anemia
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
“ANEMIA”
Pembimbing:
dr. Ma’mun, Sp. PD
Disusun oleh :
Alifah Nurmala Sari G4A013088
Faidh Husnan G4A013089
Devy Destriana M. A G4A013090
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
ANEMIA
Disusun Oleh :
Alifah Nurmala Sari G4A013088
Faidh Husnan G4A013089
Devy Destriana M. A G4A013090
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal : Mei 2014
Dokter Pembimbing :
dr. Ma’mun, Sp. PD
STATUS PENDERITA
A. Identitas Penderita
Nama : Sdr. Mb
Umur : 43 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Bojongsari RT 4/RW 01 Karangreja
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Buruh mebel
Tanggal masuk RSMS : 7 April 2014
Tanggal periksa : 13 April 2014
No.CM : 274156
B. Anamnesis
Keluhan utama : Muntah Darah
Keluhan tambahan : BAB darah, nyeri ulu hati, lemas, pucat
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan muntah darah sejak pagi
hari sebelum masuk RSMS. Pasien muntah darah hingga 3x sehari. Pasien
merasa pusing ketika duduk atau berdiri tegak.
Pasien juga mengeluhkan buang air besar berwarna hitam. Tidak ada nyeri
saat buang air besar dan tidak ada perubahan kebiasaan buang air besar.
Pasien merasa BAB ada lendir dan sempat diare. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan badan terasa sangat lemas, nyeri perut atas.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama : diakui
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat penyakit kuning : disangkal
5. Riwayat batu ginjal : disangkal
6. Riwayat alergi : diakui
7. Riwayat mondok : diakui di RS. Majenang dan RSMS
8. Riwayat Pengobatan : transfusi darah 13 kantung
9. Riwayat operasi : disangkal
Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
2. Riwayat hipertensi : Disangkal
3. Riwayat DM : Disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat sosial ekonomi
1. Home
Pasien tinggal bersama istri keduanya dan kedua anaknya. Rumah pasien
berada di lingkungan pedesaan yang jarak antar rumah cukup jauh.
Ukuran rumah 8x15 meter dengan atap genting, lantai keramik, dan
dinding bata. Jarak septic tank dengan rumah sekitar 5 meter. Sumber air
menggunakan air tanah yang berasal dari sumur berjarak 3 meter dari
rumah pasien. Sumber air minum menggunakan air kemasan.
2. Occupational
Pasien merupakan seorang buruh mebel dirumahnya dan menghidupi istri
keduanya serta 2 anaknya. Pembiayaan perawatan rumah sakit ditanggung
oleh BPJS.
3. Diet
Mengurangi makanan berlemak, gula, kolesterol. Tidak suka minum
jamu-jamuan. Rajin minum air putih. Kadang meminum kopi atau
kratingdaeng namun hanya sesekali.
4. Drug
Pasien memiliki kebiasaan merokok dalam jangka waktu lama, namun
dalam 2 tahun belakangan ini konsumsi rokok sudah berkurang.
C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal Mawar atas kamar 8 RSMS, 13 April 2014.
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 80/60 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respiration Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,3 0C
4. Berat badan : 82 kg
5. Tinggi badan : 170 cm
6. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (+) tepi hiperemis (+)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2 cm H2O
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan
kiri, kelainan bentuk dada (-), retraksi
suprasternal(-) retraksi intercostals (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler -/-
Ronki basah halus -/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIV V 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial
LMCS dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari medial LMCS
Auskultasi : A2>A1, P2>P1, M1>M2, T1>T2 reguler
Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+), undulasi (+)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas
superior
Ekstremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis + + + +
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 7 April 2014
Hematologi
Darah Lengkap
Hemoglobin : 2,8 g/dl ↓ (14 – 18 g/dl)
Hematokrit : 11 % ↓ (42 – 52 %)
Leukosit : 5180 (4800-10.800)
Eritrosit : 1,9 ↓ (4,7-6,1)
Trombosit : 57.000 ↓ (150.000-450.000)
MCV : 60,1 ↓ 79.0 – 99.0
MCH : 14,9 ↓ 27.0 – 31.0
MCHC : 24,8 ↓ 33.0 – 37.0
RDW : 23,6 ↑ 11.5 – 14.5
MPV : - 7,2 - 11,1
Hitung Jenis Leukosit :
Basofil : 0,0 0.0 – 1.0
Eosinofil : 0,4 ↓ 2.0 – 4.0
Batang : 0,6 ↓ 2.0 – 5.0
Segmen : 80,4 ↑ 40.0- 70.0
Limfosit : 14,9 ↓ 25.0 – 40.0
Monosit : 3,7 2.0 – 8.0
USG ABDOMEN
Hepatosplenomegali dengan pelebaran vena porta
Fatty Liver
Ascites
E. Resume
1. Anamnesis
a. Muntah Darah
b. Lemas saat duduk dan berdiri
c. Nyeri ulu hati
d. BAB hitam
e. Kepala pusing
f. Riwayat keluhan serupa pada pasien
g. Riwayat mondok dan transfusi darah
2. Pemeriksaan fisik
a. Vital sign : TD: 80/600 mmHg, S: 36,3
b. Mata conjungtiva anemis (+/+)
c. Lidah sianosis (+)
d. Pemeriksaan Abdomen
Palpasi: nyeri tekan (+)
3. Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin : 2,8 g/dl ↓ (14 – 18 g/dl)
F. Diagnosis
Anemia berat, mikrositik hipokromik
Sirosis Hepatis
Trombositopenia
G. Usulan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap
H. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
1. Bed rest
2. Makan sayur-sayuran hijau dan kacang-kacangan
3. Kurangi konsumsi telur dan susu, kopi, coklat, teh
Farmakologi :
1. IVFD NaCl 0,9% 16 tpm
2. Inj. Vitamin K 3x1 amp IV
3. Inj. Omeprazole 1x1 amp IV
4. Inj. Furosemid 2x1 amp IV
5. P.o Spironolacton 1x100 mg
6. p.o Sorbitol syr 2XCI
Planning
Transfusi 7 kolf
Monitoring
1. Keadaan umum, tekanan darah dan tanda vital lain
2. Keseimbangan cairan
3. Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi
4. Efek samping obat
5. Hb
I. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu masalah gizi pada remaja dan dewasa yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat (Public Health Problem) adalah anemia gizi.
Prevalensi anemia di dunia sangat tinggi, terutama di negara-negara sedang
berkembang termasuk Indonesia. Menurut WHO (2008), prevalensi kejadian
anemia di dunia antara tahun 1993 sampai 2005 sebanyak 24.8 persen dari total
penduduk dunia (hampir 2 milyar penduduk dunia). Laporan hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 menunjukkan bahwa prevalensi anemia
pada tahun 2007 di DKI Jakarta sebesar 15 persen melebihi rata-rata prevalensi
nasional (11.9%) dan prevalensi anemia tertinggi di DKI Jakarta pada tahun 2007
terdapat pada kelompok dewasa (59.1%) dan tertinggi kedua terdapat pada
kelompok remaja (14.2%).
Anemia merupakan kondisi kurang darah yang umum terjadi ketika
jumlah eritrosit kurang dari normal atau akibat konsentrasi Hemoglobin yang
rendah dalam darah (Depkes 2008). Nilai batas ambang untuk anemia menurut
WHO (2001) untuk umur 10-11 tahun <11.5 g/dl, 12-14 tahun <12 g/dl, wanita
>15 tahun <12 g/dl, dan laki-laki >15 tahun <13 g/dl. Penyebab anemia yang
paling umum terjadi adalah defisiensi zat besi, meskipun defisiensi asam folat,
defisiensi vitamin B12 dan protein, serta vitamin-vitamin lainnya dan trace
elements berperan pula terhadap terjadinya anemia (Husaini 1999). Penyebab
anemia yang lain antara lain infeksi akut dan kronis (malaria, HIV) serta diare
kronis (UNICEF 1998).
Adapun tanda-tanda dari anemia adalah (1) lesu, lemah, letih, lelah, lalai
(5L), (2) Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang, dan (3) Gejala
lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan menjadi
pucat. Anemia dapat membawa dampak yang kurang baik pada remaja maupun
dewasa. Anemia pada remaja dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan dan
konsentrasi belajar, mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak
mencapai optimal, menurunkan kemampuan fisik olahragawan dan olahragawati,
dan mengakibatkan muka pucat, serta dapat menurunkan daya tahan tubuh
sehingga mudah sakit, sedangkan anemia pada kelompok dewasa dapat
menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit, menurunkan produktivitas
kerja, dan menurunkan kebugaran (Depkes 1998).
BAB II
ISI
A. Definisi
Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar
hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Nilai tersebut berbeda-
beda untuk kelompok umur dan jenis kelamin sebagaimana ditetapkan oleh
WHO seperti tercantum pada tabel 1.
Tabel 1 Batas normal kadar hemoglobin
Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat belum
ada keseragaman mengenai batasannya, hal ini disebabkan oleh perbedaan
kelompok u;mur, kondisi penderita, komplikasi dengan penyakit lain,
keadaan umum gizi penderita, lamanya menderita anemia, dan lain-lain yang
sulit dikelompokkan. Akan tetapi, menurut Husaini (1989) bahwa semakin
rendah kadar Hb, makin berat anemia yang diderita.
B. Etiologi
Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesis (Sudoyo et all., 2007):
1) Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit di dalam sumsum
tulang
Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
(a) Anemia defisisensi besi
(b) Anemia defisiensi asam folat
(c) Anemia defisiensi B12
Gangguan penggunaan besi (utilisasi)
(a) Anemia akibat penyakit kronik
(b) Anemia sideroblastik
Kerusakan sumsum tulang
(a) Anemia aplastik
(b) Anemia mieloptisik
(c) Anemia keganasan hematologi
(d) Anemia diseritropoetik
(e) Anemia sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoeitin: anemia pada gagal ginjal kronik
2) Anemia akibat hemoragi
Anemia pasca perdarahan akut
Anemia pasca perdarahan kronis
3) Anemia hemolitik
Anemia hemolitik intrakorpuskuler
(a) Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
(b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi
G6PD
(c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
(1) Thalassemia
(2) Hemoglobinopati structural: HbS, HbE, dll
Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
(a) Anemia hemolitik autoimus
(b) Anemia hemolitik mikroangiopati
(c) Lain-lain
4) Anemia dengan penyebab tidak diketahui dengan pathogenesis yang
komplek
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi (Sudoyo et
all., 2007)
1) Anemia mikrositik hipokromik
a. Anemia defisisensi besi
b.Anemia akibat penyakit kronik
c. Anemia sideroblastik
d. Thalassemia major
2) Anemia normositik normokromik
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia sindrom mielodisplastik
g. Anemia keganasan hematologi
3) Anemia makrositik
a. Bentuk megaloblastik
i. Anemia defisiensi asam folat
ii. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
i. Anemia pada penyakit hati kronik
ii. Anemia pasa hipotiroidisme
iii. Anemia pada sindrom mielodisplastik
C. Patofisiologi Pembentukan Hemoglobin
Menurut Bakta (2009) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
1) Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi
heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan
ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme
berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya
rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari
ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh asam lambung.
Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+ke fero (Fe2+)
yang dapat diserap di duodenum.
2) Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum
dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui
proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme
dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung.
Pada brush border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus,
disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero
oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh protein duodenal
cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi
oleh divalent metal transporter(DMT 1). Setelah besi masuk dalam
sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian
diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus.
Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim
ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk
feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus.
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan
dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang
kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1.
Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke
dalam lumen usus (Zulaicha, 2009).
Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau
diloloskan ke basolateral diatur oleh “set point” yang sudah diatur
saat enterosit berada pada dasar kripta. Kemudian pada saat
pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap
menjadi sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari
absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator dietetik, regulator simpanan,
dan regulator eritropoetik (Bakta, 2009)
3) Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus,
memasuki kapiler usus. Kemudian dalam darah diikat oleh
apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat
mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada
transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan reseptor transferin
(transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel,
terutama sel normoblas.
Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan
yang dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini
mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa
proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi pelepasan
besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke
sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin
dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel
dan dapat dipergunakan kembali.
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam
bentuk feritin dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama
dengan protoporfirin untuk pembentukan heme. Protoporfirin adalah
suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4
gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat
dari enam posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin
oleh enzim heme sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme,
yaitu suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung
satu atom besi fero ditengahnya (Murray, 2003).
D. Patofisiologi
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau
kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan
besi makin menurun (Bakta, 2006).
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat
besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini
ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam
usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila
kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama
sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi.
Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini
kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity =
TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum.
Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin
terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul
anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron
deficiency anemia)
E. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis anemia berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan dibantu hasil
pemeriksaan penunjang.
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan
terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih
ringan pada anemia yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi
mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya
kemampuan darah membawa oksigen (Bakta, 2009).
1. Anamnesis
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul
karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh
terhadap penurunan kadar Hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap
kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu(HB<7
g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak
nafas, dan dispepsia (Bakta, 2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau
multisistem dan untuk menilai beratnya kondisi penderita(Oehardian,
2012). Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada
konjungtivanya, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di bawah
kuku (Bakta, 2009).
Gejala khas masing-masing anemia (Bakta, 2009) :
a) Anemia defisiensi besi
Disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok.
b) Anemia megaloblastik
Glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12
c) Anemia hemolitik
Ikterus, splenomegali, hepatomegali
d) Anemia aplastik
Perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang
dapat dilakukan antara lain:
a) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah
anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat
dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli,
yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I
dan III.
b) Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan
flowcytometri atau menggunakan rumus:
1) Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun
apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat
anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia
penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi
hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100
fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah
merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka
sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom <
27 pg dan makrositik > 31 pg.
3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai
normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
c) Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.
Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan
memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat
pada kolom morfology flag.
d) Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah
merahyang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan
parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW
merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat
anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan
manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta
lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin.
MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda
meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan
eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal
15 %.
e) Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak
terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi
eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi
terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu,
sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi
individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi
walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
f) Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun
setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh.
Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan
spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan
setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi
kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum
dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak
status besi yang spesifik.
g) Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama
dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada
kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan
akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
h) Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai
besi ke sumsum tulang.Penurunan jenuh transferin dibawah 10%
merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap
perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada
penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi
populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat
jenuh transferin yang menurun dan seru feritin sering dipakai untuk
mengartikan kekurangan zat besi.Jenuh transferin dapat diukur
dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat
besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus
oleh plasma.
i) Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan
sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin
secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi.
Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi,
yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat
dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.Rendahnya
serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi
tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena
variabilitasnya sangat tinggi.
Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada
pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan
jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah
pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah
pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan
tetap stabil atau naiksecara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita
tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai
sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini
mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak.
Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah
20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang
mendapatkan suplemen zat besi.Serum feritin adalah reaktan fase
akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi,
keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan
mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA),
Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).
F. Penatalaksanaan
Terapi yang ditunjukan pada penyakit yang mendasari. Jika penyakitnya
tidak responsif terhadap terapi, berikan terapi suportif dengan transfusi
darah, yang diulangi beberapa kali untuk meminimalkan gejala (Davey,
2005).
Transfusi darah
Darah donor dan resipien harus di cocokkan demi keberhasilan
transfusi (Davey, 2005)
1) Sistem ABO: gen A dan B mengkode enzim yang mengubah
glikoprotein membran sel (substansi H) menjadi antigen A atau B.
Tiap orang memiliki dua gen A atau dua gen B (AA atau BB), kedua-
duanya (AB), salah satunya (AO atau BO), atau tidak sama sekali (O),
dan antibodi IgM untuk setiap antigen yang tidak dimiliki (anti-B pada
AA dan O, dan anti-A pada BB dan O). Untuk menghindari terjadinya
reaksi transfusi, pasien harus menerima darah dengan golongan yang
sama atau dari donor golongan O (Donor Universal).
2) Sistem resus (Rh) terdiri dari tiga set alel dari gen (Cc, d DAN NON-d,
DAN Ee)
3) Sistem lain
G. Komplikasi (Davey, 2005)
1) Reaksi transfusi, segera (anafilaksis) atau lambat. Reaksi minor (sering
pada mereka yang menjalani banyak transfusi menyebabkan demam
(pasca) transfusi dan mempersingkat masa hidup eritrosit yang
ditransfusikan.
2) Transfusi dalam jumlah banyak bisa memicu gagal jantung atau gagal
hemostatik (zat pengawet darah mengkelasi kalsium, sehingga
menghambat proses pembekuan).
3) Transfusi virus, khususnya HIV dan hepatitis B atau C. Di banyak negara
dilakukan skrining semua darah untuk mencari adanya patogen ini.
4) Kelebihan Fe pada mereka yang banyak mendapat transfusi (misalnya
pada anemia herediter)
5) Supresi immun
6) Penyakit organ cangkok versus pejamu (graft versus host disease)
BAB IV
KESIMPULAN
1. Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar
hemoglobin darah kurang dari normal
2. Anemia disebabkan oleh karena: (a) gangguan pembentukan eritrosit oleh
sumsum tulang, (b) kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan), (c) proses
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).
3. Patofisiologi pembentukan hemoglobin terbagi atas 3 fase yaitu fase
lumial, fase mukosal, dan fase korporeal.
4. Penegakkan diagnosis dari anamnesis anemia yaitu didapatkan rasa lemah,
lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang,
kaki terasa dingin, sesak nafas, dan dispepsia.
5. Penegakkan diagnosis anemia dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan
pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada konjungtivanya, mukosa
mulut, telapak tangan, dan jaringan di bawah kuku
6. Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia yaitu Hb, penambahan
indeks eritrosit, pemeriksaan hapusan darah perifer, luas distribusi sel
darah merah, eritrosit protoporfirin, besi serum, serum transferi, serum
feritin.
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made, dkk. Anemia Defisiensi Besi dalam Sudoyo, Aru W, et.al.
2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI.
Husaini MA. 1999. Iron deficiency in Indonesia. Presented at the Micronutrient
Symposium. Dies Natalis Sebelas Maret University. Surakarta, 2-3 march
Husaini MA et al. 1989. Anemia Gizi : Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam
Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan Program.Jakarta :
Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi.
Murray, R. K., Daryl, K. G., Peter, A. M. , Victor, W. R., 2003. Biokimia Harper
--- Ed 25 ---Jakarta : EGC
Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa
Praktek Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera
Utara. Diunduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalammuhammad%20riswan.pdf.
[Diakses April 2014]
Sudoyo, A., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4 Jilid II. Pustaka IPD
FKUI
UNICEF. 1998. Preventing Iron Deficiency in Woman and Children : backgrond
and consensus on key technical issues and resources for advocacy,
Planning, and Implementing National Programs. Canada : International
Nutritional Foundation (INF)
WHO. 2001. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention, and Control. A
guide for Programme Manager
WHO. 2008. Worldwide Prevalence Of Anemia 1993–2005. WHO Global
Database on Anemia.
Zulaicha, T. M., 2009. Pengaruh Suplementasi Besi Sekali Seminggu Dan Sekali
Sehari Terhadap Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar, Universitas
Sumatera Utara. Diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6261/1/09E00122.pdf.
[Diakses April 2014].