Download - HIV Bacteriovaginosis
PORTOFOLIO
MEDIK
INFEKSI MENULAR SEKSUAL
H I V
Disusun Oleh :
dr. Arevia Mega Diduta Utami
Pembimbing :
dr. Dika Isnaini
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
Angkatan I Tahun 2015
PERIODE FEBRUARI 2015 – FEBRUARI 2016
PUSKESMAS KECAMATAN TAMBORA
JAKARTA BARAT
2015
LEMBAR PENGESAHAN
PORTOFOLIO
INFEKSI MENULAR SEKSUALINFEKSI MENULAR SEKSUAL
HIVHIV
Oleh :Oleh :
dr. Arevia Mega Diduta Utami
Disusun sebagai salah satu syarat dalamDisusun sebagai salah satu syarat dalam
Program Internsip Dokter IndonesiaProgram Internsip Dokter Indonesia
Periode Februari 2015- Februari 2016Periode Februari 2015- Februari 2016
PUSKESMAS KECAMATAN TAMBORA
Jakarta Barat
2015
Dokter PendampingDokter Pendamping
dr.Dika Isnaini dr.Dika Isnaini
BAB I
PENDAHULUAN
AIDS pertama kali dikenal di Amerika saat musim panas 1981, saat U.S. Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan timbulnya pneumonia yang disebabkan
oleh Pneumocystis jiroveci (P. carinii) pada lima pasien laki-laki homoseksual yang pada
awalnya sehat di Los Angeles dan sarkoma Kaposi dengan atau tanpa pneumonia P. jiroveci
pada 26 laki-laki homoseksual yang pada awalnya sehat di New York dan Los Angeles.
Penyakit ini kemudian ditemukan pada laki-laki maupun perempuan pemakai narkoba jenis
suntikan; pada pasien hemofilia dan penerima transfusi darah; pada perempuan yang
merupakan pasangan dari laki-laki dengan AIDS; pada bayi-bayi yang lahir dari ibu dengan
AIDS atau dengan riwayat pemakaian obat suntikan.1
Pada tahun1983, virus human immunodeficiency virus (HIV) telah diisolasi dari
seorang pasien dengan limfadenopati. Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc
Montagnier, yang pada waktu itu diberi nama LAV (lymphadenopathy virus), sedangkan
Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan
HTLV-III. Pada tahun 1985, pemeriksaan yang sensitif, enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA), telah berkembang; hal ini menyebabkan apresiasi pada bidang dan evolusi dari
epidemik HIV di Amerika dan negara-negara maju lainnya dan pada akhirnya pada negara-
negara berkembang di seluruh dunia. 1,2
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan pada
tahun1987, yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu, telah
ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan
diagnosis AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang, menyatakan positif. Hanya, hasil tes
Western Blot, yang pada saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif sehingga
tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret
1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemophilia dan termasuk jenis non-
progressor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa
pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di
RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002. 1
Intervensi dini, terapi baru, dan strategi yang inovatif untuk mencegah infeksi
sekunder telah menurunkan morbiditas dan meningkatkan kelangsungan hidup secara
signifikan. Dengan perubahan penatalaksanaan yang lebih ke arah pasien, dokter umum
memiliki peran yang lebih dalam perawatan secara komprehensif pada pasien dengan infeksi
HIV; dokter umum bertanggung jawab dalam diagnosis awal, konseling, pencegahan
penyebaran, inisiasi obat antiviral dan terapi profilaksis, penatalaksanaan infeksi sekunder,
penentuan kebutuhan akan rawat inap, dan pemberian terapi suportif pada penyakit yang
sudah memasuki tahap lanjut. Dalam hal ini dokter umum memerlukan pengetahuan tentang
perilaku yang berisiko terkena HIV, manifetasi penyakit tersebut, teknik laboratorium, terapi
saat ini, dan strategi profilaksis. Direkomendasikan untuk para ahli untuk ikut serta dalam
perawatan pasien dengan infeksi HIV. Hal ini dapat dilakukan oleh dokter umum yang
memiliki pengetahuan lebih atau oleh konsultan pakar dalam bidang ini.3
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. MA
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Angke Jaya Rt 04/06
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal MRS : 07 Agustus 2015
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Keputihan sejak 2 Minggu sebelum datang ke Poli Cintta Puskesmas
Kecamatan Tambora
2. Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang dengan keluhan utama keputihan sejak 2 minggu
sebelum datang ke poli Cintta Puskesmas Kecamatan Tambora. Keputihan
dirasakan bersamaan dengan gatal di daerah kemaluan. Riwayat keputihan
sebelumnya tidak pernah dirasakan.
Pasien sudah berobat 1 minggu yang lalu ke dokter umum di
puskesmas kelurahan dan diberikan obat selama 1 minggu namun tidak
dirasakan adanya perubahan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat keputihan sebelumnya (-), Riwayat DM (-) Riwayat HIV dan sifilis (-)
diperiksakan ketika hamil (saat ini usia anak 8 bulan)
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit keluarga , HIV (-), sifilis (-)
5. Riwayat Kegiatan Seksual dan Penggunaan Jarum Suntik :
Pasangan seksual hanya satu, seorang pria, suami pasien. Hubungan sex terakhir 7
hari yang lalu, pasien jarang menggunakan kondom. Pasien tidak pernah
menggunakan narkoba dan memakai jarum suntik.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
A. Tanda Vital:
TD : 110/70 mmHg
N : 80 x/menit
R : 20 x/menit
T : 36.8 C
B. Pemeriksaan Fisik Umum
a. Kepala-leher
Kepala : Normocephal, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
ka-ki, reflek cahaya (+/+)
Leher : pembesaran KGB (-), massa (-)
b. Thorax-Cardiovascular
Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi (-), sela iga dalam batas
normal
Palpasi : vocal fremitus (+) normal, iktus cordis (+)
Perkusi : Jantung : Pekak
Paru : Sonor
Auskultasi : Jantung : BJI-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
c. Abdomen
Inspeksi : distensi (-), darm countour (-), darm steifung (-), jejas
(-)
Auskultasi : Bising usus (-)
Perkusi : Hipertimpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Defans muskular (+), nyeri tekan di seluruh abdomen (+)
d. Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral hangat
Inferior : Edema (-/-), akral hangat
C. Pemeriksaan Genital
Vagina tampak kemerahan , Secret (+) berwarna keputihan agak berbau (+).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium Darah 07 Agustus 2015
Test HIV1 Reaktif Reagen 1
Test HIV2 Reaktif Reagen 2
Test HIV3 Reaktif Reagen 3
TPHA Negatif
- Test Duh Tubuh Vaginal 07 Agustus 2015
PMN Serviks Positif
Diplokokus intrasel Negatif
T.Vaginalis Negatif
Kandida Negatif
Clue Cells Positif
E. DIAGNOSIS BANDING
- Bacterial Vaginosis
- HIV
- Tricomonas Vaginalis
- Gonorhea
- Kandida
- Herpes Genitalis
F. DIAGNOSIS KERJA
- Bacterial Vaginosis
- HIV
G. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana Bacterial Vaginosis
Cefixime 400 mg SD PO
Azitromisin 1 gr PO SD
Metronidazol 2x500 mg PO 14 Hari
Tatalaksana HIV
Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Hasil pemeriksaan tanggal 11 Agustus 2015
Hb : 12,2 gr/dl
Leukosit : 7900 ul
LED : 50 mm/jam
Eritrosit : 4.6 juta/ul
Thrombosit : 240.000 /ul
Hematokrit : 34.2 %
Hitung Jenis
Basofil : 0 %
Eosinofil : 0%
Batang : 5 %
Segmen : 57 %
Monosit : 36 %
Plasmosit : 2%
Pemeriksaan Fungsi Ginjal dan Hati
SGOT : 13 u/l
SGPT : 14 u/l
` Ureum : error
Creatinin : 1.0
Pemilihan Regimen ARV : Zidovudine (AZT) 2x1 tab
Lamivudin (3TC) 2x1 tab
Nevirapin (NVP) 2x1 tab
H. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Ad Fuctionam : Dubia Ad Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
HIV /AIDS
2.1 DEFINISI
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen etiologik dari AIDS. Virus
tersebut termasuk ke dalam famili retrovirus yang menyerang manusia (Retroviridae) dan
subfamili lentivirus. Keempat retrovirus yang telah diketahui dapat menyebabkan penyakit
pada manusia dibedakan dalam dua grup: human T lymphotropic viruses (HTLV)-I and
HTLV-II, serta HIV-1 dan HIV-2. Baik HIV-1 maupun HIV-2 dapat menyebabkan AIDS.
Namun HIV-1 banyak ditemukan di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 terutama ditemukan
pada Afrika Barat.2,4
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir
dari infeksi HIV. Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan
HIV/AIDS) lebih dianjurkan agar pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi, sebagai subjek
dan tidak dianggap sebagai sekedar objek, sebagai pasien.1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Infeksi HIV merupakan kejadian pandemik. Infeksi tersebut telah menjadi penyebab
utama kematian secara infeksius, dimana posisi sebelumnya ditempati oleh infeksi
tuberkulosis. Dalam tahun 2006, telah diestimasikan 2,9 juta orang meninggal akibat AIDS di
seluruh dunia. Sejak 1985 sampai 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun
1999 mulai terlihat peningkatan tajan yang terutama disebabkan akibat penularan melalui
narkotika suntik.1,3
Gambar 1. Infeksi HIV di seluruh dunia tahun 2006.5
Situasi Masalah HIV-AIDS di Indonesia Tahun 1987-Juni 2012
Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan Juni 2012, kasus HIV-AIDS
tersebar di 378 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia. Provinsi
pertama kali ditemukan adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali (1987), sedangkan
yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV (2011) adalah Provinsi Sulawesi Barat.6
1. Kasus HIV
a. Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 859
kasus, tahun 2006 (7.195 kasus), tahun 2007 (6.048 kasus), tahun 2008
(10.362 kasus), tahun 2009 (9.793 kasus), tahun 2010 (21.591 kasus), tahun
2011 (21.031 kasus), Januari-Juni 2012 (10.138 kasus). Jumlah kumulatif
kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2012 sebanyak 86.762 kasus.
b. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (21.030 kasus), diikuti Jawa
Timur (11.282 kasus), Papua (8.611 kasus), Jawa Barat (6.315 kasus) dan
Sumatera Utara (5.629 kasus).6
Gambar 2. Grafik Laporan Surveillan AIDS Depkes RI.
2. Kasus AIDS
a. Sampai dengan tahun 2004 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak
2.682 kasus, tahun 2005 (2.639 kasus), tahun 2006 (2.873 kasus), tahun 2007
(2.947 kasus), tahun 2008 (4.969 kasus), tahun 2009 (3.863 kasus), tahun 2010
(5.744 kasus) dan tahun 2011 (4.162 kasus), Januari-Juni 2012 (2.224 kasus).
Jumlah kumulatif kasus AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Juni 2012
sebanyak 32.103 kasus.
b. Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun
(41,5%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,8%), 40-49 tahun
(11,6%), 15-19 (4,1%), dan 50-59 tahun (3,7%).
c. Persentase kasus AIDS pada laki-laki sebanyak 70% dan perempuan 29%.
d. Jumlah kasus AIDS tertinggi adalah pada wiraswasta (3.733 kasus), diikuti ibu
rumah tangga (3.368 kasus), tenaga non- profesional (karyawan) (3.220
kasus), petani/peternak/nelayan (1.169 kasus), buruh kasar (1.137), anak
sekolah/mahasiswa (944 kasus), dan penjaja seks (776).
e. Jumlah kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta (5.118), Papua
(4.865), Jawa Timur (4.664), Jawa Barat (4.043), Bali (2.775), Jawa Tengah
(1.948 kasus), Kalimantan Barat (1.358 kasus), Sulawesi Selatan (999 kasus),
Riau (731 kasus), dan DIY (712 kasus).
f. Angka kematian (CFR) menurun dari 2,4% pada tahun 2011 menjadi 0,9%
pada Juni tahun 2012.6
3. Jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan
Juni 2012, yaitu sebanyak 27.175 orang. Sebanyak 96% (26.004 orang) dewasa dan
4% (1.171 orang) anak. Sedangkan pemakaian rejimennya adalah 95,5% (25.939
orang) menggunakan Lini 1 dan 4,5% (1.236 orang) menggunakan Lini 2.6
2.3 ETIOLOGI
HIV merupakan satu dari dua human T-cell lymphotropic retrovirus yang utama.
(human T-cell leukemia virus -HTCLV- adalah retrovirus utama lainnya). Dikenal dua tipe
HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun
1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat.4,7
Gambar 3. (Green WC: Mechanisms of Disease: The Molecular Biology of Human Immunodeficiency Virus Type I Infection. NEJM 1991, Vol. 324, No. 5, p. 309. Copyright © 1991 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) 4
Virus tersebut akan menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4), dan
menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan memiliki probabilitas yang besar untuk
terjadinya infeksi oportunistik. Sel-sel lain, seperti makrofag dan monosit, yang memiliki
protein CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi oleh HIV.4
HIV termasuk dalam golongan retrovirus dengan subgroup lentivirus, yang dapat
menyebabkan infeksi secara “lambat” dengan masa inkubasi yang panjang. HIV memiliki
bentuk inti seperti batang (tipe D) yang dibungkus oleh selubung (envelope) yang terdiri dari
glikoprotein spesifik, yaitu gp120 dan gp41. (Lihat Gambar 3 dan Gambar 4).4
Gambar 4. (Human immunodeficiency virus—Electron micrograph. Panah yang panjang menunjukkan virion matur yang baru saja keluar dari limfosit yang terinfeksi di bagian bawah gambar. Panah yang pendek (pada bagian kiri bawah) menunjukkan beberapa virion baru di dalam sitoplasma yang akan menjadi tunas pada membran sel host. Provider: CDC/Dr. A. Harrison, Dr. P. Feirino, and Dr. E. Palmer.)4
Genom HIV terdiri dari dua molekul RNA untai tunggal yang identikal dan diploid.
Genom HIV merupakan genom yang paling kompleks bila dibandingkan dengan retrovirus-
retrovirus lainnya. Selain memiliki tiga buah gen yang mengkode protein struktural yaitu
gag, pol dan env, genom RNA HIV juga memililki enam gen regulator. (Tabel 1). Dua dari
enam gen reguator ini, tat dan rev, dibutuhkan untuk replikasi virus, sedangkan empat gen
lainnya, nef, vif, vpr, and vpu, tidak dibutuhkan dalam replikasi HIV, dan dapat dikatakan
sebagai gen asesoris.4
Tabel 1. Gen dan Protein HIV-Human Immunodeficiency Virus
Gen Protein yang dikode oleh Gen
Fungsi Protein
I. Gen Struktural yang Ditemukan dalam semua Retrovirus
gag p24, p7 Nucleocapsid
p17 Matrix
pol Reverse Transkripsi RNA ke bentuk DNA
transcriptase
Protease Memecah polipeptida prekursor
Integrase Mengintegrasikan DNA virus ke dalam DNA sel host
env gp120 Penempelan ke protein CD4
gp41 Fusi terhadap sel host
II. Gen Regulator yang Ditemukan pada HIV yang Dibutuhkan dalam Proses Replikasi
tat Tat Sebagai aktivasi dalam proses transkripsi gen virus
rev Rev Mentransport mRNAs fase akhir dari nukleus ke sitoplasma
III. Gen Regulator yang Ditemukan pada HIV yang Tidak Dibutuhkan dalam Proses Replikasi (Gen Asesoris)
nef Nef Menurunkan protein CD4 dan protein MHC kelas I pada permukaan sel yang terinfeksi; menurunkan kemampuan sel T sitotoksik untuk membunuh sel yang telah terinfeksi HIV
vif Vif Menambah infektifitas dengan cara menginhibisi aksi dari APOBEC3G, suatu enzim yang menyebabkan hipermutasi dalam DNA retroviral.
vpr Vpr Mentrasport inti virus (core) dari sitoplasma ke dalam nukleus pada sel-sel yang tidak sedang membelah diri
vpu Vpu Menyebabkan virion dapat terlepas dari sel host
Gen gag mengkode protein “inti” bagian dalam, yang merupakan protein terpenting
yaitu p24, yang juga merupakan suatu antigen dalam tes serologik HIV. Gen pol mengkode
beberapa protein, termasuk untuk enzim reverse transkriptase yang mensintesa DNA
menggunakan genom RNA sebagai template; enzim integrase mengintegrasikan DNA virus
ke dalam DNA sel host; enzim protease berfungsi untuk memecah beberapa protein
prekursor virus. Gen env mengkode gp160, suatu glikoprotein yang dipecah untuk
menghasilkan dua selubung glikoprotein permukaan, gp120 dan gp41.3
Gambar 5. (B) Struktur HIV-1, Copyright by George V. Kelvin). (Adapted from RC Gallo: Sci Am 256:46, 1987.)1
Gambar 6. (C) Hasil scan mikrograf electron virion HIV-1 menginfeksi limfosit T CD4+. Magnifikasi 8000x (Courtesy of Elizabeth R. Fischer, Rocky Mountain Laboratories, National Institute of Allergy and Infectious Diseases; with permission.)1
2.4 CARA PENULARAN
HIV dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam darah, dan
transmisi maternal. Transmisi melalui kontak seksual dapat secara oral, vaginal, dan anal,
sedangkan transmisi melalui darah, dapat melalui transfusi darah, kecelakaan jarum suntik,
serta pemakaian jarum suntik secara bergantian, untuk transmisi maternal dapat terjadi
melalui plasenta, saat proses kelahiran, atau melalui ASI. Telah diperkirakan 50% dari infeksi
neonatal timbul saat proses kelahiran, dan sisanya tidak jauh berbeda antara transmisi
transplasental maupun melalui ASI. 2, 3, 4, 8
Infeksi dapat terjadi baik akibat transfer sel yang terinfeksi HIV maupun virus HIV
yang bebas. Walaupun ditemukan virus HIV dalam jumlah yang sedikit dalam cairan tubuh
yang lain, seperti air liur dan air mata, tidak ada bukti bahwa hal tersebut berperan dalam
infeksi. Secara umum, transmisi mengikuti pola infeksi hepatitis B, kecuali bahwa infeksi
HIV kurang efisien dalam hal transfer, misalnya dosis yang dibutuhkan untuk terjadinya
infeksi HIV lebih banyak dibandingkan untuk infeksi hepatitis B. Infeksi mikroorganisme
seperti Treponema pallidum and herpes simplex virus merupaka ulserasi genital yang penting
terkait transmisi virus HIV. Selain itu, patogen yang bertanggung jawab sebagai PMS yang
nonulseratif seperti Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan Trichomonas
vaginalis juga terkait dengan risiko yang meningkat dalam transmisi infeksi HIV. Vaginosis
bakterial, suatu infeksi yang terkait perlakuan seksual, namun bukan suatu PMS, juga dapat
dihubungkan dengan risiko yang meningkat dalam risiko terjadinya infeksi HIV. Laki-laki
yang tidak disunat memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi HIV dibanding laki-laki
yang telah disunat. 1, 4
Gambar 7. Probabilitas transmisi HIV per coitus, perbandingan antara host dengan PMS yang ulseratif dan host tanpa PMS yang ulseratif.1
Cara penularan yang jarang namun dapat terjadi termasuk melalui luka akibat tusukan
jarum yang tidak disengaja, inseminasi artifisial dengan semen yang terinfeksi HIV,
transplantasi organ dengan organ yang terinfeksi HIV. Bank darah dan program donor organ
akan menskrining pendonor, baik darah, maupun jaringan untuk mencegah risiko terjadinya
infeksi. Transmisi HIV melalui transfusi darah telah menurun secara drastis dengan adanya
skrining darah yang akan didonasi akan adanya antibodi terhadap HIV. Di lain pihak,
terdapat periode jendela (window period) pada saat infeksi awal HIV dimana darah dari orang
yang terinfeksi telah mengandung virus HIV namun tidak dapat terdeteksi dengan tes
antibodi. Bank darah kini melakukan tes antigen p24 untuk mendeteksi darah yang
mengandung HIV. 4, 8
Infeksi HIV tidak menular melalui kontak kasual seperti berpelukan, gigitan nyamuk,
participasi dalam olahraga, barang-barang yang telah disentuh oleh individu yang telah
terinfeksi HIV. Individu dengan risiko besar terinfeksi HIV termasuk pemakai obat suntik
secara bergantian, bayi yang lahir dari ibu dengan HIV dan tidak mendapatkan terapi HIV
selama kehamilan, individu yang melakukan hubungan seks tanpa pelindung (terutama
dengan individu yang memiliki kebiasaan yang berisiko tinggi, atau yang positif HIV, atau
memiliki riwayat AIDS), mendapat transfusi darah atau produk pembekuan darah antara
tahun1977 dan 1985 (sebelum screening virus menjadi standar pemeriksaan), memiliki
pasangan seksual yang berpartisipasi dalam aktivitas yang berisiko tinggi (seperti memakai
narkoba jenis suntikan, atau seks anal). 8
2.5 PATOFISIOLOGI
Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama, sel
dendritik (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV. DC
bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) dan mempresentasikan HIV ke sel limfosit
CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T naive. Hal ini terjadi karena DC
mengekspresikan molekul major histocompability complex (MHC) klas I, MHC klas II, dan
molekul kostimulator lain pada permukaannya. Setelah HIV tertangkap, DC akan menuju
kelenjar limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T naive. Di samping
mengangkut HIV ke kelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel limfosit CD4, dengan
demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel limfosit Th.5
Gambar 8. Kejadian awal infeksi HIV (Adapted from Haase, 2005.)1
Replikasi virus HIV yang terjadi secara cepat berkaitan dengan mutasi yang
berkontribusi dalam ketidakmampuan antibodi tubuh untuk menetralisasi virus dalam satu
waktu secara bersamaan. Analisis yang ekstensif mengenai isolasi HIV sekuensial dan respon
host telah mendemonstrasikan bahwa kemampuan virus untuk lolos dari epitop sel B dan sel
T CD8+ timbul di awal segera setelah infeksi dan menyebabkan virus satu langkah lebih baik
dibandingkan dengan imun respon yang efektif sekalipun. Selain itu, kloning sel limfosit T
sitotoksik yang memperbanyak diri selama infeksi primer HIV, yang diperkirakan menjadi
respon imun yang sangat efektif dalam mengeliminasi virus HIV ternyata tidak dapat
dideteksi lagi setelah ekspansinya yang pertama. Hal ini diperkirakan akibat terjadi disfungsi
dan penghilangan kloning tersebut yang disebabkan oleh replikasi virus yang persisten dan
kelelahan respon sel limfosit T sitotoksik yang sama dengan penelitian pada infeksi virus
limfositik koriomeningitis (LCMV). Mekanisme lain yang berkontribusi dalam pengaruh
HIV terhadap kontrol merusak protein MHC kelas I pada permukaan sel yang terinfeksi
menggunakan protein Nef pada virus HIV, sehingga menurunkan kemampuan sel limfosit
sitotoksik untuk mengenali dan membunuh sel target yang terinfeksi virus HIV. Prinsip target
antibodi dalam menetralisasi HIV adalah protein gp120 dan gp41 pada selubung (envelope)
virus HIV. Namun HIV memiliki sedikitnya tiga mekanisme untuk melawan respon
netralisasi tersebut, yaitu: hipervariabilitas dari pola selubung primer, glikosilasi selubung
secara ekstensif, dan pemalsuan epitop yang akan dinetralisasi.1, 4
Siklus Replikasi HIV
Replikasi HIV mengikuti siklus retroviral pada umumnya (Gambar 9). Langkah awal
dari masuknya virus HIV ke dalam sel host adalah pentautan gp120 dari protein selubung
virion dengan protein CD4 pada permukaan sel host. Kemudian protein gp120 virion
berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel, suatu reseptor kemokin. Langkah
selanjutnya adalah protein gp41 virion akan bertindak sebagai perantara dalam penyatuan
(fusi) dari selubung virus (envelope) dengan membran sel host. Kemudian virion akan masuk
kedalam sel.4
Gambar 9. Siklus Replikasi HIV. Diperlihatkan letak tempat kerja obat antiretroviral. (Modified and reproduced, with permission, from Ryan K et al: Sherris Medical Microbiology, 3rd ed. Originally published by Appleton & Lange. Copyright © 1994 by The McGraw-Hill Companies.)
Reseptor kemokin seperti protein CXCR4 dan CCR5 dibutuhkan dalam proses
masuknya HIV ke dalam sel yang memiliki protein CD4. Virus HIV dengan strain yang sel-
T-tropik bertautan dengan reseptor CXCR4, sedangkan HIV dengan strain yang makrofag-
tropik bertautan dengan reseptor CCR5. Mutasi pada pengkodean gen CCR5 dapat
menyebabkan seorang individu memiliki proteksi tersendiri terhadap infeksi HIV. Individu
yang memiliki mutasi gen tersebut secara homozigot secara lengkap resisten terhadap infeksi
HIV, sedangkan individu yang memiliki mutasi gen tersebut secara heterozigot akan
mengalami progresivitas penyakit yang lebih lambat dibanding yang tidak memiliki mutasi
gen tersebut.Sekitar 1% masyarakat Eropa Barat memiliki mutasi gen tersebut secara
homozigot dan sekitar 10-15% secara heterozigot. Setelah terlepas dari selubungnya
(uncoating), enzim virion yaitu, DNA polymerase, mentranskripsi genom RNA virus menjadi
DNA untai ganda (double-stranded), yang kemudian diintegrasikan ke dalam DNA sel host.
DNA virus dapat berintegrasi di beberapa tempat pada DNA sel host, dan beberapa hasil
pengkopian DNA virus pun dapat melakukan hal yang sama. Integrasi virus tersebut
diperantarai oleh enzim integrase (virus-encoded endonuclease). mRNA virus yang telah
ditranskripsi dari DNA virus menggunakan RNA polimerase sel host kemudian ditranslasikan
untuk menghasilkan beberapa poliprotein berukuran besar. Poliprotein Gag dan Pol kemudian
dipecah menggunakan enzim protease virus, sedangkan poliprotein Env dipecah
menggunakan protease sel host. Poliprotein gag dipecah untuk membentuk protein inti (p24),
protein di matrix (p17), dan beberapa protein yang berukuran lebih kecil. Poliprotein pol
dipecah untuk membentuk enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease. Virion yang
belum matang (immature) mengandung protein prekursor yang dibentuk di sitoplasma sel
host, dipecah menggunakan enzim protease virus. Kemudian virion yang belum matang
tersebut akan timbul sebagai tunas pada membran sel host. Proses inilah yang pada akhirnya
menghasilkan virion infeksius yang matang (mature).1, 4
2.7 PERKEMBANGAN KLINIS
Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar dapat
dibagi menjadi empat fase: (a) infeksi HIV primer, (b) infeksi asimtomatik, (c) infeksi
simtomatik, dengan ekslusi AIDS, dan (d) AIDS. Kecepatan progresi dari penyakit ini
bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tergantung pada faktor virus
dan faktor host.3
Gambar 10. Perjalanan penyakit dari infeksi HIV. (From Weiss RA: How Does HIV Cause AIDS? Science 1993; 260:1273. Reprinted with permission from AAAS.)4
Fase Infeksi Primer
Fase pertama dari penyakit ini terjadi secara singkat dan terdiri dari sindroma yang
menyerupai infeksi mononucleosis. Fase ini terjadi selama 1 sampai 4 minggu setelah
transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa gejala seperti demam, berkeringat, letargi,
malaise, myalgia, arthralgia, sakit kepala, photopobia, diare, sariawan, limfadenopati, dan lesi
mucopapular pada ekstremitas. Gejala-gejala tersebut timbul secara mendadak dan hilang
dalam waktu 3 sampai 14 hari. Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10 sampai ke-
14 infeksi, dan kebanyakan akan mengalami serokonversi setelah infeksi minggu ke 3 sampai
4. Perhatikan ketidakmampuan untuk deteksi antibodi saat waktu tersebut bisa menyebabkan
tes serologik yang "false-negative". Hal tersebut memiliki implikasi yang penting karena HIV
bisa bertransmisi selama periode ini.3,4
Fase Seropositif yang Asimtomatik
Fase kedua dari infeksi HIV ini merupakan fase yang paling lama terjadi
dibandingkan dengan 4 fase lainnya, dan paling bervariasi antar masing-masing individu.
Tanpa pengobatan, fase ini biasanya terjadi sekitar 4 sampai 8 tahun. Walaupun pasien dalam
keadaan asimtomatik dan viremia terjadi dalam tingkat rendah atau hampir tidak ada, jumlah
yang besar dari HIV telah diproduksi di limfe nodus, namun tetap berada di dalam limfe
nodus. Hal ini mengindikasikan bahwa selama periode laten secara klinis ini, virus HIV
sendiri tidak memasuki fase laten. 3,4
Gambar 11. Perjalanan penyakit infeksi HIV, penurunan CD4, dan infeksi oportunistik serta
keganasan. (James Gita Hakim. Sount Sudan Medical Journal)
Fase Seropositive yang Simtomatik
Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik pertama dari disfungsi
sistem imun. Limfadenopati persisten generalisata kadang merupakan tanda awal fase ini.
Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari-jari, dan mulut sering kali muncul. Pada wanita,
sering timbul keputihan akibat jamur dan infeksi trikomonas. Oral hairy leukoplakia
merupakan gejala yang paling sering terlewatkan pada infeksi HIV dan sering ditemukan
pada lidah. Gejala konstusional seperti keringat malam, penurunan berat badan, dan diare
sering terjadi. Tanpa pengobatan, durasi dari fase ini berkisar antara 1 sampai 3 tahun.3
Gambar 12. Oral hairy leukoplakia (human immunodeficiency virus and aids the course of the disease. Richard Hunt. University of South Carolina, School of Medicine)
Fase Acquired Immunodeficiency Syndrome - AIDS
Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Supresi ini memicu
perkembangan infeksi oportunistik dan keganasan yang tidak biasa. Gejala pulmoner,
gastrointestinal, neurologik, dan sistemik merupakan gejala yang biasa terjadi.3
2.8 MANIFESTASI KLINIS7
Terdiri dari empat stadium klinis:
Stadium klinis penyakit HIV pada individu dewasa dan remaja menurut WHO
(Sumber: Revised WHO clinical staging and immunological classification of HIV and case definition of HIV for surveillance. 2006.)
2.9 DIAGNOSIS HIV
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis
infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk
mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan
virus HIV.2
Infeksi HIV
Badan CDC (Centers for Disease and Prevention) telah membuat kriteria untuk infeksi HIV
pada pasien dengan usia lebih dari 18 bulan, yaitu:
Hasil positif dari tes skrining antibodi HIV, (seperti Immunoassay Enzim Reaktif
yang berulang), diikuti dengan hasil positif dari tes konfirmasi antibodi HIV (seperti
Western blot atau Tes antibodi imunoflourecence), atau
Hasil positif atau laporan dari jumlah yang dapat dideteksi dari salah satu tes
virologik (non-antibodi) berikut ini: deteksi asam nukleat HIV, DNA atau RNA, yaitu
DNA Polymerase Chain Reaction [PCR] atau konsentrasi RNA HIV dalam plasma;
tes antigen HIV p24, termasuk Assay neutralisasi; dan isolasi HIV (kultur virus).3,1
Gambar 13. Sindroma HIV akut. (Adapted from G Pantaleo et al: N Engl J Med 328:327,
1993. Copyright 1993 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.)1
AIDS
Pada tahun 1993, CDC telah membuat kriteria dari definisi AIDS, yaitu:
Hitung limfosit-T CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 dan bukti laboratorium dari infeksi
HIV, atau
Adanya penyakit indikator AIDS (candidiasis dari esophagus, trachea, bronchus, atau
paru; keganasan cervix yang invasif; coccidiomycosis ekstrapulmoner;
cryptococcosis ekstrapulmoner; cryptosporidiosis dengan diare dalam waktu lebih
dari 1 bulan; infeksi cytomegalovirus dari beberapa organ selain hati, limpa, or
limfonodus; infeksi herpes simplex dengan ulcus mucocutaneous dalam waktu lebih
dari 1 bulan atau bronchitis, pneumonitis, or esophagitis; histoplasmosis
ekstrapulmoner; dementia terkait HIV; HIV-associated wasting; isosporiasis dengan
diare lebih dari 1 bulan; Sarcoma Kaposi pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun;
Mycobacterium avium disseminata; intra dan ekstrapulmoner; Pneumocystis jiroveci
pneumonia; Pneumonia bakterial yang rekuren; multifocal leukoencephalopathy yang
progresif; Salmonella septicemia (nontyphoid) yang rekuren; and toxoplasmosis)
disertai bukti laboratorium dari infeksi HIV.3,9
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan
konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi sejelas-jelasnya
mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya
serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk memberitahu hasil tes juga
diperlukan konseling pasca tes, baik hasil positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan
diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara
pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk
memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.2,9
2.10 PENATALAKSANAAN
Prinsip Terapi
Komponen mayor dari therapy HIV ialah vaksinasi, anti ARV, profilaksis dan
pengobatan infeksi oportunistik & konseling. Masing – masing memiliki pesan yang sangat
penting untuk memperbaiki kualitas hidup & mengurangi penderitaan.3
Vaksinasi pada pasien HIV
Pasien dewasa dengan HIV seropositif (terutama jika hitung CD4 lebih dari 200
sel/mm3) sebaiknya divaksinasi sedapat mungkin. Namun, perhatian harus ditujukan saat
mempertimbangkan pemakaian vasksin virus hidup, karena kemungkinan pasien sudah
mengalami penurunan imun (imunocompromised). Semua individu sebaiknya mendapat
vaksin polisakarida pneumococal, vaksin influenza (tiap tahun), dan vaksin hepatitis B (jika
antibodinya negatif). Vaksin hepatitis A sebaiknya diberikan pada pasien dengan hepatitis
kronis dengan antibodi terhadap hepatitis A negatif, penyuka sesama jenis yang antibodi
hepatitis A negatif, bila ingin ke daerah endemik hepatitis A, dan pada pasien dengan
penyakit hati kronik. Sebagai tambahan, booster tetanus-difteria sebaiknya diberikan jika
pasien belum pernah mendapatkan booster tersebut dalam 10 tahun terakhir. Imunogenisitas
dari vaksin yang diberikan pada pasien HIV masih diragukankan efeknya, terutama pada
pasien dengan hitung CD4 kurang dari 200sel/mm3. Sebagai konsekuensinya, vaksinasi
sebaiknya diberikan secepat mungkin setelah infeksi HIV terjadi.3
Pemilihan Regimen Awal
Obat ARV terdiri beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, dan inhibitor protease. 3
Table 2 U.S. Food and Drug Administration–Approved Antiretrovirals by ClassNucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase InhibitorsAbacavir (ABC)Didanosine (ddI)Emtricitabine (FTC)Lamivudine (3TC)Stavudine (d4T)Tenofovir (TDF)ZalcitabineZidovudine/Azidothymidine (ZDV/AZT)Combivir (zidovudine + lamivudine)Epzicom (abacavir + lamivudine)Trizivir (zidovudine + lamivudine + abacavir)Truvada (tenofovir + emtricitabine)
Nonnucleoside Reverse Transcriptase InhibitorsDelavirdineEfavirenz (EFV)Nevirapine (NVP)
Protease InhibitorsAmprenavirAtazanavir/ritonavir (ATV/r)Darunavir (DRV)Fosamprenavir/ritonavir (fos-APV/r)Indinavir (IDV)Lopinavir/ritonavir (LPV/r)Nelfinavir (NFV)RitonavirSaquinavir (SQV/r)Tipranavir
Fusion InhibitorEnfuvirtide
Entry Inhibitor
Maraviroc
Integrase InhibitorRaltegravir (RAL)
Cross-Class CombinationsAtripla (efavirenz/tenofovir/emtricitabine)
Tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia. Saat ini regimen pengobatan
ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen
yang dapat dipergunakan, dengan keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi
obat ARV lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin
(ZDV)/lamivudin(3TC), dengan nevirapin (NVP).2
Tabel 3. Obat ARV yang beredar di Indonesia2
Nama dagang Generik Golongan Sediaan Dosis
Duviral Tablet, kandungan: zidovudin 300 mg, lamivudin 150 mg
2 x 1 tablet
Stavir, Zerit Stavudin (d4T)
NsRTI Kapsul: 30 mg, 40 mg
>60 kg: 2x40 mg
<60 kg: 2x30 mg
Hiviral, 3TC Lamivudin (3TC)
NsRTI Tablet 150 mg 2x150 mg
Viramun, Neviral
Nevirapin (NVP)
NNRTI Tablet 200 mg 1x200 mg selama 14 hari, dilanjutkan 2x200 mg
Retrovir, Adovi Zidovudin (ZDV/ AZT)
NsRTI Kapsul 100 mg 2x300 mg
Avirzid, Videx Didanosin (ddI)
NsRTI Tablet kunyah 100 mg
>60 kg: 2x200 mg
<60 kg: 2x125 mg
Stocrin Efavirenz (EFV,EFZ)
NNRTI Kapsul 200 mg 1x600 mg, malam
Nelvex, Viracept
Nelfinavir (NFV)
PI Tablet 250 mg 2 x 1250 mg
Pemilihan harus berdasarkan tujuan penurunan dan pengaturan konsentrasi HIV RNA
dalam plasma sampai ke tingkat yang serendah mungkin. Hal ini dilakukan untuk menampik
timbulnya perkembangan resistensi virus, pengobatan yang gagal dan progresifitas penyakit.
Satu hal yang harus diingat bahwa makin tinggi konsentrasi HIV RNA dalam plasma saat
terapi dimulai, makin poten obat antiretroviral yang harus diberikan untuk mensupresinya.3
Dalam pemberian terapi obat antiretroviral pada tiap-tiap pasien per individu,
beberapa faktor membutuhkan pertimbangan, termasuk toksisitas obat yang saling
memperberat, interaksi farmakokinetik, absensi dari resistensi silang, dan pola obat yang
menentukan pemilihan obat antiretroviral di masa mendatang. Dalam Tabel 2 disebutkan
obat-obatan yang telah disetujui oleh badan FDA di Amerika sebagai pengobatan untuk
infeksi HIV. Terapi inisial yang paling sering dilakukan penelitian adalah regimen tiga obat
termasuk 2 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) ditambah 1
Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) atau 1 Protease Inhibitor (PI). 3, 4
Pengobatan awal menggunakan sistem regimen tiga obat saat ini telah
direkomendasikan oleh petunjuk konsensus mayor (seperti dari U.S. Department of Health
and Human Services and the International AIDS Society-USA) termasuk 2 analog nukleosida
(biasanya diperkuat dengan ritonavir dosis rendah) dan 1 NNRTI.3
Jika penyakit pasien tersebut telah memasuki tahap lanjut atau konsentrasi HIV RNA
dalam plasma sangat meningkat, disarankan untuk menggunakan sebuah regimen yang sangat
aktif, setidaknya 1 protease inhibitor atau efavirenz. Nevirapine, delavirdine, dan efavirenz,
jika dipakai sebagai bagian dari regimen inisial, harus dipakai dalam kombinasi yang akan
menurunkan konsentrasi HIV RNA dalam plasma hingga dibawah deteksi. Resistensi
terhadap obat-obatan ini berkembang dengan cepat jika replikasi virus yang signifikan terjadi
selama penggunaannya.3
Terapi antiretroviral sebaiknya dipertimbangkan pada pasien AIDS, dengan hitung
CD4 kurang dari 350 sel/mm3, atau hitung CD4 yang setara dengan 14%, dan (b) tanpa
memperhatikan hitung CD4: pasien HIV yang sedang hamil, pasien HIV dengan nefropathy
terkait-HIV, atau pasien HIV yang juga menderita hepatitis B. Untuk individu yang tidak
menderita penyakit indikator AIDS dan memiliki hitung CD4 absolut lebih dari 350 sel/mm3,
pengobatan ARV diberikan pada kasus-kasus tertentu. Pada pasien asimtomatik dengan
limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml, terapi ARV
dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien
dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.
Jika pengobatan ditunda, pasien harus dipantau secara teliti dengan reevaluasi dari
konsentrasi HIV RNA dalam plasma dan hitung CD4 setiap 3 bulan.2, 3, 9
Tabel 5. Kriteria WHO untuk Inisiasi ARV dalam populasi spesifik9
Populasi target Kondisi Klinis Rekomendasi
Individu asimtomatik
v(termasuk ibu hamil)
WHO stadium klinis 1 Mulai ARV jika CD4 ≤350
Individu simtomatik
(termasuk ibu hamil)
WHO stadium klinis 2 Mulai ARV jika CD4 ≤350
WHO stadium klinis 3 atau 4 Mulai ARV tanpa memperhatikan hitung
CD4
Saat terapi antiretroviral mulai diberikan, perhatian harus ditujukan pada kepatuhan
penderita dalam pengobatan. Hal ini akan menjadi masalah yang sulit diatasi jika pasien
merasa sehat sebelum inisiasi terapi diberikan. Masalah akan menjadi lebih sering timbul
akibat efek samping pemberian obat antiretroviral. Individu yang akan diberikan terapi
antiretroviral harus mengerti bahwa kepatuhan pengobatan adalah suatu hal yang esensial
agar tercapai keberhasilan pengobatan.3,9
Tabel 6. Terapi antiretroviral yang diberikan untuk inisiasi
Populasi target Guideline WHO 2010 (revisi)
Dewasa dan remaja
yang terinfeksi HIV
dan belum pernah
diterapi ARV
(AZT atau TDF) + 3TC atau FTC + (EFV atau NVP)
Pemakaian stavudine (d4T) sebaiknya dihentikan akibat toksisitasnya.
HIV+ ibu hamil AZT + 3TC + (EFV or NVP)
Disarankan: AZT namun dapat juga dipakai TDF
EFV termasuk sebagai pilihan NNRTI (tapi jangan pakai EFV selama trimester
pertama)
Keuntungan NVP sesuai dengan risikonya saat hitung CD4 250−350 sel/mm3
Terapi Antiretroviral selanjutnya dan Penggatian Regimen
Penggantian terapi ARV diperlukan saat terjadi gagal terapi atau intoksikasi obat. Saat
mempertimbangkan penggantian ARV, membedakan antara gagal terapi dan intoksikasi obat
merupakan suatu hal yang penting. Terkadang pasien meminta penghentian terapi sementara.3
Tabel 7. Berdasarkan Guideline WHO 2010 (Revision)9
Kapan harus
dimulai
Semua pasien remaja dan dewasa, termasuk ibu hamil, dengan infeksi HIV
dan hitung CD4 ≤350 sel/mm3 sebaiknya mulai minum obat ARV tanpa
melihat ada tidaknya gejala klinis. Bagi pasien yang sudah memiliki gejala
klinis stadium 3 dan 4, sebaiknya mulai minum obat ARV tanpa melihat
jumlah hitung CD4.
Obat apa yang
dipakai sebagai
terapi lini pertama
Terapi ARV lini pertama harus mengandung 1 NNRTI + 2 NRTI, salah satunya harus
zidovudine (AZT) atau tenofovir (TDF). Negara harus mengambil langkah cepat dengan
secara progresif menurunkan pemakaian stavudine (d4T) sebagai regimen lini pertama
karena toksisitasnya yang sudah dikenali.
Apa yang harus
dipakai sebagai
terapi lini kedua
Terapi ARV lini kedua harus mengandung suatu ritonavir-boosted protease inhibitor (PI)
ditambah dua NRTI, salah satunya harus AZT atau TDF, berdasarkan dengan apa yang
dipakai sebagai terapi lini pertama. Ritonavir-boosted atazanavir (ATV/r) atau
lopinavir/ritonavir (LPV/r) adalah PI yang terpilih.
Pemantauan
laboratorium
Semua pasien harus memiliki akses ke tempat tes hitung CD4 guna mengoptimalkan pre-
ARV dan manajemen ARV. Tes hitung HIV RNA (viral-load) direkomendasikan untuk
konfirmasi adanya gagal pengobatan. Monitor toksisitas obat sebaiknya berdasarkan
pemeriksaan langsung terhadap gejala dan tanda yang ada pada pasien.
Kegagalan Pengobatan
Kegagalan terapi terjadi saat viral load secara signifikan meningkat atau gagal
mencapai target penurunan, saat hitung CD4 menurun secara signifikan, atau saat progresi
secara klinis terjadi. Jika suatu regimen baru gagal untuk mencapai penurunan viral load 3
sampai 6 kali lipat dalam waktu kurang dari 4 minggu, atau 10 kali lipat dalam 8 minggu
pengobatan, maka penggantian terapi harus dipertimbangkan. Jika suatu regimen berhasil
mencapai target pengobatan dalam target 4 minggu da 8 minggu namun gagal dalam
mensupresi viral load hingga level yang tidak dapat dideteksi dalam 4 sampai 6 bulan, maka
harus dilakukan reevaluasi yang teliti terhadap regimen pengobatan yang telah dipakai.2,3
Kegagalan dapat terjadi oleh beberapa akibat, yaitu resistensi virus terhadap satu atau
lebih ARV, perubahan dalam penyerapan atau metabolisme dari satu atau lebih ARV,
perubahan dalam farmakokinetik ARV akibat interaksi obat, dan ketidakpatuhan pasien
terhadap pengobatan. Sebelum penggantian terapi antiretroviral dilakukan, penting untuk
diketahui penyebab dari kegagalan terapi regimen tersebut.3
Resistensi obat
Pada saat terjadi gagal pengobatan akibat resistensi, mengetahui riwayat ARV yang
sedang atau pernah digunakan secara detail merupakan hal penting yang harus dilakukan.
Dalam situasi seperti ini, ARV dengan tingkat resistensi yang paling rendah sebaiknya
dipakai. Setidaknya dua atau tiga jenis ARV yang baru digunakan setelah evaluasi. 3
Berdasarkan kriteria WHO 2010(revisi) tentang Penggantian Regimen ARV9
1. Saat tersedia, gunakan viral load (VL) untuk konfirmasi kegagalan pengobatan
2. Saat tersedia secara rutin, gunakan VL setiap 6 bulan sekali untuk mendeteksi replikasi
virus
3. VL>5000 kopi/ml dan persisten menandakan adanya kegagalan pengobata
4. Saat VL tidak tersedia, gunakan kriteria imunologis untuk konfirmasi kegagalan
pengobatan.3
Tabel 8. Kriteria penggantian ARV9
Failure Definition Comments
Kegagalan obat dinilai secara
klinis
Kondisi stadium 4 kriteria
WHO
Kondisi harus dibedakan
dengan immune reconstitution
inflammatory syndrome (IRIS)
Beberapa kondisi stadium klinis 3
WHO (seperti TB paru, infeksi
bakterial yang berat), dapat
menandakan kegagalan
pengobatan.
Kegagalan obat dinilai secara
imunologis
Penurunan hitung CD4 ke
nilai dasar (atau di
bawahnya), ATAU
Penurunan 50% dari nilai
tertinggi, ATAU
Hitung CD4 di bawah 100
sel/mm3 yang persisten
Tanpa infeksi konkominan
yang menyebabkan
penurunan CD4 yang
transien.
Kegagalan obat dinilai secara
virologis
Nilai viral load dalam plasma
di atas 5000 kopi/ml
Batas viral load optimal
untuk menjelaskan
kegagalan secara virologis
belum ditentukan. Nilai
>5000 kopi/ml berhubungan
dengan progresi klinis dan
penurunan dalam hitung
CD4.
Strategi viral load yang berhubungan dengan kegagalan obat dan penggantian obat9
Tabel 9. Rekomendasi terapi obat antiretroviral lini kedua9
Populasi target Guideline WHO 2010 (revisi) tentang terapi ARV lini kedua
HIV pada dewasa
dan remaja
Jika menggunakan d4T atau AZT pada lini
pertama
TDF + (3TC atau FTC) + (ATV/r atau
LPV/r)
Jika menggunakan TDF pada lini pertama AZT + (3TC atau FTC) + (ATV/r atau
LPV/r)
HIV pada ibu hamil Menggunakan regimen yang sama seperti untuk pasien dewasa dan remaja
Toksikasi Obat
Saat toksikasi obat merupakan pertimbangan dalam penggantian regimen, hal yang
perlu dilakukan adalah dengan mensubstitusi satu atau lebih ARV dari kelas yang sama,
potensiasi yang sama dengan obat yang sedang dipakai, namun dengan efek samping yang
berbeda.3,9
Interupsi Pengobatan (Penghentian Pengobatan Sementara)
Efek ikutan dari obat, biaya pengobatan, dan kebutuhan akan compliance sering kali
menjadi penyebab pasien menginginkan interupsi pengobatan, terutama bila hal tersebut
terjadi secara berulang. Pasien lainnya bahkan biasa menghentikan pengobatan tanpa
meminta persetujuan untuk melakukannya. Penelitian secara random atas efek dari interupsi
Curiga kegagalan secara klinis atau imunologisTes viral load
VL>5,000 kopi/mlPengobatan dgn kepatuhan
Ulang penilaian VLVL ≤ 5,000 kopi/mlJangan ganti ke lini
keduaVL > 5,000 kopi/mlGanti ke lini kedua
pengobatan pada pasien dengan hitung CD4 kurang dari 350 sel/mm3 dan memulai
pengobatan kembali hanya bila ia memiliki hitung CD4 dibawah 250 sel/mm3 menunjukkan
peningkatan secara signifikan terhadap risiko kematian dan infeksi oportunistik, tanpa
penurunan risiko efek ikutan pengobatan. “Libur pengobatan” dapat dipertimbangkan, namun
risiko tersebut harus dapat dimengerti dengan jelas oleh pasien, dan interupsi pengobatan
sebaiknya dihindarkan.3
Tabel 10. Pemantauan Terapi ARV pada Pasien yang memiliki risiko tinggi untuk
kejadian ikutan9
Obat ARV Toksisitas mayor Situasi yang berisiko tinggi
d4T Lipodistrofi
Neuropathy
Asidosis Laktat
Usia >40 tahun
Hitung CD4 <200 cells/mm3
BMI >25 (atau berat badan >75kg)
Bersamaan dengan pemakaian INH atau dd
AZT Anemia
Neutropenia
Hitung CD4 <200 cells/mm3
BMI <18.5 (or berat badan <50 kg)
Anemia pada garis batas
TDF Disfungsi renal Penyakit ginjal yang menyertai
Usia >40 tahun
BMI <18.5 (atau berat badan <50 kg)
Diabetes mellitus
Hipertensi
Bersamaan dengan pemakaian bPI atau obat-obatan nefrotoksik
EFV Teratogenik Kehamilan trimester pertama jangan menggunakan EFV
Penyakit Psikiatrik Depresi atau penyakit psikiatrik (baik yang sebelumnya sudah
ada atau yang mendasari)
NVP Hepatotoksik Ko-infeksi dengan infeksi HCV dan HBV
Tabel 11. Toksisitas dan Substitusi obat yang direkomendasikan9
Obat ARV Toksisitas yang terkait dengan pemakaian
ARV
Subsitusi yang disarankan
TDF Asthenia, sakit kepala, diare,
mual, muntah, buang angin terus-menerus
Jika digunakan sebagai terapi
lini pertama: AZT (atau d4T
Insufisiensi renal, sindrom Fanconi
Osteomalacia
Penurunan densitas mineral tulang
Hepatitis eksasebasi akut dapat terjadi pada pasien
hepatitis B yang tidak melanjutkan pengobatan
dengan TDF
jika tidak ada pilihan lain)
Jika digunakan sebagai terapi
lini kedua
Dalam tujuan kesehatan
publik, tidak ada pilihan lain
Jika pasien gagal dalam
pengobatan lini pertama
dengan AZT/d4T
Jika memungkinkan,
pertimbangkan perawatan yang
lebih baik, dimana terapi
individualisasi tersedia
AZT Supresi sumsum tulang:
anemia makrositik atau neutropenia
Intolerensi gastrointestinal,
Sakit kepala, insomnia, asthenia
Pigmentasi kulit dan kuku
Asidosis laktat dengan steatosis hepatik steatosis
Jika digunakan dalam terapi lini
pertama: TDF (atau d4T jika tidak ada
pilihan lain)
Jika digunakan dalam terapi lini
kedua: d4T
EFV Reaksi Hipersensitivitas
Sindroma Stevens-Johnson
Gatal-gatal
Hepatotoksik
Toksisitas terhadap SSP yang persisten dan berat
(depresi, kebingungan)
Hiperlipidemia
Ginecomastia pada laki-laki
Potensi teratogenik (trimester pertama kehamilan atau
perempuan yang tidak menggunakan kontrasepsi)
NVP
bPI jika intoleran terhadap kedua
NNRTI
Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain
NVP Reaksi Hipersensitivitas
Sindroma Stevens-Johnson
Gatal-gatal
Hepatotoksik
Hiperlipidemia
EFV
bPI jika intoleran terhadap kedua
NNRTI
Tiga NRTI jika tidak ada pilihan
lain
ATV/r Hiperbilirubinemia indirek LPV/r
Ikterik secara klinis
PR interval memanjang — derajat pertama
simtomatik AV blok pada beberapa pasien
Hiperglikemia
Maldistribusi lemak
Kemungkinan peningkatan episode pendarahan pada
pasien dengan hemofilia
Nephrolithiasis
LPV/r Intolerensi GI mual, muntah, diare
Asthenia
Hiperlipidemia (terutama hipertrigliceridemia)
Transaminase serum meningkat
Hiperglikemia
Maldistribusi lemak
Kemungkinan peningkatan episode pendarahan pada
pasien dengan hemofilia
PR interval memanjang
QT interval memanjang and torsade
de pointes
ATV/r
Tabel 12. Kejadian ikutan terkait-ARV dan Rekomendasi9
Kejadian ikutan ARV lini pertama Mayor Rekomendasi
Dyslipidaemia All NRTIs
(particularly
d4T)
EFV
Consider replacing the
suspected ARV
Anemia dan
Neutropaenia
AZT Jika berat (Hb <7.0 g/dl
dan/atau ANC <750 cells/
mm3), ganti dengan sebuah
ARV tanpa/dengan efek
samping ke arah toksisitas
sumsum tulang
(seperti d4T or TDF) dan
primbangan transfusi darah
Hepatitis Semua ARV
(biasanya NVP)
Jika ALT lebih dari 5 level
batas
Hentikan ART dan monitor
Setelah resolusi mulai
kembali ART, ulang ARV,
ganti obat kausatif, (seperti .
EFV mengganti NVP).
Asidosis laktat Semua NRTI
(biasanya
d4T)
Hentikan ARV dan beri
terapi suportif. Setelah
resolusi, resume ART dengan
TDF.
Lipoatrophy and
Lipodystrophy
Semua NRTI
(biasanya
d4T)
Penggantian awal dari ARV
yang dicurigai sebagai
penyebab (seperti d4T untuk
TDF atau AZT)
Perubahan neuropsikiatrik EFV Biasanya hilang sendiri tanpa
penghentian ARV.
Jika tidak dapat ditoleransi
oleh pasien, ganti EFV
dengan NVP atau bPI.
Substitusi tunggal disarankan
tanpa penghentian ARV.
Toksisitas renal (disfungsi
tubular renal)
TDF Pertimbangkan penggantian
dengan AZT
Neuropathy perifer d4T Ganti d4T dengan AZT,
TDF. Pengobatan simtomatik
(amitriptyline,
vitamin B6).
Situasi Spesial
Terdapat beberapa situasi yang warrant komen spesifik dengan perhatian pada
penggunaan terapi ARV, yaitu: Infeksi primer, profilaksis pasca terpajan (postexposure
prophylaxis), dan transmisi perinatal.3
Infeksi HIV Primer
Infeksi primer dapat memperlihatkan kemungkinan secara signifikan dari perubahan
perjalanan penyakit HIV pada individu yang telah terinfeksi. Perbaikan sementara dari viral
load dan hitung CD4 telah dilaporkan saat terapi ARV diberikan selama fase infeksi primer,
namun data-data tersebut sangat terbatas. Beberapa ahli merekomendasikan terapi ARV
untuk semua pasien yang menunjukkan bukti infeksi primer dalam pemeriksaan laboratorium
(telah terdeteksi HIV RNA dalam plasma dengan hasil tes antibodi HIV yang negatif atau
yang tidak dapat ditentukan). Jika percobaan klinis untuk infeksi akut tidak tersedia atau
ditolak oleh pasien, suatu regimen dapat dipilih dari opsi yang tersedia untuk mengobati
infeksi yang timbul.3,4
Profilaksis Pasca Pajanan (Postexposure Prophylaxis-PEP)
Penggunaan ARV sebagai pencegahan transmisi yang disebabkan oleh pajanan-berisiko-
tinggi dibedakan menjadi dua pilihan, yaitu: pajanan akibat pekerjaan dan pajanan setelah
aktivitas yang berisiko tinggi. (Tabel 13 dan 14)3
PEP tidak diindikasikan pada situasi:
Jika orang tersebut telah terbukti positif terinfeksi HIV sebelum terkena pajanan
Pada pajanan yang kronis
Jika pajanan tersebut tidak menunjukkan transmisi, yaitu:
- Pajanan kulit intak dengan cairan tubuh yang berpotensial infeksius
- Hubungan seksual menggunakan kondom yang masil intak
- Pajanan terhadap cairan tubuh yang non-infeksius (seperti air liur, keringat, urin,
feses)
- Pajanan terhadap cairan tubuh dari individu yang telah diketahui HIV negatif,
kecuali individu tersebut berisiko tinggi baru terkena infeksi sehingga ada
kemungkinan sedang dalam masa jendela (window period); dan
Jika pajanan telah terjadi selama lebih dari 72 jam.10
Indikasi PEP Pajanan terjadi dalam ≤72 jam
Individu yang terpajan tidak mengetahui apakah sudah
terinfeksi HIV sebelumnya
Pajanan yang signifikan (mukosa meimbran atau kulit
yang tidak intak terpajan dengan cairan tubuh yang
berpotensi infeksius)
Individu yang berperan sebagai sumber pajanan
memang telah terinfeksi HIV atau tidak diketahui status
HIV individu tersebut
Informed consent sebelum
pemberian PEP
Informasi tentang risiko dan manfaat ARV
Consent secara verbal
Obat yang dipakai 2 NRTI (biasanya memakai bagian dari lini pertama)
Disarankan: AZT+3TC
Alternatif: TDF+3TC atau d4T+3TC
Tambahkan bPI jika terdapat resistensi:
Disarankan: AZT+3TC+LPV/r
Alternatif:
AZT+3TC+ATV/r atau SQV/r atau fos-APV/r
TDF+3TC+ATV/r atau SQV/r atau fos-APV/r
d4T+3TC+ATV/r atau SQV/r atau fos-APV/r
Waktu inisiasi Dosis inisial dari ARV harus diberikan secepat mungkin
dan tidak lebih dari 72 jam pasca pajanan
Durasi terapi 28 hari
Test HIV dengan informed
consent serta konseling pre
serta post tes sehubungan
dengan protokol
Tes HIV dasar pada individu yang terpajan
Follow up tes HIV 3-6 bulan setelh pajanan
Tes HIV berulang untuk individu sumber jika
memungkinkan dan berdasarkan informed consent dan
prosedur operasi
Evaluasi laboratorium
tambahan
Tes kehamilan
Hemoglobin (untuk regimen yang menggunakan
zidovudin)
Skrining hepatitis B dan C jika tersedia dan berdasarkan
prevalensi penyakit tersebut
Konseling Untuk kepatuhan, efek samping, pengurangan risiko,
trauma atau masalah kesehatan mental, dan dukungan
sosial dan keamanan
Follow up klinis Menangani dan mengatur efek samping pengobatan
Menangani dan mendukung kepatuhan.10
Tabel 13. Rekomendasi Profilaksis Pasca Pajanan (Post Exposure Prophylaxis–PEP)
Tipe
Pajana
n
HIV Positif
Kelas 1 (a)
HIV positif
Kelas 2 (a)
Sumber dari status
HIV tidak diketahui
(b)
Sumber yang tidak
diketahui (c)
HIV
negative
Kurang
berat
(d)
Direkomendasi
kan 2 obat PEP
dasar
Direkomendasi
kan ≥3 obat
PEP yang di
perluas
Secara umum, tidak
dibutuhkan PEP,
namun
dipertimbangkan 2
obat PEP (e) dasar
untuk sumber yang
memiliki faktor
risiko HIV (f)
Secara umum tidak
dibutuhkan PEP,
namun
dipertimbangkan 2
PEP (e) dimana
pajanan sepertinya
bersumber dari
individu yang
terinfeksi HIV
Tidak
dibutuh
kan PEP
Lebih Direkomendasi Direkomendasi Secara umum, tidak Secara umum tidak Tidak
Berat
(g)
kan 3 obat PEP
dasar
kan ≥3 obat
PEP yang di
perluas
dibutuhkan PEP,
namun
dipertimbangkan 2
obat PEP (e) dasar
untuk sumber yang
memiliki faktor
risiko HIV (f)
dibutuhkan PEP,
namun
dipertimbangkan 2
PEP (e) dimana
pajanan sepertinya
bersumber dari
individu yang
terinfeksi HIV
dibutuh
kan PEP
(a) HIV positif kelas 1 : Infeksi HIV asimptomatik atau telah diketahui viral load yang
rendah. (c/<1500 rna kopi/mL)
HIV positive kelas 2 : Infeksi HIV simtomatik, AIDS , atau viral load yang diketahui
tinggi. Jika resistensi obat adalah suatu pertimbangan, diperlukan konsul. Inisiasi dari
PEP jangan di tunda untuk menunggu hasil konsul, karena konsultasi kepada para ahli
sendiri tidak dapat menggantikan konseling secara tatap muka, sebaiknya ada dokter
untuk evaluasi langsung dan follow up untuk setiap pajanan.
(b) Sebagai contoh: Sumber yang tidak bisa didapatkan sample untuk tes HIV
(c) Sebagai contoh: Jarum dari kemasan sekali pakai yang tajam
(d) Sebagai contoh: Luka superfisial
(e) Rekomendasi “ pertimbangkan PEP” mengindikasikan bahwa PEP adalah suatu
pilihan. Keputusan untuk inisiasi PEP harus berdasarkan diskusi antara pasien yang
terpajan dan dokter yang merawat tentang resiko dan manfaat dari PEP.
(f) Jika PEP dianjurkan kemudian dilakukan tes HIV dan hasilnya negatif, PEP
sebaiknya dihentikan.
(g) Sebagai contoh, jarum besar, pungsi dalam, transfusi darah, atau jarum yang
digunakan pada arteri atau vena pasien.
Tabel 14. Rekomendasi Profilaksis Pasca Pajanan (PEP) HIV untuk pajanan membran
mukosa dan pajanan kulit non-intak
Status Sumber Infeksi
Tipe
Pajanan
HIV Positif
Kelas 1 (a)
HIV Positiv
Kelas 2 (a)
Sumber dengan
Status HIV tidak
Sumber yang
tidak diketahui
HIV
diketahui (b) (c) negatif
Volume
Sedikit
(d)
Pertimbangkan
2 Obat PEP
dasar (e)
Direkomenda
-
sikan 2 obat
PEP dasar
Secara umum
tidak dibutuhkan
PEP (f)
Secara umum
tidak butuh PEP
Tidak
butuh
PEP
Volume
Besar (g)
Direkomenda-
sikan 2 obat
PEP dasar
Direkomenda
-
sikan >=3
obat PEP
yang
diperluas
Secara umum,
tidak dibutuhkan
PEP, namun
dipertimbangkan
2 obat PEP (e)
dasar untuk
sumber yang
memiliki faktor
risiko HIV (f)
Secara umum
tidak butuh PEP,
namun di
pertimbangkan 2
obat PEP dasar
dimana pajanan
sepertinya
bersumber dari
individu yang
terinfeksi HIV
Tidak
butuh
PEP
Untuk Pajanan Kulit, follow – up di indikasikan hanya jika terbukti adanya integritas kulit
terkompromised (seperti: dermatitis, abrasi, atau luka terbuka)
(a) HIV positif kelas 1 : Infeksi HIV asimtomatik atau viral load yang rendah (c/: RNA
1500kopi/mL)
HIV positif kelas 2 : Infeksi HIV simtomatik , AIDS, atau viral load yang tinggi. Jika
resistensi obat merupakan sebuah pertimbangan, lakukan konsul pada yang lebih ahli.
Inisiasi PEP tidak boleh ditunda selama konsul dilakukan, karena konsul ahli sendiri
tidak bisa menggantikan konseling secara tatap muka, sebaiknya ada dokter untuk
evaluasi langsung dan follow up untuk setiap pajanan.
(b) Sebagai contoh : Sumber yang tidak bisa didapatkan sample untuk tes HIV
(c) Sebagai contoh : cipratan dari darah yang sumbernya tidak diketahui
(d) Sebagai contoh : beberapa tetes
(e) Rekomendasi “ pertimbangkan PEP”mengindikasikan bahwa PEP adalah suatu
pilihan. Keputusan untuk inisiasi PEP harus berdasarkan diskusi antara pasien yang
terpajan dan dokter yang merawat tentang resiko dan manfaat dari PEP.
(f) Jika diberikan PEP kemudian dilakukan tes HIV dan hasilnya negatif, PEP sebaiknya
dihentikan.
(g) Sebagai contoh, tumpahan darah yang banyak
Pajanan Okupasional (Pekerjaan)
Dalam ketidakadaan data penelitian yang definitif, keputusan untuk penggunaan
profilaksis ARV harus dilakukan secara individual dan dibahas dengan pasien. Saat konseling
dengan pasien, harus pasien harus mengetahui tingkat keparahan pajanan, serokonversi yang
sangat rendah resikonya, fakta bahwa terapi tersebut tidak memberikan proteksi yang
absolut, insidens tinggi dari efek samping obat, dan kebutuhan akan follow up yang cukup
sering .3,4,9
Pajanan seksual yang beresiko tinggi & pajanan Non-okupasional lainnya.
Profilaksis ARV untuk pajanan seks yang beresiko tinggi, pemakaian obat suntikan &
pajanan non-okupasional lainnya telah diteliti. Petunjuk CDC merekomendasikan untuk tidak
memakai PEP saat resiko pajanan dapat diabaikan atau saat durasi dari waktu terjadinya
pajanan lebih dari 72 jam, pada kasus dimana sumber pasien telah diketahui positif, durasi
dari waktu terjadinya pajanan kurang dari 72 jam, resiko pajanan tidak dapat diabaikan, terapi
ARV sangat direkomendasikan. Jika pengobatan telah diberikan, durasi pemberiannya
sebaiknya selama 4 minggu. Regimen yang di rekomendasikan untuk nPEP adalah hampir
sama dengan rekomendasi regimen untuk pengobatan yang spesifik infeksi HIV pada
umumnya, walaupun tidak ada bukti yang mengindikasikan bahwa ARV spesifik manapun
atau kombinasi dari medikasi dapat secara optimal berperan sebagai nPEP.3,9
Pencegahan Transmisi Perinatal (Prevention of Mother-To-Child Transmission (of HIV-
PMTCT)
Zidovudine & nevirapine telah menunjukan penurunan yang signifikan terhadap
kecenderungan transmisi HIV dalam latar belakang periratal. Tidak ada ARV lain yang telah
di demonstrasikan untuk menurunkan kecenderungan transmisi HIV secara vertical. Oleh
karena itu, sebisa mungkin, zidovudine dan atau nevirapine disarankan untuk dimasukkan ke
dalam komponen regimen ARV yang digunakan selama kehamilan. Harus diperhatikan
bahwa nevirapine sering dihubungkan dengan kenaikan resiko dari hepatotoksik pada wanita
dengan hitung CD4 < 250 sel/mm3 pre nevirapine sehingga, pada wanita yang memiliki
hitung CD4 > 250 sel/ mm3 dan belum pernah mengkonsumsi nevirapine, sebaiknya tidak
diberikan nevirapine sebagai komponen dari inisiasi regimen kombinasi dalam sebagian besar
permasalahan.2, 3, 4
Efavirenz harus dihindari selama kehamilan terutama saat trimester pertama
dikarenakan efek teratogeniknya. Didanosine & stavudine sebaiknya tidak dipakai sebagai
kombinasi selama kehamilan karena meningkatkan resiko asidosis laktat dengan steatosis
hepatik dan atau pankreatitis setelah penggunaan yang lama. Dikarenakan laporan terakhir
tentang hasil hubungan yang berpotensiasi toksik, ethyl methanesulfanate, yang di temukan
pada nelfinavir, direkomendasikan bahwa nelfinavir tidak digunakan pada wanita hamil atau
wanita yang sedang mengantisipasi konsepsi. Dengan pertimbangan ini, regimen yang dipilih
untuk mengatasi infeksi HIV pada orang dewasa & remaja harus di aplikasikan guna
mencegah transmisi perinatal.2,3,4,9
Dalam pembuatan rekomendasi ini, terapi ARV dan strategi PMTCT terbukti dapat
lebih memperbaiki progonis kesehatan ibu dan bayi dan dapat mencegah transmisi virus HIV
dari ibu ke anak.1,2,3,4,9
Table 11. Rekomendasi regimen ARV untuk wanita dengan pajanan PMTCT9
Pemakaian ARV sebelumnya untuk PMTCT Rekomendasi untuk inisiasi ARV saat diperlukan
terapi HIV untuk kesehatan ibu
sdNVP (+/- antepartum AZT) tanpa tambahan
AZT/3TC dalam 12 bulan terakhir
Inisiasi sebuah non-NNRTI regimen, PI lebih
disarankan dibanding 3 NRTI
sdNVP (+/- antepartum AZT) dengan tambahan
AZT/3TC dalam 12 bulan terakhir
Inisiasi sebuah NNRTI regimen
Jika memungkinkan, cek viral load saat bulan ke-6
Dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV lini
kedua dengan PI
sdNVP (+/- antepartum AZT) dengan atau tanpa
tambahan AZT/3TC lebih dari 12 bulan sebelumnya
Inisiasi sebuah NNRTI regimen
Jika memungkinkan, cek viral load saat bulan ke-6
Dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV lini
kedua dengan PI
Option A4
Antepartum hanya AZT (dari masa ≤14 minggu
gestasi)
sdNVP saat onset kehamilan
AZT + 3TC saat kehamilan dan melahirkan
Inisiasi sebuah NNRTI regimen
Jika memungkinkan, cek viral load saat bulan ke-6
Dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV lini
kedua dengan PI
Jika tidak ada sdNVP yang diberikan, mulai standar
NNRTI (viral load tidak harus dicek kecuali secara
Tambahan AZT + 3TC untuk 7 hari postpartum
* sd-NVP dan AZT + 3TC dapat dihentikan bila ibu
telah mendapatkan AZT > 4 minggu antepartum
klinis ada indikasi seperti bila tidak mendapat
sdNVP)
Semua regimen triple ARV (termasuk Option B),
tanpa memperhatikan waktu pajanan dan waktu
pajanan sejak awal
Option B
Triple ARV dari 14 minggu gestasi sampai
pemberian ASI dihentikan
AZT + 3TC + LPV/r
AZT + 3TC + ABC
AZT + 3TC + EFV
TDF + [3TC atau FTC] + EFV
Inisiasi standar NNRTI regimen
Jika triple ARV dengan dasar EFV digunakan untuk
profilaksis dan tidak ada tambahan (AZT + 3TC;
atau TDF + 3TC; atau TDF + FTC) yang diberikan
saat triple ARV dihentikan setelah penghentian ASI
(atau melahirkan jika memakai susu formula), cek
viral load saat bulan ke-6
dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV line kedua
dengan PI
2.11 PENCEGAHAN DAN EDUKASI
Edukasi dan dukungan terhadap pasien
Seperti pada penyakit – penyakit kronis lainnya, pemahaman akan adanya jaringan
pendukung pasien & membantu pasien untuk mengembangkan dukungan tambahan akan
menjadi sangat penting. Sering kali sangat membantu jika pasien- pasien dapat saling
menyatu membentuk kelompok untuk saling berbagi pengalaman & pertimbangan. Hal ini
dapat membantu meminimalisir isolasi, kesendirian, & ketakutan.3
Depresi merupakan hal yang paling sering terjadi pada pasien yang didiagnosis
infeksi HIV. Dibeberapa tempat terdapat beberapa sumber komunitas yang khusus dibuat
untuk membantu pasien dengan infeksi HIV yang legal, social, dan financial pertaining ke
infeksi. Merupakan hal yang penting utnuk setiap dokter yang merawat pasien-pasien tersebut
untuk mengidentifikasi sumber-sumber ini..1,3
Sebuah diskusi terbuka tentang perhitungan seksama dengan individu yang HIV
Seropositive & pasangannya adalah hal yang penting. Langkah ini sangat bermanfaat dalam
pencegahan transmisi bukan hanya HIV, tapi juga penyakit menular sexual lainnya.
Kepatuhan terhadap terapi ARV adalah hal yang penting untuk menvapai keberhasilan .
Dokter berperan dalam peranan yang penting dalam menjaga kepatuhan pasien . Indikasi
untuk admission & konsultasi walaupun perawatan di perlukan untuk beberapa elemen –
elemen manajemen HIV, terdapat beberapa masalah dimana rawat inap menjadi penting.
Pasien dengan tanda & gejala yang mengarah ke infeksi paru, system saraf pusat, atau
infeksi menyeluruh (terutama yang disebabkan oleh pneumonia pneumocystis yang berat,
TB, atypical Mycobacteum, toxoplasmosis, histoplasmosis, coccidiomycosis, cryptococcus,
CMV, dan infeksi hepatitis yang tidak terkompensasi) mungkin memerlukan rawat inap dan
konsultasi penyakit pada ahli.3
Tidak ada vaksin yang tersedia untuk pemakaian pada manusia. Sebuah vaksin yang
mengandung rekombinan gp120 dapat memproteksi primata bukan manusia untuk melawan
HIV dan sel yang terinfeksi HIV.9
Pencegahan terdiri dari penghindaran terhadap pajanan pada virus, seperti: memakai
kondom, tidak memakai jarum suntik secara bergantian, dan membuang produk darah yang
terkontaminasi virus HIV. Profilaksis pasca pajanan, seperti setelah kecelakaan suntikan
jarum, terdiri dari zidovudine, lamivudine, dan sebuah protease inhibitor, seperti indinavir.
Dua langkah dapat dipakai untuk menurunkan jumlah kasus infeksi HIV pada anak-anak:
ZDV atau nevirapine sebaiknya diberikan saat perinatal ke ibu yang terinfeksi HIV dan
neonatus, dan ibu yang terinfeksi HIV sebaiknya tidak memberi ASI. Sebagai tambahan,
risiko infeksi HIV pada neonatus lebbih rendah jika dibandingkan dengan saat melahirkan.
Sirkumsisi mengurangi infeksi HIV.9
Beberapa obat biasanya dipakai oleh psien saat stadium lanjut dari AIDS untuk
mencegah infeksi oportunistik. Beberapa contohnya yaitu trimethoprim-sulfamethoxazole
untuuk mencegah Pneumocystis pneumonia, fluconazole untuk cegah rekurensi meningtis
cryptococcal, ganciclovir untuk cegah rekurensi dari retinitis yang disebabkan oleh
cytomegalovirus, dan preparasi oral obat antifungal, seperti clotrimazole, untuk cegah
candidiasis oral yang disebabkan oleh Candida albicans.9
BAB III
ANALISIS KASUS
Terdapat beberapa infeksi yang dapat meningkatkan factor resiko terkena virus HIV,
dimana pada kasus adalah bacteriovaginosis. Screening yang dilakukan di Poli Cintta yang
dilakukan melalui darah yaitu untuk HIV dengan konselin pra test dan ditest dengan rapid test
diulang tiga kali dengan reagen yang berbeda secara pararel serta sifilis melalui pemeriksaan
TPHA dan dilanjutkan RPR jika hasil TPHA negative. Pada pasien HIV ditemukan positif
melalui screening tanpa menunjukkan gejala apapun yang mana pasien masuk ke fase
asimptomatik. Sebelumnya sekitar 1 tahun yang lalu pasien melahirkan secara normal di PKC
Tambora dan sudah di screening dan hasilnya negative, dimana hasil negative pada screening
yang dilakukan kemungkinan pasien dalam masa window periode .
Screening yang kedua dilakukan adalah pemeriksaan duh tubuh vagina. Pada
pemeriksaan duh tubuh vagina didapatkan adanya clue cell dimana clue cell merupakan tanda
patognomonik dari Bacteriovaginosis. Dan pada pasien ini dilakukan pengobatan dengan
menggunakan metronidazol 2x 500 mg per oral selama 7 hari dan control kembali 1 minggu.
Sesuai dengan regimen ARV anjuran lini I yaitu 2 NRTI dan 1 NNRTI
Konseling pasca test dilakukan kepada pasien, setelah diketahui bahwa pasien terkena
HIV maka dilakukan pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati dan ginjal untuk pemilihan dan
pertimbangan regimen terapi ARV. Pada pasien didapatkan hasil lab darah lengkap , fungsi
hati dan ginjal baik, serta karena pasien sudah menyusui anaknya maka pemberian ARV
segera di lakukan tanpa memandang hasil CD4. Terapi yang di berikan adalah kombinasi dari
Zidovudin, Lamivudin dan Nevirapin. terdapat tablet kombinasi antara zidovudin dan
lamivudin yaitu duviral. Pada tahap inisiasi pasien diberikan duviral 2x1 tablet dan nevirapin
2x ½ tablet untuk 1 minggu dan dievaluasi efek sampingnya. Kemudian jika pasien sudah
dapat toleransi dengan efeksamping obat , dosis dapat dinaikan menjadi 2x1 tablet. Sesuai
dengan regimen ARV anjuran lini I yaitu 2 NRTI dan 1 NNRTI.
Terapi yang harus diberikan pada pasien HIV haruslah secara holistic dimana terapi
supportif pun harus dilakukan. Anjuran pemeriksaan Viral load pada anak pasien dan rapid
test pada suami pasien pun harus dilakukan . Terapi supportif dan edukasi yang jelas
mengenai HIV serta penanganannya pun harus jelas diberikan agar pasien mau dan
menyadari pentingnya meminum obat ARV secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci A, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related
Disorders. In : Longo D, Fauci A, Fauci A, Kasper D, Braunwald E, Hause S, Jameson J
Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th Ed. United States of America:
McGraw-Hill. 2011 p241-50.
2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th Ed. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. p272-76.
3. Boswell SL. Approach to the Patient with Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Infection. In: Goroll AH, Mulley AG. Primary Care Medicine: Office Evaluation and
Management of the Adult Patient. 6th Ed. 2009. p87-101.
4. Levinson W. Human Immunodeficiency Virus. In: Review of Medical Microbiology
and Immunology. 11th Ed. Philadelphia: McGraw Hill. 2010. p299-308
5. Aditama TY. Laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia sampai dengan Juni 2012.
Accessed on: September 15th 2015. Available at:
http://www.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id&gg=1
6. WHO. A global view of HIV Infection. Accessed on September 15th 2015.Available at:
http://gamapserver.who.int/mapLibrary/Files/Maps/HIVPrevalenceGlobal2006.png
7. Merati TP, Djauzi S. Respon Imun Infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. p421-7
8. David C. Dugdale. HIV infection. Accessed on: September 15th 2015. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000602.htm
9. WHO. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents,
Recommendations for a public health approach, 2010 Revision. Accessed on: September
15th 2015. Available at: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/en/
10. WHO. Post-Exposure Prophylaxis to Prevent HIV Infection. Joint WHO/ILO Guidelines on
Post-Exposure Prophylaxis (PEP) to Prevent HIV Infection. Accessed on: September 15th
2015. Available at: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/en/