referat hiv aids - rendy

52
Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007) BAB I PENDAHULUAN Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun 1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii dan sarcoma Kaposi pada laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika Serikat. Sebelumnya kasus tersebut sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh. Pada tahun 1983 Luc Montagnier mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari pasien dengan limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV ( Lymphadenopathy virus ). Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-III. (Djoerban Z dkk, 2006) Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang sedang berlibur ke Bali. Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah ditemukan kasus yang gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif. Tetapi tes Western Blot hasilnya negative, sehinga tidak dilaporkan. Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia. (Djoerban Z dkk, 2006) Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 1

Upload: rendy-manurung

Post on 28-Nov-2015

87 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

t

TRANSCRIPT

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

BAB I

PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun

1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii dan sarcoma Kaposi pada

laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika Serikat. Sebelumnya kasus tersebut

sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh. Pada

tahun 1983 Luc Montagnier mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari

pasien dengan limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV ( Lymphadenopathy virus ).

Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu

dinamakan HTLV-III. (Djoerban Z dkk, 2006)

Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan pada

tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang sedang berlibur ke Bali. Sebenarnya

sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah ditemukan kasus yang gejalanya sangat sesuai dengan

HIV/AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif. Tetapi tes Western Blot

hasilnya negative, sehinga tidak dilaporkan. Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret 1986 di

RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia. (Djoerban Z dkk, 2006)

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak

Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV

(Djoerban Z dkk, 2006).

Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah odha mencapai 33,3 juta, dengan kasus baru

sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV, 97 % dari Negara

berpenghasilan rendah dan menengah. Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51 %,

usia produktif 41% ( 15-24 th) dan anak-anak ( WHO, 2010). HIV dan AIDS menyebabkan

krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis

ekonomi, pendidikan , dan juga krisis kemanusiaan. (Djoerban Z dkk, 2006).

Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2008

menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai 22.664 orang. (Depkes RI, 2008).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 1

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara dengan pertunbuhan epidemic tercepat di Asia.

Pada tahun 2007 menempati urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala

penyakit dan stigmata social masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan

pengobatan.(UNAIDS, 2010)

Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan pada upaya

pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang memerlukan

terapi ARV, maka strstegi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan memadukan upaya

pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan. Dalam memberikan

kontribusi 3 by 5 initiative global yang direncanakan oleh WHO di UNAIDS, Indonesis secara

nasional telah memulai terapi antiretroviral (ART) pada tahun 2004. Hal ini dapat menurunkan

risiko infeksi oportunistik (IO) yang apabila berat dapat menimbulkan kematian pada odha. Pada

akhirnya, diharapkan kualitas hidup odha akan meningkat. . (Djauzi S dkk, 2002).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 2

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

BAB II

HIV - AIDS

2.1 DEFINISI

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit yang

diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human

Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir

dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25 juta jiwa

sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan

mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta

penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV

sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi

pada anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.

(WHO,2010 )

Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun 1990,

jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya sudah

mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya disumbangkan oleh

odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO, 2010)

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.

Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah kasus

baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat

peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.

(Djoerban Z dkk, 2006)

Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.

Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 3

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

(dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks

(WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur

telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of

epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic).

( Mustikawati DE dkk, 2009)

Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru AIDS

yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat

dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.

Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada

tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110

kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ).

Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008, sekitar

74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan

48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan

2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok

homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun

hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada

kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–39 tahun. (Depkes RI, 2008)

Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah kumulatif

kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan

2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah

kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes

RI,2008)

Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember 2008

adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350

jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar

20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus,

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 4

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146

kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes RI,2008)

2.3 E TIOLOGI

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk

retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana

lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.

Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper

lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17.

Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim

transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). ( Merati TP dkk,2006)

Gambar 1: struktur virus HIV-1

Sumber : Fauci AS at al, 2005

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global terutama

disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe yang

terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan erat

dengan Afrika Barat. (Merati TP dkk,2006)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 5

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

2.4 M ODE PENULARAN

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui mukosa genital

(hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik yang

terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu

ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.

Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh

.

Risiko tinggi Risiko masih sulit

ditentukan

Risiko rendah selama

tidak terkontaminasi

darah

Darah, serum

Semen

Sputum

Sekresi vagina

Cairan amnion

Cairan

serebrospinal

Cairan pleura

Cairan peritoneal

Cairan perikardial

Cairan synovial

Mukosa seriks

Muntah

Feses

Saliva

Keringat

Air mata

Urin

Sumber : Djauzi S, 2002

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan darah sangat

rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat tusukan jarum atau luka karena

benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik

cairan tubuh yang tercemar HIV pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 6

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

2.5 P ATOGENESIS

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus

mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi

mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan

fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. (Djoerban Z dkk,

2006)

Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan

invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik,

mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit

CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk, 2006)

Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan

bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks molekul adhesi

pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific

intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui

bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor

penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan

dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CXCR5, dan dengan mediasi antigen gp41

virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan

RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase reversi.

Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim

integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi,

provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi

mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai

terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA dan protein

virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel.

Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang

dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di

peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 7

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun,

akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 8

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada berbagai

antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di

sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali

sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela.

Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk

antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat

mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun

selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T

CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan

terus laju replikasi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan

progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,

terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien

HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)

2.6 PERJALANAN PENYAKIT

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali

seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk

tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun,

dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan

kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang

kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,

2006)

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala

infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.

Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,

diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z

dkk, 2006)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 9

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang berlangsung

selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat,

dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan

memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi

oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah

bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.

Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV

Kelompok Gejala Kekerapan (%)

Umum Demam 90

Nyeri otot 54

Nyeri sendi -

Rasa lemah -

Mukokutan Ruam kulit 70

Ulkus di mulut 12

Limfadenopati 74

Neurologi Nyeri kepala 32

Nyeri belakang mata -

Fotofobia -

Depresi -

Meningitis 12

Saluran cerna Anoreksia -

Nausea -

Diare 32

Jamur di mulut 12

Sumber : (Djauzi S, 2002)

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan

memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya, odha akan

menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah masuk ke tahap AIDS.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 10

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit

CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata

yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam

kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan

mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan limfoid, yang

dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar

getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan

gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang

cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan

replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa

mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban

Z dkk, 2006)

Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna

narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang

dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang

tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi

pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin

mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan

efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah

dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat

menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya

lebih progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)

Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan hubungan

antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+ ditampilkan dalam gambar 3.

Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV

menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada pemeriksaan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 11

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai dengan penurunan

viremia.

Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV

sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995

Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga mencapai

di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik.

2.7 DIAGNOSIS

2.7.1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke

sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar

mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi

HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 12

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik

riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).

Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan

- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)

- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Sumber : Depkes RI 2007

Table 4: Daftar tilik riwayat pasien

Sumber :Depkes RI 2007

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 13

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada

tabel 6

Tabel 5 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 14

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau kanker yang

terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma serviks invasif.

Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada

tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan

pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan, dan

diare, seperti pada tabel 5 .

Tabel 6. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo

Gejala Frekuensi

Demam lama 100 %

Batuk 90,3 %

Penurunan berat badan 80,7 %

Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %

Diare 69,2 %

Sesak napas 40,4 %

Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %

Penurunan kesadaran 17,3 %

Gangguan penglihatan 15,3 %

Neuropati 3,8 %

Ensefalopati 4,5 %

Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yang

tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV,

deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni

melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit

Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi

oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 7) . ( Depkes RI, 2007)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 15

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha

Tes antibodi terhadap HIV (AI);

Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);

HIV RNA plasma (viral load) (AI);

Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin, urinalisis,

tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-

smear pada perempuan (AIII);

Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit

kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);

Sumber : Yayasan Spiritia 2006.

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya dilakukan jika

ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan narkotika

suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil,

mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil

pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan.

Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential (rahasia),

disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan informed consent.

(Djoerban Z dkk,2006)

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki sensitivitas

tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif, maka

pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi

oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot

(WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan

kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 16

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini

dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18

bulan. (Djoerban Z dkk,2006)

Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes

konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pemeriksaan

WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan

strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan

pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali

positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal

hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes

pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate

dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila

orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan

dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).

Table 8 : Algoritma pemeriksaan HIV

Sumber : Depkes,2007

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 17

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

2.7.4 Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan

stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa

lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan,

mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi

pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S

dkk,2002)

2.7.5 Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),

stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS), lihat

table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan

sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau

mengubah terapi ARV.

AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja merasa

sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut, system imun

individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka terus menerus

menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.

Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang tidak

memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang tua yang

terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare. Penderita AIDS

dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas.

Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak,

sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika

diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang

lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai dengan gejala-

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 18

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala

AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum diketahui

jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi

lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di bawah

200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan

oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A.

Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :

a.       Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000

Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang timbul

umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala kulit (bercak-bercak

merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif),

gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena

terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang

berlangsung kira-kira 1-2 minggu.

b.      Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml

Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar 5 tahun,

keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di

dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut

limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh

bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk

menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.

c.        Infeksi Kronis Simtomatik

Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala penyakit ringan

atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas pemderita.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 19

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

1)      Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500

Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya reaktivasi dari

herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau hanya dengan pengobatan

biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat

berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).

2)      Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200

Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa penderita.

Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang lebih awal. Viremia

terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.

Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

• Limfadenopati Generalisata yang menetap

• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB involunter > 10%

dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.

• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis aseptik,

mielopati, neuropati perifer, miopati.

• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M. Tuberculosis,

Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks

• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid

• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB atau

komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus memeriksakan

darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia positif mengidap AIDS,

maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC (AIDS Relative Complex) Adapun

gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:

a.      Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala

minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau

pemakaian kortikosteroid yang lama.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 20

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

1.       Gejala Mayor

  Penurunan berat badan lebih dari 10%

Diare kronik lebih dari satu bulan

Demam lebih dari satu bulan

2.      Gejala Minor

Batuk lebih dari satu bulan

Dermatitis preuritik umum

Herpes zoster recurrens

Kandidias orofaring

 Limfadenopati generalisata

Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

b.      Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua gejala minor,

dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat,

pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.

1.      Gejala Mayor

  Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal

  Diare kronik lebih dari 1bulan

  Demam lebih dari1bulan

2.      Gejala minor

  Limfadenopati generalisata

  Kandidiasis oro-faring

  Infeksi umum yang berulang

  Batuk parsisten

  Dermatitis

2.7.6 Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas

odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan pengobatan ARV.

Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat

bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 21

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon

terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC) dapat

digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak

dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi

ARV. (Depkes RI, 2007)

Tabel 9. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik

Tidak ada penurunan berat badan

Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan BB 5-10%

ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)

Ulkus mulut berulang

Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)

Dermatitis seboroik

Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%

Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan

Kandidosis oral atau vaginal

Oral hairy leukoplakia

TB Paru dalam 1 tahun terakhir

Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)

TB limfadenopati

Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis

(<50.000/ml)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 22

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

Sindroma wasting HIV

Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang

Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.

Kandidosis esophageal

TB Extraparu*

Sarkoma kaposi

Retinitis CMV*

Abses otak Toksoplasmosis*

Encefalopati HIV

Meningitis Kriptokokus*

Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Sumber : Depkes RI, 2007

2.8 PENATALAKSANAAN

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data selam 8

tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan

menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan

mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).

b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai

infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma

kaposi, limfoma, kanker serviks.

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan

pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta

juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 23

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan

kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

2.8.1Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin, zalsitabin,

stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan

nevirapin

Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat

antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi

penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang

tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada

dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang

tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai

terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya

setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda

klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10.

(Depkes RI, 2007)

Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa

Stadium

KlinisBila tersedia pemeriksaan CD4

Jika tidak tersedia

pemeriksaan CD4

1

Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200

Terapi ARV tidak diberikan

2Bila jumlah total limfosit

<1200

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 24

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

3

Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan

terapi sebelum CD4 <200/mm3.

Pada kehamilan atau TB:

Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil

dengan CD4 350

Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan

CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi

bakterial berat

Terapi ARV dimulai tanpa

memandang jumlah limfosit

total

4Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah

CD4

Sumber : Depkes RI, 2007

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru

dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai

penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).

2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat

ditentukan.

3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4

tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau

III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada

pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini

belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV

adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit

akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi

dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV

sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk

memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien

dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 25

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3.

Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk

memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan

imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan

memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai

pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang

aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.

Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan

fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin

(AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan

lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu

setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga

untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007)

2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang dianjurkan

oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau HAART.

Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV

menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan

manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI

dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin

(3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan

efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada

tabel 11.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 26

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Tabel 11 : Terapi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +

NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan

anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP.

Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti

lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat

digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil

karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya

dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun

kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 27

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

Sumber : Depkes RI, 2007

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 28

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian obat ARV

golongan ini.

Tabel 13 : Kombinasi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal

terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber dayanya

masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama

kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3

yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 29

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

2.8.3 Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)

Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama terapi

ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati) dari pasien

yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun terhadap antigen

tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari

seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4

<50 / mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

Sumber : Depkes RI, 2007

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 30

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

2.8.4 Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik

Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi

ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun

yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan

tubuh. (Yunihastuti E, 2005)

Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang ditandai

dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/L ataupun > 200 sel/L.

Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila kekebalan tubuh tetap rendah

maka infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain.

Pada umumnya kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini

perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh ( CD4 ) dapat

dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terdapat banyak penyakit yang

digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat pada table 15.

Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS

Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening

CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)

Ensefalopati HIV a

Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau

esofagitis

Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu

Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)

Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru

Kandidiasis esophagus

Kanker serviks invasif

Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu

Kriptokokosis, ekstraparu

Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)

Leukoensefalopati multifocal progresif

Limfoma Burkitt

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 31

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Limfoma imunoblastik

Limfoma primer pada otak

Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu

Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu

Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu

Pneumonia Pneumocystis carinii

Pneumonia rekuren b

Sarkoma Kaposi

Septikemia Salmonella rekuren

Toksoplasmosis otak

Wasting syndrome c

a Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang

mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab

lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan

pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)b Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahunc Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal

2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,

intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain

(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.

Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005

2.8.4 Pencegahan Infeksi Oportunistik

Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok besar

yakni (Djauzi S dkk, 2002) :

1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi. Misalnya

pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm3 untuk mencegah

Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP.

2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi. Contohnya

setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan (dalam dosis yang

lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah sembuh.Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 32

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena infeksi

oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan. Namun

bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut

menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik.

Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi

pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2002)

Tabel 16. Pencegahan infeksi oportunistik

Penyakit Mulai Obat yang digunakan

PCP

TB

T. Gondii

S. pneumoniae

Hepatitis B

Hepatitis A

1o CD4 < 200, sariawan, pertimbangkan

bila CD4 < 250 atau CD4 % < 14

PPD > 5 ml

Kontak Positif

CD4 < 100

IGG Toksoplasma aviditas rendah

CD4 > 200

Anti HBs (-)

HBs Ag(-)

Anti HAV (-)

Risiko paparan tinggi (IDU, MSM, dll)

TMP.SMX 1 DS/hari

TMP.SMX 1 SS/ hari

INH 300mg/hari +

Piridoksin

TMP.SMX 1 DS/hari

Vaksinasi pneumovax

Vaksinasi Hepatitis B

Vaksinasi Hepatitis A

Sumber : Djauzi S dkk, 2002

DAFTAR PUSTAKA

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 33

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related

disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL.

editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of

America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors.

Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at url:

http:/ / www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z,

Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in

Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan

Anak FKUI-RSCM 2009

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 34

Referat HIV AIDS Rendy Christian Manurung (406127007)

8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada

orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007

9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary.

Geneva. 2010.

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available from:

http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. dr. Sulianti Saroso

Periode 29 September 2013 – 7 Desember 2013 Hal 35