analisi model angkutan massal di daerah kedungsepur
TRANSCRIPT
MODEL ANGKUTAN MASSAL DI WILAYAH KEDUNGSEPUR
(Kendal,Demak,Ungaran,Semarang,salatiga, dan Purwodadi)
Disusun oleh :
YOPY OCTAVIAN ADY JAYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angkutan umum merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi
khususnya pada daerah perkotaan. Angkutan umum tidak dapat dipisahkan dari
perencanaan dan pertumbuhan wilayah dimana angkutan umum sangat besar
peranannya dalam mendukung aktivitas masyarakat. Kondisi angkutan umum
yang jelek dan kurang terencana menyebabkan turunnya efektifitas dan efisiensi
sistem transportasi secara keseluruhan. Sistem angkutan umum yang baik,
terencana dan terkoordinasi dengan baik akan meningkatkan efektifitas dan
efisiensi sistem transportasi yang ada, dan pada ahirnya akan mempercepat
pertumbuhan daerah tersebut. (Nadia,2011).
Daerah perkotaan menjadi tempat terpusatnya berbagai aktifitas, yang
menyebabkan terjadinya mobilitas penduduk menjadi tinggi. Pergerakan
penduduk dalam memenuhi kebutuhannya terjadi dari daerah asal menuju daerah
tujuan seperti dari rumah menuju ke tempat kerja, sekolah, pasar dan tempat
aktivitas lainnya. Pergerakan ini merupakan hal yang wajar, yang biasa dilakukan
oleh penduduk dalam kesehariannya. Aktifitas penduduk pada umumnya adalah
pada pagi sampai siang hari penduduk cenderung bergerak meninggalkan
perumahan menuju ke daerah pusat aktifitas, sedangkan pada sore sampai malam
hari penduduk akan melakukan pergerakan dari daerah pusat kegiatan menuju
daerah perumahan. Untuk itu dibutuhkan sarana transportasi yang dapat
menunjang mobilitas penduduk tersebut.
Kota memiliki peran yang besar sebagai pusat pertumbuhan, hal tersebut
dikarena kota merupakan lokasi yang paling efisien dan efektif untuk kegiatan-
kegiatan produktif sehubungan dengan ketersediaan sarana dan prasarana publik,
tersedianya tenaga kerja dan lapangan kerja. Dengan peran kota yang sedemikian
besar maka akan terbentuk berbagai aktivitas pada kawasan perkotaan.
Berdasarkan hal tersebut maka penduduk kota memerlukan ruang untuk dapat
menampung seluruh aktivitasnya, namun karena adanya keterbatasan lahan di
kawasan perkotaan maka akan terjadi perkembangan kawasan perkotaan hingga
ke daerah suburbannya. Persebaran ruang untuk mewadahi aktivitas penduduk
tersebut akan menimbulkan adanya pergerakan penduduk yang cukup besar yang
dipengaruhi oleh faktor jarak. Pergerakan penduduk ke arah pusat aktivitas akan
membawa implikasi terhadap sistem transportasi, dimana pemusatan aktivitas
menyebabkan penduduk membutuhkan sarana dan prasarana transportasi dalam
melakukan mobilitasnya (Adib, 1983).
Kota sebagai pusat kegiatan ekonomi tidak lepas dari peran daerah-daerah
di sekitarnya, yang berfungsi sebagai daerah hiterland atau daerah pendukung
kota. Teori kutup pertumbuhan mengungkapkan bahwa kota sebagai kutup
magnet dimana akan menarik potensi-potensi daerah disekitarnya untuk
memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan akan sumberdaya manusia dan
sumberdaya alam. Selain itu kota juga bisa memberikan spread efek kepada
daerah yang berada disekitarnya. Adanya hubungan timbal balik antara kota dan
daerah pendukungnya harus didukung oleh transportasi yang baik, sehingga
memudahkan mobilitas barang maupun penduduk dari daerah hiterland menuju
kota, maupun sebaliknya.
Untuk mendukung mobilitas penduduk kota dan daerah pendukungnya
diperlukan angkutan massal yang cocok. Balitbang Prov Jateng (2004)
menyatakan bahwa di wilayah kota raya dan kota besar perlu dikembangkan
transportasi massal yang cepat, tertip, aman, lancar, nyaman, dan efisien serta
terjangkau agar tercipta sistem transportasi perkotaan yang seimbang dan terpadu.
Selanjutnya dikatakan bahwa Penataan dan pengembangan model angkutan umum
perkotaan yang baik harus memperhatikan tata ruang, fungsi dan lingkungan
hidup, sehingga kawasan permukiman, maupun pusat-pusat aktifitas dapat
terjangkau oleh penduduk dengan mudah.
Badan Pusat Statistik (2009) Kota Semarang dengan luas wilayah 373,70
Km2 dan dengan jumlah penduduk sebanyak 1.351.246 jiwa memiliki potensi
ekonomi yang besar. Transportasi Kota Semarang berkembang seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk, kesempatan kerja dan meningkatnya pendapatan
masyarakat. Dengan meningkatnya jumlah penduduk berarti meningkat pula
aktifitasnya yang berdampak menuntut perkembangan transportasi untuk
menunjang mobilitas masyarakat yang semakin meningkat. Transportasi sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan suatu daerah, dimana semakin baik atau
lancar transportasi di suatu daerah maka semakin cepat penduduk daerah tersebut
melakukan aktifitas pada ahirnya hal tersebut akan berimbas pada pertumbuhan
daerah tersebut dalam hai ini adalah Kota Semarang.
Kota Semarang dalam perkembangannya tidak dapat lepas dari daerah-
daerah pendukung yang berada di sekitar Kota Semarang. Perkembangan
penduduk Kota Semarang yang semakin banyak menyebapkan Kota Semarang
tidak mampu lagi memenuhi seluruh kebutuhan penduduknya sendiri. Kota
Semarang dalam perkembangannya membutuhkan daerah di sekitarnya yaitu
Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Ungaran-Salatiga dan purwodadi yang
dapat di jadikan menjadi satu wilayah yaitu wilayah Kedungsepur (Kendal-
Demak-Ungaran-Salatiga-Semarang dan Purwodadi). Wilayah ini merupakan
wilayah pengembangan regional yang strategis bagi kota Semarang yang pada
ahirnya akan berdampak positif bagi kemajuan Kota Semarang dan wilayah
Kedungsepur itu sendiri. Daerah sekitar sebagai daerah pendukung Kota
Semarang sudah seharusnya dihubungkan dengan jaringan angkutan massal
sehingga mempermudah mobilitas di wilayah Kedungsepur dan pada ahirnya akan
mempercepat pertumbuhan di seluruh daerah tersebut.
Jaringan angkutan di gunakan sebagai penghubung antara daerah
pendukung dengan kota Semarang. Semakin lancar jaringan angkutan di wilayah
kedungsepur ini dapat mempercepat pertumbuhan di wilayah tersebut. Balitbang
Prov Jateng (2004) menyebutkan bahwa saat ini peran dan fungsi jalan sudah
tidak sesuai lagi, karena melayani lalu lintas kota jarak dekat yang sangat besar.
situasi seperti ini menyebabkan kemacetan terutama pada saat pagi hari ketika
para pekerja berangkat menuju ke arah kotadan kawasan industri yang tersebar di
ruas jalan itu, dan sore hari pada saat pekerja pulang kerumah.
Jumlah penduduk serta tingkat kepadatan penduduk akan memiliki
pengaruh signifikan terhadap kemampuan transportasi melayani kebutuhan
masyarakat. Saat ini penduduk Indonesia khususnya penduduk Kota Semarang
cenderung memilih menggunakan kendaraan pribadi dalam melakukan
mobilitasnya. Dapat dibayangkan jika jumlah penduduk bertambah dengan cepat
dan setiap orang menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan mobilitasnya
maka tidak lama lagi dapat dipastikan Kota Semarang akan mengalami
kemunduran pembangunan dikarenakan mobilitas penduduknya terganggu,
sehingga akan berakibat produktifitas penduduk akan menurun.
Untuk mendukung mobilitas di wilayah kedungsepur maka peran
angkutan umum sebagai alat transportasi massal sangatlah penting. Tetapi tidak
semua jenis angkutan umum dapat digunakan, perlu perencanaan atau pengkajian
mengenai model angkutan umum yang cocok di gunakan di wilayah kedungsepur
ini. Banyak pertimbangan yang harus di perhatikan dalam menentukan model
transportasi di antar daerah di wilayah Kedungsepur ini. Pertimbangan-
pertimbangan tersebut antara lain struktur geografis daerah tersebut, sarana
pendukung yang sudah ada seperti ketersediaan jaringan jalan atau rel bagi kereta
api dan lain-lain.
Kinerja pelayanan angkutan umum dapat dilihat dari efektifitas dan
efisiensi pengoperasian angkutan umum tersebut. Penilaian kriteria efektif dapat
dilihat dengan indikator aksesibilitas (kemudahan pengguna untuk mencapai rute
angkutan), kerapatan (jumlah kendaraan atau jumlah rute) kecepatan rata-rata dan
frekuensi headway (selang waktu). Sedangkan efisiensi dapat dilihat dari indikator
keterjangkauan, kelayakan, tingkat operasional, load factor (faktor muat
penumpang) dan daerah layanan.
Ferry,Bambang dan Kami (2009) mengemukakan bahwa kondisi
perkembangan kota sangat erat kaitannya dengan pelayanan angkutan umumnya.
Sekarang ini perkembangan transportasi semakin modern, penataan angkutan
umum tidak tergantung pada pendekatan potensi bangkitan dan tarikan semata,
sehingga pola perjalanan yang sifatnya subjektif dan karakteristik wilayah
memiliki kontribusi yang besar terhadap kinerja angkutan umum.
1.2 Perumusan masalah
Angkutan umum sebagai salah satu sarana transportasi untuk menunjang
kebutuhan pokok masyarakat yang keberadaannya memerlukan penanganan
secara baik dan benar. Dalam perkembangannya wilayah kedungsepur adalah
merupakan wilayah yang potensial untuk dikembangkan guna menunjang
pertumbuhan Kota Semarang. Untuk dapat mengembangkan wilayah ini
memerlukan moda transportasi yang cocok sehingga dapat meningkatkan
pertumbuhan di wilayah ini.
Untuk itu perlu diketahui efektivitas moda angkuta umum yang ada
sekarang ini di wilayah Kedungsepur. Sehingga dapat di ketahui kekurangan dan
kelemahan pelayanan yang ada. Hal itu dapat diketahui melalui kepuasan
masyarakat terhadap kinerja pelayanan moda angkutan umum yang ada.
Kinerja pelayanan angkutan umum dapat dilihat dari efektifitas dan
efisiensi pengoperasian angkutan umum tersebut. Penilaian kriteria efektif dapat
dilihat dengan indikator aksesibilitas (kemudahan pengguna untuk mencapai rute
angkutan), kerapatan (jumlah kendaraan atau jumlah rute) kecepatan rata-rata dan
frekuensi headway (selang waktu). Sedangkan efisiensi dapat dilihat dari indikator
keterjangkauan, kelayakan, tingkat operasional, load factor (faktor muat
penumpang) dan daerah layanan
Permasalahannya adalah mengenai apakah moda angkutan umum yang
ada sekarang ini sudah cukup efektif dan efisien melayani mobilitas penduduk di
wilayah Kedungsapur.
Untuk mengetahui kondisi di lapangan, maka perlu adanya sebuah
penelitian yang membahas tentang seberapa besar faktor – faktor maupun variabel
– variabel yang mempengaruhi intensitas penggunaan jasa transportasi angkutan
umum penumpang angkutan umum di wilayah kedungsapur.
1.3 Tujuan dan Kegunaan
Maksud penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai
transportasi diwilayah Kedungsepur. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan moda
transportasi diwilayah Kedungsepur.
2. Untuk mengetahui moda transportasi yang cocok digunakan di wilayah
Kedungsepur.
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah
a. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait dalam penentuan moda
angkutan umum, khususnya di wilayah Kedungsepur.
b. Hasil studi ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan ilmu dalam usaha
memecahkan permasalahan transportasi di daerah perkotaan.
c. Studi ini menjadi masukan guna meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat
pengguna angkutan umum.
1.5 Ruang Lingkup Peelitian
Lingkup wilayah studi meliputi seluruh wilayah Kedungsepur yang terdiri atas:
1. Kabupaten Kendal, meliputi 19 kecamatan, 265 desa dan 20 kelurahan.
2. Kabupaten Demak, meliputi 14 kecamatan, 247 desa.
3. Kabupaten Semarang, meliputi 17 kecamatan, 220 desa dan 15 kelurahan.
4. Kota Semarang, meliputi 16 kecamatan, 117 kelurahan
5. Kota Salatiga, meliputi 4 kecamatan, 16 kelurahan
6. Kabupaten Grobogan, meliputi 19 kecamatan, 280 desa.
Sedangkan untuk batas-batas wilayah Kedungsepur adalah sebagai berikut:
• Sebelah Utara : Laut Jawa dan Kabupaten Jepara.
• Sebelah Timur : Kabupaten Pati, Blora dan Kudus.
• Sebelah Barat : Kabupaten Batang.
• Sebelah Selatan : Kabupaten Sragen, Boyolali, Magelang dan Temanggung.
Untuk memberikan gambaran tentang ruang lingkup wilayah penelitian dapat
dilihat pada Gambar I.1 Peta Wilayah Kedungsepur.
Perencanaan sarana maupun transportasi membutuhkan penanganan yang
khusus sehingga dapat mendukung penyebaran aktivitas yang pada akhirnya dapat
mengurangi disparitas antar wilayah. Jaringan prasarana jalan terdiri dari simpul
yang berwujud terminal baik terminal penumpang maupun barang dan ruang lalu
lintas. Ruang lalu lintas pada transportasi jalan berupa ruas jalan yang ditentukan
hirarkinya menurut peranannya yang terdiri atas jalan arteri, jalan kolektor, dan
jalan lokal. Di Kawasan Kedungsepur, prasarana jalan utama dapat dijabarkan
sebagai berikut:
Arteri Primer Utama, menghubungkan Kota Semarang-Bawen-
Yogyakarta; serta Semarang-Bawen-Solo;
Jalan Arteri primer bagian utara yang menghubungkan Weleri-Kendal-
Semarang-Demak;
Kolektor Primer, menghubungkan Kota Semarang-Purwodadi;
Ambarawa-Banyubiru-Salatiga; Bandungan-Ambarawa; Bergas-
Jimbaran-Bandungan-Sumowono ke Temanggung; dll
Jalan Tol Semarang yang menghubungkan jalan Perintis
Kemerdekaan-Teuku Umar-Krapyak-Majapahit-Kaligawe (Terminal).
BAB II
LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 landasan Teori
Pengertian transportasi adalah pemindahan orang dan atau barang dari satu
titik yang disebut tempat asal ke titik lain yaitu tempat tujuan dengan
menggunakan kendaraan. Dalam kegiatan transportasi diperluka empat
komponen, yakni:
a. Tersedianya muatan yang diangkut
b. Terdapatnya kendaraan sebagai sarana angkutannya
c. Adanya jalan yang dapat dilalui.
d. Tersedianya terminal.
Transportasi menciptakan guna tempat (place utility) dan guna waktu
(time utility), karena nilai barang menjadi lebih tinggi di tempat tujuan dibanding
di tempat asal. Transportasi merupakan jasa pelayanan(service activities). Jasa
transportasi dikatakan sebagai derived demand atau permintaan yang diderivasi
atau turunan artinya permintaan jasa transportasi bertambah karena diperlukan
untuk melayani berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan yang meningkat
(Rahardjo adisasmita 2010).
Kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan
untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran. Pengertian ‘angkutan
umum’ sendiri sebenarnya tidak terdapat dalam perundang-undangan di
Indonesia, karena yang dikenal adalah angkutan penumpang umum. Stigma
angkutan umum tidak terlepas dari definisi global public transport atau kegiatan
pengangkutan yang melayani publik atau masyarakat umum. (Gray and Hoel
1992)
Angkutan Umum Penumpang bersifat massal sehingga biaya angkut dapat
dibebankan kepada lebih banyak orang atau penumpang yang menyebabkan biaya
per penumpang dapat ditekan serendah mungkin. Karena merupakan angkutan
massal, perlu ada kesamaan diantara para penumpang, antara lain kesamaan asal
dan tujuan. Kesamaan ini dicapai dengan cara pengumpulan di terminal dan atau
tempat perhentian. Pelayanan angkutan umum penumpang akan berjalan dengan
baik apabila tercipta keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan. Oleh
karena itu, Pemerintah perlu turut campur tangan dalam hal ini sehingga antara
permintaan dan penawaran akan trasportasi dapat seimbang.
Fungsi angkutan umum adalah menggerakan atau memindahkan orang
atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan sistem tertentu
untuk tujuan tertentu. Pergerakan dilakukan karena nilai dari orang atau barang
yang diangkut akan menjadi lebih tinggi di tempat lain (tujuan) dibandingkan di
tempat asal. Kegiatan pengangkutan selalu melibatkan banyak lembaga karena
fungsi dan peranan masing – masing tidak mungkin seluruhnya ditangani oleh
satu lembaga saja. Karena demikian banyak pihak dan lembaga yang bersangkut
paut, maka diperlukan suatu sistem untuk menangani masalah pengangkutan. (M.
Nur Nasution,2004).
(Anonim,2000) Sistem yang digunakan dalam mengerakkan atau
memindahkan orang dari satu tempat ke tempat ke tempat lain disebut dengan
sistem transportasi. Sistem transportasi itu sendiri adalah suatu bentuk keterikatan
dan keterkaitan antara berbagai variabel dalam suatu kegiatan atau usaha untuk
memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan orang atau barang
dari satu tempat ke tempat lain secara terstruktur untuk tujuan tertentu.
tujuan perencanaan sistem transportasi adalah :
• Mencegah masalah yang tidak diinginkan yang diduga akan terjadi pada
masa yang akan datang (tindakan preventif).
• Mencari jalan keluar untuk berbagai masalah yang ada (problem solving).
• Melayani kebutuhan transportasi (demand of transport) seoptimum dan
seseimbang mungkin.
• Mempersiapkan tindakan/kebijakan untuk tanggapan pada keadaan di
masa depan.
• Mengoptimalkan penggunaan daya dukung (sumber daya) yang ada, yang
juga mencakup penggunaan dan yang terbatas seoptimal mungkin, demi
mencapai tujuan atau rencana yang maksimal.
2.1.1 Peranan Angkutan Umum
Angkutan Umum berperan dalam memenuhi kebutuhan manusia akan
pergerakan ataupun mobilitas yang semakin meningkat, untuk berpindah dari
suatu tempat ke tempat lain yang berjarak dekat, menengah ataupun jauh.
Angkutan umum juga berperan dalam pengendalian lalu lintas, penghematan
bahan bakar atau energi, dan juga perencanaan & pengembangan wilayah.
(Warpani, 1990)
Esensi dari operasional angkutan umum adalah memberikan layanan
angkutan yang baik dan layak bagi masyarakat dalam menjalankan kegiatannya,
baik untuk masyarakat yang mampu memiliki kendaraan pribadi sekalipun
(Choice), dan terutama bagi masyarakat yang terpaksa harus menggunakan
angkutan umum (Captive). Ukuran pelayanan angkutan umum yang baik adalah
pelayanan yang aman, cepat, murah, dan nyaman. (Warpani, 1990)
2.1.2 Pengelompokan Pelaku Perjalanan & Moda Transportasi
Masyarakat pelaku perjalanan (konsumen jasa transportasi), dapat kita
kelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu :
2) Golongan paksawan (Captive) merupakan jumlah terbesar di negara
berkembang, yaitu golongan masyarakat yang terpaksa menggunakan angkutan
umum karena ketiadaan kendaraan pribadi. Mereka secara ekonomi adalah
golongan masyarakat lapisan menengah ke bawah (miskin atau ekonomi
lemah).
3) Golongan Pilihwan (Choice), merupakan jumlah terbanyak di negara-negara
maju, yaitu golongan masyarakat yang mempunyai kemudahan (akses) ke
kendaraan pribadi dan dapat memilih untuk menggunakan angkutan umum
atau angkutan pribadi. Mereka secara ekonomi adalah golongan masyarakat
lapisan menengah ke atas (kaya atau ekonomi kuat).
(Fidel Miro, 2002) Secara umum, ada 2 (dua) kelompok besar moda transportasi
yaitu :
1) Kendaraan Pribadi (Private Transportation), yaitu :
Moda transportasi yang dikhususkan buat pribadi seseorang dan seseorang itu
bebas memakainya ke mana saja, di mana saja dan kapan saja dia mau, bahkan
mungkin juga dia tidak memakainya sama sekali (misal : mobilnya disimpan
digarasi). Contoh kendaraan pribadi seperti :
Jalan kaki
Sepeda untuk pribadi
Sepeda motor untuk pribadi
Mobil pribadi
Kapal, pesawat terbang, dan kereta api yang dimiliki secara pribadi (jarang
terjadi).
2) Kendaraan Umum (Public Transportation), yaitu :
Moda transportasi yang diperuntukkan buat bersama (orang banyak),
kepentingan bersama, menerima pelayanan bersama, mempunyai arah dan titik
tujuan yang sama, serta terikat dengan peraturan trayek yang sudah ditentukan dan
jadwal yang sudah ditetapkan dan para pelaku perjalanan harus wajib
menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan tersebut apabila angkutan umum
ini sudah mereka pilih.
Contoh kendaraan umum seperti :
Angkot
Bus umum (kota dan antar kota)
Kereta api (kota dan antar kota)
Kapal Feri, Sungai & Laut
Pesawat yang digunakan secara bersama.
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi pemilihan moda
Memilih moda angkutan di daerah bukanlah merupakan proses acak,
melainkan dipengaruhi oleh faktor kecepatan, jarak perjalanan, kenyamanan,
kesenangan, keandalan, ketersediaan moda, ukuran kota, serta usia, komposisi,
dan sosial-ekonomi pelaku perjalanan. Semua faktor ini dapat berdiri sendiri atau
saling bergabung (Bruton 1975).
Ada 4 (empat) faktor yang dianggap kuat pengaruhnya terhadap perilaku
pelaku perjalanan atau calon pengguna (trip maker behavior). Masing-masing
faktor ini terbagi lagi menjadi beberapa variable yang dapat diidentikkan.
Variable-variabel ini dinilai secara kuantitatif dan kualitatif. Faktor – faktor atau
variabel-variabel tersebut adalah :
a. Faktor Karakteristik Perjalanan (Travel Characteristics Factor)
Pada kelompok ini terdapat beberapa variabel yang dianggap kuat pengaruhnya
terhadap perilaku pengguna jasa moda transportasi dalam memilih moda
angkutan, yaitu :
1. Tujuan Perjalanan seperti (trip purpose) bekerja, sekolah, sosial dan lain-
lain.
2. Waktu Perjalanan seperti (time of trip made) seperti pagi hari, siang hari,
tengah malam, hari libur dan seterusnya.
3. Panjang perjalanan (trip length), merupakan jarak fisik (kilometer) antara
asal dengan tujuan, termasuk panjang rute/ruas, waktu pembanding kalau
menggunakan moda-moda lain, di sini berlaku bahwa semakin jauh
perjalanan, semakin orang cenderung memilih naik angkutan umum.
b. Faktor Karakteristik Pelaku Perjalanan (Traveler Characteristics Factor)
Pada kelompok faktor ini, seluruh variabel berhubungan dengan individu si
pelaku perjalanan. Variabel-variabel dimaksud ikut serta berkontribusi
mempengaruhi perilaku pembuat perjalanan dalam memilih moda angkutan.
Menurut Bruton, variabel tersebut diantaranya adalah :
1. Pendapatan (income), berupa daya beli sang pelaku perjalanan untuk
membiayai perjalanannya, entah dengan mobil pribadi atau angkutan umum.
2. Kepemilikan kendaraan (car ownership), berupa tersedianya kendaraan pribadi
sebagai sarana melakukan perjalanan.
3. Kondisi kendaraan pribadi (tua, jelek, baru dll)
4. Kepadatan permukiman (density of residential development)
5. Sosial-ekonomi lainnya, seperti struktur dan ukuran keluarga (pasangan muda,
punya anak, pensiun atau bujangan, dan lain-lain), usia, jenis kelamin, jenis
pekerjaan, lokasi pekerjaan, punya lisensi mengemudi (SIM) atau tidak, serta
semua variabel yang mempengaruhi pilihan moda. Fidel Miro, 2002
c. Faktor Karakteristik Sistem Transportasi (Transportation System
Characteristics Factor)
Pada faktor ini, seluruh variabel yang berpengaruh terhadap perilaku si pembuat
perjalanan dalam memilih moda transportasi berhubungan dengan kinerja
pelayanan sistem transportasi seperti berikut :
1. Waktu relatif (lama) perjalanan (relative travel time) mulai dari lamanya
waktu menunggu kendaraan di pemberhentian (terminal), waktu jalan ke
terminal (walk to terminal time) dan waktu di atas kendaraan.
2. Biaya relatif perjalanan (Relative Travel Cost), merupakan seluruh biaya
yang timbul akibat melakukan perjalanan dari asal ke tujuan untuk semua
moda yang berkompetisi seperti tarif tiket, bahan bakar, dan lain-lain.
3. Tingkat pelayanan relatif (Relative Level of Service), merupakan variabel
yang cukup bervariasi dan sulit diukur, contohnya adalah variabel-variabel
kenyamanan dan kesenangan, yang membuat orang mudah gonta-ganti
moda transportasi.
4. Tingkat akses/indeks daya hubung/kemudahan pencapaian tempat tujuan.
5. Tingkat kehandalan angkutan umum disegi waktu (tepat waktu/reliability),
ketersediaan ruang parkir dan tarif.
Variabel nomor 1 dan 2 merupakan kelompok variabel yang dapat diukur
(dikuantifikasikan), sementara ketiga variabel terakhir (3,4,5) merupakan
kelompok variabel yang sangat subjektif sehingga sulit diukur (dikuantifikasikan)
dan masuk kelompok variabel kualitatif. (Fidel Miro, 2002)
BAB III
PEMBAHASAN
a. Kondisi Saat Ini
Jaringan sisitem transportasi yang melayani wilayah kedungsepur hanya
terdapat transportasi darat, yaitu jalan dan rel. Moda transportasi yang ada di
wilayah ini masih terkonsentrasi pada pelayanan moda jalan. Kondisi jaringan
transporasi yang ada pada wilayah Kedungsapur hampir semuanya dapat dilalui
melalui moda jalan maupun jalan rel. Pada jaringan jalan rel Semarang – Demak
saat ini memiliki kondisi tidak aktif dikarenakan sudah banyak yang tertutup jalan
atau tanah dan hilang. Jaringan transportasi baik jalan maupun jalan rel terfokus di
Kota Semarang untuk melayani daerah sub urban lainnya. Jaringan kereta api
masih kurang sinergis dibandingkan jaringan transportasi jalan. Kenyataan itu
disebakan karena banyaknya jaringan jalan rel yang tidak aktif. Apabila melihat
sejarah masalalu jaringan jalan rel di Jawa Tengah di wilayah Kedungsapur
memiliki jaringan jalan rel yang saling terhubungantara zona-zona yang
direncanakan. Jaringan kereta api ada yang masih aktif sebagai pelayanan
perjalanan antar daerah di wilayah Kedungsepur. Namun jalur-jalur itu belum
digunakan secara optimal sebagai pelayanan komuter di wilayah itu. Sinergi
pelayanan jalur-jalur ini belum terlihatnyata, ini diakibatkan masih adanya jalur-
jalur potensial yang tidak aktif sebagai pelayanan perjalanan antar daerah di
wilayah Kedungsapur. Masih sedikit kereta yang melayan stasiun yang terdapat di
wilayah Kedungsepur itu sendiri juga merupakan masalah tersendiri. Kondisi ini
menyebabkan pelayanan transportasi di wilayah ini mayoritas menggunakan
angkutan umum dibanding dengan kereta api.
Angkutan bus merupakan tulang punggung transportasi perkotaan saat ini,
karena tingkat pelayanannya yang murah, aksesnya mudah dan menjangkau
seluruh pelosok perkotaan. Peran angkutan umum di perkotaan rata-rata 30-50%
dari seluruh kebutuhan perjalanan penduduk perkotaan di Indonesia setiap hari.
Pengelolaan angkutan umum masih tersegmentasi karena masih dimiliki
oleh individu dan belum secara terstruktur mencerminkan kualitas pelayanan
angkutan umum yang baik. Penataan jaringan trayek masih sangat lemah, yang
ditunjukkan oleh menumpuknya penumpang dan sebaliknya kosong pada wilayah
tertentu, waktu tunggu masih terlalu lama, dan tidak terhubungkan dengan pusat-
pusat kegiatan penting perkotaan. Perkembangan yang cepat dari kepemilikan
sepeda motor dan mobil telah mengurangi keinginan menggunakan angkutan
umum.
Harapan dalam pengembangan angkutan bus kedepan adalah bus menjadi
andalan angkutan umum perkotaan, melalui proses evolusi 3 tahap: reformasi
manajemen angkutan umum, pengembangan sistem transit perkotaan dan
pengembangan BRT. Selanjutnya angkutan umum dapat kembali memiliki modal
share yang tinggi sehingga minimal mencapai 50% dari seluruh kebutuhan
perjalanan penduduk perkotaan di Indonesia. Antar moda angkutan umum dapat
dilayani dengan integrasi pelayanan secara fisik dan tiketing. Angkutan umum
kedepan diharapkan mampu menurunkan biaya perjalanan penduduk perkotaan
hingga 50% dari persentase pengeluaran biaya perjalanan saat ini.
b. Strategi Kebijakan
Prioritas 1 – Sasaran
Sasaran kebijakan untuk pelayanan transportasi umum adalah sebagai berikut :
a. Biaya operasi yang rendah
b. Tarif bus yang terjangkau
c. Pelayanan yang memuaskan
Prioritas 2 – Sistem Moda Transfer
Jaringan bus melayani sebagian besar jumlah penumpang (bus
conventional dan BRT: 25%). Di kota-kota besar sistem transportasi umum harus
menyediakan rute
jaringan jalan yang komprehensif, kapasitas yang memadai, frekuensi bus yang
optimal (headway), dan jangkauan pelayanan dan tarif yang dapat mengangkut
penumpang dari berbagai jenis latar belakang pendapatan dan tujuan perjalanan
yang berbeda seoptimal mungkin, termasuk mereka yang dapat memilih
melakukan perjalanan dengan mobil atau motor dan mereka yang sama sekali
tidak dapat memilih menggunakan moda apapun.
Prioritas 3 – Kualitas Pelayanan
Pelayanan yang diberikan juga harus aman, cepat, dapat dipercaya,
nyaman, mudah, dan tarif terjangkau, serta dampak terhadap lingkungan harus
dapat diminimalisasi.
Prioritas 4 – Rute jaringan
Kecepatan dan ketepatan bus harus dapat ditingkatkan dengan
menggunakan konsep bus priority, yang mana memprioritaskan bus untuk
memiliki jalur khusus sehingga terhindar dari kemacetan, dan dapat mengambil
rute-rute langsung, serta menghindari rute memutar yang dilakukan oleh sistem
jaringan berputar 1 arah.
Prioritas 5 – Manajemen Operasional
Untuk memastikan bahwa pelayanan bus responsif terhadap perubahan
permintaan penumpang dan penyampaian keinginan pengguna dalam perubahan
kerangka kerja yang dibuat oleh pemerintah daerah, bus harus dioperasikan oleh
perusahaan atau koperasi yang berorientasi terhadap keuntungan dan kinerja
perusahaan (dalam banyak kasus : perusahaan swasta) dibawah sistem lisensi
yang mendukung kompetisi. Pelayanan dari moda transportasi yang berbeda harus
diintegrasikan dengan jangkauan perpindahan moda yang mudah dan nyaman.
Langkah pertama untuk merealisasikan hal ini adalah perubahan/transisi
dari angkutan umum berukuran kecil (angkot) ke angkutan bus yang lebih besar,
yang dioperasikan oleh perusahaan di bawah kontrak. Dampak sosial dari transisi
moda ini harus dapat diatasi dengan hati-hati, karena secara sosial angkot telah
menjadi sumber pendapatan dari ribuan orang di kota.
Besarnya kuantitas kepentingan pribadi, kapasitas institusi/kelembagaan
yang terbatas, kurangnya keinginan berpolitik dalam menentukan tingkatan
kebijakan tertentu, menjadikan sistem yang telah dibangun hanya memberikan
keuntungan bagi beberapa kelompok orang saja, sementara kepentingan warga
masyarakat terabaikan.
Peraturan transportasi yang baru berlaku (UU 22 /2009) yang
merefleksikan beberapa elemen kebijakan termasuk kebutuhan untuk
memformalkan dan mengkonsolidasikan sektor bua perkotaan. Di antara
ketentuan peraturan baru yang mewajibkan pemerintah daerah menyusun rencana
transportasi yang komprehensif termasuk pelayanan bus berkapasitas besar di
jalan utama kota, pelarangan operasi kendaraan pribadi di dalam jalur tetap bus
(pasal 139/4) dan rute pengoperasian bus berskala kecil yang terintegrasi dengan
bus berkapasitas besar. Hanya bus kelas ekonomi (didefinisikan sebagai bus non-
AC) yang akan mendapatkan subsidi dari pemerintah (pasal 185). Hak operasional
bus harus diberikan dengan proses yang kompetitif.
Prioritas 6 – Pengalihan Moda (Transisi)
Ketentuan yang ada pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisi eksisting
yang ada, karena program pengalihan moda ini belum dikembangkan. Pengalihan
moda ini diarahkan agar visi dari kebijakan dapat tercapai sesuai dengan
perundang-undangan. Perubahan ini akan menghasilkan pertambahan kebutuhan
terhadap pelayanan bus yang cukup besar dan tinggi, seiring dengan pengurangan
penggunaan kendaraan pribadi dan pergantian ke moda transportasi umum
dimulai.
Perencanaan kota ini harus mencakup beberapa hal sebagai berikut:
Peningkatan kualitas infrastruktur bus: terminal, skema prioritas bus,
sistem pemantauan dan pelacakan, sistem tiket elektronik
Regulasi pengaturan yang memberikan rute yang aman sebagai bentuk
performa yang memuaskan yang disertai dengan system operasi yang
kompetitif
Strategi untuk mengurangi jumlah pengoperasian angkot disertai dengan
penanganan dampak sosial terhadap pengemudinya sebagai akibat dari
penambahan jumlah pelayanan bus resmi, antara lain dengan menawarkan
rute baru sebagai rute pengoperasian angkot
Pemberlakuan sistem manajemen permintaan transportasi (TDM) yang
mana
Mengarahkan demand pemilihan moda pada kendaraan umum, dimana
pelayanan yang ditawarkan sudah dapat diandalkan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Jaringan sisitem transportasi yang melayani wilayah kedungsepur hanya terdapat
transportasi darat, yaitu jalan dan rel. Moda transportasi yang ada di wilayah ini
masih terkonsentrasi pada pelayanan moda jalan. Kondisi jaringan transporasi
yang ada pada wilayah Kedungsapur hampir semuanya dapat dilalui melalui moda
jalan maupun jalan rel. Pada jaringan jalan rel Semarang – Demak saat ini
memiliki kondisi tidak aktif dikarenakan sudah banyak yang tertutup jalan atau
tanah dan hilang. Jaringan transportasi baik jalan maupun jalan rel terfokus di
Kota Semarang untuk melayani daerah sub urban lainnya. Jaringan kereta api
masih kurang sinergis dibandingkan jaringan transportasi jalan. Kenyataan itu
disebakan karena banyaknya jaringan jalan rel yang tidak aktif. Apabila melihat
sejarah masalalu jaringan jalan rel di Jawa Tengah di wilayah Kedungsapur
memiliki jaringan jalan rel yang saling terhubungantara zona-zona yang
direncanakan. Jaringan kereta api ada yang masih aktif sebagai pelayanan
perjalanan antar daerah di wilayah Kedungsepur. Namun jalur-jalur itu belum
digunakan secara optimal sebagai pelayanan komuter di wilayah itu. Sinergi
pelayanan jalur-jalur ini belum terlihatnyata, ini diakibatkan masih adanya jalur-
jalur potensial yang tidak aktif sebagai pelayanan perjalanan antar daerah di
wilayah Kedungsapur. Masih sedikit kereta yang melayan stasiun yang terdapat di
wilayah Kedungsepur itu sendiri juga merupakan masalah tersendiri. Kondisi ini
menyebabkan pelayanan transportasi di wilayah ini mayoritas menggunakan
angkutan umum dibanding dengan kereta api.
Daftar pustaka
Gray, G. E. and Hoel, L. A. (ed), 1992, Public Transportation, Prentice
Hall, Englewood Cliffs, New Jersey)
M. Nur Nasution,2004, Manajemen Transportasi, Jakarta : Penerbit Ghalia
Indonesia .
Warpani, S. 1990. Merencanakan Sistem Perangkutan.
Bandung: Penerbit ITB.
Miro, Fidel. 2005. Perencanaan Transportasi Untuk
Mahasiswa, Perencana, dan Praktisi. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Miro, Fidel, 2002, Perencanaan Transportasi, Erlangga, Jakarta
Rahardjo Adisasmita 2010 Dasar-Dasar Ekonomi Transportasi. Jakarta:
Penerbit Graha Ilmu..