case mitha_cks + edh lobus temporal sinistra
Post on 05-Aug-2015
257 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Laporan Kasus
CEDERA KEPALA SEDANG TERTUTUP GCS 13,
EPIDURAL HEMATOMA LOBUS TEMPORALIS
SINISTRA DAN EDEMA SEREBRI
Oleh:
Mitha Yuniaty, S.Ked
04114705107
Pembimbing:
dr. Trijoso Permono, SpBS
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan kasus dengan judul:
CEDERA KEPALA SEDANG TERTUTUP GCS 13,
EPIDURAL HEMATOMA LOBUS TEMPORALIS
SINISTRA DAN EDEMA SEREBRI
Disajikan oleh:
Mitha Yuniaty, S.Ked
04114705107
Pembimbing:
dr. Trijoso Permono, SpBS
Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior periode 3 September – 12 November 2012 di Bagian
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
Palembang, November 2012
dr. Trijoso Permono, SpBS
2
BAB I
REKAM MEDIK
I.1 IDENTITAS
Nama : An. Iv
Umur : 11 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Desa lubuk Rengas, Kab. Banyuasin
Pekerjaan : Pelajar
MRS : 29 September 2012
No. Rekam medik : 642465
I.2 ANAMNESIS ( Alloanamnesis pada tanggal 29 September 2012 )
Keluhan Utama:
Penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
± 7 jam SMRS, motor yang dikendarai penderita diserempet oleh motor
lain dari arah samping kanan, motor penderita tergelincir dan terjatuh ke
kiri. Penderita terjatuh dengan kepala sebelah kiri membentur benda keras.
Muntah (+), kejang (-), perdarahan THT (-). Penderita tidak memakai
helm. Kemudian penderita dibawa RSMH.
I.3 PEMERIKSAAN FISIK ( 29 September 2012 )
Survey Primer
A : Baik
3
B : RR = 20 x/menit
C : TD = 100/70 mmHg, N = 78 x/menit
D : GCS (E3M6V4) = 13, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
Survey Sekunder
Regio temporal sinistra
I : hematome (+), luka robek (-)
P : krepitasi (-)
Regio zigomatica dextra
I : luka lecet ukuran ± 4x2 cm
P : krepitasi (-)
Regio cruris 1/3 inferior lateral sinistra
I : luka lecet ukuran ± 4x3 cm
P : krepitasi (-)
I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG (29 September 2012)
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah Rutin
Hemoglobin : 12 g/dl
Hematokrit : 35 vol%
Eritrosit : 4.340.000 /mm3
Leukosit : 23.500 /mm3
Trombosit : 144.000 /mm3
Pemeriksaan Kimia Darah
BSS : 167 mg/dl
Na : 148 mmol/l
K : 4,2 mmol/l
4
Pemeriksaan Radiologi
CT Scan Kepala
Terdapat gambaran:
- massa hiperdens pada regio temporalis sinistra, volume ± 28,6 cc
- edema serebri.
Kesan: EDH lobus temporalis sinistra dan edema serebri.
I.5 DIAGNOSIS KERJA
Cedera kepala sedang tertutup GCS 13 + EDH lobus temporal sinistra +
edema serebri.
5
I.6 PENATALAKSANAAN
O2 sungkup 8-10 L/m
IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Inj. Ketorolac 3x1 amp
Inj. Sitikolin 2x1 amp
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Fenitoin 3x1/2 amp
Inj. ATS 1500 IU
Pemasangan NGT, kateter uretra
Pro craniotomy.
I.7 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
BAB II
6
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 TRAUMA KAPITIS
II.1.1 Pendahuluan
Di Indonesia saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi dan
pembangunan, frekuensi terjadinya cedara kepala bukannya menurun malahan
meningkat. Hal ini disebabkan karena bertambahnya jumlah kendaraan bermotor
khususnya sepeda motor, juga oleh tidak disiplinya perilaku pengendara bermotor
di jalanan. Cedera kepala merupakan penyebab hampir setengah dari seluruh
ematian akibat trauma. Sedangkan di negara maju seperti di Ameriksa cedera
kepala merupakan penyebab kematian terbanyak untuk kelompok usia muda (15-
44 tahun) dan merupakan penyebab kematian ketiga secara keseluruhan.
Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia
produktif , yaitu antara 15- 44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Adappun peyebab yang tersering adalah
kecelakaan lalu lintas (49%) dan kemudian disusul dengan jatuh. Kasus cedera
kepala mempunyai beberapa aspek khusus, antara lain kemampuan regenerasi sel
otak yang amat terbatas, kemungkinan komplikasi yang mengancam jiwa atau
menyebabkan kecacatan sehingga hal ini merupakan keadaan yang serius yang
memerlukan penanganan yang cepat dan akurat untuk menekan morbiditas dan
mortalitasnya.1
II.1.2 Anatomi Kepala
Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari
bagian terluar (SCALP) hingga bagian terdalam (intrakranial). Setiap komponen
yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan mekanisme yang terjadi.
Secara umum otak dilindungi oleh:
1. Kulit kepala (SCALP)
7
Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling
melekat dan bergerak sebagai satu unit. Kulit kepala terdiri dari:
Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar
sebacea.
Connective tissue atau jaringan penyambung, merupakan jaringan
lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari
m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung pembuluh
darah besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang
supratrokhlear dan supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah
depan, dan tiga cabang dari karotid eksternal-temporal superfisial,
aurikuler posterior, dan oksipital disebelah posterior dan lateral.
Pembuluh darah ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan
subkutis sehingga sukar berkontraksi atau mengkerut. Apabila
pembuluh ini robek, maka pembuluh ini sukar mengadakan
vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang
bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.
Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan suatu jaringan
fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu
menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan otot
frontalis dan otot occipitalis.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar,
menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium
(pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa v.
emmisaria yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan
sinus venosus intracranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat
membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam
tengkorak, sehingga pembersihan dan debridement kulit kepala
harus dilakukan secara seksama bila galea terkoyak.
Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan
tulang tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui
8
sutura ini periosteum akan langsung berhubungan dengan
endosteum (yang melapisi permukaan dalam tulang tengkorak).
2. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis
cranii (bagian terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi
di daerah ini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak
rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselarasi.
Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras
yang tidak memungkinkan terjadinya perluasan isi intracranial.
Tulang tengkorak terdapat tiga lapisan, yaitu tabula eksterna,
diploe, dan tabula interna. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan
dinding bagian dalam disebut tabula interna. Tabula interna
mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior, media dan
posterior.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fosa anterior
yang merupakan tempat lobus frontalis, fosa media yang merupakan
tempat lobus temporalis, fosa posterior yang merupakan tempat bagian
bawah batang otak dan cerebellum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3 lapisan yaitu:
Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat
fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena
tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
durameter dan arakhnoid yang kaya akan pembuluh vena, sehingga
apabila terjadi robekan pada dura, terjadi perdarahan yang akan
9
menumpuk pada ruangan ini yang dikenal sebagai perdarahan
subdural.
Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan
tembus pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal
sebagai subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan
LCS.
Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada
permukaan korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh
darah halus, dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang
masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua girus.
Gambar 1. Tulang tengkorak dan meningen
II.1.3 Patologi Dan Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya, ada dua macam cedera otak, yaitu cedera
otak primer dan cedera otak sekunder.3 Cedera otak primer adalah cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu
fenomena mekanik.3 Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses
10
yang berkelanjutan (on going process) sesudah atau berkaitan dengan cedera
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Proses berkelanjutan tersebut
sebenarnya merupakan proses alamiah.3 Tetapi, bila ada faktor-faktor lain yang
mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk mencegah atau menghentikan proses
tersebut maka cedera akan terus berkembang dan berakhir pada kematian jaringan
yang cukup luas.3 Pada tingkat organ, akan berakhir dengan kematian/kegagalan
organ.3 Cedera otak sekunder disebabkan oleh keadaan-keadaan yang merupakan
beban metabolik tambahan pada jaringan otak yang sudah mengalami cedera
(neuron-neuron yang belum mati tetapi mengalami cedera).3
II.1.4 Pengelompokan Trauma Kapitis2
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan
praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme,
tingkat beratnya cedera kepala serta berdasarkan morfologi. Dibawah ini
merupakan pengelompokan dasar cedera kepala:
Klasifikasi Cedera Kepala
Mekanisme Tumpul
Tembus
kecepatan tinggi (tabrakan
mobil)
kecepatan rendah (dipukul,
jatuh)
luka tembak, cedera
tembus lain
Beratnya
berdasarkan
skor GCS
ringan (mild head injury)
sedang (moderate head
injury)
berat (severe head injury)
GCS 14 -15
GCS 13 – 9
GCS 8 - 3
Morfologi Fraktur tengkorak:
Kalvaria
Dasar tengkorak
Garis vs bintang
Depresi/non depresi
Terbuka/tertutup
Dengan/tanpa kebocoran
11
LCS
Dengan/tanpa paresis
NVII
Lesi intrakranial
Fokal
Difuse
epidural
subdural
intraserebral
konkusi
konkusi multipel
hipoksia/iskemik
II.1.5 Pengelolaan Cedera Kepala
II.1.5.1 Anamnesis 1
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan, adanya riwayat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan.
Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari
tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan
kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-
kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau
kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :
1. Sifat kecelakaan.
2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
3. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui
kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya
12
tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun
kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).
II.1.5.2 Pemeriksaan fisik
Tindakan terpenting yang pertama kali pada cedera kepala adalah survei
primer dengan menilai airway, breathing, circulation, baru setelah ABCD stabil
dilakukan pemeriksaan disability dengan menentukan GCS.4 ABC
menggambarkan status fungsi vital dan disability menggambarkan status
kesadaran pasien.4
1. Status fungsi vital6
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai
ialah:
a. Jalan nafas airway dan Pernafasan breathing
Terhentinya pernapasan sementara dapat terjadi pada cedera otak
dan dapat mengakibatkan cedera otak sekunder. Jika penderita dapat
berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya sering
terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi karena adanya
benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur
tulang wajah, maka jalan nafas harus segera dibersihkan. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spinecontrol), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi
yang berlebihan dari leher.
Pemasangan pipa naso/orofaring dilakukan untuk menjaga patensi
jalan napas. Pada penderita koma, intubasi endotrakeal segera dilakukan.
Pemberian oksigen 100% dilakukan sampai diperoleh hasil analisis gas
darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
Tindakan hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang
menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif
atau terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35mmHg.
13
b. Circulation
Hipotensi merupakan salah satu penyebab terjadinya perburukan
pada penderita cedera kepala. Bila terjadi hipotensi harus dilakukan
tindakan untuk menormalkan kembali tekanan darahnya. Hipotensi
biasanya tidak terjadi pada cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium
terminal dimana medulla oblongata sudah mengalami gangguan.
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya syok,
terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thoraks,
trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah
yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala
awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut
disebabkan oleh hematom epidural.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat
dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai
warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi
perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status
sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala,
tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat
digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut
arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila
denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari
70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis
maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan
eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi
yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intravena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera
sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak
dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah
14
head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan
bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
2. Status Kesadaran
Status kesadaran dilakukan dengan melakukan pemeriksaan GCS dan
fungsi pupil setelah status vital dalam keadaan stabil.
Glasgow Coma Scale
Jenis pemeriksaan Nilai
Respon buka mata (eye opening, E)
spontan
terhadap suara
terhadap nyeri
tidak ada
4
3
2
1
Respon motorik (M)
ikut perintah
melokalisir nyeri
fleksi normal (menarik anggota yang
diregang)
fleksi abnormal (dekortikasi)
ekstensi abnormal (deserebrasi)
tidak ada (flasid)
6
5
4
3
2
1
Respon verbal (V)
berorientasi baik
berbicara mengacau (bingung)
kata-kata tidak teratur
suara tidak jelas
tidak ada
5
4
3
2
1
Tingkat beratnya cedera kepala berdasarkan skor GCS :
1. Cedera Kepala Ringan6
15
Definisi: Pasien sadar dan berorientasi (GCS 14-15).
Riwayat:
Nama, jenis kelamin, ras, pekerjaan.
Mekanisme cedera.
Waktu cedera.
Tidak sadar segera setelah cedera.
Tingkat kewaspadaan.
Amnesia.
Nyeri kepala.
Pengelolaan:
Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik.
Pemeriksaan neurologis terbatas.
Radiografi tengkorak.
Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi.
Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik.
CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria
rawat.
Kriteria Rawat:
CT scan tidak ada.
CT scan abnormal.
Semua cedera tembus.
Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).
Nyeri kepala sedang hingga berat.
Intoksikasi alkohol atau obat.
Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea.
Fraktur tengkorak.
Cedera penyerta yang jelas.
Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan.
GCS <15.
Defisit neurologis fokal yang jelas.3
Dipulangkan dari UGD:
16
Pasien tidak memiliki kriteria rawat.
Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang
'lembar peringatan'
Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
2. Cedera Kepala Sedang6
Definisi: Pasien mungkin confuse atau somnolen namun tetap mampu
untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).
Pengelolaan:
Sama dengan untuk cedera kepala ringan.
Pemeriksaan darah sederhana.
CT scan kepala
Rawat untuk pengamatan
Setelah dirawat:
Pemeriksaan neurologis periodik (setiap setengah jam).
CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan
neurologis atau penderita akan pulang.
Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala
berat .
Bila kondisi membaik:
Pulang bila memungkinkan
Kontrol di poliklinik biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan
bila perlu 1 tahun setelah cedera.
Bila kondisi memburuk:
Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan
pemeriksaan CT scan ulangan dan penatalaksanaaan sesuai cedera
kepala berat.
Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka
dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir
seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin
dengan kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.
17
Saat masuk UGD, riwayat singkat diambil dan stabilitas
kardiopulmonal dipastikan sebelum menilai status neurologisnya.
Tes darah termasuk pemeriksaan rutin, profil koagulasi, kadar alkohol
dan contoh untuk bank darah. Film tulang belakang leher diambil, CT
scan umumnya diindikasikan. Pasien dirawat untuk pengamatan
bahkan bila CT scan normal.
3. Cedera Kepala Berat6
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti perintah bahkan perintah
sederhana karena gangguan kesadaran (GCS 8-3).
Pengelolaan:
ABCDE
Survie Primer dan resusitasi
survei Sekunder dan riwayat AMPLE
Reevaluasi neurologis: GCS dan Reaksi cahaya pupil
Obat-obat Terapeutik:
Manitol
Hiperventilasi (PCO2<35 mmHg)
Antikonvulsan
Tes Diagnostik: (desenden menurut yang diminati)
CT scan
Ventrikulogram udara
Angiogram
II.1.6 Terapi Medikamentosa untuk Cedera Otak2
II.1.6.1 Cairan Intravena
Cairan intravena diberikan dengan tujuan agar penderita dalam keadaan
normovolemia, jangan memberikan cairan hipotonik pada penderita dengan
cedera kepala.2 Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam
fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium juga harus dipertahankan untuk
mencegah terjadinya edema otak.2
18
II.1.6.2 Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan untuk menurunkan PCO2 yang akan
menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah otak.2 Selain itu, hiperventilasi
dilakukan dengan tujuan menekan metabolisme anaerob sehingga menekan
terjadinya asidosis.3 Hiperventilasi yang terlalu lama akan menyebabkan iskemia
otak karena adanya vasokonstriksi yang berat sehingga menimbulkan gangguan
perfusi ke otak.2 Oleh karena itu, hiperventilasi dilakukan secara moderat dan
hanya dalam waktu tertentu.2 Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 30 mmHg
atau sedikit diatas.2
II.1.6.3 Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat dimana
manitol bekerja dengan cara "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang
intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.3. Indikasi pemberian
manitol adalah deteriorisasi neurologis akut seperti terjadi dilatasi pupil,
hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi.2 Sediaan
yang tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dosis yang
biasanya digunakan adalah 1 gram/kgBB yang diberikan secara bolus intravena.2
Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita dengan hipotensi karena
akan memperberat hipovolemia.2
II.1.6.4 Furosemid
Furosemid biasanya diberikan bersama dengan manitol untuk menurunkan
TIK.2 Dosis yang biasanya digunakan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus
intravena.2 Dosis tinggi furosemid tidak boleh diberikan pada penderita dengan
hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.2
II.1.6.5 Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter
terhadap obat-obatan lain.2 Barbiturat bekerja dengan cara mem"bius" pasien
19
sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan
oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang.3 Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat.2 Oleh karena itu,
obat ini tidak diberikan pada fase akut resusitasi.2
II.1.6.6 Antikonvulsan2
Ada 3 faktor utama yang berkaitan dengan insiden epilepsi pasca trauma,
yaitu kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial,
fraktur depresif. Pada beberapa penelitan menunjukkan, pemberian antikonvulsan
bermanfaat untuk menghindari kejang dalam minggu pertama setelah cedera
kepala tapi tidak setelah itu.
II.2 EPIDURAL HEMATOMA
II.2.1 Definisi
Epidural hematoma adalah penumpukan darah diantara dura dan tabula
interna dengan ciri berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.1,3
Epidural hematoma tanpa cedera lain biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media.2
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak ditutupi oleh tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga dikelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,
20
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inilah yang dikenal dengan sebutan epidural
hematom.8,9,10
Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergensi
dan biasanya berhubungan dengan fraktur linear yang memutuskan arteri yang
lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom
berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.
Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak dibawah
tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi
perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.
II.2.2 Insiden Dan Epidemiologi
Angka kejadian epidural hematoma berkisar antara 1-3% dari trauma
kepala. Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan
hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara internasional
frekuensi kejadian hematom epidural hampir sama dengan angka kejadian di
Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang
memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.(9)
Di dunia, terdapat 60 % penderita epidural hematom adalah berusia
dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan diatas 60
tahun karena dekatnya lapisan duramater dan tengkorak pada kedua populasi ini.10
Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan
lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan
dengan perbandingan 4:1.10 Sedangkan menurut ras, tidak ada yang dominan.2,3,4
Tipe- tipe : 13
1. Epidural hematom akut (58%) perdarahan dari arteri.
2. Subakut hematom ( 31 % ).
3. Kronik hematoma ( 11%) perdarahan dari vena .
21
II.2.3 Etiologi
Penyebab dari epidural hematoma biasanya adalah trauma akibat benturan
mekanis yang menyebabkan fraktur kalvaria, meskipun perdarahan spontan dapat
juga terjadi. Perdarahan pada epidural hematoma sebagai hasil dari proses trauma
akselerasi dan deselerasi dan kekuatan tranversal. Fraktur ini merusak arteri
meningeal media atau sinus dural.10
Duramater terpisah dari lapisan dalam tengkorak. Ruang epidural yaitu
ruang di antara epidural dan lapisan dalam tengkorak merupakan tempat potensial,
yang terbentuk hanya jika sesuatu memisahkan duramater dari lapisan dalam
tengkorak. Atas alasan inilah, epidural hematoma memiliki gambaran bikonveks
seperti lensa, terbentuk jika darah mendorong duramater ke arah dalam,
membentuk kantung darah yang terperangkap di antara duramater dan bagian
dalam tengkorak.11
Regio temporoparietal yang dilewati a. meningea media adalah regio yang
paling sering mengalami epidural hematoma karena sangat tipis dan mudah untuk
terjadi fraktur.10,11 Epidural hematoma biasanya ditemukan pada sisi yang sama
dengan sisi yang mengalami trauma, namun pada kasus yang sangat jarang dapat
juga terjadi trauma contracoup.11 Kurang lebih 90% dari epidural hematoma
disebabkan oleh trauma dengan fraktur tulang tengkorak yang menyeberangi
bagian dari arteri atau vena meningea media. Terjadi robekan pada arteri
meningea media pada 60% kasus.12
Epidural hematoma juga dapat terjadi karena adanya efek massa, laserasi
sinus dura atau fraktur yang melewati ruang diploik yang menyebabkan
perdarahan vena di dalam ruang epidural. Hematoma jenis ini paling sering terjadi
pada lokasi sinus dura di regio parietookspital.
Penyebab lain yang dapat menyebabkan epidural hematoma adalah
gangguan koagulasi, trombolisis, lumbar puncture, anestesi epidural, penyakit
hepar dengan hipertensi portal, kanker, malformasi vaskular, herniasi diskus
spinalis.8
II.2.4 Patofisiologi
22
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
duramater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital.2,10
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporal.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematom
akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar. 13
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.8
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengubah formasi
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuklei saraf kranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif.8
Dengan makin membesarnya hematom, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.8
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
23
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut lucidinterval.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada epidural
hematom. Kalau pada subdural hematom cedera primernya hampir selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase
sadar. 10,11
Sumber perdarahan : 10,11
Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisisi kalvaria kranii) yang berisi a. Diploica dan
vena diploica
1. Os Temporale
2. Hematom Epidural
3. Duramater
4. Otak terdorong kesisi lain
Gambar 2. Hematom Epidural
Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media, terletak
antara duramater dan lamina interna tulang pelipis.
24
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah
saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada
sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah
herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala
yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat,
harus segera dirawat dan diperiksa dengan teliti.1,2,11
II.2.5 Gambaran Klinis
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Sekitar sepertiga penderita epidural hematoma mengalami lucid interval pada
pemeriksaan neurologis, dimana pasien akan mengalami interval dimana
kesadarannya berubah dari tidak sadar menjadi sadar. Kemudian dengan
bertambahnya volume hematoma, tekanan intracranial akan meningkat sehingga
pasien akan mengalami letargi dan herniasi. Herniasi ini akan menyebabkan
pasien mengalami palsy nervus III ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.2
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali disertai memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar dari lubang hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus diobservasi dengan teliti.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat
dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera
kepala, antara lain:
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma karena adanya massa bebas (lucid
interval atau talk and die presentation)
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Tampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala
Mual
Pusing
25
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi fixed (tidak ada reaksi cahaya)
dan midriasis
Timbulnya kelumpuhan (hemiparesis) pada sisi yang berlawanan dengan sisi
trauma
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak. Jika epidural hematoma disertai dengan cedera otak
seperti memar otak, lucid interval tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda
lainnya menjadi kabur.
Selain itu, gambaran klinis lainnya berupa luka kepala. Pada luka kulit
kepala, terjadi kehilangan darah yang signifikan. Penatalaksanaan pertama yang
perlu dilakukan adalah dengan bebat tekan yang akan mengontrol perdarahan. Jika
terjadi laserasi simpel, seharusnya diirigasi dan ditutup terlebih dahulu. Jika
laserasi pendek, dilakukan penjahitan percutaneous dan jika laserasi panjang,
maka memerlukan debridement dan penutupan luka di kamar operasi.
Di samping itu, fraktur kranium juga dapat terjadi pada EDH.
Karakteristik fraktur dapat ditemukan dengan x-ray kranium ataupun dengan CT
scan. Fraktur tertutup adalah fraktur yang ditutupi oleh kulit yang intak.
Sedangkan fraktur terbuka adalah fraktur yang langsung berhubungan dengan
dunia luar dengan kulit yang robek. Garis fraktur bisa linear, stellate, atau
comminuted. Fraktur yang melewati arteri meningea dapat menyebabkan ruptur
arteri dan kemudian menyebabkan epidural hematoma. Fraktur kranium depresif
26
dapat menyebabkan focal injury. Pada fraktur ini, craniotomy dibutuhkan untuk
memperbaiki fraktur, duramater, dan kemudian memperbaiki hemostasis.
Fraktur basis kranii dapat terjadi pada pasien trauma kepala. Hal ini
biasanya terlihat pada CT scan. Fraktu basis kranii biasanya memberikan
gambaran klinis berupa déficit nervus kranial dan keluarnya cairan serebrospinal.
Fraktur os temporal dapat merusak nervus facial ataupun nervus
vestibulokoklearis, yang kemudian menyebabkan vertigo, tuli ipsilateral, dan
paralisis facial. Selain itu, juga dapat terjadi keluarnya cairan serebrospinal dari
telinga (otorrhea), keluarnya darah dari belakang telinga yang disebabkan oleh
adanya ekimosis, yang disebut juga battle’s sign. Fraktur pada basis kranii
anterior menyebabkan adanya anosmia (hilangnya kemampuan penciuman yang
terjadi karena rusaknya nervus olfaktorius), keluarnya cairan serebrospinal dari
hidung (rhinorrhea), atau ekimosis pada periorbital yang disebut raccoon eyes.2
II.2.6 Gambaran Radiologi
1. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong
sulcus arteri meningea media. Sebaiknya foto ini hanya dilakukan pada cedera
kepala ringan yang disertai dengan:
a. Riwayat pingsan atau amnesia
b. Adanya gejala neurologis seperti diplopia, vertigo, muntah, atau sakit
kepala
c. Adanya tanda neurologis seperti hemiparesis
d. Adanya otorrhea atau rhinorrhea
e. Adanya kecurigaan luka tembus kepala
f. Adanya kecurigaan intoksikasi obat atau alkohol
27
2. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedara intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja
(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonveks
atau lesi hiperdens lentikuler, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi
kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematom, densitas
yang tinggi pada stage yang akut (60 – 90 HU), ditandai dengan adanya
peregangan dari pembuluh darah.11
Indikasi pemeriksaan CT scan pada penderita cedera kepala:
a. GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran > 1 point selama observasi
b. Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
c. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
d. Disertai dengan kejang
e. Adanya tanda neurologis fokal
f. Sakit kepala yang menetap
Pada pemeriksaan CT Scan kepala, akan ditemukan gambaran sebagai
berikut:
a. Hiperdens ellips yang bikonveks dengan batas tegas
b. Densitas yang bervariasi menunjukkan adanya perdarahan aktif
c. Hematoma tidak menyebrangi garis sutura kecuali jika terjadi fraktur
sutura yang diastatik
d. Dapat memisahkan sinus vena dari cranium; epidural hematoma
merupakan satu-satunya bentuk perdarahan intrakranial yang dapat
memberikan gambaran seperti ini.
e. Adanya efek massa yang bergantung pada ukuran perdarahan dan
berhubungan dengan edema.
f. Perdarahan vena dapat memberikan gambaran yang lebih bervariasi.
g. Garis fraktur yang berkaitan dapat dilihat.
28
Gambar 3. CT scan dengan hasil EDH di regio temporoparietal
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.11
II.2.7 Diagnosis Banding
1. Subdural Hematoma
Subdural hematoma terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura
mater dan arachnoid. Secara klinis subdural hematoma akut sukar dibedakan
dengan epidural hematoma yang berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh
trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak
mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan
perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan subdural hematoma, tampak
penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.
29
Gambar 4. Subdural hematoma
2. Subarakhnoid hematoma
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh
darah di dalam subarachnoid.
Gambar 5. Subarakhnoid hematoma
II.2.7 Penatalaksanaan
1. Primary survey dan resusitasi2
a. Airway
Jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing, lender, atau darah.
Terhentinya pernafasan sementara dapat terjadi pada cedera otak, dan
dapat mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus
segera dilakukan pada penderita koma.
b. Breathing
30
Pada penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%.
Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita
cedera otak berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut.
c. Circulation
Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri,
kecuali pada stadium terminal dimana medulla oblongata sudah
mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial tidak dapat menimbulkan
syok hemoragik. Hipotensi menunjukkan adanya kehilangan darah yang
cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.
2. Pemeriksaan neurologis2
Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status
kardiopulmoner penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan reflex
cahaya pupil. Pada penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan
merangsang/mencubit otot trapezius atau menekan dasar kuku penderita.
3. Secondary survey1,2,3,10
Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus
selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari
herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil
terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata sering merupakan penyebab
abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit.
Setelah kondisi stabil, maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.) Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan
darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu
dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang
terutama untuk membuka jalur intravena, gunakan cairan NaCl 0,9%
atau dextrose in saline.
31
2.) Mengurangi edema serebri
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar
penderita tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan
hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun harus
diperhatikan untuk tidak memberikan cairan yang berlebihan.
Jangan berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang
berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau
atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan
untuk mencegah terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah
mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari
hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa
digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan
edema otak.
b. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan PCO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen
yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat
diperiksa, PO2 dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2 diantara 25-
30 mmHg.
c. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan manitol 20% per infus untuk
"menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh
efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang
cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,25-1 gram/kg
BB dalam 10-30 menit, secara bolus intravena.2. Cara ini berguna
32
pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus
biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat
dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau
keesokan harinya.
d. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya
sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini
cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang
bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan
pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis
parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason
pernah dicoba dengan dosis awal 10 mg sampai 100 mg bolus yang
kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam. Selain itu juga
Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan
Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
e. Barbiturat
Digunakan untuk ”membius” pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen
juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif
lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksia,
walaupun suplai oksigen berkurang (efek protektif terhadap otak
dari anoksia dan iskemik ). Cara ini hanya dapat digunakan dengan
pengawasan yang ketat.
Barbiturat juga dapat dipakai untuk mengatasi tekanan
inrakranial yang meninggi. Dosis yang biasa diterapkan adalah
diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian
dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1
mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.10
f. Fenitoin
Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan
fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah
33
timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka
panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
g. Cara lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai
1500-2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada
laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur dengan kepala (dan
leher) yang diangkat 30° akan menurunkan tekanan intrakranial
dan meningkatkan drainase vena.
Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang
berbaring lama adalah:
- kepala dan leher diangkat 30°
- sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°
- telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai
bawah
3.) Obat-obat neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu
mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada
keadaan koma.
a. Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6)
yang dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki
struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan dalam
dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian
intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
34
b. Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA, suatu
neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12
gram/ hari intravena.
c. Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak.
Lecithin sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan
neurotransmiter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-500
mg/hari intravena.
4.) Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat:
Volume hematoma > 25 ml
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 3 mm
Penanganan darurat dengan cara:
Dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole).
Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma.
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving
dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka
operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini
disebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc à desak ruang supra tentorial
> 10 cc à desak ruang infratentorial
> 5 cc à desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang
signifikan :
Penurunan klinis
35
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif
5.) Konservatif
Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik
konservatif, karena pembedahan tidak akan membawa hasil lebih baik.
Kriteria trauma kapitis yang hanya memerlukan penatalaksanaan
konservatif adalah sebagai berikut:
a. Fraktura basis cranii - ditandai adanya memar biru hitam pada
kelopak mata
b. Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (Battle’s sign)
dan atau kebocoran
c. cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
d. Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
e. Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan
tulang yang
f. Menembus dura dan jaringan otak
g. Hematoma intracerebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut
atau progresif akibat contusio.
II.2.8 Komplikasi
1. Coagulopathy
Besarnya angka kejadian koagulopati pada pasien trauma kepala sudah
diketahui dengan jelas. Investigasi pada anak-anak yang mengalami trauma
kepala, menunjukkan hasil bahwa 71% nya memiliki clotting test yang
abnormal dan 32% nya mengalami sindrom disseminated intravascular
coagulation and fibrinolysis (DICF).
2. Tromboemboli
36
Pasien dengan trauma kepala memiliki resiko tinggi deep venous
thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism (PE). Berdasarka penelitian,
didapatkan 4.3% pasien dengan trauma kepala didiagnosa DVT.
II.2.9 Prognosis10
Prognosis tergantung pada:
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis epidural hematoma biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka mortalitas
epidural hematoma lebih rendah, sebesar 10%, dibandingkan dengan subdural
hematoma atau secara keseluruhan berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-
10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum
operasi.
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang anak laki-laki usia 11 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan
utama penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas. Dari alloanamnesa
didapatkan bahwa ± 7 jam sebelum masuk rumah sakit, motor yang dikendarai
penderita diserempet oleh motor lain dari arah samping kanan, motor penderita
tergelincir dan terjatuh ke kiri. Penderita terjatuh dengan kepala sebelah kiri
membentur benda keras. Muntah (+), kejang (-), perdarahan THT (-). Penderita
tidak memakai helm. Kemudian penderita dibawa RSMH.
37
Gambaran klinis dari riwayat perjalanan penyakit penderita di atas
memberi gambaran bahwa terjadi suatu trauma langsung pada kepala dimana
kepala penderita membentur benda keras. Trauma yang dialami secara tiba-tiba
pada kepala tersebut mengakibatkan penekanan yang sangat kuat sehingga
menimbulkan penurunan kesadaran serta mual dan muntah yang merupakan efek
peningkatan tekanan intrakranial.
Pada pemeriksaan fisik survei primer didapatkan airway baik, breathing
dan circulation dalam batas normal. Penilaian airway didasarkan pada tanda-tanda
obyektif untuk menilai jalan nafas yaitu pada look, dimana penderita tidak
mengalami hipoksia / sianosis pada daerah kuku dan sekitar mulut. Sedangkan
pada listen tidak ditemukan suara berkumur (gurgling) yang menunjukkan adanya
lendir, muntahan, darah, dan lain-lain di dalam mulut), tidak ditemukan snoring
(suara mendengkur – menunjukkan adanya sumbatan jalan nafas atas dimana
lidah jatuh ke posterior faring), crowing atau stridor (bersiul – menunjukkan
adanya sumbatan di saluran nafas bawah terutama pada bronkus akibat adanya
benda asing), hoarness (suara parau – menunjukkan sumbatan pada laring yang
biasa terjadi akibat edema laring). Penderita juga dapat mengucapkan kata dengan
jelas sehingga menyingkirkan kemungkinan obstruksi jalan nafas. Pada airway
juga diperhatikan stabilitas tulang leher dan segera dilakukan pemberian oksigen
dengan sungkup muka atau kantung nafas.
Pada penilaian breathing dilakukan pemeriksaan berupa look yaitu tidak
ditemukan tanda-tanda seperti sianosis, luka tembus dada, flail chest, gerakan otot
nafas tambahan, pada feel tidak terlihat pergeseran letak trakea, patah tulang iga,
emfiema kulit, dan dengan perkusi tidak ditemukan hemotoraks dan atau
pnemutoraks, sedangkan pada listen tidak didapatkan suara nafas tambahan, suara
nafas menurun, dan dinilai frekuensi pernapasan yang berada dalam batas normal
(RR normal : 16-24 kali/menit).
Pada circulation dalam batas normal, dinilai dari tekanan darah 100/70
mmHg dan frekuensi nadi yang dalam batas normal yaitu 78 kali/menit (Frekuensi
nadi normal = 60-100 kali/menit). Setelah dilakukan pemeriksaan ABC dalam
keadaan stabil, maka dilakukan penilaian disability berupa penilaian menurut
38
Glasgow Coma Scale (GCS) didapatkan nilai Eye = 3, nilai Motorik = 6, dan nilai
Verbal = 4 sehingga jumlahnya 13, sementara pada pemeriksaan pupil didapatkan
pupil isokor dan refleks cahaya +/+. Dari hasil pemeriksaan survei sekunder pada
regio temporalis sinistra didapatkan hematom (+), luka lecet di regio zygomatic
dextra sebesar ± 4x2 cm dan regio cruris 1/3 inferior lateral sinistra sebesar ± 4x3
cm.
Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologis yaitu CT-Scan
kepala dimana ditemukan kesan berupa EDH lobus temporalis sinistra dan edema
serebri. Pemeriksaan darah rutin dalam batas normal.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat
didiagnosis dengan cedera kepala sedang tertutup GCS 13, EDH lobus temporalis
sinistra dan edema serebri. Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini yaitu
dilakukan dengan pemberian O2 sungkup untuk melakukan hiperventilasi yang
berguna memperbaiki sirkulasi intrakranial dan memberi oksigen sehingga
pemenuhan oksigen dalam darah ke otak terpenuhi dengan cukup. Pemasangan
IVFD NaCl 0,9 % dilakukan untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia, mencegah edema otak menjadi lebih parah dan agar mudah dapat
memasukkan obat melalui parenteral. Analgetik diberikan untuk mengurangi
nyeri yang timbul akibat benturan. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi
akibat luka lecet atau luka robek yang dialami. Kemudian harus dilakukan
craniotomy untuk mengevakuasi darah yang berada intrakranial dan menyetop
perdarahannya.
Prognosis pasien ini quo ad vitam adalah dubia ad bonam, artinya
penderita mendapat tindakan life saving yang cepat dan tepat maka kemungkinan
mortalitasnya dapat ditekan dan cedera otak sekunder dapat dihindari. Quo ad
functionam penderita ini adalah dubia ad bonam artinya dengan penanganan yang
cepat maka sequele pasca trauma kepala dapat ditekan seminimal mungkin.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauzi, Al Azral. Penanganan Cedera Kepala. Available from URL http://
www.pus-1.com?med/topic/20html.
2. American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support. Edisi Ketujuh.
United States of America, 1997.p: 167-165.
3. Riyanto, Budi dr. Penanganan Cedera Kepala Fase Akut. Available from URL
http:// cerminduniakedokteran.co.id.
4. Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian
3.EGC.Jakarta : p: 250-255.
5. Cedera Kepala. Available from URL http:// www.anglefire.com.
40
6. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,
Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
7. Anonym, Epidural hematoma, www.braininjury.com / epidural-subdural-
hematoma.html.
8. Anonym,Epidural hematoma, www.nyp.org
9. Anonym, Intrakranial Hemorrhage, www.ispub.com
10. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D.
EGC, Jakarta, 2004, 818-819
11. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com
12. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
13. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi
Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
14. Price D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com
41
top related