2. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · sim/stnk, pengurusan pajak, penyelesaian sidang...

16
9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemekaran Daerah Pemekaran daerah menurut Gabrielle Ferrazi (2007) dapat dilihat sebagai bagian dari proses penataan daerah atau territorial reform atau administrative reform, yaitu ―management the size, shape, and hierarchy of local government units for the purpose of achieving political and administrative goals‖. Penataan daerah umunya mencakup pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah. Ferrazi berpendapat bahwa grand strategy otonomi daerah yang optimal tidak berhenti pada menentukan berapa jumlah daerah otonom yang ideal di suatu negara, namun lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan apa sebenarnya hakikat otonomi daerah di negara yang bersangkutan. Baru setelah itu mencari ―jawaban‖ untuk tujuan apa sebenarnya pemekaran daerah (dalam konteks territorial reform) tersebut. Dari sudut pandang desentralisasi, pemekaran daerah merupakan implementasi azas desentralisasi, tepatnya desentralisasi teritorial. Desentralisasi teritorial menurut salah satu pendapat merupakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah kepada suatu badan umum seperti suatu persekutuan yang berpemerintahan sendiri, untuk membina keseluruhan kepentingan yang saling berkaitan dari golongan-golongan penduduk dalam suatu wilayah tertentu (Koeswara, 2001). Selain desentralisasi teritorial, juga dikenal desentralisasi fungsional dan desentralisasi administratif. Desentralisasi fungsional adalah pelimpahan sebagain fungsi pemerintahan kepada organ atau badan asli yang khusus dibentuk untuk itu. Sedangkan desentralisasi administratif adalah pelimpahan wewenang yang semula dipusatkan pada penguasa pusat, kepada pejabat-pejabat bawahannya. Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi dapat dianggap sebagai modifikasi atau ―penghalusan‖ dari sentralisasi. Alasan pemekaran daerah tidak pernah tunggal, bahkan seringkali tumpang tindih antara alasan yang bersifat sosial, politik, maupun ekonomi. Alasan pertama yang sering disampaikan dalam usulan pemekaran daerah adalah kondisi georgrafis yang terlalu luas yang berdampak pada kualitas layanan publik. Dalam kajian Bappenas dan UNDP (2008) disebutkan pula bahwa salah satu argumen yang mendukung pemekaran, yaitu antara lain karena adanya kebutuhan untuk mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat. Rentang kendali yang lebih pendek dan alokasi fiskal yang lebih merata seyogyanya menjadi modal dasar bagi peningkatan pelayanan di setiap daerah, khususnya daerah pemekaran. Tidak efektif dan efisiennya pelayanan kepada masyarakat akibat wilayah yang tidak dimekarkan misalnya terjadi pada kasus pelayanan administrasi perijinan yang mengharuskan warga yang jauh dari ibukota harus mengeluarkan biaya dan waktu lebih banyak untuk pengurusan SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial yang lain juga menyebabkan tidak efektif dan efisiennya pelayanan kepada masyarakat. Alasan kedua yang sering dikemukakan adalah masyarakat di suatu daerah merasakan adanya ketimpangan pemerataan dan keadilan antara daerah yang satu

Upload: vankhanh

Post on 02-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

9

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah menurut Gabrielle Ferrazi (2007) dapat dilihat sebagai

bagian dari proses penataan daerah atau territorial reform atau administrative

reform, yaitu ―management the size, shape, and hierarchy of local government

units for the purpose of achieving political and administrative goals‖. Penataan

daerah umunya mencakup pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah.

Ferrazi berpendapat bahwa grand strategy otonomi daerah yang optimal tidak

berhenti pada menentukan berapa jumlah daerah otonom yang ideal di suatu

negara, namun lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan apa sebenarnya

hakikat otonomi daerah di negara yang bersangkutan. Baru setelah itu mencari

―jawaban‖ untuk tujuan apa sebenarnya pemekaran daerah (dalam konteks

territorial reform) tersebut.

Dari sudut pandang desentralisasi, pemekaran daerah merupakan

implementasi azas desentralisasi, tepatnya desentralisasi teritorial. Desentralisasi

teritorial menurut salah satu pendapat merupakan wewenang yang diberikan oleh

pemerintah kepada suatu badan umum seperti suatu persekutuan yang

berpemerintahan sendiri, untuk membina keseluruhan kepentingan yang saling

berkaitan dari golongan-golongan penduduk dalam suatu wilayah tertentu

(Koeswara, 2001). Selain desentralisasi teritorial, juga dikenal desentralisasi

fungsional dan desentralisasi administratif. Desentralisasi fungsional adalah

pelimpahan sebagain fungsi pemerintahan kepada organ atau badan asli yang

khusus dibentuk untuk itu. Sedangkan desentralisasi administratif adalah

pelimpahan wewenang yang semula dipusatkan pada penguasa pusat, kepada

pejabat-pejabat bawahannya. Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi dapat

dianggap sebagai modifikasi atau ―penghalusan‖ dari sentralisasi.

Alasan pemekaran daerah tidak pernah tunggal, bahkan seringkali tumpang

tindih antara alasan yang bersifat sosial, politik, maupun ekonomi. Alasan

pertama yang sering disampaikan dalam usulan pemekaran daerah adalah kondisi

georgrafis yang terlalu luas yang berdampak pada kualitas layanan publik. Dalam

kajian Bappenas dan UNDP (2008) disebutkan pula bahwa salah satu argumen

yang mendukung pemekaran, yaitu antara lain karena adanya kebutuhan untuk

mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat.

Rentang kendali yang lebih pendek dan alokasi fiskal yang lebih merata

seyogyanya menjadi modal dasar bagi peningkatan pelayanan di setiap daerah,

khususnya daerah pemekaran. Tidak efektif dan efisiennya pelayanan kepada

masyarakat akibat wilayah yang tidak dimekarkan misalnya terjadi pada kasus

pelayanan administrasi perijinan yang mengharuskan warga yang jauh dari

ibukota harus mengeluarkan biaya dan waktu lebih banyak untuk pengurusan

SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain

sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan kesehatan,

pendidikan, dan layanan sosial yang lain juga menyebabkan tidak efektif dan

efisiennya pelayanan kepada masyarakat.

Alasan kedua yang sering dikemukakan adalah masyarakat di suatu daerah

merasakan adanya ketimpangan pemerataan dan keadilan antara daerah yang satu

Page 2: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

10

dengan yang lain dalam satu wilayah pemerintahan daerah. Daerah yang dekat

dengan pusat kekuasaan (ibukota) cenderung lebih mendapatkan perhatian

daripada daerah yang jauh dari pusat kekuasaan. sehingga daerah tersebut

merasakan adanya ketimpangan pemerataan dan keadilan dari pemangku

kekuasaan. Apalagi ketika kelompok tersebut memiliki ciri-ciri sosial yang sama

seperti etnisitas, agama, kesejarahan dan tingkat kohesivitas yang tinggi maka

kecenderungan untuk menuntut pembentukan pemerintahan daerah sendiri

cenderung amat tinggi. Kelompok warga tersebut beranggapan bahwa ketika

mereka memiliki pemerintahan daerah sendiri maka mereka akan mengelola

kepentingan mereka menjadi lebih efektif dan responsif sehingga kemakmuran

warganya juga akan menjadi semakin baik. Pembentukan daerah baru dianggap

dapat menjadi solusi terhadap ketidakadilan dalam hubungan antar kelompok

tetapi juga dapat memperkuat indentitas kelompok dan daerah. Alasan

ketimpangan dan ketidakadilan ini misalnya mencuat dalam pembentukan

Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat (Pusat Kajian

Kinerja Otonomi Daerah LAN, 2005).

Alasan ketiga yang turut melatarbelakangi keinginan untuk pemekaran

daerah adalah adanya perbedaan sosio-kultural atau etnis. Sebagai misal:

masyarakat Bangka Belitung merasa berbeda dengan masyarakat Sumatera

Selatan, kemudian masyarakat Gorontalo merasa berbeda dengan masyarakat

Sulawesi Utara. Demikian pula penduduk Kabupaten Minahasa Utara yang

merasa berbeda budaya dengan penduduk Kabupaten Minahasa dan Kabupaten

Minahasa Selatan. Dalam bentuk lain, ada juga masyarakat yang mengajukan

pemekaran merasa sebagai komunitas budaya tersendiri yang berbeda dengan

komunitas budaya daerah induk. Sebagai contoh: masyarakat Banten merasa

secara budaya berbeda dengan masyarakat Jawa Barat. Demikian pula dengan

yang terjadi dalam banyak pemekaran kabupaten di Provinsi Papua.

Alasan keempat adalah alasan politik. Alasan ini memang tidak pernah

pernah secara eksplisit disampaikan sebagai alasan pemekaran suatu daerah.

Namun nuansa motif politik dalam pengusulan pemekaran suatu daerah akan

terasa jika melihat elit dan kekuatan politik yang terlihat begitu besar perannya

dalam proses pengusulan pemekaran daerah. Sudah menjadi rahasia umum jika

alasan dilakukannya pemekaran adalah keinginan sekelompok elit politik untuk

memperoleh posisi kekuasaan baru di daerah yang dimekarkan. Hal ini karena

keberadaan daerah otonomi baru hasil pemekaran daerah membuka peluang

dibentuk aparat pemerintah daerah baru. Di samping itu, adanya daerah

pemekaran baru juga membuka peluang partai-partai politik menambah ―alokasi‖

penempatan elit-elitnya untuk menduduki jabatan politik. Daerah pemekaran baru

juga berpeluang mengkonsentrasikan dan mengkonsolidasikan basis dukungan

atau konstituen tradisional yang dimiliki sebuah kekuatan politik di suatu daerah.

Dikemukakan oleh Tri Ratnawati dan Robert E. Jaweng (2005) bahwa ada

kecurigaan dari sebagian kalangan bahwa merebaknya jumlah pemekaran

kabupaten/kota baru di Indonesia pada dekade 2000-an merupakan strategi divide

and rule (memecah belah dan menguasai) dari pemerintahan pusat yang bertujuan

mempermudah pengendalian daerah-daerah dan elit-elit yang telah terpecah.

Motif lainnya adalah untuk pemenangan pemilu dengan cara melakukan

pembelahan daerah pemilihan secara politik (gerrymander). Ini terjadi pada kasus

Page 3: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

11

pemekaran Papua di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (yang

berasal dari PDIP) dalam rangka memecah suara Partai Golkar di sana.

Alasan kelima yang mendorong dilakukannya pemekaran adalah adanya

keinginan mengambil keuntungan (rent seeking) dari insentif fiskal yang

diberikan pemerintah pusat dan daerah induk. Sama seperti alasan sebelumnya,

alasan insentif fiskal ini juga tidak pernah secara eksplisit disampaikan. Insentif

fiskal tersebut antara lain adanya anggaran tersendiri dari pemerintah pusat yang

terpisah dari pemerintah daerah induk. Sebagaimana diketahui, daerah yang

dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan

mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK). Fitrani, Hofman dan

Kai (2005) menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya

bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh

keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah

sendiri.

2.1.1. Mekanisme Pembentukan Daerah Baru

Secara yuridis formal, mekanisme pembentukan daerah baru diatur dalam

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan

Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

PP tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah. Setelah dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 8 Tahun 1999 dengan

ditetapkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, mekanisme

pembentukan daerah baru diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2007.

Secara garis besar tidak terdapat perbedaan besar pada prosedur

pembentukan dan pemekaran wilayah yang diatur dalam PP Nomor 129 Tahun

2000 maupun PP Nomor 78 Tahun 2007. Mekanisme dilakukan melalui beberapa

tahap secara berjenjang dari bawah. Perbedaan pokoknya hanya terletak pada

detail dalam proses penjaringan aspirasi dari bawah. Sedangkan teknis

penyampaian usulan dan persyaratan administrasinya relatif tidak berbeda.

Setelah melalui proses penjaringan aspirasi dan persetujuan dari kepala

daerah dan DPRD, usulan pemekaran disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri

Dalam Negeri melalui Gubernur yang dilampiri dengan: dokumen aspirasi

masyarakat, hasil kajian daerah, dan persetujuan dari Bupati dan DPRD Kab/Kota

serta Gubernur dan DPRD Provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan usulan

tersebut, Menteri Dalam Negeri kemudian menugaskan tim observasi yang

hasilnya akan menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi

Daerah (DPOD). Selanjutnya, DPOD melakukan kajian lebih lanjut hingga dapat

dihasilkan keputusan terhadap usulan pemekaran daerah tersebut. Jika disetujui,

Menteri Dalam Negeri yang sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan DPOD dapat

mengajukan usul pemekaran daerah tersebut beserta rancangan undang-

undangnya kepada Presiden. Rancangan undang-undang tersebut kemudian

disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan1.

Dalam perjalanannya, prosedur pengusulan pemekaran wilayah sebagaimana

diatur dalam PP tersebut dianggap terlalu memakan waktu lama di tengah

tingginya aspirasi dan keinginan masyarakat untuk mengusulkan pemekaran

1 Lihat PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan

Penggabungan Daerah, Pasal 2 dan Pasal 17-21

Page 4: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

12

daerah. Oleh karena itu dengan dasar bahwa pembentukan daerah baru harus

ditetapkan melalui UU—sementara perancangan UU juga dapat diajukan melalui

mekanisme Hak Inisiatif DPR—maka prosedur pemekaran daerah baru pun dapat

dilakukan melalui jalur Hak Inisiatif DPR.

Adanya dua mekanisme dalam pengusulan pembentukan daerah pemekaran

ini menjadikan lingkaran persoalan terkait daerah pemekaran semakin kompleks.

Belum lagi dengan wacana keinginan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang juga

ingin mengambil kewenangan DPR dalam usulan daerah pemekaran. Kalangan

DPD berargumentasi bahwa persoalan pemekaran daerah merupakan ranah

wewenang mereka. Situasi ini menyebabkan usulan pemekaran daerah tidak

hanya masuk dari satu pintu, tetapi dari banyak pintu. Tentunya masing-masing

pintu memiliki pendekatan dan asumsi penilaian yang berbeda.

Kondisi inilah yang menyebabkan kebijakan Moratorium Pemekaran Daerah

yang diberlakukan pemerintah pusat tahun 2007 dan 2010 tidak pernah efektif.

Argumentasi pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, tentang perlunya

dirumuskan Desain Besar Pemerintah Daerah sebelum melanjutkan kembali

kebijakan pemekran wilayah tidak mendapat sambutan positif dari pihak DPR dan

DPD. Pihak DPR dan DPD beralasan bahwa tindakan menutup aspirasi

masyarakat untuk memekarkan wilayah merupakan tindakan yang tidak

demokratis dan tidak sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang menganut

otonomi daerah.

2.1.2. Problematika Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah kadang dianggap sebagai sesuatu yang bermasalah.

Beberapa contoh permasalahan muncul dari daerah yang dikaji Pamungkas (2007)

dari LIPI antara lain:

1. Konflik dengan kekerasan. Salah satu contoh kasusnya adalah Kabupaten

Polewali-Mamasa yang dimekarkan pada tahun 2002 menjadi Kabupaten

Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat. Konflik

juga terjadi dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat. Bahkan, konflik

juga terjadi dalam usulan pembentukan Provinsi Tapanuli pada tahun 2009

yang berujung pada kematian Ketua DPRD Sumatera Utara.

2. Menurunnya jumlah penduduk dan PAD secara dramatis. Contoh: Kabupaten

Aceh Utara sebelum dimekarkan penduduknya berjumlah 970.000 jiwa,

setelah dimekarkan menjadi Kota Bireun, Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten

Aceh Utara, penduduknya tinggal 420.000 jiwa. Contoh lain, pembentukan

Kota Singkawang menyebabkan Kabupaten Bengkayang banyak kehilangan

penduduknya karena bermigrasi ke Kota Singkawang. Selain itu, Bengkayang

juga menderita karena PAD-nya menurun secara drastis pasca ditinggalkan

Singkawang.

3. Menyempitnya luas wilayah dan beban daerah induk. Kabupaten Halmahera

Barat yang setelah pemekaran wilayahnya menyempit secara drastis, saat ini

dibebani oleh pembiayaan daerah-daerah baru di Kabupaten Halmahera Utara,

Halmahera Selatan, dan Kepulauan Sula.

4. Perebutan wilayah dan masalah ibukota pemekaran. Kasus ini terjadi misalnya

antara Pemda Kabupaten Kampar dengan Pemda kabupaten Rokan Hulu yang

memperebutkan 3 desa, yaitu: Tandung, Aliantan, dan Kabun. Konflik

Page 5: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

13

perebutan wilayah juga terjadi dalam kasus Kabupaten Banggai di Provinsi

Sulawesi Tengah.

5. Perebutan aset. Kasus ini pernah terjadi di Kabupaten Nunukan yang

dimekarkan tahun 1999 yang kemudian berebut gedung dan peralatan dengan

kabupaten induknya, yakni Kabupaten Bulungan. Masalah serupa juga terjadi

antara Kota Lhokseumawe dengan Kabupaten Lhoksukon.

Adriansyah (2009) dari Kementerian Keuangan RI mengidentifikasi

beberapa masalah dalam pemekaran daerah. Menurutnya, berpindahnya daerah

penghasil dari daerah induk ke daerah pemekaran dapat menimbulkan potensi

masalah pada munculnya pengakuan sebagai daerah penghasil. Misalkan:

Kabupaten Ogan Komering Ulu dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir sebagai

daerah penghasil migas, Kabupaten Natuna dengan Kabupaten Anambas sebagai

daerah penghasil migas, Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan Kabupaten

Balangan sebagai daerah penghasil pertambangan umum), serta Kabupaten

Konawe dengan Kabupaten Konawe Utara sebagai daerah penghasil kehutanan.

Munculnya daerah baru sebagai daerah penghasil dalam realisasi penerimaan,

padahal daerah tersebut tidak ditetapkan sebagai daerah penghasil dalam SK

Menteri ESDM, dapat mengakibatkan penundaan penyaluran kepada daerah yang

bersangkutan karena harus terlebih dahulu merubah dokumen anggaran.

Tinjauan yang lain dikemukakan oleh Koespramoedyo (2009) dari Bappenas

yang mengungkapkan beberapa persoalan dalam pemekaran daerah terjadi karena:

1. Pada saat melakukan proses pemekaran daerah tidak dihitung kebutuhan

kawasan budidaya yang bisa dikembangkan sehingga daerah yang dimekarkan

sebagian besar merupakan kawasan hutan lindung. Alih fungsi kawasan hutan

menjadi kawasan non hutan akhirnya dilakukan karena kurangnya kebutuhan

kawasan budidaya, meski hal ini melanggar UU No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

2. Pemekaran wilayah tidak diikuti dengan pemenuhan kebutuhan akan SDM

yang memadai sehingga menyebabkan tidak konsistennya penyelenggaraan

penataan ruang daerah. Daerah pemekaran belum memiliki rencana tata ruang

sehingga mengacu pada tata ruang daerah induknya yang belum tentu sesuai

dengan aspirasi daerah.

3. Adanya pemekaran yang tidak memperhatikan batas-batas administrasi akan

berpotensi menimbulkan sengketa pertanahan. Arsip tanah yang belum

terkelola dengan baik di daerah induk berpotensi menyebabkan permasalahan

pembangunan di daerah.

2.2. Belanja Pemerintah

Belanja pemerintah merupakan instrumen untuk mengukur besarnya peran

pemerintah maupun peran pihak swasta. Selain itu pengeluaran pemerintah dapat

digunakan sebagai penentu jumlah pengeluaran agregat maupun penentu

pertumbuhan PDB riil dalam jangka pendek. Pengeluaran pemerintah atas barang

maupun jasa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu konsumsi pemerintah

dan investasi pemerintah. Yang termasuk dalam golongan yang pertama

(konsumsi pemerintah) adalah pembelian ke atas barang dan jasa yang akan

dikonsumsikan, seperti membayar gaji guru sekolah, membeli alat-alat tulis dan

kertas untuk digunakan dan membeli bensin untuk kendaraan pemerintah.

Page 6: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

14

Sedangkan investasi pemerintah meliputi pengeluaran untuk membangun

prasarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit dan irigasi (Soekirno, 2006).

Dalam konsep keuangan negara, pendapatan negara yang bersumber dari

penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak, akan digunakan

untuk mendanai belanja pemerintah. Dalam klasifikasi ekonomi (Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara), belanja pemerintah terdiri dari:

belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan

sosial, dan belanja lain-lain. Sedangkan, dalam teori ekonomi makro, belanja

pemerintah dikelompokkan dalam belanja konsumsi (Government Consumption

Expenditure = GC) dan investasi pemerintah (Government Investment

Expenditure = GI). Oleh karena itu, penggunaan terminologi belanja menurut

klasifikasi ekonomi dan menurut ekonomi makro tidak 100 (seratus) persen

paralel. Sejalan itu, terminologi belanja modal tidak dapat digunakan untuk

merepresentasikan belanja investasi, atau sebaliknya (Direktorat Jenderal

Anggaran, 2013).

Selanjutnya, dalam APBD, perkembangan pengeluaran investasi yang

sebetulnya tercermin dalam berbagai komponen APBD, sering ditafsirkan secara

lebih sempit sehingga diidentikkan sebagai belanja modal. Sesuai dengan

karakternya, belanja modal dalam APBD diterjemahkan sebagai belanja yang

dilakukan dalam rangka pemupukan modal dalam aset fisik, seperti tanah,

peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam bentuk fisik

lainnya. Padahal, belanja tersebut tidak hanya dilakukan pada belanja modal,

tetapi juga dilakukan dalam belanja barang dan bantuan sosial. Oleh karena itu,

dalam konteks ekonomi makro penggunaan terminologi tersebut sebagai belanja

modal menjadi terlalu sempit, dan lebih cocok untuk menggunakan pengeluaran

investasi Pemerintah.

Terlepas dari problematika terminologi di atas, agar tidak terjadi kerancuan

maka dalam kajian ini tidak dibedakan pengertian antara belanja konsumsi dengan

belanja investasi. Lingkup pengertian belanja pemerintah daerah yang digunakan

adalah mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004.

Dalam UU tersebut, belanja daerah didefinisikan sebagai semua kewajiban daerah

yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun

anggaran yang bersangkutan. Pengertian tersebut selaras dengan pengertian

belanja daerah dalam Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, dimana belanja daerah

diartikan sebagai semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran

tertentu yang menjadi beban daerah.

Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan

kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja daerah menurut jenis belanja

terdiri dari:

1. Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun

barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang

diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas

di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah

dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.

Contoh: gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain-

lain sejenis.

Page 7: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

15

2. Belanja barang dan jasa adalah digunakan untuk pembelian barang dan jasa

yang habis pakai guna memproduksi barang dan jasa. Contoh: pembelian

barang dan jasa keperluan kantor, jasa pemeliharaan, ongkos perjalanan dinas.

3. Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/

pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih

dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan,

seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,

jaringan, buku perpustakaan, dan hewan.

4. Belanja lain-lain (bunga; subsidi; hibah; bantuan sosial; belanja bagi hasil dan

bantuan keuangan; dan belanja tidak terduga).

Dari kacamata definisi lain, belanja daerah menurut kelompok belanja

berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 terdiri atas belanja tidak

langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan

belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan

program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang

dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.

Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari

belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan

keuangan dan belanja tidak terduga. Kelompok belanja langsung dibagi menurut

jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan

belanja modal.

Secara empirik, belanja pemerintah dianggap sebagai implementasi dari

peran atau campur tangan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan

ekonomi masyarakat. Ada beberapa teori yang menunjukkan bahwa

perkembangan peran pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan ekonomi

tidak pernah bisa dihilangkan. Bahkan, teori-teori tersebut justru mengemukakan

bahwa peran pemerintah malah akan semakin meningkat seiring dengan

berkembangnya kondisi perekonomian. Teori-teori tersebut antara lain:

2.2.1. Model Rostow dan Musgrave

Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran

pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah

dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan

tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi

pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus

menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi.

Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap

diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas,

namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan

pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin

besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan

pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih

banyak. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan,

investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase

investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi

lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan

ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk

Page 8: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

16

aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan

masyarakat. (Mangkoesoebroto, 2008)

2.2.2. Hukum Wagner

Hukum Wagner dikenal dengan ―The Law of Expanding State Expenditure”.

Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju

(Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Adolf Wagner menerangkan

mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena

pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Menurut

Wagner, ketika ekonomi menjadi industri, hubungan antar pasar dan agen dalam

pasar menjadi semakin kompleks. Situasi ini memerlukan peraturan perdagangan

dan sistem hukum untuk mengaturnya. Eksternalitas akibat urbanisasi juga

membutuhkan intervensi dan peraturan sektor publik. Dari pengamatan itu

Wagner kemudian mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan

pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB.

Wagner menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per

kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat.

(Mangkoesoebroto, 2008)

2.2.3. Teori Peacock dan Wiseman

Peacock dan Wiseman mengemukakan teori yang didasarkan pada

pandangan masyarakat bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar

pengeluaran, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin

besar tersebut. Masyarakat mempunyai suatu toleransi pajak, yaitu suatu tingkat

dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan

oleh pemerintah untuk membiayai aktivitas pemerintah. Jadi masyarakat

menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas

pemerintah, sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan masyarakat

untuk membayar pajak (Mangkoesoebroto, 2008).

Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB)

menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak

berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran

pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal,

meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar,

begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila

keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka

pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena

itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah

meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak

sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan

ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial

menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah.

2.3. Infrastruktur

Infrastruktur dapat diartikan sebagai kemudahan dasar dalam berbagai

instalasi terutama dalam sistem komunikasi, transportasi, listrik, dan air yang

dibutuhkan oleh masyarakat dalam menunjang aktivitasnya baik itu untuk usaha

dalam bentuk industri maupun perdagangan serta untuk mendukung kelancaran

Page 9: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

17

arus orang, barang dan jasa dari suatu tempat ke tempat lain. Stone dalam

Kodoatie (2003) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas fisik yang

dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi

pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah,

transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuan-tujuan

ekonomi dan sosial.

Bank Dunia (1994) mengkategorikan infrastruktur ke dalam 3 kelompok.

Pertama, infrastruktur ekonomi, yakni aset fisik dalam menyediakan jasa dan

digunakan dalam produksi dan konsumsi final, meliputi: public utilities

(telekomunikasi, air minum, sanitasi, dan gas), public works (jalan, bendungan,

saluran irigasi, dan drainase), serta sektor transportasi (jalan kereta api, angkutan

pelabuhan, dan lapangan terbang). Kedua, infrastruktur sosial, yaitu merupakan

aset dalam mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat, meliputi: pendidikan

(sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), serta untuk

rekreasi (taman, museum, dan sejenisnya). Ketiga, infrastruktur administrasi/

institusi, meliputi: penegakan hukum, pertahanan keamanan, kontrol administrasi

dan koordinasi, serta kebudayaan.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite

Percepatan Penyediaan Infrastruktur, dipaparkan ragam jenis infrastruktur yang

penyediaannya diatur pemerintah, yakni: infrastruktur transportasi, infrastruktur

jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur

telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, serta infrastruktur pengangkutan

minyak dan gas bumi. Jenis infrastruktur tersebut di atas seringkali disebut

sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang menjadi kebutuhan dasar

masyarakat sehingga pengadaan dan pengelolaannya perlu diatur oleh pemerintah.

2.3.1. Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi

Kesadaran akan pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi telah

disampaikan oleh Adam Smith pada tahun 1776 dalam karyanya yang terkenal

―The Wealth of Nation‖. Adam Smith menyatakan: ―Good roads, canals, and

navigable rivers, by diminishing the expense of carriage, put the remote parts or

the country more nearly upon a level with those in the neighboring town. They are

upon that account greatest of all improvements.‖ Ketersediaan infrasturktur

menghasilkan eksternalitas positif karena dapat meningkatkan produktifitas dan

pelaku usaha dengan berkurangnya beban usaha yang harus ditanggung. Studi

yang pernah dilakukan Bank Dunia menunjukkan betapa pentingnya infrastruktur

dalam pertumbuhan ekonomi. Studi tersebut menyimpulkan bahwa faktor utama

yang menyebabkan percepatan pertumbuhan ekonomi dunia abad ke-20

dibandingkan beberapa abad sebelumnya adalah karena kemajuan teknologi dan

pertumbuhan pembangunan infrastruktur.

Dalam stadium general di ITB, Kwik Kian Gie (2002) pernah

menyampaikan bahwa peran infrastruktur dalam pembangunan dapat dilihat dari

sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kontribusinya terhadap

peningkatan kualitas hidup. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa

pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital,

Sedang dalam tingkat ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur

berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Kontribusi infrastruktur

terhadap peningkatan kualitas hidup dapat ditunjukkan oleh terciptanya amenities

Page 10: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

18

dalam lingkungan fisik, terjadinya peningkatan kesejahteraan, (peningkatan nilai

konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan

kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata), terwujudnya stabilisasi makro

ekonomi (keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya

terhadap pasar tenaga kerja).

2.3.2. Otonomi Daerah dan Kondisi Infrastruktur di Indonesia

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, masalah infrastruktur merupakan hal

yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bisa

digambarkan, misalkan, apabila jalan-jalan (baik jalan biasa maupun jalan tol)

tersedia dengan baik maka akan membantu berkembangnya masyarakat di suatu

wilayah. Kegiatan usaha, baik berupa pertukaran maupun distribusi barang, di

suatu wilayah akan dapat berjalan baik bila didukung infrastruktur jalan yang

memudahkan akses keluar-masuk wilayah tersebut. Begitu pula jenis-jenis

infrastruktur lain, seperti: pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, jaringan

tenaga listrik, penyediaan air minum, infrastruktur persampahan, dan juga

infrastruktur telekomunikasi.

Melihat pentingnya ketersediaan infrastruktur mengharuskan pemerintah

sebagai pihak yang bertanggung jawab menyediakan infrastruktur untuk

mengalokasi dana yang sangat besar untuk membiayai pembangunan dan

pemeliharaan infrastruktur. Sayangnya, kemampuan keuangan pemerintah sangat

terbatas sehingga tidak mampu menyediakan infrastruktur yang memadai.

Selain persoalan pendanaan, penyediaan infrastruktur juga kerap terkendala

oleh buruknya kinerja pemerintahan di daerah. Sejak berlakunya otonomi daerah,

penyediaan infrastruktur terkesan bukan lagi prioritas utama pembangunan

Padahal, tujuan otonomi daerah adalah memberikan pelayanan publik yang lebih

intensif dan nyata kepada masyarakat, termasuk penyediaaan infrastruktur dasar.

Ketersediaan infrastruktur sangat penting bagi kemajuan pembangunan serta

peningkatan ekonomi daerah. Sebelum otonomi daerah, dana pembangunan jalan

daerah diatur oleh pemerintah pusat melalui Instruksi Presiden (Inpres) Jalan

Provinsi atau Inpres Jalan Kabupaten. Setelah otonomi daerah, alokasi diserahkan

pada setiap daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi

Khusus (DAK). Hal ini menjadikan daerah memiliki wewenang penuh dalam

pelaksanaan pembangunan jalan.

Dalam upaya peningkatan ekonomi, tentunya setiap daerah akan berusaha

untuk menarik minat investor. Upaya yang harus dilakukan diantaranya adalah

menyiapkan ketersediaan fasilitas dan infrastruktur daerah. Sayangnya, hasil di

lapangan masih belum sebagaimana diharapkan. Mengacu Global

Competitiveness Report 2008-2009, inefisiensi birokrasi menempati urutan

pertama faktor penghambat investasi di Indonesia. Sedangkan keburukan

infrastruktur menempati urutan kedua. Sementara itu, hasil survei Komite

Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) untuk iklim investasi 2007

menunjukkan lemahnya manajemen infrastruktur pemerintah daerah menjadi

kendala utama investasi.

Pemerintah bukan berarti tidak berupaya meningkatkan alokasi dana untuk

pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Data Kementerian Keuangan,

misalnya, menunjukkan bahwa belanja di sektor jalan terus meningkat sejak era

otonomi daerah. Rata-rata anggaran belanja pemerintah daerah untuk

Page 11: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

19

pembangunan infrastruktur telah mencapai 11%-13% dari total APBD. Namun, di

tengah peningkatan anggaran tersebut, porsi jalan rusak justru bertambah besar.

Data BPS menyebutkan, panjang jalan kabupaten/kota dengan kualitas rusak-

parah sebesar 24,9% pada 2007, dan meningkat menjadi 44% pada 2010.

Alokasi anggaran untuk infrastruktur di pos APBD terus meningkat. Namun

temuan studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun

2012 memperlihatkan bahwa peningkatan anggaran tersebut tidak diikuti dengan

peningkatan kualitas infrastruktur. Korupsi dipandang sebagai biang keladi dari

ketidaksinkronan antara peningkatan anggaran dengan kualitas infrastrukur.

Kenyataan lain bahwa selama ini ketersediaan infrastruktur justru masih menjadi

kendala utama bagi aktiftas usaha di Indonesia (Ratnawati, 2012).

Di sisi lain, peran swasta dalam pembiayaan infrastruktur dituntut melalui

berbagai skema. Sayangnya ada sejumlah daerah yang mengalihkan tanggung

jawab penyediaan infrastruktur tersebut kepada pihak swasta (melalui Peraturan

Daerah) dengan alasan dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan

usaha. Namun sayang pengalihan tanggung jawab tersebut tidak diikuti

kompensasi terhadap swasta yang menyediakan kontribusi yang sudah diberikan,

malahan justru sanksi bila pihak swasta tidak sanggup melaksanakannya.

2.4. Tenaga Kerja

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan tenaga kerja sebagai seluruh

penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat

memproduksikan barang dan jasa. Sebelum tahun 2000, Indonesia menggunakan

dasar kriteria seluruh penduduk berusia 10 tahun ke atas. Selanjutnya mulai

Sensus Penduduk 2000 dan sesuai dengan ketentuan secara internasional, tenaga

kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun atau lebih. Kriteria ini menjadi

indikator yang digunakan dalam pembuat kebijakan perencanaan ketenagakerjaan,

baik di daerah maupun nasional. Indikator ini juga digunakan untuk mengetahui

berapa banyak tenaga kerja atau penduduk usia kerja potensial yang dapat

memproduksikan barang dan jasa.

Secara ringkas, tenaga kerja terdiri atas angkatan kerja dan bukan angkatan

kerja. Yang dimaksud dengan angkatan kerja adalah bagian dari tenaga kerja yang

terlibat atau masih berusaha uantuk terlibat dalam kegiatan produktif yang

menghasilkan barang dan jasa. Menurut Suparmoko (2002) angkatan kerja adalah

penduduk yang belum bekerja namun siap untuk bekerja atau sedang mencari

pekerjaan pada tingkat upah yang berlaku. Angkatan kerja terdiri atas golongan

yang bekerja, dan golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan. Sedangkan

yang dimaksud dengan bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih sekolah,

golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain-lain atau penerima

pendapatan. Jika yang digunakan sebagai satuan hitung tenaga kerja adalah orang,

maka disini dianggap bahwa semua orang mempunyai kemampuan dan

produktifitas kerja yang sama dan lama waktu kerja yang dianggap sama.

Dalam statistik ketenagakerjaan di Indonesia, selain istilah angkatan kerja

juga terdapat istilah kesempatan kerja. BPS mendefinisikan kesempatan kerja

sebagai jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut

lapangan pekerjaan utama. Sedangkan yang dimaksud lapangan pekerjaan utama

itu adalah pekerjaan pada 9 sektor sebagai berikut:

a. Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan

Page 12: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

20

b. Pertambangan dan Penggalian

c. Industri

d. Listrik, Gas dan Air

e. Konstruksi

f. Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi

g. Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi

h. Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan, dan Jasa Perusahaan

i. Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan

Kesempatan kerja merupakan terjemahan bagi employment yang berarti

sebagai jumlah orang yang bekerja tanpa memperhitungkan berapa banyak

pekerjaan yang dimiliki tiap orang, pendapatan dan jam kerja mereka.

Kesempatan kerja juga dapat dimaknai sebagai permintaan tenaga kerja (demand

for labor), yaitu suatu keadaan yang menggambarkan tersedianya lapangan kerja

yang siap diisi para pencari kerja.

Besarnya kesempatan kerja tergantung pada beberapa faktor, di antaranya:

pertumbuhan output, tingkat upah dan harga-harga dari faktor produksi lainnya.

Dikemukakan Tambunan (2001) bahwa hubungan antara pertumbuhan output

dengan peningkatan jumlah kesempatan kerja dapat digambarkan lewat hubungan

antara pasar barang dengan pasar tenaga kerja, di mana melalui mekanisme pasar

terjadi pertemuan antara permintaan dan penawaran. Di pasar tenaga kerja, rumah

tangga menawarkan jasanya dan mendapatkan harga (gaji). Apabila permintaan

konsumsi rumah tangga di pasar barang meningkat, maka produksi dari sisi

penawaran pasar barang meningkat dan terjadilah pertumbuhan output. Apabila di

semua pasar terjadi peningkatan output, maka secara agregat terjadi pertumbuhan

ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan mendorong adanya pertumbuhan

kesempatan kerja. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka akan semakin

tinggi pula pertumbuhan kesempatan kerja.

Tenaga kerja yang berkualitas yang mempunyai ketrampilan dan

kemampuan yang semakin tinggi juga telah mendorong adanya peningkatan

dalam upah tenaga kerja. Tenaga kerja yang berkualitas dan mempunyai

kemampuan serta ketrampilan yang tinggi ini telah mendorong peningkatan

produktivitas yang akhirnya mendorong peningkatan output. Oleh karena itu,

walaupun sisi penawaran lebih besar daripada sisi permintaan, namun upah selalu

mengami peningkatan dari tahun ke tahun.

2.5. Pertumbuhan Ekonomi

Kemajuan ekonomi suatu daerah menunjukkan keberhasilan suatu

pembangunan meskipun bukan merupakan satu-satunya indikator keberhasilan

pembangunan (Todaro, Smith, 2006). Ada tiga macam ukuran untuk menilai

pertumbuhan ekonomi yaitu pertumbuhan output, pertumbuhan output per pekerja,

dan pertumbuhan output per kapita. Pertumbuhan output digunakan untuk menilai

pertumbuhan kapasitas produksi yang dipengaruhi oleh adanya peningkatan

tenaga kerja dan modal di wilayah tersebut. Pertumbuhan output per tenaga kerja

sering digunakan sebagai indikator adanya perubahan daya saing wilayah tersebut

(melalui pertumbuhan produktivitas). Sedangkan pertumbuhan output per kapita

digunakan sebagai indikator perubahan kesejahteraan ekonomi.

Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan seperti yang diuraikan sebagai

berikut:

Page 13: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

21

2.5.1. Teori Harrod-Domar

Teori ini dikembangkan oleh Sir Henry Roy Forbes Harrod dan Evsey David

Domar. Teori ini merupakan perkembangan dari teori pertumbuhan yang

disampaikan oleh John Maynard Keynes. Dengan dasar pemikiran bahwa analisis

yang dilakukan oleh Keynes dianggap kurang lengkap karena tidak membicarakan

masalah-masalah ekonomi jangka panjang, Harrod-Domar kemudian mencoba

untuk menganalisis syarat-syarat yang diperlukan agar perekonomian dapat

tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang dengan mantap (steady growth).

Steady growth sendiri dapat diartikan sebagai pertumbuhan yang selalu akan

memunculkan penggunaan sepenuhnya peralatan modal dalam siklus

perekonomian.

Ada beberapa asumsi yang digunakan Harrod-Domar dalam menjelaskan

teorinya, antara lain:

a. Perekonomian dalam keadaan seluruh barang modal dan tenaga kerja telah

seluruhnya digunakan (full employment).

b. Perekonomian hanya terdiri dari dua sektor, yaitu: rumah tangga (household)

dan perusahaan (firm). Tidak ada pemerintah (government) dan trade with rest

of the world.

c. Besarnya private saving adalah proporsional dengan national income.

d. Marginal propensity to save (MPS), capital-output ratio (COR) dan

incremental capital-output ratio (ICOR) dianggap konstan/tetap.

Berdasarkan pada asumsi di atas dapat diasumsikan bahwa tabungan harus sama

dengan total investasi (S = I), dimana tabungan merupakan suatu proporsi dari

output total (S = s.Y). Sedangkan investasi didefinisikan sebagai perubahan stok

kapital (dilambangkan dengan I = ∆K). Karena kapital (K) memiliki hubungan

langsung dengan output total (Y) yang ditunjukkan melalui COR (k), maka dapat

dituliskan k = ∆K/∆Y atau K = k.Y. Dari persamaan tersebut dapat dituliskan

identitas dari tabungan yang sama dengan investasi (S = I )sebagai berikut:

S = s.Y = k.∆Y = ∆K = I

atau

s.Y = k.∆Y

atau

∆Y/Y = s/k

Persamaan Harrod-Domar ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan

output secara positif berhubungan dengan rasio tabungan. Makin tinggi tabungan

diinvestasikan, makin tinggi pula output. Hubungan antara COR dengan tingkat

pertumbuhan output adalah negatif, yaitu makin tinggi nilai COR maka makin

rendah tingkat pertumbuhan output. Oleh karena itu, jika ingin tumbuh,

perekonomian harus menabung dan menginvestasikan suatu proporsi tertentu dari

output totalnya. Dengan kata lain, semakin banyak porsi PDB yang ditabung akan

menambah capital stock sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

2.5.2. Teori Solow

Model Solow sebagai salah satu model pertumbuhan ekonomi memberikan

analisis statis bagaimana keterkaitan antara akumulasi modal, pertumbuhan

populasi penduduk, dan perkembangan teknologi serta pengaruh ketiganya

terhadap tingkat produksi output. Teori yang dicetuskan oleh Robert Solow ini

Page 14: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

22

memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa perekonomian di suatu negara bisa

tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi di negara lain.

Model pertumbuhan Solow menggunakan dua buah faktor produksi utama,

yakni: modal dan tenaga kerja, serta sebuah unsur baru yakni teknologi. Modal

dan tenaga kerja dapat saling mensubtitusi satu sama lain. Solow mengasumsikan

bahwa setiap faktor produksi akan mengalami diminishing return, yakni jika input

ditambahkan terus menerus maka output akan bertambah tetapi dengan tingkat

pertambahan yang semakin mengecil. Oleh karena itu investasi yang terus-

menerus belum tentu akan dapat memberikan pertumbuhan yang permanen.

Dengan demikian kemajuan teknologi akan sangat menentukan pertumbuhan

ekonomi dalam jangka panjang.

Bentuk model Solow didasarkan pada fungsi produksi sederhana dari

Output (Y), Kapital (K) dan tenaga kerja (L) serta teknologi (T) sebagaimana

tampak pada persamaan berikut:

Y = f (K,L,T)

Dalam pandangan Solow, teknologi merupakan faktor eksogen. Dampak dari

kemajuan teknologi adalah dapat memunculkan pertumbuhan ekonomi secara

berkelanjutan karena teknologi dapat mengoptimalkan efisiensi tenaga kerja yang

terus tumbuh.

Menurut teori Solow ada beberapa hal yang dilakukan untuk memacu

pertumbuhan ekonomi. Pertama, meningkatkan porsi tabungan akan

meningkatkan akumulasi modal dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kedua,

meningkatkan investasi yang sesuai dalam perekonomian baik dalam bentuk fisik

maupun non-fisik. Ketiga, mendorong kemajuan teknologi dapat meningkatkan

pendapatan per tenaga kerja sehingga pemberian kesempatan untuk berinovasi

pada sektor swasta akan berpengaruh besar dalam pertumbuhan ekonomi.

2.5.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan penjumlahan dari semua harga dan jasa akhir atau semua

nilai tambah yang dihasilkan oleh daerah dalam periode waktu tertentu (1 tahun).

Untuk menghitung nilai seluruh produksi yang dihasilkan suatu perekonomian

dalam suatu tahun tertentu dapat digunakan 3 cara penghitungan (Soekirno, 1994).

Ketiga cara tersebut adalah

1. Cara Pengeluaran. Dengan cara ini pendapatan nasional dihitung dengan

menjumlah pengeluaran ke atas barang-barang dan jasa yang diproduksikan

dalam negara tersebut. Menurut cara ini pendapatan nasional adalah jumlah

nilai pengeluaran rumah tangga konsumsi, rumah tangga produksi dan

pengeluaran pemerintah serta pendapatan ekspor dikurangi dengan

pengeluaran untuk barang-barang impor.

2. Cara Produksi atau cara produk netto. Dengan cara ini pendapatan nasional

dihitung dengan menjumlahkan nilai produksi barang atau jasa yang

diwujudkan oleh berbagai sektor (lapangan usaha) dalam perekonomian.

Dalam menghitung pendapatan nasional dengan cara produksi yang

dijumlahkan hanyalah nilai produksi tambahan atau value added yang

diciptakan.

Page 15: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

23

3. Cara Pendapatan. Dalam penghitungan ini pendapatan nasional diperoleh

dengan cara menjumlahkan pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor

produksi yang digunakan untuk mewujudkan pendapatan nasional.

Adapun manfaat penghitungan nilai PDRB adalah :

1. Mengetahui dan menelaah struktur atau susunan perekonomian. Dari

perhitungan PDRB dapat diketahui apakah suatu daerah termasuk daerah

industri, pertanian atau jasa dan berapakah besar sumbangan masing-masing

sektornya.

2. Membandingkan perekonomian dari waktu ke waktu. Oleh karena nilai PDRB

dicatat tiap tahun, maka akan di dapat catatan angka dari tahun ke tahun.

Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh keterangan kenaikan atau

penurunan apakah ada perubahan atau pengurangan kemakmuran material

atau tidak.

2.6. Penelitian Sebelumnya

Belum banyak penelitian sebelumnya yang dilakukan terkait dengan belanja

pemerintah, infrastruktur, tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi di daerah hasil

pemekaran. Namun ada beberapa penelitian yang relevan yang bisa disebutkan,

antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Mailendra (2009) tentang dampak pemekaran

wilayah dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di

Provinsi Jawa Barat selama periode 2002-2006. Tujuan penelitian ini adalah

menganalisis perkembangan IPM Jabar sebelum dan setelah adanya

pemekaran. Selain itu juga dianalisis dampak pemekaran dan faktor-faktor

yang mempengaruhi pembangunan manusia Jabar sehingga didapatkan

rekomendasi kebijakan guna mewujudkan visi IPM Jabar sebesar 80 pada

2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IPM seluruh kabupaten dan kota

di Jawa Barat mengalami peningkatan. Daerah baru hasil pemekaran memiliki

IPM lebih tinggi dari daerah induk. Selain daerah baru, wilayah kota memiliki

nilai IPM yang relatif lebih tinggi dibanding kabupaten. Laju pertumbuhan

IPM sebelum pemekaran memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan setelah

pemekaran. Pemekaran wilayah di Jawa Barat ternyata membuat ketimpangan

antar daerah baru dan induk semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sebagian

besar potensi daerah induk berada di daerah baru yang dimekarkan.

2. Penelitian yang dilakukan Yuliadi (2012) tentang kesenjangan investasi dan

evaluasi kebijakan pemekaran wilayah di Indonesia. Tujuan penelitian ini

untuk melihat implikasi kebijakan pemekaran Provinsi Gorontalo, sejak

provinsi tersebut berpisah dari Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2001,

terhadap kesenjangan investasi di provinsi tersebut. Peneliti menemukan

bahwa nilai rasio kesenjangan investasi penanaman modal asing (PMA) di

Gorontalo dalam konteks analisis kesenjangan investasi di kawasan timur

Indonesia (KATIMIN) sebelum diterapkannya kebijakan pemekaran wilayah

pada tahun 2000 sebesar 94223,20174. Pada tahun 2001 nilai r turun menjadi

1397685,323 artinya bahwa kebijakan pemekaran wilayah provinsi Gorontalo

dari provinsi Sulawesi Utara mengalami penurunan kesenjangan investasi

PMA. Keadaan ini terus mengalami fluktuasi sampai tahun 2003 dan pada

tahun 2004 nilai r turun tajam menjadi 21260,04107. Kemudian pada tahun

verikutnya yaitu dari 2005 mengalami peningkatan sangat tajam menjadi

Page 16: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan

24

10457,22061. Hasil penelitian ini menyiratkan bahwa dampak dari kebijakan

pemekaran wilayah provinsi Gorontalo dari provinsi Sulawesi Utara dalam

jangka pendek relatif belum menunjukkan pengaruh yang berarti namun dalam

jangka menengah dan panjang berpengaruh cukup besar terhadap kesenjangan

investasi PMA dalam konteks perekonomian di kawasan timur Indonesia

(KATIMIN).

3. Penelitian yang dilakukan Mubaroq, et al. (2013) tentang pengaruh investasi

pemerintah, tenaga kerja, desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi

kabupaten di Indonesia. Penelitian ini mencoba menganalisis pengaruh

investasi pemerintah, tenaga kerja, dan desentralisasi fiskal terhadap

pertumbuhan ekonomi pada 395 kabupaten yang ada di seluruh Indonesia

dalam kurun waktu 2007-2010. Penelitian ini menemukan bahwa investasi

pemerintah, jumlah tenaga kerja dan desentralisasi fiskal

kabupaten di Indonesia pada periode 2007-2010 memiliki pengaruh

positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi pada taraf α

= 1 persen. Untuk setiap kenaikan 1 persen rasio belanja modal

terhadap PDRB berlaku akan memberikan kenaikan pertumbuhan

ekonomi sebesar 0,035 persen. Untuk setiap kenaikan 1.000 orang

tenaga kerja di kabupaten di Indonesia akan memberikan kenaikan

pertumbuhan ekonomi sebesar 0,004 persen. Desentralisasi fiskal

yang diproksi dengan tingkat kemandirian daerah berupa rasio

antar Pendapatan Asli Daerah terhadap Pendapatan Daerah juga

akan memberikan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,069

persen untuk kenaikan setiap 1 persen tingkat kemandirian daerah.

4. Penelitian yang dilakukan Candra (2012) tentang peranan pengeluaran

pemerintah, tenaga kerja dan penanaman modal dalam negeri (PMDN)

terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur tahun 2001-2010. Hasil

dari penelitian menunjukkan pengeluaran pemerintah, tenaga kerja dan

penanaman modal dalam negeri (PMDN) berpengaruh terhadap pertumbuhan

ekonomi. Ketiga variabel di atas berpengaruh positif dan signifikan, kecuali

variabel penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang berpengaruh positif

tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.