referat hiv

42
AYU AKSARA - 07120100059 BAB I PENDAHULUAN Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. 1 Pada tahun 2009, diperkirakan 860.000 wanita hamil ditemukan hidup dengan HIV di Afrika Timur dan Selatan, lebih daripada di daerah lain di dunia. Daerah ini juga mempunyai persentase yang tinggi, yaitu rata-rata 47% dari total keseluruhan anak yang hidup dengan HIV, dimana lebih 90% yang terinfeksi melalui penularan vertikal dari ibu ke bayi selama kehamilan, persalinan atau menyusui. 2 Tanpa pengobatan, sekitar 25% -50% dari ibu HIV-positif akan menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan, bersalin, atau menyusui. 3 Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang dari 5% melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu ke anak atau yang dikenal dengan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission), termasuk terapi ARV 1

Upload: agung-h

Post on 24-Sep-2015

72 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

HIV obsgyn

TRANSCRIPT

AYU AKSARA - 07120100059

BAB IPENDAHULUAN

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. 1 Pada tahun 2009, diperkirakan 860.000 wanita hamil ditemukan hidup dengan HIV di Afrika Timur dan Selatan, lebih daripada di daerah lain di dunia. Daerah ini juga mempunyai persentase yang tinggi, yaitu rata-rata 47% dari total keseluruhan anak yang hidup dengan HIV, dimana lebih 90% yang terinfeksi melalui penularan vertikal dari ibu ke bayi selama kehamilan, persalinan atau menyusui.2 Tanpa pengobatan, sekitar 25% -50% dari ibu HIV-positif akan menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan, bersalin, atau menyusui.3Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang dari 5% melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu ke anak atau yang dikenal dengan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission), termasuk terapi ARV (antiretroviral) untuk ibu hamil dan anak yang baru lahir. PMTCT dimulai selama asuhan antenatal, ketika wanita melakukan tes HIV dan menerima hasilnya bahwa dia positif HIV. Rekomendasi di bagian sub-Sahara Afrika adalah terapi ARV diberikan pada wanita selama kehamilan, saat persalinan, dan selama masa nifas atau sementara pemberian ASI eksklusif. Bayi juga harus menjalani tes HIV secara berkala dan minum obat untuk mencegah penularan virus sementara ia disusui.2Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang relatif baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun makin meningkat secara relatif cepat disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukanlah pengamatan dan penelitian yang intensif sehingga akhirnya penyebab defisiensi imun ini ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang kemudian dikenal dengan nama human immunodeficiency virus tipe-1 (HIV-1), pada tahun 1985. Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini dapat menimbulkan rentangan gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala hingga gejala yang sangat berat dan progresif, dan umumnya berakhir dengan kematian. Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun oleh virus ini pada orang dewasa secara cepat di seluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak mendapat perhatian dan penanganan yang memadai, dalam waktu dekat diperkirakan jumlah kasus defisiensi imun pada anak juga akan meningkat.2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISIAIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit retrovirus epidemik, menular yang disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus), yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas selular, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat-obatan intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu yang terinfeksi HIV, dan bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi virus tersebut. 4

2.2 ETIOLOGIPenyebab AIDS adalah sejenis virus yang disebut HIV. Ini adalah suatu virus RNA berbentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk retrovirus dari family Lentiviridae. Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp 120 yang melekat pada glikoprotein gp 4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p 24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase.6Dikenal dua serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), dimana virus ini pertama kali diisolasi oleh Luc Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983. HIV-1, sebagai penyebab AIDS yang tersering, penyebarannya lebih luas di hampir di seluruh dunia, sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika barat dan Portugal dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus tipe III (HTLV-III), lymphadenophaty associated virus (LAV) dan AIDS associated virus. HIV 2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV (Simian Immunodeficiency Virus). HIV 1 dan HIV 2 mempunyai inti yang mirip, tetapi selubungnya berbeda.6

Gambar 1. Struktur dasar virus HIV

Cara penularan HIV adalah sebagai berikut: Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi. Kondom adalah satusatunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.

2.3 PATOGENESISInfeksi HIV memerlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada limfosit-T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polimerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan deferensiasi sel pejamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan mamacu terjadinya replikasi dengan kecepatan tinggi.5Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus, yaitu pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih belum jelas, walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak semua sitokin dapat memacu replikasi virus oleh karena sebagian sitokin malah dapat menghambat replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta mengatur respons imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis factor dan , interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan macrophage colony-stimulating factor. Yang bersifat menghambat adalah interleukin-4, transforming growth factor , interferon dan . 5Hal lain yang dapat memicu replikasi HIV adalah adanya ko-faktor yang terdiri dari infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus hepatitis B, virus herpes simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh kuman seperti mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja lokal di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh karena itu, pada keadaan adanya gangguan imunologik, di dalam jaringan (terutama di dalam kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus. 5Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan organ limfoid dapat dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Di sini terjadi replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain (multipel) yang dapat menimbulkan limfadenopati subklinis. 5Sementara itu, sel limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum germinativum jaringan limfoid juga memberikan respon imun yang spesifik terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan limfadenopati yang nyata akibat hiperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai oleh meningkatnya sel dendrit folikular di dalam sentrum germinativum dan sel limfosit T-CD4. Akumulasi sel limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi limfosit dari luar. Migrasi sel T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang merupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sel limfosit-B menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-CD4. 5Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan komplemen terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik folikular ini, pada respons imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum germinativum dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi. Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4 dapat tinggal laten untuk waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali akibat berbagai stimulasi. Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan partikel HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat diamati adalah dengan progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit folikular sehingga hilanglah kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel HIV yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi. Hal ini sudah tentu meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh. 5

Gambar 2. Siklus replikasi HIV2.4 PENGARUH HIV/AIDS PADA KEHAMILAN Penularan HIV-1 dapat terjadi di dalam rahim (intrauterin), pada saat persalinan (intrapartum), atau postnatal melalui menyusui. Kontribusi masing-masing transmisi dari keseluruhan tampaknya belum menunjukkan bahwa penularan di dalam rahim jarang terjadi dan sebagian besar infeksi terjadi pada saat persalinan atau pada akhir kehamilan. Virus terdeteksi dalam waktu 48 jam setelah lahir, keadaan ini dianggap bayi telah terinfeksi selama kehamilan. Sedangkan infeksi intrapartum diasumsikan jika studi virus negatif selama minggu pertama kehidupan, namun akan menjadi positif antara 7 dan 90 hari kemudian.62.4.1 Faktor VirusTransmisi penularan virus HIV meningkat dengan adanya peningkatan viremia ibu. Pengamatan klinis dengan pengembangan teknik baru untuk pengukuran virus, seperti Polymerase kuantitatif Chain Reaction (PCR) DNA dan RNA, telah terbukti bahwa adanya peningkatan viral load ibu dan risiko penularan dari ibu ke anak. Lebih dari setengah perempuan dengan viral load > 50 000 RNA/ml pada saat persalinan telah terbukti dapat menularkan virus. Viral load lokal dalam sekresi cairan serviko-vaginal dan dalam ASI juga penting dalam penentu risiko intrapartum dan menyusui. 6Adanya penyakit menular seksual, peradangan, kekurangan respon imun lokal dapat mempengaruhi virus. Transmisi pasca kelahiran dikaitkan dengan kehadiran virus HIV-1 yang terinfeksi dalam ASI. Pemberian ART pada ibu selama kehamilan diperkirakan dapat mengurangi penularan virus, ditandai dengan pengurangan viral load. 6 2.4.2 Faktor MaternalPemaparan berulang terhadap strain virus yang berbeda melalui kehamilan terjadi melalui hubungan seksual dan merupakan mekanisme yang bertanggung jawab atas peningkatan yang diamati dalam setiap kasus HIV. 6Penularan dari ibu ke anak lebih mungkin disebabkan oleh penurunan status kekebalan ibu, tercermin dari jumlah CD4. Studi Kolaboratif Eropa (ECS) menemukan bahwa ada peningkatan risiko penularan dari ibu ke anak jika CD4 ibu jumlahnya berada di bawah 700/mm3. Transmisi meningkat hampir linear dengan penurunan jumlah CD4. 6Infeksi melalui menyusui dikaitkan dengan kurangnya IgM dan IgA dalam ASI. Beberapa faktor perilaku telah dikaitkan dengan peningkatan penularan dari ibu ke anak, termasuk merokok dan penggunaan obat-obatan. Hubungan seks selama kehamilan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan dari ibu ke anak. Penularan 30% ditunjukkan pada wanita yang memiliki lebih dari 80 episode hubungan seks tanpa kondom selama kehamilan dibandingkan dengan mereka yang terlindungi sebesar 9,1%. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan konsentrasi atau keanekaragaman jenis virus HIV-1, atau efek dari serviks atau peradangan vagina atau lecet. Peningkatan terjadinya korioamnionitis sebelumnya telah dilaporkan terkait dengan aktivitas seksual pada kehamilan. Adanya penyakit menular seksual selama kehamilan telah berkorelasi dengan peningkatan risiko transmisi, dan PMS telah terbukti meningkatkan pelepasan virus melalui sekresi cairan serviko-vaginal. 6Faktor plasenta telah terlibat dalam penularan virus dari ibu ke anak. Infeksi plasenta dengan HIV-1 ditandai dengan adanya sel Hofbauer, dan sel-sel trofoblas yang mengekspresikan CD4+ yang rentan terhadap infeksi.. Infeksi plasenta lain dan kondisi non-menular seperti solusio plasenta juga telah terlibat. Merokok dan penggunaan narkoba dapat meningkatkan transmisi melalui gangguan pada plasenta. 62.4.3 Faktor ObstetriMayoritas penularan dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan, faktor obstetrik merupakan penentu penting penularan. Mekanisme yang terjadi pada saat intrapartum adalah kontak kulit secara langsung, yaitu kontak antara selaput lendir bayi dan ibu melalui sekresi cairan serviko-vaginal selama persalinan. HIV-1 yang terdapat dalam cairan sekresi serviko-vaginal akan meningkat empat kali lipat selama kehamilan. Dalam penelitian kohort menyatakan bahwa kelahiran prematur, perdarahan intrapartum dan prosedur persalinan terkait dengan risiko penularan. Faktor-faktor lain seperti tindakan episiotomi dan persalinan operatif telah terlibat dalam beberapa studi. 6Pecahnya ketuban dalam waktu yang lama telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan pada sejumlah penelitian dan merupakan faktor risiko yang penting. Dalam studi di Amerika, durasi pecahnya ketuban lebih dari empat jam hampir dua kali lipat terjadinya risiko infeksi. Persalinan melalui operasi sesaria elektif dapat menyebabkan tingkat transmisi kurang dari 1%. 62.3.4 Faktor JaninFaktor genetik janin mungkin memainkan peran dalam transmisi. Kesesuaian HLA antara bayi dan ibu telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan. Telah dilaporkan bahwa bayi prematur mempunyai tingkat penularan HIV-1 yang lebih tinggi. Wanita dengan jumlah CD4 yang rendah lebih cenderung memiliki kelahiran prematur, yang mungkin mempengaruhi temuan ini. Faktor janin lain mungkin termasuk koinfeksi dengan patogen lain, nutrisi janin dan status kekebalan janin. 62.3.5 Faktor BayiMenyusui merupakan faktor yang sangat berperan dalam penularan virus dari ibu ke anak, dimana lebih dari 30% infeksi HIV perinatal akan terjadi melalui ASI. Faktor-faktor pelindung dalam ASI yaitu mucin, antibodi HIV, laktoferin, dan sekretorik leukosit PI (SLPI). Sebuah meta analisis studi penularan melalui menyusui menunjukkan risiko tambahan penularan melalui menyusui menjadi antara 7 hingga 22%, setara dengan dua kali lipat dari tingkat penularan. Sebuah studi Soweto telah menunjukkan tingkat transmisi 18% pada susu formula bayi dibandingkan dengan 42% pada ASI. Risiko penularan melalui ASI juga mungkin tergantung pada faktor-faktor lain, seperti stadium penyakit ibu, abses payudara, mastitis, puting yang retak, kadar vitamin A pada ibu dan sariawan pada anak. 6Risiko penularan postnatal juga mungkin berkaitan dengan faktor-faktor lain pada bayi baru lahir. Masuknya HIV dapat terjadi melalui saluran gastrointestinal setelah proses pencernaan virus dalam rahim atau saat lahir. Terdapat penurunan keasaman, berkurangnya lendir, dan aktivitas IgA lebih rendah yang dapat mempermudah penularan. Bayi baru lahir dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah yaitu kekurangan makrofag dan sel T menyebabkan mudah terjadinya infeksi. VIRUSGenotip dan fenotip virusResistensi virus dan jumlah virus

MATERNALStatus imunologis ibuStatus nutrisi ibuFaktor perilakuPengobatan ART

OBSTETRIPecah ketuban ( > 4 jam)Cara persalinanPerdarahan intrapartumProsedur obstetri

FETALPrematuritas

BAYIMenyusuiFaktor tratktus gastrointestinal

2.5. DIAGNOSISDiagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium meliputi uji imunologi dan uji virologi.2.5.1 Tanda dan Gejala KlinisBanyak orang dengan HIV-positif tidak memperlihatkan gejala. Seringkali orang hanya mulai merasa sakit ketika masuk pada periode AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Kadang-kadang orang hidup dengan HIV melalui periode sakit dan kemudian merasa baik-baik saja.2.5.1.1 Tanda dan Gejala Tahap Awal atau Fase Akut Infeksi HIVPada 2-4 minggu awal setelah terpapar HIV (sampai 3 bulan kemudian), seseorang dapat mengalami penyakit akut, sering digambarkan sebagai flu berat. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut (ARS), atau infeksi primer HIV, ini merupakan respon alami tubuh terhadap infeksi HIV. Selama infeksi primer HIV, terjadi peningkatan virus yang beredar dalam darah, yang berarti bahwa orang dapat lebih mudah menularkan virus kepada orang lain. Gejalanya bisa berupa:7 Demam Ruam Panas dingin Berkeringat di malam hari Nyeri otot Sakit tenggorokan Kelelahan Pembengkakan kelenjar getah bening Ulkus di mulutInfeksi HIV akut terjadi segera setelah infeksi HIV, antibodi anti-HIV tidak terdeteksi, sementara terdapat RNA HIV atau antigen p24. Infeksi baru terjadi pada umumnya hingga 6 bulan setelah infeksi selama antibodi anti-HIV terdeteksi. Sepanjang tahap ini merupakan infeksi awal HIV atau merujuk ke infeksi HIV akut atau baru. 7Sekitar 40% sampai 90% diperkirakan pasien dengan infeksi HIV akut akan mengalami gejala sindrom retroviral akut, ditandai dengan demam, limfadenopati, faringitis, ruam kulit, mialgia/arthralgia, dan gejala lainnya. Bagaimanapun juga infeksi HIV sering tidak terkenali karena mirip dengan banyak infeksi virus lainnya, seperti influenza dan infeksi mononukleosis. Infeksi akut juga dapat tanpa gejala. 7Selama periode infeksi, sejumlah besar virus sedang diproduksi dalam tubuh. Virus ini menggunakan sel CD4 untuk meniru dan menghancurkan sel. Oleh karena jumlah CD4 dapat menurun dengan cepat, akhirnya respon imun memulai untuk membawa virus dalam tubuh kembali ke suatu tingkat yang disebut set point virus, yang merupakan tingkat relatif stabil virus dalam tubuh. Pada titik ini, jumlah CD4 mulai meningkat, tapi mungkin tidak kembali ke tingkat pra-infeksi. 72.5.1.2 Tanda dan Gejala Tahap Kronis atau Fase Laten Infeksi HIVSetelah infeksi awal, virus menjadi kurang aktif dalam tubuh. Selama periode ini, banyak orang tidak memiliki gejala infeksi HIV. Periode ini disebut periode kronis atau fase laten. Periode ini bisa bertahan sampai 10 tahun atau lebih. 7Selama fase ini, diproduksi virus HIV yang rendah, meskipun masih aktif. Seseorang dapat bertahan dengan terdeteksinya viral load dan jumlah CD4 yang sehat tanpa menggunakan obat selama tahun-tahun pada awal fase ini. Seseorang mungkin tidak memiliki gejala atau infeksi oportunistik. Penting untuk diingat bahwa tubuh masih bisa menularkan HIV kepada orang lain selama fase ini. Menjelang pertengahan dan akhir periode ini, viral load mulai meningkat dan jumlah CD4 mulai turun. Oleh karena itu tubuh akan mulai mengalami gejala konstitusional HIV sebagai peningkatan virus dalam tubuh. 72.5.1.3 AIDSSeseorang akan didiagnosis AIDS karena jumlah sel CD4 mulai menurun di bawah 200 sel/mm3 dalam darah. Jumlah CD4 normal adalah antara 500 dan 1.600 sel/mm3. Ini adalah tahap infeksi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh rusak parah dan tubuh akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik. Tanpa pengobatan, orang yang didiagnosis dengan AIDS biasanya bertahan sekitar 3 tahun. Setelah seseorang memiliki infeksi oportunistik yang berbahaya, harapan hidup jatuh sekitar 1 tahun. 72.5.1.4 Klasifikasi HIV/AIDS Menurut WHOPenentuan stadium berdasarkan penemuan klinis yang didapatkan dari diagnosis, evaluasi dan pengelolaan HIV/AIDS yang tidak disertai hasil CD4. Stadium klinis dikategorikan dari stadium 1 sampai 4. Tahap ini ditentukan oleh kondisi klinis dan gejala tertentu dan tidak bergantung oleh jumlah CD4.Stadium IAsimtomatik Tidak ada penurunan berat badan Tidak ada gejala atau hanya limfadenopati generalisata

Stadium IISakit Ringan Penurunan berat badan 5 10% ISPA bereulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Luka di sekitar bibir (keratitis angularis) Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo PPE (pruritic papular eruption)

Stadium IIISakit Sedang Penurunan berat badan > 10% Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginal Oral hairy leukoplakia TB paru dalam 1 tahun terakhir Infeksi bacterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll.) TB limfadenopati Gingvitis / periodontitis ulseratif nekrotikan akut Anemia (Hb < 8 g/dL), neutropenia ( < 5000/mL), trombositopeni kronis ( < 50.000/mL)

Stadium IVSakit Berat (AIDS) Sindroma wasting HIV Pneumonia pnemosistis, pneumonia bacterial yang berat berulang Herpes simpleks ulseratif lebih dari 1 bulan Kandidosis esophageal TB ekstra paru Sarkoma Kaposi Retinitis Cytomegalovirus Abses otak Toksoplasmosis Ensefalopati HIV Meningitis Kriptokokus Infeksi mikrobakteria non-TB meluas Lekoensefalopati multifocal progresif (PML) Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isoproriasis kronis, mikosis meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi neurologis dan tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapi ARV) Kanker serviks invasive Leismaniasis atipik meluas Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

2.5.2 Pemeriksaan DiagnostikTes laboratorium diagnostik HIV harus dilakukan secara lengkap. Pengujian asam nukleat HIV (NAT) untuk mendeteksi RNA HIV atau DNA HIV dianjurkan untuk menetapkan diagnosis infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Dokter harus menggunakan tes antibodi HIV dengan konfirmasi Western blot atau uji imunofluoresensi secara tidak langsung untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV kronis. Tes skrining antibodi HIV termasuk enzim immunoassay (ELISA/EIA), chemiluminescent immunoassay (CIAS), dan Rapid tes. 7Pasien dengan hasil tes antibodi HIV negatif, harus melakukan pengulangan tes selanjutnya pada 3 bulan kemudian. Bagi individu yang pada tes HIV mempunyai hasil negatif pada 3 bulan tetapi terus terlibat dalam perilaku risiko tinggi, maka dokter harus mendiskusikan strategi harm reduction yang berorientasi pada tujuan, termasuk rujukan untuk layanan konseling, dan pengulangan tes HIV setidaknya setiap 3 bulan. Dokter harus mengevaluasi pasien infeksi HIV akut, terutama ketika mereka datang dengan demam, flu, atau seperti penyakit yang tidak dapat dijelaskan. Termasuk mereka yang datang dengan kriteria dibawah ini: 7 Mereka yang melaporkan telah melakukan kontak seksual dengan pasangan yang diketahui terinfeksi HIV atau pasangan yang tidak diketahui status HIVnya terdahulu. Pria yang melaporkan memiliki hubungan seksual yang tidak aman dengan pria lain. Mereka yang pernah melakukan penggunaan jarum suntik secara bergantian. Mereka yang datang dengan infeksi menular seksual yang baru di diagnosa. Mereka yang datang dengan meningitis aseptik. Pasien hamil atau menyusui.Jika diduga infeksi HIV akut, maka dilakukan tes skrining serologis HIV yaitu tes HIV RNA plasma assay. Tes RNA plasma assay dilakukan jika tes skrining serologis adalah negatif. Dilakukan tes kombinasi generasi keempat yang merupakan tes skrining serologis, jika: 7 Deteksi HIV RNA atau tidak adanya antibodi HIV harus dianggap sebagai hasil positif awal, tes HIV RNA dari spesimen baru harus diulang segera untuk mengkonfirmasi adanya HIV RNA. Tes HIV RNA harus diulang untuk menyingkirkan hasil positif palsu ketika hasil kuantitatif memberikan hasil yang rendah ( 18 bulan. Antibodi ini biasanya terdeteksi dalam waktu 3 sampai 6 minggu setelah infeksi, dan hampir semua individu serokonversi terjadi pada minggu ke-12. Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, antibodi mungkin tidak terdeteksi selama berbulan-bulan. Jika keadaan ini terjadi, maka tes harus ditindaklanjuti dengan tes antibodi HIV pada 3 bulan kemudian untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada individu dengan eksposur baru. 7Pengujian serologis saat ini dilakukan dengan alat tes skrining yang sangat sensitif yaitu, ELISA / EIA, CIA, atau Rapid tes dan spesimen positif awal ditindaklanjuti dengan uji konfirmasi yang sangat spesifik yaitu, Western Blot. Tes antibodi juga dapat dilakukan pada cairan oral dan sampel urin. Istilah "reaktif," "tidak reaktif," dan "tak tentu" digunakan untuk menggambarkan hasil pemeriksaan dari tes konfirmasi. 7 Rapid TesMerupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA. Western BlotDigunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan. Penurunan Sistem ImunProgresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit, sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.2.5.2.2 Tes Identifikasi Virus DNA Polymerase Chain Reaction (PCR DNA)Pemeriksaan PCR DNA digunakan hanya untuk mendeteksi infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Semua PCR DNA dengan hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen terpisah. Tes PCR DNA merupakan cara yang paling terkenal untuk amplifikasi asam nukleat. Prosedur kualitatif ini sangat sensitif karena dapat mendeteksi antara 1 dan 10 salinan provirus DNA HIV-1 per sampel. Karena sensitivitas yang sangat tinggi dalam pengujian ini, sejumlah kecil masalah noise dalam lingkungan atau kontaminasi selama proses di laboratorium dapat menyebabkan amplifikasi produk yang dapat menghasilkan reaksi positif palsu. Semua hasil awal PCR DNA yang bernilai positif memerlukan konfirmasi dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen terpisah. Saat ini, penggunaan diagnostik PCR DNA HIV-1 hanya direkomendasikan untuk mendeteksi infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. 7 Tes HIV RNA PlasmaMerupakan tes viral load HIV yang harus digunakan bersamaan dengan tes antibodi HIV-1, tes ini berguna untuk mendiagnosis infeksi HIV akut atau primer. Riwayat alami terinfeksi HIV akut dapat beraneka ragam sehingga antibodi mungkin tidak terbentuk pada saat timbulnya gejala (2 sampai 6 minggu setelah paparan). Tes antibodi dari pasien ini akan sering memberikan hasil negatif lemah atau positif lemah pada pemeriksaan ELISA dan negatif pada pemeriksaan Western Blot. Namun, tingkat viral load yang sangat tinggi selama infeksi akut, biasanya mulai dari 100.000 sampai lebih dari 10 juta kopi / mL, dan terdeteksi sekitar 2 minggu sebelum serokonversi. 7

2.6 PENATALAKSANAAN2.6.1 Konseling dan Tes Antibodi HIV Terhadap IbuPetugas yang melakukan perawatan antenatal di Puskesmas maupun di tempat perawatan antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan pengamatan tentang kemungkinan adanya ibu hamil yang berisiko untuk menularkan penyakit HIV kepada bayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan antara lain dengan menanyakan apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok, mengadakan hubungan seks bebas, dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus tersebut di atas, harus dilakukan tindakan lebih lanjut. Risiko penularan HIV secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2% dengan melakukan tata laksana yang baik pada ibu dan anak. Semua usaha yang akan dilakukan sangat tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang berisiko.8Oleh karena itu, semua ibu usia reproduksi yang akan hamil sebaiknya diberi konseling HIV untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya semua ibu hamil disarankan untuk melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dari perawatan antenatal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan prevalensi HIV-1 di masyarakat. Akan tetapi, ibu hamil sering menolak untuk dilakukan tes HIV, karena belum ada peraturan yang memaksa ibu hamil untuk di tes HIV. Cukup banyak ibu hamil sudah terinfeksi HIV-1 pada saat masa pancaroba dan dewasa muda yang justru pada masa ini mereka tidak terjangkau oleh sistem pelayanan kesehatan. Padahal pada masa-masa ini banyak terjadi penularan melalui hubungan seks bebas, dan juga banyak karena penggunaan obat terlarang. Sebaiknya mereka harus diberi konseling dan disarankan untuk dilakukan tes infeksi HIV-1. 8Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan genotip virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat antiretrovirus (ARV) atau belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi kepada ibu tentang risiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta cara pencegahannya. Selanjutnya, ibu harus diberi penjelasan tentang faktor risiko yang dapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1 dari ibu ke bayi. 82.6.2 Pencatatan dan Pemantauan Ibu HamilCatatan medis yang lengkap sangat perlu untuk ibu hamil terinfeksi HIV termasuk catatan tentang kebiasaan yang meningkatkan risiko dan keadaan sosial yang lain, pemeriksaan fisik yang lengkap, serta pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui status virologi dan imunologi. Pada saat penderita datang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding dalam melihat perkembangan penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut adalah darah lengkap, urinalisis, tes fungsi ginjal dan hati, amilase, lipase, gula darah puasa, VDRL, gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel T , dan jumlah salinan RNA HIV . 8Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil. Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan kadar RNA HIV -1 harus dilakukan setiap trimester (yaitu,setiap 3-4 bulan) yang berguna untuk menentukan pemberian ARV dalam pengobatan penyakit HIV pada ibu. Bila fasilitas pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukan berdasarkan kriteria gejala klinis yang muncul. 82.6.3 Pengobatan dan Profilaksis ARV pada Ibu yang Terinfeksi HIVUntuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi maka ibu hamil terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibu hamil, di samping untuk mengobati ibu, juga untuk mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau neonatus. Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (