analisis stabilitas dan sistem perbankan - lps

37
Pada edisi ini kami melakukan konstruksi indeks kerentanan ekonomi (economic vulnerability index) dan indeks ketahanan ekonomi (economic resilience index) untuk mengetahui tingkat kerentanan dan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap potensi guncangan dari luar. Dua indeks ini menunjukkan bahwa selama 1995–2013, kecuali pada 1998, ekonomi Indonesia memiliki kerentanan dan ketahanan yang di bawah rata-rata. Secara umum, perkembangan dua indeks ini menunjukkan adanya perbaikan. Kami melakukan analisa pergerakan bersama pasar keuangan (nilai tukar, indeks saham dan yield obligasi) pada pasar domestik, untuk melihat pengaruh return pasar keuangan negara berkembang, negara asia, dan negara maju terhadap pergerakan return pasar keuangan Indonesia pada saat fase stabil dan turbulensi. Selama Januari 2011-Februari 2014, pada fase turbulensi, pergerakan return IHSG berbanding lurus dengan pergerakan return ekuitas tiga kelompok negara tersebut. Sedangkan pergerakan return USD/IDR dan yield, berbanding terbalik dengan pergerakan return nilai tukar dan yield negara maju. Tahun 2014, perbankan nasional masih dihadapkan dengan risiko likuiditas yang dapat terjadi bila persaingan suku bunga terlalu ketat sehingga menimbulkan kenaikan suku bunga yang terlalu tinggi. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada profitabilitas perbankan. Namun, perbankan belum memberi respon berlebihan terkait posisi likuiditas yang mengetat saat ini kedalam perilaku bisnisnya. Target pertumbuhan kredit di kisaran 15-17% oleh BI dinilai sudah tepat dan sesuai untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Risiko perekonomian dan sistem keuangan secara kualitatif beralih ke status normal pada kuartal IV 2013. Aspek Pasar Keuangan dan Neraca Pembayaran mengalami perbaikan yang signifikan dari kondisi di kuartal III 2013. Akan tetapi, Aktivitas Bisnis Domestik dan Sistem Perbankan masih menjadi aspek yang perlu dicermati. Kami menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,3% menjadi 5,5%. Meski demikian, kami mempertahankan perkiraan inflasi di 4,8% dan BI rate di 7,5%. Menurut estimasi terbaru kami, kredit dan dana pihak ketiga akan tumbuh 18,4% dan 14,3% pada 2014. Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index, BSI) pada bulan Februari 2014 mengalami penurunan sebesar 43 bps dari Januari 2014 sebesar 101,11 menjadi 100,68 pada Februari 2014. Sesuai kategori skala observasi Crisis Management Protocol (CMP), BSI kembali berada pada kategori “Normal”. Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan Triwulan I 2014 Ringkasan

Upload: others

Post on 09-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

Pada edisi ini kami melakukan konstruksi indeks kerentanan ekonomi (economic vulnerability

index) dan indeks ketahanan ekonomi (economic resilience index) untuk mengetahui tingkat

kerentanan dan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap potensi guncangan dari luar. Dua

indeks ini menunjukkan bahwa selama 1995–2013, kecuali pada 1998, ekonomi Indonesia

memiliki kerentanan dan ketahanan yang di bawah rata-rata. Secara umum, perkembangan

dua indeks ini menunjukkan adanya perbaikan.

Kami melakukan analisa pergerakan bersama pasar keuangan (nilai tukar, indeks saham dan

yield obligasi) pada pasar domestik, untuk melihat pengaruh return pasar keuangan negara

berkembang, negara asia, dan negara maju terhadap pergerakan return pasar keuangan

Indonesia pada saat fase stabil dan turbulensi. Selama Januari 2011-Februari 2014, pada fase

turbulensi, pergerakan return IHSG berbanding lurus dengan pergerakan return ekuitas tiga

kelompok negara tersebut. Sedangkan pergerakan return USD/IDR dan yield, berbanding

terbalik dengan pergerakan return nilai tukar dan yield negara maju.

Tahun 2014, perbankan nasional masih dihadapkan dengan risiko likuiditas yang dapat terjadi

bila persaingan suku bunga terlalu ketat sehingga menimbulkan kenaikan suku bunga yang

terlalu tinggi. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada profitabilitas perbankan. Namun,

perbankan belum memberi respon berlebihan terkait posisi likuiditas yang mengetat saat ini

kedalam perilaku bisnisnya. Target pertumbuhan kredit di kisaran 15-17% oleh BI dinilai

sudah tepat dan sesuai untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

Risiko perekonomian dan sistem keuangan secara kualitatif beralih ke status normal pada

kuartal IV 2013. Aspek Pasar Keuangan dan Neraca Pembayaran mengalami perbaikan yang

signifikan dari kondisi di kuartal III 2013. Akan tetapi, Aktivitas Bisnis Domestik dan Sistem

Perbankan masih menjadi aspek yang perlu dicermati.

Kami menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,3% menjadi 5,5%.

Meski demikian, kami mempertahankan perkiraan inflasi di 4,8% dan BI rate di 7,5%.

Menurut estimasi terbaru kami, kredit dan dana pihak ketiga akan tumbuh 18,4% dan 14,3%

pada 2014.

Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index, BSI) pada bulan Februari 2014

mengalami penurunan sebesar 43 bps dari Januari 2014 sebesar 101,11 menjadi 100,68 pada

Februari 2014. Sesuai kategori skala observasi Crisis Management Protocol (CMP), BSI

kembali berada pada kategori “Normal”.

Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan Triwulan I 2014

Ringkasan

Page 2: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

Analisis Kerentanan dan Ketahanan

Ekonomi Indonesia

Page 3: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

1

Analisis Kerentanan dan Ketahanan Ekonomi Indonesia

Tahun 2013 kembali menunjukkan bahwa persepsi investor terhadap kondisi fundamental

ekonomi suatu negara sangat berpengaruh terhadap perkembangan arus modal asing di negara

itu. Pada tahun lalu, negara-negara berkembang yang memiliki defisit neraca berjalan relatif

besar “dihukum” oleh investor di tengah ekspektasi pengurangan stimulus moneter (tapering)

oleh Federal Reserve. Modal asing jangka pendek banyak keluar dari negara-negara ini, sehingga

berimbas pada depresiasi nilai tukar. Persepsi investor tersebut didasari oleh pemikiran bahwa

kondisi moneter global yang lebih ketat bakal menyulitkan negara-negara ini untuk mencari

dana eksternal untuk membiayai defisit neraca berjalan mereka. Pemikiran ini tidak salah. Meski

begitu, tentu masih ada banyak faktor fundamental domestik lain yang pantas dipertimbangkan

dalam menilai kekuatan suatu perekonomian dalam menghadapi potensi gangguan dari luar.

Tulisan ini ditujukan untuk mengupas aspek kerentanan dan ketahanan ekonomi Indonesia yang

secara umum mencerminkan kemampuan perekonomian dalam menghadapi potensi kejutan

yang bersifat eksternal. Analisis difokuskan pada pembentukan indeks yang mencerminkan

kerentanan dan ketahanan ekonomi Indonesia.

Kerentanan ekonomi (economic vulnerability) didefiniskan sebagai eksposur suatu perekonomi-

an terhadap guncangan yang bersifat eksogen, yang muncul dari karakter inheren perekonomian

itu. Sedangkan, ketahanan ekonomi (economic resilience) adalah kemampuan suatu perekono-

mian, yang didukung oleh kebijakan, untuk menahan atau pulih dari dampak suatu guncangan

yang kuat. Definisi ini diberikan oleh Briguglio et all dalam makalahnya, yakni “Economic

Vulnerability and Resilience Concepts and Measurements”, yang dimuat di WIDER Research

Paper pada Mei 2008. Pembedaan dua aspek ini penting karena suatu perekonomian bisa

memiliki kerentanan yang tinggi, namun kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya membuatnya

memiliki ketahanan yang baik dalam menghadapi potensi guncangan dari luar. Sebaliknya,

kebijakan yang salah bisa membuat suatu perekonomian memiliki ketahanan yang buruk dalam

menghadapi guncangan eksternal, meski secara inheren perekonomian itu sebenarnya tidak

rentan. Perbedaan dua aspek ini membuat pemetaan tingkat kerentanan dan ketahanan suatu

perekonomian menjadi penting, karena hal ini bisa menunjukkan risiko yang dihadapi jika terjadi

guncangan dari luar.

Tingkat kerentanan dan ketahanan ekonomi diukur dengan indeks berbeda yang mencakup

aspek-aspek yang menjadi penjelasnya. Penyusunan indeks kerentanan ekonomi (economic

vulnerability index atau EVI) telah menjadi objek penelitian yang cukup intensif. Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, melalui salah satu unitnya, the Committee for Development

Policy (CDP), mengembangkan EVI sebagai salah satu kriteria untuk mengidentifikasi negara-

negara berkembang yang terbelakang (least developing countries). Konstruksi EVI, beserta

dengan indeks ketahanan ekonomi (economic resilience index atau ERI), pada tulisan ini

menggunakan hasil studi Briguglio et al (2008).

Page 4: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

2

Ind

eks

Ko

mp

on

en

Asp

ek

Yan

g D

ije

lask

anP

roks

iSu

mb

er

Dat

a

EVI

Ke

terb

uka

an e

kon

om

iEk

spo

sur

terh

adap

gu

nca

nga

n e

kste

rnal

me

lalu

i jal

ur

pe

rdag

anga

n

lin

tas

ne

gara

Rat

a-ra

ta p

ors

i eks

po

r d

an im

po

r b

aran

g d

an ja

sa t

erh

adap

PD

B n

om

inal

CEI

C, I

MF

Ko

nse

ntr

asi e

ksp

or

Ke

terg

antu

nga

n t

erh

adap

eks

po

r b

aran

g te

rte

ntu

Ind

eks

ko

nse

ntr

asi e

ksp

or

UN

CTA

D

Ke

terg

antu

nga

n t

erh

adap

imp

or

Ke

terg

antu

nga

n t

erh

adap

imp

or

bar

ang

tert

en

tuP

ors

i im

po

r p

rod

uk

pe

rtan

ian

ata

u p

rod

uk

tam

ban

g d

an b

ahan

bak

ar (

dip

ilih

yan

g te

rtin

ggi)

te

rhad

ap P

DB

no

min

alB

ank

Du

nia

, CEI

C, I

ntr

ace

n, W

TO

Po

pu

lasi

Ke

be

raga

man

akt

ivit

as e

kon

om

iJu

mla

h p

en

du

du

kC

EIC

, IM

F

Ke

tid

akst

abil

an p

rod

uks

i pe

rtan

ian

Ke

ren

tan

an t

erh

adap

pe

rub

ahan

ko

nd

isi a

lam

Stan

dar

de

vias

i dar

i pe

rtu

mb

uh

an o

utp

ut

pe

rtan

ian

pad

a 10

tah

un

te

rakh

irB

ank

Du

nia

, CEI

C

Ke

terg

antu

nga

n t

erh

adap

mo

dal

asi

ng

Ke

ren

tan

an t

erh

adap

ris

iko

pe

nar

ikan

mo

dal

asi

ng

Ras

io s

urp

lus/

de

fisi

t n

era

ca b

erj

alan

te

rhad

ap P

DB

no

min

alIM

F, b

ank

sen

tral

ERI

Stab

ilit

as m

akro

eko

no

mi:

Surp

lus/

de

fisi

t fi

skal

Re

spo

ns

keb

ijak

an f

iska

l un

tuk

me

ngh

adap

i/m

en

gan

tisi

pas

i

gun

can

gan

Ras

io s

urp

lus/

de

fisi

t an

ggar

an p

em

eri

nta

han

um

um

te

rhad

ap P

DB

no

min

alIM

F

Eco

no

mic

mis

ery

ind

ex

Pe

nge

lola

an k

eb

ijak

an f

iska

l dan

mo

ne

ter

Pe

nju

mla

han

infl

asi d

an t

ingk

at p

en

gan

ggu

ran

CEI

C, I

MF

Uta

ng

luar

ne

geri

Ke

bij

akan

luar

ne

geri

yan

g d

ite

mp

uh

inst

itu

si p

ub

lik

dan

sw

asta

Ras

io u

tan

g lu

ar n

ege

ri t

erh

adap

PD

BC

EIC

, IM

F, b

ank

sen

tral

Efis

ien

si p

asar

di s

ekt

or

mik

ro:

Re

gula

si d

i pas

ar k

red

itEf

isie

nsi

alo

kasi

su

mb

er

day

a d

i pas

ar k

red

itSu

b-i

nd

eks

re

gula

si d

i pas

ar k

red

it d

ari E

con

om

ic F

ree

do

m o

f th

e W

orl

d In

de

xFr

ase

r In

stit

ute

Re

gula

si d

i pas

ar t

en

aga

kerj

aEf

isie

nsi

alo

kasi

su

mb

er

day

a d

i pas

ar t

en

aga

kerj

aSu

b-i

nd

eks

re

gula

si d

i pas

ar t

en

aga

kerj

a d

ari E

con

om

ic F

ree

do

m o

f th

e W

orl

d

Ind

ex

Fras

er

Inst

itu

te

Re

gula

si b

isn

isEf

isie

nsi

alo

kasi

su

mb

er

day

a d

i du

nia

usa

ha

Sub

-in

de

ks r

egu

lasi

bis

nis

dar

i Eco

no

mic

Fre

ed

om

of

the

Wo

rld

Ind

ex

Fras

er

Inst

itu

te

Tata

ke

lola

pe

me

rin

tah

an

Ind

ep

en

de

nsi

hu

kum

Ke

ren

tan

an a

kib

at h

uku

m y

ang

tid

ak in

de

pe

nd

en

Sub

-in

de

ks in

de

pe

nd

en

si h

uku

m d

ari E

con

om

ic F

ree

do

m o

f th

e W

orl

d In

de

xFr

ase

r In

stit

ute

Ke

tid

akb

erp

ihak

an p

en

gad

ilan

Ke

ren

tan

an a

kib

at p

en

gad

ilan

yan

g m

em

ihak

Sub

-in

de

ks k

eti

dak

be

rpih

akan

pe

nga

dil

an d

ari E

con

om

ic F

ree

do

m o

f th

e W

orl

d

Ind

ex

Fras

er

Inst

itu

te

Pro

teks

i ata

s ke

kaya

an in

tele

ktu

alK

ere

nta

nan

aki

bat

pe

lan

ggar

an k

eka

yaan

inte

lekt

ual

Sub

-in

de

ks p

rote

ksi a

tas

keka

yaan

inte

lekt

ual

dar

i Eco

no

mic

Fre

ed

om

of

the

Wo

rld

Ind

ex

Fras

er

Inst

itu

te

Inte

rve

nsi

mil

ite

r d

alam

hu

kum

Ke

ren

tan

an a

kib

at c

amp

ur

tan

gan

mil

ite

r d

alam

pro

ses

hu

kum

Sub

-in

de

ks in

terv

en

si m

ilit

er

dal

am h

uku

m d

ari E

con

om

ic F

ree

do

m o

f th

e

Wo

rld

Ind

ex

Fras

er

Inst

itu

te

Inte

grit

as s

iste

m p

en

gad

ilan

Ke

ren

tan

an a

kib

at s

iste

m p

en

gad

ilan

yan

g ti

dak

be

rin

tegr

itas

Sub

-in

de

ks in

tegr

itas

sis

tem

pe

nga

dil

an d

ari E

con

om

ic F

ree

do

m o

f th

e W

orl

d

Ind

ex

Fras

er

Inst

itu

te

Pe

rke

mb

anga

n s

osi

alK

ual

itas

su

mb

er

day

a m

anu

sia

Hu

man

De

velo

pm

en

t In

de

x (H

DI)

UN

DP

Tab

el 1

. Des

krip

si k

om

po

nen

-ko

mp

on

en y

ang

men

yusu

n E

VI d

an E

RI

Page 5: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

3

Untuk mengukur tingkat kerentanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi guncangan

eksternal, kami menyusun EVI yang mencakup komponen-komponen: 1) keterbukaan ekonomi;

2) konsentrasi ekspor; 3) ketergantungan terhadap impor; 4) besar populasi; 5) ketidakstabilan

produksi pertanian; dan 6) ketergantungan terhadap modal asing. Sementara, ERI kami hitung

dengan mencakup empat komponen, yaitu: 1) stabilitas makroekonomi; 2) efisiensi pasar di

sektor mikro (microeconomic market efficiency); 3) tata kelola pemerintahan; dan 4)

perkembangan sosial. Penjelasan komponen-komponen ini, berikut proksi dan sumber datanya

dijabarkan pada Tabel 1.

EVI dan ERI sebenarnya adalah indeks relatif yang membandingkan indikator Indonesia dengan

negara lain. Ada 10 negara yang kami cakup dalam analisis ini, yaitu Afrika Selatan, Brazil, China,

Filipina, India, Indonesia, Malaysia, Rusia, Thailand, dan Turki. Data dari tiap negara pada suatu

tahun tertentu dinormalisasi dengan persamaan berikut:

yang mana adalah nilai komponen j hasil normalisasi untuk negara i dan adalah nilai

aktual komponen j untuk negara i. Sedangkan, dan adalah nilai maksimal dan nilai

minimal komponen j dari 10 negara pada satu tahun yang sama. Dengan normalisasi ini, nilai

yang dihasilkan akan berkisar dari 0 (paling tidak rentan untuk EVI dan paling lemah untuk ERI)

hingga 100 (paling rentan untuk EVI dan paling kuat untuk ERI). Normalisasi di atas dilakukan

untuk indikator-indikator yang jika semakin besar menunjukkan bahwa perekonomian menjadi

makin rentan (EVI) atau makin kuat (ERI). Untuk indikator-indikator yang menunjukkan kondisi

berkebalikan (misalnya utang luar negeri), diberlakukan normalisasi dengan formula berikut:

Data tertentu tidak tersedia untuk periode tertentu, sehingga kami harus melakukan interpolasi.

Setelah melakukan normalisasi untuk tiap komponen, dihasilkan EVI dan ERI yang adalah hasil

rata-rata sederhana dari komponen-komponen yang menyusunnya. Dengan begitu, bobot tiap

komponen diasumsikan sama.

Indeks kerentanan ekonomi (EVI) dan indeks ketahanan ekonomi (ERI) lalu dapat dipetakan ke

dalam grafik cartesius. Dalam tulisan ini, sumbu X (horisontal) dan sumbu Y (vertikal) tidak

berada di titik nol, melainkan di posisi rata-rata EVI dan ERI untuk seluruh periode observasi

(1995–2013) dan semua negara. Dengan demikian, akan terbentuk empat kuadran yang masing-

masing dibatasi oleh sumbu X dan Y. Kuadran I di kiri atas menunjukkan kondisi worst case

karena perekonomian memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dan ketahanan yang rendah.

Kuadran II di kanan atas disebut oleh Briguglio et al (2008) sebagai self made, artinya

perekonomian memiliki kerentanan yang tinggi, namun dengan ketahanan yang juga tinggi.

Kuadran III di kiri bawah disebut sebagai prodigal son. Perekonomian yang ada di kuadran ini

memiliki kerentanan yang rendah, tapi juga ketahanan yang rendah. Terakhir, kuadran IV di

Page 6: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

4

kanan bawah disebut best case karena posisi kerentanan yang rendah dan ketahanan yang

tinggi. Pembagian kuadran ini juga menunjukkan kondisi perubahan koordinat posisi EVI/ERI

yang diinginkan (desirable), yakni menuju ke kiri atas. Sebaliknya, pergerakan ke kanan bawah

tidak diinginkan (undesirable).

Pemetaan EVI dan ERI Indonesia selama 1995 hingga 2013 ditampilkan pada Gambar 1. Terlihat

bahwa sepanjang periode observasi, kecuali pada 1998, ekonomi Indonesia berada pada

kuadran prodigal son, atau memiliki kerentanan yang rendah, tapi dengan ketahanan yang juga

rendah. Ada beberapa perubahan koordinat yang desirable, yakni pada 1999, 2002, 2006, dan

2009. Sebaliknya, pergerakan yang undesirable terjadi pada 1998, 2000, 2004–2005, dan 2012.

Sumber: LPS Gambar 1. Pemetaan EVI dan ERI Indonesia, 1995–2013

Jika dilihat terpisah, pergerakan EVI dan ERI Indonesia sebenarnya menunjukkan perkembangan

yang positif. EVI cenderung turun dari titik puncaknya pada 1998, menggambarkan penurunan

kerentanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi potensi guncangan dari luar. Di saat yang

sama, ERI juga cenderung naik. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ditempuh otoritas fiskal

dan moneter telah memperbaiki daya tahan ekonomi Indonesia dalam menghadapi guncangan.

Jika dilihat komponen-komponen yang menyusun EVI, kekuatan utama Indonesia adalah pada

produksi sektor pertaniannya yang cenderung lebih stabil dan kondisi ekonominya yang relatif

tidak terbuka jika dibandingkan dengan sembilan negara lain. Sementara itu, penurunan ERI

Indonesia ditunjang oleh perbaikan yang gradual di sisi tata kelola pemerintahan, relatif

terhadap kondisi di negara lain. Akan tetapi, kualitas sumber daya manusia secara konsisten

menjadi faktor yang membatasi perbaikan daya tahan ekonomi Indonesia.

Secara historis, EVI dan ERI Indonesia juga menunjukkan tingkat kerentanan yang tinggi dan

tingkat ketahanan yang rendah pada tahun menjelang krisis 1997/1998. Ini menjelaskan posisi

Indonesia sebagai negara yang paling terdampak oleh krisis di Asia pada saat itu, yang diawali

oleh kejadian eksternal berupa pelepasan pematokan (unpegging) baht terhadap dolar AS. Pada

waktu yang sama, Thailand dan Malaysia memiliki kerentanan yang lebih buruk, tapi

ekonominya memiliki daya tahan yang jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. ERI tampaknya

juga mampu menunjukkan seberapa lama suatu perekonomian akan keluar dari kondisi krisis.

Identik dengan kasus Indonesia, Rusia juga memiliki ERI yang relatif rendah pada paruh kedua

1995

1996

1998

20012002

2005

2007

2009

2013

0

10

20

30

40

50

0 10 20 30 40 50 60

EVI

ERI

Page 7: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

5

dekade 1990-an. Bukan kebetulan jika negara ini terjebak dalam resesi pada 1995, 1996, dan

1998. Di sisi lain, faktor kerentanan menjadi lebih penting dibandingkan ketahanan saat ekonomi

dunia dilanda krisis pada 2008/2009. Afrika Selatan, Malaysia, Rusia, Thailand, dan Turki –yang

memiliki EVI di atas rata-rata pada 2007– tercatat mengalami resesi ekonomi pada 2009.

Sumber: LPS Gambar 2. Pemetaan EVI dan ERI 10 Negara Berkembang pada 1996, 2007, 2012, dan 2013

Sementara itu, Gambar 2 menjelaskan bahwa EVI dan ERI tidak mampu menjelaskan perilaku

investor global yang banyak menarik dananya dari kelompok negara-negara the Fragile Five. The

Fragile Five adalah nama yang disematkan pada lima negara yang dianggap rentan ketika terjadi

turbulensi di pasar finansial global pada 2013. Lima negara itu adalah Afrika Selatan, Brazil, India,

Indonesia, dan Turki. Setahun menjelang turbulensi (pada 2012), Brazil dan Indonesia memang

masih memiliki tingkat daya tahan ekonomi yang relatif buruk dibanding, misalnya, Malaysia dan

Thailand. Akan tetapi, Brazil dan Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang jauh lebih rendah.

Di sisi lain, Afrika Selatan dan India juga memiliki daya tahan ekonomi yang lebih baik

dibandingkan Filipina, Rusia, dan Thailand. Untuk kasus Turki, persepsi investor global bisa

dimaklumi, mengingat posisi EVI dan ERI-nya yang relatif tinggi. (SW, TS)

Brazil

ChinaIndia

Indonesia

Malaysia

Filipina

Rusia

Afrika Selatan

Thailand

Turki

0

20

40

60

80

100

0 20 40 60 80 100

ERI

EVI

1996

Brazil

China India

Indonesia

Malaysia

Filipina

Rusia

Afrika Selatan

ThailandTurki

0

20

40

60

80

100

0 20 40 60 80 100

ERI

EVI

2012

Brazil

China India

Indonesia

Malaysia

Filipina

Rusia

Afrika Selatan

Thailand

Turki

0

20

40

60

80

100

0 20 40 60 80 100

ERI

EVI

2013

Brazil

ChinaIndia

Indonesia

Malaysia

Filipina

Rusia

Afrika Selatan

Thailand

Turki

0

20

40

60

80

100

0 20 40 60 80 100

ERI

EVI

2007

Page 8: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

Analisa Co-movement Pasar Keuangan

Page 9: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

6

Analisa Pergerakan Bersama Pasar Keuangan (Nilai Tukar, Indeks Saham, dan Yield Obligasi)

Pergerakan pasar keuangan di negara berkembang, negara di kawasan Asia dan negara maju

selalu menjadi topik menarik dalam berbagai studi empiris. Yang menjadi perhatian tentu

saja tidak hanya karakteristik risiko dan return yang dimiliki oleh masing-masing kawasan.

Bivariate linkage, baik antar negara maupun antar kawasan, telah menjadi konsentrasi yang

terus digali secara komprehensif, yang mana hal tersebut akan mempengaruhi risk appetite

investor dalam melakukan manajemen portofolionya. Sebagai contoh sederhana, korelasi

yang kecil di antara rupiah dan poundsterling dapat memberikan referensi bagi investor

untuk melakukan diversifikasi investasi di pasar uang global. Ketika poundsterling terdepre-

siasi, investor dapat menjadikan rupiah sebagai alternatif investasi di pasar valuta asing

(valas). Sebaliknya, korelasi positif yang kuat antara rupiah dan baht dapat mendeteksi

adanya dynamic co-movement yang sama, sehingga ketika baht terguncang, rupiah akan

memiliki probabilitas yang lebih besar untuk mengalami hal serupa.

Pada edisi ini, kami akan mengkaji linkage co-movement dari nilai tukar, saham, dan imbal

hasil (yield) obligasi pemerintah antara Indonesia dengan negara berkembang utama lain

(India, Brazil, Turki, Thailand, Filipina, Afrika Selatan, dan Malaysia), negara di kawasan Asia

(Jepang, China, India, Korea, Singapura, dan Taiwan), dan negara maju (Amerika Serikat atau

AS, Inggris, dan Jepang). Metode yang kami implementasikan dalam melakukan analisa

tersebut adalah pemodelan Markov Switching. Pemodelan ini memungkinkan kami untuk

melakukan analisa pergerakan USD/IDR, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan imbal

hasil obligasi pemerintah bersamaan dengan pergerakan nilai tukar, saham, dan imbal hasil

obligasi pemerintah dari tiga kelompok negara, yaitu negara berkembang, negara di

kawasan Asia, dan negara maju.

Data yang digunakan dalam pemodelan ini merupakan data harian nilai tukar, indeks harga

saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun dari tiga kelompok negara.

Periode observasinya dimulai dari 5 Januari 2011 sampai dengan 28 Februari 2014 (777

observasi, lihat Tabel 2). Pada tahap pertama, kami melakukan normalisasi terhadap data

mentah. Setelah itu, kami menyusun indeks nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi

pemerintah untuk masing-masing tiga kelompok negara. Indeks ini adalah rata-rata terbobot

dari nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah tiap negara yang sudah

dinormalisasi. Bobot yang kami gunakan adalah rasio produk domestik bruto (PDB) nominal

tiap negara terhadap total PDB pada masing-masing kelompok negara.

Page 10: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

7

Sumber: LPS Tabel 2. Daftar Variabel yang Digunakan

Untuk mengantisipasi masalah non-linearitas pada data, kami melakukan transformasi pada

data indeks dengan logaritma natural terlebih dahulu, sebelum menggunakan data tersebut

dalam pemodelan Markov Switching. Data yang kami pakai dalam pemodelan kali ini adalah

data dalam bentuk tingkat pertumbuhan (growth rate).

Dalam bentuk persamaan matematis, model Markov Switching yang kami implementasikan

pada edisi ini adalah sebagai berikut:

),0(,2

2

1

t

t

t

St

ttS

ttS

t NIDx

xy

(1)

yang mana ty adalah indeks USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10

tahun. Sedangkan, tx adalah variabel eksogen yang dapat disusun sebagai indeks growth

rate nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah untuk negara berkembang,

negara di kawasan Asia, dan negara maju. State menunjukkan kondisi indeks

USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah pada saat kondisi stabil. Sementara,

menunjukkan kondisi indeks USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah pada

saat turbulensi.

Sebelum melakukan analisa Markov Switching, terlebih dahulu kami melihat koefisien

korelasi di antara dua variabel (misalnya, indeks USD/IDR dengan indeks nilai tukar negara

berkembang). Tabel 3, 4, dan 5 masing-masing menggambarkan nilai koefisien korelasi antar

nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah untuk semua negara.

Page 11: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

8

Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 3. Matriks Koefisien Korelasi antar Nilai Tukar

Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 4. Matriks Koefisien Korelasi antar Indeks Harga Saham

Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 5. Matriks Koefisien Korelasi antar Imbal Hasil Obligasi Pemerintah Bertenor 10 Tahun

Page 12: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

9

Koefisien korelasi antar nilai tukar (Tabel 3) menunjukkan bahwa rupiah memiliki korelasi

yang negatif dengan euro, yen, dan poundsterling. Artinya, ketika rupiah terdepresiasi,

investor dapat mempertimbangkan tiga mata uang tersebut sebagai safe haven dalam

rangka diversifikasi investasi di pasar valas.

Untuk nilai saham, IHSG memiliki korelasi positif dengan indeks harga saham dari semua

negara yang kami pantau. Hal tersebut mengindikasikan adanya pergerakan bersama antar

harga saham di semua negara yang kami teliti. Dengan demikian, ketika IHSG mengalami

fase bearish, indeks harga saham lain terindikasi berada di fase serupa. Ini terjadi mengingat

karakteristik pergerakan harga saham yang rentan terhadap perkembangan isu-isu global

yang bersifat short-term.

Sedangkan, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia memiliki korelasi negatif dengan imbal

hasil obligasi pemerintah AS dan Jepang. Artinya, ketika terdapat tekanan di pasar surat

berharga negara (SBN) domestik, yang ditandai dengan kenaikan imbal hasil SBN yang cukup

signifikan akibat faktor fundamental domestik atau eksternal, maka investor global dapat

melakukan diversifikasi portofolio dengan membeli obligasi pemerintah AS atau Jepang.

Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 6. Hasil Estimasi Koefisien Persamaan Markov Switching

Hasil estimasi Markov Switching menunjukkan bahwa koefisien St (parameter Markov

Switching) pada Tabel 6 secara umum berpengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan 95%

(α = 5%) untuk nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah negara

berkembang. Nilai standar deviasi untuk dua state tersebut bernilai relatif kecil, terutama

pada model nilai tukar tiga kelompok negara. Ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan

pemodelan Markov Swithing pada periode observasi yang kami pantau, volatilitas yang

terjadi di pasar valas lebih kecil dibandingkan volatilitas yang terjadi di pasar SBN, dan

volatilitas di pasar SBN lebih kecil dibandingkan volatilitas di pasar saham.

Secara lebih terperinci, hasil estimasi Markov Switching pada Tabel 6 dapat diinterpretasikan

sebagai berikut:

1. Selama fase stabil, ketika return indeks nilai tukar negara berkembang naik sebesar 1%

maka rata-rata return USD/IDR harian naik sebesar 0,0041%. Pada fase turbulensi, rata-

rata return harian USD/IDR naik sebesar 0,0078% jika return indeks nilai tukar negara

Nilai

Tukar Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev.

State 1 0.000041 0.000 3.41E-15 0.000023 0.000 1.53E-14 -0.000004 0.000 6.50E-15

State 2 0.000078 0.020 1.40E-13 0.000007 0.720 3.34E-13 -0.000001 0.480 2.24E-13

Harga

Saham Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev.

State 1 0.491 0.000 0.105 -0.004 0.760 0.014 1.294 0.000 0.148

State 2 0.791 0.000 0.247 0.153 0.250 0.133 2.299 0.000 0.383

Yield

Obligasi Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev.

State 1 0.006 0.660 0.013 0.004 0.650 0.008 -0.016 0.080 0.009

State 2 0.077 0.020 0.032 0.037 0.280 0.034 -0.012 0.780 0.045

Negara Berkembang Negara Asia Negara Maju

Negara Berkembang Negara Asia Negara Maju

Negara Berkembang Negara Asia Negara Maju

Page 13: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

10

berkembang naik 1%. Sebaliknya, kenaikan return indeks nilai tukar negara maju sebesar

1% menyebabkan rata-rata return USD/IDR turun sebanyak 0,0001% pada fase stabil dan

turun 0,0004% pada fase turbulensi. Hasil estimasi ini selaras dengan hasil koefisien

korelasi .

2. Mengenai pergerakan bersama harga saham, selama fase stabil, rata-rata return IHSG

harian naik mendekati angka 0,5% yang disebabkan oleh 1% kenaikan return indeks

harga saham negara berkembang. Sedangkan, selama fase turbulensi, rata-rata return

harian IHSG naik 0,8%. Hasil estimasi tersebut lebih kecil dibanding dampak pergerakan

bersama dari negara maju, yang mana rata-rata return harian IHSG naik 1,29% pada fase

stabil dan naik 2,3% pada fase turbulensi. Dengan kata lain, pada dua fase, pergerakan

return IHSG berbanding lurus dengan pergerakan harga saham negara berkembang dan

negara maju.

3. Pada fase turbulensi, rata-rata pertumbuhan harian imbal hasil obligasi pemerintah

Indonesia naik sebanyak 0,077% yang disebabkan oleh 1% kenaikan pertumbuhan harian

imbal hasil obligasi negara berkembang. Kondisi sebaliknya terlihat pada hubungan

imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia dengan negara maju. Jika pertumbuhan imbal

hasil obligasi pemerintah negara maju meningkat 1%, pertumbuhan imbal hasil obligasi

pemerintah Indonesia turun 0,012%. Ini menunjukkan bahwa ketika terdapat guncangan

yang cukup signifikan pada pasar SBN negara maju, risk appetite investor global untuk

obligasi di pasar domestik (Indonesia) akan naik sehingga hal tersebut akan berdampak

pada penurunan rata-rata pertumbuhan imbal hasil obligasi domestik.

Output Markov Switching berupa smoothed probabilities untuk persamaan (1) disajikan

dalam Gambar 3, 4, dan 5. Masing-masing gambar tersebut menunjukkan nilai probabilitas

USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah berada pada kondisi turbulensi (state 2).

Sumber: Bloomberg, LPS Gambar 3. Smoothed Probabilities untuk USD/IDR terhadap Indeks Nilai Tukar Tiga Kelompok

Negara

8000

8500

9000

9500

10000

10500

11000

11500

12000

12500

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

Jan

-11

Jan

-11

Feb

-11

Mar

-11

Mar

-11

Ap

r-1

1

May

-11

May

-11

Jun

-11

Jul-

11

Au

g-1

1

Au

g-1

1

Sep

-11

Oct

-11

Oct

-11

No

v-1

1

De

c-1

1

De

c-1

1

Jan

-12

Feb

-12

Feb

-12

Mar

-12

Ap

r-1

2

Ap

r-1

2

May

-12

Jun

-12

Jul-

12

Jul-

12

Au

g-1

2

Sep

-12

Sep

-12

Oct

-12

No

v-1

2

No

v-1

2

De

c-1

2

Jan

-13

Jan

-13

Feb

-13

Mar

-13

Ap

r-1

3

Ap

r-1

3

May

-13

Jun

-13

Jun

-13

Jul-

13

Au

g-1

3

Au

g-1

3

Sep

-13

Oct

-13

Oct

-13

No

v-1

3

De

c-1

3

De

c-1

3

Jan

-14

Feb

-14

P(St=2) (volatile_EM) P(St=2) (volatile_Asian) P(St=2) (volatile_Center) USDIDR (RHS)

Apresiasi

Apresiasi

Apresiasi ApresiasiApresiasi

Page 14: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

11

Sumber: Bloomberg, LPS Gambar 4. Smoothed Probabilities untuk IHSG terhadap Indeks Saham Tiga Kelompok Negara

Sumber: Bloomberg, LPS Gambar 5. Smoothed Probabilities untuk Imbal Hasil Obligasi Pemerintah Bertenor 10 Tahun

terhadap Indeks Imbal Hasil Obligasi Tiga Kelompok Negara

Gambar 3 menunjukkan pergerakan USD/IDR pada saat turbulensi (state 2) bersamaan

dengan indeks pergerakan nilai tukar negara berkembang, negara di kawasan Asia, dan

negara maju. Di saat indeks nilai tukar tiga kelompok negara tersebut bergejolak, maka

probabilitas USD/IDR akan berada pada kondisi turbulensi (state 2), bernilai antara 0,5 dan

1. Pada Gambar 3, periode ketika USD/IDR mengalami kondisi turbulensi ditunjukkan oleh

area dengan shading berwarna biru. Hal tersebut mengindikasikan bahwa selain faktor

fundamental domestik seperti defisit neraca perdagangan atau inflasi, faktor contagion

3000

3500

4000

4500

5000

5500

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

Jan

-11

Feb

-11

Mar

-11

Ap

r-1

1

May

-11

Jun

-11

Jul-

11

Au

g-1

1

Sep

-11

Oct

-11

No

v-1

1

De

c-1

1

Jan

-12

Feb

-12

Mar

-12

Ap

r-1

2

May

-12

Jun

-12

Jul-

12

Au

g-1

2

Sep

-12

Oct

-12

No

v-1

2

De

c-1

2

Jan

-13

Feb

-13

Mar

-13

Ap

r-1

3

May

-13

Jun

-13

Jul-

13

Au

g-1

3

Sep

-13

Oct

-13

No

v-1

3

De

c-1

3

Jan

-14

Feb

-14

P(St=2) (volatile_EM) P(St=2) (volatile_Asian) P(St=2) (volatile_Center) IHSG (RHS)

BullishBullish

Bullish

Bullish

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

Jan

-11

Feb

-11

Mar

-11

Ap

r-1

1

May

-11

Jun

-11

Jul-

11

Au

g-1

1

Sep

-11

Oct

-11

No

v-1

1

De

c-1

1

Jan

-12

Feb

-12

Mar

-12

Ap

r-1

2

May

-12

Jun

-12

Jul-

12

Au

g-1

2

Sep

-12

Oct

-12

No

v-1

2

De

c-1

2

Jan

-13

Feb

-13

Mar

-13

Ap

r-1

3

May

-13

Jun

-13

Jul-

13

Au

g-1

3

Sep

-13

Oct

-13

No

v-1

3

De

c-1

3

Jan

-14

Feb

-14

P(St=2) (volatile_EM) P(St=2) (volatile_Asian) P(St=2) (volatile_Center)

10Y Yield Indo Gov Bond (RHS) Spread Yield US & Indo Gov Bond(RHS)

Page 15: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

12

sangat mempengaruhi fluktuasi USD/IDR. Tabel 7 menunjukkan bahwa co-movement antara

USD/IDR dan indeks nilai tukar negara berkembang (co-movement di sini berarti probabilitas

turbulensi keduanya berada di atas 0,5 pada waktu yang sama) terjadi sebanyak 37% dari

total observasi yang kami teliti. Angka 37% ini lebih besar daripada proporsi frekuensi co-

movement USD/IDR dengan indeks nilai tukar negara Asia dan negara maju. Dengan

demikian, USD/IDR memiliki linkage co-movement dengan nilai tukar di negara berkembang.

Sehingga, ketika nilai tukar di negara berkembang berada pada kondisi turbulensi, maka

rupiah akan sangat rentan untuk mengalami kondisi yang sama.

Pada pasar saham, tren penguatan IHSG telah terlihat mulai dari 2Q12 sampai 2Q13. Hal ini

ditunjukkan oleh IHSG yang memiliki probabilitas turbulensi yang sangat kecil atau di bawah

0,5 (Gambar 4). Pada periode tersebut, bursa saham negara berkembang menunjukkan

kinerja positif sebagai dampak dari sentimen positif di pasar global dan kondisi fundamental

negara berkembang yang relatif kuat. Di negara maju, program Quantitative Easing III yang

dijalankan the Fed menyebabkan adanya capital inflow yang cukup deras ke pasar saham

Indonesia. Kondisi sebaliknya terjadi pada periode pertengahan Mei 2013 hingga akhir

September 2013, ketika isu QE tapering muncul dan menjadi sentimen negatif yang

mendorong investor asing untuk melakukan portfolio adjustment di negara berkembang.

Pada periode tersebut, IHSG bergerak fluktuatif dan menyebabkan probabilitas IHSG berada

pada state 2 (turbulensi) naik mendekati 1. Dari Tabel 7, dapat dilihat bahwa proporsi

frekuensi co-movement IHSG terbesar adalah bersama dengan indeks harga saham negara

maju. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa IHSG memiliki linkage co-movement

dengan harga saham negara maju.

Sumber: Bloomberg, LPS

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Co-movement Nilai Tukar, Harga Saham, dan Imbal Hasil Obligasi

Pemerintah Bertenor 10 Tahun pada Fase Turbulensi

Tabel 7 juga menunjukkan distribusi frekuensi imbal hasil obligasi ketika berada pada kondisi

turbulensi. Pada tabel tersebut, terlihat bahwa frekuensi co-movement imbal hasil obligasi

pemerintah Indonesia dengan imbal hasil obligasi pemerintah negara berkembang, negara di

kawasan Asia, dan negara maju tidak memiliki perbedaan yang signifikan. (RR, DSR)

yt Negara Berkembang Negara Asia Negara Maju

Nilai Tukar 0.37 0.34 0.28

Harga Saham 0.34 0.30 0.36

Imbal Hasil Obligasi 10 Thn 0.34 0.33 0.33

Page 16: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

Likuiditas Perbankan: Permasalahan,

Risiko dan Kebijakan

Page 17: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

13

Likuiditas Perbankan: Permasalahan, Risiko, dan Kebijakan

Salah satu tema besar risiko sistem perbankan saat ini adalah likuiditas yang ketat. Pada

Desember 2013, rasio kredit terhadap simpanan (LDR) perbankan telah mencapai 90%, level

tertinggi sejak krisis 1997/1998. Sepanjang Desember 2012 hingga Desember 2013, sistem

perbankan telah menyalurkan dana pinjaman sebesar Rp 594,2 triliun, sedangkan dana pihak

ketiga (DPK) yang dihimpun pada periode yang sama hanya sebesar Rp 438,8 triliun. Dengan

kata lain, telah terjadi net fund outflow sebesar Rp 155,4 triliun. Net fund outflow ini terlihat

mengalami sedikit penurunan dibandingkan pada bulan lalu.

Sumber: BI Gambar 6. Pertumbuhan DPK dan Kredit Perbankan

Kondisi ini jelas tidak stabil dan menimbulkan potensi risiko likuiditas yang signifikan bagi

perbankan. Risiko dapat terjadi jika persaingan suku bunga terlalu ketat, sehingga

menimbulkan kenaikan bunga yang terlalu tinggi. Sebagian besar bank mungkin tidak

langsung melakukan pass through kenaikan suku bunga tersebut kepada debiturnya (dalam

bentuk kenaikan suku bunga kredit) karena adanya kekhawatiran akan terjadinya penurunan

kualitas kredit atau pindahnya nasabah bank itu kepada bank lain (yang tidak menaikkan

suku bunga kredit). Akibatnya, margin bunga bersih (NIM) akan tergerus dan mempengaruhi

profitabilitas bank. Meski BI rate stabil dalam tiga bulan belakangan ini, potensi pengetatan

lanjutan masih mungkin terjadi, terutama jika kembali terjadi turbulensi di pasar keuangan.

Page 18: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

14

Sumber: CEIC dan BI Gambar 7. Perkembangan Uang Inti dan Alat Likuid Perbankan

Sumber likuiditas yang utama adalah uang inti (uang kartal dan giro perbankan di Bank

Indonesia). Perkembangan uang inti ditransformasikan menjadi likuiditas perbankan melalui

aktivitas intermediasi. Sejak awal 2013, pertumbuhan uang inti mengalami penurunan yang

bersumber dari komponen aktiva dalam negeri bersih (net domestic assets atau NDA) dan

aktiva luar negeri bersih (net foreign assets atau NFA).

NFA menurun disebabkan oleh pelemahan appetite investor asing kepada instrumen dalam

negeri sehingga capital inflow berkurang. Sedangkan NDA terlihat mengalami penurunan

mulai pertengahan tahun 2013, sejalan dengan arah pengetatan kebijakan moneter dalam

rangka pengendalian inflasi serta stabilisasi defisit neraca berjalan.

Posisi alat likuid perbankan (dalam persentase terhadap total aset) telah menurun dari awal

tahun 2010. Pulihnya sentimen bisnis pasca krisis global menyebabkan bank kembali agresif

menyalurkan kredit. Alat likuid telah menurun dari kisaran 33,8% aset (April 2010) menjadi

25,9% aset (November 2013). Posisi alat likuid ini adalah yang terendah sejak akhir 2003.

Penurunan terjadi pada seluruh komponen yang mana pos surat berharga mengalami

kontraksi terbesar, yakni dari 15,5% menjadi 10,4% pada periode yang sama.

Respon alamiah yang seharusnya dilakukan bank dalam kondisi likuiditas ketat saat ini

adalah dengan menyesuaikan aktivitas intermediasi, yaitu: (1) mengurangi pertumbuhan

kredit dan/atau (2) menambah pertumbuhan DPK. Dua strategi itu memiliki trade off.

Strategi pertama menimbulkan biaya berupa kemungkinan hilangnya posisi bisnis bank

(karena direbut oleh bank lain yang memiliki daya tahan likuiditas yang lebih baik). Strategi

kedua dapat menimbulkan peningkatan biaya dana dan penurunan NIM secara drastis.

Page 19: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

15

Sumber: LPS Gambar 8. Peta Koordinat Penyesuaian Aktivitas Intermediasi

Sejauh ini respons dari perbankan masih dapat dikatakan business as usual. Hanya 26 dari

109 bank yang telah menurunkan pertumbuhan kreditnya hingga di bawah pertumbuhan

DPK. Tidak seperti yang diduga, saat ini belum terlihat adanya hubungan negatif (serta

signifikan) antara LDR dan pertumbuhan kredit. Sebaliknya pola yang ada justru cenderung

positif meskipun lemah. Di sisi lain, hubungan antara LDR dengan deposito cenderung

negatif. Beberapa bank dengan pola hubungan seperti ini mengandalkan modal atau surat

utang untuk pembiayaan kreditnya.

Melihat respons perbankan hingga posisi akhir tahun 2013, dapat disimpulkan bahwa

likuiditas masih menjadi risiko utama di tahun 2014. Perbankan belum merespons secara

optimal posisi likuiditas yang mengetat saat ini ke dalam perilaku bisnisnya. Moral suasion

yang dilakukan Bank Indonesia untuk mengarahkan pertumbuhan kredit bank ke kisaran

15%–17% sudah tepat dan perlu digalakkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

Page 20: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

16

Sumber: CEIC Gambar 9. Profil Distribusi Simpanan DPK dan Deposito Berjangka

Cara lain yang dapat ditempuh untuk memitigasi risiko likudiitas adalah melalui sisi pemasok

dana (nasabah penyimpan). Gambar 9 menunjukkan profil distribusi simpanan yang ada

pada perbankan. Dapat dilihat bahwa mayoritas DPK berasal dari nasabah ritel (individual)

dengan pangsa sebesar 61%, disusul oleh korporasi sebesar 21%. Gambaran serupa juga

terlihat pada segmen produk deposito berjangka, yang mana dominasi nasabah ritel

mencapai 56,5% dan korporasi sebesar 21,5%. Dengan demikian kebijakan likuiditas perlu

diimplementasikan dengan melihat kepada perilaku dua segmen ini.

Sumber: CEIC dan BI Gambar 10. Pertumbuhan DPK dan Suku Bunga

Dilihat dari aspek sensitivitas terhadap pergerakan suku bunga, data sebelum tahun 2011

menunjukkan bahwa nasabah ritel cukup sensitif terhadap suku bunga. Mereka melakukan

relokasi aset finansial kepada deposito bank jika return-nya (suku bunga) mengalami

peningkatan. Walau demikian, hubungan ini terlihat melemah sejak awal tahun 2012. Kami

meyakini bahwa segmen ritel masih sensitif terhadap suku bunga. Interaksi dengan

beberapa variabel lain (kemungkinan daya tarik yang lebih besar pada kelas aset lain seperti

Page 21: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

17

saham) menyebabkan pola hubungan terlihat melemah pada beberapa tahun terakhir. Di sisi

lain, tidak terlihat korelasi yang spesifik di antara pertumbuhan DPK nasabah korporasi

dengan suku bunga. Untuk nasabah segmen ini, tampaknya ada variabel lain yang lebih

berpengaruh.

Sumber: CEIC Gambar 11. Pertumbuhan DPK dan Siklus Ekonomi

Siklus ekonomi (yang digambarkan oleh pertumbuhan PDB) terlihat memiliki pengaruh

positif terhadap pertumbuhan DPK. Koefisien korelasi di antara pertumbuhan ekonomi dan

pertumbuhan DPK mencapai 0,61. Perkembangan DPK segmen korporasi terlihat jauh lebih

sensitif terhadap siklus ekonomi dibandingkan segmen ritel. Koefisien korelasi DPK segmen

korporasi mencapai 0,58 sedangkan di segmen ritel adalah sebesar 0,13. Kondisi pro-cyclical

pada segmen korporasi tampak bertentangan dengan conventional wisdom yang mana

seharusnya pertumbuhan DPK segmen korporasi cenderung rendah di saat aktivitas

ekonomi tinggi karena dana tersebut terserap untuk aktivitas bisnis seperti pembentukan

modal kerja dan capital expenditure. Sebaliknya kondisi ini mengindikasikan bahwa

korporasi akan mengoptimalkan dana menganggur (idle) yang dimiliki dengan

mengalokasikannya ke aset finansial lain (surat berharga).

Page 22: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

18

Melihat kondisi ini, tampaknya stimulasi pertumbuhan DPK dapat dicapai dengan

memperbaiki momentum pertumbuhan ekonomi, sekaligus juga lingkungan suku bunga

yang “cukup” tinggi. Menurut kami nasabah perbankan saat ini (khususnya segmen ritel)

masih memiliki paradigma tradisional, simpanan di bank adalah suatu investasi dan

diharapkan mampu memberikan return yang layak (setidaknya di atas inflasi). Jika hal ini

tidak tercapai, maka nasabah akan mengurangi porsi simpanannya dan bergeser kepada

instrumen lain.

Sumber: BI dan LPS Gambar 12. Perkembangan Suku Bunga Pasar dan Deposit Yield Curve

Likuiditas yang ketat telah termanifestasi pada kenaikan suku bunga yang drastis. Kami

menggunakan data suku bunga deposito harian untuk melihat kondisi persaingan suku

bunga saat ini. Gambar 12 menunjukkan bahwa tren kenaikan suku bunga simpanan masih

terus berlanjut sekalipun BI rate telah stabil sejak November 2013. Pada periode November

2013–Februari 2014, suku bunga pasar dari bank benchmark masih naik sebesar 47 basis

poin (bps). Sangat menarik untuk melihat bahwa kenaikan terbesar terjadi pada segmen

bank menengah (yakni 55 bps), bukan di segmen bank sangat kecil (yang sebesar 45 bps)

seperti yang diduga semula.

Hal menarik lainnya di tengah kondisi likuiditas yang ketat saat ini adalah fenomena inverted

yield curve. Fenomena yang kami identifikasikan di awal tahun ini masih terus bertahan

hingga menjelang kuartal kedua tahun 2014. Bank-bank umumnya menawarkan suku bunga

yang lebih rendah untuk simpanan berjangka dengan tenor panjang dibandingkan tenor

pendek. Dalam perspektif ekonomi makro, hingga saat ini probabilitas suku bunga simpanan

bank masih lebih tinggi untuk meningkat dibandingkan turun.

Dari data historis sejak 2004, DPK memiliki rata-rata pertumbuhan jangka panjang sebesar

14,4%. Angka ini jelas tidak dapat mendukung tingkat permintaan akan kredit yang

diperkirakan mencapai 22%–25%. Dengan demikian, kecuali ditemukan terobosan untuk

mengatasi handicap pendanaan kredit, pertumbuhan ekonomi akan mengalami kendala

pembiayaan serius. Apakah ada terobosan yang dapat dilakukan?

Page 23: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

19

Sumber: Credit Suisse Global Wealth Data Book (2014) Gambar 13. Wealth Profile Individu Indonesia Tahun 2000 versus 2013

Rilis data kekayaan individu global (Global Wealth Data Book) dari Credit Suisse (2014)

memberikan optimisme atas potensi DPK Indonesia. Terdapat beberapa temuan menarik

yang dapat dikelola lebih lanjut untuk mengatasi masalah handicap pertumbuhan DPK.

Pertama adalah penetrasi keuangan yang rendah. Pada 2013, pangsa aset keuangan “hanya”

sebesar 16% dari total kekayaan individu Indonesia (yang sebesar US$ 11.839). Selama

2000–2013, porsi kekayaan finansial ini secara nominal telah berkembang hampir 10 kali

lipat, meskipun sebagai suatu pangsa “hanya” naik dua kali lipat.

Sumber: Credit Suisse Global Wealth Data Book (2014) Gambar 14. Wealth Profile Individu Indonesia Tahun 2000 versus 2013

Penetrasi pasar keuangan Indonesia yang relatif rendah juga dapat dilihat melalui komparasi

dengan negara lain. Seperti yang terlihat pada Gambar 14, pangsa aset finansial terhadap

total kekayaan pada 2013 “hanya” sebesar 16,5%, sebanding dengan Turki dan India.

Negara-negara Asia Tenggara umumnya dapat dikatakan melek finansial dengan pangsa di

atas 40%. Dengan kata lain, jika paradigma tradisional ini dapat digeser, potensi pendanaan

bank sebenarnya dapat diatasi. Sebagai ilustrasi, jika preferensi aset finansial nasabah dapat

Page 24: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

20

ditingkatkan ke 30% dengan asumsi aset finansial likuid adalah sebesar 40% maka pasokan

DPK ritel saat ini dapat ditingkatkan dari Rp 2.104 triliun menjadi Rp 2.584 triliun (kenaikan

hampir 25%).

Upaya perubahan paradigma ini tidak cukup dicapai melalui perluasan akses layanan

finansial (financial inclusion). Di luar itu, diperlukan perubahan cara pandang masyarakat.

Masyarakat Indonesia masih cenderung tradisional dalam memahami arti investasi:

menanamkan dana idle ke dalam aset tidak bergerak seperti tanah dan rumah. Sebaliknya, di

luar negeri, khususnya negara maju, investasi telah umum dilakukan kepada instrumen

finansial. Perubahan cara pandang ini memerlukan edukasi finansial yang ekstensif. (WMR,

MDA)

Page 25: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

Analisis Industri: Otomotif Risiko serta Prospek Perekonomian dan

Sistem Keuangan

Page 26: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

21

Update Risiko serta Prospek Perekonomian dan Sistem Keuangan

Dalam segmen ini, kami menyampaikan update terhadap assessment risiko dan prospek

perekonomian dan sistem keuangan, sejalan dengan data yang diperoleh pada 4Q13. Secara

umum, kami menilai bahwa risiko perekonomian dan sistem keuangan telah mengalami

perbaikan sepanjang kuartal terakhir 2013. Peningkatan yang signifikan terlihat terutama pada

aspek Pasar Keuangan (PKU) serta Neraca Pembayaran dan Nilai Tukar (NPNT). Di sisi lain, aspek

Aktivitas Bisnis Domestik (ABD) serta Sistem Perbankan (SPB) masih menjadi aspek yang perlu

dicermati. Dengan perkembangan ini, kami menilai bahwa risiko perekonomian dan sistem

keuangan sudah dapat dikatakan (secara kualitatif) kembali ke status normal.

Sumber: LPS (Maret 2014) Gambar 15. Peta Risiko Kualitatif Perekonomian dan Sistem Keuangan

Stabilitas di pasar keuangan terus terjaga dengan semakin redanya spekulasi proses QE tapering

serta capaian resolusi atas pendanaan fiskal di Amerika Serikat (AS). Janet Yellen telah secara

resmi memegang tampuk pimpinan the Fed. Dalam beberapa komunikasi awal yang diberikan,

terlihat jelas bahwa proses transisi kebijakan moneter AS yang super longgar saat ini menuju

normal akan dilakukan secara terukur dan konservatif. Meskipun tingkat pengangguran per

Januari 2014 (6,6%) telah sangat dekat dengan targetnya (6,5%), the Fed diperkirakan tidak akan

terburu-buru mengubah stance kebijakannya. Jika dilihat secara komprehensif, perkembangan

positif pada pasar tenaga kerja AS sebenarnya tidak terlalu solid.

NPNT

ABD

HKM

SPB

PKU

KBF

0

1

2

3

4

5

6

0 1 2 3 4 5 6

Kinerja

Outlook

3Q13

4Q13

NPNT: Neraca Pembayaran & Nilai Tukar

ABD: Aktivitas Bisnis Domestik

HKM: Harga & Kebijakan Moneter

KBF: Kebijakan Fiskal

PKU: Pasar Keuangan

SPB: Sistem Perbankan

Normal Waspada Siaga Krisis

Page 27: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

22

Dengan berkurangnya intensitas spekulasi terhadap trajectory renormalisasi suku bunga the Fed,

maka risk appetite investor pada instrumen pasar negara berkembang diperkirakan membaik.

Meski demikian, pelaksanaan Pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) di

pertengahan tahun 2014 sedikit banyak akan menimbulkan ketidakpastian yang mengikis

appetite investor terhadap pasar Indonesia. Jika Pilpres dapat berlangsung dalam satu putaran,

yang mana calon favorit pasar muncul sebagai pemenang, maka capital inflow yang cukup

signifikan dapat terjadi pada 3Q14 dan 4Q14.

Sumber: CEIC Gambar 16. Perkembangan Neraca Pembayaran dan Neraca Berjalan

Neraca pembayaran mengalami perbaikan pada 4Q13. Saldo neraca mengalami reversal dari

defisit US$ 2,6 miliar menjadi surplus US$ 4,4 miliar. Pembalikan kinerja neraca pembayaran ini

dipicu oleh penurunan defisit neraca berjalan dari US$ 8,5 miliar (3Q13) menjadi US$ 4 miliar

(4Q13) serta perbaikan salso di pos investasi lain dari defisit US$ 2 miliar menjadi surplus US$ 5,9

miliar.

Menurut kami, perkembangan positif pada neraca pembayaran ini hanya bersifat sementara.

Perbaikan neraca berjalan lebih disebabkan oleh kenaikan tajam pada ekspor mineral dalam

rangka memanfaatkan momentum terakhir sebelum pemberlakukan aturan restriksi ekspor.

Sedangkan, kenaikan pos investasi diperkirakan tidak berulang, mengingat pelaku usaha

mungkin akan menunda pembiayaan proyek di depan ketidakpastian akan hasil Pemilu.

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

1Q

05

3Q

05

1Q

06

3Q0

6

1Q

07

3Q

07

1Q

08

3Q

08

1Q

09

3Q

09

1Q

10

3Q

10

1Q

11

3Q1

1

1Q

12

3Q

12

1Q

13

3Q

13

4Q Sum, Miliar USD

Basic Balance

Neraca Berjalan

Portofolio

Neraca Pembayaran

-50

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

1Q

05

3Q

05

1Q0

6

3Q

06

1Q

07

3Q

07

1Q

08

3Q

08

1Q

09

3Q

09

1Q

10

3Q

10

1Q1

1

3Q

11

1Q

12

3Q

12

1Q

13

3Q

13

4Q Sum, Miliar USD

Barang Jasa

Pendapatan Transfer Berjalan

Neraca Berjalan

Page 28: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

23

Sumber: Bloomberg Tabel 8. Perkembangan Beberapa Indikator Keuangan Terpilih

Positive surprise pada data posisi eksternal Indonesia ini telah berdampak kepada beberapa

kelas aset finansial, khususnya rupiah dan yield surat utang negara (SUN). Secara point to point,

rupiah tercatat masih mengalami depresiasi sekitar 5% terhadap dolar AS pada 4Q13, namun

angka ini masih lebih rendah dari pelemahan sekitar 17% pada kuartal sebelumnya. Selama dua

bulan pertama tahun ini, rupiah bahkan mengalami penguatan 4,6%. Sejak pertengahan Februari

2014, rupiah juga secara konsisten diperdagangkan di bawah level Rp 12.000/US$. Sementara

itu, harga SUN mengalami peningkatan. Yield SUN bertenor 10 tahun secara point to point turun

5 basis poin (bps) pada 4Q13, menyusul kenaikan 137 bps pada triwulan sebelumnya. Perbaikan

kinerja SUN masih berlanjut di dua bulan pertama 2014, dibuktikan oleh penurunan yield

sebesar hampir 12 bps.

Dengan mempertimbangkan perkembangan yang ada, kami telah melakukan revisi pada

proyeksi nilai tukar rupiah dan posisi eksternal. Kami menilai bahwa pelaksanaan Pileg dan

Pilpres akan memberi angin segar bagi minat investasi (dan memicu capital inflow). Proyeksi

posisi akhir tahun rupiah telah kami upgrade dari Rp 11.613/US$ menjadi Rp 11.276/US$.

Selanjutnya, kami juga merevisi ke bawah defisit neraca berjalan dari US$ 27,2 miliar (2,9% PDB)

menjadi US$ 26,8 miliar (2,8% PDB). Kondisi ekonomi global tahun ini akan lebih mendukung

ekspor Indonesia, sedangkan peristiwa politik masih akan menekan impor barang modal.

FY2013 YTD 1M 1W Posisi

(%) (%) (%) (%) 28/02/2014

USD/IDR (24.28) 4.61 4.94 1.14 11,610

USD/INR (12.37) 0.07 1.44 0.60 61.76

USD/CNY 2.83 (1.50) (1.38) (0.88) 6.15

USD/BRL (15.13) 0.75 2.84 0.06 2.34

USD/TRY (20.52) (2.61) 2.23 (1.32) 2.21

USD/THB (6.93) 0.43 1.39 (0.14) 32.56

USD/PHP (8.27) (0.54) 1.51 (0.16) 44.64

USD/KRW 1.37 (1.70) 1.24 0.42 1,068

USD/MYR (7.12) (0.04) 1.98 0.56 3.28

USD/ARS (32.64) (20.73) 1.81 (0.32) 7.87

Mata Uang

FY 2013 YTD 1M 1W Posisi

(%) (%) (%) (%) 28/02/2014

Korea Selatan 0.43 (0.09) (0.12) (0.03) 3.50

Indonesia 3.26 (0.12) (0.70) (0.06) 8.33

India 0.77 0.04 0.08 0.07 8.86

Thailand 0.39 (0.23) (0.33) (0.10) 3.67

Filipina (0.60) 0.54 0.07 0.02 4.35

Singapura 1.26 (0.10) 0.00 (0.08) 2.46

Malaysia 0.63 (0.01) (0.13) (0.00) 4.12

China 1.03 (0.22) (0.13) (0.15) 4.40

Afrika Selatan 1.12 0.65 (0.37) (0.08) 8.54

Turki 3.60 0.06 0.15 0.02 10.22

Brazil 3.56 (0.48) (0.67) (0.13) 12.69

Yield SUN

10 Tahun

Page 29: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

24

Sumber: CEIC Gambar 17. Perkembangan Ekonomi Domestik dan Leading Indicators Terpilih

Kinerja perekonomian pada 4Q13 lebih baik dari yang diduga semula. Pertumbuhan PDB pada

kuartal lalu mencapai 5,72%, meningkat dari 5,63% pada 3Q13. Dengan demikian, selama 2013,

pertumbuhan ekonomi mencapai 5,78%. Rebound kinerja pertumbuhan pada triwulan lalu

ditopang oleh perbaikan kinerja perdagangan, yang mungkin hanya bersifat sementara. Aspek

Aktivitas Bisnis Domestik (ABD) tetap berada dalam fase corrective adjustment.

Kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase slowdown terlihat dari beberapa

leading indicators. Gambar 17 menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan mobil masih berada

dalam fase menurun dan impor barang modal bahkan telah mengalami kontraksi dalam enam

bulan terakhir. Dua indikator ini menandakan bahwa komponen investasi dalam PDB masih

berada dalam tekanan. Indikator penjualan ritel masih tumbuh cukup solid, mengindikasikan

bahwa konsumsi (sebagai motor ekonomi terbesar) secara umum masih kuat. Dengan gambaran

ini, kami sedikit merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2014 dari 5,3% ke 5,5%. Di sisi

lain, kami mempertahankan perkiraan inflasi kami di posisi 4,8% tahun ini.

Kami melihat Sistem Perbankan (SPB) sebagai aspek yang masih mungkin mengalami

pemburukan risiko lanjutan. Risiko likuiditas dan penurunan kualitas kredit masih menjadi faktor

risiko penting di tahun 2014. Seperti yang terlihat di gambar 18, suku bunga deposito berjangka

(sebagai indikator biaya dana perbankan) masih mengalami tren yang meningkat. Di sisi lain,

bunga kredit modal kerja (sebagai indikator loan yield) tidak meningkat sebesar kenaikan bunga

deposito. Pada periode Agustus–Desember 2013, selisih di antara dua bunga ini telah menurun

dari 5,9% menjadi 4,8%. Penurunan margin yang lebih besar akan terjadi pada bank-bank

menengah-kecil, terutama mereka yang tidak memiliki akses dana murah (CASA) yang kuat.

-4

0

4

8

12

16

20

2

3

4

5

6

7

8

4Q0

1

4Q

02

4Q

03

4Q

04

4Q

05

4Q0

6

4Q

07

4Q

08

4Q

09

4Q

10

4Q

11

4Q

12

4Q

13

4Q Sum, % YoY4Q Sum, % YoY

PDB (LHS)

Konsumsi Rumah Tangga (RHS)

Investasi (RHS)

-20

0

20

40

60

Jan

-10

Ap

r-1

0

Jul-

10

Oct

-10

Jan

-11

Ap

r-1

1

Jul-

11

Oct

-11

Jan

-12

Ap

r-1

2

Jul-

12

Oct

-12

Jan

-13

Ap

r-1

3

Jul-

13

Oct

-13

Jan

-14

12MMA, % YoY

Impor Barang Modal

Penjualan Ritel

Penjualan Mobil

Page 30: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

25

Sumber: CEIC dan BI Gambar 18. Perkembangan Suku Bunga dan Kualitas Kredit

Kualitas kredit secara umum terlihat menurun. Pertumbuhan kredit bermasalah (NPL) sistem

perbankan kembali mengalami peningkatan dari 6,8% pada bulan November 2013 menjadi 7,6%

di bulan berikutnya. Pada periode yang sama, pertumbuhan kredit bermasalah di sektor

perdagangan mengalami kenaikan terbesar, yakni dari 9,9% menjadi 11,7%.

Sejalan dengan moral suasion yang dikeluarkan BI, pertumbuhan kredit pada tahun ini

diperkirakan menurun. Menurut perkiraan kami, kredit akan tumbuh 18,4% di 2014, lebih

rendah dari 21,8% di 2013. DPK mungkin akan tumbuh sedikit lebih tinggi dibandingkan periode

lalu, yakni sebesar 14,3% pada tahun ini. (MDA, SW)

0

3

6

9

12

15

18

Jul-

05

Jan

-06

Jul-

06

Jan

-07

Jul-

07

Jan

-08

Jul-

08

Jan

-09

Jul-

09

Jan

-10

Jul-

10

Jan

-11

Jul-

11

Jan

-12

Jul-

12

Jan

-13

Jul-

13

Jan

-14

%

BI Rate Bunga Deposito 1 Bulan

Bunga Kredit Modal Kerja Selisih Bunga-50

-25

0

25

50

75

100

125

-200

-100

0

100

200

300

400

500

Jan

-05

Jul-

05

Jan

-06

Jul-

06

Jan

-07

Jul-

07

Jan

-08

Jul-

08

Jan

-09

Jul-

09

Jan

-10

Jul-

10

Jan

-11

Jul-

11

Jan

-12

Jul-

12

Jan

-13

Jul-

13

12MMA, % YoY12MMA, % YoY

Pertambangan (RHS)

Pertanian (LHS)

Manufaktur (LHS)

Perdagangan (LHS)

Total (LHS)

Page 31: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

Banking Stability Index LPS

Page 32: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

26

Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index)

Indeks Stabilitas Perbankan LPS mengalami penurunan dari 101,11 (Januari 2014) menjadi

100,68 (Februari 2014), atau turun 43 bps. Sesuai kategori skala observasi Crisis

Management Protocol (CMP), BSI kembali berada pada kategori “Normal”.

Sub-indeks Credit Pressure (CP) dan Market Pressure (MP) menunjukkan penurunan,

sedangkan sub-indeks Interbank Pressure (IP) mengalami kenaikan. Penurunan sub-indeks

CP didukung oleh kinerja perbankan nasional yang solid sepanjang 4Q13. Laba perbankan

nasional pada akhir Desember 2013 mencapai Rp 106,7 triliun atau tumbuh 15% y/y,

sehingga return on equity (ROE) mengalami peningkatan sebesar 36 bps dari 21,11% pada

November 2013 menjadi 21,47% pada bulan berikutnya. Rasio kredit bermasalah (NPL)

perbankan nasional tetap terjaga di bawah 2%, yakni sebesar 1,77% pada Desember 2013. Di

sisi lain, perlambatan pertumbuhan kredit mempengaruhi penurunan rasio kredit terhadap

simpanan (LDR) perbankan dari 89,97% (November 2013) menjadi 89,7% (Desember 2013).

Dengan demikian, sub-indeks CP mengalami penurunan sebesar 2 bps dari 100,7 (Januari

2014) menjadi 100,68 (Februari 2014).

Sumber: LPS Gambar 19. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure

Sub-indeks IP menjadi satu-satunya sub-indeks yang mengalami peningkatan pada Februari

2014 dengan besaran 55 bps, atau dari 99,37 pada bulan Januari menjadi 99,92. Peningkatan

IP dipicu oleh penurunan penempatan dana antar bank riil, sebagai salah satu indikator

pembentuk IP, sebesar 6,63%, atau dari Rp 123,1 triliun menjadi Rp 114,9 triliun. Meski

demikian, suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) bertenor overnight pada Februari 2014

tidak mengalami perubahan (di level 5,88%) bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Page 33: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

27

Sumber: LPS Gambar 20. Sub Indeks Credit Pressure dan Market Pressure

Sentimen positif dari sisi ekternal dan perbaikan fundamental ekonomi Indonesia berimbas

pada penguatan pada variabel-variabel pembentuk sub-indeks MP. Sub-indeks MP pada

Februari 2014 turun signifikan (sebesar 142 bps), yaitu dari 102,45 pada bulan Januari

menjadi 101,02. Sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia terindikasi oleh capital

inflow yang meningkat sehingga nilai tukar rupiah menunjukkan tren penguatan dan ditutup

di level Rp 11.634/US$ pada bulan Februari 2014. Penurunan MP juga didukung oleh

penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang ditutup di level 4620 pada Februari

2014, naik dari 4418 pada bulan sebelumnya. Di sisi lain, suku bunga JIBOR tiga bulan naik

tipis dari 7,99% pada Januari 2014 menjadi 8,02% pada bulan berikutnya. (TS)

Page 34: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

28

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Group Manajemen Risiko II: Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Moch. Doddy Ariefianto, 021-5151000 (ext 384), [email protected]

Winza Mutia Rahma, 021-5151000 (ext 402), [email protected]

Seto Wardono, 021-5151000 (ext 309) [email protected]

Rina Rahmawati, 021-5151000 (ext 310) [email protected]

Dienda Siti Rufaedah, 021-5151000 (ext 395), [email protected]

Totong Sudarto, 021-5151000 (ext 396), [email protected]

Page 35: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

Lampiran

Page 36: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan

Group Manajemen Risiko II

29

Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih

Sumber: LPS (Maret 2014)

Variabel 2009 2010 2011 2012 2013 2014P 2015P

Variabel Kunci

PDB Nominal (Triliun Rp) 5,606 6,436 7,427 8,242 9,084 10,044 11,157

PDB Nominal (Miliar US$) 543 709 847 892 871 953 1,063

PDB Riil (% y/y) 4.6 6.1 6.5 6.2 5.8 5.5 6.0

Inflasi (akhir periode, % y/y) 2.8 7.0 3.8 3.7 8.1 4.8 4.8

USD/IDR (akhir periode) 9,400 8,991 9,068 9,793 12,270 11,276 11,101

USD/IDR (rata-rata) 10,399 9,085 8,779 9,396 10,569 11,665 11,186

BI Rate (akhir periode) 6.5 6.5 6.0 5.8 7.5 7.5 7.0

Surplus/Defisit Fiskal (% PDB) (1.6) (0.6) (1.2) (1.8) (2.3) (1.8) (1.8)

Sustainabilitas Eksternal

Ekspor Barang (% y/y) (14.3) 32.1 26.9 (6.1) (2.6) 4.0 7.1

Ekspor Barang (Miliar US$) 119.6 158.1 200.6 188.5 183.5 190.9 204.6

Impor (% y/y) (24.0) 43.7 30.8 8.4 (1.4) 2.2 5.5

Impor (Miliar US$) 88.7 127.4 166.6 179.9 177.4 181.2 191.2

Neraca Berjalan (Miliar US$) 10.6 5.1 1.7 (24.5) (28.5) (26.8) (25.2)

Neraca Berjalan (% PDB) 2.0 0.7 0.2 (2.7) (3.3) (2.8) (2.4)

Cadangan Devisa (Miliar US$) 66.1 96.2 110.5 112.8 99.4 98.6 103.6

Utang Luar Negeri (% PDB) 31.8 28.6 26.6 27.7 30.3 29.9 29.0

PDB Riil menurut Pengeluaran (% y/y)

Konsumsi Rumah Tangga 4.9 4.6 4.6 5.3 5.3 5.4 5.3

Konsumsi Pemerintah 15.7 0.3 3.2 1.2 4.9 3.2 4.5

Pembentukan Modal Tetap Bruto 3.3 8.5 8.8 9.8 4.7 5.0 6.5

Ekspor Barang dan Jasa (9.7) 14.9 13.6 2.0 5.3 4.6 5.7

Impor Barang dan Jasa (15.0) 17.3 13.3 6.6 1.2 2.6 5.2

PDB Riil menurut Industri (% y/y)

Pertanian 4.0 2.9 3.0 4.0 3.5 3.6 4.0

Pertambangan dan Penggalian 4.5 3.5 1.4 1.5 1.3 1.2 1.5

Manufaktur 2.2 4.5 6.2 5.7 5.6 5.5 5.8

Listrik, Gas, dan Air Bersih 14.3 5.3 4.8 6.4 5.6 5.5 6.0

Konstruksi 7.1 7.0 6.7 7.5 6.6 5.6 6.2

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1.3 8.7 9.2 8.1 5.9 5.7 6.2

Transportasi dan Komunikasi 15.8 13.5 10.7 10.0 10.2 10.2 10.2

Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan 5.2 5.7 6.8 7.1 7.6 6.5 7.2

Jasa-Jasa Lainnya 6.4 6.0 6.7 5.2 5.5 5.3 6.0

Yield SUN Rupiah (rata-rata, %)

1 Tahun 8.1 6.4 5.5 4.6 5.7 6.5 6.4

3 Tahun 9.6 7.3 6.4 5.1 5.9 7.3 7.1

5 Tahun 10.3 7.8 6.9 5.4 6.0 7.7 7.5

10 Tahun 11.2 8.6 7.5 6.0 6.5 8.2 8.0

20 Tahun 12.0 9.7 8.7 6.8 7.3 9.1 8.7

Perbankan

Pinjaman (% y/y) 27.7 7.2 24.6 23.1 21.8 18.4 20.3

Dana Pihak Ketiga (% y/y) 12.5 18.5 19.1 15.7 13.6 14.3 15.0

Page 37: Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan - LPS

LAPORAN TRIWULAN III - 2012 Sub Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Perbankan

Divisi Manajemen Risiko

1