hiv referat

56
REFERAT HIV/AIDS DISUSUN OLEH: Ribka Theodora (11-2011-196) PEMBIMBING: dr. Mayorita Sp.PD Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara Dr. Esnawan Antariksa 1

Upload: ribka-theodora

Post on 11-Aug-2015

586 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

coass ipd

TRANSCRIPT

Page 1: HIV Referat

REFERAT

HIV/AIDS

DISUSUN OLEH:

Ribka Theodora

(11-2011-196)

PEMBIMBING:

dr. Mayorita Sp.PD

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara

Dr. Esnawan Antariksa

Halim Perdana Kusuma

2012

1

Page 2: HIV Referat

BAB I

PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi

pada tahun 1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii

dan sarcoma Kaposi pada laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika

Serikat. Sebelumnya kasus tersebut sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya

disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh. Pada tahun 1983 Luc Montagnier

mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari pasien dengan

limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV ( Lymphadenopathy virus ).

Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang

saat itu dinamakan HTLV-III. (Djoerban Z dkk, 2006)

Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen

Kesehatan pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang

sedang berlibur ke Bali. Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah

ditemukan kasus yang gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes

ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif. Tetapi tes Western Blot hasilnya

negative, sehinga tidak dilaporkan. Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret

1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia. (Djoerban Z dkk, 2006)

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia

dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang

terbebas dari HIV (Djoerban Z dkk, 2006).

Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah odha mencapai 33,3 juta, dengan

kasus baru sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi

HIV, 97 % dari Negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penderitanya

sebagian besar adalah wanita sekitar 51 %, usia produktif 41% ( 15-24 th) dan

anak-anak ( WHO, 2010). HIV dan AIDS menyebabkan krisis secara bersamaan,

2

Page 3: HIV Referat

menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi,

pendidikan , dan juga krisis kemanusiaan. (Djoerban Z dkk, 2006).

Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada

tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai 22.664

orang. (Depkes RI, 2008). Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara

dengan pertunbuhan epidemic tercepat di Asia. Pada tahun 2007 menempati

urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan

stigmata social masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan

pengobatan.(UNAIDS, 2010)

Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan

pada upaya pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus

AIDS yang memerlukan terapi ARV, maka strstegi penanggulangan HIV/AIDS

dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan,

dukungan serta pengobatan. Dalam memberikan kontribusi 3 by 5 initiative global

yang direncanakan oleh WHO di UNAIDS, Indonesis secara nasional telah

memulai terapi antiretroviral (ART) pada tahun 2004. Hal ini dapat menurunkan

risiko infeksi oportunistik (IO) yang apabila berat dapat menimbulkan kematian

pada odha. Pada akhirnya, diharapkan kualitas hidup odha akan meningkat. .

(Djauzi S dkk, 2002).

3

Page 4: HIV Referat

BAB II

HIV - AIDS

2.1 DEFINISI

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau

penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya

infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili

retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk,

2006)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari

25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009,

jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar

penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5

juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa.

Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anak-

anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.

(WHO,2010 )

Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada

tahun 1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat

ini, jumlahnya sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67%

diantaranya disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO,

2010)

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di

Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.

Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak

pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama

disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)

4

Page 5: HIV Referat

Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat

di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-

populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika

suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi

seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai

daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic).

Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized

epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)

Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan

kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana

terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15

tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju

peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352

kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.

(Mustikawati DE dkk, 2009 ).

Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada

Desember 2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan.

Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada

pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi

perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok

homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada

kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif

kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun (50,82%),

disusul kelompok usia 30–39 tahun. (Depkes RI, 2008)

Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama

jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888

kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa

Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan

sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes RI,2008)

5

Page 6: HIV Referat

Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir

Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah

penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005).

Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi

oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare

kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata

1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes

RI,2008)

2.3 E TIOLOGI

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis

yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun

atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120

yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi

terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau

makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV

dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim

transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). ( Merati TP dkk,2006)

Gambar 1: struktur virus HIV-1

Sumber : Fauci AS at al, 2005

6

Page 7: HIV Referat

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV

global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas

penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan

beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. (Merati TP

dkk,2006)

2.4 M ODE PENULARAN

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui

mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui

jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang

terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan

adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.

Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh .

Risiko tinggi Risiko masih sulit ditentukan

Risiko rendah selama tidak terkontaminasi darah

Darah, serumSemenSputumSekresi vagina

Cairan amnionCairan serebrospinalCairan pleuraCairan peritonealCairan perikardialCairan synovial

Mukosa seriksMuntahFesesSalivaKeringatAir mataUrin

Sumber : Djauzi S, 2002

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan

darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat

tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar

0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV

pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)

7

Page 8: HIV Referat

2.5 P ATOGENESIS

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena

virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+

berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga

bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun

yang progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)

Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara

in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral

dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks,

mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.

(Merati TP dkk, 2006)

Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama

HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui

kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal

sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing

nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan

ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya

untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan

dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi

antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,

sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA

dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan

berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus

yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini

akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi

mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur

sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.

Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang

nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada

8

Page 9: HIV Referat

permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan

matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di

peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)

Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

9

Page 10: HIV Referat

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat

defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio

CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus

HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul

virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah

infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan

setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan

bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk

antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut

tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.

Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T

sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas

sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.

(Djoerban Z dkk, 2006)

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan

kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi

sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan

proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan

antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)

2.6 PERJALANAN PENYAKIT

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,

sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.

Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%

berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun

hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan

kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran

penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga

bertahap. (Djoerban Z dkk, 2006)

10

Page 11: HIV Referat

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan

menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan

berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri

menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan

gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk,

2006)

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala)

yang berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang

perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula

perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan

tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti

berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah

bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.

Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV

Kelompok Gejala Kekerapan (%)

Umum Demam 90 Nyeri otot 54

Nyeri sendi -

Rasa lemah -

Mukokutan Ruam kulit 70 Ulkus di mulut 12

Limfadenopati 74

Neurologi Nyeri kepala 32 Nyeri belakang mata -

Fotofobia -

Depresi -

Meningitis 12

Saluran cerna Anoreksia - Nausea -

Diare 32

Jamur di mulut 12

Sumber : (Djauzi S, 2002)

11

Page 12: HIV Referat

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi

HIV akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada

akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti

telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului

oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala

klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan

hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam

kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah

kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas

ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu.

Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah

tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak

menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel

setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,

muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran

limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan

memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk,

2006)

Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari

80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung

juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan

biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya

pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan

tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin

mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan

menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan

menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan

meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam

12

Page 13: HIV Referat

limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (Djoerban

Z dkk, 2006)

Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan

hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+

ditampilkan dalam gambar 3.

Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer,

HIV menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat

pada pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV,

ditandai dengan penurunan viremia.

Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV

sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995

Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi

hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya

infeksi oportunistik.

13

Page 14: HIV Referat

2.7 DIAGNOSIS

2.7.1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat

kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk

menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan

laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk

menentukan tata laksana selanjutnya.

Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan,

daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table

4).

Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan

- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)

- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Sumber : Depkes RI 2007

14

Page 15: HIV Referat

Table 4: Daftar tilik riwayat pasien

Sumber :Depkes RI 2007

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat

dilihat pada tabel 6

15

Page 16: HIV Referat

Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007

Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau

kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan

karsinoma serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan

16

Page 17: HIV Referat

kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo

(RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan pada odha umumnya berupa

demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan, dan diare, seperti

pada tabel 5 .

Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo

Gejala Frekuensi

Demam lama 100 %

Batuk 90,3 %

Penurunan berat badan 80,7 %

Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %

Diare 69,2 %

Sesak napas 40,4 %

Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %

Penurunan kesadaran 17,3 %

Gangguan penglihatan 15,3 %

Neuropati 3,8 %

Ensefalopati 4,5 %

Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan

laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan

pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV

(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR

untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk

kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi

oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 7) . ( Depkes RI,

2007)

17

Page 18: HIV Referat

Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha

Tes antibodi terhadap HIV (AI);

Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);

HIV RNA plasma (viral load) (AI);

Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);

Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);

Sumber : Yayasan Spiritia 2006.

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya

dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak

aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada

mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif,

serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan

pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan.

Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni

confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan hanya

dilakukan dengan informed consent. (Djoerban Z dkk,2006)

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang

memiliki sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan

hasil yang reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan

konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang

sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes

positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan

kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV

positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang

berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada

kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)

18

Page 19: HIV Referat

Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah

dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang

termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin

dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan

kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB

sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali

positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak

sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-

reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka

keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki

riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa

riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan

dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).

Table 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV

Sumber : Depkes,2007

2.7.4 Penilaian Klinis

19

Page 20: HIV Referat

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi

penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang

berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait

dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan

terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang

sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S dkk,2002)

2.7.5 Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I

(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium

IV (sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan

jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk

memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi

ARV.

AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut, system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.

Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.

20

Page 21: HIV Referat

Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A.

Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :a.       Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000

Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.

b.      Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/mlSetelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.

c.        Infeksi Kronis SimtomatikFase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas pemderita.

1)      Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang

21

Page 22: HIV Referat

lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).

2)      Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.

Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

• Limfadenopati Generalisata yang menetap• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB

involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis

aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.

Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks

• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid

• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB atau komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC (AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:

a.      Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.

1.       Gejala Mayor  Penurunan berat badan lebih dari 10%Diare kronik lebih dari satu bulanDemam lebih dari satu bulan

22

Page 23: HIV Referat

2.      Gejala MinorBatuk lebih dari satu bulanDermatitis preuritik umumHerpes zoster recurrensKandidias orofaring Limfadenopati generalisataHerpes simplek diseminata yang kronik progresif

b.      Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.

1.      Gejala Mayor  Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal  Diare kronik lebih dari 1bulan  Demam lebih dari1bulan

2.      Gejala minor  Limfadenopati generalisata  Kandidiasis oro-faring  Infeksi umum yang berulang  Batuk parsisten  Dermatitis

2.7.6 Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai

status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam

memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau

respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4

dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau

menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon

terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC)

dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia

namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar

menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2007)

23

Page 24: HIV Referat

Tabel 9. Stadium klinis HIV

Stadium 1 AsimptomatikTidak ada penurunan berat badanTidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringanPenurunan BB 5-10%ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitisHerpes zoster dalam 5 tahun terakhirLuka di sekitar bibir (keilitis angularis)Ulkus mulut berulangRuam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)Dermatitis seboroikInfeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedangPenurunan berat badan > 10%Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginalOral hairy leukoplakiaTB Paru dalam 1 tahun terakhirInfeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)TB limfadenopatiGingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akutAnemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)Sindroma wasting HIVPneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulangHerpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.Kandidosis esophagealTB Extraparu*Sarkoma kaposiRetinitis CMV*Abses otak Toksoplasmosis*Encefalopati HIVMeningitis Kriptokokus*Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Sumber : Depkes RI, 2007

2.8 PENATALAKSANAAN

24

Page 25: HIV Referat

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.

Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan

bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV

bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. .

(Djoerban Z dkk,2006)

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat

antiretroviral (ARV).

b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker

yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,

hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang

lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan

psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu

menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka

kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi

oportunistik amat berkurang.

2.8.1Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S

dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:

zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti

evafirens dan nevirapin

Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,

amprenavir.

25

Page 26: HIV Referat

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena

obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi

ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan

pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence,

toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga

atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat

keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4

harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau

secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis

lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi

HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)

Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa

Stadium Klinis

Bila tersedia pemeriksaan CD4Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4

1Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200

Terapi ARV tidak diberikan

2Bila jumlah total limfosit <1200

3

Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan terapi sebelum CD4 <200/mm3.Pada kehamilan atau TB: Mulai terapi ARV pada semua ibu

hamil dengan CD4 350 Mulai terapi ARV pada semua ODHA

dengan CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial berat

Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah limfosit total

4Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4

Sumber : Depkes RI, 2007

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).

26

Page 27: HIV Referat

2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat ditentukan.

3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai

terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.

Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat

CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah

tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai

sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai

terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan

pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis

maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau

infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis

manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada

ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis.

Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu

keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load)

tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi

oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.

Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif

selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya

diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis,

mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi

M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB

dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga

untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes

RI, 2007)

27

Page 28: HIV Referat

2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV

yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral

Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi

HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT

dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti

oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa

kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang

termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan

yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI,

2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.

Tabel 11 : Terapi ARV

28

Page 29: HIV Referat

Sumber : Depkes RI, 2007

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah

AZT + 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT

karena dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang

bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada

stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis

laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila

NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil

karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan

NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-

masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada

tabel 12.

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

Sumber : Depkes RI, 2007

29

Page 30: HIV Referat

Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian

obat ARV golongan ini.

Tabel 13 : Kombinasi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa

PI pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di

Indoneesia di mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat

digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada

30

Page 31: HIV Referat

terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat

ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.

2.6.3 Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)

Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh

selama terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing

(hidup atau mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami

pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan

sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang

mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 /

mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

31

Page 32: HIV Referat

Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

Sumber : Depkes RI, 2007

2.8.3 Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik

Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan

tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal

dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam

keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. (Yunihastuti E, 2005)

32

Page 33: HIV Referat

Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh

yang ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200

sel/L ataupun > 200 sel/L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati

namun apabila kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah

kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya

kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini

perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh

( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi.

Terdapat banyak penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat

pada table 15.

Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis

AIDS

Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah beningCMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)Ensefalopati HIV a

Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau esofagitisHistoplasmosis, diseminata atau ekstraparuIsosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)Kandidiasis bronkus, trakea, atau paruKandidiasis esophagusKanker serviks invasifKoksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparuKriptokokosis, ekstraparuKriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)Leukoensefalopati multifocal progresifLimfoma BurkittLimfoma imunoblastikLimfoma primer pada otakMycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparuMycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparuMycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparuPneumonia Pneumocystis cariniiPneumonia rekuren b

Sarkoma KaposiSeptikemia Salmonella rekurenToksoplasmosis otakWasting syndrome c

a Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab

33

Page 34: HIV Referat

lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)b Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahunc Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal 2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari, intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain (missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005

2.8.3.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha di

Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan

replikasi HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada odha.

(Yunihastuti E dkk, 2002)

TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada

infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/L sedangkan TB

ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih

rendah. (Yunihastuti E dkk, 2002)

Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3

minggu, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih,

berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB

ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi

pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali

tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih

sulit. (Yunihastuti E dkk, 2002)

Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan

odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50%

dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran

TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV

berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan

CD < 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati

mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha

adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen

34

Page 35: HIV Referat

sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada

specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi

OAT. Yunihastuti E dkk, 2002)

Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB

pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada

tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB

dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila

tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk

semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama

dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan

ketidakpatuhan minum obat. (Yunihastuti E dkk, 2002)

Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan

Klasifikasi Regimen Obat

Kasus TB baru

TB kambuh/ pengobatan ulang

2HRZE / 6 HE (DOTS)

2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)

Sumber : Yunihastuti E dkk, 2002

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan

OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara

terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu

dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk,

2002)Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV

CD4 Paduan yang dianjurkan KeteranganCD4 <200/ mm3

Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2 bulan) Paduan yang mengandung EFV (AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari).

Saat mulai ART pada 2 – 8 minggu setelah OAT

35

Page 36: HIV Referat

Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV dapat diganti dengan NVP. Bila NVP terpaksa harus digunakan disamping OAT, maka dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan fungsi hati (SGOT/SGPT) secara ketat

CD4 200-350/ mm3

Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi TB

CD4 >350/ mm3

Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai kembali pada saat minggu ke 8 terapi TB dan setelah terapi TB lengkap

CD4 tidak mungkin diperiksa

Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV mulai 2 – 8 minggu setelah terapi TB dimulai

Sumber : Depkes RI, 2007

2.8.4 Pencegahan Infeksi Oportunistik

Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua

kelompok besar yakni (Djauzi S dkk, 2002) :

1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi

terjadi. Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 <

200/mm3 untuk mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).

Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP.

2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi

terjadi. Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat

pencegahan (dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan

PCP yang telah sembuh.

Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena

infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik

dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi

oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas

pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya

36

Page 37: HIV Referat

profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok,

hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2002)

Tabel 18. Pencegahan infeksi oportunistik

Penyakit Mulai Obat yang digunakanPCP

TB

T. Gondii

S. pneumoniae

Hepatitis B

Hepatitis A

1o CD4 < 200, sariawan, pertimbangkan bila CD4 < 250 atau CD4 % < 14

PPD > 5 ml Kontak Positif

CD4 < 100 IGG Toksoplasma aviditas rendah

CD4 > 200

Anti HBs (-) HBs Ag(-)

Anti HAV (-) Risiko paparan tinggi (IDU, MSM, dll)

TMP.SMX 1 DS/hari TMP.SMX 1 SS/ hari

INH 300mg/hari + Piridoksin

TMP.SMX 1 DS/hari

Vaksinasi pneumovax

Vaksinasi Hepatitis B

Vaksinasi Hepatitis A

Sumber : Djauzi S dkk, 2002

BAB III

KESIMPULAN

AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena

penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human

Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS

merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

37

Page 38: HIV Referat

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia

dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia

ini yang terbebas dari HIV.

Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,

dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta

penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan

epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi

melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke

peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui

komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke

janin.

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV

karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.

Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis

yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat

menyebabkan gangguan imun yang progresif.

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,

sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap

terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun

pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan

sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan

gejala AIDS, dan kemudian meninggal

Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko

pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling

perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana

kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis,

diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,

memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk

menentukan tata laksana selanjutnya.

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

38

Page 39: HIV Referat

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat

antiretroviral (ARV).

b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker

yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,

hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang

lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan

psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu

menjaga kebersihan.

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:

nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside

reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI).

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah

AZT + 3TC + NVP

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,

39

Page 40: HIV Referat

Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at url: http:/ / www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009

8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007

9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary. Geneva. 2010.

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

40