10-rina

10
101 NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG RINA HERMAWATI Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Komputer Indonesia Mahasiswa sebagai salah satu kekuatan penekan dalam konstelasi sosial politik di Indonesia dianggap memiliki rasa nasionalisme yang rendah. Hal ini disebabkan karena sikap kritis mahasiswa terhadap berbagai kebijakan dan kinerja pemerintahan serta adanya kecenderungan mahasiswa melecehkan simbol nasionalisme seperti bendera, lagu Kebangsaan, slogan, dan lain-lain. Anggapan ini masih memerlukan pembuktian mengingat nasionalisme bersifat multiinterpretatif. Artinya, setiap kelompok dalam masyarakat dimungkinkan untuk memiliki pengertian, makna dan wujud nasionalisme yang berbeda. Nasionalisme, aktivis mahasiswa. Mahasiswa mempunyai peranan yang sangat penting dalam konstelasi sosial politik di Indonesia. Keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan, terutama pengambil kebijakan yakni negara. Kondisi tersebut didukung oleh berbagai kelebihan yang dimiliki mahasiswa yaitu kelebihan dalam pemikiran ilmiah, semangat muda, sifat kritis, kematangan logika dan kebersihan dari noda orde masanya (Syukri, 2003). Lebih jauh, Syukri mengemukakan bahwa peran nyata mahasiswa dalam pembentukan nasionalisme Indonesia dapat dilihat dalam 5 gelombang (Syukri, 2003) yaitu : 1. Nasionalisme gelombang pertama yaitu kebangkitan nasionalisme Indonesia yang diawali dengan pendirian Budi Utomo pada tahun 1908, dengan dimotori oleh para mahasiswa kedokteran Stovia 2. Nasionalisme gelombang kedua yaitu gerakan Sumpah Pemuda sebagai wujud kesadaran untuk menyatukan negara, bangsa dan bahasa ke dalam satu negara, bangsa dan bahasa Indonesia tidak terlepas dari peran mahasiswa Indonesia seperti Soepomo, Hatta dan Sutan Syahrir. 3. Nasionalisme gelombang ketiga yaitu pada masa kemerdekaan 1945 tidak terlepas dari peran mahasiswa yang mendesak para pemimpin untuk segera memproklamasikan Indonesia 4. Nasionalisme gelombang keempat yaitu lahirnya Orde Baru 1966 dimotori oleh gerakan mahasiswa serta organisasi sosial lainnya 5. Nasionalisme gelombang kelima yaitu lahirnya Orde Reformasi 1998 tidak terlepas dari gerakan mahasiswa yang menentang rezim orde baru. Pada era reformasi di mana nasionalisme sedang memperoleh banyak tantangannya baik yang bersifat global maupun lokal, rasa nasionalisme di kalangan mahasiswa kembali mendapat perhatian masyarakat. Berbagai kalangan masyarakat menganggap bahwa ada kecenderungan menurunnya rasa nasionalisme di kalangan mahasiswa, khususnya aktivis Alamat korespondensi pada Rina Hermawati, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Komputer Indonesia, Jalan Dipati Ukur 114, Bandung 40132. Email: [email protected]. Bidang Humaniora Majalah Ilmiah Unikom, Vol.6, hlm. 101-110

Upload: fendy1989

Post on 24-Dec-2015

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ok

TRANSCRIPT

Page 1: 10-Rina

NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG

101

NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG

RINA HERMAWATI

Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Komputer Indonesia

Mahasiswa sebagai salah satu kekuatan penekan dalam konstelasi sosial politik di Indonesia dianggap memiliki rasa nasionalisme yang rendah. Hal ini disebabkan karena sikap kritis mahasiswa terhadap berbagai kebijakan dan kinerja pemerintahan serta adanya kecenderungan mahasiswa melecehkan simbol nasionalisme seperti bendera, lagu Kebangsaan, slogan, dan lain-lain. Anggapan ini masih memerlukan pembuktian mengingat nasionalisme bersifat multiinterpretatif. Artinya, setiap kelompok dalam masyarakat dimungkinkan untuk memiliki pengertian, makna dan wujud nasionalisme yang berbeda. Nasionalisme, aktivis mahasiswa.

Mahasiswa mempunyai peranan yang sangat penting dalam konstelasi sosial politik di Indonesia. Keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan, terutama pengambil kebijakan yakni negara. Kondisi tersebut didukung oleh berbagai kelebihan yang dimiliki mahasiswa yaitu kelebihan dalam pemikiran ilmiah, semangat muda, sifat kritis, kematangan logika dan kebersihan dari noda orde masanya (Syukri, 2003). Lebih jauh, Syukri mengemukakan bahwa peran nyata mahasiswa dalam pembentukan nasionalisme Indonesia dapat dilihat dalam 5 gelombang (Syukri, 2003) yaitu : 1. Nasionalisme gelombang pertama yaitu

kebangkitan nasionalisme Indonesia yang diawali dengan pendirian Budi Utomo pada tahun 1908, dengan dimotori oleh para mahasiswa kedokteran Stovia

2. Nasionalisme gelombang kedua yaitu gerakan Sumpah Pemuda sebagai wujud kesadaran untuk menyatukan negara,

bangsa dan bahasa ke dalam satu negara, bangsa dan bahasa Indonesia tidak terlepas dari peran mahasiswa Indonesia seperti Soepomo, Hatta dan Sutan Syahrir.

3. Nasionalisme gelombang ketiga yaitu pada masa kemerdekaan 1945 tidak terlepas dari peran mahasiswa yang mendesak para p e m i m p i n u n t u k s e g e r a memproklamasikan Indonesia

4. Nasionalisme gelombang keempat yaitu lahirnya Orde Baru 1966 dimotori oleh gerakan mahasiswa serta organisasi sosial lainnya

5. Nasionalisme gelombang kelima yaitu lahirnya Orde Reformasi 1998 tidak terlepas dari gerakan mahasiswa yang menentang rezim orde baru.

Pada era reformasi di mana nasionalisme sedang memperoleh banyak tantangannya baik yang bersifat global maupun lokal, rasa nasionalisme di kalangan mahasiswa kembali mendapat perhatian masyarakat. Berbagai kalangan masyarakat menganggap bahwa ada kecenderungan menurunnya rasa nasionalisme di kalangan mahasiswa, khususnya aktivis

Alamat korespondensi pada Rina Hermawati, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Komputer Indonesia, Jalan Dipati Ukur 114, Bandung 40132. Email: [email protected].

Bidang Humaniora

Majalah Ilmiah Unikom, Vol.6, hlm. 101-110

Page 2: 10-Rina

RINA HERMAWATI

102

mahasiswa. Penilaian ini muncul diakibatkan oleh sikap kritis aktivis mahasiswa terhadap berbagai kebijakan dan kinerja pemerintahan yang sering kali dianggap memperpanjang krisis multidimensi yang dialami Indonesia. Selain itu, terdapat beberapa perilaku aktivis mahasiswa yang dianggap melecehkan simbol nasionalisme baik yang bersifat verbal seperti slogan dan lagu kebangsaan maupun non verbal seperti bendera, pemimpin, dan lain-lain. Beberapa contoh perilaku tersebut antara lain meliputi kegiatan pembakaran bendera merah putih, pembakaran gambar pemimpin nasional, pendudukan terhadap gedung-gedung kenegaraan, perubahan syair lagu-lagu perjuangan menjadi lagu-lagu yang menyuarakan ketidakpuasan, kerawanan sosial, penderitaan dan kemarahan rakyat, serta slogan atau yel-yel yang menentang rezim berkuasa.

Anggapan mengenai rendahnya rasa nasionalisme di kalangan aktivis mahasiswa masih memerlukan pembuktian. Sikap kritis aktivis mahasiswa dapat dinilai sebaliknya yaitu menunjukkan tingginya kesadaran mahasiswa terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian juga dengan pembakaran terhadap bendera merah putih tidak serta merta dapat diartikan sebagai pencerminan rendahnya rasa nasionalisme di kalangan aktivis mahasiswa.

Fenomena di atas menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara aktivis mahasiswa dan masyarakat mengenai konsep dan wujud nasionalisme. Tulisan ini dirangkum dari penelitian penulis mengenai persepsi aktivis mahasiswa tentang simbol nasionalisme yang secara garis besar berisi tentang bagaimana aktivis mahasiswa memberikan arti, makna dan wujud nasionalisme Indonesia. Penelitian dilakukan di Kota Bandung dengan anggapan bahwa Bandung merupakan salah satu barometer kekuatan politik dan kota pelajar di Indonesia.

Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi dengan sumber informasi adalah mahasiswa yang menjadi aktivis berbagai organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus. Sumber informasi yang dipilih adalah aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Majalah Kampus, Kelompok-kelompok kajian, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Front Mahasiswa Nasional (FMN) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Sedangkan pemilihan informan penelitian dilakukan secara purposif yaitu disesuaikan dengan kriteria yang telah ditentukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pemilihan informan pada penelitian etnografi mengacu pada kualitas informasi yang dibutuhkan, bukan berapa banyak sampel yang diperlukan. Dalam penelitian ini, peneliti memilih informan berdasarkan pada kriteria: 1. Informan merupakan tokoh organisasi

kemahasiswaan yang memiliki pengaruh luas di kalangan mahasiswa.

2. Informan memiliki pengetahuan yang luas dan memadai sesuai dengan permasalahan penelitian.

3. Informan memiliki banyak pengalaman sesuai dengan lapangan penelitian.

4. Informan memiliki pandangan tentang sesuatu hal berkaitan dengan penelitian.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, diperoleh melalui beberapa teknik pengumpulan data, yaitu catatan etnografis, wawancara mendalam, observasi dan studi pustaka. 1. Membuat catatan-catatan etnografis,

berupa catatan-catatan kecil ketika peneliti berada di lapangan. Catatan berisi kejadian-kejadian menarik, gambaran umum kondisi di lapangan dan lain sebagainya yang berfungsi untuk melengkapi proses wawancara serta akan digunakan pada saat analisis data.

2. Melakukan wawancara mendalam dengan informan. Wawancara dilakukan

Page 3: 10-Rina

NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG

103

secara individu dan berkelompok (focus group discussion). Cara ini digunakan untuk membantu peneliti menggali pengetahuan responden tentang topik yang diteliti serta berfungsi sebagai cek silang (cross check) terhadap catatan-catatan etnografis yang telah dibuat. Wawancara dilakukan secara bebas dan sambil lalu, tanpa disadari oleh informan sendiri.

3. Teknik observasi merupakan salah satu tahapan yang digunakan penulis untuk mengamati kehidupan sehari-hari aktivis mahasiswa yang diteliti dalam kurun waktu tertentu, mengamati berbagai peristiwa yang terjadi, menyimak apa yang dikatakan dan mengajukan pertanyaan. Ringkasnya, mengumpulkan data atau informasi apapun yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan gejala-gejala yang sedang dikaji.

4. Studi kepustakaan. Pada tahapan ini, peneliti melakukan pengumpulan data melalui penelaahan terhadap buku-buku, artikel, serta literatur lainnya yang mempunyai hubungan dengan persepsi simbol-simbol nasionalisme di kalangan aktivis mahasiswa. Buku-buku, artikel dan literatur tersebut dipelajari dan dipahami untuk memperkuat ataupun membantah hasil penelitian. Apabila ditemukan literatur yang berbeda dengan hasil penelitian, maka dilakukan cross check dengan informan penelitian.

H A S I L P E N E L I T I A N D A N PEMBAHASAN Pengertian dan Makna Nasionalisme di Kalangan Aktivis Mahasiswa Unpad Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, diperoleh informasi bahwa aktivis mahasiswa Bandung me mb er ik an penge r t i an nasionalisme berdasarkan tiga rentang arti berikut ini :

Nasionalisme adalah sebuah ideologi politik yang menjelaskan kepada rakyat tentang batas-batas negara dan memberikan definisi

sebuah bangsa yang berbeda dengan bangsa lainnya.

Pengertian di atas memandang nasionalisme sebagai sebuah ideologi dengan penekanan pada pentingnya penataan wilayah dan upaya membangun identitas nasional melalui budaya nasional sebagai representasi dari budaya lokal. Pengertian tersebut senada dengan pendapat Smith (2002:26) yang mengatakan bahwa ideologi nasionalis mempunyai sasaran untuk mencapai pemerintahan kolektif sendiri, penyatuan wilayah dan identitas budaya. Selanjutnya, Smith mengatakan bahwa untuk mencapai sasaran tersebut, terdapat tiga ideal fundamental yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional dan identitas nasional. Dalam pengertian umum, otonomi diartikan sebagai mengatur diri sendiri (self regulation), artinya memiliki hukum sendiri dan bebas dari kendala eksternal. Hal ini berlanjut pada gagasan tentang penentuan diri sendiri (self determination) yaitu berupaya untuk merealisasikan kehendak kolektif serta bertanggung jawab atas sasaran-sasaran dan tindakan kolektifnya. Konsep selanjutnya adalah pengaturan diri (self rule) yaitu pengaturan kolektif dari dan oleh rakyat sebagai akibat dari penentuan diri sendiri secara nasional atas kehendak kolektif dan perjuangan untuk mempunyai pemerintahan nasional sendiri. Dengan demikian, otonomi mengandung arti pengaturan diri atas kehidupan religius dan budaya, otonomi legal, autarki ekonomi dan pengaturan diri secara internal di dalam suatu negara dan bertanggung jawab atas urusan-urusan luar negeri dan pertahanan.

Konsep otonomi ini tidak terlepas dari spirit dan roh kemandirian. Kemandirian mengandung pengertian nasionalisme ekonomi yang sangat menekankan pentingnya arti kemandirian ekonomi Indonesia dalam pentas pergaulan ekonomi internasional, namun tidak berarti anti pergaulan ekonomi internasional, anti modal

Page 4: 10-Rina

RINA HERMAWATI

104

asing, atau anti hutang luar negeri. Pergaulan ekonomi internasional harus dilakukan dengan mendudukkan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka. Artinya, pergaulan ekonomi internasional harus sejalan dengan kepentingan seluruh rakyat. Kemandirian dalam bidang ekonomi akan menaikkan bargaining position bangsa Indonesia dalam bidang politik sehingga memungkinkan bangsa Indonesia untuk dapat menentukan nasibnya sendiri.

Ideal kedua yaitu, kesatuan nasional yang mencakup kesatuan teritorial (wilayah), sosial dan budaya. Kesatuan ini tidak mengandung arti keseragaman, namun penyatuan sosial dan budaya kelompok-kelompok keluarga dan kehendak serta sentimen individu. Nasionalisme tidak menuntut agar anggota-anggota individual harus menjadi serupa, namun mereka harus merasakan suatu ikatan solidaritas yang mendalam sehingga bertindak atas dasar kepentingan nasional.

Makna yang tercakup dalam kesatuan nasional ini adalah nasionalisme peka terhadap pluralitas seperti yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika. Nasionalisme tidak tergantung pada mitos saja, tetapi juga harus melihat realita kebhinekaan Indonesia. Paham lokal tentang kepemimpinan, hak milik, kesatuan wilayah, makna hutan dan gunung berbeda-beda untuk setiap kelompok etnik. Paham suatu lokal yang diangkat menjadi paham nasional tentu akan mendatangkan masalah bagi lokal-lokal lainnya yang berbeda pahamnya. Ketersinggungan, ketertekanan dan ketidaksenangan, diam-diam dapat mengendap lama di lokal-lokal yang mengalami konflik semacam itu. Hal ini baru menyangkut pluralitas budaya etnik, belum lagi pluralitas agama, rasial dan golongan-golongan kepentingan.

Selama ini, isu sara adalah isu yang disembunyikan, dihindari dan ditakuti seolah-olah bukan realita Indonesia. Akibatnya, isu ini terus menjelma dalam berbagai konflik

yang menyakitkan. Sudah saatnya seluruh komponen bangsa berani menghadapi, melihat dan memecahkan kenyataan pluralitas konkret ini. Nasionalisme harus peduli terhadap kenyataan perbedaan-perbedaan tersebut. Harus dikembangkan sikap saling memahami, menghargai dan menghormati, saling peduli, dan saling menyesuaikan diri antar komponen masyarakat serta antara pemimpin dengan yang dipimpin. Ideal yang ketiga yaitu identitas nasional yang didasarkan atas unsur-unsur budaya komunitas etnik, kelas dan wilayah. Namun, kolektivitas budaya jauh lebih stabil karena unsur -unsur budaya dasa r yang membentuknya – kenangan, nilai, simbol, mitos, tradisi – cenderung lebih bertahan lama dan mengikat. Walaupun begitu, budaya kolektif tidak bersifat tetap atau statis akan tetapi tunduk pada proses-proses perubahan.

Proses perubahan ini terjadi dalam setiap generasi sehingga menimbulkan pemahaman baru atas budaya kolektif. Oleh karena itu, visi heroik identitas nasional dengan tema perjuangan, pembebasan dan pengorbanan bisa saja dalam generasi berikutnya, berubah menjadi versi identitas nasional yang lebih terbuka dan pragmatik dengan menekankan berbagai tema seperti kemampuan kewirausahaan, keterampilan organisasional dan toleransi atas perbedaan. Di sinilah pentingnya reinterpretasi terhadap pola kenangan, nilai, simbol, mitos dan tradisi yang membentuk identitas nasional.

Konsep identitas nasional berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Dalam kaitannya dengan kondisi Indonesia, aktivis mahasiswa Bandung menganggap bahwa bangsa Indonesia telah gagal membentuk karakter nasional. Anggapan yang muncul selama ini mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang komunal, ramah, sopan, dan berketuhanan. Namun seiring dengan perubahan zaman, karakteristik tersebut semakin lama semakin hilang bahkan yang muncul saat ini adalah citra negatif

Page 5: 10-Rina

NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG

105

bangsa Indonesia sebagai bangsa yang suka korupsi, rusuh, tidak tertib, dan lain-lain. Kegagalan membentuk identitas nasional yang membanggakan ini menyebabkan lunturnya rasa nasionalisme di kalangan masyarakat. Untuk itu, diperlukan upaya untuk membangun kembali identitas bangsa yang dibangun dari nilai-nilai budaya lokal.

Upaya ini dapat dilakukan melalui pelacakan terhadap akar dan karakter bangsa melalui disiplin sejarah, arkeologi, antropologi, sosiologi, bahasa dan folklor. Disiplin-disiplin ilmiah ini menyediakan perangkat dan bingkai kerja konseptual untuk menjawab “siapa kita”, “kapan kita mulai ada”, “bagaimana kita tumbuh” dan “ke mana kita akan menuju”. Nasionalisme sebagai sebuah ikatan emosional yang terbentuk antar anggota suatu bangsa karena adanya kesamaan latar belakang sejarah, wilayah, bahasa dan nilai.

Pengertian ini menekankan pada unsur perasaan dan psikologis yang tercipta antar anggota suatu bangsa. Dalam pandangan aktivis mahasiswa Bandung, nasionalisme Indonesia terbentuk sebagai reaksi terhadap kolonialisme yang telah memunculkan kesadaran untuk melepaskan diri dari situasi yang tertindas, terbelakang, dan diskriminatif. Dengan demikian, salah satu faktor pembentuk nasionalisme adalah kesamaan asal-usul sejarah. Persepsi yang sama tentang pengalaman masa lalu tidak hanya melahirkan solidaritas (rasa sependeritaan dan sepenanggungan), tetapi juga tekad dan tujuan yang sama antar kelompok masyarakat. Akan tetapi solidaritas yang tumbuh karena faktor sejarah ini gagal dipelihara oleh negara. Praktek-praktek kenegaraan yang dilakukan masih dipenuhi oleh simbol yang menjauhkan rasa kebersamaan antar elemen bangsa. Simbol dari budaya etnis tertentu tampil secara dominan di pentas nasional, mengingkari budaya etnis yang lain. Akibatnya secara kultural semakin banyak kelompok yang merasa tidak terwakili dalam

budaya nasional yang terbentuk. Kondisi ini merupakan contoh bagaimana solidaritas emosional telah gagal dikelola secara efektif.

Solidari tas fungsional pun gagal ditumbuhkan. Otoritarianisme yang berlangsung selama puluhan tahun telah melahirkan berbagai ketimpangan; baik antar desa dan kota, antar daerah, Jawa dan luar Jawa, maupun antara Indonesia Barat dan Timur. Keseluruhan proses ini telah mengakibatkan timbulnya rasa keterbuangan pada banyak kelompok etnis sehingga tidak tercipta keterkaitan fungsional antara satu kelompok dengan kelompok lain, antara satu etnis dengan etnis lain.

Kegagalan pembentukan solidaritas tersebut mengakibatkan sejumlah etnis ingin melepaskan identitas Indonesianya. Tafhel dan Turner (dalam Mardiansyah, 2001) mengatakan bahwa secara psikologis, orang atau sekelompok orang tertarik masuk ke dalam suatu kelompok karena didasari oleh faktor-faktor: pertama adanya kesamaan (similarity); kedua, perasaan senasib (common fate); ketiga, adanya kedekatan baik fisik maupun psikologis (proximity); keempat, merasa mendapat ancaman dari musuh (shared treat) dan kelima, motif-motif lain yang bersifat utilitarian, keuntungan bersama dan pencapaian tujuan bersama. Dengan demikian, pemeliharan ikatan emosional bangsa Indonesia dapat dilakukan dengan pemenuhan dimensi sosial-psikologis berupa identitas nasional yang positif dan membanggakan, penciptaan keadilan serta pencapaian tujuan negara antara lain mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Nasionalisme sebagai kecintaan terhadap bangsa yang diwujudkan melalui perbuatan yang mencerminkan kepentingan bangsa.

Pengertian nasionalisme yang ketiga ini rentan akan penyalahgunaan. Menurut aktivis Mahasiswa Bandung, nasionalisme sering kali

Page 6: 10-Rina

RINA HERMAWATI

106

diartikan sebagai kecintaan terhadap negara yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan terhadap pemimpin negara. Padahal, bangsa bukanlah negara karena konsep negara berkaitan dengan teritori sedangkan aktivitas bangsa bercirikan suatu jenis komunitas. Negara menggambarkan adanya satu struktur kekuasaan yang memonopoli penggunaan fisik yang sah terhadap kelompok masyarakat yang tinggal dalam wilayah yang jelas batas-batasnya (Surbakti, 1992). Hal ini sangat berbeda dengan konsep bangsa yang diartikan sebagai komunitas yang (1) terbentuk dari keyakinan bersama dan komitmen yang saling menguntungkan, (2) mempunyai latar belakang sejarah, (3) berkarakter aktif, (4) berhubungan dengan suatu wilayah tertentu, dan (5) dibedakan dari komunitas lain melalui budaya publiknya yang khas (Smith, 2002). Dengan demikian, solidaritas kebangsaan tidak selalu sama persis dengan terirori negara. Untuk itu, perlu diupayakan untuk menghidupkan nasionalisme dalam lingkup teritori negara.

Hal ini relevan dengan pandangan bahwa sasaran nasionalisme tidak hanya penyebarluasan kesadaran berbangsa melainkan terbentuknya suatu nation state (negara bangsa) yang akan menjadi wahana politik untuk mewujudkan tercapainya masa depan yang lebih baik bagi seluruh komponen bangsa. Frank HT (dalam TH Sumartana, 2001) mengemukakan bahwa negara bangsa merupakan poit penting di dalam politik domestik dan hubungan internasional di dunia modern. Negara bangsa adalah pemegang kedaulatan tertinggi bagi pemerintahan dan rakyatnya. Rakyat memandang negara bangsa sebagai pembuat, pemaksa dan pihak yang menginterpretasikan hukum. Negara bangsa adalah kulminasi unit-unit politik dan entitas yang legal untuk melindungi dan mempertahankan penduduk dan wilayahnya.

Pembentukan negara bangsa berkaitan dengan identitas yang tersedia untuk menyatukan masyarakat. Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu masyarakat

meliputi : primordial, sakral, tokoh, bhineka tunggal ika, konsep sejarah, perkembangan ekonomi dan kelembagaan (Surbakti, 1992). a. Primordial Ikatan kekerabatan (darah dan keluarga),

suku bangsa, daerah, bahasa dan adat istiadat merupakan faktor-faktor primordial yang dapat membentuk negara bangsa. Primordial ini tidak hanya menimbulkan pola perilaku yang sama tetapi juga melahirkan persepsi yang sama tentang masyarakat-negara yang dicita-citakan.

b. Sakral Kesamaan agama yang dipeluk oleh suatu

masyarakat atau ikatan ideologi yang kuat merupakan faktor sakral yang dapat membentuk negara bangsa. Ajaran-ajaran agama dan ideologi ini menggambarkan cara hidup yang seharusnya dan tujuan suci.

c. Tokoh Kepemimpinan dari seorang tokoh yang

disegani dan dihormati secara luas oleh masyarakat dapat pula menjadi faktor yang menyatukan suatu negara bangsa. Pemimpin ini menjadi panutan sebab warga masyarakat mengidentifikasikan diri kepada sang pemimpin dan ia dianggap sebagai penyambung lidah masyarakat.

d. Sejarah Persepsi yang sama tentang asal-usul

(nenek moyang) dan persepsi yang sama tentang pengalaman masa lalu seperti penderitaan yang sama yang disebabkan dengan penjajahan tidak hanya melahirkan so l ida r i t a s ( s epende r i t aan dan sepenanggungan), tetapi juga tekad dan tujuan yang sama antar kelompok masyarakat.

e. Bhineka Tunggal Ika Faktor lain yang dapat menjadi identitas

pembentuk bangsa-negara berupa prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in diversity). Yang dimaksudkan dengan bersatu dalam perbedaan ialah kesetiaan warga masyarakat pada suatu lembaga yang disebut negara atau pemerintahan yang mereka pandang dan yakini

Page 7: 10-Rina

NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG

107

mendatangkan kehidupan yang lebih manusiawi tetapi tanpa menghilangkan keterikatan kepada suku bangsa, adat istiadat, ras atau agama.

f. Kelembagaan Faktor lain yang juga berperan dalam

proses pembentukan bangsa berupa lembaga-lembaga pemerintahan dan politik seperti birokrasi, angkatan bersenjata dan partai politik. Setidak-tidaknya terdapat dua sumbangan birokrasi pemerintahan bagi proses pembentukan negara bangsa, yakni mempertemukan berbagai kepentingan dalam instansi pemerintah dengan berbagai kepentingan di kalangan penduduk sehingga terpenting suatu kepentingan nasional, watak kerja dan pelayannya yang bersifat impersonal. Ideologi angkatan bersenjata yang nasionalistis berfungsi memelihara dan mempertahankan keutuhan wilayah dan per sa tuan bangsa . Sedangkan keanggotaan partai politik yang bersifat umum (terbuka bagi warga negara yang berlainan etnis, agama dan golongan), kehadiran cabang-cabangnya di wilayah negara dan peranannya dalam menampung dan memadukan berbagai kepentingan masyarakat menjadi suatu alternatif kebijakan umum merupakan kontribusi partai dalam proses pembentukan bangsa.

Wujud Nasionalisme di Kalangan Aktivis Mahasiswa Bandung

Pengert ian nasionalisme tersebut memunculkan wujud nasionalisme sebagai berikut : 1. Memil ik i kepedul ian terhadap

permasalahan yang dihadapi oleh bangsa yang diwujudkan dalam bentuk sumbangan pemikiran untuk mengatasi permasalahan yang ada.

2. Menaati peraturan negara seperti membayar pajak, mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan paraturan

perundangan lainnya. 3. Menghormati perbedaan baik atas dasar

suku bangsa, agama, bahasa, ras maupun kepentingan dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap suku bangsa, agama, bahasa dan ras tertentu.

4. Mempunyai rasa solidaritas, persamaan dan persaudaraan antar sesama manusia.

Indikator di atas menggambarkan pengaruh globalisasi terhadap nasionalisme. Hal ini juga tidak terlepas dari dampak bubarnya Uni Sovyet dan runtuhnya negara-negara komunis di Eropa Timur yang sering diklaim sebagai kemenangan demokrasi. Pergeseran nilai yang kemudian mengikuti, juga berkisar pada isu demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kepedulian terhadap permasalahan masyarakat dan penghormatan terhadap perbedaan merupakan bukti nyata terhadap pernyataan di atas.

Mengacu pada wujud rasa nasionalisme yang pertama, maka sikap kritis aktivis mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah merupakan salah satu perwujudan rasa nasionalisme. Tidak heran apabila demonstrasi bagi aktivis mahasiswa justru m e n g g a m b a r k a n t i n g g i n y a r a s a nasionalisme. Sebagai contoh, munculnya demonstrasi yang menentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan upaya mahasiswa untuk membela kepentingan masyarakat kecil yang semakin kesulitan akibat kenaikan tersebut sekaligus kritik terhadap pemerintah yang tidak menyiapkan sistem untuk mengantisipasi dampak dari kenaikan BBM tersebut.

Namun, dalam kenyataan di lapangan pengertian nasionalisme telah mengalami penyimpangan makna. Nasionalisme sering kali diartikan sebagai sikap patuh terhadap pemerintah. Dengan pemahaman seperti ini, tidak heran apabila mahasiswa dianggap memiliki rasa nasionalisme yang rendah.

Penilaian masyarakat tersebut dimungkinkan mengingat pendidikan politik yang

Page 8: 10-Rina

RINA HERMAWATI

108

dilakukan selama 32 tahun Orde Baru berkuasa sangat minim sehingga masyarakat cenderung apolitis. Tidak heran apabila orang-orang kritis sering dicap sebagai anti nasionalisme, anti Pancasila, radikal atau bahkan penganut komunisme. Menurut aktivis mahasiswa, pernyataan tersebut merupakan opini publik yang diciptakan oleh kelompok tertentu yang merasa terganggu dengan gerakan mahasiswa. Hal ini didukung oleh ketidakmampuan mahasiswa menggunakan strategi yang tepat dalam memperjuangkan aspirasi dan tuntutannya. Akibatnya hubungan antara mahasiswa dan masyarakat semakin tidak harmonis.

Aktivis mahasiswa sendiri menilai rasa nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia sudah berada pada titik yang rendah. Hal ini ditandai dari semakin rendahnya rasa kekeluargaan dan kebersamaan antar masyarakat serta sikap tidak peduli terhadap berbagai permasalahan bangsa. Nasionalisme yang dikembangkan dalam masyarakat adalah nasionalisme yang bersifat emosional dan sesaat. Nasionalisme seperti ini hanya muncul ketika menghadapi musuh dari luar, misalnya dalam menyikapi kasus Ambalat yang dianggap mengancam kedaulatan negara muncul berbagai gerakan pembela tanah air dan sukarelawan melawan Malaysia.

Lunturnya nasionalisme di kalangan masyarakat disebabkan oleh pengelolaan negara yang tidak benar. Beberapa indikator yang menunjukkan hal tersebut, antara lain: • Belum ditanganinya secara serius

permasalahan kesenjangan sosial dan kesenjangan pusat dengan daerah

• Hukum masih dijadikan sebagai alat kekuasaan dan alat pemiliki modal. Artinya persamaan di depan hukum masih berupa retorika politik

• Semakin maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme

• K e t i d a k m a m p u a n p e m e r i n t a h memberikan pelayanan yang prima

kepada masyarakat khususnya pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan

• Ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap kebijakan hutang luar negeri, negara-negara kreditur dan perusahaan multi nasional.

Menurut mereka, kondisi Indonesia tidak akan bisa diperbaiki tanpa peran serta seluruh masyarakat. Permasalahannya masyarakat cenderung apatis dan apolitik. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa politik terpisah dengan ekonomi. Pola pikir seperti inilah yang perlu diubah. Masyarakat perlu disadarkan bahwa politik berhubungan erat dengan ekonomi.

Sifat apatis dan apolitis masyarakat disebabkan karena minimnya pendidikan politik selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, sebagai konsekuensi dari pendekatan keamanan dan kesejahteraan yang diterapkan pemerintah. Dalam hal ini, sikap kritis dianggap sebagai pengganggu stabilitas nasional yang akan menghalangi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Tidak heran apabila orang-orang kritis dianggap sebagai orang radikal atau komunis.

Untuk itu, nasionalisme perlu ditumbuhkan melalui melalui sistem pendidikan yang berwatak nasional, ilmiah, demokrasi dan bervisi kerakyatan dengan pengertian sebagai berikut: 1. Nasional Pendidikan berwatak nasional

mengandung arti bahwa pendidikan harus mampu menjangkau seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang status sosial ekonominya. Dalam hal ini, negara mempunyai tanggung jawab untuk merealisasikan hal tersebut melalui pendidikan murah serta pemerataan sarana dan prasarana pendidikan. Untuk itu, pemerintah harus segera merealisasikan anggaran 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan.

2. Mengandung nilai-nilai keilmiahan

Page 9: 10-Rina

NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG

109

Keilmiahan adalah hakikat pendidikan yang bertujuan mencerdaskan umat manusia dan memajukan Ilmu Penge tahuan dan Tekno log i . Keilmiahan tidak sekedar membuat kurikulum materi pendidikan tetapi diikuti dengan metode belajar mengajar yang mendorong kebebasan berdisusi, berdebat dan berpikir kritis agar tercipta pemikiran-pemikiran baru. Pendidikan tidak bebas nilai karena harus mencerminkan nilai-nilai budaya masyarakat. Pendidikan ilmiah mampu mengaitkan realitas sosial dengan teori-teori yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, sejahtera dan berdaulat. Selain itu, pendidikan harus mampu merombak pola pikir dan budaya masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya feodalisme.

3. Mengandung nilai-nilai demokratis Pendidikan harus didasari nilai-nilai

demokrasi yang bersandarkan pada prinsip kesetaraan, partisipatif dan keadilan. Nilai-nilai tersebut harus diwujudkan baik dalam metode pembelajaran, penyelenggaraan pendidikan dan hubungan antara guru (dosen) dengan peserta didik. Metode pembelajaran yang demokratis harus mampu mendorong partisipasi aktif dan kebebasan berpikir peserta didik. Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan yang demokratis ditandai dengan keterlibatan stake holder dalam penyelenggaraan pendidikan. Sedangan hubungan guru (dosen) yang demokratis ditandai dengan perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap peserta didik dan tidak ada monopoli kebenaran oleh guru (dosen).

4. Bervisi kerakyatan Pendidikan bervisi kerakyatan

mengandung arti pendidikan yang bertujuan memajukan kebudayaan dan taraf berpikir rakyat. Pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang bertanggung jawab dan mengabdi

kepada rakyat. Untuk itu, kurikulum pendidikan harus mampu memaparkan realitas sosial rakyat Indonesia sehingga peserta didik tidak terasing dari keadaan sosialnya. Hal ini terutama ditujukan untuk mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan. Selama ini, materi kedua mata kuliah tersebut bersifat normatif dan tidak operasional. Menurut pandangan aktivis mahasiswa, seharusnya kedua mata kuliah ini diarahkan pada pembentukan pola pikir bagaimana memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negara sejak pendidikan dasar. Misal, apa yang bisa kita lakukan kalau negara kita miskin, banyak koruptor, banyak hutang, dan lain-lain.

PENUTUP Nasionalisme dapat didefinisikan melalui berbagai cara tergantung pada sudut pandang para penafsirnya. Aktivis mahasiswa sebagai salah satu kekuatan penekan dalam konstelasi sosial politik di Indonesia menekankan perwujudan nasionalisme dengan cara memberikan kontribusi berupa tenaga maupun pikiran untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara. Dengan cara berpikir seperti ini, maka sikap kritis aktivis mahasiswa merupakan wujud dari tingginya rasa nasionalisme. Yang perlu mendapat perhatian kemudian adalah bagaimana agar aksi dan gerakan yang dilakukan mahasiswa tetap berada dalam koridor nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Anderson, B. (2002). Imagined communities

(komunitas-komunitas imajiner) . Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar.

Andrain. (1992). Kehidupan politik dan perubahan sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

Bahar, S. (1998). Sumbangan daerah dalam proses nasion-bui ld ing dalam

Page 10: 10-Rina

RINA HERMAWATI

110

regionalisme, nasionalisme, dan ketahanan nasional. Ichlasul Amal & Armaidy Armawi (Penyunting) . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

(2002). Hantu komparasi (nasionalisme, Asia Tenggara dan Dunia). Yogyakarta: Qalam.

Hobsbawm. (1992). Nasionalisme menjelang abad XXI. Yogyakarta: Tiara Wacana.

(2003). Nasionalisme (teori, ideologi, sejarah). Jakarta: Erlangga.

Purwanto, B. (2001). Memahami kembali nasionalisme Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, (4)3. Hlm. 243-263.

Sanit, A. (1992). Pergolakan melawan kekuasaan (gerakan mahasiswa antara aksi moral dan politik). Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar.

Santoso, P. Merajut Kohesi Nasional : Etno-nasionalisme dan Otonomi Daerah dalam Proses Demokratisasi. Jurnal Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Volume (4)3. Hlm 265-288

Smith. A.D. (1972). Theories of nationalism. New York: Harper & Row Publishers.

Spradley, J.P. (1997). Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana

Surbakti, R. (1992). Memahami ilmu politik. Jakarta: Gramedia Widiasarama Indonesia

Syukri, A.F. Peran Pemuda dalam 20 Tahunan Siklus Nasionalisme Indonesia (Refleksi 75 Tahun Soempah Pemuda, 1928-2003).

Rahmat, J. (2000). Psikologi komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Ritzer, G. (1991). Sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda. Jakarta: Rajawali Press.

Yunanto, S.E. (1998). Mendobrak otoritarianisme orde baru di medan mahasiswa. Analisis CSIS, (27)4. Hlm. 378-395.