58814352-askep-epilepsi
TRANSCRIPT
ASUHAN KEPERAWATANPADA KLIEN DENGAN EPILEPSI
TUGAS MATA KULIAH ILMU KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I
KELOMPOK VI :
ABDUL KADIR AHMADDAVID A. MANDALA
ENDANG PURWANINGSIHHAFNA ILMI MUHALLA
LILIK MASYHUDAMARIA ONI BETAN
NURUL HAYATIPUTU TOYA
SUBHANSUDARYANI
SULANSI
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTASKEDOKTERANUNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA2006
0
ASUHAN KEPERAWATANPADA KLIEN DENGAN EPILEPSI
A. Pendahuluan
Epilepsi merupakan penyakit tertua di dunia (2000 th SM) (Petrus Tjahyadi
dikutif dari Harsono,Ed : 1996). Di Indonesia kasus epilepsi secara pasti tidak diketahui
karena tidak ada data epidemiologi, namum hingga saat ini diperkirakan ada 900.000
sampai 1.800.000 kasus (Petrus Tjahyadi dikutif dari Harsono,ED : 1996).Penyakit
epilepsi selain merupakan masalah kesehatan yang sangat rumit juga merupakan suatu
penyakit yang menimbulkan dampak / stigma sosial yang sangat berat bagi penderita
dan keluarganya. Adanya pemahaman yang salah tentang penyakit epilepsi yang
dipandang sebagai penyakit kutukan merupakan suatu hal yang menyebabkab sulitnya
mendeteksi jumlah kasus ini di masyarakat karena biasanya keluarga sering
menyembunyikan keluarganya yang menderita penyakit ini.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan
keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
Pada dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP)
yang timbul akibat adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak
seimbangan polarisasi listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada
neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari
sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak.
Masalah yang muncul adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul, bagaimana
manifestasinya dan bagaimana penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih
memerlukan kajian yang lebih mendalam.
1
B. Deskripsi Penyakit
Epilepsi terjadi akibat adanya kerusakan membran pada sel glia otak. Sel glia
merupakan bagian dari sel otak yang multi fungsi. Salah satu fungsi penting dari sel glia
bila dikaitkan dengan penyakit epilepsi ini adalah fungsi sel glia sebagai pensuplai
nutrisi dan reservoar dari elektrolit seperti ion K, Ca dan Na. Ketidak seimbangan pada
sel ini akan menyebabkan permasalahan pada sel syaraf. Proses epileptogenik akan
terjadi bila ada pelepasan muatan paroksiman karena mekanisme intrinsik dari membran
neuron yang menjaga kestabilan ambang lepas muatan terganggu sehingga bisa terjadi
depolarisasi secara terus menerus yang selanjutnya menyebabkan timbulnya letupan
potensial aksi (paroksismal depolarisasi shif).
Penyebab dan proses secara jelas terjadinya epileptogenik hingga saat ini belum
begitu jelas. Namun sebagian besar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti adanya
trauma kelahiran, infeksi, gangguan sirkulasi, gangguan metabolisme, tumor otak,
trauma kepala dan penyakit-penyakit saat kehamilan (epilepsi simtomatis). Namun
beberapa jenis epilepsi tidak diketahui dengan jelas penyebabnya dan diduga karena
faktor genetik (epilepsi idiopatik). Proses sederhana terjadinya fokus epileptik dapat
dilihat pada bagan di bawah.
KERUSAKAN JARINGAN
JARINGAN OTAK RUSAK / GANGGUAN METABOLISME
PENURUNAN FUNGSI RESERVOIR SEL GLIA
ION KALIUM TIDAK MENDAPATKAN TEMPAT YANG TEPAT SAAT PEMBENTUKAN IMPULS
ION K TERKUMPUL PADA KRISIS MUATAN DINDING NEURON LISTRIK
AKTIVITAS SARAF SPONTAN TAK TERKONTROL
2
Dari skema di atas dapat ditarik suatu analisa bahwa jika terjadi suatu gangguan
polarisasi listrik pada otak akan menyebabkan efek terhadap aktivitas dari saraf secara
spontan yang dimanifestasikan dengan adanya gerakan-gerakan yang abnormal pada
organ-organ tubuh penderita. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan kontrol dan
kesadaran sehingga dapat menimbulkan dampak berupa kemungkinan trauma / cedera
fisik bagi penderita yang sedang mengalami serangan.
Berdasarkan hasil EEG dan gejala yang ditemukan, epilepsi dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu : (Kariasa,Md, FIK UI, 1997)
1. Kejang umum :
Kejang yang menunjukkan sinkronisasi keterlibatan semua bagian otak pada
kedua hemisfer. Otak teraktivasi secara bersama tanpa awitan fokal, sinkron, tanpa
didahului oleh prodormal dan aura. Yangdigolongkan dalam jenis ini adalah petit mall,
grand mall, mioklonik dan atonik.
a. Petit mall : muncul setelah usia 4 tahun, pasien kehilangan kesadaran sesaat seperti
bengong tanpa disertai gerakan involunter yang aneh. Bila hal ini berlangsung terus
dapat berakibat buruk pada alur belajar terutama anak-anak yang sedang belajar. Anak
akan menjadi malu sehingga anak akan mengalami gangguan dalam prestasi belajar.
b. Grand mall / kejang tonik-klonik : yakni adanya serangan kejang ekstensi tonik-klonik
bilateral ekstremitas. Kadang disertai dengan adanya inkontinensia urine atau feces,
menggigit lidah, mulut berbusa dan kehilangan kesadaran yang mendadak yang diikuti
gejala-gejala post iktal seperti nyeri otot, lemah dan letih, bingung serta tidur dalam
waktu lama.
2. Kejang parsial
Kejang yang didahului dengan adanya awitan fokal yang melibatkan satu
bagian tertentu dari otak.
3
a. Kejang parsial sederhana : sering disebut epilepsi Jakson, dimana pada
kelompok ini akan terjadi kejang secara involunter yang bersifat unilateral tanpa diikuti
oleh adanya perburukan.
b. Kejang parsial kompleks : sering disebut dengan kejang lobus temporal,
psikomotor atau otomatisme yang fokalnya sering berpusat pada lobus temporalis.
Sering pada kejang parsial sering diikuti oleh gangguan kesadaran semacam gangguan
proses pikir. Gejala dapat berupa halusinasi, mual dan berkeringat sebagai prodormal.
Pasien yang sedang mengalami serangan ini sering menunjukkan perilaku bersifat
agitatif dan kombatif.
Bila dikaitkan dengan kelompok usia yang terpapar, epilepsi dapat digolongkan
menjadi beberapa jenis (Harsono.ED.1996) :
1. Kelompok Usia 0 – 6 bulan
a. Kelainan intra uterin, yang menyebabkan gangguan migrasi dan diferensiasi sel neuron.
Hal ini juga bisa dipengaruhi oleh infeksi intra uterin.
b. Kelainan selama kehamilan misal asfeksia, dan perdarahan intra uterin yang didahului
oleh kelainan maternal seperti : hipotensi, eklamsia, disproporsi sefalopelvik, kelainan
plasenta, tali pusat menumbung atau belitan tali pusat pada leher.
c. Kelainan kongenital seperti kromosom abnormal, radiasi obat teratogenik, infeksi intra
partum oleh toksoplasma, sitomegalo virus, rubela dan treponema.
d. Gangguan metabolik seperti hipoglikemi, hipokalsemi, hiponatremia, dan defisiensi
piridoksin.
e. Infeksi Susunan Saraf Pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan hidrosefalus pasca
infeksi.
2. Kelompok 6 bulan – 3 tahun
4
Selain oleh penyebab yang sama dari kelompok di atas pada umur ini dapatjuga
disebabkan oleh adanya kejang demam yang biasanya dimulai pada umur 6 bulan.
Faktor lain yang mempengaruhi adalah adanya cedera kepala.
3. Kelompok anak-anak sampai remaja
Dapat disebabkan oleh Infeksi virus, bakteri, parasit dan abses otak yang
frekuensinya meningkat sampai 23%, setelah tindakan operasi.
4. Kelompok usia muda
. Tersering karena cedera kepala, tumor otak dan infeksi.
5. Kelompok usia lanjur
Karena gangguan pembuluh darah otak, diikuti oleh trauma dan degenerasi
cerebral.
Jika terjadi serentetan serangan epilepsi jenis grand mall tanpa diselingi dengan
pemulihan status neurologi disebut dengan status epileptikus. Yang dijadikan patokan
adalah kejang secara klinis atau pada EEG tampak adanya gambaran eksitasi abnormal
selama 30 menit atau lebih. Hal ini akan berbahaya jika diikuti oleh adanya hipoksia
jaringan otak, gagal pernafasan, hipertensi, peningkatan tekanan intra kranial.
Keadaan ini membutuhkan perawatan yang intensif. Penurunan kesadaran dapat
berakibat terjadinya ancaman berupa sumbatan jalan nafas. Kejadian yang terjadi
secara terus menerus dapat menimbulkan dampak yang sangat buruk terhadap
perkembangan psiko-sosial dari klien maupun keluarganya, berupa rasa malu, harga
diri yang rendah serta penurunan terhadap gambaran diri. Hal ini akan menyebabkan
efek samping pada penurunan prestasi belajar terutama bagi penderita yang masih
dalam masa belajar.
C. Pengkajian
Pengkajian dilakukan secara komprehensif dengan
berbagai metode pengkajian seperti anamnesa, observasi, pengukuran, dokumentasi dan
5
pemeriksaan fisik. Metode pengkajian yang digunakan untuk mengoptimalkan hasil
yang diperoleh meliputi beberapa cara diantaranya head to toe, teknik persistem,
maupun berdasarkan atas kebutuhan dasar manusia.
1. Identitas klien dan penanggungjawab
Pengkajian yang dilakukan meliputi identitas klien dan penanggungjawabnya.
2. Keluhan Utama
Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan
kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai
mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak
baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota
keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara
.
3. Riwayat Penyakit
Fokus pengkajian yang dilakukan adalah pada riwayat kesehatan dan
pemeriksaan fisik. Ini dapat dimengerti karena riwayat kesehatan terutama berhubungan
dengan kejang sangat membantu dalam menentukan diagnosa. Riwayat ini akan
dirunjang dengan keadaan fisik klien saat ini. Pemeriksaan neurologi terutama berkaitan
dengan serangan kejang harus lengkap karena temuan-temuan fokal sangat membantu
dalam menentukan asal dari aktivitas kejang. Pada riwayat perlu dikaji faktor pencetus
yang dapat diidentifikasikan hingga saat ini adalah : demam, cedera kepala, stroke,
gangguan tidur, penggunaan obat, kelemahan fisik, hiperventilasi, dan stress emosional.
Deskripsispesifik dari kejang harus mencakup beberapa data penting meliputi :
a. Awitan yakni serangan itu mendadak atau didahului oleh prodormal dan fase aura.
b. Durasi kejang berapa lama dan berapa kali frekuensinya.
c. Aktivitas motorik mencakup apakah ekstrimitas yang terkena sesisi atau bilateral,
dimana mulainya dan bagaimana kemajuannya.
6
d. Status kesadaran dan nilai kesadarannya. Apakah klien dapat dibangunkan selama atau
setelah serangan ?
e. Distrakbilitas, apakah klien dapat memberi respon terhadap lingkungan. Hal ini sangat
penting untuk membedakan apakah yang terjadi pada klien benar epilepsi atau hanya
reaksi konversi.
f. Keadaan gigi. Apakah pada saat serangan gigi klien tertutup rapat atau terbuka.
g. Aktivitas tubuh seperti inkontinensia, muntah, salivasi dan perdarahan dari mulut.
h. Masalah yang dialami setelah serangan paralisis, kelemahan, baal atau semutan,
disfagia, disfasia cedera komplikasi, periode post iktal atau lupa terhadap semua
pristiwa yang baru saja terjadi.
i. Faktor pencetus seperti stress emosional dan fisik.
4. Data Bio-psiko-sosial-spiritual
Data yang sudah dikaji sebelumnya dengan menggunakan berbagai metode yang
valid selanjutnya dikelompokkan secara umum menjadi data subyektif dan obyektif.
a. Data Subyektif : adanya keluhan tentang faktor pencetus, prodormal(pusing, lemas,
ngantuk, halusinasi dll). Merasakan adanya seperti tersambar petir (fase aural),
mengeluh adanya gangguan proses pikir, waham, badan nyeri, letih dan bingung. Klien
merasa malu, tidak berguna, rendah diri dan takut.
b. Data Obyektif : adanya gerakan tonik, klonik, tonik-klonik, hilang kesadaran sesaat,
hilang kesadaran beberapa lama, bibir berbusa, sering diam beberapa saat bila sedang
diajak bicara, gerakan ekstrimitas terkedut bilateral, pasien terjatuh, kontraksi
involunter unilateral, kejang biasanya mulai dari tempat yang sama setiap serangan,
agresif, pupil mengalami perubahan ukuran selama serangan, inkontinensia, perdarahan
dari mulut, penurunan respon terhadap lingkungan, kejang terjadi beberapa detik hingga
beberapa menit. Gambaran EEG berupa gelombang spike, spike and slow wave, poly
spike and wave, 3 Hz spike and wave. MRI / CT SCAN bisa tampak adanya massa di
7
lobus otak.Perubahan yang bermakna tidak spesifik pada tanda-tanda vital. Dapat terjadi
perubahan tidak spesifik pada hasil laboratorium (Glukosa darah, BUN,
Elektrolit, Pa O2, Pa CO2 termasuk hasil fungsi lumbal).
5. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan diawali dengan penyusunan diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang biasa muncul pada pasien yang mengalami epilepsi adalah
1) Potensial kecelakaan s.d. penurunan kesadaran, kelemahan fisik, gerak otot
tonik klonik.
2) Potensial terjadi sumbatan jalan nafas s.d. obstruksi tracheo bronkhial,
gangguan persepsi dan neuro muskuler.
3) Gangguan konsep diri s.d. stigma sosial, salah persepsi dari lingkungan sosial.
4) Gangguan mekanisme koping s.d. terdiagnose epilepsi dan keterikatan dengan obat.
5) Kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan pengobatannya s.d. kurang
terbuka, mis interpretasi dan kurang interpretasi.
b. Rencana Keperawatan
a. Potensial kecelakaan sehubungandengan penurunan kesadaran,
kelemahan fisik, gerak otot tonik klonik.
b. Potensial terjadi sumbatan jalan nafas sehubungan dengan obstruksi
tracheo bronkhial, gangguan persepsi dan neuro muskuler.
c. Gangguan konsep diri sehubungan dengan stigma sosial, salah persepsi
dari lingkungan sosial.
d. Gangguan mekanisme koping (koping tidak efektif) sehubungan
dengan terdiagnose epilepsi dan keterikatan dengan obat.
e.. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit (epilepsi) dan
8
pengobatannya sehubungan dengan mis interpretasi dan kurang informasi.
6. Rencana tindakan
No Diagnosa
Tujuan Implementasi
1. Dx 1
Serangan dapat dikendalikan dan komplikasi dapat dihindari
1. Cegah dan kendalikan kejang2. Hindarkan lingkungan agar aman dari kemungkinan yang dapat
menimbulkan cedera bagi klien3. Siapkan spatel lidah di dekat klien4. Hindarkan klien sendirian5. Usahakan agar tempat tidur klien serendah mungkin6. Jangan pernah mengikat klien dengan
Alasan apapun 7. Jangan memasukkan benda apapun kemulut klien saat terjadi serangan8. Pasang gudel saat serangan berkurang9. Miringkan klien pada salah satu sisi
10. Obserpasi adanya tanda-tanda status epileptikus11. Upayakan agar klien mampu mengenali faktor pencetus dan tanda-tanda serangan12. Lakukan tindakan kolaborasi :
a. Pemberian obat anti konvulsanb. Siapkan klien untuk EEG, pengambilan bahan lab elektrolit,
cairan cerebro spinal, darah lengkap, BUN, Creatinin, Glukosa darah, PO2 dan PCO2.
13. Observasi fase-fase kejang 14. Analisa ambulasi klien
2 Dx.
2
Jalan nafas tetap paten
1. Anjurkan agar klien mengosongkan mulut jika fase aura dapat dikenali
2. Buat klien dalam posisi miring pada salah satu sisi untuk menghindari adanya aspirasi
3. Mengupayakan jalan nafas tetap paten4. Memberikan oksigen sesuai dengan indikasi5. Lakukan penghisapan lendir dengan cara yang benar6. Siapkan klien untuk pemasangan intubasi dan ambu bag.7. Selalu ingatkan untuk menjaga kebersihan mulut Untuk mencegah aspirasi
3 Dx.
3
dan
4
Mampu menampilkan konsep diri yang positif
1. Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan2. Ajarkan klien dan keluarga untuk mengidentifikasi beberapa
reaksi orang terhadap pasien3. Anjurkan dan ingatkan untuk mengidentifikasikan
keberhasilan yang telah diperoleh4. Jangan terlalu melakukan proteksi terhadap klien5. Bantulah klien untuk meluruskan kesan orang lain terhadap
klien dan kesan klien terhadap orang lain6. Selalu bersikap tenang baik itu pasien, pemberi pelayanan atau
keluarga saat terjadi serangan kejang7. Anjurkan untuk berkonsultasi dengan spesialis tertentu seperti
psikolog
9
8. Diskusikan pentingnya untuk berusaha menerima keterbatasan yang ada.
9. Mampu menyesuaikan pola hidup sesuai dengan keadaan klien
4 Dx.
5
Mampu menjelaskan mengenai proses peny., prognosa, kemungkinan komplikasi dan keterbatasan diri yang dimiliki dan melaksanakan program pengobatan serta follow up secara tepat dan teratur
1. Menjelaskan kembali proses penyakit serta prognosanya.2. Menjelaskan kembali tentang pentingnya obat serta
mengobservasi efek dari obat tersebut.3. Buatkan petunjuk yang jelas dalam pemberian obat, dan selalu
diingatkan bahwa dosis terapeutik saat ini dapat berubah suatu saat.
4. Diskusikan efek samping dari obat.5. Anjurkan agar klien membawa tanda khusus.6. Jelaskan pentingnya follow up.
7. Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian akhir dari proses keperawatan. Evaluasi dilakukan
untuk mengetahui tingkat keberhasilan tindakan yang telah dilakukan. Disamping itu
evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan pengkajian untuk proses berikutnya.
Pada kasus epilepsi evaluasi dilakukan atas tindakan yang dilakukan sesuai
dengan diagnosa dan tujuan yang sudah ditetapkan.
1. Frekuensi dan faktor pencetus serangan dapat diidentifikasi, lingkungan aman, klien
tahu berperilaku untuk mencegah trauma jika muncul serangan, keluarga tidak
meninggalkan klien sendiri terutama saat faktor pencetus paparannya meningkat.
2. Klien dapat mengambil posisi yang stabil, tidak menelan sesuatu, jika fase aura
mulai muncul, kebutuhan O2 klien dapat terpenuhi terutama pada saat serangan.
3. Klien mampu menampakkan kesan diri yang positif, keluarga aktif memberikan
dukungan dukungan kepada klien.
4. Klien mampu menjelaskan tentang penyakit, penanganan, prognose, serta waktu
pengobatan. Klien mengerti dan mau melakukan follow up secara teratur. Klien
dapat menyesuaikan pola hidupnya sesuai dengan keadaannya
10
DAFTAR PUSTAKA
Dongoes M. E. et all, 1989, Nursing Care Plans, Guidelines for Planning Patient Care, Second Ed, F. A. Davis, Philadelpia.
Harsono (ED), 1996, Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hudac. M. C. R and Gallo B. M, 1997, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (Terjemahan), Edisi VI, EGC, Jakarta Indonesia.
Kariasa Made, 1997, Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi, FIK-UI, Jakarta.
Luckman and Sorensen S, 1993, Medikal Surgical Nursing Psychology Approach, Fourt Ed, Philadelpia London.
Price S. A and Wilson L. M, 1982, Pathofisiology, Clinical Concepts of Desease Process, Second Ed, St Louis, New York.
11