalam penyatuan

(fusi) dari selubung virus (envelope) dengan membran sel host. Kemudian virion akan masuk

kedalam sel.4

Page 19: HIV Bacteriovaginosis

Gambar 9. Siklus Replikasi HIV. Diperlihatkan letak tempat kerja obat antiretroviral. (Modified and reproduced, with permission, from Ryan K et al: Sherris Medical Microbiology, 3rd ed. Originally published by Appleton & Lange. Copyright © 1994 by The McGraw-Hill Companies.)

Reseptor kemokin seperti protein CXCR4 dan CCR5 dibutuhkan dalam proses

masuknya HIV ke dalam sel yang memiliki protein CD4. Virus HIV dengan strain yang sel-

T-tropik bertautan dengan reseptor CXCR4, sedangkan HIV dengan strain yang makrofag-

tropik bertautan dengan reseptor CCR5. Mutasi pada pengkodean gen CCR5 dapat

menyebabkan seorang individu memiliki proteksi tersendiri terhadap infeksi HIV. Individu

yang memiliki mutasi gen tersebut secara homozigot secara lengkap resisten terhadap infeksi

HIV, sedangkan individu yang memiliki mutasi gen tersebut secara heterozigot akan

mengalami progresivitas penyakit yang lebih lambat dibanding yang tidak memiliki mutasi

gen tersebut.Sekitar 1% masyarakat Eropa Barat memiliki mutasi gen tersebut secara

homozigot dan sekitar 10-15% secara heterozigot. Setelah terlepas dari selubungnya

(uncoating), enzim virion yaitu, DNA polymerase, mentranskripsi genom RNA virus menjadi

DNA untai ganda (double-stranded), yang kemudian diintegrasikan ke dalam DNA sel host.

DNA virus dapat berintegrasi di beberapa tempat pada DNA sel host, dan beberapa hasil

pengkopian DNA virus pun dapat melakukan hal yang sama. Integrasi virus tersebut

diperantarai oleh enzim integrase (virus-encoded endonuclease). mRNA virus yang telah

Page 20: HIV Bacteriovaginosis

ditranskripsi dari DNA virus menggunakan RNA polimerase sel host kemudian ditranslasikan

untuk menghasilkan beberapa poliprotein berukuran besar. Poliprotein Gag dan Pol kemudian

dipecah menggunakan enzim protease virus, sedangkan poliprotein Env dipecah

menggunakan protease sel host. Poliprotein gag dipecah untuk membentuk protein inti (p24),

protein di matrix (p17), dan beberapa protein yang berukuran lebih kecil. Poliprotein pol

dipecah untuk membentuk enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease. Virion yang

belum matang (immature) mengandung protein prekursor yang dibentuk di sitoplasma sel

host, dipecah menggunakan enzim protease virus. Kemudian virion yang belum matang

tersebut akan timbul sebagai tunas pada membran sel host. Proses inilah yang pada akhirnya

menghasilkan virion infeksius yang matang (mature).1, 4

2.7 PERKEMBANGAN KLINIS

Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar dapat

dibagi menjadi empat fase: (a) infeksi HIV primer, (b) infeksi asimtomatik, (c) infeksi

simtomatik, dengan ekslusi AIDS, dan (d) AIDS. Kecepatan progresi dari penyakit ini

bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tergantung pada faktor virus

dan faktor host.3

Gambar 10. Perjalanan penyakit dari infeksi HIV. (From Weiss RA: How Does HIV Cause AIDS? Science 1993; 260:1273. Reprinted with permission from AAAS.)4

Page 21: HIV Bacteriovaginosis

Fase Infeksi Primer

Fase pertama dari penyakit ini terjadi secara singkat dan terdiri dari sindroma yang

menyerupai infeksi mononucleosis. Fase ini terjadi selama 1 sampai 4 minggu setelah

transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa gejala seperti demam, berkeringat, letargi,

malaise, myalgia, arthralgia, sakit kepala, photopobia, diare, sariawan, limfadenopati, dan lesi

mucopapular pada ekstremitas. Gejala-gejala tersebut timbul secara mendadak dan hilang

dalam waktu 3 sampai 14 hari. Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10 sampai ke-

14 infeksi, dan kebanyakan akan mengalami serokonversi setelah infeksi minggu ke 3 sampai

4. Perhatikan ketidakmampuan untuk deteksi antibodi saat waktu tersebut bisa menyebabkan

tes serologik yang "false-negative". Hal tersebut memiliki implikasi yang penting karena HIV

bisa bertransmisi selama periode ini.3,4

Fase Seropositif yang Asimtomatik

Fase kedua dari infeksi HIV ini merupakan fase yang paling lama terjadi

dibandingkan dengan 4 fase lainnya, dan paling bervariasi antar masing-masing individu.

Tanpa pengobatan, fase ini biasanya terjadi sekitar 4 sampai 8 tahun. Walaupun pasien dalam

keadaan asimtomatik dan viremia terjadi dalam tingkat rendah atau hampir tidak ada, jumlah

yang besar dari HIV telah diproduksi di limfe nodus, namun tetap berada di dalam limfe

nodus. Hal ini mengindikasikan bahwa selama periode laten secara klinis ini, virus HIV

sendiri tidak memasuki fase laten. 3,4

Gambar 11. Perjalanan penyakit infeksi HIV, penurunan CD4, dan infeksi oportunistik serta

keganasan. (James Gita Hakim. Sount Sudan Medical Journal)

Fase Seropositive yang Simtomatik

Page 22: HIV Bacteriovaginosis

Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik pertama dari disfungsi

sistem imun. Limfadenopati persisten generalisata kadang merupakan tanda awal fase ini.

Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari-jari, dan mulut sering kali muncul. Pada wanita,

sering timbul keputihan akibat jamur dan infeksi trikomonas. Oral hairy leukoplakia

merupakan gejala yang paling sering terlewatkan pada infeksi HIV dan sering ditemukan

pada lidah. Gejala konstusional seperti keringat malam, penurunan berat badan, dan diare

sering terjadi. Tanpa pengobatan, durasi dari fase ini berkisar antara 1 sampai 3 tahun.3

Gambar 12. Oral hairy leukoplakia (human immunodeficiency virus and aids the course of the disease. Richard Hunt. University of South Carolina, School of Medicine)

Fase Acquired Immunodeficiency Syndrome - AIDS

Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Supresi ini memicu

perkembangan infeksi oportunistik dan keganasan yang tidak biasa. Gejala pulmoner,

gastrointestinal, neurologik, dan sistemik merupakan gejala yang biasa terjadi.3

2.8 MANIFESTASI KLINIS7

Terdiri dari empat stadium klinis:

Stadium klinis penyakit HIV pada individu dewasa dan remaja menurut WHO

Page 23: HIV Bacteriovaginosis

(Sumber: Revised WHO clinical staging and immunological classification of HIV and case definition of HIV for surveillance. 2006.)

2.9 DIAGNOSIS HIV

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis

infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk

mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan

virus HIV.2

Infeksi HIV

Page 24: HIV Bacteriovaginosis

Badan CDC (Centers for Disease and Prevention) telah membuat kriteria untuk infeksi HIV

pada pasien dengan usia lebih dari 18 bulan, yaitu:

Hasil positif dari tes skrining antibodi HIV, (seperti Immunoassay Enzim Reaktif

yang berulang), diikuti dengan hasil positif dari tes konfirmasi antibodi HIV (seperti

Western blot atau Tes antibodi imunoflourecence), atau

Hasil positif atau laporan dari jumlah yang dapat dideteksi dari salah satu tes

virologik (non-antibodi) berikut ini: deteksi asam nukleat HIV, DNA atau RNA, yaitu

DNA Polymerase Chain Reaction [PCR] atau konsentrasi RNA HIV dalam plasma;

tes antigen HIV p24, termasuk Assay neutralisasi; dan isolasi HIV (kultur virus).3,1

Gambar 13. Sindroma HIV akut. (Adapted from G Pantaleo et al: N Engl J Med 328:327,

1993. Copyright 1993 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.)1

AIDS

Pada tahun 1993, CDC telah membuat kriteria dari definisi AIDS, yaitu:

Hitung limfosit-T CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 dan bukti laboratorium dari infeksi

HIV, atau

Adanya penyakit indikator AIDS (candidiasis dari esophagus, trachea, bronchus, atau

paru; keganasan cervix yang invasif; coccidiomycosis ekstrapulmoner;

cryptococcosis ekstrapulmoner; cryptosporidiosis dengan diare dalam waktu lebih

dari 1 bulan; infeksi cytomegalovirus dari beberapa organ selain hati, limpa, or

limfonodus; infeksi herpes simplex dengan ulcus mucocutaneous dalam waktu lebih

Page 25: HIV Bacteriovaginosis

dari 1 bulan atau bronchitis, pneumonitis, or esophagitis; histoplasmosis

ekstrapulmoner; dementia terkait HIV; HIV-associated wasting; isosporiasis dengan

diare lebih dari 1 bulan; Sarcoma Kaposi pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun;

Mycobacterium avium disseminata; intra dan ekstrapulmoner; Pneumocystis jiroveci

pneumonia; Pneumonia bakterial yang rekuren; multifocal leukoencephalopathy yang

progresif; Salmonella septicemia (nontyphoid) yang rekuren; and toxoplasmosis)

disertai bukti laboratorium dari infeksi HIV.3,9

Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan

konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi sejelas-jelasnya

mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya

serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk memberitahu hasil tes juga

diperlukan konseling pasca tes, baik hasil positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan

diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara

pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk

memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.2,9

2.10 PENATALAKSANAAN

Prinsip Terapi

Komponen mayor dari therapy HIV ialah vaksinasi, anti ARV, profilaksis dan

pengobatan infeksi oportunistik & konseling. Masing – masing memiliki pesan yang sangat

penting untuk memperbaiki kualitas hidup & mengurangi penderitaan.3

Vaksinasi pada pasien HIV

Pasien dewasa dengan HIV seropositif (terutama jika hitung CD4 lebih dari 200

sel/mm3) sebaiknya divaksinasi sedapat mungkin. Namun, perhatian harus ditujukan saat

mempertimbangkan pemakaian vasksin virus hidup, karena kemungkinan pasien sudah

mengalami penurunan imun (imunocompromised). Semua individu sebaiknya mendapat

vaksin polisakarida pneumococal, vaksin influenza (tiap tahun), dan vaksin hepatitis B (jika

antibodinya negatif). Vaksin hepatitis A sebaiknya diberikan pada pasien dengan hepatitis

kronis dengan antibodi terhadap hepatitis A negatif, penyuka sesama jenis yang antibodi

hepatitis A negatif, bila ingin ke daerah endemik hepatitis A, dan pada pasien dengan

penyakit hati kronik. Sebagai tambahan, booster tetanus-difteria sebaiknya diberikan jika

pasien belum pernah mendapatkan booster tersebut dalam 10 tahun terakhir. Imunogenisitas

Page 26: HIV Bacteriovaginosis

dari vaksin yang diberikan pada pasien HIV masih diragukankan efeknya, terutama pada

pasien dengan hitung CD4 kurang dari 200sel/mm3. Sebagai konsekuensinya, vaksinasi

sebaiknya diberikan secepat mungkin setelah infeksi HIV terjadi.3

Pemilihan Regimen Awal

Obat ARV terdiri beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase

inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase

inhibitor, dan inhibitor protease. 3

Table 2 U.S. Food and Drug Administration–Approved Antiretrovirals by ClassNucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase InhibitorsAbacavir (ABC)Didanosine (ddI)Emtricitabine (FTC)Lamivudine (3TC)Stavudine (d4T)Tenofovir (TDF)ZalcitabineZidovudine/Azidothymidine (ZDV/AZT)Combivir (zidovudine + lamivudine)Epzicom (abacavir + lamivudine)Trizivir (zidovudine + lamivudine + abacavir)Truvada (tenofovir + emtricitabine)

Nonnucleoside Reverse Transcriptase InhibitorsDelavirdineEfavirenz (EFV)Nevirapine (NVP)

Protease InhibitorsAmprenavirAtazanavir/ritonavir (ATV/r)Darunavir (DRV)Fosamprenavir/ritonavir (fos-APV/r)Indinavir (IDV)Lopinavir/ritonavir (LPV/r)Nelfinavir (NFV)RitonavirSaquinavir (SQV/r)Tipranavir

Fusion InhibitorEnfuvirtide

Entry Inhibitor

Page 27: HIV Bacteriovaginosis

Maraviroc

Integrase InhibitorRaltegravir (RAL)

Cross-Class CombinationsAtripla (efavirenz/tenofovir/emtricitabine)

Tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia. Saat ini regimen pengobatan

ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen

yang dapat dipergunakan, dengan keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi

obat ARV lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin

(ZDV)/lamivudin(3TC), dengan nevirapin (NVP).2

Tabel 3. Obat ARV yang beredar di Indonesia2

Nama dagang Generik Golongan Sediaan Dosis

Duviral Tablet, kandungan: zidovudin 300 mg, lamivudin 150 mg

2 x 1 tablet

Stavir, Zerit Stavudin (d4T)

NsRTI Kapsul: 30 mg, 40 mg

>60 kg: 2x40 mg

<60 kg: 2x30 mg

Hiviral, 3TC Lamivudin (3TC)

NsRTI Tablet 150 mg 2x150 mg

Viramun, Neviral

Nevirapin (NVP)

NNRTI Tablet 200 mg 1x200 mg selama 14 hari, dilanjutkan 2x200 mg

Retrovir, Adovi Zidovudin (ZDV/ AZT)

NsRTI Kapsul 100 mg 2x300 mg

Avirzid, Videx Didanosin (ddI)

NsRTI Tablet kunyah 100 mg

>60 kg: 2x200 mg

<60 kg: 2x125 mg

Stocrin Efavirenz (EFV,EFZ)

NNRTI Kapsul 200 mg 1x600 mg, malam

Nelvex, Viracept

Nelfinavir (NFV)

PI Tablet 250 mg 2 x 1250 mg

Page 28: HIV Bacteriovaginosis

Pemilihan harus berdasarkan tujuan penurunan dan pengaturan konsentrasi HIV RNA

dalam plasma sampai ke tingkat yang serendah mungkin. Hal ini dilakukan untuk menampik

timbulnya perkembangan resistensi virus, pengobatan yang gagal dan progresifitas penyakit.

Satu hal yang harus diingat bahwa makin tinggi konsentrasi HIV RNA dalam plasma saat

terapi dimulai, makin poten obat antiretroviral yang harus diberikan untuk mensupresinya.3

Dalam pemberian terapi obat antiretroviral pada tiap-tiap pasien per individu,

beberapa faktor membutuhkan pertimbangan, termasuk toksisitas obat yang saling

memperberat, interaksi farmakokinetik, absensi dari resistensi silang, dan pola obat yang

menentukan pemilihan obat antiretroviral di masa mendatang. Dalam Tabel 2 disebutkan

obat-obatan yang telah disetujui oleh badan FDA di Amerika sebagai pengobatan untuk

infeksi HIV. Terapi inisial yang paling sering dilakukan penelitian adalah regimen tiga obat

termasuk 2 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) ditambah 1

Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) atau 1 Protease Inhibitor (PI). 3, 4

Pengobatan awal menggunakan sistem regimen tiga obat saat ini telah

direkomendasikan oleh petunjuk konsensus mayor (seperti dari U.S. Department of Health

and Human Services and the International AIDS Society-USA) termasuk 2 analog nukleosida

(biasanya diperkuat dengan ritonavir dosis rendah) dan 1 NNRTI.3

Jika penyakit pasien tersebut telah memasuki tahap lanjut atau konsentrasi HIV RNA

dalam plasma sangat meningkat, disarankan untuk menggunakan sebuah regimen yang sangat

aktif, setidaknya 1 protease inhibitor atau efavirenz. Nevirapine, delavirdine, dan efavirenz,

jika dipakai sebagai bagian dari regimen inisial, harus dipakai dalam kombinasi yang akan

menurunkan konsentrasi HIV RNA dalam plasma hingga dibawah deteksi. Resistensi

terhadap obat-obatan ini berkembang dengan cepat jika replikasi virus yang signifikan terjadi

selama penggunaannya.3

Terapi antiretroviral sebaiknya dipertimbangkan pada pasien AIDS, dengan hitung

CD4 kurang dari 350 sel/mm3, atau hitung CD4 yang setara dengan 14%, dan (b) tanpa

memperhatikan hitung CD4: pasien HIV yang sedang hamil, pasien HIV dengan nefropathy

terkait-HIV, atau pasien HIV yang juga menderita hepatitis B. Untuk individu yang tidak

menderita penyakit indikator AIDS dan memiliki hitung CD4 absolut lebih dari 350 sel/mm3,

pengobatan ARV diberikan pada kasus-kasus tertentu. Pada pasien asimtomatik dengan

limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml, terapi ARV

dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien

dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.

Page 29: HIV Bacteriovaginosis

Jika pengobatan ditunda, pasien harus dipantau secara teliti dengan reevaluasi dari

konsentrasi HIV RNA dalam plasma dan hitung CD4 setiap 3 bulan.2, 3, 9

Tabel 5. Kriteria WHO untuk Inisiasi ARV dalam populasi spesifik9

Populasi target Kondisi Klinis Rekomendasi

Individu asimtomatik

v(termasuk ibu hamil)

WHO stadium klinis 1 Mulai ARV jika CD4 ≤350

Individu simtomatik

(termasuk ibu hamil)

WHO stadium klinis 2 Mulai ARV jika CD4 ≤350

WHO stadium klinis 3 atau 4 Mulai ARV tanpa memperhatikan hitung

CD4

Saat terapi antiretroviral mulai diberikan, perhatian harus ditujukan pada kepatuhan

penderita dalam pengobatan. Hal ini akan menjadi masalah yang sulit diatasi jika pasien

merasa sehat sebelum inisiasi terapi diberikan. Masalah akan menjadi lebih sering timbul

akibat efek samping pemberian obat antiretroviral. Individu yang akan diberikan terapi

antiretroviral harus mengerti bahwa kepatuhan pengobatan adalah suatu hal yang esensial

agar tercapai keberhasilan pengobatan.3,9

Tabel 6. Terapi antiretroviral yang diberikan untuk inisiasi

Populasi target Guideline WHO 2010 (revisi)

Dewasa dan remaja

yang terinfeksi HIV

dan belum pernah

diterapi ARV

(AZT atau TDF) + 3TC atau FTC + (EFV atau NVP)

Pemakaian stavudine (d4T) sebaiknya dihentikan akibat toksisitasnya.

HIV+ ibu hamil AZT + 3TC + (EFV or NVP)

Disarankan: AZT namun dapat juga dipakai TDF

EFV termasuk sebagai pilihan NNRTI (tapi jangan pakai EFV selama trimester

pertama)

Keuntungan NVP sesuai dengan risikonya saat hitung CD4 250−350 sel/mm3

Terapi Antiretroviral selanjutnya dan Penggatian Regimen

Penggantian terapi ARV diperlukan saat terjadi gagal terapi atau intoksikasi obat. Saat

mempertimbangkan penggantian ARV, membedakan antara gagal terapi dan intoksikasi obat

merupakan suatu hal yang penting. Terkadang pasien meminta penghentian terapi sementara.3

Page 30: HIV Bacteriovaginosis

Tabel 7. Berdasarkan Guideline WHO 2010 (Revision)9

Kapan harus

dimulai

Semua pasien remaja dan dewasa, termasuk ibu hamil, dengan infeksi HIV

dan hitung CD4 ≤350 sel/mm3 sebaiknya mulai minum obat ARV tanpa

melihat ada tidaknya gejala klinis. Bagi pasien yang sudah memiliki gejala

klinis stadium 3 dan 4, sebaiknya mulai minum obat ARV tanpa melihat

jumlah hitung CD4.

Obat apa yang

dipakai sebagai

terapi lini pertama

Terapi ARV lini pertama harus mengandung 1 NNRTI + 2 NRTI, salah satunya harus

zidovudine (AZT) atau tenofovir (TDF). Negara harus mengambil langkah cepat dengan

secara progresif menurunkan pemakaian stavudine (d4T) sebagai regimen lini pertama

karena toksisitasnya yang sudah dikenali.

Apa yang harus

dipakai sebagai

terapi lini kedua

Terapi ARV lini kedua harus mengandung suatu ritonavir-boosted protease inhibitor (PI)

ditambah dua NRTI, salah satunya harus AZT atau TDF, berdasarkan dengan apa yang

dipakai sebagai terapi lini pertama. Ritonavir-boosted atazanavir (ATV/r) atau

lopinavir/ritonavir (LPV/r) adalah PI yang terpilih.

Pemantauan

laboratorium

Semua pasien harus memiliki akses ke tempat tes hitung CD4 guna mengoptimalkan pre-

ARV dan manajemen ARV. Tes hitung HIV RNA (viral-load) direkomendasikan untuk

konfirmasi adanya gagal pengobatan. Monitor toksisitas obat sebaiknya berdasarkan

pemeriksaan langsung terhadap gejala dan tanda yang ada pada pasien.

Kegagalan Pengobatan

Kegagalan terapi terjadi saat viral load secara signifikan meningkat atau gagal

mencapai target penurunan, saat hitung CD4 menurun secara signifikan, atau saat progresi

secara klinis terjadi. Jika suatu regimen baru gagal untuk mencapai penurunan viral load 3

sampai 6 kali lipat dalam waktu kurang dari 4 minggu, atau 10 kali lipat dalam 8 minggu

pengobatan, maka penggantian terapi harus dipertimbangkan. Jika suatu regimen berhasil

mencapai target pengobatan dalam target 4 minggu da 8 minggu namun gagal dalam

mensupresi viral load hingga level yang tidak dapat dideteksi dalam 4 sampai 6 bulan, maka

harus dilakukan reevaluasi yang teliti terhadap regimen pengobatan yang telah dipakai.2,3

Kegagalan dapat terjadi oleh beberapa akibat, yaitu resistensi virus terhadap satu atau

lebih ARV, perubahan dalam penyerapan atau metabolisme dari satu atau lebih ARV,

perubahan dalam farmakokinetik ARV akibat interaksi obat, dan ketidakpatuhan pasien

terhadap pengobatan. Sebelum penggantian terapi antiretroviral dilakukan, penting untuk

diketahui penyebab dari kegagalan terapi regimen tersebut.3

Page 31: HIV Bacteriovaginosis

Resistensi obat

Pada saat terjadi gagal pengobatan akibat resistensi, mengetahui riwayat ARV yang

sedang atau pernah digunakan secara detail merupakan hal penting yang harus dilakukan.

Dalam situasi seperti ini, ARV dengan tingkat resistensi yang paling rendah sebaiknya

dipakai. Setidaknya dua atau tiga jenis ARV yang baru digunakan setelah evaluasi. 3

Berdasarkan kriteria WHO 2010(revisi) tentang Penggantian Regimen ARV9

1. Saat tersedia, gunakan viral load (VL) untuk konfirmasi kegagalan pengobatan

2. Saat tersedia secara rutin, gunakan VL setiap 6 bulan sekali untuk mendeteksi replikasi

virus

3. VL>5000 kopi/ml dan persisten menandakan adanya kegagalan pengobata

4. Saat VL tidak tersedia, gunakan kriteria imunologis untuk konfirmasi kegagalan

pengobatan.3

Tabel 8. Kriteria penggantian ARV9

Failure Definition Comments

Kegagalan obat dinilai secara

klinis

Kondisi stadium 4 kriteria

WHO

Kondisi harus dibedakan

dengan immune reconstitution

inflammatory syndrome (IRIS)

Beberapa kondisi stadium klinis 3

WHO (seperti TB paru, infeksi

bakterial yang berat), dapat

menandakan kegagalan

pengobatan.

Kegagalan obat dinilai secara

imunologis

Penurunan hitung CD4 ke

nilai dasar (atau di

bawahnya), ATAU

Penurunan 50% dari nilai

tertinggi, ATAU

Hitung CD4 di bawah 100

sel/mm3 yang persisten

Tanpa infeksi konkominan

yang menyebabkan

penurunan CD4 yang

transien.

Kegagalan obat dinilai secara

virologis

Nilai viral load dalam plasma

di atas 5000 kopi/ml

Batas viral load optimal

untuk menjelaskan

Page 32: HIV Bacteriovaginosis

kegagalan secara virologis

belum ditentukan. Nilai

>5000 kopi/ml berhubungan

dengan progresi klinis dan

penurunan dalam hitung

CD4.

Strategi viral load yang berhubungan dengan kegagalan obat dan penggantian obat9

Tabel 9. Rekomendasi terapi obat antiretroviral lini kedua9

Populasi target Guideline WHO 2010 (revisi) tentang terapi ARV lini kedua

HIV pada dewasa

dan remaja

Jika menggunakan d4T atau AZT pada lini

pertama

TDF + (3TC atau FTC) + (ATV/r atau

LPV/r)

Jika menggunakan TDF pada lini pertama AZT + (3TC atau FTC) + (ATV/r atau

LPV/r)

HIV pada ibu hamil Menggunakan regimen yang sama seperti untuk pasien dewasa dan remaja

Toksikasi Obat

Saat toksikasi obat merupakan pertimbangan dalam penggantian regimen, hal yang

perlu dilakukan adalah dengan mensubstitusi satu atau lebih ARV dari kelas yang sama,

potensiasi yang sama dengan obat yang sedang dipakai, namun dengan efek samping yang

berbeda.3,9

Interupsi Pengobatan (Penghentian Pengobatan Sementara)

Efek ikutan dari obat, biaya pengobatan, dan kebutuhan akan compliance sering kali

menjadi penyebab pasien menginginkan interupsi pengobatan, terutama bila hal tersebut

terjadi secara berulang. Pasien lainnya bahkan biasa menghentikan pengobatan tanpa

meminta persetujuan untuk melakukannya. Penelitian secara random atas efek dari interupsi

Curiga kegagalan secara klinis atau imunologisTes viral load

VL>5,000 kopi/mlPengobatan dgn kepatuhan

Ulang penilaian VLVL ≤ 5,000 kopi/mlJangan ganti ke lini

keduaVL > 5,000 kopi/mlGanti ke lini kedua

Page 33: HIV Bacteriovaginosis

pengobatan pada pasien dengan hitung CD4 kurang dari 350 sel/mm3 dan memulai

pengobatan kembali hanya bila ia memiliki hitung CD4 dibawah 250 sel/mm3 menunjukkan

peningkatan secara signifikan terhadap risiko kematian dan infeksi oportunistik, tanpa

penurunan risiko efek ikutan pengobatan. “Libur pengobatan” dapat dipertimbangkan, namun

risiko tersebut harus dapat dimengerti dengan jelas oleh pasien, dan interupsi pengobatan

sebaiknya dihindarkan.3

Tabel 10. Pemantauan Terapi ARV pada Pasien yang memiliki risiko tinggi untuk

kejadian ikutan9

Obat ARV Toksisitas mayor Situasi yang berisiko tinggi

d4T Lipodistrofi

Neuropathy

Asidosis Laktat

Usia >40 tahun

Hitung CD4 <200 cells/mm3

BMI >25 (atau berat badan >75kg)

Bersamaan dengan pemakaian INH atau dd

AZT Anemia

Neutropenia

Hitung CD4 <200 cells/mm3

BMI <18.5 (or berat badan <50 kg)

Anemia pada garis batas

TDF Disfungsi renal Penyakit ginjal yang menyertai

Usia >40 tahun

BMI <18.5 (atau berat badan <50 kg)

Diabetes mellitus

Hipertensi

Bersamaan dengan pemakaian bPI atau obat-obatan nefrotoksik

EFV Teratogenik Kehamilan trimester pertama jangan menggunakan EFV

Penyakit Psikiatrik Depresi atau penyakit psikiatrik (baik yang sebelumnya sudah

ada atau yang mendasari)

NVP Hepatotoksik Ko-infeksi dengan infeksi HCV dan HBV

Tabel 11. Toksisitas dan Substitusi obat yang direkomendasikan9

Obat ARV Toksisitas yang terkait dengan pemakaian

ARV

Subsitusi yang disarankan

TDF Asthenia, sakit kepala, diare,

mual, muntah, buang angin terus-menerus

Jika digunakan sebagai terapi

lini pertama: AZT (atau d4T

Page 34: HIV Bacteriovaginosis

Insufisiensi renal, sindrom Fanconi

Osteomalacia

Penurunan densitas mineral tulang

Hepatitis eksasebasi akut dapat terjadi pada pasien

hepatitis B yang tidak melanjutkan pengobatan

dengan TDF

jika tidak ada pilihan lain)

Jika digunakan sebagai terapi

lini kedua

Dalam tujuan kesehatan

publik, tidak ada pilihan lain

Jika pasien gagal dalam

pengobatan lini pertama

dengan AZT/d4T

Jika memungkinkan,

pertimbangkan perawatan yang

lebih baik, dimana terapi

individualisasi tersedia

AZT Supresi sumsum tulang:

anemia makrositik atau neutropenia

Intolerensi gastrointestinal,

Sakit kepala, insomnia, asthenia

Pigmentasi kulit dan kuku

Asidosis laktat dengan steatosis hepatik steatosis

Jika digunakan dalam terapi lini

pertama: TDF (atau d4T jika tidak ada

pilihan lain)

Jika digunakan dalam terapi lini

kedua: d4T

EFV Reaksi Hipersensitivitas

Sindroma Stevens-Johnson

Gatal-gatal

Hepatotoksik

Toksisitas terhadap SSP yang persisten dan berat

(depresi, kebingungan)

Hiperlipidemia

Ginecomastia pada laki-laki

Potensi teratogenik (trimester pertama kehamilan atau

perempuan yang tidak menggunakan kontrasepsi)

NVP

bPI jika intoleran terhadap kedua

NNRTI

Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain

NVP Reaksi Hipersensitivitas

Sindroma Stevens-Johnson

Gatal-gatal

Hepatotoksik

Hiperlipidemia

EFV

bPI jika intoleran terhadap kedua

NNRTI

Tiga NRTI jika tidak ada pilihan

lain

ATV/r Hiperbilirubinemia indirek LPV/r

Page 35: HIV Bacteriovaginosis

Ikterik secara klinis

PR interval memanjang — derajat pertama

simtomatik AV blok pada beberapa pasien

Hiperglikemia

Maldistribusi lemak

Kemungkinan peningkatan episode pendarahan pada

pasien dengan hemofilia

Nephrolithiasis

LPV/r Intolerensi GI mual, muntah, diare

Asthenia

Hiperlipidemia (terutama hipertrigliceridemia)

Transaminase serum meningkat

Hiperglikemia

Maldistribusi lemak

Kemungkinan peningkatan episode pendarahan pada

pasien dengan hemofilia

PR interval memanjang

QT interval memanjang and torsade

de pointes

ATV/r

Tabel 12. Kejadian ikutan terkait-ARV dan Rekomendasi9

Kejadian ikutan ARV lini pertama Mayor Rekomendasi

Dyslipidaemia All NRTIs

(particularly

d4T)

EFV

Consider replacing the

suspected ARV

Anemia dan

Neutropaenia

AZT Jika berat (Hb <7.0 g/dl

dan/atau ANC <750 cells/

mm3), ganti dengan sebuah

ARV tanpa/dengan efek

samping ke arah toksisitas

sumsum tulang

Page 36: HIV Bacteriovaginosis

(seperti d4T or TDF) dan

primbangan transfusi darah

Hepatitis Semua ARV

(biasanya NVP)

Jika ALT lebih dari 5 level

batas

Hentikan ART dan monitor

Setelah resolusi mulai

kembali ART, ulang ARV,

ganti obat kausatif, (seperti .

EFV mengganti NVP).

Asidosis laktat Semua NRTI

(biasanya

d4T)

Hentikan ARV dan beri

terapi suportif. Setelah

resolusi, resume ART dengan

TDF.

Lipoatrophy and

Lipodystrophy

Semua NRTI

(biasanya

d4T)

Penggantian awal dari ARV

yang dicurigai sebagai

penyebab (seperti d4T untuk

TDF atau AZT)

Perubahan neuropsikiatrik EFV Biasanya hilang sendiri tanpa

penghentian ARV.

Jika tidak dapat ditoleransi

oleh pasien, ganti EFV

dengan NVP atau bPI.

Substitusi tunggal disarankan

tanpa penghentian ARV.

Toksisitas renal (disfungsi

tubular renal)

TDF Pertimbangkan penggantian

dengan AZT

Neuropathy perifer d4T Ganti d4T dengan AZT,

TDF. Pengobatan simtomatik

(amitriptyline,

vitamin B6).

Situasi Spesial

Page 37: HIV Bacteriovaginosis

Terdapat beberapa situasi yang warrant komen spesifik dengan perhatian pada

penggunaan terapi ARV, yaitu: Infeksi primer, profilaksis pasca terpajan (postexposure

prophylaxis), dan transmisi perinatal.3

Infeksi HIV Primer

Infeksi primer dapat memperlihatkan kemungkinan secara signifikan dari perubahan

perjalanan penyakit HIV pada individu yang telah terinfeksi. Perbaikan sementara dari viral

load dan hitung CD4 telah dilaporkan saat terapi ARV diberikan selama fase infeksi primer,

namun data-data tersebut sangat terbatas. Beberapa ahli merekomendasikan terapi ARV

untuk semua pasien yang menunjukkan bukti infeksi primer dalam pemeriksaan laboratorium

(telah terdeteksi HIV RNA dalam plasma dengan hasil tes antibodi HIV yang negatif atau

yang tidak dapat ditentukan). Jika percobaan klinis untuk infeksi akut tidak tersedia atau

ditolak oleh pasien, suatu regimen dapat dipilih dari opsi yang tersedia untuk mengobati

infeksi yang timbul.3,4

Profilaksis Pasca Pajanan (Postexposure Prophylaxis-PEP)

Penggunaan ARV sebagai pencegahan transmisi yang disebabkan oleh pajanan-berisiko-

tinggi dibedakan menjadi dua pilihan, yaitu: pajanan akibat pekerjaan dan pajanan setelah

aktivitas yang berisiko tinggi. (Tabel 13 dan 14)3

PEP tidak diindikasikan pada situasi:

Jika orang tersebut telah terbukti positif terinfeksi HIV sebelum terkena pajanan

Pada pajanan yang kronis

Jika pajanan tersebut tidak menunjukkan transmisi, yaitu:

- Pajanan kulit intak dengan cairan tubuh yang berpotensial infeksius

- Hubungan seksual menggunakan kondom yang masil intak

- Pajanan terhadap cairan tubuh yang non-infeksius (seperti air liur, keringat, urin,

feses)

- Pajanan terhadap cairan tubuh dari individu yang telah diketahui HIV negatif,

kecuali individu tersebut berisiko tinggi baru terkena infeksi sehingga ada

kemungkinan sedang dalam masa jendela (window period); dan

Jika pajanan telah terjadi selama lebih dari 72 jam.10

Indikasi PEP Pajanan terjadi dalam ≤72 jam

Page 38: HIV Bacteriovaginosis

Individu yang terpajan tidak mengetahui apakah sudah

terinfeksi HIV sebelumnya

Pajanan yang signifikan (mukosa meimbran atau kulit

yang tidak intak terpajan dengan cairan tubuh yang

berpotensi infeksius)

Individu yang berperan sebagai sumber pajanan

memang telah terinfeksi HIV atau tidak diketahui status

HIV individu tersebut

Informed consent sebelum

pemberian PEP

Informasi tentang risiko dan manfaat ARV

Consent secara verbal

Obat yang dipakai 2 NRTI (biasanya memakai bagian dari lini pertama)

Disarankan: AZT+3TC

Alternatif: TDF+3TC atau d4T+3TC

Tambahkan bPI jika terdapat resistensi:

Disarankan: AZT+3TC+LPV/r

Alternatif:

AZT+3TC+ATV/r atau SQV/r atau fos-APV/r

TDF+3TC+ATV/r atau SQV/r atau fos-APV/r

d4T+3TC+ATV/r atau SQV/r atau fos-APV/r

Waktu inisiasi Dosis inisial dari ARV harus diberikan secepat mungkin

dan tidak lebih dari 72 jam pasca pajanan

Durasi terapi 28 hari

Test HIV dengan informed

consent serta konseling pre

serta post tes sehubungan

dengan protokol

Tes HIV dasar pada individu yang terpajan

Follow up tes HIV 3-6 bulan setelh pajanan

Page 39: HIV Bacteriovaginosis

Tes HIV berulang untuk individu sumber jika

memungkinkan dan berdasarkan informed consent dan

prosedur operasi

Evaluasi laboratorium

tambahan

Tes kehamilan

Hemoglobin (untuk regimen yang menggunakan

zidovudin)

Skrining hepatitis B dan C jika tersedia dan berdasarkan

prevalensi penyakit tersebut

Konseling Untuk kepatuhan, efek samping, pengurangan risiko,

trauma atau masalah kesehatan mental, dan dukungan

sosial dan keamanan

Follow up klinis Menangani dan mengatur efek samping pengobatan

Menangani dan mendukung kepatuhan.10

Tabel 13. Rekomendasi Profilaksis Pasca Pajanan (Post Exposure Prophylaxis–PEP)

Tipe

Pajana

n

HIV Positif

Kelas 1 (a)

HIV positif

Kelas 2 (a)

Sumber dari status

HIV tidak diketahui

(b)

Sumber yang tidak

diketahui (c)

HIV

negative

Kurang

berat

(d)

Direkomendasi

kan 2 obat PEP

dasar

Direkomendasi

kan ≥3 obat

PEP yang di

perluas

Secara umum, tidak

dibutuhkan PEP,

namun

dipertimbangkan 2

obat PEP (e) dasar

untuk sumber yang

memiliki faktor

risiko HIV (f)

Secara umum tidak

dibutuhkan PEP,

namun

dipertimbangkan 2

PEP (e) dimana

pajanan sepertinya

bersumber dari

individu yang

terinfeksi HIV

Tidak

dibutuh

kan PEP

Lebih Direkomendasi Direkomendasi Secara umum, tidak Secara umum tidak Tidak

Page 40: HIV Bacteriovaginosis

Berat

(g)

kan 3 obat PEP

dasar

kan ≥3 obat

PEP yang di

perluas

dibutuhkan PEP,

namun

dipertimbangkan 2

obat PEP (e) dasar

untuk sumber yang

memiliki faktor

risiko HIV (f)

dibutuhkan PEP,

namun

dipertimbangkan 2

PEP (e) dimana

pajanan sepertinya

bersumber dari

individu yang

terinfeksi HIV

dibutuh

kan PEP

(a) HIV positif kelas 1 : Infeksi HIV asimptomatik atau telah diketahui viral load yang

rendah. (c/<1500 rna kopi/mL)

HIV positive kelas 2 : Infeksi HIV simtomatik, AIDS , atau viral load yang diketahui

tinggi. Jika resistensi obat adalah suatu pertimbangan, diperlukan konsul. Inisiasi dari

PEP jangan di tunda untuk menunggu hasil konsul, karena konsultasi kepada para ahli

sendiri tidak dapat menggantikan konseling secara tatap muka, sebaiknya ada dokter

untuk evaluasi langsung dan follow up untuk setiap pajanan.

(b) Sebagai contoh: Sumber yang tidak bisa didapatkan sample untuk tes HIV

(c) Sebagai contoh: Jarum dari kemasan sekali pakai yang tajam

(d) Sebagai contoh: Luka superfisial

(e) Rekomendasi “ pertimbangkan PEP” mengindikasikan bahwa PEP adalah suatu

pilihan. Keputusan untuk inisiasi PEP harus berdasarkan diskusi antara pasien yang

terpajan dan dokter yang merawat tentang resiko dan manfaat dari PEP.

(f) Jika PEP dianjurkan kemudian dilakukan tes HIV dan hasilnya negatif, PEP

sebaiknya dihentikan.

(g) Sebagai contoh, jarum besar, pungsi dalam, transfusi darah, atau jarum yang

digunakan pada arteri atau vena pasien.

Tabel 14. Rekomendasi Profilaksis Pasca Pajanan (PEP) HIV untuk pajanan membran

mukosa dan pajanan kulit non-intak

Status Sumber Infeksi

Tipe

Pajanan

HIV Positif

Kelas 1 (a)

HIV Positiv

Kelas 2 (a)

Sumber dengan

Status HIV tidak

Sumber yang

tidak diketahui

HIV

Page 41: HIV Bacteriovaginosis

diketahui (b) (c) negatif

Volume

Sedikit

(d)

Pertimbangkan

2 Obat PEP

dasar (e)

Direkomenda

-

sikan 2 obat

PEP dasar

Secara umum

tidak dibutuhkan

PEP (f)

Secara umum

tidak butuh PEP

Tidak

butuh

PEP

Volume

Besar (g)

Direkomenda-

sikan 2 obat

PEP dasar

Direkomenda

-

sikan >=3

obat PEP

yang

diperluas

Secara umum,

tidak dibutuhkan

PEP, namun

dipertimbangkan

2 obat PEP (e)

dasar untuk

sumber yang

memiliki faktor

risiko HIV (f)

Secara umum

tidak butuh PEP,

namun di

pertimbangkan 2

obat PEP dasar

dimana pajanan

sepertinya

bersumber dari

individu yang

terinfeksi HIV

Tidak

butuh

PEP

Untuk Pajanan Kulit, follow – up di indikasikan hanya jika terbukti adanya integritas kulit

terkompromised (seperti: dermatitis, abrasi, atau luka terbuka)

(a) HIV positif kelas 1 : Infeksi HIV asimtomatik atau viral load yang rendah (c/: RNA

1500kopi/mL)

HIV positif kelas 2 : Infeksi HIV simtomatik , AIDS, atau viral load yang tinggi. Jika

resistensi obat merupakan sebuah pertimbangan, lakukan konsul pada yang lebih ahli.

Inisiasi PEP tidak boleh ditunda selama konsul dilakukan, karena konsul ahli sendiri

tidak bisa menggantikan konseling secara tatap muka, sebaiknya ada dokter untuk

evaluasi langsung dan follow up untuk setiap pajanan.

(b) Sebagai contoh : Sumber yang tidak bisa didapatkan sample untuk tes HIV

(c) Sebagai contoh : cipratan dari darah yang sumbernya tidak diketahui

(d) Sebagai contoh : beberapa tetes

(e) Rekomendasi “ pertimbangkan PEP”mengindikasikan bahwa PEP adalah suatu

pilihan. Keputusan untuk inisiasi PEP harus berdasarkan diskusi antara pasien yang

terpajan dan dokter yang merawat tentang resiko dan manfaat dari PEP.

Page 42: HIV Bacteriovaginosis

(f) Jika diberikan PEP kemudian dilakukan tes HIV dan hasilnya negatif, PEP sebaiknya

dihentikan.

(g) Sebagai contoh, tumpahan darah yang banyak

Pajanan Okupasional (Pekerjaan)

Dalam ketidakadaan data penelitian yang definitif, keputusan untuk penggunaan

profilaksis ARV harus dilakukan secara individual dan dibahas dengan pasien. Saat konseling

dengan pasien, harus pasien harus mengetahui tingkat keparahan pajanan, serokonversi yang

sangat rendah resikonya, fakta bahwa terapi tersebut tidak memberikan proteksi yang

absolut, insidens tinggi dari efek samping obat, dan kebutuhan akan follow up yang cukup

sering .3,4,9

Pajanan seksual yang beresiko tinggi & pajanan Non-okupasional lainnya.

Profilaksis ARV untuk pajanan seks yang beresiko tinggi, pemakaian obat suntikan &

pajanan non-okupasional lainnya telah diteliti. Petunjuk CDC merekomendasikan untuk tidak

memakai PEP saat resiko pajanan dapat diabaikan atau saat durasi dari waktu terjadinya

pajanan lebih dari 72 jam, pada kasus dimana sumber pasien telah diketahui positif, durasi

dari waktu terjadinya pajanan kurang dari 72 jam, resiko pajanan tidak dapat diabaikan, terapi

ARV sangat direkomendasikan. Jika pengobatan telah diberikan, durasi pemberiannya

sebaiknya selama 4 minggu. Regimen yang di rekomendasikan untuk nPEP adalah hampir

sama dengan rekomendasi regimen untuk pengobatan yang spesifik infeksi HIV pada

umumnya, walaupun tidak ada bukti yang mengindikasikan bahwa ARV spesifik manapun

atau kombinasi dari medikasi dapat secara optimal berperan sebagai nPEP.3,9

Pencegahan Transmisi Perinatal (Prevention of Mother-To-Child Transmission (of HIV-

PMTCT)

Zidovudine & nevirapine telah menunjukan penurunan yang signifikan terhadap

kecenderungan transmisi HIV dalam latar belakang periratal. Tidak ada ARV lain yang telah

di demonstrasikan untuk menurunkan kecenderungan transmisi HIV secara vertical. Oleh

karena itu, sebisa mungkin, zidovudine dan atau nevirapine disarankan untuk dimasukkan ke

dalam komponen regimen ARV yang digunakan selama kehamilan. Harus diperhatikan

bahwa nevirapine sering dihubungkan dengan kenaikan resiko dari hepatotoksik pada wanita

dengan hitung CD4 < 250 sel/mm3 pre nevirapine sehingga, pada wanita yang memiliki

hitung CD4 > 250 sel/ mm3 dan belum pernah mengkonsumsi nevirapine, sebaiknya tidak

Page 43: HIV Bacteriovaginosis

diberikan nevirapine sebagai komponen dari inisiasi regimen kombinasi dalam sebagian besar

permasalahan.2, 3, 4

Efavirenz harus dihindari selama kehamilan terutama saat trimester pertama

dikarenakan efek teratogeniknya. Didanosine & stavudine sebaiknya tidak dipakai sebagai

kombinasi selama kehamilan karena meningkatkan resiko asidosis laktat dengan steatosis

hepatik dan atau pankreatitis setelah penggunaan yang lama. Dikarenakan laporan terakhir

tentang hasil hubungan yang berpotensiasi toksik, ethyl methanesulfanate, yang di temukan

pada nelfinavir, direkomendasikan bahwa nelfinavir tidak digunakan pada wanita hamil atau

wanita yang sedang mengantisipasi konsepsi. Dengan pertimbangan ini, regimen yang dipilih

untuk mengatasi infeksi HIV pada orang dewasa & remaja harus di aplikasikan guna

mencegah transmisi perinatal.2,3,4,9

Dalam pembuatan rekomendasi ini, terapi ARV dan strategi PMTCT terbukti dapat

lebih memperbaiki progonis kesehatan ibu dan bayi dan dapat mencegah transmisi virus HIV

dari ibu ke anak.1,2,3,4,9

Table 11. Rekomendasi regimen ARV untuk wanita dengan pajanan PMTCT9

Pemakaian ARV sebelumnya untuk PMTCT Rekomendasi untuk inisiasi ARV saat diperlukan

terapi HIV untuk kesehatan ibu

sdNVP (+/- antepartum AZT) tanpa tambahan

AZT/3TC dalam 12 bulan terakhir

Inisiasi sebuah non-NNRTI regimen, PI lebih

disarankan dibanding 3 NRTI

sdNVP (+/- antepartum AZT) dengan tambahan

AZT/3TC dalam 12 bulan terakhir

Inisiasi sebuah NNRTI regimen

Jika memungkinkan, cek viral load saat bulan ke-6

Dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV lini

kedua dengan PI

sdNVP (+/- antepartum AZT) dengan atau tanpa

tambahan AZT/3TC lebih dari 12 bulan sebelumnya

Inisiasi sebuah NNRTI regimen

Jika memungkinkan, cek viral load saat bulan ke-6

Dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV lini

kedua dengan PI

Option A4

Antepartum hanya AZT (dari masa ≤14 minggu

gestasi)

sdNVP saat onset kehamilan

AZT + 3TC saat kehamilan dan melahirkan

Inisiasi sebuah NNRTI regimen

Jika memungkinkan, cek viral load saat bulan ke-6

Dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV lini

kedua dengan PI

Jika tidak ada sdNVP yang diberikan, mulai standar

NNRTI (viral load tidak harus dicek kecuali secara

Page 44: HIV Bacteriovaginosis

Tambahan AZT + 3TC untuk 7 hari postpartum

* sd-NVP dan AZT + 3TC dapat dihentikan bila ibu

telah mendapatkan AZT > 4 minggu antepartum

klinis ada indikasi seperti bila tidak mendapat

sdNVP)

Semua regimen triple ARV (termasuk Option B),

tanpa memperhatikan waktu pajanan dan waktu

pajanan sejak awal

Option B

Triple ARV dari 14 minggu gestasi sampai

pemberian ASI dihentikan

AZT + 3TC + LPV/r

AZT + 3TC + ABC

AZT + 3TC + EFV

TDF + [3TC atau FTC] + EFV

Inisiasi standar NNRTI regimen

Jika triple ARV dengan dasar EFV digunakan untuk

profilaksis dan tidak ada tambahan (AZT + 3TC;

atau TDF + 3TC; atau TDF + FTC) yang diberikan

saat triple ARV dihentikan setelah penghentian ASI

(atau melahirkan jika memakai susu formula), cek

viral load saat bulan ke-6

dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV line kedua

dengan PI

2.11 PENCEGAHAN DAN EDUKASI

Edukasi dan dukungan terhadap pasien

Seperti pada penyakit – penyakit kronis lainnya, pemahaman akan adanya jaringan

pendukung pasien & membantu pasien untuk mengembangkan dukungan tambahan akan

menjadi sangat penting. Sering kali sangat membantu jika pasien- pasien dapat saling

menyatu membentuk kelompok untuk saling berbagi pengalaman & pertimbangan. Hal ini

dapat membantu meminimalisir isolasi, kesendirian, & ketakutan.3

Depresi merupakan hal yang paling sering terjadi pada pasien yang didiagnosis

infeksi HIV. Dibeberapa tempat terdapat beberapa sumber komunitas yang khusus dibuat

untuk membantu pasien dengan infeksi HIV yang legal, social, dan financial pertaining ke

infeksi. Merupakan hal yang penting utnuk setiap dokter yang merawat pasien-pasien tersebut

untuk mengidentifikasi sumber-sumber ini..1,3

Sebuah diskusi terbuka tentang perhitungan seksama dengan individu yang HIV

Seropositive & pasangannya adalah hal yang penting. Langkah ini sangat bermanfaat dalam

pencegahan transmisi bukan hanya HIV, tapi juga penyakit menular sexual lainnya.

Kepatuhan terhadap terapi ARV adalah hal yang penting untuk menvapai keberhasilan .

Dokter berperan dalam peranan yang penting dalam menjaga kepatuhan pasien . Indikasi

untuk admission & konsultasi walaupun perawatan di perlukan untuk beberapa elemen –

elemen manajemen HIV, terdapat beberapa masalah dimana rawat inap menjadi penting.

Page 45: HIV Bacteriovaginosis

Pasien dengan tanda & gejala yang mengarah ke infeksi paru, system saraf pusat, atau

infeksi menyeluruh (terutama yang disebabkan oleh pneumonia pneumocystis yang berat,

TB, atypical Mycobacteum, toxoplasmosis, histoplasmosis, coccidiomycosis, cryptococcus,

CMV, dan infeksi hepatitis yang tidak terkompensasi) mungkin memerlukan rawat inap dan

konsultasi penyakit pada ahli.3

Tidak ada vaksin yang tersedia untuk pemakaian pada manusia. Sebuah vaksin yang

mengandung rekombinan gp120 dapat memproteksi primata bukan manusia untuk melawan

HIV dan sel yang terinfeksi HIV.9

Pencegahan terdiri dari penghindaran terhadap pajanan pada virus, seperti: memakai

kondom, tidak memakai jarum suntik secara bergantian, dan membuang produk darah yang

terkontaminasi virus HIV. Profilaksis pasca pajanan, seperti setelah kecelakaan suntikan

jarum, terdiri dari zidovudine, lamivudine, dan sebuah protease inhibitor, seperti indinavir.

Dua langkah dapat dipakai untuk menurunkan jumlah kasus infeksi HIV pada anak-anak:

ZDV atau nevirapine sebaiknya diberikan saat perinatal ke ibu yang terinfeksi HIV dan

neonatus, dan ibu yang terinfeksi HIV sebaiknya tidak memberi ASI. Sebagai tambahan,

risiko infeksi HIV pada neonatus lebbih rendah jika dibandingkan dengan saat melahirkan.

Sirkumsisi mengurangi infeksi HIV.9

Beberapa obat biasanya dipakai oleh psien saat stadium lanjut dari AIDS untuk

mencegah infeksi oportunistik. Beberapa contohnya yaitu trimethoprim-sulfamethoxazole

untuuk mencegah Pneumocystis pneumonia, fluconazole untuk cegah rekurensi meningtis

cryptococcal, ganciclovir untuk cegah rekurensi dari retinitis yang disebabkan oleh

cytomegalovirus, dan preparasi oral obat antifungal, seperti clotrimazole, untuk cegah

candidiasis oral yang disebabkan oleh Candida albicans.9

Page 46: HIV Bacteriovaginosis

BAB III

ANALISIS KASUS

Terdapat beberapa infeksi yang dapat meningkatkan factor resiko terkena virus HIV,

dimana pada kasus adalah bacteriovaginosis. Screening yang dilakukan di Poli Cintta yang

dilakukan melalui darah yaitu untuk HIV dengan konselin pra test dan ditest dengan rapid test

diulang tiga kali dengan reagen yang berbeda secara pararel serta sifilis melalui pemeriksaan

TPHA dan dilanjutkan RPR jika hasil TPHA negative. Pada pasien HIV ditemukan positif

melalui screening tanpa menunjukkan gejala apapun yang mana pasien masuk ke fase

asimptomatik. Sebelumnya sekitar 1 tahun yang lalu pasien melahirkan secara normal di PKC

Page 47: HIV Bacteriovaginosis

Tambora dan sudah di screening dan hasilnya negative, dimana hasil negative pada screening

yang dilakukan kemungkinan pasien dalam masa window periode .

Screening yang kedua dilakukan adalah pemeriksaan duh tubuh vagina. Pada

pemeriksaan duh tubuh vagina didapatkan adanya clue cell dimana clue cell merupakan tanda

patognomonik dari Bacteriovaginosis. Dan pada pasien ini dilakukan pengobatan dengan

menggunakan metronidazol 2x 500 mg per oral selama 7 hari dan control kembali 1 minggu.

Sesuai dengan regimen ARV anjuran lini I yaitu 2 NRTI dan 1 NNRTI

Konseling pasca test dilakukan kepada pasien, setelah diketahui bahwa pasien terkena

HIV maka dilakukan pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati dan ginjal untuk pemilihan dan

pertimbangan regimen terapi ARV. Pada pasien didapatkan hasil lab darah lengkap , fungsi

hati dan ginjal baik, serta karena pasien sudah menyusui anaknya maka pemberian ARV

segera di lakukan tanpa memandang hasil CD4. Terapi yang di berikan adalah kombinasi dari

Zidovudin, Lamivudin dan Nevirapin. terdapat tablet kombinasi antara zidovudin dan

lamivudin yaitu duviral. Pada tahap inisiasi pasien diberikan duviral 2x1 tablet dan nevirapin

2x ½ tablet untuk 1 minggu dan dievaluasi efek sampingnya. Kemudian jika pasien sudah

dapat toleransi dengan efeksamping obat , dosis dapat dinaikan menjadi 2x1 tablet. Sesuai

dengan regimen ARV anjuran lini I yaitu 2 NRTI dan 1 NNRTI.

Terapi yang harus diberikan pada pasien HIV haruslah secara holistic dimana terapi

supportif pun harus dilakukan. Anjuran pemeriksaan Viral load pada anak pasien dan rapid

test pada suami pasien pun harus dilakukan . Terapi supportif dan edukasi yang jelas

mengenai HIV serta penanganannya pun harus jelas diberikan agar pasien mau dan

menyadari pentingnya meminum obat ARV secara teratur.

Page 48: HIV Bacteriovaginosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci A, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related

Disorders. In : Longo D, Fauci A, Fauci A, Kasper D, Braunwald E, Hause S, Jameson J

Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th Ed. United States of America:

McGraw-Hill. 2011 p241-50.

2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th Ed. Jakarta : Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. p272-76.

3. Boswell SL. Approach to the Patient with Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Infection. In: Goroll AH, Mulley AG. Primary Care Medicine: Office Evaluation and

Management of the Adult Patient. 6th Ed. 2009. p87-101.

4. Levinson W. Human Immunodeficiency Virus. In: Review of Medical Microbiology

Page 49: HIV Bacteriovaginosis

and Immunology. 11th Ed. Philadelphia: McGraw Hill. 2010. p299-308

5. Aditama TY. Laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia sampai dengan Juni 2012.

Accessed on: September 15th 2015. Available at:

http://www.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id&gg=1

6. WHO. A global view of HIV Infection. Accessed on September 15th 2015.Available at:

http://gamapserver.who.int/mapLibrary/Files/Maps/HIVPrevalenceGlobal2006.png

7. Merati TP, Djauzi S. Respon Imun Infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta:

Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. p421-7

8. David C. Dugdale. HIV infection. Accessed on: September 15th 2015. Available at:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000602.htm

9. WHO. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents,

Recommendations for a public health approach, 2010 Revision. Accessed on: September

15th 2015. Available at: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/en/

10. WHO. Post-Exposure Prophylaxis to Prevent HIV Infection. Joint WHO/ILO Guidelines on

Post-Exposure Prophylaxis (PEP) to Prevent HIV Infection. Accessed on: September 15th

2015. Available at: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/en/