case mitha_cks + edh lobus temporal sinistra

60
Laporan Kasus CEDERA KEPALA SEDANG TERTUTUP GCS 13, EPIDURAL HEMATOMA LOBUS TEMPORALIS SINISTRA DAN EDEMA SEREBRI Oleh: Mitha Yuniaty, S.Ked 04114705107 Pembimbing: dr. Trijoso Permono, SpBS

Upload: saputra-tri-nopianto

Post on 05-Aug-2015

252 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Laporan Kasus

CEDERA KEPALA SEDANG TERTUTUP GCS 13,

EPIDURAL HEMATOMA LOBUS TEMPORALIS

SINISTRA DAN EDEMA SEREBRI

Oleh:

Mitha Yuniaty, S.Ked

04114705107

Pembimbing:

dr. Trijoso Permono, SpBS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2012

Page 2: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul:

CEDERA KEPALA SEDANG TERTUTUP GCS 13,

EPIDURAL HEMATOMA LOBUS TEMPORALIS

SINISTRA DAN EDEMA SEREBRI

Disajikan oleh:

Mitha Yuniaty, S.Ked

04114705107

Pembimbing:

dr. Trijoso Permono, SpBS

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

Kepaniteraan Klinik Senior periode 3 September – 12 November 2012 di Bagian

Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / RSUP Dr. Mohammad Hoesin

Palembang.

Palembang, November 2012

dr. Trijoso Permono, SpBS

2

Page 3: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

BAB I

REKAM MEDIK

I.1 IDENTITAS

Nama : An. Iv

Umur : 11 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Bangsa : Indonesia

Alamat : Desa lubuk Rengas, Kab. Banyuasin

Pekerjaan : Pelajar

MRS : 29 September 2012

No. Rekam medik : 642465

I.2 ANAMNESIS ( Alloanamnesis pada tanggal 29 September 2012 )

Keluhan Utama:

Penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas.

Riwayat Perjalanan Penyakit:

± 7 jam SMRS, motor yang dikendarai penderita diserempet oleh motor

lain dari arah samping kanan, motor penderita tergelincir dan terjatuh ke

kiri. Penderita terjatuh dengan kepala sebelah kiri membentur benda keras.

Muntah (+), kejang (-), perdarahan THT (-). Penderita tidak memakai

helm. Kemudian penderita dibawa RSMH.

I.3 PEMERIKSAAN FISIK ( 29 September 2012 )

Survey Primer

A : Baik

3

Page 4: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

B : RR = 20 x/menit

C : TD = 100/70 mmHg, N = 78 x/menit

D : GCS (E3M6V4) = 13, pupil isokor, refleks cahaya +/+.

Survey Sekunder

Regio temporal sinistra

I : hematome (+), luka robek (-)

P : krepitasi (-)

Regio zigomatica dextra

I : luka lecet ukuran ± 4x2 cm

P : krepitasi (-)

Regio cruris 1/3 inferior lateral sinistra

I : luka lecet ukuran ± 4x3 cm

P : krepitasi (-)

I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG (29 September 2012)

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Darah Rutin

Hemoglobin : 12 g/dl

Hematokrit : 35 vol%

Eritrosit : 4.340.000 /mm3

Leukosit : 23.500 /mm3

Trombosit : 144.000 /mm3

Pemeriksaan Kimia Darah

BSS : 167 mg/dl

Na : 148 mmol/l

K : 4,2 mmol/l

4

Page 5: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Pemeriksaan Radiologi

CT Scan Kepala

Terdapat gambaran:

- massa hiperdens pada regio temporalis sinistra, volume ± 28,6 cc

- edema serebri.

Kesan: EDH lobus temporalis sinistra dan edema serebri.

I.5 DIAGNOSIS KERJA

Cedera kepala sedang tertutup GCS 13 + EDH lobus temporal sinistra +

edema serebri.

5

Page 6: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

I.6 PENATALAKSANAAN

O2 sungkup 8-10 L/m

IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit

Inj. Ceftriaxon 2x1 gr

Inj. Ketorolac 3x1 amp

Inj. Sitikolin 2x1 amp

Inj. Ranitidin 2x1 amp

Inj. Fenitoin 3x1/2 amp

Inj. ATS 1500 IU

Pemasangan NGT, kateter uretra

Pro craniotomy.

I.7 PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

BAB II

6

Page 7: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 TRAUMA KAPITIS

II.1.1 Pendahuluan

Di Indonesia saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi dan

pembangunan, frekuensi terjadinya cedara kepala bukannya menurun malahan

meningkat. Hal ini disebabkan karena bertambahnya jumlah kendaraan bermotor

khususnya sepeda motor, juga oleh tidak disiplinya perilaku pengendara bermotor

di jalanan. Cedera kepala merupakan penyebab hampir setengah dari seluruh

ematian akibat trauma. Sedangkan di negara maju seperti di Ameriksa cedera

kepala merupakan penyebab kematian terbanyak untuk kelompok usia muda (15-

44 tahun) dan merupakan penyebab kematian ketiga secara keseluruhan.

Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia

produktif , yaitu antara 15- 44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki

dibandingkan dengan perempuan. Adappun peyebab yang tersering adalah

kecelakaan lalu lintas (49%) dan kemudian disusul dengan jatuh. Kasus cedera

kepala mempunyai beberapa aspek khusus, antara lain kemampuan regenerasi sel

otak yang amat terbatas, kemungkinan komplikasi yang mengancam jiwa atau

menyebabkan kecacatan sehingga hal ini merupakan keadaan yang serius yang

memerlukan penanganan yang cepat dan akurat untuk menekan morbiditas dan

mortalitasnya.1

II.1.2 Anatomi Kepala

Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari

bagian terluar (SCALP) hingga bagian terdalam (intrakranial). Setiap komponen

yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan mekanisme yang terjadi.

Secara umum otak dilindungi oleh:

1. Kulit kepala (SCALP)

7

Page 8: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling

melekat dan bergerak sebagai satu unit. Kulit kepala terdiri dari:

Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar

sebacea.

Connective tissue atau jaringan penyambung, merupakan jaringan

lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari

m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung pembuluh

darah besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang

supratrokhlear dan supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah

depan, dan tiga cabang dari karotid eksternal-temporal superfisial,

aurikuler posterior, dan oksipital disebelah posterior dan lateral.

Pembuluh darah ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan

subkutis sehingga sukar berkontraksi atau mengkerut. Apabila

pembuluh ini robek, maka pembuluh ini sukar mengadakan

vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang

bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.

Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan suatu jaringan

fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu

menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan otot

frontalis dan otot occipitalis.

Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar,

menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium

(pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa v.

emmisaria yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan

sinus venosus intracranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat

membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam

tengkorak, sehingga pembersihan dan debridement kulit kepala

harus dilakukan secara seksama bila galea terkoyak.

Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan

tulang tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui

8

Page 9: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

sutura ini periosteum akan langsung berhubungan dengan

endosteum (yang melapisi permukaan dalam tulang tengkorak).

2. Tulang tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis

cranii (bagian terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi

di daerah ini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak

rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat

proses akselerasi dan deselarasi.

Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras

yang tidak memungkinkan terjadinya perluasan isi intracranial.

Tulang tengkorak terdapat tiga lapisan, yaitu tabula eksterna,

diploe, dan tabula interna. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan

dinding bagian dalam disebut tabula interna. Tabula interna

mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior, media dan

posterior.

Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fosa anterior

yang merupakan tempat lobus frontalis, fosa media yang merupakan

tempat lobus temporalis, fosa posterior yang merupakan tempat bagian

bawah batang otak dan cerebellum.

3. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri

dari 3 lapisan yaitu:

Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat

fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena

tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat

suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara

durameter dan arakhnoid yang kaya akan pembuluh vena, sehingga

apabila terjadi robekan pada dura, terjadi perdarahan yang akan

9

Page 10: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

menumpuk pada ruangan ini yang dikenal sebagai perdarahan

subdural.

Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan

tembus pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal

sebagai subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan

LCS.

Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada

permukaan korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh

darah halus, dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang

masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua girus.

Gambar 1. Tulang tengkorak dan meningen

II.1.3 Patologi Dan Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologinya, ada dua macam cedera otak, yaitu cedera

otak primer dan cedera otak sekunder.3 Cedera otak primer adalah cedera yang

terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu

fenomena mekanik.3 Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses

10

Page 11: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

yang berkelanjutan (on going process) sesudah atau berkaitan dengan cedera

primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Proses berkelanjutan tersebut

sebenarnya merupakan proses alamiah.3 Tetapi, bila ada faktor-faktor lain yang

mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk mencegah atau menghentikan proses

tersebut maka cedera akan terus berkembang dan berakhir pada kematian jaringan

yang cukup luas.3 Pada tingkat organ, akan berakhir dengan kematian/kegagalan

organ.3 Cedera otak sekunder disebabkan oleh keadaan-keadaan yang merupakan

beban metabolik tambahan pada jaringan otak yang sudah mengalami cedera

(neuron-neuron yang belum mati tetapi mengalami cedera).3

II.1.4 Pengelompokan Trauma Kapitis2

Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan

praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme,

tingkat beratnya cedera kepala serta berdasarkan morfologi. Dibawah ini

merupakan pengelompokan dasar cedera kepala:

Klasifikasi Cedera Kepala

Mekanisme Tumpul

Tembus

kecepatan tinggi (tabrakan

mobil)

kecepatan rendah (dipukul,

jatuh)

luka tembak, cedera

tembus lain

Beratnya

berdasarkan

skor GCS

ringan (mild head injury)

sedang (moderate head

injury)

berat (severe head injury)

GCS 14 -15

GCS 13 – 9

GCS 8 - 3

Morfologi Fraktur tengkorak:

Kalvaria

Dasar tengkorak

Garis vs bintang

Depresi/non depresi

Terbuka/tertutup

Dengan/tanpa kebocoran

11

Page 12: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

LCS

Dengan/tanpa paresis

NVII

Lesi intrakranial

Fokal

Difuse

epidural

subdural

intraserebral

konkusi

konkusi multipel

hipoksia/iskemik

II.1.5 Pengelolaan Cedera Kepala

II.1.5.1 Anamnesis 1

Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan, adanya riwayat

kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan.

Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari

tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan

kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-

kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau

kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.

Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :

1. Sifat kecelakaan.

2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.

3. Ada tidaknya benturan kepala langsung.

4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat

diperiksa.

Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak

sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui

kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya

12

Page 13: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun

kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

II.1.5.2 Pemeriksaan fisik

Tindakan terpenting yang pertama kali pada cedera kepala adalah survei

primer dengan menilai airway, breathing, circulation, baru setelah ABCD stabil

dilakukan pemeriksaan disability dengan menentukan GCS.4 ABC

menggambarkan status fungsi vital dan disability menggambarkan status

kesadaran pasien.4

1. Status fungsi vital6

Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai

ialah:

a. Jalan nafas airway dan Pernafasan breathing

Terhentinya pernapasan sementara dapat terjadi pada cedera otak

dan dapat mengakibatkan cedera otak sekunder. Jika penderita dapat

berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat

Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya sering

terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi karena adanya

benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur

tulang wajah, maka jalan nafas harus segera dibersihkan. Usaha untuk

membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical

spinecontrol), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi

yang berlebihan dari leher.

Pemasangan pipa naso/orofaring dilakukan untuk menjaga patensi

jalan napas. Pada penderita koma, intubasi endotrakeal segera dilakukan.

Pemberian oksigen 100% dilakukan sampai diperoleh hasil analisis gas

darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.

Tindakan hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang

menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif

atau terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35mmHg.

13

Page 14: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

b. Circulation

Hipotensi merupakan salah satu penyebab terjadinya perburukan

pada penderita cedera kepala. Bila terjadi hipotensi harus dilakukan

tindakan untuk menormalkan kembali tekanan darahnya. Hipotensi

biasanya tidak terjadi pada cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium

terminal dimana medulla oblongata sudah mengalami gangguan.

Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya syok,

terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thoraks,

trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah

yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala

awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut

disebabkan oleh hematom epidural.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa

tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat

dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai

warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi

perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status

sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala,

tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk

mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat

digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut

arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila

denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari

70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis

maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan

eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi

yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua

jalur intravena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera

sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak

dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang

berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah

14

Page 15: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan

bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

2. Status Kesadaran

Status kesadaran dilakukan dengan melakukan pemeriksaan GCS dan

fungsi pupil setelah status vital dalam keadaan stabil.

Glasgow Coma Scale

Jenis pemeriksaan Nilai

Respon buka mata (eye opening, E)

spontan

terhadap suara

terhadap nyeri

tidak ada

4

3

2

1

Respon motorik (M)

ikut perintah

melokalisir nyeri

fleksi normal (menarik anggota yang

diregang)

fleksi abnormal (dekortikasi)

ekstensi abnormal (deserebrasi)

tidak ada (flasid)

6

5

4

3

2

1

Respon verbal (V)

berorientasi baik

berbicara mengacau (bingung)

kata-kata tidak teratur

suara tidak jelas

tidak ada

5

4

3

2

1

Tingkat beratnya cedera kepala berdasarkan skor GCS :

1. Cedera Kepala Ringan6

15

Page 16: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Definisi: Pasien sadar dan berorientasi (GCS 14-15).

Riwayat:

Nama, jenis kelamin, ras, pekerjaan.

Mekanisme cedera.

Waktu cedera.

Tidak sadar segera setelah cedera.

Tingkat kewaspadaan.

Amnesia.

Nyeri kepala.

Pengelolaan:

Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik.

Pemeriksaan neurologis terbatas.

Radiografi tengkorak.

Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi.

Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik.

CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria

rawat.

Kriteria Rawat:

CT scan tidak ada.

CT scan abnormal.

Semua cedera tembus.

Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).

Nyeri kepala sedang hingga berat.

Intoksikasi alkohol atau obat.

Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea.

Fraktur tengkorak.

Cedera penyerta yang jelas.

Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan.

GCS <15.

Defisit neurologis fokal yang jelas.3

Dipulangkan dari UGD:

16

Page 17: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Pasien tidak memiliki kriteria rawat.

Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang

'lembar peringatan'

Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu

2. Cedera Kepala Sedang6

Definisi: Pasien mungkin confuse atau somnolen namun tetap mampu

untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).

Pengelolaan:

Sama dengan untuk cedera kepala ringan.

Pemeriksaan darah sederhana.

CT scan kepala

Rawat untuk pengamatan

Setelah dirawat:

Pemeriksaan neurologis periodik (setiap setengah jam).

CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan

neurologis atau penderita akan pulang.

Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala

berat .

Bila kondisi membaik:

Pulang bila memungkinkan

Kontrol di poliklinik biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan

bila perlu 1 tahun setelah cedera.

Bila kondisi memburuk:

Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan

pemeriksaan CT scan ulangan dan penatalaksanaaan sesuai cedera

kepala berat.

Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka

dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir

seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin

dengan kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.

17

Page 18: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Saat masuk UGD, riwayat singkat diambil dan stabilitas

kardiopulmonal dipastikan sebelum menilai status neurologisnya.

Tes darah termasuk pemeriksaan rutin, profil koagulasi, kadar alkohol

dan contoh untuk bank darah. Film tulang belakang leher diambil, CT

scan umumnya diindikasikan. Pasien dirawat untuk pengamatan

bahkan bila CT scan normal.

3. Cedera Kepala Berat6

Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti perintah bahkan perintah

sederhana karena gangguan kesadaran (GCS 8-3).

Pengelolaan:

ABCDE

Survie Primer dan resusitasi

survei Sekunder dan riwayat AMPLE

Reevaluasi neurologis: GCS dan Reaksi cahaya pupil

Obat-obat Terapeutik:

Manitol

Hiperventilasi (PCO2<35 mmHg)

Antikonvulsan

Tes Diagnostik: (desenden menurut yang diminati)

CT scan

Ventrikulogram udara

Angiogram

II.1.6 Terapi Medikamentosa untuk Cedera Otak2

II.1.6.1 Cairan Intravena

Cairan intravena diberikan dengan tujuan agar penderita dalam keadaan

normovolemia, jangan memberikan cairan hipotonik pada penderita dengan

cedera kepala.2 Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam

fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium juga harus dipertahankan untuk

mencegah terjadinya edema otak.2

18

Page 19: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

II.1.6.2 Hiperventilasi

Hiperventilasi dilakukan untuk menurunkan PCO2 yang akan

menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah otak.2 Selain itu, hiperventilasi

dilakukan dengan tujuan menekan metabolisme anaerob sehingga menekan

terjadinya asidosis.3 Hiperventilasi yang terlalu lama akan menyebabkan iskemia

otak karena adanya vasokonstriksi yang berat sehingga menimbulkan gangguan

perfusi ke otak.2 Oleh karena itu, hiperventilasi dilakukan secara moderat dan

hanya dalam waktu tertentu.2 Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 30 mmHg

atau sedikit diatas.2

II.1.6.3 Manitol

Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat dimana

manitol bekerja dengan cara "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang

intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.3. Indikasi pemberian

manitol adalah deteriorisasi neurologis akut seperti terjadi dilatasi pupil,

hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi.2 Sediaan

yang tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dosis yang

biasanya digunakan adalah 1 gram/kgBB yang diberikan secara bolus intravena.2

Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita dengan hipotensi karena

akan memperberat hipovolemia.2

II.1.6.4 Furosemid

Furosemid biasanya diberikan bersama dengan manitol untuk menurunkan

TIK.2 Dosis yang biasanya digunakan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus

intravena.2 Dosis tinggi furosemid tidak boleh diberikan pada penderita dengan

hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.2

II.1.6.5 Barbiturat

Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter

terhadap obat-obatan lain.2 Barbiturat bekerja dengan cara mem"bius" pasien

19

Page 20: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan

oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih

terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen

berkurang.3 Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat.2 Oleh karena itu,

obat ini tidak diberikan pada fase akut resusitasi.2

II.1.6.6 Antikonvulsan2

Ada 3 faktor utama yang berkaitan dengan insiden epilepsi pasca trauma,

yaitu kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial,

fraktur depresif. Pada beberapa penelitan menunjukkan, pemberian antikonvulsan

bermanfaat untuk menghindari kejang dalam minggu pertama setelah cedera

kepala tapi tidak setelah itu.

II.2 EPIDURAL HEMATOMA

II.2.1 Definisi

Epidural hematoma adalah penumpukan darah diantara dura dan tabula

interna dengan ciri berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.1,3

Epidural hematoma tanpa cedera lain biasanya disebabkan oleh robeknya arteri

meningea media.2

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang

paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak ditutupi oleh tulang

tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga dikelilingi oleh sesuatu yang berguna

sebagai pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,

20

Page 21: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika

seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk

suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau

robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh

darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura

dan tulang tengkorak, keadaan inilah yang dikenal dengan sebutan epidural

hematom.8,9,10

Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergensi

dan biasanya berhubungan dengan fraktur linear yang memutuskan arteri yang

lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom

berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.

Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak dibawah

tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi

perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.

II.2.2 Insiden Dan Epidemiologi

Angka kejadian epidural hematoma berkisar antara 1-3% dari trauma

kepala. Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan

hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara internasional

frekuensi kejadian hematom epidural hampir sama dengan angka kejadian di

Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang

memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.(9)

Di dunia, terdapat 60 % penderita epidural hematom adalah berusia

dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan diatas 60

tahun karena dekatnya lapisan duramater dan tengkorak pada kedua populasi ini.10

Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan

lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan

dengan perbandingan 4:1.10 Sedangkan menurut ras, tidak ada yang dominan.2,3,4

Tipe- tipe : 13

1. Epidural hematom akut (58%) perdarahan dari arteri.

2. Subakut hematom ( 31 % ).

3. Kronik hematoma ( 11%) perdarahan dari vena .

21

Page 22: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

II.2.3 Etiologi

Penyebab dari epidural hematoma biasanya adalah trauma akibat benturan

mekanis yang menyebabkan fraktur kalvaria, meskipun perdarahan spontan dapat

juga terjadi. Perdarahan pada epidural hematoma sebagai hasil dari proses trauma

akselerasi dan deselerasi dan kekuatan tranversal. Fraktur ini merusak arteri

meningeal media atau sinus dural.10

Duramater terpisah dari lapisan dalam tengkorak. Ruang epidural yaitu

ruang di antara epidural dan lapisan dalam tengkorak merupakan tempat potensial,

yang terbentuk hanya jika sesuatu memisahkan duramater dari lapisan dalam

tengkorak. Atas alasan inilah, epidural hematoma memiliki gambaran bikonveks

seperti lensa, terbentuk jika darah mendorong duramater ke arah dalam,

membentuk kantung darah yang terperangkap di antara duramater dan bagian

dalam tengkorak.11

Regio temporoparietal yang dilewati a. meningea media adalah regio yang

paling sering mengalami epidural hematoma karena sangat tipis dan mudah untuk

terjadi fraktur.10,11 Epidural hematoma biasanya ditemukan pada sisi yang sama

dengan sisi yang mengalami trauma, namun pada kasus yang sangat jarang dapat

juga terjadi trauma contracoup.11 Kurang lebih 90% dari epidural hematoma

disebabkan oleh trauma dengan fraktur tulang tengkorak yang menyeberangi

bagian dari arteri atau vena meningea media. Terjadi robekan pada arteri

meningea media pada 60% kasus.12

Epidural hematoma juga dapat terjadi karena adanya efek massa, laserasi

sinus dura atau fraktur yang melewati ruang diploik yang menyebabkan

perdarahan vena di dalam ruang epidural. Hematoma jenis ini paling sering terjadi

pada lokasi sinus dura di regio parietookspital.

Penyebab lain yang dapat menyebabkan epidural hematoma adalah

gangguan koagulasi, trombolisis, lumbar puncture, anestesi epidural, penyakit

hepar dengan hipertensi portal, kanker, malformasi vaskular, herniasi diskus

spinalis.8

II.2.4 Patofisiologi

22

Page 23: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan

duramater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu

cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur

tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah

frontal atau oksipital.2,10

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen

spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporal.

Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematom

akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom

bertambah besar. 13

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada

lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian

medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini

menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim

medis.8

Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengubah formasi

retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini

terdapat nuklei saraf kranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini

mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan

kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan

respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda

babinski positif.8

Dengan makin membesarnya hematom, maka seluruh isi otak akan

terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang besar.

Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain kekakuan

deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.8

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus

keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur

mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu

beberapa jam penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat,

kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran

23

Page 24: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut lucidinterval.

Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada epidural

hematom. Kalau pada subdural hematom cedera primernya hampir selalu berat

atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval

karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase

sadar. 10,11

Sumber perdarahan : 10,11

Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )

Sinus duramatis

Diploe (lubang yang mengisisi kalvaria kranii) yang berisi a. Diploica dan

vena diploica

1. Os Temporale

2. Hematom Epidural

3. Duramater

4. Otak terdorong kesisi lain

Gambar 2. Hematom Epidural

Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media, terletak

antara duramater dan lamina interna tulang pelipis.

24

Page 25: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah

saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada

sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah

herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala

yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat,

harus segera dirawat dan diperiksa dengan teliti.1,2,11

II.2.5 Gambaran Klinis

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.

Sekitar sepertiga penderita epidural hematoma mengalami lucid interval pada

pemeriksaan neurologis, dimana pasien akan mengalami interval dimana

kesadarannya berubah dari tidak sadar menjadi sadar. Kemudian dengan

bertambahnya volume hematoma, tekanan intracranial akan meningkat sehingga

pasien akan mengalami letargi dan herniasi. Herniasi ini akan menyebabkan

pasien mengalami palsy nervus III ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.2

Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali disertai memar di sekitar mata dan di

belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar dari lubang hidung atau

telinga. Pasien seperti ini harus diobservasi dengan teliti.

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat

dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera

kepala, antara lain:

Penurunan kesadaran, bisa sampai koma karena adanya massa bebas (lucid

interval atau talk and die presentation)

Bingung

Penglihatan kabur

Susah bicara

Nyeri kepala yang hebat

Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

Tampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala

Mual

Pusing

25

Page 26: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Berkeringat

Pucat

Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi fixed (tidak ada reaksi cahaya)

dan midriasis

Timbulnya kelumpuhan (hemiparesis) pada sisi yang berlawanan dengan sisi

trauma

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese

atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai

maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah

tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan

bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil

kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak

menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala

respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi

rostrocaudal batang otak. Jika epidural hematoma disertai dengan cedera otak

seperti memar otak, lucid interval tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda

lainnya menjadi kabur.

Selain itu, gambaran klinis lainnya berupa luka kepala. Pada luka kulit

kepala, terjadi kehilangan darah yang signifikan. Penatalaksanaan pertama yang

perlu dilakukan adalah dengan bebat tekan yang akan mengontrol perdarahan. Jika

terjadi laserasi simpel, seharusnya diirigasi dan ditutup terlebih dahulu. Jika

laserasi pendek, dilakukan penjahitan percutaneous dan jika laserasi panjang,

maka memerlukan debridement dan penutupan luka di kamar operasi.

Di samping itu, fraktur kranium juga dapat terjadi pada EDH.

Karakteristik fraktur dapat ditemukan dengan x-ray kranium ataupun dengan CT

scan. Fraktur tertutup adalah fraktur yang ditutupi oleh kulit yang intak.

Sedangkan fraktur terbuka adalah fraktur yang langsung berhubungan dengan

dunia luar dengan kulit yang robek. Garis fraktur bisa linear, stellate, atau

comminuted. Fraktur yang melewati arteri meningea dapat menyebabkan ruptur

arteri dan kemudian menyebabkan epidural hematoma. Fraktur kranium depresif

26

Page 27: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

dapat menyebabkan focal injury. Pada fraktur ini, craniotomy dibutuhkan untuk

memperbaiki fraktur, duramater, dan kemudian memperbaiki hemostasis.

Fraktur basis kranii dapat terjadi pada pasien trauma kepala. Hal ini

biasanya terlihat pada CT scan. Fraktu basis kranii biasanya memberikan

gambaran klinis berupa déficit nervus kranial dan keluarnya cairan serebrospinal.

Fraktur os temporal dapat merusak nervus facial ataupun nervus

vestibulokoklearis, yang kemudian menyebabkan vertigo, tuli ipsilateral, dan

paralisis facial. Selain itu, juga dapat terjadi keluarnya cairan serebrospinal dari

telinga (otorrhea), keluarnya darah dari belakang telinga yang disebabkan oleh

adanya ekimosis, yang disebut juga battle’s sign. Fraktur pada basis kranii

anterior menyebabkan adanya anosmia (hilangnya kemampuan penciuman yang

terjadi karena rusaknya nervus olfaktorius), keluarnya cairan serebrospinal dari

hidung (rhinorrhea), atau ekimosis pada periorbital yang disebut raccoon eyes.2

II.2.6 Gambaran Radiologi

1. Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural

hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang

mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong

sulcus arteri meningea media. Sebaiknya foto ini hanya dilakukan pada cedera

kepala ringan yang disertai dengan:

a. Riwayat pingsan atau amnesia

b. Adanya gejala neurologis seperti diplopia, vertigo, muntah, atau sakit

kepala

c. Adanya tanda neurologis seperti hemiparesis

d. Adanya otorrhea atau rhinorrhea

e. Adanya kecurigaan luka tembus kepala

f. Adanya kecurigaan intoksikasi obat atau alkohol

27

Page 28: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

2. Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan

potensi cedara intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja

(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonveks

atau lesi hiperdens lentikuler, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas

darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi

kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematom, densitas

yang tinggi pada stage yang akut (60 – 90 HU), ditandai dengan adanya

peregangan dari pembuluh darah.11

Indikasi pemeriksaan CT scan pada penderita cedera kepala:

a. GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran > 1 point selama observasi

b. Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak

c. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii

d. Disertai dengan kejang

e. Adanya tanda neurologis fokal

f. Sakit kepala yang menetap

Pada pemeriksaan CT Scan kepala, akan ditemukan gambaran sebagai

berikut:

a. Hiperdens ellips yang bikonveks dengan batas tegas

b. Densitas yang bervariasi menunjukkan adanya perdarahan aktif

c. Hematoma tidak menyebrangi garis sutura kecuali jika terjadi fraktur

sutura yang diastatik

d. Dapat memisahkan sinus vena dari cranium; epidural hematoma

merupakan satu-satunya bentuk perdarahan intrakranial yang dapat

memberikan gambaran seperti ini.

e. Adanya efek massa yang bergantung pada ukuran perdarahan dan

berhubungan dengan edema.

f. Perdarahan vena dapat memberikan gambaran yang lebih bervariasi.

g. Garis fraktur yang berkaitan dapat dilihat.

28

Page 29: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Gambar 3. CT scan dengan hasil EDH di regio temporoparietal

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser

posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat

menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis

pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.11

II.2.7 Diagnosis Banding

1. Subdural Hematoma

Subdural hematoma terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura

mater dan arachnoid. Secara klinis subdural hematoma akut sukar dibedakan

dengan epidural hematoma yang berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh

trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak

mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan

perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan subdural hematoma, tampak

penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.

29

Page 30: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Gambar 4. Subdural hematoma

2. Subarakhnoid hematoma

Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh

darah di dalam subarachnoid.

Gambar 5. Subarakhnoid hematoma

II.2.7 Penatalaksanaan

1. Primary survey dan resusitasi2

a. Airway

Jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing, lender, atau darah.

Terhentinya pernafasan sementara dapat terjadi pada cedera otak, dan

dapat mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus

segera dilakukan pada penderita koma.

b. Breathing

30

Page 31: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Pada penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%.

Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita

cedera otak berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut.

c. Circulation

Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri,

kecuali pada stadium terminal dimana medulla oblongata sudah

mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial tidak dapat menimbulkan

syok hemoragik. Hipotensi menunjukkan adanya kehilangan darah yang

cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.

2. Pemeriksaan neurologis2

Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status

kardiopulmoner penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan reflex

cahaya pupil. Pada penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan

merangsang/mencubit otot trapezius atau menekan dasar kuku penderita.

3. Secondary survey1,2,3,10

Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus

selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari

herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil

terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata sering merupakan penyebab

abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit.

Setelah kondisi stabil, maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

1.) Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan

darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu

dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang

terutama untuk membuka jalur intravena, gunakan cairan NaCl 0,9%

atau dextrose in saline.

31

Page 32: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

2.) Mengurangi edema serebri

Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

a. Cairan intravena

Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar

penderita tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan

hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun harus

diperhatikan untuk tidak memberikan cairan yang berlebihan.

Jangan berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang

mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang

berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang

dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau

atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan

untuk mencegah terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah

mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari

hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa

digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan

edema otak.

b. Hiperventilasi

Bertujuan untuk menurunkan PCO2 darah sehingga

mencegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen

yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob,

sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat

diperiksa, PO2 dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2 diantara 25-

30 mmHg.

c. Cairan hiperosmoler

Umumnya digunakan cairan manitol 20% per infus untuk

"menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular

untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh

efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang

cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,25-1 gram/kg

BB dalam 10-30 menit, secara bolus intravena.2. Cara ini berguna

32

Page 33: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus

biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat

dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau

keesokan harinya.

d. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya

sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini

cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang

bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan

pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis

parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason

pernah dicoba dengan dosis awal 10 mg sampai 100 mg bolus yang

kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam. Selain itu juga

Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan

Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

e. Barbiturat

Digunakan untuk ”membius” pasien sehingga metabolisme

otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen

juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif

lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksia,

walaupun suplai oksigen berkurang (efek protektif terhadap otak

dari anoksia dan iskemik ). Cara ini hanya dapat digunakan dengan

pengawasan yang ketat.

Barbiturat juga dapat dipakai untuk mengatasi tekanan

inrakranial yang meninggi. Dosis yang biasa diterapkan adalah

diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian

dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1

mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.10

f. Fenitoin

Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan

fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah

33

Page 34: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka

panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.

g. Cara lain

Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai

1500-2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada

laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur dengan kepala (dan

leher) yang diangkat 30° akan menurunkan tekanan intrakranial

dan meningkatkan drainase vena.

Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang

berbaring lama adalah:

- kepala dan leher diangkat 30°

- sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°

- telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai

bawah

3.) Obat-obat neurotropik

Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu

mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada

keadaan koma.

a. Piritinol

Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6)

yang dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki

struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan dalam

dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian

intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.

34

Page 35: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

b. Piracetam

Piracetam merupakan senyawa mirip GABA, suatu

neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12

gram/ hari intravena.

c. Citicholine

Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak.

Lecithin sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan

neurotransmiter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-500

mg/hari intravena.

4.) Terapi Operatif

Operasi di lakukan bila terdapat:

Volume hematoma > 25 ml

Keadaan pasien memburuk

Pendorongan garis tengah > 3 mm

Penanganan darurat dengan cara:

Dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole).

Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma.

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving

dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka

operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini

disebabkan oleh lesi desak ruang.

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

> 25 cc à desak ruang supra tentorial

> 10 cc à desak ruang infratentorial

> 5 cc à desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang

signifikan :

Penurunan klinis

35

Page 36: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm

dengan penurunan klinis yang progresif

Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm

dengan penurunan klinis yang progresif

5.) Konservatif

Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik

konservatif, karena pembedahan tidak akan membawa hasil lebih baik.

Kriteria trauma kapitis yang hanya memerlukan penatalaksanaan

konservatif adalah sebagai berikut:

a. Fraktura basis cranii - ditandai adanya memar biru hitam pada

kelopak mata

b. Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (Battle’s sign)

dan atau kebocoran

c. cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.

d. Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer

e. Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan

tulang yang

f. Menembus dura dan jaringan otak

g. Hematoma intracerebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut

atau progresif akibat contusio.

II.2.8 Komplikasi

1. Coagulopathy

Besarnya angka kejadian koagulopati pada pasien trauma kepala sudah

diketahui dengan jelas. Investigasi pada anak-anak yang mengalami trauma

kepala, menunjukkan hasil bahwa 71% nya memiliki clotting test yang

abnormal dan 32% nya mengalami sindrom disseminated intravascular

coagulation and fibrinolysis (DICF).

2. Tromboemboli

36

Page 37: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Pasien dengan trauma kepala memiliki resiko tinggi deep venous

thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism (PE). Berdasarka penelitian,

didapatkan 4.3% pasien dengan trauma kepala didiagnosa DVT.

II.2.9 Prognosis10

Prognosis tergantung pada:

Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

Besarnya

Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis epidural hematoma biasanya baik,

karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka mortalitas

epidural hematoma lebih rendah, sebesar 10%, dibandingkan dengan subdural

hematoma atau secara keseluruhan berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-

10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum

operasi.

BAB III

ANALISIS KASUS

Seorang anak laki-laki usia 11 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan

utama penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas. Dari alloanamnesa

didapatkan bahwa ± 7 jam sebelum masuk rumah sakit, motor yang dikendarai

penderita diserempet oleh motor lain dari arah samping kanan, motor penderita

tergelincir dan terjatuh ke kiri. Penderita terjatuh dengan kepala sebelah kiri

membentur benda keras. Muntah (+), kejang (-), perdarahan THT (-). Penderita

tidak memakai helm. Kemudian penderita dibawa RSMH.

37

Page 38: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Gambaran klinis dari riwayat perjalanan penyakit penderita di atas

memberi gambaran bahwa terjadi suatu trauma langsung pada kepala dimana

kepala penderita membentur benda keras. Trauma yang dialami secara tiba-tiba

pada kepala tersebut mengakibatkan penekanan yang sangat kuat sehingga

menimbulkan penurunan kesadaran serta mual dan muntah yang merupakan efek

peningkatan tekanan intrakranial.

Pada pemeriksaan fisik survei primer didapatkan airway baik, breathing

dan circulation dalam batas normal. Penilaian airway didasarkan pada tanda-tanda

obyektif untuk menilai jalan nafas yaitu pada look, dimana penderita tidak

mengalami hipoksia / sianosis pada daerah kuku dan sekitar mulut. Sedangkan

pada listen tidak ditemukan suara berkumur (gurgling) yang menunjukkan adanya

lendir, muntahan, darah, dan lain-lain di dalam mulut), tidak ditemukan snoring

(suara mendengkur – menunjukkan adanya sumbatan jalan nafas atas dimana

lidah jatuh ke posterior faring), crowing atau stridor (bersiul – menunjukkan

adanya sumbatan di saluran nafas bawah terutama pada bronkus akibat adanya

benda asing), hoarness (suara parau – menunjukkan sumbatan pada laring yang

biasa terjadi akibat edema laring). Penderita juga dapat mengucapkan kata dengan

jelas sehingga menyingkirkan kemungkinan obstruksi jalan nafas. Pada airway

juga diperhatikan stabilitas tulang leher dan segera dilakukan pemberian oksigen

dengan sungkup muka atau kantung nafas.

Pada penilaian breathing dilakukan pemeriksaan berupa look yaitu tidak

ditemukan tanda-tanda seperti sianosis, luka tembus dada, flail chest, gerakan otot

nafas tambahan, pada feel tidak terlihat pergeseran letak trakea, patah tulang iga,

emfiema kulit, dan dengan perkusi tidak ditemukan hemotoraks dan atau

pnemutoraks, sedangkan pada listen tidak didapatkan suara nafas tambahan, suara

nafas menurun, dan dinilai frekuensi pernapasan yang berada dalam batas normal

(RR normal : 16-24 kali/menit).

Pada circulation dalam batas normal, dinilai dari tekanan darah 100/70

mmHg dan frekuensi nadi yang dalam batas normal yaitu 78 kali/menit (Frekuensi

nadi normal = 60-100 kali/menit). Setelah dilakukan pemeriksaan ABC dalam

keadaan stabil, maka dilakukan penilaian disability berupa penilaian menurut

38

Page 39: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

Glasgow Coma Scale (GCS) didapatkan nilai Eye = 3, nilai Motorik = 6, dan nilai

Verbal = 4 sehingga jumlahnya 13, sementara pada pemeriksaan pupil didapatkan

pupil isokor dan refleks cahaya +/+. Dari hasil pemeriksaan survei sekunder pada

regio temporalis sinistra didapatkan hematom (+), luka lecet di regio zygomatic

dextra sebesar ± 4x2 cm dan regio cruris 1/3 inferior lateral sinistra sebesar ± 4x3

cm.

Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologis yaitu CT-Scan

kepala dimana ditemukan kesan berupa EDH lobus temporalis sinistra dan edema

serebri. Pemeriksaan darah rutin dalam batas normal.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat

didiagnosis dengan cedera kepala sedang tertutup GCS 13, EDH lobus temporalis

sinistra dan edema serebri. Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini yaitu

dilakukan dengan pemberian O2 sungkup untuk melakukan hiperventilasi yang

berguna memperbaiki sirkulasi intrakranial dan memberi oksigen sehingga

pemenuhan oksigen dalam darah ke otak terpenuhi dengan cukup. Pemasangan

IVFD NaCl 0,9 % dilakukan untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan

normovolemia, mencegah edema otak menjadi lebih parah dan agar mudah dapat

memasukkan obat melalui parenteral. Analgetik diberikan untuk mengurangi

nyeri yang timbul akibat benturan. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi

akibat luka lecet atau luka robek yang dialami. Kemudian harus dilakukan

craniotomy untuk mengevakuasi darah yang berada intrakranial dan menyetop

perdarahannya.

Prognosis pasien ini quo ad vitam adalah dubia ad bonam, artinya

penderita mendapat tindakan life saving yang cepat dan tepat maka kemungkinan

mortalitasnya dapat ditekan dan cedera otak sekunder dapat dihindari. Quo ad

functionam penderita ini adalah dubia ad bonam artinya dengan penanganan yang

cepat maka sequele pasca trauma kepala dapat ditekan seminimal mungkin.

39

Page 40: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauzi, Al Azral. Penanganan Cedera Kepala. Available from URL http://

www.pus-1.com?med/topic/20html.

2. American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support. Edisi Ketujuh.

United States of America, 1997.p: 167-165.

3. Riyanto, Budi dr. Penanganan Cedera Kepala Fase Akut. Available from URL

http:// cerminduniakedokteran.co.id.

4. Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian

3.EGC.Jakarta : p: 250-255.

5. Cedera Kepala. Available from URL http:// www.anglefire.com.

40

Page 41: CASE MITHA_CKS + EDH Lobus Temporal Sinistra

6. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,

Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016

7. Anonym, Epidural hematoma, www.braininjury.com / epidural-subdural-

hematoma.html.

8. Anonym,Epidural hematoma, www.nyp.org

9. Anonym, Intrakranial Hemorrhage, www.ispub.com

10. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D.

EGC, Jakarta, 2004, 818-819

11. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com

12. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314

13. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi

Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259

14. Price D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com

41