acara iii bil.peroksida (autosaved)

27
ACARA III EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP MINYAK GORENG A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai alat pengolahan bahan-bahan makanan. Kebutuan minyak goreng semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, sehingga minyak goreng bekas yang dihasilkan semakin meningkat pula. Minyak goreng bekas adalah minyak goreng yang telah dipakai berulang kali, sehingga warnanya menjadi gelap dan kehitaman. Penggunaan minyak nabati berulang kali sangat membahayakan kesehatan. Hal ini dikarenakan selain semakin banyaknya kotoran yang terkandung dalam minyak goreng akibat penggorengan bahan makanan sebelumnya dan semakin banyaknya senyawa – senyawa asam karboksilat bebas di dalam minyak. Penggorengan yang berulang menyebabkan warna minyak goreng yang semakin tidak jernih dan terjadi penurunan mutu pada minyak akibat meningkatnya bilangan peroksida. Bilangan peroksida merupakan indikator terjadinya ketengikan pada produk yang memiliki

Upload: deviy-novitasary-s

Post on 03-Jan-2016

211 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

ACARA III

EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP MINYAK

GORENG

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia

sebagai alat pengolahan bahan-bahan makanan. Kebutuan minyak goreng

semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia,

sehingga minyak goreng bekas yang dihasilkan semakin meningkat pula.

Minyak goreng bekas adalah minyak goreng yang telah dipakai berulang

kali, sehingga warnanya menjadi gelap dan kehitaman.

Penggunaan minyak nabati berulang kali sangat membahayakan

kesehatan. Hal ini dikarenakan selain semakin banyaknya kotoran yang

terkandung dalam minyak goreng akibat penggorengan bahan makanan

sebelumnya dan semakin banyaknya senyawa – senyawa asam karboksilat

bebas di dalam minyak. Penggorengan yang berulang menyebabkan

warna minyak goreng yang semakin tidak jernih dan terjadi penurunan

mutu pada minyak akibat meningkatnya bilangan peroksida.

Bilangan peroksida merupakan indikator terjadinya ketengikan

pada produk yang memiliki kandungan lemak. Meningkatnya bilangan

peroksida disebabkan karena adanya reaksi oksidasi pada asam lemak

tidak jenuh akibat proses pemanasan. Apabila bilangan peroksida ini

semakin tinggi maka suatu bahan pangan akan berbau semakin tengik.

Selain itu, syarat mutu minyak juga diukur berdasarkan spesifikasi standar

mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi,

logam tembaga, angka peroksida, dan ukuran pemucatan. Dalam

praktikum kali ini akan dilakukan pengujian mutu minyak dengan menilai

sifat-sifat fisik dan kimia, yaitu dengan mengevaluasi bilangan peroksida

dan titik asapnya.

Page 2: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

2. Tujuan

Tujuan dari praktikum acara “Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik

Asap Minyak Goreng” ini adalah

1. Menentukan bilangan peroksida dan titik asap pada minyak goreng.

2. Mengetahui pengaruh bilangan peroksida dan titik asap terhadap

kualitas minyak goreng.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Penggorengan merupakan proses thermal-kimia yang menghasilkan

karakteristik makanan goreng dengan warna coklat keemasan, tekstur krispi

penampakan dan flavor yang diinginkan, sehingga makanan gorengan sangat

popular. Salah satu fenomena yang dihadapi dalam proses penggorengan

adalah menurunnya kualitas minyak setelah digunakan secara berulang pada

suhu yang relatif tinggi (160-180ºC). Paparan oksigen dan suhu tinggi pada

minyak goreng akan memicu terjadinya reaksi oksidasi. Minyak goreng curah

selama ini didistribusikan dalam bentuk tanpa kemasan yang berarti bahwa

minyak goreng curah sebelum digunakan banyak terpapar oksigen.

Penggunaan minyak goreng dalam praktek penggorengan di rumah tangga

maupun pedagang kecil dilakukan secara berulang-ulang, hal tersebut sangat

memungkinkan terjadinya reaksi oksidasi yang lebih tinggi (Aminah, 2010).

Oksidasi lemak adalah penyebab utama penurunan kualitas makanan.

Lemak rentan terhadap proses oksidatif dengan sistem katalitik seperti

cahaya, panas, enzim, logam, metalloprotein dan mikroorganisme, sehingga

menimbulkan perkembangan off-flavour dan hilangnya asam amino esensial,

vitamin yang larut dalam lemak, dan bioaktif lainnya. lipid

dapat mengalami autoksidasi, fotooksidasi, oksidasi termal, dan enzimatik

oksidasi dalam kondisi yang berbeda, sebagian besar yang melibatkan

beberapa jenis radikal bebas atau spesies oksigen. Autoksidasi adalah proses

yang paling umum yang menyebabkan kerusakan oksidatif dan

didefinisikan sebagai reaksi spontan oksigen dengan lipid.

Proses ini dapat dipercepat pada suhu tinggi, seperti yang dialami selama

Page 3: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

deep frying, yang disebut oksidasi termal, dengan peningkatan asam lemak

bebas (Shahidi, dkk, 2005).

Beberapa faktor dapat dikendalikan untuk mengurangi jumlah

oksidasi yang terjadi pada minyak. Faktor pertama adalah suhu, oksidasi

dapat dikendalikan dengan mengurangi suhu sampai serendah mungkin

pada pengolahan, pengiriman dan pembuatan. Paparan oksigen (di udara)

akan menjadi katalis untuk produksi radikal bebas. Oleh karena itu oksigen

perlu dikontrol, untuk mengurangi oksidasi, segel semua kontainer dengan

ruang atas sekecil mungkin, mengurangi daerah minyak kontak dengan udara

dan menutupi minyak dengan gas inert (seperti nitrogen). Cahaya (UV) dapat

memicu reaksi oksidatif. Mengurangi kontak minyak dengan cahaya

langsung menggunakan kaca coklat / wadah plastik atau kantong plastik

hitam. Moisturein kombinasi dengan faktor-faktor lain yang dapat

mempercepat oksidasi. Jika mungkin membatasi jumlah air dalam minyak

kurang dari 0,2 % (Miller, 2010).

Meningkatnya bilangan peroksida disebabkan karena adanya reaksi

oksidasi pada asam lemak tidak jenuh akibat proses pemanasan. Asam lemak

tidak jenuh yang terdapat dalam kelapa adalah asam lemak palmitat, oleat dan

linoleat. Semakin tinggi suhu yang digunakan akan mempercepat terjadinya

proses oksidasi. Bilangan peroksida berhubungan dengan nilai FFA, pada

suhu pemanasan 80-90oC nilai FFA juga mengalami peningkatan. Bilangan

peroksida merupakan indikator terjadinya ketengikan pada produk yang

memiliki kandungan lemak. Semakin tinggi bilangan peroksida, maka

semakin tinggi tingkat ketengikan suatu bahan pangan (Sukasih, dkk. 2009).

Dekomposisi produk yang tidak diinginkan juga terbentuk karena

interaksi antara bahan-bahan makanan dan minyak yang akan mempengaruhi

rasa produk makanan, warna dan umur simpan. Namun, mengulangi

menggunakan minyak goreng dapat mempengaruhi kualitas makanan dan

memicu pembentukan senyawa yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia

dan menyebabkan gorengan memiliki umur simpan yang terbatas karena

perkembangan ketengikan pada saat menggoreng minyak yang diambil oleh

Page 4: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

produk. Setelah proses penggorengan, konsumen khawatir tentang kualitas

minyak dari aspek warna, titik asap dan tingkat ketengikan (Fan, dkk, 2013).

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat

kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat

oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida

ini dpat ditentukan dengan metode iodometri. Cara yang sering digunakan

untuk menentukan bilangan peroksida berdasarkan pada reaksi antara alkali

iodida dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan paa

rekasi ini, kemudian dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat. Penentuan

peroksida ini kurang baik dengan cara iodometri biasa meskipun peroksida

bereaksi sempurna dengan alkali iod. Hal ini disebabkan karena peroksida

jenis lainnya hanya bereaksi sebagian. Di samping itu dapat terjadi kesalahan

yang disebabkan oleh reakasi antara alkali iodida dengan oksigen di udara

(Ketaren, 1986).

Oksidasi lemak dapat berlangsung melalui tiga jalan yaitu autooksidasi,

fotooksidasi, dan oksidasi enzimatis. Proses oksidasi lemak dan lemak pda

prinsipnya merupakan pemecahan yang terjadi di sekitar ikatan rangkap

(tidak jenuh) dalammolekul gliserida penyusun minyak dan lemak. Tentu saja

semakin tidak jenuh atau semakin banyak ikatan rangkap dalam molekulnya

yang ditentukan oleh macam-macam lemak penyusun struktur trigliserida

maka minyak dan lemak itu sama peka terhadap pemecahan oksidatif. Jalan

lain oksidasi lemak tak jenuh berkaitan dengan adanya cahaya dan

sensitisator seperti klorofil. Sedangkan oksidasi lemak jenuh dapat dikatalis

oleh lipoksigenase (Cahyadi, 2006).

Ada 2 tipe kerusakan minyak/lemak yang utama yaitu ketengikan dan

hidrolisis. Ketengikan terjadi bila komponen cita rasa dan bau yang mudah

menguap terbentuk sebagai akibat keruskan oksidatif dari lemak dan minyak

yang tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan ciat rasa

yang tak diinginkan dalam lemak/minyak dan produk-poduk yang

mengandung minyak/lemak. Hidolisis minyak atau lemak menghasilkan

asam-asam lemak bebas yang dpat mempengaruhi cita rasa dan bau daripada

Page 5: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

bahan itu. Hidrolisis dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau

minyak atau karena adanya kegiatan enzim (Buckle,1985).

Jika lemak atau minyak dipanaskan sampai suhu tertentu akan mulai

mengalami dekomposisi menghasilkan kabut berwarna biru atau

menghasilkan asap dengan bau karakteristik yang menusuk. Kebanyakan

lemak dan minyak mulai berasap pada suhu di atas 200oC. Umumnya,

minyak nabati mempunyai titik asap lebih tinggi daripada lemak hewani.

Dekomposisi trigliserida menghasilkan sejumlah kecil gliserol dan asam

lemak. Gliserol mengalami dekomposisi lebih lanjut menghasilkan senyawa

yang dinamakan akrolein. Proses dekomposisi ini tidak dapat berlangsung

balik dan sewaktu menggunakan lemak atau minyak untuk menggoreng,

hendaknya suhu penggorengan agar selalu dibawah titik asap. Ttitik asap

bermanfaat dalam menentukan minyak atau lemak yang sesuai untuk

keperluan menggoeng. Pemanasan ulang lemak atau minyak dan terdapatnya

bagian-bagian makan yang hangus akan menurunkan titik asap. Pemanasan

ulang juga akan mengakibatkan perubahan oksidatif dan hidrolitik pada

lemak dan minyak akibat akumulasi substansi yang akan memberikan flavor

yang tidak disukai (Gaman dan Sherrington, 1981).

Kerusakan lemak yang utama dalah timbulnya bau dan rasa tengik yang

disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam

lemak tidak jenuh dalam lemak.

Page 6: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh

mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut

disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida.

Kemudian radikal ini dengan O2 membentuk peroksida aktif yang dapat

membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah

menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi

tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa-senyawa dengan rantai C

lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang

bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak (Winarno, 2008).

C. METODOLOGI

1. Alat

a. Pipet tetes

b. Pipet 20 ml

c. Pipet 1 ml

d. Buret 50 ml

e. Gelas ukur 100 ml

f. Erlemeyer

g. Hot plate

h. Thermometer

i. Neraca analitik

j. Erlenmeyer 250 ml

2. Bahan

a. Minyak sawit

Minyak sawit baru

Minyak sawit bekas tempe 1x

Minyak sawit bekas tempe 3x

Minyak sawit bekas tempe 5x

Minyak sawit bekas tempe 7x

Minyak sawit bekas tempe gosong

Minyak sawit bekas goreng kerupuk

Minyak sawit bekas goreng ikan

b. Asam asetat glacial

c. Kloroform

d. KI jenuh

e. Aquadest

Page 7: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

Ditimbang 5 gr sampel minyak ke dalam Erlenmeyer 250 ml

Ditambahkan 1 ml indikator amilum

Erlemeyer dibungkus aluminium foil

Ditambahkan 30 ml aquadest

Dititrasi dengan larutan Na-tiosulfat 0,01N

Ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh, didiamkan selama 2 menit di dalam ruang gelap sambil digoyang

Ditambahkan 30 ml pelarut (60% asam asetat glacial + 40% kloroform), dikocok sampai semua sampel minyak larut

Diambil 50 ml sampel minyak

Dicatat waktu mulai terbentuknya asap

Dipanaskan minyak di atas hot plate

Ditaruh ke dalam erlemeyer

f. Na-tiosulfat 0,01N

g. Air

h. Amilum

3. Cara Kerja

a. Penentuan Bilangan Peroksida

b. Penentuan Titik Asap

Page 8: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3.1 Penentuan Bilangan Peroksida

Kel. Sampel ts (ml) tb (ml) Angka Peroksida

1 & 9 Minyak sawit baru 0,2 0 0,42 &10 Minyak bekas tempe 1x 0,3 0 0,63 & 11 Minyak bekas tempe 3x 0,5 0 14 & 12 Minyak bekas tempe 5x 0,5 0 15 & 13 Minyak bekas tempe 7x 0,4 0 0,86 & 14 Minyak bekas tempe gosong 0,8 0 1,67 & 15 Minyak bekas goreng

kerupuk0,7 0 1,5

8 & 16 Minyak bekas goreng ikan 0,6 0 1,2Sumber : Laporan Sementara

Penggorengan merupakan proses thermal-kimia yang menghasilkan

karakteristik makanan goreng dengan warna coklat keemasan, tekstur krispi

penampakan dan flavor yang diinginkan, sehingga makanan gorengan sangat

popular. Penggunaan minyak goreng berulang kali akan mengakibatkan

kerusakan minyak. Berbagai macam reaksi yang terjadi selama proses

penggorengan seperti reaksi oksidasi, hidrolisis, polimerisasi, dan reaksi

dengan logam dapat mengakibatkan minyak menjadi rusak. Kerusakan

tersebut menyebabkan minyak menjadi berwarna kecoklatan, lebihkental,

berbusa, berasap, serta meninggalkan odor yang tidak disukai pada makanan

hasil gorengan. Perubahan akibat pemanasan tersebut antara lain disebabkan

oleh terbentuknya senyawa yang bersifat toksik dalam bentuk hidrokarbon,

asam asam lemak hidroksi, epoksida, senyawa-senyawa siklik, dan senyawa

senyawa polimer (Ketaren, 1986).

Mutu suatu minyak dapat diketahui dari rasa dan aromanya. Mutu

minyak yang sudah tidak baik akan ditandai dengan timbulnya bau tidak

sedap/tengik. Menurut Winarno (2008), bau tengik yang tidak sedap tersebut

disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan

hidroperoksida, yaitu adanya radikal bebas yang berikatan dengan O2

membentuk peroksida aktif yang kemudian dapat membentuk hidroperoksida

tersebut. Salah satu parameter mutu minyak goreng adalah dengan

Page 9: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

menghitung bilangan peroksida. Bilangan peroksida dinyatakan dalam

miliekuivalen peroksida dalam kg minyak (Sudarmadji, 2003).

Penyebab ketengikan dari lemak ada 2, yaitu proses hidrolitik dan

oksidatif. Ketengikan hidrolitik biasanya disebabkan oleh bekerjanya

mikroorganisme terhadap lemak/minyak yang menimbulkan hidrolisis

sederhana dari lemak menjadi asam lemak digliserida, monogliserida, dan

gliserol. Lemak yang mengalami ketengikan hidrolitik tidak akan terganggu

nilai gizinya. Sedangkan ketengikan oksidatif adalah karena asam lemak

mengalami pengurangan hidrogen sehingga membentuk radikal bebas

menjadi menjadi asam lemak hidro peroksida. Perubahan hidrolitik dan

oksidatif inilah yang bertanggung jawab terhadap timbulnya ketengikan

minyak nabati (Winarno, 1989).

Pada praktikum kali ini digunakan beberapa macam sampel yaitu

minyak sawit baru, minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng

tempe 3x, minyak bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng tempe 7x,

minyak bekas goreng tempe gosong, minyak bekas goreng kerupuk, dan

minyak bekas goreng ikan. Kedelapan sampel minyak sawit tersebut dihitung

angka peroksidanya dengan metode titrasi iodine dan juga diuji kerusakannya

berdasarkan titik asap (smoke point).

Bilangan peroksida ditentukan dengan prosedur sebagai berikut:

Minyak sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer tertutup dan

ditambahkan 30 ml pelarut campuran asam asetat glacial : kloroform (3:2

v/v). Setelah minyak larut sempurna ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh dan

dibiarkan 1 menit sambil dikocok, kemudian ditambahkan 30 ml aquades.

Penambahan pelarut campuran asam asetat glacial : kloroform (3:2) ini

bertujuan agar lemak dapat tercampur atau larut dan dapat bereaksi dengan KI

jenuh. Iodium yang dibebaskan oleh peroksida dititrasi dengan larutan

standar natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0.1015 N dengan indikator amilum

sampai warna biru hilang. Indikator amilum dipilih karena pati mampu

memerangkap iodium sehingga membentuk kompleks warna biru dan lama-

Page 10: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

kelamaan akan menghilang dengan bertambahnya natrium tiosulfat (Na2S2O3)

sebagai zat penitrasi (Aminah, 2010).

Reaksi oksidasi lemak (Winarno, 2008) dapat digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 3.1 Reaksi Oksidasi Lemak

Metode titrasi iodine yaitu dengan melarutkan sejumlah minyak ke

dalam campuran asetat : kloroform (3 : 2) yang mengandung KI sehingga

terjadi pelepasan iod (I2). Reaksinya sebagai berikut:

R.COO ∙ + KI R.CO∙ + H2O +I2 + K+

Iod yang bebas kemudian dititrasi dengan Na-thiosulfat menggunakan

indikator amilum sampai warna biru hilang. Sehingga reaksinya bisa

digambarkan sebagai berikut:

I2 + Na2S2O3 NaI + Na2S4O6 (Sudarmadji, 2003).

Suatu minyak dikatakan tengik apabila nilai bilangan peroksidanya

melebihi 100 ppm (ambang batas). Minyak mulai terasa jelas tengik bila

bilangan peroksidanya 20 – 40 m Eq/kg (LIPI,1989). Adapun standar mutu

minyak goreng di Indonesia diatur dalam SNI 01-3741-2002 menurut

(Wijana, dkk., 2005). Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan

ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2002,

SNI ini merupakan revisi dari SNI 01-3741-1995, menetapkan bahwa standar

Page 11: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

mutu minyak goreng untuk batas maksimal kandungan peroksida minyak

adalah 1 mg O/100 gram minyak.

Dari hasil praktikum, angka peroksida pada sampel minyak sawit baru,

sampel minyak bekas tempe 1x, dan sampel bekas goreng tempe 7x tidak

melebihi batas dari standar yang ditetapkan oleh SNI (SII-92 = 1 mg O/100

gram minyak) yaitu berturut-turut sebesar 0,4; 0,6 dan 0,8. Sehingga dapat

dikatakan minyak goreng tersebut masih dalam kondisi baik dan

memungkinkan dapat digunakan kembali untuk menggoreng. Untuk sampel

minyak bekas goreng tempe 3x dan 5x mempunyai angka peroksida sebesar

1, dimana berada pada batas maksimal kandungan peroksida yang diijinkan.

Sedangkan untuk sampel minyak goreng bekas tempe gosong, minyak goreng

bekas kerupuk dan minyak goreng bekas ikan, kandungan peroksidanya telah

melampaui batas maksimal standar, yaitu berturut-turut sebesar 1,6; 1,5 dan

1,2. Dengan demikian minyak goreng tersebut sudah mengalami kerusakan

dan sebaiknya tidak digunakan kembali.

Sampel yang memiliki bilangan peroksida terendah adalah sampel

minyak sawit murni yakni 0,4. Hal ini disebabkan pada minyak sawit baru

laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju

degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat

mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain. Sedangkan sampel dengan

bilangan peroksida tertinggi adalah sampel minyak bekas tempe gosong yakni

1,6. Hal ini disebabkan karena minyak mempunyai aroma semakin tajam dan

warna semakin gelap pada pengulangan penggorengan yang semakin banyak.

Komponen-komponen yang dihasilkan dari reaksi-reaksi yang terjadi selama

penggorengan akan terakumulasi pada pengulangan penggorengan yang

semakin banyak. Selama penggorengan tempe, komponen tersebut akan

terserap bersama minyak sehingga meningkatkan bilangan peroksida

(Aminah, 2010).

Pada sampel minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng

tempe 3x, minyak bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng tempe 7x,

minyak bekas goreng kerupuk dan minyak bekas goreng ikan didapatkan

Page 12: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

bilangan peroksida berturut-turut sebesar 0,6 ; 1; 1; 0,8 ; 1,5 dan 1,2.

Bilangan peroksida pada sampel minyak goreng bekas lebih besar daripada

minyak sawit baru. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Oksidasi

lemak oleh oksigen terjadi secara spontan jika bahan berlemak dibiarkan

kontak dengan udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya tergantung

pada tipe lemak dan kondisi penyimpanan (Ketaren, 1986). Minyak curah

atau minyak goreng bekas terdistribusi tanpa kemasan, paparan oksigen dan

cahaya pada minyak curah lebih besar dibanding dengan minyak kemasan.

Paparan oksigen, cahaya, dan suhu tinggi merupakan beberapa faktor yang

mempengaruhi oksidasi. Penggunaan suhu tinggi selama penggorengan

memacu terjadinya oksidasi minyak. Semakin sering digunakan tingkat

kerusakan minyak akan semakin tinggi (Wijana, dkk, 2005).

Semakin besar angka peroksida, mengindikasikan bahwa minyak

tersebut semakin rusak. Minyak dikatakan tengik apabila melebihi batas

kandungan peroksida. Sehingga dapat dikatakan sampel pada percobaan yang

mengalami ketengikan yakni sampel minyak bekas tempe gosong, minyak

bekas goreng kerupuk, dan minyak bekas goreng ikan dimana nilai

peroksidanya melebihi batas yakni masing – masing sebesar 1,5 ;1,6; dan 1,2.

Hasil praktikum ini belum sesuai teori, karena seharusnya bilangan peroksida

minyak bekas goreng ikan lebih tinggi daripada minyak bekas goreng

kerupuk karena kadar air pada bahan ikan yang digoreng lebih besar daripada

kadar air kerupuk. Kadar air berperan dalam proses hidrolisis minyak yang

dapat menyebabkan ketengikan, semakin tinggi kadar air mengakibatkan

minyak semakin cepat tengik (Sudarmadji, dkk, 2003).

Jadi, urutan bilangan peroksida dari yang terkecil ke yang terbesar

berdasarkan hasil praktikum adalah minyak sawit baru, minyak bekas goreng

tempe 1x, minyak bekas goreng tempe 7x, minyak bekas goreng tempe 3x,

minyak bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng ikan, minyak bekas

goreng kerupuk dan yang terakhir adalah minyak bekas goreng tempe

gosong.

Page 13: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

Tabel 3.2 Penentuan Titik Asap

Kelompok Sampel Titik asap ( 0C )1 & 9 Minyak sawit baru 2102 &10 Minyak bekas tempe 1x 2083 & 11 Minyak bekas tempe 3x 2124 & 12 Minyak bekas tempe 5x 2065 & 13 Minyak bekas tempe 7x 2136 & 14 Minyak bekas tempe gosong 2117 & 15 Minyak bekas goreng kerupuk 1988 & 16 Minyak bekas goreng ikan 208

Sumber : Laporan SementaraTitik asap adalah  titik dimana minyak akan mengeluarkan asap tipis

berwarna kebiru-biruan, sehingga pada titik ini minyak kehilangan

kestabilannya terhadap kadar lemak tak jenuhnya. Mutu minyak goreng

ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk

akreolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada

tenggorokan, hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh atau

akrelein tersebut.

Hasil praktikum didapatkan titik asap terkecil adalah sampel minyak

bekas goreng kerupuk. Sedangkan titik asap terbesar adalah sampel minyak

bekas goreng tempe 7x. Hasil ini tidak sesuai teori karena seharusnya sampel

yang memiliki titik asap terbesar adalah minyak sawit baru karena belum

rusak. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng itu. Titik asap

suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak yang telah

digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi

hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu untuk menekan terjadinya

hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu

yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya (Winarno, 1989).

Berdasarkan data hasil pengamatan bilangan peroksida, seharusnya

sampel minyak bekas goreng tempe gosong memiliki titik asap paling rendah

karena bilangan peroksidanya paling tinggi. Bilangan peroksida berhubungan

dengan nilai % FFA (asam lemak bebas) dalam minyak. Menurut Nielsen

(2009), menjelaskan bahwa kandungan FFA (asam lemak bebas) dalam

minyak berpengaruh terhadap besarnya titik asap minyak goreng. Semakin

Page 14: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

besar kandungan FFA (asam lemak bebas) dalam minyak maka titik asapnya

akan semakin kecil atau menurun, yang berarti bahwa kualitas minyak

semakin buruk.

Menurut SNI 01-3741-2002 mengenai syarat mutu minyak goreng, titik

asap minyak goreng minimal 2000C. Dari hasil praktikum, didapatkan hasil

bahwa hanya sampel minyak goreng bekas kerupuk yang mempunyai titik

asap dibawah 200oC yaitu sebesar 198oC, Hal ini berarti sampel tersebut

memiliki mutu paling jelek dibandingkan dengan sampel-sampel yang

lainnya.

Menurut Gaman dan Sherrington (1981), umumnya, minyak nabati

mempunyai titik asap lebih tinggi daripada lemak hewani. Dari hasil

praktikum, nilai sampel minyak bekas goreng ikan (bahan hewani)

mempunyai titik asap dibawah titik asap sampel minyak bekas goreng tempe

(bahan nabati) secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena dekomposisi

trigliserida menghasilkan sejumlah kecil gliserol dan asam lemak. Gliserol

mengalami dekomposisi lebih lanjut menghasilkan senyawa yang dinamakan

akrolein. Proses dekomposisi ini tidak dapat berlangsung balik dan sewaktu

menggunakan lemak atau minyak untuk menggoreng. Sedangkan titik asap

minyak bekas goreng tempe (nabati) secara keseluruhan berada diatas 200oC.

Urutan titik asap dari yang terkecil ke yang terbesar menurut hasil

praktikum adalah minyak bekas goreng kerupuk, minyak bekas goreng tempe

5x, minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng ikan, minyak sawit

baru, minyak bekas goreng tempe gosong, minyak bekas goreng tempe 3x

dan yang terakhir adalah minyak bekas goreng tempe 7x. Pemanasan ulang

lemak atau minyak dan terdapatnya bagian-bagian makan yang hangus akan

menurunkan titik asap. Pemanasan ulang juga akan mengakibatkan perubahan

oksidatif dan hidrolitik pada lemak dan minyak akibat akumulasi substansi

yang akan memberikan flavor yang tidak disukai (Gaman dan Sherrington,

1981). Sehingga urut-urutan hasil tersebut tidak sesuai dengan teori yang ada,

karena pada pengulangan penggorengan ke 7x titik asapnya justru lebih besar

dari pada sampel minyak baru, begitu pula pada sampel minyak bekas goreng

Page 15: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

tempe 3x. Oleh karena itu, seharusnya urut-urutan titik asap yang sesuai

dengan teori dari yang paling besar adalah sampel minyak sawit baru, minyak

bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng tempe 3x, minyak bekas goreng

tempe 5x, minyak bekas goreng tempe7x, minyak bekas goreng kerupuk,

minyak bekas tempe gosong dan minyak bekas goreng ikan.

E. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari acara III “Evaluasi Bilangan

Peroksida Dan Titik Asap Minyak Goreng” ini adalah sebagai berikut:

1. Peroksida merupakan suatu tanda adanya pemecahan atau kerusakan pada

minyak karena terjadi oksidasi (kontak dengan udara), yang menyebabkan

bau/aroma tengik pada minyak

2. Bilangan peroksida dinyatakan dalam miliekuivalen peroksida dalam 1000

gram minyak

3. Urutan bilangan peroksida dari yang terkecil ke yang terbesar berdasarkan

hasil praktikum adalah minyak sawit baru, minyak bekas goreng tempe 1x,

minyak bekas goreng tempe 7x, minyak bekas goreng tempe 3x, minyak

bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng ikan, minyak bekas goreng

kerupuk dan yang terakhir adalah minyak bekas goreng tempe gosong

4. Semakin besar angka peroksida, mengindikasikan bahwa minyak tersebut

semakin rusak

5. Minyak dikatakan tengik apabila melebihi batas kandungan peroksida

6. Titik asap adalah  titik dimana minyak akan mengeluarkan asap tipis

berwarna kebiru-biruan, sehingga pada titik ini minyak kehilangan

kestabilannya terhadap kadar lemak tak jenuhnya

7. Urutan titik asap dari yang terkecil ke yang terbesar menurut hasil

praktikum adalah minyak bekas goreng kerupuk, minyak bekas goreng

tempe 5x, minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng ikan,

minyak sawit baru, minyak bekas goreng tempe gosong, minyak bekas

goreng tempe 3x dan yang terakhir adalah minyak bekas goreng tempe 7x

Page 16: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

8. Semakin tinggi titik asap maka semakin baik mutu minyak goreng, begitu

juga sebaliknya

Page 17: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah Dan Sifat Organoleptik Tempe Pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 01 No. 01 Tahun 2010.

Buckle, dkk. 1985. Ilmu pangan. UI-Press. Jakarta.

Cahyadi, Dr. Ir. Wisnu. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bumi aksara. Jakarta.

Fan, H. Y., dkk. 2013. Frying Stability Of Rice Bran Oil and Palm Olein. School of Food Science and Nutrition, Universiti Malaysia Sabah, Jalan UMS, 88400 Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. International Food Research Journal 20(1): 403-407 (2013).

Gaman dan sherrington. 1981. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ketaren, S.1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta.

Miller, Matt. 2010. Oxidation of food grade oils. Plant and Food Research.

Nielsen, S. Suzanne. 2009. Food Analysis. Fourth Edition. Purdue University Dept. Food Science, USA. Springer New York Dordrecht Heidelberg London.

Shahidi, Fereidoon, dkk. 2005. Lipid Oxidation: Measurement Methods. Memorial University of Newfoundland, St. John’s, Newfoundland. Canada.

Sudarmadji. S, Bambang Haryono dan Suhardi. 2003. Analisis Bahan Pangan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Sukasih, dkk. 2009. Optimasi Kecukupan Panas Pada Pasteurisasi Santan dan Pengaruhnya Terhadap Mutu Santan yang Dihasilkan. J.Pascapanen 6(1) 2009: 34-42.

Winarno. 2008. Kimia Pangan dan Gizi Edisi Terbaru. M-Brio Press. Bogor.

Page 18: ACARA III Bil.peroksida (Autosaved)