repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45702/1/liem...
TRANSCRIPT
i
ii
i
RITUAL PERKABUNGAN DALAM AJARAN KHONGHUCU
DI KOTA MANADO Studi Kasus pada Umat Khonghucu di Kota Manado
Liem Liliany Lontoh
Kerjasama MATAKIN Penerbitan dengan Gerbang Kebajikan RU
Jakarta 2019
ii
RITUAL PERKABUNGAN DALAM AJARAN KHONGHUCU DI KOTA MANADO
Studi Kasus pada Umat Khonghucu di Kota Manado
Penulis/Hak Cipta @Liem Liliany Lontoh
Editor: Vekky Lin Desain Sampul: Novita Khan
Layout: Lin Changqi
ISBN No. 978-602-52538-1-2
xxiii+176 hlm.; 14,8x21cm
Penerbit:
Kerjasama MATAKIN Penerbitan dengan Gerbang Kebajikan RU
Redaksi: Komplek Royal Sunter D-6
Jakarta Utara 14350
Cetakan Pertama Mei 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Dicetak oleh: Cahaya Digital Printing, Ciputat
Isi di luar tanggung jawab percetakan
iii
RITUAL PERKABUNGAN DALAM AJARAN KHONGHUCU DI KOTA MANADO
Studi Kasus pada Umat Khonghucu di Kota Manado
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag.)
Oleh : Liem Liliany Lontoh
NIM : 21150321000003
KONSENTRASI AGAMA KHONGHUCU
PROGRAM MAGISTER STUDI AGAMA AGAMA
PASCASARJANA FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2570-K / 1440-H / 2019-M
iv
v
vi
vii
viii
ABSTRAK
Liem Liliany Lontoh
Ritual Perkabungan dalam Ajaran Khonghucu di Kota Manado
Studi kasus pada umat Khonghucu di Kota Manado
Setiap yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian, itu
adalah hukum Tuhan. Namun waktu dan proses kematian yang akan
dialami setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Upacara
kematian setiap agama juga berbeda satu dengan yang lain, tesis ini
mengangkat tentang ritual perkabungan dalam ajaran Khonghucu:
Studi kasus pada umat Khonghucu di Kota Manado. Penulis
mengangkat tesis dengan judul di atas, dilatar-belakangi dengan
adanya perbedaan dalam tradisi upacara perkabungan yang
dilakukan oleh umat Khonghucu di kota Manado sekaligus
menjelaskan makna yang terkandung dalam simbolisasi yang
digunakan dalam upacara tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan dan bentuk upacara kematian Agama Khonghucu yang
berada di kota Manado dan apakah makna ritual yang terkandung di
dalamnya. Demikian juga dengan pengaruh budaya Minahasa
terhadap tradisi perkabungan umat Khonghucu di kota Manado.
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penulis
meneliti secara langsung di lapangan melalui wawancara kepada
rohaniwan Khonghucu, keluarga yang berduka maupun kepada
petugas sembahyang kematian, sedangkan dan pendekatan yang
digunakan yaitu pendekatan Antropologis, Teologis dan Historis.
Pelaksanaan penelitian untuk ritual kematian/perkabungan
yang dilaksanakan di kota Manado dimulai dari kematian seseorang
sampai pada upacara pemakaman. Ritual itu dilanjutkan pula dengan
persembahyangan leluhur satu tahun sampai dengan tiga tahun.
Urutan upacara kematian/perkabungan dalam agama Khonghucu di
Manado dimulai dari upacara ru mu (memasukkan jenazah ke dalam
ix
peti), men sang (malam menjelang pemberangkatan jenazah), song
zang (pemberangkatan jenazah), ru kong (pemakaman jenazah), qi fu
yang juga disebut fan zhuo (membalik meja), zuo san (tiga hari), zuo
qi (tujuh hari), xiao xiang (satu tahun), dan da xiang (memasuki tiga
tahun).
Penganut agama Khonghucu di kota Manado sebagian besar
memaknai Upacara kematian/perkabungan sebagai cerminan laku
bakti seorang anak kepada orang tuanya sesuai dengan ajaran Nabi
Kongzi. Upacara kematian/perkabungan yang dilaksanakan selain
mengikuti kitab suci Si Shu dan Tata Agama dan Tata Laksana
Upacara Agama Khonghucu terbitan Dewan Rohaniwan Matakin,
juga dipengaruhi oleh kebudayaan orang Tionghoa yang telah
berlangsung secara turun temurun dan mengikuti budaya setempat.
Persembahyangan kepada leluhur sampai upacara tiga tahun
merupakan perwujudan laku bakti kepada orang tua dengan harapan
roh yang disembahyangi dapat kembali pulang dengan damai ke
haribaan kebajikan Tian. Umat Khonghucu senantiasa
menyembahyangi leluhurnya agar nyawa dan roh leluhur dapat
bersatu kembali dan pulang kepada Sang Pencipta.
Kata kunci : Laku Bakti, Perkabungan, Sembahyang Leluhur.
x
ABSTRACT
Liem Liliany Lontoh
Confucian Mourning Rituals in Manado City
A Case Study of a Confucian Congregation in Manado City
Every one who is born will surely experience death, that is
God's law. However, the time and process of death that will be
experienced by each person is different from individual to indiviual.
The ceremonies of mourning of each religion are also different from
one another. This thesis addresses the issue of mourning rituals by
way of a case study of a Confucian congregation in Manado City.
This study aims to investigate the forms of Confucian mourning
rituals in the city of Manado and the ritual meanings contained
therein. Furthermore, this study aims to analyse the influence of
Minahasa culture on the mourning traditions of Confucians
congregation in Manado.
This study utilizes qualitative research methods. The author
personally conducted field research in the form of interviews with
Confucian clergy, grieving families and death prayer officers. This
study adopts an anthropological, theological and historical approach.
The period of the mourning rituals under study lasted from an
individuals death until the completion of funeral ceremonies. These
rituals continue to the worship of ancestors for a period of one year
up to three years. The specifc order of mourning rituals amongst
Confucians in Manado is as follows: ru mu (placing the body into the
coffin), men sang (the night before the burial of the body), song zang
(departure of the corpse), ru kong (burial of the body), qi fu or fan
zhuo (turning of the table), zuo san (three days), zuo qi (seven days),
xiao xiang (one year), and da xiang (three years).
Most followers of the Confucian religion in Manado usually
interpret the mourning rituals as a reflection of a child's filial piety
towards their parents in accordance with the teachings of the
xi
Prophet Kongzi. The mourning rituals are carried out following the Si
Shu scriptures and the Religious Regulations and Practice
Regulations of the Confucian Religion issued by the Council of
Spiritualists of Matakin. The mourning rituals are also influenced by
Chinese culture as established over the course of generations and by
local culture.
The worship of the ancestors until the three-year ceremony is
a manifestation of filial piety behavior towards parents in the hope
that the worshiped spirit can return home to Tian's benevolence.
Confucians continually worship their ancestors so that their souls
and spirits can reunite with and return to the Creator.
Key words: Filial Piety; Confucian Mourning; Ancestor
Worship.
xii
KATA SAMBUTAN
Xs. Ir. Budi S. Tanuwibowo, M.M.
Ketua Umum Dewan Rohaniwan/Pimpinan Pusat
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin)
Wei De Dong Tian.
Segala sesuatu di dunia ini, bila sudah lama dan terus-menerus
berinteraksi, apalagi sampai ratusan bahkan ribuan tahun, tak dapat
dihindari sedikit banyak akan saling mempengaruhi, bersinergi dan
membangun sebuah perpaduan yang khas, indah dan harmonis,
tanpa kehilangan esensi atau nilai pokoknya. Demikian halnya
dengan agama dan budaya. Ungkapan terkenal dari Sumatera Barat,
'Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah' menggambarkan
betapa Islam telah menjadi nafas budaya Minangkabau dan
memperkuatnya tanpa harus kehilangan kekhasan budayanya.
Kajian Liem Liliany Lontoh perihal upacara perkabungan
masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu di Manado juga
membuktikan hal senada. Upacara tersebut ada tambahan warna
dari budaya setempat, dalam hal ini budaya Minahasa, tanpa harus
kehilangan nafas atau esensi dasar agama Khonghucu dan sudah
sesuai dengan tuntunan kitab suci Si Shu dan Wu Jing. Ini sekaligus
membuktikan betapa nilai-nilai kebajikan (dan tuntunan agama) bila
berproses secara alami akan saling memperkaya, selama tidak
bertentangan esensinya.
Penelitian Lontoh sedikit banyak juga membuka perspektif
kesadaran kita untuk lebih toleran dan tidak kukuh 'terpenjara'
dalam apa yang disebut 'kemurnian seratus persen' atau mutlak.
Dunia tidak dibentuk oleh satu agama atau peradaban saja. Kita juga
tak bisa menjamin bahwa apa yang kita yakini sekarang memang
persis sama seratus persen dengan awalnya. Sang Nabi Agung Kong
Zi sendiri senantiasa mengajak kita untuk terus-menerus
xiii
memperbaharui diri. Esensi boleh kita pegang erat, namun
penerapannya harus luwes dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Contoh dalam dunia bisnis pun mengajarkan kearifan ini, betapa KFC
dan Mc. Donald misalnya harus menyediakan nasi dan burger rasa
rendang, dsb. agar bisa diterima secara luas oleh lidah Indonesia
(setempat).
Semoga kajian Lontoh semakin menyadarkan betapa kita hidup
dalam masyarakat yang majemuk dan selalu akan berproses saling
pengaruh-mempengaruhi. Kekakuan apalagi kekolotan akan
membuat kita mudah patah, rapuh dan ditinggalkan. Namun
fleksibilitas dan kelenturan tanpa nilai, tanpa esensi, juga akan
membuat kita tak berharga dan bernilai. Apa yang pokok harus dan
wajib kita pegang, tapi pada saat yang sama dengan penuh kesadaran
kita harus senantiasa belajar dan terus-menerus memperbaharui diri
dari tempat yang rendah menuju tinggi di dalam tuntutan Jalan
Kebenaran atau Jalan Suci.
Selamat untuk Lian yang telah sukses mengejar impiannya.
Semoga terus teguh berkarya dalam Jalan Kebajikan.
Huang Yi Shang Di, Wei Tian You De.
Shanzai.
Xs. Ir. Budi S. Tanuwibowo, M.M.
xiv
KATA SAMBUTAN
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Ketua Kehormatan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
Pertama-tama saya ucapkan selamat kepada saudari Liem Liliany Lontoh atas penulisan dan penerbitan karyanya ini untuk disebarluaskan sebagai informasi pengetahuan yang sungguh sangat berharga bagi khalayak pembaca yang luas. Buku ini ditulis dengan segala kesungguhan karena berasal dari karya tulis ilmiah dalam rangka tugas akhir perkuliahan program Strata II di perguruan tinggi. Lebih-lebih program S-2 yang dia ikuti dan dia selesaikan dengan sukses, justru di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Ciputat. Sangat sedikit mahasiswa, apalagi mahasiswi, non-Muslim yang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri yang sebelumnya bernama IAIN (Institut Agama Islam Negeri) ini. Karena itu, kita semua patut memberikan apresiasi pada kemauan belajar yang sangat tinggi yang mendorongnya belajar di UIN dan akhirnya berhasil menyelesaikan studi dengan sangat berprestasi dengan Indeks Prestasi Akademik (IPK) 3,7 dan bahkan akhirnya berusaha berbagi pengetahuan untuk masyarakat luas dengan cara menerbitkan tesis ‘cum laude’-nya menjadi buku ini.
Topik yang dibahas dalam buku yang berasal dari tesisnya ini juga sangat khas, dan sangat sedikit yang memberikan perhatian sebagai objek kajian ilmiah. Padahal semua orang dan semua lingkungan masyarakat selalu saja terlibat aktif dengan kematian dan peristiwa perkabungan dan upacara-upacara pemakaman di sepanjang pengalaman hidupnya masing-masing. Peristiwa kematian dan perkabungan adalah peristiwa kemanusiaan yang dialami oleh semua orang dan semua komunitas manusia di semua ruang dan waktu. Di mana saja dari sejak zaman Adam sebagai manusia pertama sampai di hari akhir kehidupan, selalu ada peristiwa kematian dan perkabungan di antara kehidupan sesama umat manusia. Setiap yang lahir pasti menemui kematiannya masing-masing, dan dalam mengiringi kematian itu, pasti ada kesedihan bagi orang-orang dekat yang ditinggal pergi. Disitulah
xv
muncul perkabungan atau keduka-citaan. Kata “berkabung” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah berduka-cita karena adanya orang atau anggota keluarga yang meninggal dunia.
Orang yang meninggal dunia dengan cara yang normal di tengah kehidupan masyarakat selalu dimakamkan menurut tata-cara tertentu sesuai aturan adat istiadat atau keyakinan keagamaan masyarakat setempat, terutama sebagaimana yang dianut oleh yang meninggal dunia. Semua agama dan kebudayaan masyarakat dimana saja selalu mengenal adanya praktik dan tradisi perkabungan dan pemakaman sebagai satu kesatuan sistem upacara keagamaan atau tradisi kebudayaan yang dianggap sakral atau suci, sehingga setiap orang sangat menghormati dan mengutamakannya untuk dilakukan pada setiap kali ada peristiwa kematian. Tak terkecuali agama Khonghucu, juga terkenal sangat kaya dengan tradisi dan ajaran tentang perkabungan dan pemakaman yang harus dihormati sebagai sesuatu yang suci dan disakralkan menurut keyakinan yang mendasar di antara para penganut-penganutnya. Karena itu, tulisan saudara Liem Liliany Lontoh sangat pantas kita acungi jempol dan kita beri apresiasi yang setinggi-tingginya.
Buku ini tidak hanya memberikan informasi mengenai sistem perkabungan dan pemakaman yang dipraktikkan menurut tradisi Khonghucu yang penting bagi orang Khonghucu, tetapi juga memberikan perspektif ilmiah yang patut dijadikan bahan pelajaran pembanding bagi penganut agama apa saja. Untuk itu, buku ini perlu dibaca, tidak saja oleh para penganut agama Khonghucu, tetapi juga dapat dijadikan bahan kajian ilmiah bagi siapa saja untuk memahami pelbagai tradisi perkabungan dan pemakaman yang hidup dalam dinamika masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, di tengah dinamika kehidupan pasca-modern dewasa ini. Karena itu, sekali lagi, saya ucapkan selamat kepada Saudari Liem Liliany Lontoh selaku penulisnya; dan kepada para pembaca, saya juga mengucapkan selamat menikmati buku yang baik dan bermutu ini.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
xvi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur serta terima kasih penulis senantiasa
panjatkan kehadirat Huang Tian Khalik Semesta Alam, dan dengan
bimbingan Nabi Agung Kongzi kepada penulis selama ini, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Ritual
Perkabungan dalam Ajaran Khonghucu di Kota Manado: Studi Kasus
pada Umat Khonghucu di Kota Manado.
Tesis ini ditulis sebagai persyaratan akhir bagi penulis untuk
menyelesaikan studi pada Program Magister Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Isi tesis
membahas tentang penelitian yang menelaah kegiatan ritual
perkabungan yang dilakukan pada masyarakat Tionghoa di Manado
yang beragama Khonghucu dan relevansinya terhadap ajaran agama
Khonghucu.
Penulis berterima kasih kepada para pelaksana Program
Magister Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dan juga berbagai pihak yang senantiasa
memberikan dukungan dan bantuan, untuk itu penulis ingin
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta.
Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
juga sebagai tim penguji tesis.
Ibu Dr. Atiyatul Ulya M.Ag., ketua Program Magister Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
Bapak Maulana M.Ag., sekertaris Program Magister
Bapak Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok M.Si., Wakil Dekan Bidang
Akademik, dosen pembimbing dan pengajar; Bapak Prof. Dr. M.
Ridwan Lubis selaku pembimbing tesis, atas segenap kebaikan,
dedikasi dan bimbingan.
Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA., selaku Ketua Jurusan
xvii
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta dan sebagai penguji tesis.
Segenap dosen-dosen pengajar perkuliahan Program Magister
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta (termasuk dari Matakin) yang pernah memberi bimbingan
dan ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan antara lain: Prof.
Dr. Zainun Kamaluddin F. M.A., Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Dr. Sri
Mulyati, M.A., Dr. M. Amin Nurdin, M.A., Dr. Syamsuri M.Ag. (Alm.),
Dr. Media Zainul Bahri, M.A., Dr. Edwin Syarif, M.Ag., Dr. Drs. Ws.
Chandra Setiawan, M.M. Ph.D., Xs. Dr. Drs.Oesman Arif, M.Pd., Dr. Ir.
Drs. Adji Djojo, M.M., Dr. Drs. Ws. Ongky Setio Kuncono, S.H., M.M.
Bapak Toto Tohari, M.Ag., segenap staf administrasi tata usaha
termasuk pengurus perpustakaan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Pusat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta.
Dra. Hj. Emma Nurmawati, M.M. Kepala Bimbingan Masyarakat
Khonghucu Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah
memberikan dukungan dan bantuan dalam memfasilitasi
terselenggaranya program S2 bagi mahasiswa Khonghucu hingga
selesainya penulisan tesis ini.
Mama Ong De Hoa, papa Liem Tjioe Seng Almarhum yang
tercinta serta kakak-kakak tersayang. Ci Bok Lie, suamiku Suwandi
dan kedua anak saya Jessica Belle dan William Alexander serta mama
Maria Untung Almarhum dan papa Yap Nam Kong almarhum, kakak-
kakak ipar dan ponakan yang senantiasa mendoakan, memberi
semangat, dukungan dan motivasi yang luar biasa.
Js. Ir. Pon Riano Baggy, Dq. Diane Lontoh, Js. Ritta Lontoh, Bpk.
Jemmy Sanger Wong, Js. Charles Tilung, Bapak Ronny Loho, Bapak
Felix Tumewu, Js. Sofyan Jimmy Yosadi, S.H, serta Rohaniwan dan
umat Makin dan Pakin Manado sebagai informan di Manado.
Ws. Vekky Lin yang telah banyak membantu mengarahkan,
memberi saran dan masukan juga mengedit tulisan Hanzi dalam tesis
ini sampai me-layout untuk menyempurnakan buku ini.
xviii
Pimpinan Rohaniwan dan Pengurus Matakin, antara lain: DaXs.
Tjhie Tjay Ing, alm., Xs. Djaengrana Ongawijaya, Xs. Ir. Budi Santoso
Tanuwibowo, M.M., Xs. Tjandra Rahardja Muljadi alm., Xs.Buanadjaja
Bing S., Xs. Masari Saputra, Xs. Eka Wijaya, Ws. Setianda Tirtarasa,
Ws. H.T. Saputra, Xs. Indarto, Dq. Drs. Uung Sendana L. Linggaraja,
S.H. M.Ag., Dq. Bratayana Ongkowijaya, S.E., XDS alm., , Ws. Ir. Wawan
Wiratma, Dq. Peter Lesmana, Js. Sugeng S. Imam, dan Ws. Sunarta
Hidayat, Ws. Mulyadi, Sp.D. Ing., M.Ag., Dq. Haris Chandra, MBA., Dq.
Drs. Budi Wijaja, S.E., dan Dq. Gianti Setiawan atas berbagai
dukungan, binaan dan masukan.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Ketua Umum
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan sebagai Ketua
Kehormatan Matakin Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., yang telah
berkenan memberi kata sambutan dan komentar atas buku ini, Ketua
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta, Prof. Dr. KH.
Ahmad Syafi’i Mufid, M.A dan Maximilian Johan Nilsson Ladner, B.A.,
M.A. yang bersedia memberikan komentar atas buku ini.
Pengurus dan umat Matakin Provinsi DKI Jakarta, Dq. Wandi
Suwardi, Dq. Dewi Riawati, Dq. Endang Inawidjaja, Subagio, Dq.
Nalijani Latito, Dq. Ronny Ong, Dq. Soewito, Dq. Ratna Hendarti dan
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan perhatian dan dukungan hingga selesainya tesis ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca, kritik dan saran sangat penulis nantikan demi
sempurnanya tesis ini.
Jakarta, 01 Pebruari 2019
Penulis,
Liem Liliany Lontoh
xix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL TESIS .........................................................................................iii
LEMBARAN PERNYATAAN (KEASLIAN TESIS).........................................iv
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................v
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS TERTUTUP…………………….......vi
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS TERBUKA………………………….vii
ABSTRAK..................................................................................................................viii
KATA SAMBUTAN
1. Xs. Ir. Budi S. Tanuwibowo, M.M. …………………………………..xii
2. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H……………………………………….xiv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………… xvi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………………. 2
B. Batasan dan Rumusan Masalah ……………………………………………….3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………………………..4
D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………………5
E. Kerangka Teori.................................................................................................... 6
F. Metodologi Penelitian ……………………………………………………………. 6
1. Jenis Penelitan ……………………………………………………………………7
2. Sumber Data ……………………………………………………………………. .8
3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................10
4. Teknik Penulisan........................................................................................11
5. Tempat dan Waktu Penelitian............................................................. 11
G. Sistimatika Penulisan Tesis……..……………………………………………11
BAB II. UPACARA PERKABUNGAN MENURUT AGAMA KHONGHUCU
A. Sejarah Agama Khonghucu..........................................................................13
1. Asal Muasal Agama Khonghucu ..........................................................13
2. Sekilas Perkembangan Agama Khonghucu di Kota Manado ..17
B. Upacara Perkabungan...................................................................................26
1. Pengertian Upacara....................................................................................26
xx
2. Tujuan Upacara Kematian........................................................... ...........36
3. Upacara Sembahyang Leluhur ................................................................39
4. Dasar Perkabungan ......................................................................................45
C.. Bentuk-Bentuk Upacara Kematian Menurut Tata Laksana
Upacara Khonghucu …………………………………………………………………55
1.Pra Ru Mu/Pra Jieb Bok 入木.................................... ...........................55
2. Ru Mu/Jiep Bok 入木(Ru Lian殮)........................................................56
3. Men Sang / Moi Song 門喪......................................................................60
4. Song Zang/Sang Cong 送葬...................................................................60
5. Ru Kong/ Jiep Gong 入空.....................................................................61
6. Qi Fu/Ki Hok 祈復 (atau Fan Zhuo/Peng Tuh 反桌)................ 63
7. Xiao Xiang/Siau Siang . 小 祥...............................................................64
8. Da Xiang/Tay Siang 大 祥...............................................................…...64
BAB III. PANDANGAN AGAMA KHONGHUCU MENGENAI …..
KEMATIAN
A. Perihal Roh dan Nyawa .......................................................................... .....67
B. Setelah Kematian ...................................................................................... .....70
C. Cara Po (魄) Badan Jasad Kembali Ke Bumi……………… ………..…76
D. San Hun (三魂) Tiga Lokasi Arwah…………………………..…………….77
E. Fungsi Meja Abu Leluhur ............................................................................78
F. Perihal Sajian Dalam Persembahyangan...............................................79
G. Perihal Hakikat Dupa ....................................................................................81
H. Tiga Landasan Dasar Keimanan ...........................................................…82
I. Relasi Umat Islam dengan Umat Agama Khonghucu di Manado87
BAB IV. UPACARA KEMATIAN AGAMA KHONGHUCU DI MANADO.
A. Pra Ru Mu/Pra Jieb Bok 入木……………………………………………...…89
1. Saat Meninggal …………………………………………………………….….89
2. Isi Doa Pra Ru Mu ………………………………………………………….…94
3. Memandikan Jenasah…………………………………………………….…95
4. Menyiapkan Dipan …………………………………………………… ….…96
xxi
5. Altar leluhur……………………………………………………………………97
6. Altar Fu De Zheng Shen (福德正神)…………………………………99
7. Pakaian Berkabung…………………………………………………………99
8. Mempersiapkan peti mati…………………………………………….. 100
9 Menempel kertas tanda berduka…………………………………….101
10. Memasang tenda…………………………………………………………102
B. Ru Mu/ Jieb Bok 入木………………………………………………………….103
1. Pengertian………………………………………………………………….103
2. Melihat Hari dan Jam Baik…………………………………… ……..103
3. Pembersihan Peti Mati…………………………………………….…..104
4. Pelaksanaan Ru Mu/ Jieb Bok 入木 ……………………….……..105
4.1. Perlengkapan Sembahyang …………………………………..105
4.2. Upacara Pembelian air………………………………………….108
4.3. Menaburkan Teh, Memasukkan Jenazah ke Peti
dan Peletakan tujuh Mutiara ……..………………………………. 109
4.4. Sembahyang Ru Mu/ Jieb Bok 入木 ……………………..112
4.5. Tutup Peti …………………………………………………………….114
C. Upacara Men Sang/Moy Song 門喪 ……………………………………...116
1 Pengertian ……………………………………………………...........… ...116
2. Pelaksanaan …………………………………………………………….. 117
3. Peletakan Pataka. ………………………………………………………118
4. Lain-lain ……………………………………………………………………119
D. Upacara Song Zang/Sang Cong 送葬 …………………………………….119
1. Pengertian…………………………………………………………………119
2. Pelaksanaan………………………………………………………………120
E. Upacara Ru Kong/Jieb Gong 入空 ………………………………………..121
1. Pengertian………………………………………………………………….121
2. Pelaksanaan……………………………………………………………….122
3. Wu Gu/ Ngo Kok 五穀....................................................................125
F. Upacara Qi Fu/Ki Hok 祈復 (Fan Zhuo/Peng Tuh 反桌)………...127
1. Pengertian…………………………………………………….…………………127
2. Pelaksanaan………………………………………………….…………………127
xxii
G. Upacara Tiga Hari (Zuo San, Coo Sha 做三)………………………….129
1.Pengertian…………………………………………………………………….129
2.Pelaksanaan …………………………………………………………………129
H. Upacara Tujuh Hari (Zuo Qi, Coo Chiet 做七) ……………..………..129
1. Pengertian ………………………………………………………………...129
2. Pelaksanaan ………………………………………………………………130
I. Upacara Xiao Xiang/Siau Siang 小祥…………………………………… 133
1. Pengertian……………………………………………….…….……………… 133
2. Tujuan……………………………………………………………………..…… 133
3. Pelaksanaan ……………………………………………………………….… 133
J. Upacara Da Xiang/Tai Siang 大祥………………………………………… 135
1. Pengertian …………………………………………….……………………… 135
2. Pelaksanaan ………………………………………………………………….135
BAB V. PENUTUP
Kesimpulan ……………………………………….………………………………….139
Saran …………………………………………………………………………………….139
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….….143
BIODATA PENULIS...........................................................................................148
LAMPIRAN
1. Surat Keterangan Makin Manado ………………………..…….…….….151
2. Transkrip Wawancara dengan Js. Charles Tilung …………...……152
3. Transkrip Wawancara dengan Bpk. Felix Tumewu …………......158
4. Transkrip Wawancara dengan Bpk. Ronny Loho…………...….…163
5. Teks-teks Doa oleh Ws. Vekky Lin ………………………………...……166
a. Ru Mu/Jiep Bok 入木 ……………………………………………...……166
b. Men Sang Moi Song 門喪…………………..……………………...……157
c. Song Zang/Sang Cong 送葬……………………..……………....……168
d. Ru Kong/ Jiep Gong 入空………………….…………………….……169
e. Xiao Xiang/Siau Siang 小 祥 …………………………………...….…170
f. Da Xiang/Tay Siang 大 祥………………………………………...……171
xxiii
6. Foto Pelaksanaan Upacara Perkabungan ……………………………172
7. Foto Dokumentasi dengan Para Informan …………………..….…174
8. Foto Kegiatan Penulis ketika di Manado…………….………..….….175
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hidup manusia merupakan suatu kelangsungan yang
berkesinambungan dari sebelum kehidupan ke sesudah kehidupan
di dunia yakni kematian. Manusia diciptakan oleh Tuhan Khalik
Semesta Alam sebagai makhluk yang paling mulia diantara semua
ciptaan-Nya. Hanya kepada manusialah Tuhan memberikan akal
budi yang tidak dimiliki oleh ciptaan-Nya yang lain.
Setiap yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian, itu
adalah hukum Tuhan. Namun waktu dan proses kematian yang akan
dialami setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Seseorang tidak
mungkin tahu kapan kematian akan datang menjemputnya, ada yang
meninggal karena sakit yang berkepanjangan, ada juga karena
kecelakaan mendadak yang tidak bisa dihindarkan bahkan orang
yang kelihatan sehat juga sewaktu-waktu bisa dijemput ajal. Tidak
juga karena masih muda maka umurnya akan lebih panjang, bahkan
ada yang baru lahirpun sudah dipanggil Tuhan, tapi ada juga yang
sudah berumur 100 (seratus) tahun lebih masih bisa menjalani hidup
ini dengan baik.
Umat Ru (Khonghucu) sejak dahulu kala telah memahami
akan misteri kehidupan yang sangat kompleks, baik perihal sebelum
kehidupan maupun setelah kematian.
Kematian merupakan rahasia dan kuasa Tuhan/Tian (天)
maka dari itu sejak dini kita harus dapat hidup membina diri, hidup
didalam Jalan Suci yang Tian (天 ) Firmankan sehingga bila ajal
menjemput usia pendek atau panjang kita tidak usah ragu dan takut.
Namun karena kematian adalah hal yang tidak dapat diduga kapan
tanggal pastinya maka mau atau tidak mau, siap atau tidak siap kita
tentunya harus siap menerima panggilan Tian (天).
2
“Mati hidup adalah Firman, kaya dan mulia adalah pada Tian
Yang Maha Esa, ... “ 1 demikianlah salah satu ayat yang berisi
keimanan umat Khonghucu tentang kekuasaan Tian atas kelahiran
dan kepulangannya.
Di dalam iman Konfusiani, kehidupan manusia adalah sebuah
kelangsungan hidup yang berkelanjutan dari sebelum kehidupan di
dunia ini sampai kepada setelah kematian. Roh yang berasal dari
Tian (天) sebagai maha leluhur manusia akan kembali kepada-Nya.
Tian sebagai prima causa dan sekaligus causa finalis. Untuk itulah
hubungan antara manusia dengan Tian dan manusia dengan
leluhurnya merupakan suatu kesatuan yang berpangkal dan
berujung pada Tian Yang Maha Roh, maka bersembahyang kepada
Tian (天) dan leluhur adalah merupakan suatu rangkaian ibadah
yang ditetapkan dari dan untuk-Nya; ini menyangkut makna suci
kehidupan dan kematian, meliputi dunia akhirat dan pangkal ujung
hidup manusia.2
Laku Bakti merupakan konsep memuliakan hubungan di
dalam agama Ru (Khonghucu). Laku bakti itu pokok dari segala
pengajaran agama dan sesungguhnya Laku Bakti itu adalah Pokok
Kebajikan, dari sinilah agama berkembang. Berbakti kepada Tuhan
dengan berbakti kepada manusia merupakan suatu urutan kodrati
manusia. Salah satu cara berbakti adalah dengan melakukan
persembahyangan, baik kepada Tuhan maupun kepada leluhur.
Adapun persembahyangan terhadap leluhur merupakan tema kajian
tesis ini.
Tesis ini khusus mengangkat mengenai ritual-ritual
perkabungan orang Tionghoa yang beragama Khonghucu dengan
1Lihat Kitab Sabda Suci Jilid XII:5, dalam Kitab Si Shu (Kitab Yang Empat), versi
Dwilingual dengan Tranliterasi Hanyu Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bidang Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016), h. 218.
2Widya Karya edisi khusus, Buku Kenang-kenangan 50 Tahun Klenteng Pak Kik Bio – Hian Thian Siang Tee 1951-2001 (Surabaya: Wika, 2001), h. 45.
3
melihat kaitan budaya Minahasa pada upacara perkabungan umat
Khonghucu di daerah Manado.
Selain itu oleh karena pengaruh lingkungan budaya, proses
ritual perkabungan Khonghucu yang ada di kota Manado mungkin
saja mengalami perbedaan dengan yang ada di tempat lain seperti di
pusat (Jakarta), karena adanya ritual kematian yang mengikuti
kebudayaan setempat. Dengan demikian, perlu diteliti upacara
sembahyang kematian yang dilakukan masyarakat Tionghoa Manado
yang beragama Khonghucu di kota Manado, dimulai dari wafat
sampai persembahyangan tiga tahun/ da xiang (tai siang 大祥 )
sehingga akan bisa diketahui bagian mana yang merupakan ajaran
agama dan mana yang merupakan tradisi, karena agama semuanya
bersumber dari kitab suci sedangkan tradisi adalah budaya
masyarakat yang turun temurun.
B. Batasan dan Rumusan Masalah.
Dari uraian singkat latar belakang yang dikemukakan di atas,
penulis membatasi masalah penelitian Ritual Perkabungan
Masyarakat Tionghoa di Manado yang beragama Khonghucu. Dari
keterangan beberapa informan (rohaniwan dan pengurus kematian)
yang meliputi dari saat kematian sampai dengan perkabungan tiga
tahun. Hal yang diamati adalah pelaksanaan Ritual Perkabungan
serta pemahaman yang ada pada masyarakat Manado beragama
Khonghucu. Pemilihan lokasi penelitian di Manado karena jumlah
penganut Khonghucu di Kota Manado cukup banyak dan karena
persembahyangannya bercampur dengan tradisi kebudayaan
setempat yang menjadikanya menarik untuk diteliti.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, penulis
merumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Bagaimana ritual dan makna perkabungan dalam ajaran
Khonghucu?
2. Bagaimana bentuk-bentuk ritual dan makna perkabungan
pada umat Khonghucu di kota Manado?
4
3. Bagaimana pengaruh budaya Minahasa terhadap ritual dan
makna perkabungan dan agama Khonghucu di Manado ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Tujuan penulisan tesis ini bagi penulis adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara perkabungan umat
Khonghucu yang ada di masyarakat Manado
2. Mengetahui lebih dalam tentang bentuk-bentuk ritual
perkabungan bagi masyarakat Tionghoa yang ada di kota
Manado
3. Mengetahui pengaruh budaya Minahasa terhadap tradisi
perkabungan umat Khonghucu di kota Manado.
4. Membedakan mana tradisi dan mana agama dalam
pelaksanaan upacara kematian umat Khonghucu di Manado.
Manfaat Penelitian:
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk :
1. Menambah wawasan pengetahuan penulis mengenai arti
perkabungan dan macam-macam ritualnya
2. Memberikan kontribusi akademik untuk masyarakat
Manado tentang Tata Cara Ritual Perkabungan secara
Khonghucu di kota Manado
3. Memberikan kontribusi untuk Matakin tentang Tata Cara
Upacara Perkabungan di kota Manado
4. Memberikan kontribusi untuk Fakultas Ushuluddin tentang
tata cara upacara perkabungan agama Khonghucu di Kota
Manado.
D. Tinjauan Pustaka
1. Marcello Andersen Sandehang dalam skripsinya yang
berjudul Upacara Kematian Khonghucu Pemahaman Umat
Khonghucu di Litang Gerbang Kebajikan Manado tentang
Upacara Kematian Agama Khonghucu menjelaskan bahwa
Agama Khonghucu masuk ke Sulawesi Utara sebelum tahun
1819. Hal ini ditandai dengan berdirinya Kelenteng Ban Hing
5
Kiong Manado pada tahun 1819. Ini membuktikan sebelum
Kelenteng itu berdiri, umat Khonghucu sudah hadir di
Manado, sehingga kehadiran Kelenteng Ban Hing Kiong bisa
menjadi bukti sejarah bahwa umat Khonghucu telah aktif di
Manado.3 Selain itu juga memberi gambaran prosesi upacara
kematian agama Khonghucu dari upacara saat meninggal
sampai dengan upacara tujuh hari.
2. Hanny Kilapong dalam tulisannya berjudul Upacara
Kematian Penganut Agama Khonghucu Indonesia di Sulawesi
Utara, mengemukakan bahwa upacara kematian dalam
ajaran Agama Khonghucu dapat diartikan sebagai suatu
proses pengaturan atau pengurusan jenasah mulai dari saat
orang mengalami kematian sampai pada pemakamannya,
yang diikuti dengan berbagai upacara sembahyang atau
penghormatan, baik yang dilakukan oleh keluarga maupun
oleh Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) atau
Kebaktian setempat beserta umatnya. 4 Upacara masa
berkabung dari empat puluh sembilan hari, seratus hari,
setahun, dua tahun dan tiga tahun.
3. Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) sudah
menerbitkan buku tentang tata upacara perkabungan sesuai
Kitab Li Ji (Lee Ki 禮記, Kitab Kesusilaan) sebagaimana yang
terdapat pada buku Tata Agama dan Tata Laksana Upacara
Agama Khonghucu Seri Genta Suci Konfusian, dan
kelengkapan Upacara Perkabungan pada buku SGSK :
36/2010 edisi khusus tentang Tata Aturan Dewan Rohaniwan
Agama Khonghucu Indonesia beserta Berbagai Panduan Tata
Upacara dan Kode Etik Rohaniwan.
3Marcello Anderson Sandehang, Upacara Kematian Khonghucu, Pemahaman
Umat Khonghucu di Litang Gerbang Kebajikan Manado tentang Upacara Kematian (Manado: /tanpa penerbit, 2005), h. 12.
4Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu Indonesia di Sulawesi Utara (Manado: tanpa penerbit, 2005), h.2.
6
4. Li Ji (Lee Ki 禮記, Kitab Kesusilaan) yang diterjemahkan oleh
Matakin dengan penerbitnya Pelita Kebajikan.
5. Kitab Suci Si Shu (Su Si, 四書 Kitab Yang Empat) diterbitkan
oleh Matakin.
E. Kerangka Teori
Untuk mengkaji dan melengkapi hasil penelitian tentang
upacara perkabungan menurut agama Khonghucu di kota Manado ini
diperlukan suatu kerangka teori yang mendukung dan dapat
membantu menjelaskan tentang pelaksanaan upacara perkabungan
menurut agama Khonghucu di kota Manado apakah sesuai dengan
ajaran Khonghucu sebagaimana tertulis dalam teks kitab-kitab
sucinya ataukah hanya tradisi/kebudayaan, atau penggabungan dari
keduanya. Penelitian untuk pengumpulan bahan penulisan tesis ini
menggunakan pendekatan kualitatif.
Teori dalam penelitian kualitatif untuk memahami fakta-fakta
sosial sebagai bahan pisau analisis terhadap hasil temuan penelitian
pada bagian pembahasan atau diskusi hasil-hasil penelitian.5
F. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif yang menghasilkan data deskriptif, yaitu suatu metode
yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya mengenai gambaran suatu kegiatan atau keadaan
tertentu dengan terlebih dahulu menganalisa kejadiannya lalu
dibandingkan dengan teori yang ada.
Pendekatan yang digunakan adalah memakai pendekatan
Antropologi, Teologis dan Historis. Alasan penulis memakai
pendekatan Antropologi karena untuk melihat sejauh mana
hubungan antara budaya dan agama, selanjutnya pendekatan
Teologis penulis ambil karena juga untuk melihat hubungan
5Adnan Mahdi Mujahidin, Panduan Penelitian Praktis untuk menyusun Skripsi,
Tesis dan Disertasi, (Bandung: Alfabet, 2014), h. 81.
7
perkabungan tersebut dengan dalil-dalil agama yang ada di kitab suci
agama Khonghucu dan banyak ayat-ayat suci yang penulis pakai
dalam kaitannya dengan penelitian, sedangkan pendekatan historis
karena berkaitan dengan sejarah lokasi tempat penelitian.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menerapkan jenis penelitian kualitatif.
Pendekatan kualitatif (naturalistik) merupakan pendekatan
penelitian yang memerlukan pemahaman yang mendalam dan
menyeluruh berhubungan dengan obyek-obyek yang diteliti bagi
menjawab permasalahan untuk mendapat data-data kemudian
dianalisis dan mendapat kesimpulan penelitian dalam situasi dan
kondisi yang tertentu. Paradigma penelitian kualitatif juga dapat
digunakan dalam penelitian sosial dan pendidikan dan lain-lain
sebagainya.6
Sementara Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian
kualitatif sebagai suatu tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada
manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.7
Selanjutnya, Robert Bogdan dan Steven J. Taylor seorang yang ahli di
dalam ilmu sosial, dalam bukunya Introduction to Qualitative
Research Methods yang di alih bahasakan oleh Arif Furchan yang juga
seorang pakar ilmu sosial, menyatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
ucapan atau tulisan yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu
sendiri.8
Mengkaji perihal ini penulis menggunakan pendekatan
kualitatif karena penelitian ini memakai prosedur penelitian yang
6 Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial Cet. Kelima
(Jakarta:Referensi, 2013), h.17. 7 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2006), h.4. 8Arif Furchan, Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif (Surabaya: Usaha
Nasional, 1992), h.21.
8
menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari objek yang diamati. Penulis melakukan pengkajian yang
mendalam dengan meneliti secara langsung di lapangan melalui
survey dan wawancara secara mendalam kepada rohaniwan
Khonghucu, keluarga yang berduka maupun kepada petugas
sembahyang kematian sehingga bisa mengungkapkan berbagai
keunikan yang terdapat di dalam kelompok masyarakat kota Manado
yang beragama Khonghucu secara menyeluruh, rinci, mendalam dan
bisa dipertanggung jawabkan yang kemudian dibandingkan dengan
teori yang ada dalam teks ayat-ayat suci sebagaimana tersurat dalam
kitab suci agama Khonghucu.
2. Sumber Data
Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder
dengan keterangan sebagai berikut :
a. Data Primer
Yang dimaksud dengan data primer adalah data yang diperoleh
dari lapangan berupa hasil wawancara kepada informan yang telah
dipilih sesuai kriteria tertentu mengenai pembahasan penelitian ini.9
Sumber data primer penulis peroleh dari lapangan berupa
kegiatan upacara duka di kota Manado pada masyarakat Tionghoa
yang beragama Khonghucu dan juga data wawancara dengan tokoh
Agama Khonghucu maupun Pengurus Kematian di kota Manado.
Berdasarkan asas kredibilitas, peneliti menentukan sumber
data dan juga sebagai informan untuk nama-nama seperti data
berikut:
1. Js. Ir. Pon Riano Baggy, Ketua Matakin Provinsi Sulawesi Utara.
2. Js. Sofyan Jimmy Yosadi, S.H., Penasehat Makin Manado
3. Dq. Diane Lontoh, Ketua Makin Manado
4. Jemmy Sanger Wong, Wakil Ketua Makin Manado
9Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial Format-format Kuantitatif dan
Kualitatif, (Surabaya: Airlangga, 2001) h. 129.
9
5. Js. Ritta Lontoh, Ketua Peribadahan Makin Manado
6. Graishan Keivin Togelang, Ketua Pakin Manado
7. Js. Charles Tilung, Rohaniwan Makin Manado
8. Soei Ronny Loho, Rohaniwan Kelenteng Locia Manado
9. Felix Tumewu , Pengurus Kematian di Manado
Sumber data primer yang penulis gunakan juga sebagai penunjang
dan pelengkap penelitian adalah:
1. Kitab Si Shu (四書)
2. Kitab Wu Jing (五經)
3. Kitab Bakti/Xiao Jing (孝經)
4. Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, oleh
Dewan Rohaniwan Matakin.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder penulis dapatkan dari kepustakaan
yang sifatnya menunjang dan melengkapi sumber data primer yaitu:
1. M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” Di
Indonesia, Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005. Buku ini membahas
tentang sejarah Khonghucu dan upacara penguburan jenazah
dalam masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu di
Indonesia.
2. M. Ikhsan Tanggok, Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di
Singkawang. Memuja Leluhur Menanti Datangnya Rezeki. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2017. Membahas tentang Upacara
pemujaan leluhur orang Tionghoa.
3. Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu
Indonesia di Sulawesi Utara. Manado: tanpa penerbit, 2005.
Membahas upacara kematian yang dilaksanakan di kota Manado
dari saat meninggal sampai upacara tiga tahun.
4. Marcello Anderson Sandehang, Upacara Kematian Khonghucu,
Pemahaman Umat Khonghucu di Litang Gerbang Kebajikan
Manado, tentang Upacara Kematian. Tomohon: UKIT-Tomohon,
10
2005. Membahas prosesi upacara kematian agama Khonghucu di
Makin Manado dari saat meninggal sampai upacara tujuh hari.
Penelitian ini menguraikan secara mendalam tentang nilai-
nilai religius upacara kedukaan/kematian secara agama Khonghucu,
disamping itu juga teori yang berkaitan dengan perkabungan
tesebut.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan
pengamatan (observation) langsung ke lapangan dengan
melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview)
dengan memberikan beberapa daftar pertanyaan secara terbuka
dan mendokumentasikan berupa photo dan transkrip rekaman.
a. Observasi; peneliti menggunakan metode observasi untuk
mengamati dan mencatat seluruh pelaksanaan kegiatan
ritual perkabungan yang dilakukan oleh umat agama
Khonghucu Makin Manado di Kongzi Miao serta mencari
secara langsung data-data yang diperlukan sehingga menjadi
masukan buat penulis untuk hasil penelitian ini.
b. Wawancara mendalam (indepth interview); penulis
melakukan wawancara mendalam untuk memperoleh
informasi secara langsung dari sumbernya. Peneliti
melakukan wawancara mendalam dengan pelaku utama (key
informan) yang berada di Kelenteng Kongzi Miao yaitu Js.
Charle Tilung, pengurus Makin Manado, juga di Kelenteng
Locia Manado untuk rohaniwan yang dipanggil Tjeng It yaitu
bapak Soei Ronny Loho yang biasa menangani kematian
orang Tionghoa, dan dengan bapak Felix Tumewu yang
berlangsung di pekuburan Paal II Manado.
c. Daftar Pertanyaan; Penulis menyiapkan sejumlah
pertanyaan yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara
kematian umat Khonghucu di Manado, selanjutnya hasil dari
11
jawaban informan tersebut dijadikan sebagai bahan kajian
penelitian ini.
d. Dokumentasi; penulis menggunakan peralatan handphone
sebagai kamera untuk mengambil gambar dan merekam
pembicaraan dengan informan selama wawancara
berlangsung. Selain itu penulis juga mencari dan
mengumpulkan berbagai macam literatur yang sesuai
dengan penulisan tesis ini terutama dari teks-teks kitab suci
agama Khonghucu, juga literatur lain yang berhubungan
dengan penelitian ini.
4. Teknik Penulisan
Penelitian tentang Ritual Perkabungan pada masyarakat
Tionghoa di Manado yang beragama Khonghucu ini merujuk pada
teknik penulisan dari buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skripsi,
Tesis, dan Disertasi), Penerbit CeQDA (Center for Quality
Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.
5. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelenteng Kongzi Miao Makin
Manado. Adapun waktu penelitian dilaksanakan bulan Agustus 2018
sampai dengan September 2018.
G. Sistematika Penulisan Tesis
Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I :Berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar
belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitan, tinjauan pustaka, kerangka teori,
metode penelitian, serta sistimatika penulisan tesis.
Bab II :Berisi tentang upacara perkabungan menurut agama
Khonghucu.
Bab III :Berisi tentang pandangan agama Khonghucu mengenai
kematian
12
Bab IV :Berisi tentang upacara kematian agama Khonghucu di
Manado
Bab V :Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.
13
BAB II
UPACARA PERKABUNGAN MENURUT AGAMA KHONGHUCU
A. Sejarah Agama Khonghucu
1. Asal Muasal Agama Khonghucu
Sebelum kita mengenal kajian teori tentang ritual kematian
sebaiknya kita meninjau dahulu secara sekilas tentang sejarah suci
Agama Khonghucu.
Agama Khonghucu (Kong Jiao) yang dikenal di Indonesia
pada saat ini, istilah aslinya disebut Ru Jiao (儒教 agama atau ajaran
Ru) atau Ruxue (儒學 School of the Literati atau Confucian thinking).
Huruf ru (儒) berasal dari bushou (部首 radikal, atau akar huruf) ren
(人 , orang) dan (xu (需 , perlu). Dengan demikian Ru Jiao berarti
ajaran yang memenuhi kebutuhan orang. Sedangkan ru (儒) sendiri
menurut kamus artinya rou (柔 artinya lembut budi pekerti, penuh
susila; you ( 尤 ) artinya yang utama, unggul, mengutamakan
perbuatan baik. Huruf jiao (教, agama) dapat dianalisis menjadi akar
huruf xiao (孝, berbakti) dan wen (文, sastra, ajaran). Jadi jiao berarti
ajaran/syair untuk berbakti. Maka Ru Jiao 儒教 adalah ajaran/agama
berbakti bagi orang lembut budi pekerti yang mengutamakan
perbuatan penuh keseimbangan dan kebajikan.1
Dari perjalanan sejarah bangsa Tionghoa, lahir seorang tokoh
besar bernama Kong Zi (孔子) seorang filsuf, negarawan, ahli pikir
dan tokoh pendidik. Kong Zi adalah panggilan kehormatan yang
diberikan kepadanya setelah ia wafat, disebut juga Kong Fuzi (孔夫
子 ) berarti guru, orang ahli atau orang bijak. Bahasa Latin atau
1 Suyena Adi Gunawan, Riwayat Kongzi, Tinjauan Historis, Antropologis dan
Budaya Mengenai Khonghucu (Bandung: Penerbit TSN, 2017), h.4.
14
Inggris tokoh ini disebut Confucius 2 , sebutan ini diperkenalkan
kepada bangsa-bangsa Eropa oleh Matteo Ricci, seorang biarawan
Katolik ordo Jesuit yang lama tinggal di Tiongkok. 3
Agama Khonghucu bukan sekedar suatu ajaran yang
diciptakan oleh Nabi Kongzi, melainkan Agama yang diturunkan Tian
(天, Tuhan Yang Maha Esa) melalui para Nabi, dan Raja Suci Purba
ribuan tahun sebelum lahir Nabi Kongzi. Nabi Kong Zi adalah
penerus, pembaharu dan penyempurna Ru Jiao. Ru Jiao sudah dikenal
sejak 5000 tahun yang lalu, jauh lebih awal dari zaman Kong Zi.
Kitab Suci Agama Khonghucu merupakan kumpulan
dokumen Kitab-Kitab Suci yang ditulis sepanjang sejarah sucinya.
Yang paling tua ditulis pada zaman Raja Suci Tang Yao (Tong Giau 唐
堯, 2357 SM -- 2255 SM) dan Yu Shun (Gi Sun 虞舜, 2255 SM -- 2205
SM) dan yang paling muda ditulis pada zaman Mengzi atau Mencius
(Bingcu 孟子, 371 SM -- 289 SM)4, karena itulah Nabi Kongzi dengan
kerendahan hatinya bersabda, “Aku hanya meneruskan, tidak mencipta. Aku sangat menaruh percaya dan
suka kepada Ajaran dan Kitab-Kitab yang kuno itu”5
Fung Yu Lan (馮友蘭) di dalam bukunya: ‘A History of Chinese
Philosophy’, halaman 62 menegaskan, “Confucius as a Creator
Through Being A Transmitter” atau ‘Nabi Kongzi sebagai seorang
Pencipta lewat karya meneruskan’, bahkan bukan hanya demikian
melainkan Ru Jiao telah disempurnakan dan digenapkan Tian 天 ,
2Sebutan Confucius dalam buku Philosophorum Sinensium Principis Confucii
Vita (The Life of Confucius, the Prince of Chinese Philiosophers) Kong Zi shenghuo yu chengjiu, oleh Prospero Intorcetta (Paris: Sumber Wikipedia, 1687).
3Suyena Adegunawan, Riwayat Kong Zi, Tinjauan Historis, h.1. 4 Tjhie Tjay Ing, Selayang Pandang Sejarah Suci Agama Khonghucu (Solo:
Matakin , 2006), h.9. 5 Kitab Sabda Suci Jilid VII:1 dalam Kitab Si Shu (Kitab Yang Empat), versi
Dwilingual dengan Tranliterasi Hanyu Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bidang Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016) h. 147.
15
Tuhan Yang Maha Esa dengan Ajaran Agama yang telah dibawakan
oleh Nabi Kongzi yang telah diutus dan dipilih-Nya sebagai Mu Duo
(Bok Tok, 木鐸) atau Genta Rohani-Nya, Tugas Nabi Kongzi adalah
mengembalikan dunia kepada Jalan Suci. (”...sudah lama dunia ingkar
dari Jalan Suci, kini Tuhan Yang Maha Esa menjadikan Guru selaku
Mu Duo (Bok Tok, 木鐸 atau Genta Rohani6), dan ditutup dengan
Ajaran Mengzi yang menegakkan dan meluruskan jalan penafsiran
dan pelaksanaan ajaran Agama Khonghucu.7
Raja Suci Yao (Giau 堯) dan Shun (Sun 舜) disebut sebagai
peletak dasar-dasar Ajaran Agama Khonghucu; beliau berdua
membina kehidupan beragama dengan didampingi Nabi Gao Yao
(Koo Yau 皋陶) dan Nabi Yi (Ik 益). Naskah-naskah suci dari zaman
itu masih tetap lestari dan dapat kita baca di dalam Kitab Shu Jing (Su
King 書經).
Meng Zi (Bing Cu 孟子) atau Mencius disebut sebagai Sang
Penegak (Ya Sheng/A Sing 亞 , artinya orang kedua setelah Nabi
Kongzi) karena beliaulah yang dengan gigih menjaga kelurusan
Ajaran Agama Khonghucu menghadapi berbagai aliran yang muncul
pada zaman Zhan Guo (Cian Kok 戰國 , Zaman Peperangan Antar
Negara) setelah wafat Nabi Kongzi. Dengan rahmat dan ridho Tian 天
, maka Meng Zi berhasil menjaga kelestarian kemurnian Ajaran
Agung masih dapat diikuti dan dipeluk umat Khonghucu sampai
zaman ini.8
Mengenai Jalan Suci (Dao/Too 道) yang dibawakan Ru Jiao
atau Agama Khonghucu itu dapat kita lihat pada penjelasan dari
Kitab Bing Cu (Meng Zi 孟子) sebagai berikut :
“Dari Giau (Yao ) dan Sun (Shun 舜) sampai Sing Thong (Cheng Tang 成
湯) kira-kira lima ratus tahun lamanya. Orang-orang seperti I/Yu 禹 dan
Koo Yau/Gao Yao 皋陶 masih dapat langsung mengenalnya, tetapi Sing
6Kitab Sabda Suci Jilid III:24,3, h. 113. 7Tjay Ing, Selayang Pandang, h.10. 8Tjay Ing, Selayang Pandang, h.10.
16
Thong/ Cheng Tang 成湯 mengenalnya hanya karena mendengar. Dari
Sing Thong/Cheng Tang 成湯 sampai Raja Bun/Wen 文 kira-kira lima
ratus tahun lamanya. Orang-orang seperti I-Ien/Yi Yin 伊尹 dan Lai-
cu/Lai Zhu 萊朱 masih dapat langsung mengenalnya, tetapi Raja
Bun/Wen 文 mengenalnya hanya karena mendengar. Dari Raja Bun/Wen
文 sampai Khongcu/Kongzi 孔子 kira-kira lima ratus tahun lamanya.
Orang-orang seperti Thai Kong Bong/Tai Gong Wang 太公望 dan San Gi-
Sing/San Yi Sheng 太散宜生 masih dapat langsung mengenalnya tetapi
Khongcu mengenalnya karena mendengar. Dari Khongcu sampai
sekarang, baru kira-kira seratus tahun. Kalau dilihat jarak waktu Nabi
meninggalkan kita, belum terlalu jauh dan kediaman Nabi juga dekat saja,
bahkan sangat dekat. Mengapa tiada yang meneruskan Ajaran-Nya.
Benarkah tiada yang meneruskan ajaran Nya ?9
Pertanyaan Meng Zi/Bing Cu 孟子 ini telah terjawab dengan tetap
lestarinya ajaran Dao/道 Jalan Suci sampai saat kini.
Dari sejarah dapat diketahui bahwa jajaran nama para
Nabi dan Rajamuda yang disebutkan di dalam Kitab Suci Agama
Khonghucu itu bukan hanya dari satu keturunan bangsa saja,
melainkan dari berbagai bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran
Agama Khonghucu adalah agama yang universal, agama bagi setiap
manusia terutama yang yakin dan mengimani kebenaran ajarannya.
Tuhan Yang Maha Esa menurunkan Ajaran Agama Khonghucu tidak
membedakan kelompok, golongan, suku, ras, budaya, semuanya
sederajat di mata Tuhan dan tidak ada yang diistimewakan. “Di
Empat Penjuru Lautan, semuanya saudara”, demikian tertulis di
dalam Kitab Sabda Suci XII:5. Meng Zi/Bing Cu 孟子 berkata:
Shun/Sun 舜 lahir di Zhuping/Cupang 諸馮 kemudian pindah ke Fu
Xia/Hu He 負夏 dan wafat di Mingtiao/Bingtiao 鳴條 . Dia termasuk
bangsa Yi Timur (東夷 seperti orang Korea, Jepang). Raja Suci Wen/Bun
9 Kitab Bing Cu/Meng Zi 孟子 VII B:38,1-3 dalam Kitab Si Shu (Kitab Yang
Empat), versi Dwilingual dengan Tranliterasi Hanyu Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bidang Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016), h. 771-773.
17
dilahirkan di Qi-zhou/Ki-ciu 岐周 dan wafat di Bi-ying/Piet Ting 畢郢. Dia
termasuk bangsa Yi Barat (西夷 seperti orang-orang di Asia Tengah).
Daerah-daerah itu satu sama lain terpisah ribuan li (里). Jarak waktunya
terpisah ribuan tahun, tetapi ketika mereka berhasil melaksanakan cita-citanya di dalam negara, haluannya ternyata begitu mirip seperti cap yang dibelah dua. Ternyata biar Nabi Purba maupun Nabi yang lebih kemudian (Xian Sheng, Hou Sheng/Sian Sing Ho Sing 先聖後聖 ),
haluannya serupa.” 10
Demikian pula dengan seorang sahabat Nabi Kongzi yang
sangat beliau hargai karena sangat paham dalam kebudayaan dan
Kitab-Kitab Suci dari para Nabi dan Raja Suci purba yakni
Tanzi/Yamcu 郯子, seorang bangsa Yi Selatan (南夷 seperti orang-
orang di Asia Tenggara).
2. Sekilas Perkembangan Agama Khonghucu di Kota
Manado
Interaksi perantau Tionghoa di Manado dimulai saat bangsa
Eropa datang ke tanah Minahasa dengan membawa pekerja orang
Tionghoa. Bangsa Portugis yang dipimpin Simao d’abreu tiba di
tanah Minahasa tahun 1523. Kemudian menyusul bangsa Spanyol
yang disebut orang Tasikela (Kastela) menginjakkan kakinya di
tanah Minahasa tahun 1530. Dari catatan sejarah, pemukiman orang
Tionghoa di Manado berawal pada tahun 1607 saat Gubernur
Maluku Admiral Mattelief de Jong mengirim sebuah Jung Cina untuk
membeli beras di tanah Minahasa.
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1655 membuat
benteng kayu di Manado dan diberi nama Nederlanche Vasticheijt.
Tahun 1673 benteng dari kayu direnovasi dan diganti dengan
benteng yang terbuat dari beton dan diberi nama benteng Fort
Amsterdam. Di belakang benteng Fort Amsterdam dibangunlah
pemukiman bagi masyarakat Tionghoa dan diberi nama kampung
Cina.
10Kitab Meng Zi IV B:1, h.570.
18
Di kawasan kampung Cina inilah dibangun Klenteng Ban
Hing Kiong Manado yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1700-
an & mengalami beberapa kali renovasi serta dicatat sejarah renovasi
bangunan semi permanen 1819. komunitas penduduk di kampung
Cina mayoritas beragama Khonghucu.
Beberapa artikel penulisan dari bangsa Eropa yang
menuliskan pengalamannya saat berkunjung ke kampung Cina
Manado. Diantaranya : N. Graafland (1850), Sidney John Hickson ahli
Zoologi dari Inggris (1889), H. Van Kol dalam bukunya “Uit once
Kolonien (Leiden, 1903) dan lain-lain.
Pekuburan Tionghoa pertama di Manado ini menurut catatan
sejarah berada di lokasi gunung Wenang sejak tahun 1825 yang
dikelola oleh badan hukum perkumpulan Khong Tjoe Sin Tong yang
didirikan tahun 1902, sebuah perkumpulan yang didirikan tokoh-
tokoh Tionghoa Manado yang berlandaskan ajaran Khonghucu.
Jejak sejarah umat Khonghucu di Manado sejak zaman
kolonial Belanda hingga kemerdekaan Republik Indonesia,
eksistensinya terus berlanjut baik di Klenteng Ban Hing Kiong
Manado hingga munculnya Klenteng-Klenteng lainnya. Demikian
pula adanya sekolah-sekolah Tionghoa di Manado.
Klenteng Ban Hing Kiong Manado pada tanggal 14 Maret
1970 mengalami peristiwa kebakaran. Pasca peristiwa tersebut
dimulailah pembangunan kembali Klenteng Ban Hing Kiong. Saat itu
seorang tokoh bernama Nyong Loho (Soei Swie Goan) menjabat
sebagai ketua Pembangunan Kelenteng Ban Hing Kiong sekaligus
sebagai ketua Kelenteng dan ketua perkumpulan Hap Tan. Demikian
diungkap Sejarawan Budayawan Js. Sofyan Jimmy Yosadi, SH. yang
juga seorang rohaniwan Khonghucu yang memiliki ribuan dokumen
ratusan tahun jejak Tionghoa di Sulawesi Utara.
Pada bulan Juni 1971, utusan Matakin Ws. J.T. Onglee
Kuswanto (Tan Ong Lee) dan Ws. Edi Buntoro (Kwee Boen Liang)
datang ke Manado untuk memberikan penerangan Agama
Khonghucu sekaligus menjajaki kemungkinan berdirinya Majelis
19
Agama Khonghucu Indonesia (Makin) di Manado. Pada tahun 1972,
atas undangan pengurus Klenteng Ban Hing Kiong maka hadir Ws.
Suryo Hutomo (Ketua Umum Matakin saat itu) dan Ws. Junaedi
Abdurrahman untuk menghadiri perayaan Goan Siau. Sebenarnya
sejak tahun 1971 telah berdiri Makin Manado dengan tokoh-tokoh
pendiri antara lain Nyong Loho (Soei Swie Goan), A. Ch. Mandagie,
Tjao Tjip Tjong, Liem Sin Hong, Tjen Sian Goan, Auw Tian Un, Tjia
Goan Hoei, Je Lian Fong, Ong Pow Tjong, Thio Wei Leng, Loei Bun
Goan, Tang Ming San, Tjia Kae Tjen, Liem Kong Tjiep, dan lain-lain.
Namun secara resmi baru pada tahun 1972 Matakin mengeluarkan
Surat Keputusan tentang Makin Manado dengan Tanda Keanggotaan
No. 34/G/Mtk/Agg/VI/72, tertanda Ketua Umum Matakin Bs. Suryo
Hutomo dan penulis Ny. Tjhie Tjay Ing.
Kepengurusan Makin Manado ditetapkan pada tanggal 12
Maret 1972, sedangkan organisasi di bawah Makin Manado ada dua,
yakni pertama Wakin (Wanita Agama Khonghucu Indonesia)
Manado didirikan pada tanggal 29 Agustus 1972 dengan ketua
pertamanya Wietje Loho – Sondakh, dan yang kedua Pakin (Pemuda
Agama Khonghucu) Manado yang berdiri pada tanggal 16 Pebruari
1972 dengan ketua pertamanya Hanny Kilapong.11
Upacara-upacara cap go meh (十五暝, atau yuan xiao/goan
siau 元 宵 ) selalu diselenggarakan melalui lembaga Agama
Khonghucu, dimana saat itu seluruh Kelenteng-Kelenteng yang ada
seperti Kelenteng Ban Hing Kiong, Kelenteng Lo Cia, Kelenteng Kwan
Kong, Kelenteng Kwan Im Tong semuanya bernaung di bawah
Lembaga Makin Manado.12
Tahun 1975 Makin Manado mendirikan Yayasan Tripusaka
dan mendirikan Sekolah TK & SD Confucius. Tahun 1977 TK
Confucius mulai menggunakan ruangan yang ada di Rumah Abu Kong
11Sofyan Yosadi, Buku Kenangan Perayaan Hari Lahir Nabi Khongcu, h. 29. 12Sofyan Yosadi, Buku Kenangan Perayaan Hari Lahir Nabi Khongcu, h. 30.
20
Tek Su, selanjutnya pindah ke lokasi Sekolah Garuda 13 yang
sekarang.
Makin, Wakin dan Pakin terus aktif melaksanakan kegiatan
ataupun ikut dalam aktivitas lintas agama seperti penyelenggaraan
MTQ Nasional tanggal 21 – 27 Juli 1977, Pakin Manado juga
menyelenggarakan tonil di gedung President Theater tahun 1978
yang dihadiri oleh Walikotamadya Manado Adolf Albert Pelealu, dan
juga terlibat pada acara Sidang Raya Dewan Gereja Indonesia (DGI)
di Tomohon tahun 1980, juga Sumbangan kepada Pemerintah untuk
Hari Kebaktian Sosial Nasional XXVII tahun 1988 melalui Kantor
Departemen Sosial Manado, selain itu Makin Manado juga ikut
berpartisipasi memberikan sumbangan dana kemanusiaan untuk
korban bencana alam yang terjadi di Timor Timur dan juga bantuan
kemanusiaan lainnya.14
Sekitar tahun 1983 menurut Sofyan, mulai dirasakan gejolak
pertentangan antara pimpinan organisasi Majelis, disebabkan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang memihak pada
lembaga agama Khonghucu. Banyak peraturan yang keluar dari
pemerintah saat itu terasa sangat diskriminatif, sehingga Kelenteng-
Kelenteng yang semula bernaung di bawah Lembaga Makin Manado,
mulai bernaung pada Organisasi Budha, terutama Lembaga Tempat
Ibadat Tri Dharma. Umatpun semakin dibuat terombang-ambing
dengan isyu ‘agama resmi, agama diakui’ yang mulai merasuk dan
menggoyahkan iman sebagian pemeluk agama Khonghucu. Apalagi
banyak umat ‘tradisional’ di Kelenteng-Kelenteng, lebih memilih
bersikap ‘acuh’ dengan status keagamaannya. Pengisian kolom KTP
pun turut berperan saat itu, pertentangan oknum-oknum pengurus
13 Tahun 1978 karena kebijakan pemerintah menyangkut kurikulum maka
Sekolah TK & SD Confucius diganti namanya menjadi Sekolah Garuda, Yayasan juga turut berganti nama menjadi Yayasan Garuda.
14 Sofyan Yosadi, Buku Kenangan Perayaan Hari Lahir Nabi Khongcu,, h. 32.
21
semakin memojokkan pimpinan MAKIN Manado untuk bertahan
terus di Kelenteng Ban Hing Kiong.15
Tahun 1984 setelah terjadi pemindahan lokasi tempat ibadah
dan organisasi Makin Manado, yaitu dari Kelenteng Ban Hing Kiong
ke lokasi Sekolah Garuda maka sejak saat itu terjadilah masa-masa
sulit bagi kehidupan Agama Khonghucu di Manado, tetapi walaupun
demikian perkembangan Agama Khonghucu terus berkembang,
pergantian kepengurusan silih berganti setelah selesai masa bakti
sampai sekarang.16
Saat ini, Makin Manado dipimpin oleh seorang tokoh
perempuan Khonghucu bernama Diane Lontoh bermarga Ong. Diane
Lontoh adalah perempuan pertama Khonghucu yang menjadi ketua
Makin Manado setelah menggantikan ketua-ketua Makin Manado
sebelumnya yakni dimulai dari Alm. Xs. Nyong Loho (1972), Alm. Js.
Edward Hengky Thomas (1991), Fredy Nyong Kubertu / Tjia Kae
Tjen (2004), Js. Auw Sanny Tooy (2005), Js. Jemmy S. Wong (2012).
Lokasi penelitian terfokus di Kelenteng Kongzi Miao Makin
Manado yang beralamat di jalan D.I. Panjaitan No. 61 Lingkungan 2,
Kelurahan Calaca, Kecamatan Wenang kota Manado, tempat dimana
sebagian besar umat Khonghucu bersama keluarga beribadah pada
setiap hari Minggu pagi. Lokasi itu hanya berjarak sekitar 100 meter
dari Kelenteng kuno Ban Hing Kiong. 17 Ibadah yang dilakukan
umat di rumah ibadah Kelenteng Kongzi Miao Makin Manado berupa
bersembahyang dan berkebaktian secara bersama-sama.
Kebanyakan umat datang beribadah dengan keluarga. Apabila
15Wawancara dengan Sofyan Jimmy Yosady, tanggal 25 September 2018 jam
19.00 Wita di perumahan Citra Land Manado. 16Wawancara dengan Js. Sofyan Jimmy Yosady tanggal 25 September 2018 jam
19.00 Wita di Perumahan Citra Land, Regency II no.2 Manado tempat penulis bermukim selama berada di Manado. Js. Sofyan Jimmy Yosadi pernah menjabat sebagai Ketua Umum pada kepengurusan Pemuda Agama Khonghucu Indonesia (Pakin) manado masa bakti 1993 – april 1994, dan sekarang menjabat sebagai penasehat majelis agama khonghucu indonesia (Makin) manado.
17 Kelenteng Ban Hing Kiong berdiri sejak 1819 merupakan salah satu Kelenteng tertua di Indonesia yang terdapat di Pusat Kota Manado.
22
membawa anak atau cucu yang masih kecil maka anak-anak tersebut
akan dipisahkan dalam suatu kegiatan Sekolah Minggu di ruangan
yang berbeda. Menurut informasi yang penulis dapatkan dari Js. Ritta
Lontoh, jumlah umat Khonghucu di Manado yang terlihat sering
mengikuti kebaktian di Litang Makin Manado berkisar dua ratusan.
Banyak umat Khonghucu yang bersembahyang di Kelenteng dan
Litang beragama Khonghucu tetapi KTP masih beragama non
Khonghucu karena pada zaman orde baru penganut agama
Khonghucu di pinggirkan sehingga banyak yang pindah ke agama
lain, dan ada yang walaupun tetap bersembahyang di Kelenteng
maupun Litang, namun KTP tidak diganti dengan alasan akan
menghabiskan waktu dan proses yang berbelit-belit.
Doa dipimpin oleh para petugas pimpinan sembahyang yang
terdiri atas seorang Zhuji (主祭, pemimpin doa), dan dua orang Peiji
(陪祭 , pendamping) yang memakai baju khusus seperti jubah
berwarna putih. Doa yang dipimpin oleh pimpinan dan pendamping
itu dimulai terlebih dahulu kepada Tian (天 , Tuhan YME) dengan
menghadap keluar rumah ibadah, dan dilanjutkan dengan
sembahyang ke hadapan altar Nabi Kongzi dengan penaikkan dupa
(xiang, hio 香)18 berwarna merah dan berjumlah tiga batang yang
diiringi dengan lagu Wei De Dong Tian (惟德動天 Hanya Kebajikan
Tian berkenan). Dalam ibadah itu semua umat juga dibagikan dupa
untuk bersembahyang bersama. Setelah sembahyang bersama
kemudian dilanjutkan dengan doa dan pembacaan ikrar ba cheng
zhen gui (八誠箴規, delapan keimanan) yang diikuti oleh seluruh
umat yang hadir. Selesai doa peserta upacara sembahyang
menyanyikan bersama lagu rohani, mendengarkan pembacaan ayat
Suci yang dibacakan oleh seorang pemandu, dilanjutkan kembali
18Dupa atau xiang (hio 香) berarti harum, yaitu bahan pembakar yang dapat
mengeluarkan asap yang berbau harum, Gunadi, Hubungan antara persepsi umat Khonghucu tentang pemujaan kepada leluhur, pemeliharaan abunya, dan keteguhan memeluk agama Khonghucu (Jakarta: Gerbang Kebajikan RU, 2018), h.55.
23
dengan menyanyikan nyanyian rohani kemudian mendengarkan
khotbah agama yang disampaikan oleh seorang rohaniwan yang
mengenakan hong ling dai (紅領帶).19 Setelah selesai sesi khotbah
umat menyanyikan akhirnya kembali lagu rohani, mendengarkan
warta-warta, dan menyanyikan lagu rohani lagi sebelum ditutup
dengan doa penutup oleh ketiga petugas sembahyang. 20 Semua
upacara dipandu oleh seorang pemandu kebaktian (semacam MC),
dan saat menyanyikan lagu diiringi musik yang dimainkan oleh
seorang pemusik. Suasana terasa khidmad karena semua umat dapat
mengikuti dengan baik selama berkebaktian. Selama berada di
Manado penulis sempat mengikuti kebaktian sebanyak tiga kali dan
pada kunjungan pertama penulis diminta memberikan sharing
pengalaman semasa beraktivitas di Jakarta dan pada kunjungan
ketiga penulis diminta untuk membawakan khotbah atau uraian
agama. Dalam kebaktian saat itu umat yang hadir berjumlah sekitar
delapan puluhan. Sebelum balik ke Jakarta penulis juga sempat
memimpin upacara sembahyang chang (嘗) di saat zhong qiu (中秋)
di Kelenteng Kongzi Miao, Makin Manado. Sembahyang chang (嘗) di
saat zhong qiu (中秋) ini merupakan ajaran yang harus dilaksanakan
umat Khonghucu.
Sejak tahun 2018, atas saran Js. Sofyan Jimmy Yosadi, S.H.,
sebagai badan pengurus ketua bidang hukum MATAKIN pusat,
mengingat situasi kondisi yang berkembang di seluruh Indonesia
berkaitan dengan status rumah ibadat Kelenteng maka Litang
Gerbang Kebajikan berganti nama menjadi Kelenteng Kongzi Miao
Manado sebagai “benteng” umat Khonghucu Manado. Kelenteng
(nama sebenarnya miao/bio) hanya ada dalam kitab suci agama
Khonghucu maka perubahan tersebut adalah sebuah keniscayaan.21
19Hong Ling Dai: semacam selendang, sebagai pelengkap jubah rohaniwan
agama Khonghucu. 20Penulis mengikuti kebaktian bersama di Makin Manado tanggal 02 Sept 2018
jam 10.00 Wita sampai selesai jam 11.30 Wita. 21Wawancara dengan Sofyan Jimmy.
24
Sebelum berganti nama menjadi Kelenteng Kongzi Miao
nama rumah ibadah Khonghucu sebelumnya adalah Litang Gerbang
Kebajikan. Frasa li tang (lee tong, 禮堂) terdiri dari kata li (lee 禮):
kesusilaan, peraturan, hukum, upacara dan tang (tong 禮): tempat,
ruangan, bangunan. Jadi li tang (lee tong, 禮堂) adalah tempat atau
ruang untuk belajar kesusilaan, tata ibadah, untuk memperdalam
pemahaman kitab suci, dan lain-lain.
Di li tang yang sekarang telah menjadi Kelenteng Kongzi
Miao, selain ibadah umum pada ruangan yang lain ada juga
disediakan ruangan untuk Sekolah Minggu yang diasuh oleh Pemuda
Agama Khonghucu Indonesia (Pakin) Manado.
Menurut wawancara dengan Js. Ritta Lontoh 22 , li tang di
Manado berganti nama menjadi “Kelenteng Kongzi Miao” belum lama
ini yaitu sebelum acara Sahur Bersama dengan Ibu Shinta Nuriyah
Wahid sekitar bulan Juni 2018. Hanya sayang pas acara Sahur, Ibu
Shinta dan teamnya berhalangan hadir.
Nama Kelenteng Kongzi Miao yang sebelumnya adalah
“Gerbang Kebajikan”, mempunyai makna yaitu: “Gerbang” = Pintu,
sedangkan Kebajikan diambil dari Keimanan Agama Khonghucu
yaitu ba de (八德)atau Delapan Kebajikan. Maksudnya adalah sebagai
manusia kita harus menjalankan Delapan Kebajikan yang terdiri dari
:
1. Xiao (孝 ) - laku bakti; yaitu berbakti kepada orangtua,
leluhur, dan guru.
2. Ti (悌) - rendah hati; yaitu sikap kasih sayang antar saudara,
yang lebih muda menghormati yang tua dan yang tua
membimbing yang muda.
3. Zhong (忠) - setia; yaitu kesetiaan terhadap atasan, teman,
kerabat, dan negara.
22Js. Ritta Lontoh adalah Ketua Koordinator Peribadahan di Kelenteng Kongzi
Miao Manado.
25
4. Xin (信)- dapat dipercaya
5. Li (禮)- susila; yaitu sopan santun dahn bersusila.
6. Yi (義)- bijaksana; yaitu berpegang teguh pada kebenaran.
7. Lian (廉恥)- suci hati; yaitu sifat hidup yang sederhana, selalu
menjaga kesucian, dan tidak menyeleweng/ menyimpang.
8. Chi (恥) - tahu malu; yaitu sikap mawas diri dan malu jika
melanggar etika dan budi pekerti.23
Gerbang Kebajikan telah berubah menjadi Kongzi Miao, hal ini
juga disebabkan karena di dalam li tang selain ada arca Nabi Kongzi
juga sudah ada arca shen ming (神明) Guanyin Niang Niang (Kwan
Iem Nionio 觀音娘娘) dan Guan Gong (Kwan Kong 關公). Dengan
adanya penambahan dua arca shen ming (神明) 24 itu umat yang
biasanya hanya bersembahyang kepada Nabi Kongzi juga dapat
sembahyang kepada Guanyin Niang Niang (觀音娘娘) dan Guan Gong
(關公) di satu tempat. Menurut Js. Sofyan Jimmy Yosadi ide untuk
menambahkan shen ming bermula saat beliau mengikuti
Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa di
Jakarta bulan Pebruari 2018, karena banyak orang berpikir bahwa
Kelenteng itu rumah ibadah agama Budha, sementara li tang itu
merupakan bagian dari Kelenteng25.
Setiap minggu umat yang datang berkebaktian berkisar enam
puluhan sampai seratus dan terdiri dari kaum bapak dan kaum ibu.
Ada juga remaja dan dewasa yang tergabung dalam kegiatan Pemuda
23Mulyadi Liang, Mengenal Agama Khonghucu dan apa itu agama Khonghucu
(Depok: Yayasan Makin Harmoni Kehidupan, 2015), 53—54. 24KIK Khonghucu menjelaskan shén míng (神明) ‘roh yang gemilang’; arwah
(roh) suci atau malaikat yang menjadi salah satu (di samping terhadap Tuhan, leluhur dan Nabi Kŏngzĭ) tujuan persembahyangan umat Khonghucu sekaligus juga menjadi teladan atau panutan perilaku bagi umat; lihat Lihat Tanuwibowo, Tjhie dkk., Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu, dalam Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu) Cet-1. ISBN 978-602-8766-97-5. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2014), h. 570.
25Wawancara dengan Js. Sofyan Yosady tanggal 25 September 2018.
26
Agama Khonghucu Indonesia (Pakin), serta juga Kebaktian Sekolah
Minggu yang diasuh oleh Pemuda Agama Khonghucu Manado.
Di dalam kehidupan keagamaan umat Khonghucu terdapat
para Rohaniwan yang berfungsi sebagai pemimpin umat, yang
bertugas memberikan uraian agama, pembinaan umat maupun
pelayanan umat, baik itu pelayanan suka maupun duka. Tingkatan
rohaniwan dalam agama Khonghucu Indonesia adalah Jiao Sheng (教
生) sama dengan Penebar Agama, Wen Shi (文士) sama dengan Guru
Agama, dan Xue Shi (學師) sama dengan Pendeta. Rohaniwan dalam
agama Khonghucu Indonesia juga menikah dan mempunyai
keluarga, sama seperti umat yang lain.
B. Upacara Perkabungan
1. Pengertian Upacara
Upacara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah:
Rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan
tertentu menurut adat atau agama.26 Fenomena dari agama adalah
sikap, tindakan dan kata-kata.27
Ritual disebut juga dengan ritus. Ritual atau ritus dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak
dari suatu pekerjaan. Seperti upacara menolak bala dan upacara
karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia seperti
kelahiran, pernikahan dan kematian. 28 Sedangkan menurut Victor
Turner, seorang ahli antropologi sosial, ritus-ritus yang diadakan
oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan
religius. Ritus-ritus yang dilakukan itu mendorong orang-orang
26DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h.
1250 . 27Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 184-185. 28Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 95.
27
untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial tertentu yang telah
ditetapkan dan dijalankan oleh suatu kelompok umat beragama.29
Ritual secara etimologi adalah suatu perayaan, serangkaian
tindakan yang dilakukan menurut kebiasaan atau keagamaan yang
menandai kesucian suatu peristiwa.30 Sedangkan secara istilah ritual
merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat
yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang ditandai
dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya
waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam
upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara.31
Ritus yang berhubungan dengan ‘perpindahan’ orang menuju
‘status baru’ seperti kematian terdiri dari tiga tahap, yaitu adanya
tahap perpisahan dimana individu dipisahkan dari suatu tempat
(seperti mempersiapkan didoakan dalam suatu upacara kematian
yaitu disucikan untuk memasuki tahap terakhir, dan tahap terakhir
ialah penggabungan yang secara resmi ditempatkan pada status baru
(seperti dimakamkan).32
Upacara kematian merupakan suatu upacara yang sangat
penting dan sakral dalam kehidupan setiap orang yang beragama.
Suatu hal yang wajib dilakukan oleh umat yang beriman. Tanggung
jawab dalam melaksanakan upacara ritual bukan hanya ditujukan
kepada yang meninggal, mendoakan agar arwahnya dapat damai
tenteram dan terang jalannya untuk kembali kepada Tuhan Sang
Khalik, melainkan juga keluarga memohon kekuatan dari Tuhan agar
dapat menjalani peristiwa duka dengan baik hingga dapat menjalani
29 Y.W. Wartajaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan
Komunitas Menurut Victor Turner (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 11. 30Hasan Salidi, Ensiklopedia Indonesia, Jilid VI (Jakarta: Ikhtiar Van Houve,tt),
h. 3718. 31Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial ( Jakarta: Dian Rakyat,
1985), h. 56. 32Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius. 1995),
h.179.
28
kehidupan dengan sebaik-baiknya terlebih dapat melanjutkan cita-
cita mulia almarhum dengan berbuat banyak Kebajikan.
Kematian merupakan suatu keniscayaan dimana setiap
manusia pasti akan meninggal. Dalam setiap agama diyakini bahwa
kehidupan setelah mati itu ada. Seperti halnya Islam meyakini
kehidupan setelah mati sebagai bentuk pertanggung-jawaban ketika
hidup di dunia. Demikian pula dengan Agama Khonghucu yang
meyakini bahwa kematian itu sebenarnya adalah perjalanan kembali
kepada Tian 天 , Sang Maha Pencipta. Tidak ada seorangpun yang
mampu mengelakkan kematian. Setiap kelahiran dalam perjalanan
kehidupan pastilah berujung dengan kematian. Ini sudah menjadi
Hukum Tian ( 天 )dan tidak ada seorangpun yang tidak dapat
menerimanya. “Mati hidup adalah Firman, kaya mulia adalah pada
Tuhan Yang Maha Esa...”33
Dalam Agama Khonghucu, manusia dituntun agar terhadap
orang yang hidup maupun yang sudah meninggal semuanya
diperlakukan dengan kesusilaan. Berdasarkan Kitab Kesusilaan (Li
Ji/Lee Ki 禮 記 ) ketika orang tua meninggal dunia dilakukan
perkabungan, dan dalam perkabungan itu diselenggarakan pula
sembahyang untuk menghormati dan memperingatinya. Zengzi
(Cingcu, 曾子) berkata: “Hati-hatilah saat orang tua meninggal dunia
dan janganlah lupa memperingati sekalipun telah jauh. Dengan
demikian rakyat akan kembali tebal Kebajikannya”. 34 Ritual
perkabungan dalam Agama Khonghucu menjadi bagian yang tidak
terpisahkan karena memiliki nilai kesakralan.
Senada dengan ritual perkabungan menurut
Koentjaraningrat35 pengertian upacara ritual atau ceremony adalah
sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau
33Kitab Sabda Suci Jilid XII:5, h. 218. 34Kitab Sabda Suci Jilid I: 9, h. 91. 35Koentjoroninggrat bergelar M.A di bidang Antropologi dari Yale Univesity A.S
tahun 1956, dan Doktor Antropologi dari Univesitas Indonesia tahun 1958.
29
hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan
berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam
masyarakat yang bersangkutan.36
Ritual disebut juga dengan ritus. Ritual atau ritus dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak
dari suatu pekerjaan. Seperti upacara menolak bala dan upacara
karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia seperti
kelahiran, pernikahan dan kematian.37
Kematian merupakan terpisahnya roh dengan jasad. Secara
fisik tulang belulang dan daging terpisah satu sama lain. Dalam waktu
yang cukup lama tulang belulang dan daging tersebut hancur
menjadi tanah. Sedangkan secara sosial, kematian merupakan
terhentinya anggota badan dari bekerja. Terpisahnya keluarga,
tetangga, dan masyarakat. Perpindahan dari bangunan istana
menuju kubur, pergeseran dari gerak menuju diam, dan perpindahan
dari dunia menuju akhirat.38 Sedangkan menurut R. Hertz seorang
antropolog Perancis, kematian itu merupakan suatu proses peralihan
kedudukan sosial di dunia ke kedudukan sosial di dunia makhluk
halus.
Jadi ritual kematian merupakan serangkaian perbuatan
keramat yang dilakukan oleh pemeluk agama sebagai tanda
peralihan kedudukan di dunia menuju ke akhirat. Sedangkan
menurut Hertz ritual kematian merupakan ritual yang selalu
dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial
dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif.39
Upacara kematian mengalami perkembangan seiring dengan
berkembangnya pemikiran pemeluknya dan menjadi suatu
kebudayaan atau kebiasaan yang harus dilakukan oleh setiap
36Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, h.190. 37Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 95. 38 Perihal Kematian Dan Rokh Menurut Pikiran Konfuciani (Solo: Matakin ,
1996), h. 93. 39Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 92.
30
pemeluknya. Seperti yang dijelaskan oleh Edward B. Tylor bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil manusia yang hidup
bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia
sebagai anggota masyarakat yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai
kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat.40
Berkaitan dengan konsep kematian K.H. Jalaluddin Rahmat41
dalam bukunya “Memaknai Kematian”, mengatakan bahwa
“kematian adalah sebagai proses penyucian terhadap dosa-dosa yang
tidak bisa kita bersihkan sepanjang hidup kita” 42 Maksud yang
terkandung di dalamnya menurut Jalaluddin Rahmat adalah dengan
adanya kematian tersebut manusia akan kembali lagi pada proses
pensucian, ketika manusia meninggal dunia dosa-dosa manusia
belum terhapuskan di dunia, baik oleh taubat maupun musibah,
hanya dari kasih sayang Allah Swt. maka dilakukan lagi proses
pembersihan. Hanya saja proses pembersihan itu tidak lagi berasal
dari amal manusia, karena setelah manusia meninggal, segala amal
ibadah di dunia sudah terputus.
Kematian bukanlah akhir dari kehidupan, pertama makna
kematian adalah proses membersihan sedangkan yang kedua,
kematian adalah kehidupan sementara. Apa yang disebut barzah?
Barzah adalah sebuah perjalanan hidup yang kedua setelah
perjalanan kita hidup di dunia. Oleh karena itu, kematian itu bukan
akhir dari kehidupan. Kematian adalah permulaan kehidupan
episode yang kedua. Sebelumnya kita hidup di alam arwah,
40Sugeng Pujileksono, Petualangan Antropologi (Malang: UMM Press, 2006), h.
20. 41 K.H. Jalaluddin Rahmat, lahir di Bandung pada tanggal 29 Agustus 1949.
Berasal dari keluarga terdidik terutama dalam bidang agama Islam. Jalaluddin Rahmat pernah mengatakan, Saya dilahirkan dalam keluarga Nahdiyyin (orang-orang NU).
42 K.H. Jalaluddin Rahmat, Memaknai Kematian (Bandung: Pustaka II Man, 2006), h.15.
31
berpindah ke alam rahim ibu, kemudian hidup di dunia ini. Di dunia
ini sebenarnya kita mengalami beberapa kali kehidupan. Dari bayi,
anak kecil, remaja hingga dewasa. Menurut Jalaluddin Rahmat kita
adalah makhluk baru. Seluruh sel-sel yang lama diganti dengan sel-
sel yang baru. Sel-sel kita berubah tanpa kita sadari. Pendeknya kita
mengalami beberapa kali kehidupan. Pertama, kehidupan kita di
dunia. Kedua, kehidupan di alam barzah. Dan ketiga kehidupan di
akhirat.43
Menurut pandangan Agama Islam, Sesungguhnya Allah Swt.
Yang Maha Suci dan Maha Tinggi telah menciptakan manusia untuk
senantiasa langgeng (baqa’), bukan untuk rusak (fana’). Mereka
hanya berpindah dari satu tempat tinggal menuju tempat tinggal
lainnya.44
Hertz juga menjelaskan ada persamaan antara upacara
kematian dengan kelahiran dan perkawinan, yaitu sama-sama
upacara peralihan. Pada upacara kematian seseorang beralih dari
alam hidup ke alam ghaib. Dalam upacara kelahiran seseorang dari
alam ghaib ke alam hidup. Sedangkan upacara perkawinan adalah
peralihan dari masa lajang ke masa berumah tangga. Kesamaaan
peralihan ini dinamakan dengan rites de passage.45
Mengenai upacara kematian atau berkabung, Fung Yu-Lan,
seorang profesor filsafat di Universitas Tsinghua, mengatakan bahwa
yang terpenting bagi penganut Khonghucu dalam upacara kematian
adalah upacara berkabung serta upacara penyajian korban terutama
bagi para leluhur.46
43K.H. Jalaluddin Rahmat, Memaknai Kematian, h. 26. 44Imam Zainuddin Ibnu Rajab al-Baghdadi, Alam Barzakh dan Perjalanan Roh
Setelah Kematian (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2004), h. 26. 45Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., h. 157. 46Fung Yu-Lan, A Short History of Chinesse Philosophy (New York: The Free
Press, 1948), h. 148.
32
Sejalan dengan hal di atas, menurut Ridwan Lubis47, sebagai
sebuah agama modern, maka kehadiran agama atau fitrah tidak
sekedar berada pada tataran normatif belaka yang terkungkung di
bilik-bilik ruang penyembahan, tetapi ia kemudian berinteraksi
dengan realitas kehidupan sosial.48
Menurut Marcel Mauss dalam bukunya The Gift Forms and
Functions Exchange in Archaic Societies, sebagaimana yang dikutip
oleh M. Ikhsan Tanggok dalam bukunya berjudul Agama Dan
Kebudayaan Orang Hakka Di Singkawang, menyatakan bahwa tidak
ada kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang bebas dari pamrih,
semuanya dilakukan dengan mengharapkan balasan dari apa yang
mereka berikan kepada orang lain (1992:146-147). Pendapat Mauss
ini juga diikuti dan didukung oleh Sahlins, yang menyatakan bahwa
pertukaran sepenuhnya (tanpa pamrih) akan mengakibatkan
habisnya kewajiban yang satu terhadap yang lain untuk saling
memberi hadiah secara timbal balik. Tukar menukar pemberian
prestasi yang terjadi antara manusia dengan manusia atau antara
manusia dengan roh orang yang sudah meninggal atau antara
anggota keluarga yang masih hidup dengan roh-roh leluhur mereka
terwujud dalam bentuk upacara.49
Pendapat Mauss berbeda dengan Bratayana Ongkowijaya, S.E.,
XDS., dalam pengantar cheng xin zhi zhi (誠信旨 keyakinan iman),
bahwa Tian (天) sebagai Khalik semesta, awal dan akhir dari segala
(zhong shi 終始) mempunyai cara Dia menyelenggarakan itu semua,
inilah Jalan Suci-Nya. Dan semua itu ada dalam kuasa-Nya, inilah
Hukum Suci-Nya. Bahwa dalam penjadian manusia, dalam hidupnya
47Ridwan Lubis adalah Guru Besar Pemikiran Islam pada Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah. 48H.M. Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian, Landasan, Tujuan, dan Realitas
Kehidupan Beragama di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, 2017), h.8.
49M. Ikhsan Tanggok, Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang, Memuja Leluhur dan Menanti Datangnya Rezeki (Jakarta: Buku Kompas, 2017), h. 6-7.
33
di dunia ini, yang diawali dengan kelahiran dan diakhiri dengan
kematian, ada suatu kodrat yang harus digenapi, Firman Tian (天)
yang menjadi kewajiban suci manusia untuk melaksanakan, inilah
Jalan Suci manusia yang ditetapkan-Nya.50 Bratayana berpendapat
bahwa persembahyangan kepada leluhur sudah sewajarnya
dijalankan oleh keturunannya, tidak ada pemikiran untuk pamrih
melainkan dijalankan dengan penuh ketulusan karena itu sudah
menjadi kewajiban manusia yang hidup. Selanjutnya Bratayana
dalam tulisannya menyatakan, Ada suatu keyakinan, bahwa Jalan
Suci Tian (天) itulah awal dan juga akhir dari segala; demikian hidup
manusia juga ada di dalamnya. Tanpa Jalan Suci Tian (天) segalanya
tak ada! Dan tanpa berusaha memperolehnya, suatupun tiada dalam
hidup manusia. Inilah mengapa keyakinan akan kebenaran ini,
kesungguhan dalam amal perbuatan yang berkiprah di dalamnya,
ketulusan untuk hidup di Jalan Suci menjadi sesuatu yang mutlak bila
manusia ingin memperoleh Rahmat, Berkah, Karunia-Nya. Itu semua
menjadi kodrat manusia, misi suci dari penjadiannya, kehendak-Nya
atas manusia. Hal ini menjadi panggilan Ilahi agar umat manusia
menunaikan baktinya. Dengan ini manusia berasal, dengan ini pula
manusia kembali kepada-Nya.51
Dalam kitab Zhong Yong ( 中 庸 , Tengah Sempurna
disebutkan. “Iman itu harus disempurnakan sendiri; dan Jalan Suci
itu harus dijalani sendiri pula.”52 Ayat tersebut menjadi suatu seruan
agamis bagi umat Khonghucu untuk tidak lupa akan Tian (天), akan
misi suci hidupnya, akan causa prima dan finalis causa dari segala!
50Bratayana Ongkowijaya, S.E., XDS dalam makalah pengantar Cheng xin zhi zhi
/keyakinan iman (Solo:Tanpa penerbit,, 2015), h. 4. 51 Bratayana Ongkowijaya, Cheng xin zhi zhi,(Solo: tanpa penerbit, tanpa
tahun), h. 4. 52 Zhong Yong/Tengah Sempurna XXIV,1 dalam Kitab Si Shu (Kitab Yang
Empat), versi Dwilingual dengan Tranliterasi Hanyu Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bidang Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016), h. 69.
34
Dan sungguh, hanya keyakinan/kesungguhan/ketulusan lah yang
memungkinkan ini ada pada diri manusia (untuk memperolehnya).
Victor Turner dalam tulisan M. Ikhsan Tanggok juga melihat
adanya hubungan yang erat antara li (禮) dan ren (仁) dalam ajaran
Konfusius. Jika li (禮 ) diartikan sebagai upacara, maka ren (仁 )
diartikan sebagai cinta kasih, kebaikan, kemanusiaan, hubungan
antara manusia dan manusia, dan solidaritas atau rasa kebersamaan
ren (仁) dapat juga dilihat sebagai rasa kemanusiaan atau sebagai
ungkapan sosial dalam komunitas tanpa struktur, sedangkan li (禮,
upacara atau sopan santun) dapat dilihat sebagai struktur (lihat
Turner, 1974: 284) 53 Apa yang dikatakan Turner mengenai
hubungan li (禮) dan ren (仁) juga erat kaitannya dengan pendapat
Mc-Creery (dalam Scupin, 2000: 286) dan Clarke (2000: 275)
mengenai hubungan perasaan xiao (孝 ) atau bakti seorang anak
terhadap orang tua yang masih hidup dan yang sudah meninggal
menurut konsep li (禮) yang terdapat dalam ajaran Konfusius. Dalam
ajaran Konfusius (kitab Si Shu, 四書) dapat dijumpai keterangan
bahwa ketika Konfusius ditanya oleh muridnya tentang kesalehan
(filial piety, xiao 孝) atau bakti, beliau menjawab, “Orang tua ketika
mereka masih hidup layanilah (peliharalah) mereka sesuai dengan li
(禮) ; ketika mereka meninggal, kuburkanlah mereka sesuai dengan
li (禮) ; dan berikan sesembahan (makan atau kurban) dan yang
lainnya sesuai dengan li (禮) .” Dalam arti yang sederhana li (禮)
dapat dimaknai sebagai “ritual” atau “upacara”, dalam arti yang lebih
luas adalah “sopan santun” sesuai dengan tingkah laku yang
sebenarnya seperti yang terjadi dalam upacara-upacara pemujaan
leluhur dalam keluarga dan masyarakat Tiongkok, baik di Tiongkok
maupun di luar Tiongkok. Melaksanakan li (禮) (upacara) berarti
melakukan xiao (孝 bakti), dan tidak melaksanakan li (禮) berarti
53Tanggok, Agama dan Kebudayaan Orang Hakka, h. 9.
35
tidak melaksanakan xiao (孝) terhadap leluhur atau bu xiao (不孝).
Arti yang lebih luas dari bu xiao (不孝 Mandarin, atau berbunyi put
hauw dalam dialek Hokian) adalah berdosa atau bersalah kepada
orang tua atau leluhur mereka yang sudah meninggal.54
Sebenarnya agama menjadi faktor penentu dalam kehidupan
manusia karena melalui agama dapat memberikan jawaban
terhadap persoalan yang selalu dihadapi manusia, yaitu karena
ketidaktahuan dan ketidakmampuan manusia dalam menghadapi
kejadian seperti kelahiran, kesakitan, kematian, bencana alam, dan
lain-lain.
Ajaran Agama membimbing manusia menyadari akan makna
hidup dan tujuannya. Memberikan manusia Tempat Hentian, yang
membawakan ketetapan tujuan, ketentraman hati, kesentosaan
batin sehingga dapat berpikir benar dan mencapai tujuan.
Membimbing manusia meneliti hakikat tiap perkara, mencukupkan
pengetahuan, mengimankan tekad, meluruskan hati, membina diri,
membereskan rumah tangga, mengabdi kepada masyarakat, negara
dan dunia sebagai pernyataan Satya dan Baktinya kepada Tuhan
Yang Maha Esa.55 Inilah yang dimaksud Nabi Kong Zi di dalam Sabda
Suci XVI, “Seorang jun zi (kun cu, 君子 atau susilawan) memuliakan
tiga hal, memuliakan Firman Tuhan Yang Maha Esa, memuliakan
orang-orang besar dan memuliakan sabda para Nabi.”
Di dalam kehidupan beragama, kita dituntut pengabdian
seutuhnya, sepenuh hidup, dalam seluruh aspek Kebajikan, di dalam
seluruh perilaku di dalam Cinta Kasih, menjunjung
Kebenaran/Keadilan/Kepantasan, di dalam Kesusilaan dan
peribadahan, maupun dalam perbuatan yang wajib didukung oleh
kecerdasan dan kebijaksanaan, semuanya itu adalah Jalan Suci
manusia yang wajib dilaksanakan dan tidak dapat dilepaskan dari
Jalan Suci Tuhan Yang Maha Esa. Dengan melaksanakan Jalan Suci
54Tanggok, Agama dan Kebudayaan Orang Hakka, h. 9-10. 55Tjay Ing, Selayang Pandang, h. 7.
36
Manusia yang dibimbingkan Agama, dengan rida Tuhan Yang Maha
Esa akan diperoleh hidup damai dan sentosa dalam hidup pribadi,
keluarga, masyarakat, negara, dunia maupun akhirat.56
Demikianlah seorang jun zi (kun cu, 君子 manusia paripurna),
di dalam hidup ini dapat damai, rukun dengan sesamanya, bila tiba
saat pulang ke haribaan Tian 天, boleh damai tenteram menghadap-
Nya. Nabi Kongzi bersabda, “ Yang Bijaksana tidak dilamun bimbang,
Yang Berperi Cinta Kasih tidak merasakan susah payah, dan yang
berani tidak dirundung ketakutan.”57
2. Tujuan Upacara Kematian
Tujuan upacara kematian menurut Agama Khonghucu
adalah:
a. Untuk mendoakan kepada yang meninggal dunia agar arwahnya
dapat beristirahat dalam damai dan rohnya mendapat jalan
terang untuk kembali ke haribaan Kebajikan Tian 天.
b. Memberikan penghiburan agar keluarga yang ditinggalkan
mendapatkan kekuatan, ketabahan untuk menerima Firman Tian
( 天 )sehingga keluarga yang ditinggalkan dapat meneruskan
cita-cita mulia almarhum.
c. Menunjukkan rasa bakti anak kepada orang tua.
Di dalam kitab Zhongyong (Tiong Yong, 中庸 ) XVIII:5
disebutkan: “Adapun yang dinamai berbakti ialah dapat baik-baik melanjutkan cita-cita mulia dan dapat baik-baik meneruskan pekerjaan mulia manusia/orang tuanya”. “Dengan demikian dapat memberi kedudukan kepada leluhur dan menjalankan upacara. Kemudian ditabuh musik leluhur, melayani kepada yang telah mangkat sebagai melayani yang masih hidup, melayani kepada yang sudah tiada sebagai melayani kepada yang masih ada. Demikianlah Laku Bakti yang sempurna.”58
56Tjay Ing, Selayang Pandang, h. 8. 57Kitab Sabda Suci Jilid IX: 29, h. 182.
58Kitab Zhong Yong (Tiong Yong/Tengah Sempurna) Bab XVIII:5, h. 56..
37
Apabila dilihat dari fenomena kebudayaan, tujuan upacara
kematian adalah pewarisan nilai-nilai atau norma-norma melalui
proses sosialisasi. Upacara ini merupakan serangkaian aktivitas yang
berorientasi pada penggunaan dan penghayatan pada simbol-simbol
dan memberikan kesadaran terhadap pendukung upacara mengenai
nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam simbol-simbol tersebut.
Dengan demikian upacara kematian yang dilakukan secara berkala
maupun secara berulang-ulang merupakan wadah sosialisasi dan
keagamaan bagi masyarakat pendukung upacara.59
Upacara kematian dalam agama Khonghucu merupakan suatu
proses pengurusan jenazah dari awal kematian seseorang sampai
pada proses penguburannya, yang diikuti dengan berbagai upacara
penghormatan yang dilakukan oleh keluarga dan para umat
Khonghucu yang ikut dalam upacara tersebut.60
Pada zaman dahulu dikatakan, jenazah tidak dikuburkan
atau dimakamkan dengan benar, yang mati seolah menjadi barang
yang tidak berguna saja, apalagi tidak ada upacara penguburan.
Orang yang meninggal dibuang ke jurang atau ada yang
menguburkan tetapi tidak sewajarnya sehingga mudah digali oleh
binatang buas, sungguh memprihatinkan dan sangat tidak layak
untuk orang yang kita kasihi apabila diperlakukan sedemikian rupa.
Hal itu dapat dilihat dalam kitab Mengzi (Bing Cu, 孟子) III A, pasal 5
ayat 4 sebagai berikut:
“Pada zaman dahulu ada orang-orang yang tidak mengubur jenazah orang tuanya. Bila orang tuanya meninggal dunia, dipikulah jenazahnya dan dibuang di sebuah jurang. Lewat beberapa hari dilihatnya rubah dan kucing hutan memakan jenazah itu, lalat dan nyamuk mengerumuni dan menghisapnya. Maka bercucuranlah keringat dari dahi orang-orang itu, tidak tahan melihatnya. Mengalirnya keringat itu bukan bermaksud untuk diperlihatkan kepada orang lain, tetapi timbul dari lubuk hati dan nampak di muka serta di matanya. Mereka segera pulang mengambil keranjang dan cangkul untuk menimbuni jenazah itu. Kalau perbuatan
59M. Ikhsan Tanggok. Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu Di Indonesia
(Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h.139. 60Tanggok. Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu, h. 135.
38
penuh Iman ini benar, maka anak berbakti yang berperi Cinta Kasih, yang mengubur jenazah orang tuanya dengan cara sebaik-baiknya sesuai pula dengan Jalan Suci.61
Dalam Agama Khonghucu sudah dikenal upacara kematian dan
pemakaman sejak Nabi Shen Nong (Sien Long 神農, 2838 SM- 2698
SM). Manusia tentunya tidak menghendaki jika jenazah yang dikasihi
dicampakkan begitu saja, tidak diurus dengan baik pemakamannya.
Sekalipun sudah tidak bernyawa tetapi jasadnya tetap ada, dan
melaksanakan upacara pemakaman merupakan bagian dari
kesusilaan. Hormat kepada orang yang dikasihi merupakan bagian
dari kesusilaan. Hormat kepada orang yang dikasihi sepanjang
hidupnya, bahkan setelah melewati masa perkabungan, orang tetap
mendoakan di sepanjang hidup, bahkan setelah melewati masa
perkabungan orang tetap mendoakan leluhurnya agar senantiasa
damai, tenteram di alam xian tian/sian thian 先天
Sungguh tragis dan menyedihkan apabila mengubur yang
tidak sewajarnya, tentunya akan menimbulkan bau yang tidak enak.
Untuk menghilangkan tradisi buruk tersebut, Khonghucu melakukan
perubahan dalam penguburan mayat.62
Menurut Khonghucu, manusia itu adalah makhluk utama,
maka meski tubuhnya tidak bernapas lagi kita tetap harus
menghormatinya. Selanjutnya dia mengatakan, bahwa manusia itu
wajib mencintai sesamanya sebagai saudara; kecintaan sesama
manusia terjalin bagaikan tali yang menghubungkan satu dengan
yang lainnya. Setiap orang yang hidup pasti mempunyai hubungan
dengan yang mati, walaupun secara jasmani mereka sudah tiada,
tetapi secara rohani mereka masih ada. Kebanyakan manusia
hanyalah sekadar mewarisi pekerjaan dan harta dari yang meninggal
dunia, dan ini dianggap kurang baik. Yang baik menurut Khonghucu
61Kitab Meng Zi 孟子 III A:5,4, h. 503. 62Tanggok. Mengenal Lebih Dekat, h. 136.
39
adalah membalas budi orang yang telah mati, menghormatinya dan
berbakti kepadanya sesuai dengan kemampuan kita.63 ”Ketika ibu Khonghucu meninggal dunia, ibunya dikuburkan untuk sementara waktu dan peti jenazah ibunya ditempatkan di jalan Wu Fu (Ngo Hu, 五父 ). Orang yang melihatnya semua menyangka telah
dimakamkan di situ. Tetapi sesungguhnya itu hanya menyemayamkan peti mati untuk kepentingan penyembahan. Ketika ibunya meninggal dunia, ibu dari Wan Fu (Bwan Hu 輓父 ) dari kota Zou (Coo, 陬 )
memberitahukan kepada Khonghucu tentang kuburan ayahnya yang sebenarnya. Karena ketika Khonghucu lahir ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di Fang Shan (Hong San, 防山), yang terletak di bagian
paling timur negeri Lu (di Shandong). Tetapi Khonghucu ragu atas kuburan ayahnya yang sebenarnya. Setelah ia tahu lokasi kuburan tersebut, Khonghucu segera memakamkan ibunya di dekat kuburan ayahnya di Fang Shan. Ia menguburkan ibunya dengan iring-iringan penghormatan ke gunung Fang Shan (Hong San, 防山), dan dikuburkan
disebelah kuburan ayahnya. Kuburan tersebut digali secara dalam dan diberi gundukan. Tradisi mengubur dengan bersebelahan tersebut sampai saat ini masih dilakukan oleh orang-orang Tionghoa peranakan. Di dalam satu gundukan makam yang sangat besar tersebut berisi dua jenazah. Setelah memakamkan ibunya, untuk kepentingan berkabung Khonghucu melepaskan jabatannya sebagai pemimpin dinas pertanian dan peternakan yang ia jabat sebelum ibunya meninggal dunia. Baru
setelah 27 bulan kemudian ia aktif kembali kepada jabatannya.”64
Semua yang dilakukan oleh Nabi Khongcu/Kongzi di atas
mendapat respon yang baik dari masyarakat Tionghoa, baik dahulu
maupun sekarang. Hal itu bisa dilihat bahwa ritual kematian yang
dilakukan oleh nabi Khonghucu tersebut masih tetap dilakukan oleh
umat Khonghucu sampai saat ini.65
3. Upacara Sembahyang Leluhur.
Upacara Sembahyang untuk leluhur diatur oleh Majelis
Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin ) dalam kitab Tata
63Tanggok. Mengenal Lebih Dekat, h. 136-137. 64Tanggok. Mengenal Lebih Dekat, h. 137. 65Yugi Yunardi, Pesan Moral Upacara Perkabungan Dalam Agama Khonghucu
(Studi kasus di Makin Cimanggis Depok) (Jakarta: Matakin Bagian Penerbitan, 2018 ), h.22.
40
Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, SAK Th. XXVIII
No.4-566, yang diterbitkan oleh Matakin sebagai berikut :
Dilaksanakan di rumah masing-masing, yakni pada altar
keluarga yang disebut dengan istilah Xiang Wei (Hio We 香位
) atau di Bio Leluhur atau Zu Miao (Co Bio 祖廟).
Teh dan arak ataupun manisan masing-masing disediakan
Sejumlah dua, melambangkan sifat Yin/lem陰陽 dan Yang 陽
, sebagaimana juga hio yang digunakan 2 batang atau
kelipatannya.
Upacara sembahyang ini dapat dilakukan bersama atau
perseorangan.
Susunan altar :
Keterangan gambar :
A. Shen zhu (sien-ci, 神主) atau foto leluhur.
66 Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, SAK Th. XXVIII No.4-5 (Solo:
Matakin Bagian Penerbitan, 1984), h. 90.
41
B. Xiang lu (hio lo, 香爐)
C. Cha liao (thee-liau, 茶料):
1. teh
2. arak dan
3. manisan
D. Nasi, sayur dll.
E. Jeruk
F. Pisang
G. Guigao (ku kue, 龜糕, kueku atau kue kura)
H. Hwat kue (發粿, kue keberkahan)
I. Wajik .
J. Zhu tai (cik-tai 燭臺 tempat lilin) ·
K. Zhuo wei (tuk-wi, 桌幃 tabir altar)
Catatan:
A. Shenzhu (sien-ci 神 主 ) atau foto leluhur kadang-kadang
diletakkan di dalam rumah-rumahan yang disebut kan (kham,
龕) atau shen zhu kan (sien-ci kham 神主龕).
B. Nasi, sayur sawi dll. terserah keinginan keluarga. Boleh lengkap
menurut tradisi, boleh sederhana, umpamanya sekedar
makanan yang disukai sang marhum.
Penjelasan :
1. Zhu zhuo (ciok-tuk, 祝桌 ) yaitu meja sembahyang yang
berbentuk empat persegi panjang bentuknya, dan lebih tinggi
dari meja di depannya. qi zhuo (ki-tuk, 祈桌 ) yaitu meja
sembahyang yang bujursangkar bentuknya dan lebih rendah
daripada ciok-tuk.
Bila altar leluhur hanya memakai satu meja saja, yaitu ki-tuk
saja, yang tingginya dibuat lebih tinggi sedikit daripada meja
makan biasa, maka penyusunan altar disesuaikan.
42
2. Altar/meja sembahyang leluhur sebaiknya diletakkan di
bagian tengah rumah/tempat yang menghadap pintu keluar.
Hendaknya dirawat sepatutnya sebagai tempat suci; jangan
diletakkan di atasnya bendabenda yang tidak ada
hubungannya dengan peralatan upacara.
3. Perlengkapan sembahyang dapat ditambah sesuai kebiasaan
setempat, asalkan tidak bertentangan dengan maksud
penghormatan kepada leluhur. Sebaiknya di altar leluhur juga
diletakkan Kitab Suci Si Shu (Su Si, 四書) di dekat shen zhu
(sien-ci, 神主) atau foto leluhur.
4. Tempat kebaktian keluarga / leluhur ada dua jenis, yaitu:
a. Rumah Abu leluhur atau kelenteng leluhur (zu miao, co
bio, 祖廟), umumnya ditempat ini pada altar diletakkan
shen zhu (sien-ci, 神主) leluhur kaum.
b. Xiang wei (hio we 香位) yaitu tempat abu leluhur per
keluarga atau rumah tangga; pada umumnya pada altar ini
selain diletakkan shen zhu (sien-ci, 神主 ) kini banyak
digunakan foto leluhur yang dihormati67.
Catatan :
Rumah abu leluhur sekarang ada dua macam pula:
1. Rumah abu dari satu marga/satu kaum.
2. Rumah abu untuk leluhur umum.
5. Upacara kematian dibicarakan tersendiri. Tata cara
Pelaksanaan:
a. Lebih dahulu bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha
Esa menghadap ke luar pintu/jendela, dengan dupa tiga
batang.
67Tanuwibowo, B.S. dkk., Kamus Istilah Keagamaan (Jakarta: Puslitbang Lektur
dan Khazanah Keagamaan Kemenag RI, 2014), h. 593.
43
Sesudah dupa dinaikkan secara ding li (ting lee, 頂禮) dan
ditancapkan pada tempat dupa yang disediakan, lalu
bersikap bao xin ba de (pau siem pat tik, 抱心八德) dan
menaikkan doa, sebagai berikut : “...Ke hadirat Tian 天
yang Maha Besar, di tempat Yang Maha Tinggi, dengan
bimbingao Nabi Kongzi/Khongcu 孔 子 ,
dipermuliakanlah...”.
Diperkenan kiranya kami melakukan sujud sebagai
pernyataan bakti kepada leluhur kami. Kami berdoa
semoga Tuhan berkenan bagi para Arwah beliau itu selalu
di dalam Cahaya Kemuliaan Kebajikan Tian 天, sehingga
damai dari tenteram yang abadi boleh selalu padanya.
Shan Zai/Sian-cai 善哉 (diakhiri dengan sekali hormat
ding li (ting lee, 頂禮).
b. Selesai bersembahyang kepada Tian 天, kemudian menuju
ke Altar leluhur. Dupa dinyalakan dua atau empat batang
dan dinaikan 2 kali, lalu ditancapkan. Kemudian dengan
bersikap pau siem pat tik/bao xin ba de 抱心八德
memanjatkan doa: Ke hadapan leluhur (atau
nama/panggilan kita kepada beliau yang dihormati) yang
kami cinta·dan hormati, terimalah hormat dari bakti kami.
Segenap kasih dan teladan mulia yang telah kami terima,
akan tetap kami junjung dan lanjutkan serta kembangkan,
sebagaimana Nabi Kongzi/Khongcu 孔 子 telah
menyadarkan dan membimbing diri kami. Kami selalu
akan berusaha menjaga keharuman serta keluhuran nama
keluarga dan leluhur kami, tidak menodai dan
memalukan. Terimalah hormat dari bakti kami. Shan
Zai/Sian-cai 善哉.
44
Catatan : Susunan kata dan doa tersebut ialah sebagai
petunjuk/contoh, tidak harus selalu itu atau selalu terikat
demikian itu, dapat disesuaikan menurut keperluan.68
Saat-saat sembahyang kepada leluhur :
a. Dian xiang (thiam hio, 點香 ) tanggal 1 dan 15 Iemlik;
dilaksanakan pada petang hari sebelumnya; dan pada tanggal
tersebut pagi dan sore hari. (semuanya tiga kali)
b. Sembahyang hari wafat leluhur (zuo ji, co-ki 做 忌 )
sembahyang): dilaksanakan pada saat mao shi (bau si, 卯時
antara jam 05.00 - 07.00). Sajian (bila memungkinkan)
lengkap,jangan dilupakan sayur sawi dan nasi putih.
c. Pada tutup tahun lama. : dilaksanakan pada siang hari (saat
wei shi, bi si, 未時) antara jam 13.00 - 15.00. Sajian lengkap.
d. Qing ming (ching bing, 清明 Sadranan), dilaksanakan di
makam atau di zhong ting (thiong ting, 塚亭 umum). Waktu :
bebas, sekitar 10 hari sebelum/sesudah 5 April. Sajian : boleh
lengkap.
e. Zhong yuan (tiong gwan,中元) atau zhong yang (tiong yang,中
陽) : dilaksanakan pada tanggal 15 bulan 7 Imlik, di altar
keluarga, pada saat wu shi (ngo si, 午 時 pukul, saat antara jam
11.00 s/d 13.00) Sajian: bo1eh lengkap.
f. Jing he ping (king hoo ping, 敬和平, Sembahyang bagi arwah
umum/arwah sahabat), untuk sembahyang ini dibuatkan
altar khusus, di halaman kelenteng atau di ruang khusus, atau
di rumah abu umum atau di zhong ting (thiong ting, 塚亭).
Sajian:lengkap.69
68Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, Seri Genta Suci
Konfician, SAK TH XXVIII No. 4-5 (Solo: Matakin , 1984), h. 90-92. 69Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, h. 92-93.
45
4. Dasar Perkabungan
Dasar Perkabungan yang diatur oleh Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (Matakin ) adalah sebagaimana yang disusun
oleh team perumus khusus yang ditunjuk oleh Ka. Deroh Matakin
melalui surat Dewan Rohaniwan Matakin
No.038/DEROKH.MAT/III/07 tertanggal : Solo 20 Maret 2007
dengan Pimpinan Team Xs. Tjhie Tjay Ing bersama staff: Xs. Tjandra
R. Muljadi, Xs. Buanadjaja, Xs. T.M. Suhardja, Xs. Masari Saputra, Ws.
Setianda Tirtarasa, Ws. Setia Rachmat sebagai berikut :
Acuan & Landasan
a. Kematian (Duka) “Nabi Kongzi bersabda: ‘Seorang anak berbakti waktu kematian orangtua, tangisnya tidak meratap-ratap. Menjalankan upacara tidak berpura-pura. Kata-katanya tidak dibumbui. Mengenakan pakaian indah tidak merasa enak. Mendengar musik tidak merasa gembira. Tidak merasakan nikmatnya makanan enak. Demikian rasa duka-citanya. Setelah tiga hari, baru makan seperti lazimnya, ini mendidik rakyat tidak karena kematian, membahayakan kehidupannya. Dan peristiwa duka itu tidak merusakkan Watak Sejatinya. Demikianlah hukum para Nabi itu. Melakukan kabung tidak lewat tiga tahun agar rakyat mengerti batas. Peti dalam dan peti luar disiapkan. Setelah jenazah dikenakan pakaian mati serta selimutnya, lalu dimasukkan ke dalam peti mati. Setelah disiapkan peralatan sembahyang serta sajiannya, lalu dilakukan upacara sembahyang dengan disuasanai rasa duka.Dengan gerak yang mengungkapkan kesedihan, menangis mengiringi jenazah menuju kuburan. Dicari dan dikaji tempat untuk tanah makam, disanalah disemayamkan dalam damai jenazah itu. Disiapkan di kuil leluhur tempat untuk sembahyang dan memperingatinya setiap musim Semi dan Rontok. Demikianlah senantiasa dikenangnya. Pada masa hidup diabdi dengan cinta dan hormat. Setelah meninggal dunia diabdi dengan rasa sedih dan haru, ini akan menumbuhkan kesadaran rakyat untuk memperhatikan perkara yang pokok. Siapnya pelaksanaan kewajiban kepada orangtua saat hidup maupun saat meninggal dunia, seorang anak berbakti dengan sempurna melaksanakan pengabdian kepada orangtuanya’.” 70
70Kitab Bakti/ Xiao Jing, XVIII, h. 37.
46
“Ceng-cu/Zeng Zi berkata:“Hati-hatilah saat orangtua meninggal dunia, dan janganlah lupa memperingati sekalipun telah jauh. Dengan demikian rakyat akan kembali tebal kebajikannya’.” 71 “Nabi Kongzi bersabda: ‘Pada saat orangtua seseorang masih hidup, tiliklah cita-citanya. Setelah meninggal dunia, tiliklah perbuatannya. Jika selama tiga tahun tidak mengubah Jalan Suci orangtuanya, dia boleh disebut seorang anak berbakti’.”72 “…, Nabi Kongzi menjawab: ‘Pada saat hidup, layanilah sesuai dengan Kesusilaan. Ketika meninggal dunia, makamkanlah dan sembahyangilah sesuai dengan Kesusilaan’.” 73
Dalam memperlakukan orang tua hendaklah sebagai anak;
penuh hormat dan susila, bukan hanya dapat melayani dengan baik
semasa hidupnya, tetapi setelah meninggal juga memakamkan dan
menyembahyangi orang tua dengan kesusilaan demikianlah yang
disebut anak yang berbakti.
“Liem Hong/Lin Fang bertanya tentang pokok Kesusilaan. Nabi menjawab: ‘Sungguh Pertanyaan besar! Dalam upacara daripada mewah mencolok, lebih baik sederhana. Dalam upacara duka daripada meributkan kelengkapan upacara, lebih baik ada rasa sedih yang benar’.”74 Nabi bersabda: ‘Di luar rumah dapat mengabdi kepada Pemerintah. Di dalam rumah dapat mengabdi kepada orangtua dan saudara-saudara. Dalam hal kematian tidak berani tidak bersungguh-sungguh dan tidak bermabuk dengan arak/anggur. Inilah yang selalu menjadi pertanyaan, apakah aku sudah dapat menjalankannya?’.”75 “….. Mati hidup adalah Firman, kaya dan mulia adalah pada Tuhan YME.”76 “….. Dapat memelihara keluarga yang hidup dan dapat mengurus baik-baik bila ada kematian sehingga tidak ada yang menyesal, inilah tindakan pertama yang harus Baginda usahakan baik-baik.” 77
71Kitab Lun Yu I:9, Ceng Cu merupakan murid Nabi Kongzi dalam percakapan
di Kitab Lun Yu/Sabda Suci.h. 91. 72 Kitab Lun Yu I:11, h,92. 73Kitab Lun Yu II:5,3, h. 97. 74Kitab Lun Yu III:4, h. 105. 75Kitab Lun Yu IX:16, h.178. 76Kitab Lun Yu XII:5,2, h. 218. 77Kitab Meng Zi IA:3,4, h.346.
47
“Tiong Ni/Zhong Ni 仲尼 pernah bersabda, ‘Orang yang pertama
mengajar membuat patung untuk dikubur bersama jenazah, putus turunankah dia?!’ Ini baru boneka saja yang ikut dikubur sudah sangat dibenci Nabi, maka betapa bencinya terhadap Raja yang membiarkan rakyatnya mati kelaparan’.78” Bing Cu79 berkata: “Memelihara masa hidup (orangtua), itu belum cukup dinamai pekerjaan besar. Hanya segenap (pengabdian) untuk mengantar kewafatannya, barulah dapat dinamai pekerjaan besar.”80
Mengzi/Bing Cu (孟子) atau Mencius disebut sebagai Sang Penegak
(Ya Sheng/A Sing 亞聖 atau orang kedua setelah Nabi) yang
meluruskan dan memurnikan kembali ajaran Khonghucu pada
zaman zhan guo (戰國).
“Tentang usia pendek atau panjang, jangan bimbangkan. Siaplah dengan membina diri. Demikianlah menegakkan Firman.”81
Dalam menjalani kehidupan di dunia kita diingatkan untuk tidak
merisaukan umur panjang atau pendek, yang terpenting hidup
didalam pembinaan diri, menjalankan kebajikan dan menegakkan
Firman.
“Nabi Kongzi bersabda: ‘Orang bodoh tetapi suka memakai cara sendiri, berkedudukan rendah suka menonjolkan diri, hidup pada zaman ini tetapi ingin menjalankan peraturan-peraturan kuno (yang sudah lapuk), perbuatan semacam ini niscaya membawa malapetaka baginya’.”82
Kebanyakan orang suka ikut-ikutan dalam menjalankan sesuatu
walaupun tidak mengerti yang dijalankan itu benar atau salah.
“…dengan mempelajari yang kuno, dia dapat memahami yang baru, dengan ketulusan hati yang tebal dia menjunjung Kesusilaan. 83 Nabi
78Kitab Meng Zi IA:4,6, h. 350. 79 Nama Bing Cu adalah dengan dialek Hokian, untuk panggilan Mandarin
adalah Meng Zi. 80Kitab Meng Zi IVB:13, h,576—577. 81Kitab Meng Zi VIIA:1,3, h. 708. 82 Kitab Zhong Yong XXVII:1. H.75. 83Kitab Zhong Yong XXVI:6), h. 74—75.
48
Kongzi bersabda: “Orang yang memahami ajaran lama lalu dapat menerapkan pada yang baru, dia boleh dijadikan guru.” 84 “Jalan Suci (hubungan) antara orangtua dengan anak itulah Watak Sejati karunia Thian. Di dalamnya terkandung Kebenaran (hubungan) antara pemimpin dengan pembantu. Seorang anak menerima hidupnya dari ayah bunda. Adakah pemberian yang lebih besar daripada ini? Serasinya hubungan dengan pemimpin dan orangtua, adakah yang lebih penting daripada ini? Maka jika orang tidak menyintai orangtuanya tetapi dapat menyintai orang lain, itulah Kebajikan yang terbalik. Tidak hormat kepada orangtuanya tetapi dapat hormat kepada orang lain, itulah Kesusilaan terbalik! Orang yang mengikuti hal yang justeru melanggar/melawan (kebenaran), rakyat tidak mendapatkan sesuatu daripadanya yang patut ditiru. Tiada perbuatan baik dapat dilakukan, semua perbuatannya hanya merusak Kebajikan. Biarpun mungkin dia dapat berhasil mencapai sesuatu, seorang Jun zi/Kun cu 君子 (Insan
kamil) tidak dapat menghargainya”.85 “Nabi bersabda: ‘Beginilah seorang anak berbakti mengabdi/melayani orang-tuanya, di rumah sikapnya sungguh hormat, dalam merawatnya sungguh-sungguh berusaha memberi kebahagiaan, saat orangtua sakit dia sungguh-sungguh prihatin, dalam berkabung dia sungguh-sungguh bersedih dan dalam menyembahyangi dia melakukannya dengan sungguh-sungguh hormat. Orang yang dapat melaksanakan Lima Perkara ini, dia benar-benar boleh dinamai melakukan pengabdian kepada orangtua’.”86 “Sisa makanan tidak digunakan untuk persembahan (bakti) sembahyang kepada orang yang sudah meninggal dunia. Seorang ayah tidak semestinya menggunakan barang itu sebagai persembahan sekalipun kepada anaknya yang meninggal dunia, demikian pula seorang suami tidak menggunakannya untuk persembahan kepada isterinya yang meninggal dunia.”87
Berdasarkan pada ayat ini, terjelaskan bahwa setiap sajian yang
dipersembahkan kepada leluhur selalu berganti pada setiap
pergantian waktu.
“Dalam upacara duka wajib bersegera memenuhi hal-hal yang perlu, dan dalam upacara suka boleh dengan santai. Meski demikian orang wajib
84Kitab Lun Yu II:11, h. 99. 85Kitab Xiao Jing, IX:5, h.19. 86Kitab Bakti atau Xiao Jing, X:1, h.21. 87Kitab Li Ji IA.III.19.64.
49
memenuhi hal-hal yang perlu dalam upacara berkabung, jangan melewati batas. Dalam upacara suka, biarpun boleh santai tetapi jangan lalai. Terlalu terburu-buru (dalam upacara duka) menimbulkan sikap kasar, terlalu santai (dalam upacara suka) menunjukkan dia orang yang bersifat rendah budi (Xiao Ren). Seorang Junzi (Insan kamil – pen.) dalam
hal itu selalu berupaya memenuhi hal yang perlu.”88
Ditekankan untuk lebih mengutamakan upacara duka, walaupun
pada upacara suka walaupun agak santai tapi tidak boleh lalai.
“Nabi Khong Cu/Kong Zi 孔子 bersabda: ‘Terhadap orang yang sudah
meninggal dunia jika memperlakukannya benar-benar sama sekali sudah mati, itu tidak berperi Cinta Kasih maka jangan dilakukan. Terhadap orng yang sudah meninggal dunia jika memperlakukannya benar-benar seperti masih hidup, itu tidak Bijaksana dan jangan dikerjakan’. ”89 “Nabi bersabda: ‘Begitu ada kematian,keluarga wajib segera mengganti pakaiannya, jika dibuat dari kulit kambing dan topi yang berwarna hitam’. Meskipun mereka tidak melakukan hal-hal yang lebih lanjut. Jika mengenakan pakaian dari kulit kambing dan topi hitam, Nabi tidak melakukan kunjungan belasungkawa. Zi You (Cu Yu 子有 ) bertanya
tentang peralatan (kelengkapan – pen.) yang wajib disediakan untuk upacara perkabungan. Nabi bersabda: ‘Wajib disediakan sesuai dengan kemampuan keluarga.’ Zi You 子有 berkata, ‘Bagaimanakah keluarga
yang mampu dan tidak mampu dapat melakukan hal yang sama?’ Nabi menjawab: ‘Yang mampu jangan melampaui ketentuan Kesusilaan, yang tidak mampu cukup sekedar tubuhnya ditutupi dari kepala hingga kaki dan selanjutnya dimakamkan. Peti jenazah cukup diturunkan dengan tali. Dengan demikian, siapakah yang akan menyalahkan?’90
Ketika Cheng-zi Gao/Sing Cu Koo 成子高 terbaring sakit, Qing Yi/Khing I
慶遺 masuk menemuinya, dan mohon diperkenankan menerima pesan
akhir dengan berkata, ‘Sakit Tuan sangat parah. Jika hal ini terus berlanjut menjadi sakit yang dahsyat, apa yang harus kami lakukan?’ Zi Gao/Cu Koo 子高 berkata: ‘Apa yang sudah aku dengar, saat hidup
hendaklah dapat berguna bagi orang lain dan saat mati janganlah membahayakan orang lain. Biarpun saat aku hidup tidak banyak berguna bagi orang lain, bolehkah saat aku mati aku membahayakan orang lain?
88Kitab Li Ji IIA.II.41, h.73. 89Kitab Li Ji IIA.III.3, h. 74. 90Kitab Li Ji IIA.III.16-17, h.79.
50
Bila aku mati, pilihlah sebidang tanah yang gersang dan kuburkan aku di sana’.”91
“….. untuk keperluan menyampaikan sajian di kiri makam (untuk Malaikat Bumi). ….. 92 ….. Setelah dimakamkan, disajikan (dipersembahkan – pen.) makanan (untuk upacara penyemayaman itu). Orang yang mati itu tidak ikut makan, tetapi dari zaman yang paling kuno hingga sekarang hal itu tidak memberontak (dari kematian). Maka kecamanmu terhadap Kesusilaan itu, sesungguhnya adalah kajian yang tidak susila!”93
“Zi Lu/Cu Lo 子 路 berkata, ‘Sungguh menyedihkan orang yang
miskin.Ketika orang-tuanya masih hidup tiada makanan untuk merawatnya. Saat meninggal dunia, tidak dapat memenuhi kewajiban susila (Li/Lee 禮) kepadanya.’ Nabi Khong Cu/Kong Zi 孔子 bersabda:
‘Biarpun hanya sayur kacang dan air tawar kalau dapat membahagiakan orangtua, itu sudah dapat disebut berbakti. Biar seorang anak hanya dapat membungkus badan hingga kaki orangtuanya yang meninggal dunia lalu memakamkannya tanpa dengan peti mati luar (guo/kok 槨),
dia sudah boleh dinamai melakukan kewajiban Susilanya’.”94
b. Perkabungan “Pada waktu sembahyang kepada leluhur, hayatilah akan kehadirannya. Dan waktu sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Roh, hayati pula akan kehadiran-Nya. Nabi Kongzi bersabda: “Kalau aku tidak ikut sembahyang sendiri, aku tidak merasa sudah sembahyang.” 95
Pada saat kita bersembahyang kepada Tian maupun kepada leluhur,
kita harus khusuk dan yakin sehingga dapat merasakan kehadiran
yang kita sembahyangi.
“Nabi bersabda: ‘Jika seseorang selama tiga tahun tidak mengubah Jalan Suci orangtuanya, dia boleh disebut berbakti’.”96
Sembahyang kepada orang tua yang telah meninggal dan berkabung
selama tiga tahun sudah teradatkan dari dulu, untuk itu umat
91Kitab Li Ji IIA.III.22, h. 80. 92Kitab Li Ji IIB.I.36 h. 92. 93Kitab Li Ji IIB.II.8 h. 98. 94Kitab Li Ji IIB.II.16 h. 103. 95Kitab, Lun Yu III:12, h. 108. 96Kitab, Lun Yu IV:20, h. 121.
51
Khonghucu wajib untuk melaksanakan perkabungan selama tiga
tahun.
“Cai Ngo/Zai Wo 宰我 bertanya: ‘Masa tiga tahun berkabung, apakah
tidak terlalu lama?” Cai Ngo adalah murid Nabi Kongzi. Nabi Kongzi menjawab:’Seorang Jun zi/Kun cu 君子 jika selama tiga
tahun tidak mempraktekkan adat istiadat, niscaya rusaklah kebiasaannya yang baik itu. Jika tiga tahun tidak menabuh alat musiknya, niscaya hilanglah kepandaiannya.’ Cai Ngo/Zai Wo 宰 我 kembali
bertanya: ‘Dalam setahun, hasil bumi yang lama sudah habis, hasil bumi yang baru menggantikannya. Kayu-kayu untuk bahan bakarpun sudah empat kali berganti-ganti jenisnya. Bukankah setahun itu sudah cukup?’ Nabi membalas bertanya: ‘Dalam jangka waktu yang sedemikian itu, dapatkah kamu merasa enak memakan nasi yang putih dan mengenakan pakaian yang bersulam?’ Cai Ngo/Zai Wo 宰我 menjawab: ‘Dapat!’
Nabi bersabda: ‘Kalau engkau dapat merasa enak, kerjakan! Seorang Jun zi/Kun cu 君子 melakukan berkabung karena makan apapun tidak enak,
mendengarkan musik pun tidak dapat merasa gembira, berdiam dimana pun tidak merasa enak. Itulah mengapa dia melakukannya. Sekarang kamu sudah dapat merasa enak, kerjakan!’ Setelah Cai Ngo/Zai Wo 宰我
keluar, Nabi bersabda pula: ‘I/Yu 予 sungguh tidak berperi Cinta Kasih.
Anak lahir setelah tiga tahun baru dapat lepas dari asuhan ayah bundanya. Maka berkabung tiga tahun sudah teradatkan di dunia. Mungkinkah I/Yu 予 tidak mendapatkan cinta orangtuanya (hingga usia
– pen.) tiga tahun?’.” 97
Cai Ngo/Zai Wo merupakan salah satu murid Nabi Kongzi yang
bertanya kepada Nabi Kongzi sebagai gurunya mengenai
perkabungan tiga tahun.
‘Cu Yu/Zi You 子游 berkata: ‘Dalam hal berkabung, jika ada rasa sedih,
itu sudah cukup’.” 98
Cu Yu/Zi You juga merupakan murid Nabi Kongzi yang berdialog
mengenai perkabungan.
“Ceng Cu/Zeng Zi 曾 子 berkata: ‘Dahulu aku mendengar Guru
bersabda,‘Dalam hidup sehari-hari kita tidak dapat memastikan betapa besar rasa cinta seseorang kepada orangtuanya. Ini akan jelas bila datang masa berkabung’.”99
97Kitab Lun Yu XVII:21, h. 307—308. 98Kitab Lun Yu XIX:14, h. 325.
99Kitab Lun Yu XIX:17, h. 325—326.
52
“Adapun yang harus diutamakan bagi rakyat ialah makanan,
perkabungan, dan sembahyang”.100
Ini merupakan salah satu sabda Nabi Kongzi kepada murid-
muridnya.
“Jiam Yu/Ran You 然友 setibanya di kota Coo /Zou 鄒 (negeri Lo/Lu 魯)
bertanya kepada Meng Zi/Bing Cu 孟子. Meng Zi/Bing Cu 孟子 menjawab:
‘Sungguh baik sekali! Dalam hal berkabung kepada orangtua itu sebenarnya bergantung pada diri sendiri. Ceng Cu/Zeng Zi berkata, ‘Pada saat hidup layanilah sesuai dengan Kesusilaan, ketika meninggal dunia, makamkanlah sesuai dengan Kesusilaan dan selanjutnya sembahyangilah sesuai dengan Kesusilaan. Dengan demikian dapat disebut berbakti. Hal peradatan para raja muda, aku belum pernah mempelajarinya. Biarpun begitu aku sudah mendengar bahwa kewajiban berkabung selama 3 tahun dengan mengenakan pakaian dari kain kasar dan makan makanan sederhana, dilakukan dari kaisar hingga kepada rakyat jelata. Ketiga dinasti 3itu mengikuti adat ini’.” 101 “Dahulu ketika Khong Cu/Kong Zi 孔子 wafat, setelah berkabung selama
3 tahun para murid menyiapkan peralatannya akan pulang ke tempat masing-masing. Mereka terlebih dahulu menghadap menghormat Iep/Yi 揖 kepada Cu Khong/Zi Gong 子貢 saling bertangis-tangisan sehingga
kehabisan suara, baru pulang. Cu Khong/Zi Gong 子貢 masih tidak
sampai hati, dia membuat sebuah pondok dekat kuburan dan berdiam seorang diri selama 3 tahun lagi, baru pulang. Hari lain Cu He/ Zi Xia 子
夏, Cu Tiang/Zi Zhang 子張 dan Cu Yu/Zi You 子游, yang melihat sikap
Yu Jiak/ You Rou 有若 menyerupai sikap Nabi, lalu hendak melayani
sebagai kepada Khong Cu. Mereka meminta pertimbangan Ceng Cu/Zeng Zi 曾子. Ceng Cu/Zeng Zi 曾子 menjawab, ‘Jangan! Biarpun sesuatu dicuci
dengan seluruh air sungai dan bengawan atau dijemur pada Matahari musim rontok, kesuciannya tidak dapat menandingi Beliau!”102 “Kalau orang tidak sanggup berkabung selama tiga tahun, tetapi dapat mengurusi perkara-perkara kecil dalam perlengkapan sembahyang (selama tiga sampai lima bulan), itulah seperti mengeduk nasi banyak-banyak dan makan secara rakus tetapi bertanya-tanya hal tidak baiknya orang yang makan menggerogoti tulang. Inilah yang dinamai tidak mengetahui yang penting.” 103
100Kitab Lun Yu XX:1,8, h. 334. 101Kitab Meng Zi IIIA:2,2, h. 476—477. 102Kitab Meng Zi IIIA:4,13, h. 497—498.
103Kitab Meng Zi VII.A:46,5, h. 742.
53
“Khong Cu/Kong Zi 孔子 mulai dengan menertibkan alat-alat
persembahyangan, tetapi tidak menetapkan bahwa tiap-tiap sajian harus hanya diisi barang sajian tertentu saja yang sukar didapatkan.” 104
“Zeng Zi/Ceng Cu 曾子 berkata kepada Zi Si/Cu Su 子思 , “Ji/Khip 伋 ,
ketika aku berkabung untuk Orangtuaku, tidak ada air masuk ke mulutku selama 7 hari.” Zi Si/Cu Su 子思 berkata, “Menurut ketentuan kesusilaan
yang disusun para raja yang telah mendahulu itu, siapa yang melewati batas wajib membongkokkan diri dan yang tidak mencapai wajib berjingkat.” Maka seorang Jun zi/Kun cu 君子 dalam melakukan
perkabungan untuk orangtuanya, tidak ada air masuk ke dalam mulut untuk 3 hari dan dengan tongkatnya dia masih mampu berdiri.105 Zi Lu/Cu Lo 子路 berkata, “Saya mendengar Guru bersabda, bahwa
dalam upacara berkabung, adanya rasa sedih sekalipun kurang dalam peralatan upacara itu lebih baik daripada memamerkan kesedihan dengan lengkapnya peralatan upacara. Dan dalam sembahyang, adanya rasa hormat khidmat sekalipun kurang dalam peralatan upacara, itu lebih baik daripada berlebihan dalam peralatan upacara tetapi kurang adanya rasa hormat khidmat.” 106
“Menaikkan sajian (persembahan – pen.) pagi, dilaksanakan waktu Matahari terbit. Dan sore hari, waktu Matahari akan terbenam”.107 “Pada upacara perkabungan untuk ayah-bunda,(anak laki-laki yang berkedudukan sebagai pembesar atau pejabat biasa), kembali ke wilayahnya setelah pergantian tahun. Tetapi pada hari pertama bulan baru (Shuo Ri 朔日) dan bulan purnama (Wang Ri 望日), dan pada hari
ulang peringatan kematian (Ji Ri 忌日), mereka kembali dan meratap di
rumahnya yang kini telah menjadi tempat kepala keluarga (Zong Shi). Pada upacara perkabungan untuk paman atau sepupu, mereka kembali ke tempatnya pada akhir acara ratapan.”108 “Zai Wo/Cai Ngo 宰我 berkata, “Saya sudah mendengar sebutan gui/kwi
鬼 (Nyawa) dan shen/sien 神(Roh), tetapi belum mengerti apa yang
dimaksudkan dengan sebutan itu. Nabi bersabda: “qi/Khi 氣 (semangat)
itulah wujud berkembangnya daripada Shen. po/pik 魄 (badan jasad
atau raga) itulah wujud berkembangnya daripada gui. Berpadu-
104Kitab Meng Zi VB:4,6, h. 630—631. 105Kitab Li Ji IIA.II.7, h. 61. 106Kitab Li Ji 禮記 IIA.II.27 hal. 68 107Kitab Li Ji 禮記 IIA.III.36 halaman 82 108Kitab Li Ji XIX B.22, h. 493.
54
harmonis gui/kwi 鬼 dan Shen 神 itulah tujuan tertinggi ajaran
agama.“Semua yang dilahirkan pasti mengalamai kematian,yang mengalami kematian pasti pulang kepada tanah,inilah yang berkatian dengan gui/kwi 鬼.Tulang dan dagin melapuk di bawah, yang bersifat
yin/im 陰 (negatif) itu raib menjadi tanah di padang belantara. Tetapi
qi/khi 氣 berkembang memancar di atas cerah gemilang diiringi asap
dan kepul dupa yang semerbak, mengharukan. Inilah sari dari pada beratus zat, perwujudan daripada shen. Dengan dasar sari daripada zat ini, ditegakkan hukum yang sempurna. FirmanGemilang tentang gui dan shen (ming ming gui shen 明命鬼神) bagi kaum berambut hitam ini,
menjadikan beratus masyarakat memuliakan, berlaksa rakyat tunduk.”109 “Hanya orang yang berkesucian sebagai Nabi dapat menyampaikan persembahan kepada Di/Tee 帝 (Tuhan, Khalik semesta alam). Dan
hanya seorang anak berbakti dapat menyampaikan persembahan kepada orangtuanya. Menyampaikan persembahan berarti menunjukkan diri (kepada yang disujudi). Dengan menunjukkan diri barulah persembahan itu dapat diterima.”110 “Pada waktu Zhong Ni/Tiong Ni 仲尼 (Nabi Khong Cu/Kong Zi 孔子)
menyelenggarakan sembahyang leluhur pada musim Rontok (chang/siang 嘗 ), beliau maju menaikkan sajian kepada orangtuanya
yang telah marhum, 111 Tindak-lakunya begitu khusuk-tulus, tetapi
langkah kakinya pendek-pendek dan sering diulangi. 112
Dari ayat-ayat suci diatas, sangat jelas terlihat mengapa umat
Khonghucu senantiasa melakukan ibadah terhadap leluhurnya,
karena semuanya didasari oleh semangat Jing Tian Zun Zu atau
hormat akan Tian, menjunjung leluhur.
C. Bentuk-bentuk Upacara Kematian menurut Tata Laksana
Upacara Khonghucu
1. Pra ru mu/pra jieb bok 入木 (persembahyangan dilakukan oleh
keluarga sebelum upacara ru mu)
109Kitab Li Ji XXI.II.1, h.. 516. 110Kitab Li Ji XXI.I.6 h. 509. 111Kitab Li Ji X XI.I. 8. h. 510. 112Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h. 60 – 64.
55
2. Ru mu/jieb bok 入木 (upacara memasukkan jenasah ke dalam
peti jenasah)
3. Men sang/moi song 門 喪 (upacara malam menjelang
pemberangkatan jenasah)
4. Song zang/sang cong 送葬 (upacara pemberangkatan jenasah)
5. Ru kong/jieb gong 入空 (upacara pemakaman jenasah)
6. Qi fu/ki hok 祈復 atau fan zhuo/peng tuh 反桌/(membalik meja)
7. Xiao xiang/siau siang 小祥 (upacara peringatan satu tahun)
8. Da xiang/tai siang 大祥 (upacara peringatan tiga tahun)
Catatan: Qi fu/ki hok 祈復 atau fan zhuo/peng tuh 反桌 , xiao
xiang/siau siang 小祥 dan da xiang/tai siang 大祥 ialah upacara yang
berhubungan dengan kematian yang berdasar atas perintah agama
setelah pemakaman selesai. Upacara 3 hari, 7 hari, 49 hari, 100 hari
dan lain-lain berdasarkan atas tradisi setempat, jadi tidak wajib.
Mengganti xiao xiang/siau siang 小祥 dan da xiang/tai siang 大祥
dengan 49 hari dan 100 hari tidak dianjurkan. Upacara nyebar wu
gu/ngo kok 五穀 (menyebar lima macam biji-bijian), bakar kertas,
menyertakan semangka dan lain-lain, itu bukan perintah atau
kewajiban agama melainkan kepercayaan dan tradisi, maka tidak
wajib. Hal ini tidak dianjurkan tapi juga tidak dilarang.113
1. Pra Ru Mu/ Jieb Bok 入木
Setelah diketahui dengan pasti, bahwa ayah atau ibu dan atau anak
seseorang meninggal dunia, maka anak (sulung) dan atau orangtua
Almarhum/ah bersembahyang ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
memohon semoga Alm./ah. (sebutkan nama, umur, saat
menghembuskan napas terakhir) yang telah menerima ‘panggilan
suci’ dari TIAN boleh mendapatkan sempurna damai di haribaan-
Nya. Dan agar keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan
113Matakin, Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, h.113,
122.
56
kemampuan dalam menghadapi peristiwa duka ini sehingga dapat
memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan baik.
Kemudian keluarga memindahkan jenazah dari
pembaringannya ke sebuah dipan khusus, lalu diberi penyekat
bertirai kain. Sebuah meja kecil diletakkan di samping jenazah, pada
meja tersebut diletakkan tempat untuk menancapkan hio (hio
lo/xiang lu 香爐 ), sepasang lilin merah di kanan dan di kiri hio
lo/xiang lu 香爐, semangkuk (kecil) nasi dan sebutir telur ayam rebus
serta secangkir air, juga semangkuk air yang berisi kwa cai atau sawi
yang diseduh, diletakkan di muka hio lo/xiang lu 香爐 . Setelah
persembahan bakti itu siap, keluarga bersembahyang di hadapan
Alm./ah., menyampaikan hormat dan mohon restu agar keluarga
mampu memenuhi kewajiban dan tidak mengecewakan dalam
melangsungkan upacara-upacara duka dan berkabung hingga Tai
Siang/Da Xiang 大祥 dengan sebaik-baiknya.114 . Sembahyang ini
dilakukan oleh keluarga.
2. Ru Mu/ Jiep Bok 入木 atau Jieb Liam/Ru Lian 如殮
Upacara Ru Mu 入木 atau disebut juga Jieb Liam/Ru Lian 如殮
ialah upacara penyemayaman jasmaniah Alm./ah. ke dalam peti
jenazah. Maka keluarga wajib memohon restu atau perkenan dari
Alm./ah. untuk menyemayamkan jasmaniah beliau, dan memohon
kepada TIAN dengan bimbingan Nabi Kongzi agar upacara dapat
berlangsung sebagaimana diharapkan.
Keluarga menyiapkan peti jenazah (sesuai dengan kondisi
sosial ekonomi). Pada saat peti jenazah diusung masuk ke ruangan
tempat jenazah di semayamkan, hendaknya anak-anak
Almarhum/ah berlutut dengan menundukkan kepala (hu hok/fu fu
俯伏 ). Jenazah ‘dimandikan’ (kalau mungkin yang memandikan
adalah anak-anak dari Alm./ah.) dengan menggunakan ‘air kembang’
114Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h.65.
57
dicampur dengan arak putih. Wajah hingga kaki Alm./ah. dibasuh
(di-lap) dengan menggunakan handuk kecil yang masih baru. Lalu
dikenakan “pakaian mati’ atau pakaian yang layak dan yang disukai
dan atau pakaian yang dikenakan oleh Alm./ah. saat upacara
pernikahan (bukan saat resepsi pernikahan), untuk kemudian
disemayamkan ke dalam peti jenazah. Alangkah baiknya, saat
menyemayamkan, anak tertua memegang bagian kepala dan anak-
anak lainnya memegang tubuh dan kakinya. Hal ini dapat dilakukan
pula oleh para kerabat. Barang-barang milik Alm./ah. yang oleh
keluarga dianggap perlu, dapat disertakan ke dalam peti jenazah.
Pada ujung kaki Alm./ah. disediakan 2 buah meja. Meja
pertama dengan hio lo/ xiang lu 香爐 untuk keluarga, tersaji nasi,
sayur atau lauk yang disukai oleh Alm./ah., air, bunga, buah
semangka. Pada meja kedua dengan xiang lu/hio lo 香爐 untuk para
sahabat, tersaji beberapa jenis buah dan penganan lain. Jumlah buah
genap untuk setiap jenis, kecuali semangka. (Jumlah genap
menyiratkan unsur Im/Yin 陰 > acuan Ya Keng/Yi Jing 易經, Babaran
Agung B.IV.29 hal. 154 & Swat Kwa/Shuo Gwa 說卦 II.4 catatan hal.
164). Persembahyangan ini dapat dilaksanakan oleh keluarga saja.
Namun apabila dalam upacara dipandu oleh Rohaniwan Khonghucu,
hendaknya keluarga Alm./ah. berdiri di hadapan Alm./ah. Sedangkan
Rohaniwan berdiri menyamping di kiri Almarhum atau di kanan
Almarhumah, mendampingi atau di samping keluarga. Saat doa
dipanjatkan, keluarga berlutut (hu hok/fu fu 俯伏). Usai doa keluarga
melakukan jie kui pat khau/er gui ba kou 二跪八叩 mengikuti aba-
aba dari Pimpinan Upacara. Setelah kiok kiong/ju gong 鞠躬 tiga kali,
keluarga membakar gin coa/yin zhi 銀紙 sebagai penutup upacara.
Peti jenazah siap untuk ditutup.
Catatan:
58
1. Uraian agama dapat disampaikan pada awal upacara sebagai
khotbah pengantar dan atau disampaikan setelah panjatan doa.
Surat doa yang disempurnakan / dibakar hendaknya tidak
diletakkan di paso yang berada di bawah meja altar sembahyang
tetapi diletakkan ke dalam bun lo/wen lu 文爐. Apabila tidak ada
bun lo/wen lu 文爐, maka diletakkan di atas hio/xiang香 pada hio
lo/xiang lu 香爐.
2. Apabila Rohaniwan dan rombongan dari Makin datang sebagai
pelayat, maka keluarga Alm./ah. berdiri di sisi kiri dan atau kanan
Alm./ah., tidak dilarang kalau keluarga Alm./ah. berlutut di sisi
kiri dan atau kanan Alm./ah. dalam menyambut/menerima
layatan kerabat atau sahabat Alm./ah.
3. Upacara tradisi meletakkan 7 butir mutiara dilakukan sebelum
upacara jiep bok dilangsungkan. 1 butir di mata kiri lalu 1 butir di
mata kanan (untuk ayah), untuk ibu dimulai dari kanan. 1 butir di
lubang kuping kiri lalu 1 butir lubang kuping kanan (untuk ayah),
untuk ibu dimulai dari kanan. 1 butir di mulut. 1 butir di lubang
hidung kiri dan 1 butir di lubang hidung kanan (untuk ayah),
untuk ibu dimulai dari kanan. Upacara ini dapat mengacu pada
ayat empat pantangan yakni Lun Yu/Lun Gie 論語 XII:1115.
Penutupan Peti
Setelah peti jenazah ditutup, lilin merah pada meja
sembahyang keluarga diganti dengan lilin putih, hio/xiang 香
bergagang merah diganti pula dengan hio/xiang 香 bergagang hijau,
juga persembahan bakti pada meja sembahyang diganti dengan yang
baru. Pergantian warna lilin dan gagang hio/xiang 香, menyiratkan
bahwa keluarga telah memasuki masa berkabung. Maka untuk
upacara tutup peti dan upacara-upacara berikutnya, keluarga tidak
115Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan Berkabung, h.65--66.
59
lagi mengenakan pakaian yang mengandung warna merah hingga
upacara tai siang/da xiang 大祥 dilaksanakan.
Rohaniwan memandu upacara, keluarga berdiri di hadapan
Alm./ah. Rohaniwan berdiri di samping kiri dan atau kanan
mendampingi keluarga (lihat: petunjuk di atas). Doa syukur
dipanjatkan atas ridho Tian ( 天 ) dan restu dari Alm./ah. upacara jiep
bok/ru mu 入 木 atau jieb liam/ru lian 如 殮 telah dapat
dilangsungkan. Mohon ridho Tian ( 天 ) dan restu leluhur agar
upacara-upacara berikutnya dapat pula dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya. Saat doa, keluarga harus hu hok/fu fu 俯伏 dan melakukan
jie kui pat khau/er gui ba kou 二跪八叩.
Catatan:
Apabila keluarga menggunakan ‘peti kembang cengkeh/siu pan’
setelah penutup peti di letakkan pada peti jenazah, dilakukan
pemantekan paku. Anak (sulung) mengikuti dengan memegang
ujung pita merah yang diikat pada palu (hanya pada pemantekan
pertama). Kalau ayah, dimulai pada bagian samping kepala (bahu)
kiri, kalau ibu pada bagian samping kepala (bahu) kanan,
pemantekan secara zigzag (silang dari kiri ke kanan dan atau
sebaliknya dari kanan ke kiri)
- Apabila jenazah disemayamkan di rumah. Bagi rumah yang pintu
utamanya berdaun dua pintu, peti jenazah diletakkan di pintu kiri
kalau yang meninggal dunia itu orang yang berusia lebih dari 50
tahun atau ayah dan atau ibu. Bagi yang berusia muda atau yang
sederajat di pintu kanan (arah hadap keluar).
- Pergantian warna hio/xiang dan lilin bukan suatu keharusan, jika
keluarga tidak berkenan melaksanakannya.116
3. Men Sang/ Moi Song 門喪
116Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h.67--68.
60
Upacara men sang 門喪 ialah upacara penghormatan kepada
Alm./ah. pada malam terakhir disemayamkannya Alm./ah. di rumah
duka, maka keluarga wajib memohon restu atau perkenan dari
Alm./ah. agar esok, pemberangkatan jasmaniah Alm./ah. dari rumah
duka ke tempat pemakaman dapat berlangsung dengan baik. Dan
mohon kepada TIAN ( 天 ) dengan bimbingan Nabi Kongzi agar
Arwah Alm./ah. dapat bersemayam di haribaan Tian 天 dalam
kedamaian dan keabadian (alam sian thian/xian tian 先天).
Seperti dalam upacara jiep bok/ru mu 入 木 , apabila
rohaniwan diminta keluarga alm./ah. untuk memimpin upacara,
maka keluarga berdiri di hadapan Alm./ah. Sedangkan rohaniwan
atau pimpinan upacara mengambil posisi di sisi kiri almarhum dan
atau di sisi kanan almarhumah, mendampingi keluarga Alm./ah.
Pada saat panjatan doa, keluarga bersikap hu hok/fu fu 俯伏 dan usai
doa melakukan jie kui pat khau/er gui ba kou 二跪八叩.117
4. Song Zang/Sang Cong 送葬
Upacara song zang 送葬 ialah upacara pemberangkatan atau
pelepasan jenazah dari rumah duka ke tempat pemakaman/kremasi.
Maka keluarga wajib memohon restu atau perkenan kembali kepada
Alm./ah. agar berkenan diberangkatkan dari rumah duka, dan
memohon kepada TIAN dengan bimbingan Nabi Kongzi agar arwah
Alm./ah. dapat bersemayam di haribaan TIAN dalam kedamaian dan
keabadian.
Waktu upacara, keluarga dan rohaniwan (pimpinan upacara)
mengambil posisi sama seperti upacara jiep bok/ru mu 入木 dan moi
song/men sang 門喪 . Keluarga bersikap hu hok/fu fu 俯伏 saat
panjatan doa dan melakukan jie kui pat khau/er gui ba kou 二跪八.
117Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h.68.
61
Setelah kiok kiong/ju gong 鞠躬, keluarga membakar gin coa/yin zhi
銀紙
Pada saat peti jenazah diusung hingga ke pintu, di luar pintu
hendaknya keluarga berlutut dengan menundukkan kepada (hu
hok/fu fu 俯伏) tidak melihat peti jenazah.
Anak (sulung) diharapkan membawa xiang lu/hio lo 香爐 dan anak
berikutnya membawa foto Alm./ah. Diantara kerabat membawa
teng/deng dan memayungi hio lo/xiang lu 香爐 . Salah seorang
kerabat lainnya, mengambil buah semangka dari altar, lalu bersiap di
muka mobil jenazah untuk membanting semangka hingga pecah.
Sebelum membanting, berdoa mohon agar Tian ( 天 ) berkenan
menjadikan saat pemberangkatan jasmaniah Alm./ah. sebagai saat
terbaik dan semoga mendapat perlindungan dari-Nya agar dapat
tiba di tempat yang dituju dengan selamat dan upacara dapat
dilaksanakan dengan baik.
Pembawa xiang lu/hio lo 香爐 dan foto Alm./ah. berjalan
perlahan-lahan di dahului oleh pembawa teng/deng di depan peti
jenazah, hingga ke mobil jenazah lalu mengambil tempat duduk di
sebelah pengemudi. Sementara itu, teng/deng diikat di sisi kiri dan
sisi kanan depan mobil jenazah.
Di sepanjang perjalanan gin coa/yin zhi 銀紙 disebar lembar demi
lembar pada jarak-jarak tertentu hingga tiba di tempat
pemakaman118. Ritual ini disebut fang zhi (pang coa, 放紙)
5. Ru Kong/ Jiep Gong入空 atau An Cong/An Zang 安葬
Ketika tiba di tempat pemakaman, didahului oleh pembawa
teng/deng pembawa hio lo/xiang lu dan foto Alm./ah. (dengan
dipayungi) berjalan perlahan-lahan di muka peti jenazah hingga ke
lokasi liang lahat. Selanjutnya membalikkan badan membelakangi
liang lahat. Sementara itu, pembawa teng/deng 燈 meletakkan
118Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h. 68-69.
62
teng/deng 燈 di kiri-kanan muka liang lahat. Menunggu usainya
persembahyangan kepada shen ming Fu De Zheng Shen (sien beng
Hok Tek Ceng Sin 神明福德正神) atau Tu Shen (Tho Sien 土神 dan
atau Tu Di Gong (Tho Tee Kong 土地公), yang terletak di muka
sebelah kiri Alm./ah. (simak: kitab Lee Ki/Li Ji 禮記 II.B 1:36). Setelah
itu, xiang lu/hio lo 香爐 dan foto diletakkan di muka liang lahat.
Upacara siap dilaksanakan.
Keluarga kembali berdiri di hadapan Alm./ah. hu hok/fu fu 俯
伏 (kepala tidak sampai menyentuh tanah) saat doa dipanjatkan.
Sedangkan zhu ji/ cu cee 主祭 (pimpinan upacara) mengambil posisi
di sisi kiri almarhum atau di sisi kanan Alarhumah mendampingi
keluarga. Usai panjatan doa, keluarga melakukan jie kui pat khau/er
gui ba kou 二跪八叩 . Setelah kiok kiong/ju gong 鞠躬 , keluarga
membakar gin coa/yin zhi 銀紙 (bukan suatu keharusan). Kemudian
keluarga menabur tanah (tiga kali) juga menabur bunga, diikuti oleh
seluruh kerabat serta para hadirin.
Catatan:
- Bagi keluarga yang menghendaki upacara penebaran lima jenis
palawija (ngo kok/ wu gu 五穀), dapat melaksanakannya setelah
kiok kiong/ju gong 鞠躬. Pada waktu upacara itu, keluarga kui
ping sin/gui ping shen 跪平身. Ini tidak diwajibkan.
- Pemotongan rotan, gula merah dan kelapa, juga pohon pisang,
diserahkan kepada keluarga, ini tradisi, tidak diwajibkan.
- Bagi keluarga yang tidak dapat merawat hio lo/xiang lu, usai
upacara abu dari xiang lu/hio lo 香爐 ditabur di sekeliling liang
lahat, kemudian teng/deng 燈 dibakar.119
119Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h. 69-70.
63
6. Qi Fu/Ki Hok 祈復 (atau Fan Zhuo/Peng Tuh 反桌)
Keluarga yang hendak merawat xiang lu/hio lo 香爐 Alm./ah.,
sebelumnya sudah menyiapkan sebuah meja untuk menempatkan
xiang lu/hio lo 香爐 dan foto Alm./ah. Usai pemakaman, xiang lu/hio
lo 香爐 dan foto Alm./ah. ditempatkan di meja tersebut, dan untuk
selanjutnya disebut sebagai hio we/xiang wei 香位 (altar leluhur atau
tempat meletakkan “abu leluhur”). Sementara itu sepasang
teng/deng 燈 tanda perkabungan, yang dibawa dari pemakaman
bersamaan dengan abu hio lo, digantung di kiri dan di kanan depan
rumah.
Setelah xiang lu/hio lo 香爐 dan foto Alm./ah. ditempatkan
dengan baik, dan persembahan bakti telah diatur, maka sembahyang
ki hok/qi fu 祈復 dilaksanakan. Keluarga menyampaikan puji syukur
ke hadirat Tian 天 dengan bimbingan Nabi Kongzi yang telah
berkenan meridhoi sehingga serangkaian upacara, khususnya
upacara pemakaman telah dapat dilaksanakan dengan baik. Juga
menyampaikan terima kasih kepada Alm./ah. yang telah merestui
keluarga sehingga dapat menunaikan kewajiban baktinya, serta
mohon restu pula agar keluarga mampu memelihara hio we/xiang
wei 香位 dengan sebaik-baiknya.
Catatan:
1. Menjelang hari ketiga dan hari ketujuh setelah pemakaman,
keluarga dapat melangsungkan persembahyangan di altar leluhur.
Esok paginya dapat melakukan persembahyangan lagi di makam
Alm./ah. (Tata sembahyang sama dengan persembahyangan lain).
2. Selama pelaksanaan zuo san / co sha做三 hingga zuo qi/co chiet
做七, keluarga menyampaikan persembahan bakti (hau pui/xiao
fan 孝飯) pada pagi dan sore hari. Di dalam kitab Lee Ki/Li Ji 禮記
II.A.Bagian III.36 disebutkan: “Menaikan sajian pagi dilaksanakan
waktu matahari terbit, dan sore hari pada waktu matahari akan
terbenam.
64
3. Sedangkan upacara sembahyang 49 hari dan 100 hari bagi yang
ingin melaksanakan dapat dilakukan dalam lingkungan keluarga,
tetapi bukan suatu keharusan. “120
7. Xiao Xiang/Siau Siang 小 祥
Sehari sebelum tepat setahun dan atau menjelang hari atau
tanggal meninggalnya Alm./ah., pada malam harinya, keluarga
dapat melangsungkan upacara siau siang/xiao xiang 小祥 . Seperti
halnya co sha/zuo san 做三 dan co ciet/zuo qi 做七, esok paginya
persembahyangan dilaksanakan di makam Alm./ah.121
8. Da Xiang/Tay Siang 大 祥
Seperti halnya siau siang/xiao xiang 小祥 , sehari sebelum
memasuki tahun ketiga meninggalnya Alm./ah., pada malam harinya,
keluarga dapat melangsungkan upacara tai siang/da xiang 大祥 .
Pada esok pagi harinya, keluarga dapat melaksanakannya di makam
Alm./ah. Dengan berhasilnya keluarga menggelar upacara tai
siang/da xiang 大祥 , maka berhasil pula keluarga menunaikan
kewajiban berkabung secara sempurna. Pelepasan pakaian
berkabung dapat dilakukan di rumah usai sembahyang, ditandai
dengan memasang lilin merah dan/atau melekatkan pita merah di
baju atau di rambut bagi perempuan, apabila keluarga tidak dapat
melaksanakan di makam Alm./ah. 122
Catatan:
1. Kewajiban berkabung tiga tahun, bagi yang menghendaki dapat
dilakukan dalam waktu 2 X 4 musim ditambah 1 musim (27 bulan >
Lee Ki/Li Ji 禮記 IIB.III.30 hal.119). Namun akan lebih baik bila
120Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h.70-71. 121Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h.71. 122Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h.71.
65
dilakukan 3 X 4 musim (genap 36 bulan) atau tiga tahun. Acuan
kitab: Lun Yu/Lun Gie 論語 XVII:21; Meng Zi/Bing Cu IIIA:2,2;
IIIA:4,13; VA:4,1; VA:4,3; VIIA:46,5.
2. Run yue/ Lun gwee 閏月 tidak masuk hitungan waktu, dalam
menjalani masa berkabung.
3. Pita untuk surat-surat doa: Ru mu /jiep bok 入木 , men sang/moi song 門喪 , song
zang/sang cong 送葬, warna hitam.
Ru kong/jiep kong 入空 (an zang /an cong安葬), qi fu/ki hok
祈復 , zuo san/co sha 做三 , zuo qi/co chiet/做七 , xiao
xiang/siau siang小祥, warna putih.
Da xiang/ tai siang 大祥, warna merah.
Acuan: Kitab Lee Ki/Li Ji 禮記 IIA.I.13 halaman 55.
66
67
BAB III
PANDANGAN AGAMA KHONGHUCU MENGENAI KEMATIAN
A. Perihal Roh dan Nyawa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia roh adalah sesuatu
(unsur) yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan sebagai
penyebab adanya hidup (kehidupan), sedangkan nyawa merupakan
pemberi hidup kepada badan wadak (organisme fisik) yang
menyebabkan hidup (pada manusia, binatang, dan sebagainya).1
Dalam iman Konfusiani diyakini akan adanya ‘nyawa’ (gui 鬼)
dan ‘roh’ (shen 神) pada setiap kehidupan manusia. Pernyataan
adanya nyawa (gui 鬼) dan roh (shen 神) terdapat pada delapan
keimanan agama Khonghucu pada keimanan butir yang ke-empat
yaitu: “Sepenuh iman menyadari adanya nyawa dan roh”.2 Nyawa
(gui 鬼) adalah daya hidup jasmani sedangkan roh (shen 神) adalah
daya hidup rohani. Nyawa dan roh berpadu dalam kehidupan
manusia, dan merupakan suatu kewajiban manusia untuk
mengharmoniskan keselarasan antara keduanya sesuai Firman Tian.
Umat Khonghucu melaksanakan ibadah kepada Tuhan tidak
lain agar mengetahui bagaimana caranya menempuh Jalan Suci, dari
mana manusia datang dan bagaimana manusia kembali kepada Sang
Pencipta.
Tuhan menciptakan manusia dengan memberikan nyawa gui
鬼 (-) dan roh shen 神 (+). Nyawa (gui 鬼) terdiri dari dua unsur yaitu:
po 魄 jasad (- -) dan hun 魂 arwah (- +) Sedangkan roh (shen 神)
terdiri dari dua unsur yaitu : qi 氣 semangat (+ +) dan ling 靈 sukma
(+ -).
1KBBI Ofline Ver. 1.2. sumber: http://ebsoft.web.id/, dengan sumber database
dari http://pusatbahasa.diknas go.id/kbbi. 2Seri Genta Suci Konfusian, Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama
Khonghucu (Solo: Matakin bagian penerbitan, 1984), h. 4.
68
Dalam teologi Khonghucu yang berdasarkan pada pemahaman
adanya kedua unsur yang dikenal sebagai yin dan yang, di sana
dipahami bahwa kedua unsur itu saling berinteraksi atau saling
mempengaruhi satu dengan yang lain. Di dalam unsur yin ada unsur
yang dan di dalam unsur yang ada unsur yin. Itulah sebabnya dalam
nyawa gui 鬼 (-) terdapat pula komponen roh (+ ) yang disebut
arwah hun 魂 (- +), di samping tentu ada komponen nyawa yang
murni yang disebut jazad po 魄 (- - ). Demikian juga di dalam roh 神
(+) terdapat juga komponen nyawa (-) yang disebut sukma ling 靈 (+-
), di samping tentu ada komponen roh yang murni yang disebut
semangat qi 氣: (++).
Manusia dikaruniai nyawa (gui 鬼 ) atau anima, yang
mendukung dan menjadikannya memiliki hidup jasmaniah seperti
yang dimiliki oleh makhluk lain yang bersifat hewani antara lain
nafsu, naluri dan dorongan-dorongan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidup jasadnya. Selain itu juga dikaruniai roh (shen 神)
atau animus yang mendukung dan menjadikan hidup rohaninya
sebagai ladang tempat benih kebajikan yang difirmankan Tian
tumbuh dan berkembang. 3 Hal ini tersurat dalam Kitab Yi Jing
bagian Xi Ci Zhuan: “Dengan menengadah memeriksa kecemerlangan
tanda-tanda di langit; menunduk memeriksa hukum-hukum dan hal-
hal yang berkaitan dengan bumi; maka Nabi memahami sebab
daripada gelap dan terang, melacak semua asal-muasal dan akhir
pulangnya. Maka dipahami tentang mati dan hidup; betapa sari dan
semangat menjadikan benda/makhluk dan bagaimana
mengembaranya arwah (hun 魂 ) menjadikan perubahan.
Demikianlah diketahui bagaimana sifat hakekat dari pada nyawa (gui
鬼) dan roh (shen 神)”.
3Widya Karya, Edisi Harlah Nabi yang ke 2550 tahun 1999 (Surabaya: Wika,
1999), h. 44.
69
Apabila seseorang meninggal dunia, maka roh yang murni (++
yaitu qi 氣 ) akan langsung kembali kepada Tian Sang Pencipta, 4
sementara arwah (hun 魂) mengembara,5 adapun sukma (ling 靈)
menetap, dan jasad (po 魄) akan langsung kembali ke tanah. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dalam kitab Li Ji yang menyatakan bahwa
badan-jasad (po 魄) itu turun ke bawah dan semangat/jiwa yang
berkesadaran (zhi qi 知氣) itu naik keatas.6
Umat Khonghucu mengimani bahwa watak sejati (karunia
Tuhan kepada manusia) itu terdapat dalam roh (qi), sedangkan
naluri/nafsu/keinginan yang juga adalah karunia Tuhan (namun
dipengaruhi unsur benda-benda7) yang disebut qing (情 naluri) itu
terdapat dalam nyawa (gui). Adapun menurut penjelasan Meng Zi isi
xing (watak sejati 性) adalah: cinta kasih, kebenaran, kesusilaan dan
kebijaksanaan ( ren, yi li dan zhi 仁義禮智)8, sedangkan isi qing (情
naluri) itu adalah perasaan: gembira, marah, sedih, senang (xi, nu, ai,
dan le 喜怒愛樂). Ajaran agama Khonghucu mengajarkan bahwa
watak sejati (cinta kasih, kebenaran, susila dan bijaksana) itu harus
dikembangkan, sedangkan nafsu (gembira, marah, sedih dan senang)
itu harus dikendalikan. Bersatu harmonisnya nyawa (gui 鬼) dan roh
(shen 神) dalam kehidupan ini, itulah tujuan pengajaran agama.9
Dari uraian di atas jelaslah mengapa umat Khonghucu
senantiasa menyembahyangi leluhurnya. Semuanya itu tak lain
karena ingin mendoakan agar hun (魂 arwah) dan ling (靈 sukma)
leluhur dapat menyatu sehingga dapat dengan damai pulang kembali
keharibaan kebajikan Tian.
4Lihat kitab Li Ji XXI.II:1, h.516. 5Lihat Kitab Yi Jing Sepuluh sayap (Shi Yi), bagian Babaran Agung A.B.IV.2.22
(Solo: Matakin bagian penerbitan,1985), h.138. 6Lihat Kitab Li Ji VII.1.7, h. 243. 7Lihat kitab Li Ji XVII.I:1.22, h.402. 8Lihat kitab Mengzi Jilid VII.A:21.4, h. 721. 9Lihat kitab Li Ji XXI.II:1, h.516.
70
B. Setelah Kematian
Umumnya orang memandang kematian dengan dua pilihan,
yaitu masih bisa mengetahui dan tidak bisa mengetahui sama sekali.
Setelah mati apakah gui/nyawa masih bisa mengetahui (merasakan)
atau tidak. Kalau misalnya orang yang setelah mati akan hidup di
dunia yang lain, bagaimanakah situasinya ?
Menurut Tang Duan Zheng dalam tulisannya tentang
Ketuhanan dan gui shen (roh dan nyawa), ajaran Nabi Kongzi
berkenaan dengan orang yang masih hidup serta bagaimana secara
tepat memperlakukan orang yang sudah mati. Sikap pertama, orang
yang sudah mati masih dianggap hidup. Sikap kedua orang yang
sudah mati dianggap musnah begitu saja. Selain dua macam sikap
pandangan itu masih ada pandangan yang ketiga, yaitu orang yang
sudah mati itu eksis sebagai gui shen (鬼神 nyawa dan roh) yang
penuh misteri. Kongzi menganggap sikap pandang yang pertama dan
kedua semuanya tidak bisa diterima, dan Kongzi memilih sikap yang
ketiga.10
Nabi Kongzi tidak pernah memastikan orang yang sudah mati
itu masih memiliki kesadaran atau tidak. Beliau meletakkan masalah
tersebut dalam kesakralan yang tak terukur, sehingga terhindarlah
dua kesulitan tidak berperi cinta kasih dan tidak bijaksana. Sikap
mengambil jalan tengah seperti ini di zaman sebelum Kongzi sudah
ada. Kalau menganggap orang yang sudah mati masih mempunyai
kesadaran dan dianggap seolah orang itu masih hidup lalu
menggunakan peralatan orang hidup untuk melayaninya, jelas itu
tidak bijaksana. Kalau memperlakukan orang yang sudah mati seolah
sudah musnah begitu saja, ini juga tidak berperasaan. Untuk
menghindari dua kesulitan ini, orang zaman dahulu membuat
peralatan khusus bagi pelayanan untuk orang yang sudah meninggal
yang disebut ming qi (明器).11
10Genta Harmoni, edisi perdana (Matakin: 2003), h. 20. 11Genta Harmoni, edisi perdana (Solo: Matakin bagian Penerbitan, 2003), h.20.
71
Ming qi (明器) adalah peralatan yang dipergunakan bagi orang
yang meninggal, bukan peralatan altar persujudan. Orang setelah
mati, kondisinya bagaimanapun sulit diperkirakan. Peralatan untuk
pelayanan orang mati itu yang disebut ming qi dan memiliki makna
sakral. Ming qi (明器 ) bisa berbentuk rumah, mobil, kereta, TV,
orang-orangan dan lain-lain yang kesemuanya terbuat dari bambu
dan kertas. Nabi Kongzi sangat memuji orang yang membuat ming qi
(明器 ), benda-benda itu nampak begitu lengkap. Nabi bersabda
bahwa orang-orang yang membuat ming qi (明器) adalah orang yang
mengerti jalan suci perkabungan. Akan tetapi di dalam Kitab Li Ji II.B
Bag.I/44, Nabi Kongzi bersabda:
“Ai cai 12 , kalau untuk orang yang sudah meninggal dunia digunakan
barang-barang untuk orang yang masih hidup, karena itu mungkin
mendorong orang benar-benar mengubur makhluk hidup.” 13
Ayat tersebut menyiratkan bahwa Nabi Kongzi menyetujui
bahwa dalam persembahyangan digunakanlah barang tiruan, bukan
asli.
Dari uraian diatas jelaslah agama Khonghucu mengenal
kehidupan setelah kematian. Dalam Kitab Lun Yu XI:12, seorang
murid Nabi Kongzi bernama Ji Lu/Kwi Lo 14 bertanya bagaimana
caranya mengabdi kepada para roh, Nabi Kong Zi menjawab:
‘Sebelum mengabdi kepada manusia, betapa dapat mengabdi kepada
para roh ?’. Murid itu kemudian memberanikan diri bertanya hal
setelah orang mati. Nabi Kong Zi menjawab ‘Sebelum mengenal
hidup, betapa mengenal hal setelah mati ? Maksud yang terkandung
12 Ai cai merupakan suatu seruan kesedihan. 13Li Ji II.B Bag.I.44, h. 94. 14Jì Lù (季路) adalah nama kehormatan salah seorang murid Nabi Kŏngzĭ,
seorang dari kalangan militer yang terkenal sederhana dan kasar, tetapi juga jujur dan gagah, nama awalnya Zhòng Yóu (仲由), juga disebut Zĭ Lù (子路) salah satu dari
12 Yang Bijak: lihat Tanuwibowo, Tjhie, Tjay Ing. dkk., Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu, dalam Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu), selanjutnya akan disingkat KIK Khonghucu, Cet-1. ISBN 978-602-8766-97-5. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2014), h. 616—617.
72
dalam ayat ini adalah, hidup di dalam Dao dan menempuh Jalan Suci
yaitu menjalani kehidupan yang selaras dengan Watak Sejati yaitu
memenuhi hakekat kemanusiaan, memenuhi panggilan Firman
Tuhan Yang Maha Esa. Keatas (vertikal) satya, taqwa, berbakti
kepada Tian, ke bawah atau mendatar (horizontal) mengasihi
makhluk hidup, tenggang rasa dan tepasarira terhadap sesama
manusia dan bertanggung jawab terhadap alam dan lingkungan.
Agama Khonghucu mengajarkan bahwa seluruh kehidupan manusia
adalah juga dalam rangka pemenuhan rohani sebagai manusia,
artinya bila dapat menjalankan kehidupan ini dengan benar, selaras
dengan Watak Sejati maka dengan sendirinya akan berkenan kepada
Tian karena hanya dengan kebajikanlah berkenan kepada Tian, maka
hal setelah mati tidak perlu dirisaukan.
Di dalam Kitab Li Ji/Lee Ki, 禮記 atau Kitab Suci Kesusilaan,
tersurat bahwasanya manusia dijelmakan Tuhan melalui ayah
bundanya, manusia memiliki daya hidup nyawa (gui 鬼) dan roh
(shen 神). Semangat (qi/khi 氣) itulah perwujudan tentang adanya
roh, sedangkan kehidupan jasad (po/phik 魄) itulah perwujudan
tentang adanya nyawa. Semua hal ini adalah seperti yang telah
dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Semua yang dilahirkan
(tumbuh), mesti mengalami kematian; yang mati itu mesti kembali
kepada tanah; inilah yang berkaitan dengan nyawa (gui 鬼 ).
Semangat itu mengembang naik ke atas, memancar diantar
semerbaknya harum dupa, itulah sari kehidupan, itulah kenyataan
daripada roh (shen 神)15.
Demikian maka dalam konsep bangun kehidupan ada unsur
ilahi yang berpadu dengan unsur duniawi dalam manusia menjalani
hidup di dunia; shen (roh 神) yang yang berunsur dasar (+) terdiri
atas: qi (semangat 氣 yang ++) dan ling (sukma 靈 yang +-);
sedangkan gui (nyawa 鬼) yang berunsur dasar yin (-) terdiri atas:
15Lihat kitab Li Ji XXI.II:1, h. 516.
73
hun (arwah 魂 yang -+) dan po (jasad魄 yang --). Kematian hanya
memisahkan dan memulangkan po (jasad 魄 ) kepada bumi
sedangkan qi (semangat 氣) pulang ke haribaan Tuhan. Namun
tergantung pada amal baik laku terlebih lagi ibadah almarhum yang
bersangkutan untuk diterima dalam segala kuasa-Nya. Dalam
kekekalan baka di sisi Tuhan, Ling (sukma 靈) akan menunggu hun
(arwah 魂) yang mengembara untuk suatu saat menyatu di haribaan
Tuhan sebagai pencipta semesta dan segala isinya. Setelah
menyatunya ling dan hun maka akan menjadi shen ming (神明) dan
selesailah sudah proses pengembaraannya.
Di dalam kitab Yi Jing atau Kitab Suci Perubahan bagian
Babaran Agung Da Zhuan (A):IV dikatakan bahwa: “Yi/易 Perubahan
itu menepati hukum Langit dan Bumi, maka mampu menunjukkan
tanpa cacat atau kacau tentang Jalan Suci Langit dan Bumi”.16
Dengan menengadah memeriksa kecemerlangan tanda-tanda
di langit; menunduk memeriksa hukum-hukum dan hal-hal yang
berkaitan dengan bumi; maka Nabi memahami sebab daripada gelap
dan terang, melacak semua asal muasal dan akhir kembalinya. Maka,
dipahami tentang mati dan hidup; betapa sari kehidupan; semangat
menjadikan sesuatu, dan bagaimana mengembaranya hun ( 魂
arwah) menjadikan perubahan. Demikian diketahui bagaimana sifat
hakekat daripada nyawa dan roh (gui shen 鬼神).17
Setelah terjadi kematian, roh murni (++) yakni qi (semangat 氣
,) akan kembali kepada Tian Sang Pencipta, tetapi nyawa yang tidak
murni yakni hun (arwah 魂) berada pada suatu tempat yaitu pada
alam roh (hun) sehingga dapat mengembara. Dalam mengembaranya
hun (arwah魂) inilah di satu sisi keturunan wajib menyembahyangi
agar bisa tenang, memberi pelayanan dalam persembahyangan
16Widya Karya edisi khusus, Buku Kenang-kenangan 50 Tahun Pak Kik Bio –
Hian Tian Siang Tee 1951-2001 (Malang: WIKA, 2001), h. 47. 17Widya Karya edisi khusus, Buku Kenang-kenangan 50 Tahun, h. 47.
74
dengan penuh kesusilaan (sebagai tidak lanjut laku bakti),
meneruskan amal ibadah ke hadapan Tuhan, menjaga dalam
memperbaiki maupun meningkatkan amal laku (ibadah) agar
leluhur bisa kembali keharibaan-Nya dalam kekekalan di sisi Tuhan;
di sisi yang lain persembahyangan leluhur juga bertujuan dalam
makna dan arti spiritual memberi tempat agar dalam pengembaraan
hun (arwah 魂) agar tidak tersesat dan gagal kembali keharibaan-
Nya! Bila ling 靈 dan hun 魂 bisa menyatu kembali keharibaan-Nya
inilah definisi dari pada shen ming (神明) yakni arwah suci, dan ini
jelas mempunyai aura bersih dan suci; maka bila persembahyangan
leluhur terlaksana dengan baik dan benar, maka aura shen ming (神
明) bisa menjadi suatu berkah dan perlindungan bagi keturunan /
keluarga yang bersangkutan.18
Gunadi dalam tulisannya menyebutkan bahwa setiap orang
(siapapun), ketika tiba berpulang tentulah ada cita-cita dan harapan
yang belum tercapai atau terlaksana, ada keinginan-keinginan yang
belum terpenuhi, dan ada pekerjaan yang belum rampung atau
terselesaikan. Hal inilah yang membuat ganjalan bagi setiap orang
dalam perjalanannya ke alam yang abadi itu. Lalu bagaimana ? Dalam
hal ini Nabi Kongzi telah menegaskan bahwa tugas anak yang
berbaktilah yang akan melanjutkan dan menyelesaikannya. Tentang
cita-cita, harapan, dan keinginan orang tua, anak berbaktilah yang
akan berusaha meluluskannya. Tentang pekerjaan mulia orang tua
semasa hidup, tugas anak berbaktilah yang akan meneruskannya.
Tentang baik dan buruk perbuatan orang tua semasa hidup, tugas
anak berbaktilah yang akan memperbaiki perbuatan buruk dan
mengembangkan perbuatan baik orang tuanya. Demikianlah
semuanya itu dilakukan demi satu tujuan, yaitu demi ketenangan dan
18Widya Karya edisi khusus, Buku Kenang-kenangan 50 Tahun, h. 47.
75
kedamaian leluhur di alamnya yang abadi dan gemilangnya
kebajikan Tian.19
Nabi Kongzi mengajarkan kepada manusia di dunia agar dalam
menjalani kehidupan janganlah berangan-angan kosong, jangan
kukuh, jangan mengharuskan dan jangan menonjolkan diri,
melainkan harus disadari bahwa Firman Tian (天) Yang Maha Esa
diturunkan ke dunia ini melalui ayah bunda dan leluhurnya, sebagai
manusia wajib mengemban tanggung-jawab yang suci untuk
menegakkan nilai-nilai luhur kemanusiaannya, menggemilangkan
kebajikan yang bercahaya, menerangi hati sanubari sehingga pikiran
dan batin jernih sebagaimana yang terkandung dalam watak sejati
manusia, diamalkan dalam tindakan yang nyata sehingga berguna
bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat luas. Sebagai manusia
sebaiknya mempelajari dahulu bagaimana menjalani kehidupan ini
dengan baik.
Ayat suci yang menuntun manusia untuk hidup di dalam Jalan
Suci yaitu, “Firman Tian itulah dinamai Watak Sejati, hidup
mengikuti Watak Sejati itulah dinamai menempuh Jalan Suci.
bimbingan menempuh Jalan Suci itulah dinamai Agama.”20
Selanjutnya ayat yang menyatakan tentang adanya roh dan
nyawa terdapat pada kitab Tengah Sempurna Bab XV tentang Tuhan
yang Maha Roh. Nabi bersabda, “Sungguh Maha Besarlah kebajikan
Gui Shen/Tuhan Yang Maha Roh. Dilihat tiada nampak, didengar tiada
terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia. Demikianlah
menjadikan umat manusia di dunia, mengenakan pakaian lengkap,
sujud bersembahyang kepada-Nya. Sungguh Maha Besar Dia,
terasakan di atas dan di kanan kiri kita!”, Di dalam Kitab Sanjak
tertulis, ‘Adapun kenyataan Tuhan yang Maha Roh itu tidak boleh
diperkirakan, lebih-lebih tidak dapat ditetapkan’, maka sungguhlah
19 Gunadi, Hubungan antara Persepsi Umat Khonghucu tentang Pemujaan
kepada Leluhur, Pemeliharaan abunya, dan keteguhan memeluk Agama Khonghucu (Jakarta: Matakin, 2018), h. 44.
20Tengah Sempurna Utama: I, h.36.
76
jelas sifat-Nya yang halus itu, tidak dapat disembunyikan dari Iman
kita; demikianlah Dia”. Dalam kitab Mengzi VIIA:1.1 tertulis tentang
bagaimana dapat mengenal kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni:
“Yang benar-benar dapat menyelami Hati, akan mengenal Watak
Sejatinya, yang mengenal Watak Sejatinya akan mengenal Tuhan
Yang Maha Esa.”
Selanjutnya sebagai manusia beriman, maka untuk
mendapatkan keberkahan di dunia dan akhirat manusia dapat
berpedoman pada beberapa ayat-ayat berikut ini.
1. Dalam segala sesuatu, hendaklah hormat, takut akan
kemahamuliaan Tuhan (Shu Jing V.XXVII:17).
2. Tidaklah aku malam dan siang senantiasa hormat akan
kemahamuliaan Tian Yang Maha Esa, sehingga dapat menjaga
kelestarian karunia-Nya (Shi Jing IV.I.I:7).
3. Siapa yang mematuhi Tian akan terpelihara, yang melawan Tian
akan binasa (Mengzi IV A:7.1).
4. Hati manusia senantiasa rawan, hati di dalam Jalan Suci itu
rahasia. Peganglah yang sari Esa, tekun pada tengah tepat (Shu
Jing II.II:15).
5. Yang sungguh hormat akan Firman-Nya yang beroleh berkah-Nya.
Ia (senantiasa) merahmati yang sungguh patuh beriman, maka
sungguh tidak mudah memperolehnya (Shu Jing III:7).
6. Jalan Suci Tian merahmati kebaikan dan menghukum
kemaksiatan (Shu Jing IV.III:3).
7. Maka seorang yang mempunyai Kebajikan Besar, niscaya
mendapat kedudukan, mendapat berkah, mendapat nama dan
mendapat panjang usia (Zhong Yong XVI:2).
8. Hanya oleh Kebajikan Tuhan berkenan, sungguh milikilah yang
satu itu (Shu Jing I/3 dan III).
C. Cara Po (魄) Badan Jasad Kembali Ke Bumi
Manusia setelah meninggal dunia terjadi pemisahan antara
hun/arwah dan po/badan jasad, zaman dahulu po dikebumikan di
77
lahan gersang, di luar kota dibuatkan makam dan diziarahi terutama
pada saat qing ming qie akan tetapi perlakuan terhadap po ada
berbagai cara, antara lain:
1. Huo zang 火葬 atau dikremasi, abu jenazah dibuang ke laut jadi
menghemat lahan dan biaya.
2. Shui zang 水葬 jenazah dilarung langsung ke sungai atau laut,
bagi awak atau penumpang perahu dalam perjalanan jauh dan
lama.
3. Tian zang 天葬 jenazah tidak dikubur melainkan diletakkan di
semak belukar jauh dari pemukiman penduduk seperti di desa
Trunyan pulau Bali, di Yunan atau Tibet.
4. Shu zang 树葬 jenazah dikremasi lalu abu dikubur, di atasnya
ditanam pohon, jadilah taman yang indah, saat ini banyak
terdapat di negara maju.
5. Ling gu ta 靈骨塔 abu jenazah ditaruh dalam rusun jadi hemat
tempat.
Jadi pilihan manapun, po telah kembali ke bumi bukan hanya
dikubur.21
D. San Hun (三魂) Tiga Lokasi Arwah
Dalam konsep san hun (三魂) artinya tiga lokasi arwah, yaitu:
1. Bagi jenazah yang dikubur lalu dibangun makam terdapat bong
pai/mu pei itulah lokasi arwah, lalu bagi yang kremasi, dan
lain-lain tidak memiliki mu pei khusus maka lokasi arwah di mu
pei kuburan massal, setiap tempat pemakaman pasti terdapat
lokasi kuburan massal dengan mu pei bagi arwah umum yang
disembahyangi secara massal pada hari qing ming qie.
2. Shen zu wei (神主位 atau disebut juga ling wei (位靈) sebagai
tempat sembahyang leluhur di rumah itulah lokasi kedua bagi
21Matakin, Keputusan Rakernas Rohaniwan, h. 89-90
78
arwah, oleh karena sesuatu hal abu sembahyangan dititipkan
di rumah abu (bukan abu jenazah, melainkan abu dupa
sembahyangan yang berwujud xiang lu).
3. Lokasi ke tiga bersifat tidak tetap yaitu arwah mengembara
(hun魂), di kitab Yi Jing dijelaskan bagaimana mengembaranya
arwah membawa perubahan. Maka bagi anak cucu yang
murtad tidak berbakti, arwah tidak memiliki lokasi tetap jadi
mengembara berkeliaran tidak ada yang menampung,
gentayangan. Maka saat bulan VII tanggal 29 dilakukan
sembahyang jing he ping/jing hao peng atau lazimnya disebut
rebutan untuk menentramkan arwah yang gentayangan.22
Menurut penulis, peristilahan yang dipakai dalam tiga point
penjelasan di atas, khususnya untuk point nomor 2 yang
menyebutkan bahwa shen zu wei adalah lokasi kedua bagi arwah,
adalah hal yang perlu dikaji lagi, karena sesuai dengan ulasan penulis
mengenai roh dan nyawa pada sub bab sebelumnya, bahwa yang
berdiam di shen zu wei (atau ling wei (靈) itu adalah sukma atau ling,
sedangkan yang mengembara adalah arwah (hun 魂).
E. Fungsi Meja Abu Leluhur
Umat Khonghucu memaknai meja abu leluhur sebagai sarana
persembahyangan untuk menggenapi laku bakti dalam kesusilaan.
Mewujudkan kesadaran manusia akan makna kehidupan dunia
akhirat atas daya hidup duniawi dan illahi yang menjadi kodrat
manusia.
Dengan adanya meja abu leluhur, mengingatkan bahwa
menjadi kewajiban generasi sekarang untuk melaksanakan
persembahyangan bagi leluhur sebelumnya, sedangkan para
generasi selanjutnya akan melaksanakan persembahyangan untuk
generasi sekarang, maka hubungan itu bersifat terus
berkesinambungan. Kalau ditinjau ke atas dan ke bawah maka akan
22Matakin, Keputusan Rakernas Rohaniwan, h. 90-91.
79
ketemu bahwa leluhur itu berpangkal dan berujung kepada Tian
khalik semesta alam. Ibadah persembahyangan leluhur adalah
wahana peribadahan yang menjadi titik awal dan terintegrasi dengan
ibadah kepada Tian Sang Maha Leluhur sekaligus sebagai sarana
hubungan antara Tian dan manusia.23
Bentuk meja abu bisa sangat sederhana yaitu dengan
meletakkan foto almarhum/ah. dilengkapi dengan hiolo atau tempat
dupa, sepasang tempat lilin, dengan sajian ala kadarnya atau tempat
untuk menyajikan teh.
Dengan adanya meja abu leluhur di rumah dipercaya bahwa
arwah (hun魂) leluhur yang mengembara suatu saat akan bertemu
dan bersatu kembali dengan sukma (ling 靈) sehingga dapat kembali
pulang kepada Tian Sang Pencipta.
F. Perihal Sajian dalam Persembahyangan.
Sajian adalah merupakan suatu bentuk peranti atau alat yang
melengkapi persembahyangan dalam agama Khonghucu. Sajian
dapat berupa makanan, buah, kue maupun minuman.
Dalam hal persembahyangan kepada leluhur, biasanya tersaji
sajian yang melengkapi persembahyangan. Selain sajian yang
terdapat di altar leluhur juga disediakan untuk altar malaikat bumi.
Untuk altar malaikat bumi (Fu De Zheng Shen 福德正神) berupa teh,
buah dan manisan saja. Jumlah buah dan dupa untuk Fu De Zheng
Shen (福德正神) berjumlah ganjil dikarenakan angka ganjil adalah
angka yang berhubungan dengan Tian dan para suci (para malaikat),
sedangkan untuk para leluhur digunakan jumlah genap karena angka
genap menunjukkan adanya hubungan kekerabatan antara leluhur
dan keturunannya yang bersembahyang.
Sajian untuk leluhur selain buah biasanya juga makanan, kue
dan minuman. Ada yang menyajikan shan sheng (三牲) yaitu terdiri
dari daging babi, ikan dan ayam yang melambangkan kehidupan tiga
23Widya Karya edisi khusus, Buku Kenang-kenangan 50 Tahun, h. 48.
80
alam yaitu air, darat dan udara. Ada pula yang hanya menyajikan
dengan sangat sederhana yaitu nasi dan telur ayam yang direbus
saja.
Bagaimana dengan jumlah sajian, apakah banyak atau
sedikitnya dapat mempengaruhi persembahyangan sehingga yang
banyak lebih dapat diterima daripada yang sedikit? Juga apakah yang
disajikan itu dimakan oleh leluhur ? Dalam kitab Li Ji disebutkan
bahwa leluhur tidak ikut makan, jumlah sajian yang dipersembahkan
juga tidak mempengaruhi cepat atau lambatnya hun (魂) dan ling (
靈) bersatu. Yang pokok atau terpenting dalam upacara persujudan
yang sakral itu adalah bersumber dari perasaan hati yang penuh
kasih dari sanubari yang terdalam dan ketulusan dalam
persembahyangan, sebagai perilaku bakti terhadap leluhurnya.
Selain amal dan perbuatan serta prilaku yang berkebajikan dari
leluhur, doa dan tingkah laku serta perbuatan kebajikan garis
keturunannya (anak, cucu, dan seterusnya) dapat mempercepat
menyatunya hun (魂) dan ling (靈). Apabila hun (魂) dan ling (靈)
dapat bersatu maka leluhur dapat menjadi shen ming (神明). Leluhur
yang telah menjadi shen ming (神明 ) akan mampu memberikan
pengaruh baik bagi keluarga pada garis keturunannya. Persujudan
kepada leluhur bukan datang dari luar tetapi dari dalam hati masing-
masing orang. Dalam Kitab Li Ji tertulis : Diantara semua Jalan Suci yang mengatur kehidupan manusia, tiada yang lebih penting daripada LI (Kesusilaan). Li itu mempunyai lima pokok (Wu Jing), dan daripadanya tiada yang lebih perlu daripada sembahyang/Ibadah (Ji). Adapun Ji/ibadah itu bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan dari tengah bathin keluar dan lahir di hati. Bila hati itu dalam-dalam tergerak, perwujudannya meraga di dalam Li. Karena itu hanya orang bijaksana yang berkebajikan dapat penuh-penuh
mewujudkan kebenaran daripada Ji/sembahyang/ibadah.24
Persujudan itu dapat menimbulkan kontak batin, tidak lain
disebabkan karena berbagai kenangan yang timbul terhadap yang
24Li Ji XXII Ji Tong, Sempurnanya Persembahyangan, h.529.
81
disujudi pada saat hidup, melalui kenangan tulus yang penuh dengan
rasa hormat dan kasih, almarhum atau almarhumah itu seolah-olah
hidup kembali berada di dekat kita. Perasaan seolah suara dan
wajahnya muncul kembali itu adalah apa yang oleh Nabi Kongzi
disebut di dalam kitab Lun Yu III.12: “... pada waktu sembahyang
leluhur hayatilah akan kehadirannya”.
Bagi umat Khonghucu, upacara sembahyang tak lain adalah
ungkapan rasa terima kasih karena hutang budi terhadap langit dan
bumi, leluhur serta beratus roh mulia. Kesemuanya terbentuk
mengikat ketat atas subyek kehidupan, tidak perlu menuntut
keberadaan obyektif gui shen (鬼神), terlebih tidak perlu memohon
berkah kepada gui shen (鬼神) obyektif, yang dibutuhkan hanya
perasaan moral yang menentramkan kita semua, hanyalah mencari
ketentraman bathin saja. 25 Sembahyang yang dilaksanakan oleh
orang bijaksana yang berkebajikan itu pasti akan menerima berkah
bahagia; bukan berarti berkah bahagia yang biasa dikatakan oleh
dunia tetapi adalah kesempurnaan yaitu siapnya segala sesuatu,
semua perkara dilancarkan. Sembahyang seorang yang bijaksana
berkebajikan itu dipenuhi: iman dan kepercayaan, dengan semangat
penuh satya dan hormat/sujud (cheng, xin, zhong, jing; 誠信忠敬).
Dengan suasana bathin yang demikian itu, dipersembahkan sesuatu,
diungkapkan di dalam li (kesusilaan, upacara, 禮 ),
disentosakan/dimantapkan dengan musik, digenapkan pada
waktunya. Dalam kecerahan bathin disajikan semuanya itu,
dikerjakan semuanya itu tidak karena suatu pamrih. Demikianlah
hati seorang anak berbakti.26
G. Perihal Hakikat Dupa
Dalam setiap persembahyangan dalam agama Khonghucu
selalu memakai dupa. Dupa ada bermacam-macam jenis, bergagang
25Genta Harmoni (Solo: Matakin, 2003), h. 22. 26Li Ji, XXII.2, h.530.
82
merah untuk sembahyang umum dan bergagang hijau untuk
perkabungan. Selain itu bentuk dupa juga tersedia dalam beberapa
bentuk, ada yang berbentuk spiral untuk digantung dan ada yang
lurus, juga ada yang besar dan ada yang kecil.
Pemakaian dupa dalam persembahyangan agama Khonghucu
umumnya memakai dupa yang berbentuk lurus dan di atasnya
disulut dengan api. Arti manusia bersembahyang kepada Tian
memakai dupa yang lurus adalah untuk mengingatkan bahwa
menjadi manusia harus lurus hatinya, di atas dupa ada api
melambangkan hati yang lurus niscaya akan mendapat penerangan,
dan doa yang dibawakan diantarkan oleh asap dupa yang harum
wangi semerbak. Walaupun dupa sudah habis tetapi keharumannya
masih tersisa dan meninggalkan kesan. Demikianlah sebaiknya
manusia dalam menjalankan kehidupan, tindakan melakukan
kebaikan tidak harus selalu diketahui oleh orang lain bahwa ‘sayalah
pelakunya’. Juga dalam tingkah laku dan perbuatan yang selalu
berkebajikan masih terasakan walaupun sudah lama badan ini
berkalang tanah.
H. Tiga Landasan Dasar Keimanan
Kehidupan di alam semesta ini tidak terlepas dari tiga unsur
yakni: san cai (三才) yaitu adanya Tian (天) Tuhan Yang Maha Esa
Sang Khaliq, Di (地) Semesta Alam termasuk di dalamnya adalah
Bumi, dan Ren (人) segenap makhluk termasuk di dalamnya manusia.
1. Hubungan antara manusia (Ren 人) dengan Tuhan Yang
Maha Esa (Tian 天)
Tian ming zhi wei xing 天命之謂性
Firman Tuhan Yang Maha Esa itulah yang dinamai Watak Sejati.
Shuai xing zhi wei dao 率性之謂道
Hidup Mengikuti Watak Sejati itulah dinamai Menempuh Jalan Suci
Xiu dao zhi wei jiao 修道之謂教
83
Bimbingan membina diri menempuh Jalan Suci itulah yang dinamai
Agama
Qinzai 欽哉, Dipermuliakanlah.
Da xue zhi dao 大學之道
Jalan Suci yang dibawakan Ajaran Besar (Agama)
Zai ming ming de 在明命德
Ialah dalam hal menggemilangkan Kebajikan
Zai qin min 在親民
Di dalam Mengasihi Rakyat
Zai zhi yu zhi shan 在止於至善
Di dalam mencapai hentian di puncak baik
Qinzai 欽哉, Dipermuliakanlah.
Wei de dong tian 惟德動天
Hanya Kebajikan berkenan kepada Tuhan
Xian you yi de 咸有一德
Bersama milikilah yang satu : Kebajikan
Shanzai 善哉, Demikianlah yang sebaik-baiknya.27
Hidup manusia adalah oleh Firman Tuhan dan Firman itu
menjadi Watak Sejati manusia, dan karenanya manusia adalah
pengemban Firman Tuhan yang wajib diamalkan dan
dipertanggungjawabkan tetapi juga berarti manusia dikaruniai
kemampuan menegakkan Firman dan menggemilangkan kebajikan
di dalam hidupnya. Benih-benih kebajikan yang terkandung di dalam
Watak Sejati manusia di dalam Kitab Meng Zi/ Bing Cu 孟子
dijelaskan terkandung sifat-sifat ren ( 仁 cinta kasih), yi ( 義
kebenaran), li (禮) susila, zhi (智 kecerdasan/kearifan), keempat
benih kebajikan itu disebut si de (四德 empat kebajikan). Bila benih-
benih kebajikan itu benar-benar mampu terealisasikan dalam
27Tjhie Tjay Ing, San Cai, Tiga Landasan Dasar Keimanan Agama Khonghucu
dalam majalah Genta Harmoni edisi kedelapan (Solo: Genta Harmoni, 2006), h.22.
84
pengamalan maka manusia akan disebut xin (信 dapat dipercaya).
Maka kelima nilai-nilai Kebajikan itu semuanya dinamai wu chang (
五常) atau Lima Kebajikan yang lestari.
Hubungan manusia dengan Tuhan agar beroleh harmoni,
manusia wajib berupaya menegakkan Firman itu dan mengamalkan
Kebajikan dalam hidupnya sebagai pernyataan Iman dan
Ketaqwaannya; yaitu wajib shun Tian (順天 patuh taqwa kepada
Tian) tidak ni Tian (逆天 melawan/melanggar Hukum Tian) agar
hidup ini terpelihara sejahtera dan tidak mengalami hal yang tidak
diinginkan. Shun Tian (順天) juga berarti wei Tian (畏天) atau takut
hormat akan ke-Maha Kuasaan Tuhan yang boleh membawa manusia
beroleh suasana le Tian (天樂) atau bahagia di dalam Tuhan bahkan
mencapai kondisi pei Tian (天配 ) yaitu serasi menyatu atau
menunggal dengan Tian.28
Apabila kelima hubungan tersebut ditata dan terjalin dengan
baik pula, maka tidak mustahil manusia akan hidup bahagia damai
dan sejahtera di seluruh dunia ini. Maka tidak heran pemenang Nobel
dunia membuat pernyataan yang sangat mengejutkan dunia di Paris: “ In 1988, 74 Nobel Prize winners made the attention in Paris that if human
being want to live in peace and prosperity in the 21-st century, they must
look back 2.500 years and seek the wisdom of Confucius” (Zhong You and
Li Tianchen, Economic Lessons from Confucius for the New Century
Journal)29
2. Hubungan manusia dengan manusia.
Di dalam Kitab Zhong Yong (Tiong Tong 中 庸 Tengah
Sempurna) XIX dijelaskan bahwa dao (too 道) atau Jalan Suci yang
wajib dibina dan digenapi manusia dalam hubungan dengan sesama
manusia disebut wu da dao (五大道) atau lima jalan suci yang harus
ditempuh dalam hubungan bermasyarakat, yang disebut juga wu lun
28Tjay Ing, San Cai, Tiga Landasan Dasar Keimanan Agama Khonghucu, h.22—
23. 29Ongky Setio Kuncono, Pengalaman Spiritual, SPOC, h.61.
85
(五倫) atau lima hubungan kemasyarakatan, yaitu hubungan antara
raja dengan menteri atau pemimpin dengan pembantu (jun chen 君
臣), orang tua dengan anak (fu zi 父子), suami dengan istri (fu fu 夫
婦), kakak dengan adik (kun di 昆弟) dan hubungan antara kawan
dan sahabat (peng you 朋友 ). Agar hubungan itu bisa terjalin
harmonis wajib dilaksanakan san da de (三達德) atau Tiga Kebajikan
untuk berhasil atau dengan mengamalkan wu chang (五常), yakni:
ren yi li zhi xin (仁義禮智信).30
Untuk terlaksananya hal itu dengan baik, wajib selalu ingat
akan prinsip zhong he (中和 ). zhong (中 ) bermakna dalam
melaksanakan wu lun (五倫) wajib diupayakan dapat ‘tengah tepat‘
artinya seluruh jalinan itu harus dilakukan secara tepat, benar dan
semestinya. Dalam pelaksanaannya harus dijaga he (和 ) atau
‘harmoni’ sehingga tidak ada tindakan yang bersifat ekstrim yang
mengakibatkan berbagai konflik. Di dalam Kitab Meng Zi/Bing Cu 孟
子 IIIA, 4:8 tersurat “Hubungan kemanusiaan: antara orang tua
dengan anak ada kasih (qin 親), antara pemimpin dengan pembantu
ada kebenaran (yi 義), antara suami dengan istri ada pembagian
tugas (bie 別), antara yang tua dengan yang muda ada pengertian
tentang kedudukan masing-masing (xu 序), antara kawan dengan
sahabat ada saling dapat dipercaya (xin 新).” Agar semuanya itu
dapat benar-benar zhong he (tengah tepat dan harmonis) maka wajib
selalu diingat Jalan Suci yang satu yang menembusi semuanya yaitu
Satya dan Kasih Tepasarira (zhong shu 忠恕). Tiap prilaku wajib
Satya (zhong 忠 ) kepada Firman Tian (Tian ming 天命 ) dan
pelaksanaannya kepada sesama manusia wajib ada Kasih Tepasarira
(shu 恕), apa yang diri sendiri tidak inginkan janganlah dilakukan
terhadap orang lain, sebaliknya diri sendiri ingin tegak dan sukses
30Tjay Ing, San Cai, Tiga Landasan Dasar Keimanan Agama Khonghucu, h.23.
86
dalam kehidupannya dan menghayati di empat penjuru lautan semua
manusia adalah saudara.31
3. Hubungan manusia dengan alam dan lingkungan
hidupnya.
Hidup manusia tidak terlepas dari pada alam dan lingkungan
yang menjadi pendukung kehidupannya. Karenanya manusia wajib
menyayangi dan memiliki rasa tanggung-jawab untuk kelestarian
alam lingkungan hidupnya. Meng Zi/Bing Cu 孟子 berkata: "Seorang
jun zi (kun cu 君子) kepada benda-benda dapat menyayangi tetapi
tidak dapat berperi Cinta Kasih kepadanya. Kepada rakyat, ia dapat
berperi Cinta Kasih tetapi tidak dapat seperti kepada orang tuanya.
Yang mengasihi orang tuanya akan dapat berperi Cinta Kasih kepada
rakyat, dan yang berperi Cinta Kasih kepada rakyat akan dapat
menyayangi benda-benda. (Meng Zi/Bing Cu 孟子 VII A:45). Untuk
melaksanakan semuanya itu juga wajib berpegang kepada zhong shu
(忠恕) yakni satya dan bertanggung jawab menepati Tian li (天理
atau Hukum Tuhan) atau dan juga menyayangi (ai 愛) benda-benda
demi kelestariannya. Sebagaimana diungkapkan dalam Zhong
Yong/Tiong Yong 中庸 Bab Utama bagian V yang berbunyi: “Bila
dapat terselenggara tengah dan harmonis maka kesejahteraan akan
meliputi langit dan bumi, segenap makhluk dan benda akan
terpelihara”. Dalam kaitan itu di dalam Kitab Zhong Yong/Tiong Yong
中庸 XXIV:3 juga tersurat bahwa: "Iman itu bukan dimaksudkan
selesai dengan menyempurnakan diri sendiri, melainkan
menyempurnakan segenap wujud. Inilah Kebajikan Watak Sejati
(xing zhi de 性之德) dan inilah keesaan luar dalam dari pada Jalan
Suci. Maka setiap saat janganlah dilalaikan."32
31Tjay Ing, San Cai, Tiga Landasan Dasar Keimanan Agama Khonghucu, h.23. 32Tjay Ing, San Cai, Tiga Landasan Dasar Keimanan Agama Khonghucu, h.24.
87
Terhadap pertanyaaan cara menghadapi kematian, kemana
roh manusia setelah meninggal dan kehidupan lain setelah kematian
dapat dijelaskan bahwa umat Ru Jiao (儒教) percaya ada kehidupan
lain setelah kehidupan ini. Dalam Delapan Pengakuan Iman pada
butir ke empat berbunyi: sepenuh iman percaya akan adanya roh dan
nyawa. Diyakini bahwa roh yang asalnya dari Tuhan akan kembali
kepada-Nya.
Dari keterangan di atas dan juga dari pelaksanaan kematian
sampai perkabungan tiga tahun dapat diambil kesimpulan bahwa
Agama Khonghucu mengenal kehidupan setelah kematian. Umat
Khonghucu senantiasa menyembahyangi leluhurnya agar nyawa dan
roh dapat bersatu kembali dan pulang kepada Sang Pencipta. Kapan
roh dan nyawa dapat bersatu itu adalah rahasia Tuhan, untuk itu
umat Ru/Khonghucu tidak lupa menyembahyangi terus leluhurnya
walaupun telah jauh, telah lama meninggalkan keturunannya.
I. Relasi Umat Islam dengan Umat Agama Khonghucu di
Manado
Hubungan antara umat muslim dan umat Khonghucu di
Manado sangat baik, tidak pernah ada konflik. Menurut Js. Riano
Baggy, Ketua Matakin Provinsi Sulawesi Utara, Makin di Manado
sering mendapat undangan dari pihak Muhammadiyah maupun
Nahdatul Ulama untuk hadir pada acara-acara seminar baik sebagai
nara sumber maupun peserta. Selain itu untuk menjaga hubungan
baik, kedua pihak sering mengadakan kunjungan silaturahmi baik
pada hari raya umat muslim atau sebaliknya. Buka puasa di bulan
Juni 2018 umat Makin Manado mengadakan acara buka puasa
bersama ibu Shinta Nuriyah Wahid dengan anak-anak yatim dari
panti asuhan Muslim. Walaupun Ibu Shinta akhirnya berhalangan
hadir namun acara sahur bersama tetap berjalan dengan lancar dan
aman. Sependapat dengan Riano Baggy, Js. Ritta Lontoh (Ketua
Peribadahan Makin Manado ) menambahkan bahwa pada saat acara
buka puasa umat Islam memberikan pujian kepada umat Khonghucu
88
karena telah menyiapkan tempat untuk umat muslim
bersembahyang di Litang/Kongzi Miao.
Pandangan umat muslim terhadap perkabungan umat
Khonghucu menurut Diane Lontoh (Ketua Makin Manado) baik saja,
apabila terjadi peristiwa duka secara bergotong royong umat muslim
dan non muslim membantu mendirikan tenda, terlihat adanya
kerukunan antar umat beragama terjalin di kota Manado.
BKSAUA dan FKUB yang ada di Manado sangat membantu
menciptakan kondisi yang kondusif. Pembinaan melalui sosialisasi
agar menjauhi narkoba, miras dan pergaulan bebas, juga hidup rukun
dan damai secara berdampingan antar umat beragama sangat
membantu pemerintah. Pemerintah giat memberikan pembinaan
kepada masyarakat agar program dan pembangunan berjalan lancar
seiring perkembangan zaman. Demikian pula dengan upacara
perkabungan agama Khonghucu yang ada di kota Manado tidak
mengganggu umat yang berbeda keyakinan, malah secara bersama
bergotong royong atau istilah Manado adalah Mapalus, saling
membantu mempersiapkan perlengkapan dan juga saling
mendoakan. Slogan torang samua basudara sama dengan Sabda Nabi
Kongzi 2500 tahun yang lalu bahwa di empat penjuru lautan semua
saudara, terasa sangat kental nuansa kekeluargaannya.
89
B AB IV
UPACARA KEMATIAN AGAMA KHONGHUCU DI MANADO
A. Pra Ru Mu/Pra Jieb Bok 入木.
1. Saat meninggal
Biasanya pada saat meninggal keluarga langsung mengambil
dupa sebanyak tiga batang dan bersembahyang kepada Tian (天)
menghadap pintu keluar rumah, melaporkan nama dan tanggal lahir
orang yang meninggal. Isi doa: keluarga menyampaikan siapa yang
meninggal dengan menyebut nama dan tanggal lahirnya, memohon
Tian (天 ) dapat mengampuni segala perbuatan almarhuum yang
tidak berkenan kepada Tian (天) selama hidupnya, memohon Tian (
天 ) menerima rohnya, juga memohon agar keluarga yang
ditinggalkan dikuatkan imannya agar dapat melanjutkan cita-cita
mulia almarhum. Umat Ru (儒 Khonghucu) yakin bahwa roh yang
berasal dari Tian (天 ) akan kembali kepada Tian (天 ), tetapi
kembalinya roh ini semuanya tentu ada proses, tergantung amal
ibadah almarhum/ah. semasa hidupnya.
“Tentang usia pendek atau panjang, jangan bimbangkan.
Siaplah dengan membina diri. Demikianlah menegakkan Firman
(ming, 命). Tiada sesuatu yang bukan karena Firman, maka terimalah
itu dengan taat di dalam kelurusan. Orang yang sungguh-sungguh
sepenuh hati menempuh Jalan Suci lalu mati, ia lurus di dalam
Firman” (Meng Zi/Bing CuVIIA:1.3: Meng Zi/Bing Cu 孟子 VIIA:2.1
dan 2.3). Di sini arti Firman (ming, 命). mengacu pada nasib, sesuatu
yang sudah terjadi. Apapun yang sudah terjadi harus kita terima
sebagai kenyataan. Dalam kehidupan ini, kita akan mendapat berkah
atau naas, bahagia atau menderita, bahkan kematian kita tidak akan
90
tahu. Tetapi kita bisa memutuskan untuk berusaha selalu dalam
kelurusan dan bermoral dalam kehidupan atau kematian.1
Di dalam Kitab Suci Li Ji (Lee Ki, 禮記 Catatan Kesusilaan)
XXI.II:1 Nabi Kongzi bersabda: ”qi ( 氣 semangat) itu wujud
berkembangnya shen (roh), sedangkan po (魄 badan jasad) itu wujud
berkembangnya daripada gui (鬼 nyawa). Berpadu harmonisnya gui
(鬼) dan shen (神) itulah tujuan tertinggi ajaran Agama. Semua yang
dilahirkan pasti mengalami kematian; yang mengalami kematian
pasti pulang kepada tanah; inilah yang berkaitan dengan gui
(nyawa). Tulang dan daging melapuk di bawah, yang besifat yin (陰
negatif) itu raib menjadi tanah. Tapi qi (氣 semangat) yang bersifat
yang (陽 positif) berkembang naik ke atas memancar cerah gemilang,
diiringi asap dan bau dupa yang semerbak mengharumkan. Inilah
sari daripada beratus zat, perwujudan daripada shen (神 roh)”.
Tertulis pula di Kitab Li Ji VII.1.7: “Bila ada seseorang meninggal,
orang memandang ke arah langit (ke mana arwah orang itu pergi)
dan memakamkan jenazah ke dalam tanah. Badan jasad turun ke
bawah; dan semangat/ jiwa rohaninya yang berkesadaran itu naik ke
atas”.
Penulis mewawancarai beberapa informan 2 tentang perihal
peristiwa duka. Menurut informan Js. Riano Baggy3 saat ditanya apa
yang harus dilakukan apabila terjadi peristiwa duka, beliau
menjawab, setelah seseorang dinyatakan meninggal yang pertama
dilakukan adalah anak laki-laki tertua atau kepala keluarga berdoa
kepada Tian (天) perihal kematian ini dengan menyebutkan nama
dan tanggal lahir dari yang meninggal. Jawaban yang sama penulis
1 Indarto seorang rohaniwan bergelar Xueshi atau pendeta dalam Agama
Khonghucu Kamus istilah Rujiao (Solo: Genta Harmoni, 2010), h.8. 2Semua informan, wawancara tanggal 16 September 2018 di Kelenteng Kongzi
Miao, pukul 11.30 Wita selesai kebaktian. 3 Riano Baggy adalah Ketua Matakin Provinsi Sulawesi Utara dan juga
merupakan seorang rohaniwan dengan gelar Jiaosheng.
91
terima dari beberapa informan4. Kebanyakan informan yang penulis
tanyakan mengetahui masalah pengurusan kematian itu dari orang
tua maupun dari informasi pada saat menghadiri upacara-upacara
kedukaan, dimana mereka sering berkumpul dan membicarakan tata
cara kedukaan. Rata-rata informan adalah pemeluk agama
Khonghucu sejak kecil.
Sementara menurut salah satu informan5 ketika ditanya pada
saat suaminya meninggal apa yang pertama dilakukan, beliau
menjawab anak-anaknya langsung melakukan bai gui (pai kui 拜跪 t)
sampai kou shou (khau siu 叩首)6 berulang-ulang sambil menangis
memohon ampun kepada ayahanda tercinta atau ibunya. Dalam hal
ini informan berdoa kepada Tian (天) memohon agar almarhum
(dengan menyebut nama lengkap) diampuni segala dosa-dosanya
dan kiranya arwahnya boleh diterima Tian (天) di alam xian Tian (先
天). Selanjutnya menghubungi keluarga yang lain, pengurus orang
mati dan pengurus Makin.
Dq. Ivana seorang pemudi ketika ditanyakan apa yang akan
dilakukan pada saat mengetahui ada keluarga yang meninggal,
dijawab bahwa segera menginformasikan ke Pengurus Majelis
Agama Khonghucu Indonesia MAKIN Manado untuk melakukan
ibadah penghiburan. Sedangkan untuk persembahyangan langsung
ke Tian (天) belum pernah mengalaminya.
4Diane Lontoh, Js. Ritta Lontoh, Elvie Loho, Hetty Tangkilisan, Meiske Lontoh,
Odry Sukotjo, Lanny Mailoor, Liany Soeiswanto, Lily Soei, Js. Jully Mandagie, An Liem, Noni Liemunandar, Lintje Ang, Marchanty Tilung, Js. Luisje Samsudin, Js. Riano Baggy, Liem Kiem Soan, Tan Soei Tjiok, wawancara 16 September 2018 di Kelenteng Kongzi Miao Manado.
5 Wawancara dengan Elvie Loho, Bendahara Makin Manado, 16 September 2018, pukul 12.30 Wita di rumah Dq. Liem Kim Soan Wonasa.
6Bai gui (Pai kui 拜跪) adalah menghormat dengan cara berlutut dan menyoja,
sedangkan kou shou (khau siu 叩首) biasanya merupakan kelanjutan Bai gui (Pai kui
拜跪 yakni membungkukkan badan sampai tangan dan kepala menyentuh lantai
(setelah sudah berlutut).
92
Wenshi Lantje Supit7 ketika ditanya juga menjawab bahwa
anggota keluarga yang ada di rumah langsung mengambil dupa
merah sebanyak tiga batang dan berdoa kepada Tian (天) dengan
melaporkan nama lengkap almarhum telah kembali keharibaan Tian
(天). Walaupun menurut pemahaman beberapa informan dalam hal
ini Tian (天 ) sudah mengetahui peristiwa ini tapi keluarga yang
berduka juga sebagai umat yang satya kepada Tian (天) harus tetap
melaporkan kepada Tian (天) agar kiranya menerima roh atau arwah
almarhum dalam pangkuan kebajikan Tian (天 ) dan memohon
kepada Malaikat Bumi/Fu De Zheng Shen 福德正神/Tu Di Gong 土
地公 8 agar dapat menerima badan atau jasad dari almarhum
(disebutkan nama lengkap) pada saat pemakaman nanti. Setelah
selesai doa biasanya ditutup dengan membakar kim coa (jin zhi 金紙
atau Kertas Emas). Kertas emas dengan gambar hok lok siu (fu lu shou
福祿壽) biasanya dipakai setelah bersembahyang dengan harapan
agar keluarga mendapatkan keberkahan dari Shenming Hok Lok Siu
(Fu Lu Shou Shen 福祿壽神) berupa bahagia keturunan, panjang
umur dan banyak rejeki. Jika tidak ada jin zhi (kim coa 金紙) cukup
dengan menaikkan dupa saja. Jika tidak ada dupa juga bisa hanya
dengan hormat pai 9 lalu hormat ding lee 10 dan membungkukkan
badan sebanyak tiga kali.
7Ws. Lantje Supit adalah seorang rohaniwan di Makin Manado, gelar Ws. Atau
Wenshi adalah merupakan guru agama dalam Agama Khonghucu. 8Fu De Zheng Shen (福德正神; pinyin=Fúdé zhèngshén; Hokkien: Hok Tek Ceng
Sin; lit.="dewa bumi atas kemakmuran dan jasa") atau disebut juga Tu Di Gong (土地
公). Tentang Malaikat Bumi tertulis di Kitab Susi bagian Lun Yu Jilid III:21, Lun Yu
Jilid XI’25.3 yaitu percakapan antara Nabi Kongzi dengan Zi Lu seorang muridnya. 9Bai (拜) sama dengan merangkapkan kedua tangan, tangan kiri menutupi
tangan kanan. 10 Ding Lee (頂禮 ) adalah kedua tangan dirangkapkan dengan tangan kiri
menutup tangan kanan dan menaikkan kedua tangan sampai ke atas kepala sambil di ayunkan sampai ke depan dada.
93
Ronny Loho11 yang biasa dijuluki Tjeng It12 di kota Manado
juga menjelaskan hal yang sama, bahwa begitu umat mengetahui
orang tuanya meninggal segera memasang dupa merah sebanyak
tiga batang dan berdoa kepada Tian (天) menghadap keluar rumah,
melapor kepada Tian (天) dan Malaikat Bumi (Fu De Zheng Shen 福
德正神 ) bahwa Tian (天) telah memanggil ... dengan menyebutkan
nama lengkap dan tanggal lahir memohon agar Tian (天 ) dan
Malaikat Bumi/Fu De Zheng Shen 福德正神 atau Tu Di Gong 土地公
memberikan tempat yang baik sesuai dengan amal baktinya.
Kemudian membakar kertas emas (jin zhi, kim coa 金紙) sebanyak
tiga lembar yang sebelumnya sudah diusapkan ke wajah orang yang
meninggal. Pengusapan ini mengandung makna penyerahan kepada
Tian (天) Yang Maha Esa agar arwahnya berjalan dengan baik dan
tenang dan memohon ijin agar anak, cucu dan keturunan
memperoleh penghidupan yang baik, seperti makna dalam gambar
hok lok siu (fu lu shou 福祿壽) 13 demikian pula jawaban yang sama
ketika penulis tanyakan kepada Felix Tumewu14
Js. Charles Tilung15, seorang rohaniwan Makin Manado yang
sering dipanggil pihak keluarga yang berduka untuk melaksanakan
tugas pelayanan duka, menjelaskan bahwa ketika beliau tiba di
rumah duka segera mengajak pihak keluarga untuk berdoa dan
11Ronny Loho adalah seorang pengurus Rumah Ibadah Kelenteng Lo Cia (呢吒
廟 ) di Manado yang biasa dipanggil Tjeng It, merupakan seorang tokoh yang
dihormati karena mempunyai banyak pengetahuan tentang persembahyangan di Kelenteng maupun upacara duka. Wawancara di Kelenteng Lo Cia tanggal 25 September 2018 jam 16.30 Wita.
12Tjeng It adalah sebutan untuk rohaniwan yang menguasai persembahyangan agama Khonghucu, (儒) Budha (佛) dan Tao (道) atau di sebut Tri Dharma.
13 hok lok siu (fu lu shou 福祿壽 ):mempunyai arti: rejeki yang berlimpah,
kedudukan/ keturunan yang baik,sehat dan panjang umur. 14Wawancara dengan Felix Tumewu di pekuburan Paal 2 Manado, tanggal 24
September 2018 pukul 15.00 Wita. 15 Wawancara dengan Js. Charles Tilung seorang rohaniwan Khonghucu di
Makin Manado, 20 September 2018 pukul 13.30.
94
melaporkan peristiwa duka ini kepada Tian (天) karena Tian (天)
telah memberikan yang terbaik buat almarhum dan juga untuk
keluarga. Demikian juga selalu menyampaikan ayat suci yang
terdapat dalam Kitab Lun Yu/Lun Gie 論語 XII:5.2: “Mati hidup
adalah Firman, kaya dan mulia adalah pada Tuhan YME” .
Kuasa hidup dan mati adalah kehendak Tian (天 ), maka
manusia menjadi makhluk yang harus tunduk dan patuh kepada Tian
( 天 ) dengan melakukan perbuatan yang sesuai dengan yang
difirmankan, hidup sesuai dengan Xing (性 kodrat kemanusiaan)
yang diberikan oleh Tian (天), sujud dan sembahyang kepada Tian (
天) dengan patuh dan satya.16
2. Isi Doa Pra Ru Mu/Pra Jieb Bok 入木
Bunyi doa yang dipanjatkan menurut Js. Charles Tilung adalah: “Kehadirat Tian (天) Yang Maha Esa, di tempat Yang Maha Tinggi, dengan
tuntunan dan bimbingan Nabi Khongcu, Dipermuliakanlah. Semoga berolehlah kami kekuatan dan kemampuan untuk menjunjung tinggi kebenaran dan menjalankan Kebajikan. Puji syukur kami naikkan kehadirat Tuhan, karena pada hari yang baik ini Tuhan telah menurunkan Firman, memanggil ..... (sebutkan nama lengkap), pulang kembali kedalam pangkuan kebajikan Tian ( 天 ) Tuhan YME.
Berkenanlah Tian ( 天 ) menurunkan berkah bagi keluarga yang
ditinggalkan dan menerima roh ini dalam pangkuan kebajikan sesuai dengan apa yang diperbuat semasa hidupnya. Berkenanlah Tuhan mengampuni atas kelalaian, kekurangan dan kesalahan yang telah almarhum perbuat baik sengaja maupun tidak disengaja. Mewakili kaum keluarga saya mohon kepada Tian (天) berkenanlah mengabulkan doa
dan permohonan kami ini. Dengan setulus hati kami berdoa dengan sepenuh kebajikan di dalam hati, dipermuliakanlah. Jauhkan kami dari keluh gerutu, sesal penyalahan kepada sesama manusia, dapatlah kami tekun belajar, hidup benar dari tempat yang rendah ini terus maju menuju tinggi menempuh Jalan Suci, Jalan Kebenaran. Teguhkanlah iman kami, yakin Tuhan selalu penilik, pembimbing dan penyerta hidup kami. Shanzai.”17
16 Ongky Setio Kuncono, Wei De Dong Tian, Jalan Menuju Tuhan, Sebuah
Kumpulan Khotbah Minggu (Sidoardjo: SPOC (Study Park of Confucius), 2017), h. 30. 17Wawancara dengan Js. Charles Tilung, 20 September 2018 pukul 13.30.
95
Js. Charles menambahkan apabila berada di lingkungan
Tionghoa penyebutan Tuhan adalah dengan sebutan Tian (天), dan
apabila berada di lingkungan non Tionghoa penyebutan Tian (天)
menjadi menjadi Tuhan.
Ada kepercayaan orang Tionghoa, apabila keluarga meninggal
pada saat kecelakaan maka jenazahnya tidak disemayamkan di
dalam rumah, melainkan di halaman rumah karena mereka
beranggapan bahwa meninggal sewaktu kecelakaan adalah tidak
sewajarnya dan apabila jenazahnya diletakkan di dalam rumah akan
mengakibatkan hal yang kurang baik di dalam keluarga nantinya.
Apabila melihat pada kitab suci Shi Shu, 18 disebutkan demikian:
“Mati hidup adalah Firman, kaya mulia adalah pada Tuhan Yang
Maha Esa...” tentunya kita tidak perlu membedakan dalam hal
persujudan dalam persembahyangan.
3. Memandikan Jenazah
Setelah berdoa kepada Tuhan kemudian jenazah dimandikan
(apabila meninggalnya di rumah sakit maka pelaksanaan pemandian
jenazah dilakukan oleh petugas yang berada di Rumah Sakit) dan
dipakaikan baju yang sopan dan rapi. Setelah itu jenazah baik laki-
laki maupun perempuan di-make up/didandani agar terlihat lebih
cantik/tampan. Hal mendandani orang yang sudah meninggal tidak
ada di ajaran agama, ini merupakan tradisi jadi tidak wajib diikuti.
Perihal mendandani itu timbul dari lubuk hati yang paling dalam,
tidak tega membiarkan jenazah apa adanya pada saat terakhir
kepergiannya. Apabila di rumah maka anak tertua yang memandikan
orang tuanya, tetapi seiring berjalannya waktu belakangan ini yang
meninggal di rumah dibawah ke rumah sakit untuk dimandikan dan
di dandani kemudian dibawa pulang ke rumah, karena rumah sakit
di Manado belum menyediakan tempat seperti di Jakarta yang ada
rumah duka. Setelah jenazah dimandikan lalu diletakkan di
18Lun Yu XII:5.2, h. 218.
96
dipan/ranjang yang sudah dialas tikar dan seprai kemudian diberi
bantal. Untuk upacara memandikan oleh keluarga dilakukan sebelum
masuk peti secara simbolis yang dinamakan membeli air kepada Tu
Di Gong (土地公) sebelum dimandikan.
Nabi bersabda: “Begitu ada kematian, keluarga wajib segera
mengganti pakaiannya, jika dibuat dari kulit kambing dan topi yang
berwarna hitam. Meskipun mereka tidak melakukan hal-hal yang
lebih lanjut. Jika mengenakan pakaian dari kulit kambing dan topi
hitam, Nabi tidak melakukan kunjungan belasungkawa. Zi You (子有
Cu Yu) bertanya tentang peralatan yang wajib disediakan untuk
upacara perkabungan. Nabi bersabda: “Wajib disediakan sesuai
dengan kemampuan keluarga.” Zi You (子有 Cu Yu) berkata,
“Bagaimanakah keluarga yang mampu dan tidak mampu dapat
melakukan hal yang sama?” Nabi menjawab: “Yang mampu jangan
melampaui ketentuan kesusilaan, yang tidak mampu cukup sekedar
tubuhnya ditutupi dari kepala hingga kaki dan selanjutnya
dimakamkan. Peti jenazah cukup diturunkan dengan tali. Dengan
demikian, siapakah yang akan menyalahkan?” (Lee Ki/Li Ji IIA.III:16-
17.)
4. Menyiapkan Dipan
Dipan biasanya dari ranjang kayu dan tidak diberi kasur,
mengingat kemungkinan ada cairan yang keluar dari tubuh jenazah,
jadi selesai dipakai dipan bisa langsung dicuci. Tetapi ada juga yang
masih memakai kasur. Dipan diletakkan di tengah ruangan
menghadap ke depan pintu rumah. Di bawah dipan diletakkan es
batu balok di dalam loyang besar agar jenazah tetap awet, tetapi
zaman sekarang jenazah sudah diformalin jadi sudah tidak
memerlukan es lagi.
Di samping dipan/ranjang jenazah diletakkan pelita minyak
kelapa dan tempat pembakaran kertas perak. Kertas perak dibakar
oleh anggota keluarga secara terus menerus lembar demi lembar
97
selama jenazah belum dimasukkan kedalam peti atau sebelum
upacara jieb bok. Pelita dan kertas perak (yin zhi, gin coa 銀紙 )
memiliki arti memberikan terang bagi perjalanan roh atau arwah
dari orang yang baru meninggal menuju ke alam baka. Kertas perak
(yin zhi, gin coa 銀 紙 ) adalah kertas yang digunakan untuk
sembahyang kepada arwah leluhur dan digunakan dalam upacara
kematian.19
Untuk penempatan dipan/ranjang menurut Ronny Loho tidak
harus selalu di dalam rumah karena harus melihat lebarnya pintu
rumah, apabila pintu rumahnya sempit dan tidak memungkinkan
mengeluarkan peti dengan cara di gotong beberapa orang, peti mati
tidak boleh mengenai pintu rumah karena diyakini masyarakat kalau
sampai peti mati waktu dikeluarkan mengenai pintu rumah akan ada
keluarga yang ikut berpulang dalam waktu dekat. Hal ini hanya
merupakan tradisi setempat saja, mengenai kebenarannya belum
dapat dibuktikan, hanya kemungkinan pernah ada kejadian seperti
itu di masa lampau dan masyarakat mengambil kesimpulan sendiri.
Karena hanya cerita dari mulut ke mulut saja, jadi lebih baik
mengikuti tradisi dari pada hal tersebut menjadi kenyataan,
demikian menurut Ronny Loho.20
5. Altar Leluhur
Meja altar untuk sembahyang kepada leluhur isinya antara
lain:
1. Xiang lu/hio lo 香爐 tempat dupa untuk keluarga dan untuk tamu
2. Foto almarhum,
3. Sepasang tempat lilin,
4. Dupa (hio)
19Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu Indonesia di
Sulawesi Utara (Manado: tanpa penerbit, Februari 2005), h.5. 20Wawancara dengan Ronny Loho, tanggal 25 September 2018 jam 16.30 Wita.
98
5. Air putih, teh dan nasi yang diatasnya diletakkan sebutir telur
ayam yang direbus.
Maksudnya adalah : Telur awal dari sebuah kehidupan dan
nasi adalah lambang kehidupan. Disamping itu di altar tersedia juga
sajian yang tersaji seperti makanan kesukaan almarhum. Sajian
tersebut diberikan dan diangkat sesuai waktu makan dan anak atau
keluarga menaikkan dua batang dupa dan ding li (ting lee 頂禮) dua
kali ke hadapan jenazah seolah-olah mempersilahkan makan.
Sebagai anak yang berbakti, walaupun orang tua telah meninggal
sang anak tidak melupakan rasa baktinya, untuk itu tetap
memperlakukan dengan kesusilaan. Merasakan seperti melayani
orang tua semasa hidup dengan menyiapkan makanan kesukaan,
anak atau keluarga yang ditinggalkan mengetahui bahwa yang sudah
meninggal tidak bisa merasakan makanan lagi, tetapi merasakan
bahwa roh almarhum dapat melihat penghormatan anak kepada
orang tuanya.21 Menurut Ronny sajian yang disiapkan sesuai dengan
kesukaan almarhum semasa hidup, dan menyiapkan sesuai
kemampuan.22
Untuk sajian yang disiapkan tidak harus sajian yang sulit untuk
didapatkan, seperti pada ayat berikut ini. “Kongzi mulai dengan
menertibkan alat-alat persembahyangan, tetapi tidak menetapkan
bahwa tiap-tiap sajian harus hanya diisi barang sajian tertentu saja
yang sukar didapatkan.”23
21Wawancara dengan Js. Charles Tilung. 22Wawancara dengan Ronny Loho. 23Lihat Kitab Bing Cu Meng Zi 孟子 Jilid VB:4,6 dalam Kitab Sìshū (四書 Kitab
Yang Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi Hanyŭ Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin-2011 (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016), h.630.
99
6. Altar Fu De Zheng Shen (福德正神)
Selain meja altar untuk jenazah juga terdapat meja altar untuk
Tu Di Gong/Fu De Zheng Shen/Malaikat Bumi di sebelah kiri altar
jenazah dengan isian
1. Tempat hio lo (xiang lu 香爐)
2. Sepasang lilin merah
3. Teh tiga mangkuk kecil
4. Buah-buahan (tiga piring atau lima piring) sesuai keinginan dan
kemampuan keluarga yang berkabung.24 Buah yang disiapkan
berupa pisang, jeruk, apel, pear, belimbing. Masing-masing
piring berisi tiga atau lima buah.
7. Pakaian Berkabung
Menghadapi perkabungan, keluarga memakai baju duka/
pakaian berkabung yang disebut sang fu (song hok 喪服; sang/song
喪 artinya duka dan fu/hok 服 artinya baju), yaitu baju yang
berwarna putih kusam (atau warna mangkak) yang terbuat dari
bahan belacu kasar yang dijahit tanpa lipatan pinggir, baju dipakai
terbalik. Laki-laki memakai ikat kepala putih dan perempuan
memakai kerudung putih yang di Manado dikenal sebagai lu tu25 .
Disamping lengan baju bagian atas ada tersemat pita atau sepotong
kain berwarna hitam atau biru atau warna-warna berkabung yang
berbeda sesuai dengan tingkatan keluarga. Saat ini sudah banyak
keluarga berduka yang memakai baju berkabung yang lebih praktis,
yakni dengan membeli kaos atau blus/kemeja berwarna putih di
toko baju, dan bawahan juga berwarna putih.
24Wawancara dengan Js. Charles Tilung, Felix Tumewu dan Ronny Loho. 25Lu tu adalah semacam ikat kepala/kerudung yang terbuat dari kain belacu
yang pinggirannya tidak dijahit dan modelnya lancip menutupi kepala, digunakan dalam upacara duka.
100
8. Mempersiapkan Peti Mati
Peti mati biasanya dibeli oleh anak almarhum, dan biasanya
berapa harga peti mati itu tidak ditawar. Peti mati dibeli sesuai
dengan kebutuhan dan harga, karena harga peti mati cukup beragam
dari yang paling murah sampai mahal. Murah atau mahalnya peti
mati tergantung kualitas kayu dan ukuran peti mati. Penulis
mendapatkan harga yang terbilang murah, lengkap dengan baju
jenazah (kebaya untuk wanita dan setelan jas untuk pria seharga Rp.
3.500.000,- di Jakarta Florist Manado, sebuah toko khusus menjual
peti mati dan kembang duka cita.
Tetapi pada umumnya orang Tionghoa di Manado memakai
‘peti Cina’ yang terbuat dari kayu kambing karena dirasa lebih kuat
dan awet. Ada beberapa ukuran dengan harga 35 juta rupiah dan 36
jutaan rupiah dengan 3 ukuran masing-masing 60 cm x 2 m, 65 cm x
2 m dan 75 cm x 2 m.26 Peti mati dengan kualitas seperti ini, yang
biasanya disebut Peti Cina, tempatnya berada di Jalan Yos Sudarso
no. 46 A, Paal 2 Manado di rumah ibu Margaretha Yulianti Angelo
atau biasa dipanggil Ci Kui. Biasanya peti mati ini sudah tersedia, jadi
pembeli tinggal datang dan memilih, tetapi tidak tersedia ukuran
untuk anak-anak. Peti yang dijual sudah termasuk bantal dengan
sarung dari kain satin berwarna putih yang berisi kertas perak (yin
zhi, gin coa 銀紙) yang dibentuk seperti perahu dan digepengkan,
kain satin merah untuk penutup peti mati, kain tile putih dan juga
dekorasi dalam peti yang dibuat berbentuk smok dengan hiasan
bunga di dalamnya.27 Orang Tionghoa biasanya menggunakan peti
yang kuat sehingga tahan oleh air dan tanah dalam waktu lama
sehingga tidak mudah dimakan rayap. Hal ini hanya merupakan
tradisi karena ajaran agama tidak mengajarkan demikian, umat
sudah menyadari bahwa jasad itu dari tanah akan kembali ke tanah.
26Wawancara dengan Margaretha Yulianti Angelo yang biasa dipanggil Ku Kui,
tinggal di Yos Sudarso 46 A Paal 2 Manado, 12 Mei 2016, pukul 08.00 Wita di kediamannya.
27Wawancara dengan Margaretha Yulianti, 12 Mei 2016.
101
Membeli peti mati itu tugas dari putra-putri almarhum. Anak
sulung membakar tiga batang hio bergagang merah, kemudian
bersembahyang yang dilanjutkan dengan melakukan ritual bu bei
(poah poe 卜杯). Bunyi doa atau permohonannya adalah:
“Kepada penguasa alam dan leluhur yang dimuliakan. Bila menyetujui ini peti mati yang akan digunakan oleh:………..shio:…………yang meninggal pada tanggal :…… dan jam:….. Berilah kami tanda bila peti mati ini disetujui dengan hasil xiangbei (siupwe 象杯, atau juga ditulis shengbei 聖
杯), demikian juga bila tidak siupwe maka akan dipilih lagi peti mati yang
lain”.28
Bu bei (poah poe 卜杯) adalah proses berkomunikasi/ bertanya
kepada Tuhan atau kepada leluhur dengan menggunakan sepasang
bilah kayu/bambu, yang mana setelah doa atau pertanyaan
disampaikan lalu bilah bambu/kayunya dilemparkan ke atas,
kemudian dilihat hasil atau posisi bilah bambu/kayunya. Proses
ritual bu bei ini juga bisa menggunakan sepasang uang logam yang
juga dilemparkan ke atas setelah doa/pertanyaan diajukan, setelah
jatuh di lantai barulah dilihat hasilnya. Bila kedua keping uang logam
atau bambu itu sama gambar, berarti tidak siupwe (xiangbei 象杯)
artinya permohonan/doa tidak disetujui, bila kedua uang logam itu
tidak sama gambarnya itu berarti siupwe (xiangbei 象杯) artinya
disetujui. Tetapi mengingat kemajuan zaman hal melakukan poh poe
ini jarang di praktekkan, dikarenakan banyak kendala, ukuran dan
model sangat bervariasi. Proses bertanya melalui poah poe itu
merupakan tradisi/budaya yang turun temurun, ritual itu dipercaya
dapat memberi jawaban atas pertanyaan yang diberikan.
9. Menempel Kertas Tanda Berduka
Pintu jendela dan kaca di rumah keluarga berduka
ditempelkan kertas putih berukuran lebar 5 cm dan panjang 30 cm.
Bila yang meninggal itu ibu, kertas putih ditempel dengan cara kanan
28 http://tradisitridharma.blogspot.com/2014/11/ arti-dan-makna-yang-
dalam-dari-tradisi.html, 15 Oktober 2018, pukul 15.22 Wib.
102
di atas dan kiri di bawah. Apabila yang meninggal seorang bapak,
kertas putih ditempel dengan cara kiri di atas dan kanan di bawah.
Bila keduanya telah tiada, kertas putih di tempel dua menyilang
(seperti huruf X).29
10. Memasang Tenda
Pada saat satu keluarga mengalami peristwa kematian
biasanya tetangga yang datang akan secara bergotong-royong
mendirikan tenda, karena di kota Manado belum tersedia rumah
duka. Apalagi biasanya banyak sekali pelayat yang akan datang
menghadiri ibadah penghiburan kepada keluarga yang berduka
sekaligus ingin menyampaikan simpati turut berduka-cita, maka
dengan demikian harus ditambahkan tenda yang dibuat di
pekarangan rumah untuk menampung para pelayat. Saat-saat itulah
amat terlihat kebersamaan antar-umat beragama pada masyarakat
di kota Manado karena walaupun yang meninggal bukan seagama,
masyarakat setempat yang beraneka ragam suku dan agama secara
bersama gotong royong membantu. Istilah gotong royong di Manado
disebut ‘Mapalus’, siapapun yang meninggal pasti akan dibantu,
semua umat di Manado dianggap bersaudara sesuai dengan
semboyan “Torang samua basudara”. Semboyan ini kiranya sama
maknanya dengan Sabda Nabi Kongzi yang menyatakan bahwa “Di
empat penjuru lautan, semuanya saudara”.30
29 http://tradisitridharma.blogspot.com/2014/11/arti-dan-makna-yang-
dalam-dari-tradisi.html, di unduh tanggal 15 Oktober 2018, Pukul 15.25 Wib. 30Lihat Kitab Lunyu (論語) Jilid XII:5.2 dalam Kitab Sìshū (四書 Kitab Yang
Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi Hanyŭ Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin-2011 (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016), h. 218.
103
B. Ru Mu/ Jieb Bok 入木.
1. Pengertian
Sebutan jieb bok 入木, berasal dari dialek Hokkian: jieb/ru 入
artinya “masuk”, sedangkan bok/mu 木 artinya “kayu atau peti”.
Maka jieb bok (ru mu 入木) adalah masuk peti yakni memasukkan
jenazah ke dalam peti.31
2. Melihat Hari dan Jam Baik
Biasanya orang Tionghoa di Manado melakukan ru mu/ jieb
bok 入木 dengan melihat feng shui (hong sui 風水 ), dimana
memasukkan jenazah ke peti harus dilakukan pada hari dan jam baik,
yang diyakini berlaku pada saat air laut sedang pasang, karena
mengandung pengertian dan harapan agar kehidupan anak cucu dan
keturunan terus menanjak penghidupannya. 32 Untuk pelaksanaan
memasukkan jenazah ke dalam peti bukan hanya para senior yang
mengetahui kalau harus melihat jam yang baik dan juga pada saat air
pasang. Ketika penulis tanyakan kepada Ivana seorang anak Pakin,
ia juga mengetahui bahwa jika akan memasukkan jenazah ke dalam
peti mati itu sekitar jam delapan malam dimana air sudah pasang.33
Sebenarnya, pasang surut air laut bervariasi dari hari ke hari
selama sebulan, sesuai posisi dan keberadaan bulan. Demikian juga
besar pasang surut air laut dipengaruhi oleh letak/lokasi suatu
tempat. Namun memang secara umum, air akan naik menjelang
malam hari dan akan surut ketika mulai menjelang pagi hari,
pengetahuan umum ini dikenal oleh Ivana walau beliau belum
mengetahui secara menyeluruh gejala dan perhitungan pasang surut
air laut ini.
31M.Ikhsan Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h.140. 32 Wawancara dengan Ronny Loho yang dipanggil ko Tjong, 25 September
2018, Kelenteng Lo Cia Manado, Felix Tumewu, Js. Charles Tilung, Ivana, Diane Lontoh, Elvie Loho.
33Wawancara dengan Ivana, 30 Agustus 2017, di Mantos Manado.
104
Menurut Ronny Loho apabila mau memasukkan jenazah ke
peti harus melihat jam baik dan juga saat air pasang di lokasi
kejadian. Waktu air pasang itu juga berbeda untuk masing masing
daerah, ada yang di atas jam lima sore air sudah mulai pasang. Asal
air sudah pasang/naik maka sudah bisa dilaksanakan upacara masuk
peti, demikian menurut Ronny.34 Di sini terlihat Ronny Loho lebih
memahami persoalan pasang surut air laut ini.
Secara umum, upacara ru mu/jieb bok 入木 ini biasanya
dilaksanakan di malam hari (saat air pasang sudah terjadi) yang
didahului dengan pelaksanaan upacara oleh Makin bersama
umatnya, selanjutnya oleh keluarga dengan bantuan Pengurus
Jenazah.
3. Pembersihan Peti Mati
Sebelum peti mati digunakan oleh keluarga, biasanya mereka
memakai jasa Tjeng It/Tho Kong/rohaniwan atau Pengurus orang
mati. Menurut Ronny Loho biasanya peti mati diasapin dengan asap
dupa dan kemenyan karena beranggapan bahwa kayu yang
digunakan sebelum dibuat menjadi peti mati, kayunya berasal dari
pohon dan pohon mempunyai pori-pori. Mereka beranggapan
bahwa pohon juga ada arwahnya atau penunggu. Untuk itu peti mati
sebelum digunakan diasapin dupa dengan mengelilingi peti
sebanyak tiga kali sambil diasapin dan membaca doa dengan maksud
agar roh yang menempati peti tersebut bisa keluar atau menjauh, dan
juga memohon ijin kepada Tian (天 ) untuk peti mati itu akan
digunakan oleh almarhum.... setelah itu barulah peti dimasukkan ke
dalam rumah.35
34Wawancara dengan Ronny Loho tanggal 25 September 2018 di Kelenteng
Locia pukul 15.00 wita. 35Wawancara dengan Ronny Loho tanggal 25 Sept 2018 pukul 15.00 Wita di
Kelenteng Locia Manado, pernyataan yang sama juga oleh Felix Tumewu yang biasa dipanggil Ko Kok Wonasa, wawancara di pekuburan Paal 2 pukul 14.00 wita.
105
4. Pelaksanaan Ru Mu/ Jieb Bok 入木
4.1. Perlengkapan Sembahyang
Pada meja persembahan terdapat segelas air putih, segelas air
teh yang melambangkan yin-yang 陰陽 , atau unsur negatif dan
positif, tempat penyempurnaan surat doa, kitab Si Shu/Su Si 四書,
sebuah xiang lu (hio lo 香爐 tempat dupa) untuk keluarga diletakkan
di sebelah dalam altar dan sebuah xiang lu (hio lo 香爐) untuk tamu
diletakkan di bagian depan, surat doa ru mu/ jieb bok 入木, dua buah
lilin, mi gao (bi ko 米糕) 36 yang terbuat dari tiga macam biji-bijian
yaitu, beras, kacang hijau dan wijen yang masing-masing telah
dimasak dengan gula aren dan dibuat menjadi bola-bola kecil,
dimasukkan kedalam gelas kecil atau cangkir untuk diletakkan di
meja sembahyang leluhur.
Mi gao (bi ko 米糕) merupakan tradisi umat Tionghoa yang
mempunyai makna lebih dalam selain harapan memperoleh rezeki,
yaitu upacara kematian ini bisa menjadi peristiwa yang menyatukan
anggota keluarga yang tercerai-berai atau yang berjauhan, apakah
yang tinggalnya berjauhan di luar kota atau ada perselisihan intern
yang terjadi dalam hubungan keluarga. Dengan adanya mi gao (bi ko
米糕) ini mau mendekatkan kembali hubungan yang tadinya kurang
harmonis menjadi lebih harmonis, lebih lengket dan manis untuk
suatu hubungan kekeluargaan dan bagi umat maknanya agar semua
umat wajib datang jika ada kesempatan walaupun tanpa diundang
termasuk jika ada umat yang berselisih paham dengan almarhum
atau anggota keluarga.37 Sementara menurut Ronny Loho sajian mi
gao (bi ko 米糕 ) dan “kue mandidih” digunakan apabila yang
meninggal sudah mempunyai tiga keturunan, makanya disusun tiga
37Wawancara dengan Charles Tilung, tanggal 20 September 2018.
106
dengan ukuran besar, sedang dan kecil.38 Karena arti sendiri dari mi
gao (bi ko 米糕) itu adalah tujuannya menyatukan keluarga sampai
tiga generasi agar tetap rukun dan harmonis, tidak tercerai berai.
Kalau yang meninggal belum berkeluarga sajian mi gao (bi ko 米糕)
tidak perlu disajikan.
Untuk sajian persembahyangan tidak mengharuskan
menyediakan berbagai macam sajian, yang terpenting adalah
ketulusan dalam menyampaikan persembahan, seperti sabda Nabi
dalam ayat suci berikut: “Zi Lu/Cu Lo 子路 berkata, ‘Sungguh menyedihkan orang yang miskin.
Ketika orang-tuanya masih hidup tiada makanan untuk merawatnya. Saat meninggal dunia, tidak dapat memenuhi kewajiban Susila (Li/Lee 禮 )
kepadanya.’ Nabi Khong Cu/Kong Zi 孔子 bersabda: ‘Biarpun hanya sayur
kacang dan air tawar kalau dapat membahagiakan orangtua, itu sudah dapat disebut berbakti. Biar seorang anak hanya dapat membungkus badan hingga kaki orangtuanya yang meninggal dunia lalu memakamkannya tanpa dengan peti mati luar (guo/kok 槨), dia sudah
boleh dinamai melakukan kewajiban Susilanya’ .”(Lee Ki/Li Ji 禮記 IIB.II.16
hal. 103)39
Jadi sebenarnya dalam upacara duka untuk sajian
sembahyang, Nabi Kongzi tidak menghendaki upacara maupun
sajian yang berlebihan seperti yang biasanya kita lihat dalam
persembahyangan orang Tionghoa pada umumnya. Ayat di atas
dapat menggambarkan hal tersebut.
Terkait dengan sajian dalam persembahan atau upacara duka
agama Khonghucu, sebenarnya adanya sajian itu bukanlah untuk
memberi makan kepada yang sudah meninggal. Orang yang sudah
meninggal tentu tidak perlu makan, persembahan yang demikian
merupakan suatu bentuk penghormatan kepada yang sudah
meninggal. Hal ini dapat kita lihat dalam Kitab Li Ji IIB: 2,8 “… Orang
38Wawancara dengan Ronny Loho tanggal 25 September 2018 pukul 15.30
Wita. 39Lihat Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h.55 – 60.
107
yang mati itu tidak ikut makan, tapi dari zaman yang paling kuno
sampai sekarang hal itu tidak pernah dialpakan...”
Demikian pula dengan pemakaian kertas emas dan kertas
perak juga disiapkan oleh keluarga berduka sebagai bagian dari
persembahyangan. Selain itu ada juga umat Khonghucu yang
menyiapkan replika rumah-rumahan yang lengkap dengan isi
perabotan. Dalam kitab Li Ji dikatakan: “Benda-benda itu dinamai ming qi karena (orang yang telah meninggal dunia) itu diperlakukan sebagai shen ming (makhluk yang bersifat spiritual). Sejak zaman kuno sudah ada kereta-keretaan yang dibuat dari tanah liat dan sosok yang dibuat dari jerami, itulah Jalan Suci dibuatnya ming qi. Nabi Kongzi mengatakan, “Membuat sosok dari jerami itu baik, tapi membuat sosok boneka (yang bisa bergerak-gerak dari kayu) itu tidak berperi cinta kasih. Bukankah itu berbahaya, karena dapat
mendorong orang menggunakan orang sungguh-sungguh.”40
Orang Kwangtung membuat ming qi dari bambu dan kertas,
kesemuanya tak lain hanya untuk menyampaikan rasa hati
sekedarnya demi mendapat ketentraman batin. Bila kepada orang
yang telah meninggal sebatang dupa atau seikat bunga saja kita segan
memberi, sesungguhnya itu tidak berperi cinta kasih. Jangan
dilakukan. Tetapi sebaliknya, bila kepada yang telah meninggal kita
kirimi misalnya kapal beneran dengan membakarnya, itupun sangat
tidak bijaksana dan jangan dilakukan. Dalam hal ini, Nabi Kongzi
tidak berbicara atas nama yang telah mati, melainkan berbicara atas
nama orang yang masih hidup. Dengan mempertimbangkan suasana
batin dan nalar yang dimiliki manusia agar manusia tidak terjerumus
ke dalam tekanan batin tidak berperi cinta kasih dan tidak bijaksana,
Kongzi menyetujui mempersembahkan ming qi kepada yang
meninggal. Sikap Nabi ini sungguh bijaksana. Dalam hal pelayanan
40Lihat buku ke-IIB.I:1.45 Kitab Lĭjì 禮記, (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h.
94.
108
kepada yang telah meninggal beliau meletakkannya di dalam
kesakralan yang sulit diperhitungkan.41
4.2. Upacara Pembelian Air
Pelaksanaan upacara “pembelian air dari Bumi” menurut Felix
Tumewu, dipimpin oleh pengurus jenazah dengan membawa
belanga yang terbuat dari tanah liat, uang logam 2 keping (terserah
kepingan berapa, coin 100 juga bisa karena itu hanya berupa syarat
beli air) yang diletakkan di dalam belanga lalu ditutup dengan kain
putih. Sementara pengurus jenazah yang memimpin upacara
“pembelian air” (arti sebenarnya sama dengan mau memandikan
jenazah), membawa dupa sebanyak tiga batang dan kertas emas
(yinzhi, kim coa 金紙) bisa sebanyak tiga lembar atau satu mata.
Mereka keluar rumah menuju kearah sumber mata air berada atau
yang disebut perigi/sumur atau kran air kalau tidak terdapat
perigi/sumur. Upacara ini bermakna memohon ijin kepada Tu Di
Gong (土地公 Malaikat Bumi) untuk membeli air, artinya mau
memandikan jenazah dengan ijin dari Tu Di Gong (土地公). Upacara
diawali penaikkan dupa tiga batang oleh anggota keluarga lalu
ding li (ting lee 頂禮) 42 sebanyak tiga kali, berdoa memohon ijin
kepada Tu Di Gong (土地公) untuk memandikan jenazah, lalu dupa
ditancapkan di tanah. Kertas Emas (yin zhi, kim coa 金紙) dibakar,
dua keping uang logam diletakkan di tempat pengambilan air (ibarat
membeli air), belanga kemudian dicuci. Belanga diisi air, diletakkan
di atas tanah, lalu memberi hormat dengan bai (pai 拜) lalu ding li
(ting lee 頂禮) tiga kali, belanga diambil dan mereka kembali ke
dalam rumah. Setelah di dalam rumah mereka memberi hormat
dengan ju gong/kiok kiong 鞠躬 yakni membungkukkan badan tiga
41 Genta Harmoni, Edisi Perdana, (Solo: Matakin bagian penerbitan,2003),
h.20—21. 42 Kedua tangan dirangkapkan, tangan kiri menutup tangan kanan sambil
diangkat di atas kepala.
109
kali kepada orang yang meninggal. Kain putih dibasahkan air yang
ada di dalam belanga, diusapkan ke jenazah mulai dari kepala ke kaki
kanan lalu dari kepala ke kaki kiri. kain dibilas, lalu diusapkan
kembali dari kepala ke tangan kanan dan selanjutnya dari kepala ke
tangan kiri setelah itu oleh anggota keluarga dengan mengikuti
petunjuk pengurus jenazah, keluarga bai/pai (拜) dengan dua batang
dupa memberi tahu roh almarhum bahwa keluarga sudah
melaksanakan upacara ini, lalu belanga tanah dibawa keluar dan
dipecahkan di jalan. 43 Selesai memandikan jenazah, pengurus
kematian siap memasukkan jenazah ke dalam peti.
Charles Tilung mengungkapkan hal yang sama pada saat
pembelian air, dimana anak wajib memandikan orang tuanya secara
simbolis dengan menyeka / mengelap tubuh almarhum seperti cara
yang diungkapkan oleh Felix Tumewu. Pada saat membanting
belanga diucapkan hal-hal yang menyiratkan bahwa hal-hal yang
baik tetap ada dan hal-hal yang buruk dihanyutkan, hal ini dianggap
sebagai amal bakti kepada orang tua. 44 Upacara beli air ini
merupakan budaya Minahasa yang dilakukan di kota Manado.
4.3. Menaburkan Teh, Memasukkan Jenazah ke Peti dan
Peletakan tujuh Mutiara
Selanjutnya keluarga mengambil teh kiloan yang sudah
dipersiapkan sebelumnya untuk kemudian ditabur rata ke dasar peti
mati dengan maksud agar teh nanti dapat menyerap cairan yang
keluar dari tubuh dan dapat menetralisir aroma yang kurang sedap
yang keluar dari tubuh jenazah, terkadang juga dasar peti ditaburi
dengan kopi bubuk untuk lebih menghilangkan bau atau aroma yang
kurang baik.
43Wawancara dengan Felix Tumewu. 44Wawancara dengan Charles Tilung tanggal 23 September 2018 di Rumah
Makan Monalisa, Singkil Manado.
110
Ikhsan Tanggok dalam tulisannya Mengenal Lebih Dekat
Agama Khonghucu di Indonesia mengatakan pada saat peti ditaburi
teh oleh Thokong mengucapkan: ce tau, pwe tau, kaw tau, cepe tau,
ceban tau, ban-ban tau, hoat chay, hoat chay. Artinya Satu buah,
delapan buah, sembilan buah, seratus buah, sepuluh ribu buah,
seratus juta buah, berkembanglah, berkembanglah. Maksud dari
ungkapan ini adalah supaya keluarga yang ditinggal oleh yang mati
memperoleh rezeki yang banyak. 45 Setelah teh ditabur di semua
bagian dasar peti mati maka jenazah siap dimasukkan ke dalam peti
mati.
Ketika jenazah dimasukkan ruang antara kepala dengan ujung
peti harus diatur agar lebih longgar, sedangkan bagian kaki boleh
lebih dekat ke peti, dan posisi kepala dan seluruh badan harus di
tengah, dalam arti jarak kiri dan kanan harus sama. Mengapa
demikian karena mengandung harapan supaya turunan tidak selalu
pikul berat, agak longgar. Hal ini sama juga dengan posisi masuk peti
ke dalam liang lahat nanti.
Selanjutnya sesuai tradisi beberapa baju-baju yang biasa
dipakai almarhum/ah., termasuk pakaian dalam dan baju tidur
ditaruh di kiri dan kanan peti, di samping karena tradisi sebenarnya
kegunaannya untuk mengganjal jenazah agar tidak bergeser ke kiri
dan kanan. Ikat pinggang, sepatu atau tas yang terbuat dari kulit
binatang tidak boleh dimasukkan ke dalam peti. Selain itu
perlengkapan mandi dan semua perlengkapan sehari-hari seperti
handuk, odol, kaca, sikat gigi, kaca mata, sisir dan lain-lain semuanya
dimasukkan ke dalam peti termasuk kosmetik (bagi perempuan),
semua adalah tradisi. Kaca dipecahkan sebelum dimasukkan ke
daalam peti dengan maksud supaya membantu arwah almarhum
dapat menyadari kondisinya bahwa sudah meninggal.
45 Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu,, h. 140. (dengan
sedikit modifikasi ejaan dan makna Bahasa Indonesianya oleh penulis).
111
Sementara itu peletakan tujuh butir mutiara kepada jenazah
walaupun tersebutkan dalam kitab Li Ji IIB.I:1.24 namun rohaniwan
di kota Manado menyatakan bahwa di sana ritual itu tidak
dibiasakan. Jadi tergantung keluarga, apabila keluarga almarhum
berasal dari kalangan sederhana maka tidak perlu mempersiapkan
mutiara untuk dipakaikan ke jenazah46. Upacara meletakkan tujuh
butir mutiara yang bersumber dari kitab Li Ji IIB.I:1.24 dilakukan
sebelum upacara ru mu/ jieb bok 入木 dilangsungkan. Satu butir di
mata kiri lalu 1 butir di mata kanan (untuk ayah), untuk ibu dimulai
dari kanan. satu butir di lubang kuping kiri lalu 1 butir lubang kuping
kanan (untuk ayah), untuk ibu dimulai dari kanan. Satu butir di
mulut. Satu butir di lubang hidung kiri dan 1 butir di lubang hidung
kanan (untuk ayah), untuk ibu dimulai dari kanan. Disamping kitab
Li Ji IIB.I:1.24, makna ritual ini mengacu pula dari ayat empat
pantangan yakni kitab Lun yu/Lun Gie 論語 XII:147.
Kemudian keluarga secara berurutan dari derajat paling tinggi
menyiramkan/menyemprotkan minyak wangi atau cologne ke
jenazah mulai dari kaki kanan ke badan (tidak boleh disemprot ke
wajah jenazah), memutari peti mati sampai ke ujung kaki sebelah
kiri, lalu diikuti oleh family dan kaum kerabat. Selanjutnya
memasukkan kertas perak (yin zhi, gin coa 陰紙 ) yang sudah
dibentuk mejadi seperti uang tail ke dalam peti, tetapi tidak boleh
menutupi muka jenazah, kertas perak (yin zhi, gin coa 陰紙) ditaruh
hanya sampai di dada saja. Setelah ini ada keluarga yang meminta
muka jenazah ditutup dengan kain, tetapi menurut Felix Tumewu
apabila anak-anak ada yang belum menikah sebaiknya muka jenazah
jangan ditutup dengan kain supaya hidupnya tidak tertutup,
46 Wawancara dengan Charles Tilung, Felix Tumewu dan Ronny Loho di
Manado. 47Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, SGSK: 36/2010 Edisi
Khusus, Tata Aturan Dewan Rohaniwan Agama Khonghucu Indonesia Beserta Berbagai Panduan Tata Upacara dan Kode Etik Rohaniwan (Solo: Matakin bagian Penerbitan, 2010), h. 65—66.
112
penghidupan selalu terbuka. Kalaupun anak-anak semua sudah
menikah tidak menutup wajah jenazah dengan kain juga tidak
masalah, itu semua agar kehidupan tidak tertutup, semua
keberkahan lancar untuk penghidupan keluarga
Menurut penulis memasukkan perlengkapan orang hidup ke
dalam peti mati (kecuali mutiara yang memang diatur dalam kitab Li
Ji IIB.I:1.24) tidak perlu karena orang yang telah meninggal sudah
tidak lagi memerlukan perlengkapan orang hidup. Adalah lebih
bermanfaat dipakai untuk orang yang masih hidup atau
disumbangkan saja. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi pada kitab
kesusilaan Li Ji, Nabi Kongzi bersabda: “Ai zai, kalau untuk orang
yang sudah meninggal dunia digunakan barang-barang untuk orang
yang masih hidup, karena itu mungkin mendorong orang benar-
benar mengubur makhluk hidup.” 48 Kebanyakan orang hanya
meneruskan tradisi yang ada tanpa mengetahui maksud dan arti dari
pelaksanaan tersebut. Di dalam kitab Mengzi tertulis, “Menjalankan
tetapi tidak mengerti maksudnya; berkebiasaan tetapi tidak mau
memeriksa, sepanjang hidup mengikuti tetapi tidak mengenal Jalan
Suci, begitulah kebanyakan orang.” 49 Namun tradisi memasukkan
barang-barang untuk orang hidup ke dalam peti mati ini tetap saja
dilakukan, di samping karena sudah menjadi kebiasaan turun
temurun juga karena kebanyakan umat merasa itu adalah
pernyataan rasa cinta keluarga duka kepada almahum/ah.
4.4. Sembahyang Ru Mu/ Jieb Bok 入木
Menurut Js. Charles Tilung sebelum sembahyang di hadapan
jenazah, Js. Charles (yang bertugas melayani perkabungan)
menyampaikan sedikit uraian pengantar sebelum memulai
persembahyangan. Kata pembukanya biasanya: “Marilah kita
memuji dan memuliakan Tuhan dalam suasana apapun baik suka
48Li Ji II B Bag. I/44, h. 94 49Mengzi: Jilid VII A.5, h. 710
113
maupun duka, seperti saat ini karena apa yang Tuhan buat itu ada
baik bagi kita umat manusia”. Kemudian umat diajak untuk
menyanyikan kidung pujian Mulialah Tuhan. Selanjutnya petugas
sembahyang yang terdiri dari seorang pemimpin sembahyang dan
dua orang pendamping bersembahyang dahulu ke meja altar
Malaikat Bumi/Fu De Zheng Shen. Pada meja altar Malaikat Bumi
disiapkan tempat xiang lu (hio lo 香爐) untuk menancapkan dupa,
sepasang lilin, tiga macam manisan, tiga macam kue dan mi gao (bi
ko 米糕). Petugas bersembahyang memakai tiga batang dupa merah,
memohon ijin kepada Tian (天) dan Malaikat Bumi untuk upacara ru
mu/ jieb bok 入木 agar dilancarkan 50 . Dupa ditancapkan dengan
tangan kiri dimulai dari tengah, kanan dan kiri di hadapan kita.
Selanjutnya petugas sembahyang menghadap meja altar
jenazah untuk memulai upacara sembahyang ru mu. Keluarga berdiri
di kiri dan kanan peti jenazah, sementara umat berdiri di belakang
pemimpin upacara. Pendamping kanan mengambil hio/dupa
sebanyak 8 batang (dalam upacara kematian, dupa yang digunakan
bias berjumlah dua atau kelipatannya). Delapan batang dupa
mengandung makna 8 kebajikan. Pendamping kanan menyerahkan
dupa kepada pimpinan upacara dan bersama menyanyikan kidung
rohani Wei De Dong Tian 惟德動天 selesai penaikan dupa lalu
diserahkan ke petugas pendamping kiri untuk ditancapkan ke hio lo
(xiang lu 香爐), dupa ditancapkan bersamaan sekaligus, penancapan
dupa dengan menggunakan tangan kiri.
Selanjutnya pembacaan surat doa ru mu/ jieb bok 入木, selama
pembacaan surat doa keluarga diminta untuk berlutut dengan badan
agak condong/mendekap ke lantai atau disebut sikap fu fu (hu hok 俯
伏 ), sedangkan umat mengikuti dengan posisi berdiri. Selesai
pembacaan surat doa kemudian diadakan penyempurnaan surat doa
50 Wawancara dengan Js. Charles Tilung tanggal 20 September 2018 pukul
12.00.
114
yang diiringi kidung Tian Bao/天保/Tuhan melindungi, pemimpin
upacara kemudian memandu keluarga untuk menghormat almarhun
dengan sujud er gui ba kou 二跪八叩 (artinya: dua kali berlutut dan
delapan kali menundukkan kepala sampai ke lantai). Selanjutnya
menyanyikan kidung Mulialah Tuhan, dan beberapa kidung lainnya
yang dilantunkan sebelum doa penutup. Upacara diakhiri dengan
jugong (kiok kiong 鞠 躬 ) atau menghormat dengan cara
membungkukkan badan sebanyak tiga kali ke arah jenazah.51
Upacara ru mu/ jieb bok 入木 dilaksanakan di rumah keluarga
berduka atau di rumah duka biasanya dipimpin oleh rohaniwan
agama Khonghucu. Rohaniwan yang memimpin upacara
sembahyang ini bisa saja seorang Jiaosheng 教生, Wenshi 文士 atau
seorang Xueshi 學師52.
Pemimpin upacara memakai jubah upacara yang disebut
changshan 長衫53.
Pada waktu mengunjungi orang kematian, tidak dikenakan pakaian dari kulit kambing hitam atau topi berwarna hitam. (Lun Yu/Lun Gie 論語 x:6,10.
Mengacu pada ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Nabi Kongzi
tidak menghendaki yang melayat memakai pakaian dari kulit apalagi
memasukkan benda dari kulit ke peti mati, karena dengan demikian
sama saja dengan membunuh mahluk hidup walau secara tidak
langsung.
4.5. Menutup Peti
Setelah itu peti akan ditutup dan peti dipaku/dibaut.
Pemakuan dilakukan oleh anak lelaki almarhum yang didahului
dengan pembacaan doa oleh rohaniwan. Urutan atau arah
51Wawancara dengan Js. Charles Tilung. 52Semua informan, wawancara tanggal 23 September 2018, Kongmiao Litang,
pukul 12.00 Wita. 53Changsan semacam jubah yang dipakai khusus oleh rohaniwan Khonghucu
ketika bertugas membawakan doa atau ber khotbah.
115
memakunya ada aturannya. Kalau yang meninggal perempuan maka
memakunya dimulai dari kepala kanan ke kaki kiri lalu ke kepala kiri
dan ke kaki kanan; untuk laki-laki dilakukan mulai dari kepala kiri.
Bacaan doa pemakuan peti bermaksud agar semua apa yang diatur
itu membawa kebaikan untuk keluarga anak, menantu dan cucu
buyut. Walaupun almarhum sudah berada di tempat lain kiranya
tetap dapat memberikan kebaikan dan melindungi semua
keturunannya. Demikian pula yang memimpin upacara memohon
maaf kepada almarhum apabila ada kesalahan, kekeliruan ataupun
kelalaian dalam pengaturan kiranya dimaafkan dan jangan
menimpakan kesalahan yang mengatur kepada semua anggota
keluarga karena mereka tidak tahu apa-apa, untuk itu biarlah
menjadi tanggung jawab pemimpin upacara (Felix) yang akan
diserahkan kepada Tu Di Gong (土地公) agar dikembalikan secara
sempurna.
Menurut Xs. T.M. Suharja dalam bukunya Ikhsan Tanggok,
dituturkan bahwa anak laki-laki tertua almarhum /ah.atau dituakan
dipersilahkan memegang palu oleh thokong, kemudian thokong
memegang tangan anak tersebut untuk memukul paku. Tiap paku
hanya dipukul satu kali sampai pada paku ke empat. Pada saat
hendak memukul paku pertama, thokong mengucapkan kata-kata
doa sebagai berikut : “it thiam teng, cu sun toa cut teng” mengandung
arti “semoga anak cucu memperoleh berkah”. Pukulan paku kedua
Thokong mengucapkan kata-kata, “ji thiam cay, cu sun toa hoat cay”,
maksudnya ialah “semoga anak cucu memperoleh kebahagiaan”.
Pukulan paku ketiga thokong mengucapkan kata-kata “sam thiam
kwie, su lian hu kwie”, maksudnya “semoga anak cucu yang ditinggal
selamat sentosa”. Apabila yang meninggal itu sudah mempunyai cucu
dan buyut, dapat ditambah satu paku lagi yang ukurannya lebih
pendek, kemudian paku dipukul dan thokong mengucapkan kata-
kata “cu teng thiam, cu sun kwie song coan” yang artinya, “paku cucu
telah dipukulkan dan semoga anak cucu memperoleh rezeki yang
berlimpah”. Tapi apabila yang meninggal tersebut belum menikah,
116
maka kata-kata pengiring untuk pemukulan paku yang terakhir tidak
diucapkan, karena yang meninggal belum mempunyai keturunan.
Tapi pemukulan paku yang pertama hendaklah diucapkan kata-kata
“cu hay cie lee” artinya “membuang ari-ari di tengah laut”. Setelah
pemukulan paku dilakukan, maka thokong segera mengeraskan
pemukulan paku tersebut dengan cara sik-sak atau silang, yaitu kiri
atas kanan bawah, kanan atas kiri bawah dan seterusnya. Maksudnya
supaya tutup peti turun berbarengan dan tidak melintir.54
Perihal ritual pemakuan pada peti mati oleh Xs. T.M. Suhardja
ini ternyata sama dengan yang dilakukan di Manado, demikian
menurut Felix Tumewu maupun Ronny Loho, hanya Charles Tilung
mengucapkannya dalam bahasa Indonesia saja. Di akhir sembahyang
meminta kepada Tu Di Gong (土地公) agar meluruskan apa yang
kurang dan keliru dan minta tolong untuk menyempurnakan apa
yang dilaksanakan ini agar direstui oleh Tian (天).55Pada saat peti
akan ditutup dan dipaku keluarga membelakangi peti, atau
menundukkan kepala tidak melihat proses penutupan peti atau
pemakuan, maksudnya karena pada saat itu keluarga berada dalam
puncak kesedihan takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun
dalam beberapa kasus anak tertua almarhum tetap diminta oleh
Thokong untuk melakukan pukulan pertama pada pemakuan peti.
C. Upacara Men Sang/Moy Song 門喪
1. Pengertian
Sebutan moy song diambil dari dialek Hokkian, “moi 門” yang
artinya “pintu” dan “song 喪” adalah “duka”. Jadi “moi song” artinya
adalah “pintu duka”. upacara ini lebih dikenal dengan “upacara
malam menjelang pemberangkatan jenazah”.56
54Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h. 147. 55Felix Tumewu, wawancara tanggal 24 September 2018 di Pekuburan Paal 2
Manado. 56Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu, h. 8.
117
2. Pelaksanaan
Upacara men sang/moy song 門喪 biasanya dilaksanakan di
rumah keluarga berduka pada malam hari, semua keluarga maupun
kerabat berkumpul karena merupakan upacara penghormatan pada
malam terakhir. Biasanya sudah ada hiasan bunga di dinding
maupun di sekitar peti jenazah dengan desain dari toko bunga.
Banyak juga kiriman bunga papan tanda duka cita memenuhi
ruangan, halaman rumah dan bahkan sampai ke halaman tetangga
saking banyaknya ucapan bela sungkawa.
Pada Upacara men sang/moy song 門喪 tidak menyertakan
thokong, semua persembahyangan dilaksanakan oleh pengurus
Makin Manado. Biasanya acara dimulai pukul tujuh atau delapan
malam. Sebelumnya sudah banyak yang berkumpul. Acara dipimpin
oleh seorang MC, dan MC mempersilahkan keluarga dekat untuk
berdiri di samping kiri dan kanan jenazah, sebelah kiri jenazah yang
pria dan kanan jenazah yang wanita sementara umat berdiri di
belakang pemimpin upacara. Upacara dimulai dari menyanyikan
kidung rohani Mulialah Tuhan, selanjutnya petugas sembahyang
yang terdiri dari seorang pemimpin sembahyang dan dua orang
pendamping bersembahyang dahulu ke meja altar Malaikat Bumi/Fu
De Zheng Shen. Petugas bersembahyang memakai tiga batang dupa
merah, memohon rida kepada Tian (天) dan Malaikat Bumi untuk
supaya upacara men sang dilancarkan, kemudian menyanyikan lagu
rohani lain, selanjutnya upacara pembacaan surat doa men sang
(anak-anak almarhum berlutut selama pembacaan surat doa),
penyempurnaan surat doa diiringi kidung Tian Bao 天保 atau Tuhan
Melindungi, kemudian keluarga berduka (terutama anak-anak)
melakukan sujud er gui ba kou 二跪八叩 yang dipandu oleh
pemimpin upacara. Selanjutnya menyanyikan kidung Bundaku (atau
Ayahku, tergantung siapa yang meninggal, laki laki atau perempuan,
jika sudah berkeluarga).
118
3. Peletakan Pataka
Apabila yang meninggal seorang rohaniwan senior atau
rohaniwan yang telah berjasa bagi lembaga keagamaan Khonghucu,
maka sebelum upacara men sang dimulai, dengan diselingi beberapa
kidung pujian diadakan penghormatan peletakkan bendera pataka di
atas peti mati. Bendera diusung oleh delapan orang, kalau ruangan
sempit enam orang (rohaniwan atau pemimpin Makin setempat)
dengan posisi delapan atau enam orang berdiri dengan posisi empat
di kiri dan empat di kanan, kalau 6 orang berdiri tiga di kiri dan tiga
di kanan berjalan dari depan pintu kearah peti, sesampai di depan
peti mati mengangkat tinggi pataka kemudian diletakkan di atas peti.
Pataka ini nanti akan diangkat/dilepaskan pada saat peti mati mau
diturunkan ke dalam liang lahat.57
Bendera pataka merupakan panji-panji Matakin yang awalnya
dibuat oleh tokoh rohaniwan untuk simbol penghargaan kepada
agamawan Khonghucu baik rohaniwan maupun tokoh umat yang
berjasa dalam pengabdian sepanjang hidup terhadap lembaga
keagamaan Khonghucu serta pengabdian kepada Tian (天 ), Nabi
Kongzi, Agama Khonghucu dan sesama umat. Pemberian pataka
sebagai penghormatan kepada rohaniwan atau umat yang berjasa
merupakan budaya tradisi masyarakat di Indonesia. Hal itu sudah
menjadi tradisi leluhur umat Khonghucu yang masih banyak
dilaksanakan58. Dalam hal pemberian pataka tidak semua rohaniwan
yang mendapatkan penghormatan semacam itu, dan ada juga yang
bukan rohaniwan mendapatkan penghormatan semacam itu,
masing-masing ada penilaian tertentu. Penilaian tergantung jejak
karirnya, karakter, dedikasi, perjuangan dalam pengabdian melayani
umat dan lembaga agama.59
57Wawancara dengan Js. Pon Riano Baggy Ketua Matakin Provinsi Sulawesi
Utara. 58Wawancara dengan Xs. Buanadjaja Bingsidartanto, Jakarta, 05 Nopember
2018 pukul 11.42. 59Wawancara dengan Xs. Djaengrana Ongawijaya, Jakarta 06 Nopember 2018.
119
Dalam Kitab Li Ji/Lee Ki 禮記 tertulis: dalam mengajarkan
agama, tidak perlu meninggalkan adat tradisi yang merupakan
kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Ru Jiao 儒教.
4. Lain-lain
Acara men sang/moy song 門喪 yang di kota Manado biasanya
disebut sebagai ibadah malam penghiburan, biasanya pihak keluarga
berduka mempersiapkan bubur ayam dan berbagai macam kue
untuk tamu-tamu yang datang melayat. Adakalanya juga dari pihak
keluarga atau kenalan dekat datang membawa kue-kue sebagai
tanda simpati. Pada meja dekat pintu masuk biasanya juga ada
tempat sumbangan dan buku tamu. Beberapa informan mengatakan
sumbangan suka rela dari pelayat digunakan untuk biaya
pemakaman almarhum sementara yang lain mengatakan bahwa
sumbangan yang masuk disumbangkan kepada Majelis dan Yayasan
Sosial lainnya.60
D. Upacara Song Zang/Sang Cong 送葬
1. Pengertian
Sebutan song zang/sang cong 送葬 diambil dari dialek
Hokkian, “sang 送 ” artinya “mengantar” dan “cong 葬 ” artinya
“mengubur” bisa juga berarti mengremasi. 61 Jadi song zang/sang
cong 送葬 adalah upacara pemberangkatan atau pelepasan jenazah
dari rumah almarhum atau rumah duka ke tempat
pemakaman/krematorium. Keluarga wajib memohon restu atau
perkenan kembali kepada almarhum agar berkenan diberangkatkan
dari rumah duka, dan memohon kepada Tian (天) dengan bimbingan
Nabi Kongzi dan Malaikat Bumi agar arwah almarhum dapat
60 Wawancara dengan Marchanti Tilung, Anita Tangkunei, Clara Tangkunei,
Inggrid Wong, Angelique Rapar, Kevin Togelang, Vincent Tungka, Winslow Tjiptadi, Rivaldo Tungka, Juan Kwong.
61Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu, h.9.
120
bersemayam di haribaan Tian ( 天 ) dalam kedamaian dan
keabadian62.
Ayat suci yang sangat relevan dengan upacara
persembahyangan ini terdapat dalam kitab Meng Zi/Bing Cu IVB:13,
yang berbunyi: “Memelihara masa hidup (orangtua), itu belum
cukup dinamai pekerjaan besar. Hanya segenap (pengabdian) untuk
mengantar kewafatannya, barulah dapat dinamai pekerjaan besar.”
2. Pelaksanaan
Acara yang dibawakan oleh MC mengikut-sertakan partisipasi
umat-umat dari agama lain atau perkumpulan lain. Inilah hebatnya
kota Manado, menerima berbagai perbedaan yang ada, toleransi
antar umat beragama terlihat begitu kental di kota Manado yang
dapat diliat dari susunan acara ibadah menurut Js. Charles Tilung,
sebagai berikut :
a. Doa pembukaan ibadah.
b. Pembacaan susunan acara duka.
c. Pembacaan riwayat hidup almarhum.
d. Sambutan dari Majelis Agama Khonghucu Indonesia
(MAKIN) Manado.
e. Sambutan dari pemerintah setempat, dalam hal ini akan
disampaikan oleh ....
f. Sambutan atau penghiburan dari ...... (berbagai agama
non Khonghucu).
g. Sembahyang di meja altar Malaikat Bumi/Fu De Zheng
Shen, memohon rida kepada Tian (天) dan Malaikat Bumi
untuk supaya upacara song zang dilancarkan
h. Upacara sembahyang song zang / pemberangkatan
jenazah dari Makin Manado, seperti upacara sembahyang
sebelumnya anak-anak waktu pembacaan doa berlutut
62Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan berkabung, h. 68.
121
gui 跪 lalu berposisi fu fu 俯伏, dan selesai doa melakukan
sujud er gui ba kou 二跪八叩.
i. Upacara sembahyang keluarga dipimpin oleh thokong.
j. Ucapan terima kasih dari keluarga.63
Selesai itu jenazah siap diberangkatkan. Anak tertua
memegang foto almarhum dan tempat dupa, dimasukkan jadi satu di
wadah/baki, bisa juga dari dus aqua di alas dengan kain merah.
Kemudian sebagian keluarga inti masuk ke mobil jenazah sementara
yang lain mengikuti dengan mobil yang lain. Disiapkan dua atau tiga
truk untuk mengangkut kembang papan pemberian dari pelayat
untuk dibawa ke pekuburan. Biasanya kalau yang meninggal orang
yang mempunyai kedudukan atau cukup terpandang orang lebih
suka memberi kembang duka cita dibanding bai bao/peh pao 白包
amplop yang berisi uang tanda duka cita.
Pada saat sebelum mobil jenazah diberangkatkan semangka
dibanting ke lantai sampai pecah oleh keluarga atau bisa juga
diwakili oleh petugas sembahyang (rohaniwan/thokong).
Setelah jenazah diberangkatkan ke pemakaman begitu
keluar rumah, lantai rumah langsung disapu dari arah dalam keluar
rumah sebanyak tiga kali dan rumah segera ditutup. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi hal-hal yang kurang baik agar segera tersapu
keluar, menurut orang Manado hal ini adalah kias untuk “buang
sial”.64
E. Upacara Ru Kong/Jieb Gong 入空
1. Pengertian
Sebutan jieb gong juga dari dialek Hokkian, “jieb 入” artinya
“masuk” dan “gong (空 atau khong)” artinya “lubang”. Jadi ru
kong/jieb gong 入空 berarti “masuk lubang” atau dengan kata lain
63Wawancara dengan Js. Charles Tilung. 64Penjelasan dari Js. Ritta Lontoh.
122
“memakamkan jenazah ke liang lahat” 65 . Tentu kremasi dapat
dikategorikan sebagai upacara ru kong.
2. Pelaksanaan
Sebelum peti jenazah diturunkan ke liang lahat apabila di atas
peti ada bendera pataka dari Majelis Agama Khonghucu maka
bendera tersebut harus diangkat/dilepaskan. Setelah itu pengurus
jenazah / thokong meletakkan 4 keping uang logam dengan posisi
iem – yang di dalam lubang kubur sesuai dengan posisi empat sudut
peti jenazah seolah-olah merupakan alas peti jenazah. Empat keping
uang logam tersebut masing-masing diletakkan di atas kertas perak.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa uang tersebut merupakan
simbol pemurah rejeki atau merupakan proses memperlancar bagi
perjalanan roh atau arwah orang yang mati di akhirat nanti.66
Sebelum peti jenazah diturunkan ke dalam liang lahat,
pemimpin upacara (rohaniwan) yang ditugaskan oleh Makin
melakukan sembahyang ke altar Malaikat Bumi/Fu De Zheng Shen
terlebih dahulu (baik itu altar permanen jika di kuburan sudah ada,
ataupun di atas tanah jika makam itu adalah baru). Petugas
bersembahyang memakai tiga batang dupa merah, memohon ijin
kepada Tian (天) dan Malaikat Bumi untuk upacara ru kong.
Setelah itu dilakukan upacara utama sembahyang ru kong,
dengan penaikkan dupa sebanyak 8 batang dengan ding li (ting lee 頂
禮 ) sebanyak dua kali lalu ditancapkan di tanah kemudian
membacakan surat doa ru kong/jieb gong 入, membakar surat doa
kemudian peti dimasukkan ke dalam liang lahat. Pemimpin upacara
lalu memberi aba-aba untuk memberi hormat dengan jugong/kiok
kiong 鞠躬 sebanyak dua kali
Selanjutnya peti jenazah dimasukan ke dalam liang lahat. Peti
diatur sedemikian sehingga di dalam liang lahat posisi bagian kaki
65Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu, h.11. 66Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu, h. 12—13.
123
lebih dekat ke bagian dinding tanah dan bagian kepala lebih berjarak. 67. Akhirnya liang lahat ditimbun tanah, namun sebelum di timbun,
keluarga dan kerabat melemparkan tanah ke dalam liang lahat
sebagai pertanda dari tanah kembali ke tanah. Demikian juga jika
keluarga membawa tongkat upacara tong zhang (tang teng, 桐杖)
maka tong zhang itu dimasukkan oleh putra-putra almarhum ke
dalam liang lahat.
Penjelasan berikut ini adalah sembahyang yang dilakukan oleh
keluarga dipandu Thokong jika tidak ada rohaniwan dari Makin
sebagaimana penjelasan sebelumnya. Pihak keluarga dipimpin oleh
pengurus jenazah/Thokong menyediakan dua batang lilin, sajian
makanan, minuman, mi gao (bi ko 米糕) dan sedikit kue lain serta
buah sekedarnya. Di samping kiri makam68 disediakan dua batang
lilin, ciu thee liau 酒茶料69 untuk sembahyang penghormatan kepada
malaikat bumi. Terkadang ada yang memakai san sheng/sam seng 三
牲 70 , baik di depan kubur maupun dalam sembahyang kepada
Malaikat Bumi. Upacara dimulai dengan menaikkan tiga batang dupa
sebanyak tiga kali ding li (ting lee 頂禮) Kehadirat Tian (天) Yang
Maha Kuasa dan kepada Malaikat Bumi oleh pengurus jenazah,
67Sesuai dengan penjelasan dari Felix Tumewu . 68Posisi sajian di sisi kiri makam ini diatur dalam Li Ji / Lee Ki IIB.I:1.36 hal. 92
yang berbunyi: “…untuk keperluan menyampaikan sajian di kiri makam (untuk Malaikat Bumi)”
69Persembahan tiga mangkok kecil arak dan tiga mangkok arak teh serta tiga macam manisan.
70 Dijelaskan dalam KIK Khonghucu sān shēng (三牲 ) bermakna tiga jenis
hewan kurban atau daging hewan yang dipakai dalam persembahyangan kepada para roh suci atau leluhur, pada zaman dahulu misalnya terdiri atas lembu, kambing, dan babi (yang disebut juga dàláo), tetapi pada zaman sekarang terdiri atas ikan bandeng, babi dan ayam yang direbus/dikukus; ketiga jenis hewan yang disebut terakhir menyiratkan tiga alam kehidupan (daratan, lautan dan udara); Lihat Tanuwibowo, Tjhie dkk., Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu, dalam Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu), selanjutnya akan disingkat KIK Khonghucu, Cet-1. ISBN 978-602-8766-97-5. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2014), h. 566--567.
124
berdoa dan sesudah dupa ditancapkan di tanah dilanjutkan dengan
membakar kertas emas (jin zhi/kim coa 金紙) lalu menuangkan air
teh dan arak. Di depan kuburan dari orang yang baru meninggal,
anggota keluarga yang ditinggalkan dan family dekat menaikkan
dupa masing-masing sebanyak dua batang, berdoa dan sesudah
dupa ditancapkan di tanah lalu membakar kertas perak, kertas uang,
kertas pakaian dan sedikit makanan serta migao (bi ko 米糕) lalu
menuangkan air teh, arak dan minuman lainnya.
Pemakaian arak tidak berlebihan, sesuai dengan kebiasaan di
negara Tiongkok bahwasanya terdapat musim dingin, dengan
meminum sedikit arak dapat menghangatkan tubuh. Sesudah itu
keluarga berjalan mengelilingi kuburan; anggota keluarga paling tua
dari orang yang meninggal berjalan di depan dengan menarik sebuah
cabang pohon jarak (balacai) 71 diikuti anggota keluarga lainnya
tanpa membawa cabang pohon jarak dan setelah mengelilingi
sebanyak tiga kali, cabang jarak dilepaskan kemudian semua
langsung kembali ke rumah dengan tidak menoleh kebelakang atau
ke kuburan.
Perlengkapan sembahyang dibenahi oleh pengurus jenazah.
Apabila keluarga mau membuat altar sembahyang leluhur di rumah
maka harus diambil sedikit tanah dari kuburan tersebut untuk
dicampur dengan abu dari tempat dupa (xiang lu/hio lo 香爐) yang
akan dipakai di altar leluhur. Menghela cabang pohon jarak dan
berjalan mengelilingi kubur adalah pengikraran ikatan persaudaraan
dalam lingkungan kekeluargaan dari keluarga yang baru
ditinggalkan oleh orang yang meninggal.72
“….. Setelah dimakamkan, disajikan (dipersembahkan – pen.)
makanan (untuk upacara penyemayaman itu). Orang yang mati itu
tidak ikut makan, tetapi dari zaman yang paling kuno hingga
72Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu, h. 13.
125
sekarang hal itu tidak memberontak (dari kematian). Maka
kecamanmu terhadap kesusilaan itu, sesungguhnya adalah kajian
yang tidak susila!” (Lee Ki IIB.II.8 hal. 98)’. Dari ayat tersebut dapat
disimpulkan bahwa persembahan sajian bagi leluhur bukan untuk
memberi mereka makan, melainkan merupakan sebuah bentuk atau
lambang laku bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Kasih
sayang yang diterima sepanjang hidup tidak dapat terbalas, sebagai
ungkapan laku bakti seorang anak maka wajar apabila pada
persembahyangan tersedia sajian di altar leluhur.
3. Wu Gu/ Ngo Kok 五穀
Sa wu gu (撒五穀) atau Sat ngo kok dalam dialek Hokkian,
artinya menebar lima jenis biji-bijian palawija (five grains). Sa/sat 撒
artinya menebar atau menabur, wu/ngo 五 artinya lima, dan gu/kok
轂 artinya biji-bijian palawija. Biji-bijian ini terdiri dari gabah,
kedelai kuning, kacang hijau, kacang merah, dan kedelai hitam.
Apabila kedelai hitam tidak ada bisa diganti dengan jagung. Bila
dalam keadaan terpaksa biji-bijian tidak cukup lima macam,
meskipun terdiri dari tiga macam saja, tetap disebut wu gu/ngo kok.
Ritual menebar lima macam biji-bijian palawija ini dilakukan
sesudah sembahyang Ru Kong.73
Melaksanakan sebar wu gu ini adalah ritual tradisi yang
darinya diharapkan akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan
bagi seluruh anggota keluarga, baik itu anak, cucu, buyut dan
menantu yang ditinggalkan almarhum/almarhumah. Disamping lima
jenis biji-bijian, juga ditambahkan uang logam yang kesemuanya
kemudian diletakkan bersama-sama dalam suatu wadah. Lima
macam biji-bijian palawija dan uang logam tersebut ditebar oleh
pemimpin upacara. Sebagian wu gu yang ditebar itu akan terambil
73Yugi Yunardi, Pesan Moral Upacara Perkabungan dalam Agama Khonghucu,
Studi Kasus di Makin Cimanggis Depok, (Jakarta: Matakin Bagian Penerbitan, 2018), h. 62.
126
oleh anak, cucu, buyut dengan cara menadahkan bagian ujung
pakaian berkabungnya. Untuk yang perempuan, dapat pula
menggunakan kain tutup kepalanya.
Terkait penebaran wu gu, Ws. Vekky Lin seorang rohaniwan
Khonghucu di DKI Jakarta mengatakan bahwa palawija (wu gu)
berasal dari bumi, bumi adalah ciptaan Tuhan untuk mendukung
kehidupan berbagai mahluk lain yang juga ciptaan Tuhan, termasuk
manusia. Jadi, manusia hidup dan tumbuh-berkembang didukung
oleh produk bumi yakni wu gu, maka dari itu manusia harus
senantiasa ingat kepada Tian dan juga kepada bumi ini. Dari sana
juga manusia diingatkan agar perlu selalu mengenang dan berterima
kasih kepada leluhur yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Doa yang dipanjatkan saat menebarkan wu gu antara lain
berisi pengakuan akan kemahakuasaan Tuhan sebagai sumber atau
pencipta alam semesta termasuk bumi dan manusia. Juga berisi
harapan agar para anak, cucu, buyut dan menantu tercukupkan
sandang pangan, hidup mulia terpandang, berbahagia, selalu dalam
keharmonisan, kerukunan dan persatuan. Secara umum doa itu
adalah simbol harapan agar kehidupan para anak, cucu, buyut dan
menantu senantiasa selamat, maju-berkembang, disertai selalu ingat
kepada Tuhan dan bumi, dan juga ingat akan jasa para leluhur yang
telah mendahului.74
Ritual sebar wu gu ini tidak dilaksanakan oleh semua umat
Khonghucu, karena memang belum diatur dalam buku Tata Agama
dan Tata Laksuna Upacara Agama Khonghucu. Bagi yang
melaksanakan kebanyakan mengikuti atau berdasarkan tradisi yang
sudah berlangsung secara turun temurun.
74Wawancara dengan Ws. Vekky Mongkareng, tanggal 17 Desember 2018 di
Kelurahan Kembangan Jakarta Barat, yakni di tempat kediamannya, pkl. 19.00.
127
F. Upacara Qi Fu/Ki Hok 祈復 (atau Fan Zhuo/Peng Tuh 反桌)
1. Pengertian
Sebutan ki hok 祈復 diambil dari bahasa Hokkian yang terdiri
dari dua aksara: “ki 祈” dan “hok 復”. Ki 祈” artinya “sembahyang”
dan “hok 復” artinya ”balik” atau “pulang”. Qi fu/ki hok 祈復 juga
disebut fan zhuo/peng tuh 反桌 . Secara etimologi “fan (peng 反)
berarti “balik atau membalik” dan “zhuo (tuh 桌)” artinya “meja”.
Demikian juga menurut Hanny Kilapong dalam bukunya “Upacara
Kematian” yang menjelaskan bahwa ki hok itu memiliki makna
“sembahyang sesudah balik atau pulang dari pemakaman”
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan upacara qi fu/ki hok 祈復 ini adalah sebagai berikut:
1. Pihak keluarga yang melakukan sembahyang terlebih dahulu
menyulut dan menaikkan dupa, kemudian minta ijin kepada Tian
( 天 ) dan roh leluhur yang telah meninggal dunia untuk
melaksanakan upacara qi fu/ki hok 祈復.
2. Kemudian keluarga melakukan sembahyang di depan altar abu
leluhur. Sembahyang ini dilakukan dengan penaikan dupa dan
diikuti dengan pembacaan doa.
3. Setelah sembahyang selesai, pihak keluarga segera membalikkan
meja-meja yang telah digunakan dalam penguburan jenazah.
Setelah itu upacara qi fu/ki hok 祈復 dianggap selesai.75
Maksud membalik meja yang dilakukan di dalam upacara qi
fu/ki hok 祈復 adalah untuk mengurangi beban tanggung jawab
keluarga yang ditinggalkan oleh almarhum. Tanggung jawab
keluarga dalam hal merawat atau mengurus kematian dianggap
berkurang dengan selesainya upacara ini. Kemudian proses
pembalikan meja – meja sembahyang yang digunakan saat
pemakaman, merupakan simbol-simbol dalam upacara qi fu/ki hok
75Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h.162—163.
128
祈復 yang dapat diinterpretasikan oleh setiap orang sesuai dengan
kepentingan masing-masing.76
Sembahyang qi fu/ki hok 祈復 menurut Felix Tumewu ibarat
arwah mau menyeberang dari dunia sekarang ke dunia berikutnya.
Sebelum sembahyang qi fu/ki hok 祈復, keluarga yang berduka pergi
ke sungai untuk mandi dan keramas. Baju berkabung dihanyutkan ke
sungai, tetapi sebagian hanya mencucinya dan bawa pulang untuk
diberikan kepada orang lain. 77
Menurut Ws. Hanny Kilapong dalam bukunya “Upacara
Kematian” dijelaskan: sekembalinya dari kuburan sebelum masuk
rumah, semua anggota keluarga yang balik dari kuburan harus cuci
muka dan melewati api di depan rumah baru boleh masuk ke dalam
rumah. Kemudian keluarga menyediakan meja sembahyang dengan
sebuah hio lo dan 2 buah tempat lilin, disiapkan juga sebuah kursi
dan sepasang pakaian dari orang yang baru meninggal bersama
fotonya yang tadi dibawa ke kuburan dan tempat pembakaran kertas
perak. Di Sulawesi Utara upacara qi fu/ki hok 祈復 ini biasanya
dilaksanakan oleh pihak keluarga dengan bantuan pengurus jenazah
atau oleh Makin atau pengurus kebaktian setempat. Di meja
sembahyang ini nanti akan disajikan makanan dan minuman sesuai
kebiasaan dari orang yang meninggal seperti yang bersangkutan
masih hidup yaitu; sebagai sarapan pagi, makan siang, minum teh
atau kopi di sore hari serta makan malam. Setiap kali
mempersembahkan makanan dan minuman selalu diawali dengan
membakar dupa sebanyak 2 batang dan melakukan bai (pai 拜 )
sebanyak 2 kali. Sembahyang ini selalu ditutup dengan membakar
kertas perak dan kemudian makanan serta minuman diangkat dari
76Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h. 163. 77Wawancara dengan Felix Tumewu di pekuburan Paal 2 Manado, tanggal 24
September 2018 pukul 14.24 Wita.
129
meja sembahyang. Upacara ini dilaksanakan setiap hari sampai pagi
hari di hari yang ketujuh.78
G. Upacara Tiga Hari (Zuo San, Coo Sha 做三)
1. Pengertian
Upacara “Tiga Hari” dihitung sejak hari pemakaman.
Adakalanya upacara ini sudah tidak dilakukan lagi karena tujuannya
hanya untuk memberitahukan kepada roh orang yang meninggal
bahwa akan diadakan upacara “Tujuh Hari” atau yang dikenal dengan
istilah “Menghabiskan Hari” dan biasanya hal ini sudah disampaikan
dalam doa keluarga ketika menutup upacara pemakaman. Yang
dimaksud dengan “Menghabiskan Hari” ialah menghabiskan hari-
hari duka cita, membereskan meja upacara dan melepaskan pakaian
berduka/berkabung.79
2. Pelaksanaan
Kalau upacara “Tiga Hari” ini akan dilaksanakan, maka pada
pagi hari sebelum matahari terbit, keluarga yang ditinggalkan (boleh
didampingi rohaniwan jika keluarga meminta) membawa air teh
atau kopi dan beberapa buah kue dan bersembahyang di depan
kuburan. Lebih dahulu menaikkan dupa sebanyak tiga batang dengan
ding li/ting lee 頂禮 tiga kali ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dan
kepada Malaikat Bumi, sesudah itu baru menaikkan dupa 2 batang
untuk roh dari orang yang meninggal dan memberitahu akan
diadakan sembahyang “Tiga Hari”.
H. Upacara Tujuh Hari (Zuo Qi, Coo Chiet 做七)
1. Pengertian
Upacara “Tujuh Hari” dilakukan menjelang tengah hari, meja
sembahyang yang disediakan sama seperti song zang/sang cong 送
78Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu, h. 13—14. 79Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu, h. 14.
130
葬 dilengkapi dengan kursi dan sepasang pakaian serta foto yang
dipakai pada upacara qi fu/ki hok 祈復 . Upacara ini adalah upacara
keluarga, namun boleh dipimpin oleh rohaniwan maupun oleh
pengurus jenazah. Semua anggota keluarga masih memakai pakaian
duka/berkabung lengkap dengan ikat kepala dan kerudung.
2. Pelaksanaan
Diawali dengan menaikkan dupa tiga batang, ding li/ting lee 頂
禮 tiga kali kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan kepada Malaikat
Bumi. Upacara ini bermasud menggenapkan upacara
penyempurnaan mengantar roh orang yang meninggal kembali ke
alamnya yang abadi, keharibaan kebajikan Tuhan, dan memohon
agar kepada keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan
bimbingan oleh Tuhan supaya mampu menjalankan tugas kewajiban
selanjutnya.80
Sesudah itu menaikkan dupa dua batang, ding li/ting lee 頂禮
dua kali di depan meja sembahyang untuk roh dari orang yang
meninggal. Doa yang disampaikan adalah hormat dan pernyataan
kasih serta tekad untuk melanjutkan suri teladan yang baik.
Mendoakan agar rohnya mendapat tempat yang damai tenteram di
alamnya yang baka. Anak-anak dan cucu-cucu biasanya menyatakan
semangat bakti yang tidak akan melupakan harapan dan cita-cita
luhur dari orangtuanya kalau yang meninggal adalah ayah atau ibu
ataupun kakek atau nenek mereka. Setelah dupa ditancap di xiang
lu/hio lo 香爐 anak-anak melanjutkan penghormatan dengan kui
sebanyak 4 kali. Upacara ditutup dengan membakar kertas emas (jin
zhi/kim coa 金紙) untuk Malaikat Bumi, menuangkan air, teh dan
arak. Kemudian membakar kertas perak, kertas uang, kertas pakaian,
sedikit makanan dan mi gao (bi ko 米糕) lalu menuangkan air teh
atau minuman lainnya untuk roh dari orang yang meninggal. Bila ada
80Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu, h. 14--15.
131
pakaian atau barang kesayangan dari orang yang meninggal yang
lupa dimasukkan ke peti pada saat ru mu/jieb bok 入木, kini boleh
dibakar bersama dengan kertas perak, uang, pakaian atau boleh juga
cukup diasapi di atas pembakaran ini dan selanjutnya dapat
diberikan kepada siapa saja yang mau memakainya81.
Keluarga kemudian melakukan mandi keramas di sungai
bersama pakaian duka/berkabung. Mandi di sungai dan keramas, hal
ini merupakan tradisi setempat masyarakat Minahasa yang berada di
kota Manado. Setelah mandi keramas keluarga berduka mengganti
pakaian dengan “Pakaian Mengasih” yang berwarna putih dipadu
dengan warna gelap kehitam-hitaman, lalu kembali ke rumah.
Sebelum turun ke sungai, pengurus jenazah menaikkan dupa tiga
batang memohon berkenan Malaikat Bumi untuk acara mandi
keramas ini, lalu ia melempar 2 keping uang logam ke dalam sungai
dan membakar “kertas emas (jin zhi/kim coa 金紙)” di pinggir kali.
Ritual ini dinamakan “buang sial”.
Upacara mandi di sungai merupakan budaya Minahasa,
meskipun demikian pengaruh budaya Minahasa dalam upacara
perkabungan agama Khonghucu membuat upacara perkabungan ini
memiliki corak yang berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Adanya percampuran budaya Tionghoa dan Minahasa dalam upacara
perkabungan dapat diterima orang Tionghoa tanpa adanya konflik.
Akan tetapi upacara seperti ini hanya merupakan budaya saja
karena di Kitab Suci tidak terdapat upacara “buang sial”. Sekarang
acara mandi di sungai sudah jarang kelihatan karena banyak yang
melakukan acara ini di rumah dari orang yang meninggal setelah
sebelumnya pengurus jenazah atau pemimpin agama/rohaniwan
berdoa memohon berkat pada segelas air dan dicampur dengan air
di kamar mandi. Perihal mandi keramas ini tidak ada dalam ajaran
agama, melainkan merupakan suatu tradisi di Minahasa yang
kemudian menyatu dengan budaya orang Tionghoa di Manado dan
81Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu, h.15.
132
sekitarnya. Karena bukan merupakan ajaran agama maka tidak wajib
dilakukan.
Pada sore hari dilaksanakan ibadah oleh Makin atas
permintaan keluarga. Disediakan altar untuk Nabi Khongcu dengan
foto atau arca Nabi Kongzi, xiang lu/hio lo 香爐, tempat lilin sepasang,
segelas air teh dan segelas air putih sebagai lambang yin/iem dan
yang/yang 陰陽. Tempat pembakaran surat doa, tiga cangkir air teh
dan tiga piring kecil berisi manisan (cha liao/thee liau 茶料), kitab Si
Shu/Su Si 四書 dan surat doa. Disamping altar Nabi Kongzi ada
sebuah meja dimana terdapat foto dari orang yang meninggal,
tempat dupa, sepasang lilin, segelas air teh atau kopi dengan satu
atau beberapa kue.
Semua yang hadir berdiri, upacara dimulai dengan menaikkan
dupa tiga batang, ding li/ting lee 頂禮 tiga kali kehadirat Tuhan Yang
Maha Besar dan kehadapan Nabi Khongcu oleh Rohaniwan atau
Pemimpin Kebaktian dan 2 batang dupa dinaikkan oleh salah satu
anggota keluarga untuk roh orang yang meninggal. Penaikan dupa
diiringi lagu Wei De Dong Tian 惟德動天 setelah itu dupa ditancap,
berdoa kemudian memberi hormat tiga kali dengan ju gong/kiok
kiong 鞠躬 dan sesudahnya semua yang hadir duduk kembali.
Dilanjutkan dengan nyanyian rohani, khotbah, nyanyian rohani
setelah itu semua yg hadir berdiri mengikuti pembacaan dan
pembakaran surat doa diiringi nyanyian puja Tian Bao (Thian Poo 天
保, ju gong/kiok kiong 鞠躬 tiga kali.
Di hari ketujuh biasanya keluarga melaksanakan santap kasih
dengan mengundang sanak keluarga, handai taulan dan teman-
teman. Biasanya dilaksanakan siang hari atau malam hari sesudah
ibadah.
Sebagai catatan apabila orang yang meninggal masih muda
biasanya hanya dilakukan sampai upacara Tujuh Hari saja.
Sedangkan kalau yang meninggal bayi atau anak-anak tidak diadakan
upacara Tujuh Hari, melainkan hanya dilakukan ziarah ke kuburan
133
pada hari ke tiga dengan membawa sedikit makanan dan minuman
yang lazim diperlukan oleh kanak-kanak atau bayi. Dan tidak ada
acara berjalan mengelilingi kuburan.82
I. Upacara Xiao Xiang/Siau Siang 小祥
1. Pengertian
Sebutan siau siang diambil dari dialek Hokkian, secara
etimologi “siau 小 ” adalah “kecil” sedangkan “siang 祥 ” adalah
“keberkahan”. Pengertian atau penafsiran ‘keberkahan kecil’ adalah
bahwa upacara itu dilakukan sesuai dengan ajaran Khonghucu, yaitu
tidak boleh berlebih-lebihan di dalam melakukan upacara.83 Diyakini
pula bahwa dengan melakukan pesembahyangan mengenang dan
mendoakan almarhum/ah ini keluarga yang berduka akan menerima
berkah dari Tuhan.
2. Tujuan
Tujuan diadakannya upacara xiao xiang/siau siang 小祥 adalah
untuk menyampaikan doa kepada yang meninggal dunia supaya
arwahnya kembali ke alam baqa dengan tenang, sebaliknya supaya
keluarga yang ditinggalkan mendapat kehidupan yang lebih baik dari
masa-masa yang sesudahnya.84
3. Pelaksanaan
Sehari sebelum tepat setahun atau menjelang hari atau tanggal
meninggalnya almarhum/ah, pada malam harinya, keluarga dapat
melangsungkan upacara xiao xiang/siau siang 小祥 . Kemudian
seperti halnya zuo san (coo sha 做三) dan zuo qi (coo chiet 做七), esok
82Hanny Kilapong, Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu, h.17. 83Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h. 164. 84Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h.164.
134
paginya persembahyangan tambahan dilaksanakan di makam
almarhum/ah.85
Upacara xiao xiang/siau siang 小祥 umumnya dilaksanakan di
rumah keluarga berduka dengan memanggil rohaniwan dari Majelis
Agama Khonghucu untuk memimpin jalannya upacara. Keluarga
menyiapkan altar persembahyangan yang terdapat foto
almarhum/ah, xiang lu (hio lo 香爐), tempat lilin, tempat bakar surat
doa, teh dan air putih, makanan kesukaan almarhum, buah-buahan
dan kue, bagi keluarga yang mampu juga menyediakan san sheng
(sam seng 三牲 ). Namun ada pula keluarga yang mampu tidak
menyiapkan san sheng dan sajian ala kadarnya. Hal seperti ini tidak
menjadi masalah, sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Lun Yu/Lun
Gie 論語 tertulis: Lin Fang (Liem Hong 林放) bertanya tentang
pokok Kesusilaan. Nabi menjawab: “Sungguh Pertanyaan besar!
Dalam upacara daripada mewah mencolok, lebih baik sederhana.
Dalam upacara duka daripada meributkan kelengkapan upacara,
lebih baik ada rasa sedih yang benar.” 86 Lin Fang adalah salah
seorang murid Nabi Kongzi.
Sesudah mengadakan upacara xiao xiang/siau siang 小祥 ,
keluarga yang menjalankan masa berkabung sudah boleh
melepaskan pakaian mengasih atau pakaian duka diganti dengan
pakaian berwarna ke biru-biruan atau warna lain yang agak sedikit
terang tetapi bukan merah. Nanti sesudah acara da xiang/tai siang 大
祥 baru boleh memakai warna merah. Untuk sajian pada xiao
xiang/siau siang 小祥 maupun da xiang/tai siang 大祥, kue mi gao
(bi ko 米糕) tidak disajikan lagi.
85Matakin, Tata Aturan Dewan Rohaniwan Agama Khonghucu Indonesia beserta
berbagai Panduan Tata Upacara dan Kode Etik Rohaniwan, Surakarta: Tahun 2010, h.71.
86Lihat Kitab Lun Yu/Lun Gie 論語 III:4 dalam Kitab Si Shu (四書 Kitab Yang
Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi Hanyŭ Pīnyīn oleh Team P3K Deroh Matakin (Jakarta: Matakin, diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2013), h. 105.
135
J. Upacara Da Xiang/Tai Siang 大祥
1. Pengertian
Sebutan tai siang 大祥 diambil dari dialek Hokkian, secara
etimologi “tai 大 ” adalah “besar” sedangkan “siang 祥 ” adalah
“keberkahan”. Umumnya upacara tai siang di kalangan orang
Tionghoa keturunan diartikan sebagai upacara sembahyang tiga
tahun atau upacara berkabung tiga tahun.87
2. Pelaksanaan
Upacara da xiang/tai siang 大祥 merupakan batas akhir masa
perkabungan keluarga, untuk itu biasanya keluarga menyiapkan
persembahyangan yang lebih besar dan lebih lengkap. Seperti halnya
xiao xiang/siau siang 小祥 sehari sebelum memasuki tahun ketiga
meninggalnya alhmarhum/ah, pada malam harinya, keluarga dapat
melangsungkan upacara da xiang/tai siang 大祥 . Pada esok pagi
keluarga dapat melaksanakan sembahyang tambahan di makam
almarhum/ah. Pelaksanaan bisa pula melibatkan rohaniwan dari
Makin. Dengan berhasilnya keluarga melaksanakan
persembahyangan da xiang/tai siang 大祥 maka berhasil pula
keluarga menunaikan kewajiban berkabung secara sempurna.
Kewajiban berkabung selama tiga tahun dapat dilakukan
dalam waktu 2 x 4 musim ditambah 1 musim (27 bulan). Namun
akan lebih baik bila dilakukan 3 x 4 musim (genap 36 bulan) atau tiga
tahun penuh, seperti dalam Kitab Meng Zi/Bing Cu 孟子 IIIA:2.2
disebutkan “... Dalam hal berkabung kepada orang tua itu sebenarnya
bergantung pada diri sendiri. Zeng Zi/Cing Cu 曾子 berkata, “Pada
saat hidup layanilah sesuai dengan Kesusilaan, ketika meninggal
dunia, makamkanlah sesuai dengan Kesusilaan, dan selanjutnya
sembahyangilah sesuai dengan Kesusilaan. Dengan demikian dapat
disebut berbakti. Hal peradatan para raja muda, aku belum pernah
87Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, ,h.167.
136
mempelajarinya, Biarpun demikian aku sudah mendengar bahwa
kewajiban berkabung selama tiga tahun dengan menggunakan
pakaian dari kain kasar dan makan makanan sederhana, dilakukan
dari Kaisar kepada rakyat jelata. Ketiga dinasti itu mengikuti adat
ini”. Dalam upacara duka wajib bersegera memenuhi hal-hal yang
perlu, dan dalam upacara suka boleh dengan santai. Meski demikian
orang wajib memenuhi hal-hal yang perlu dalam upacara berkabung,
jangan melewati batas. Dalam upacara suka, biarpun boleh santai
tetapi jangan lalai. Terlalu terburu-buru (dalam upacara duka)
menimbulkan sikap kasar, terlalu santai (dalam upacara suka)
menunjukkan dia orang yang bersifat rendah budi (xiao ren 小人).
Seorang jun zi (kun cu 君 atau insan kamil) dalam hal itu selalu
berupaya memenuhi hal yang perlu. (Li Ji/Lee Ki 禮記 IIA.II.41).
Dari berbagai ayat di atas yang perlu digaris-bawahi adalah
hubungan antara orang tua dan anak. Hubungan ini tidak terbatas
hanya pada saat orang tua hidup di dunia tetapi berlangsung hingga
orang tua meninggal dan bahkan menyembahyangi terus walaupun
sudah lama meninggal.
Perasaan bakti seorang anak terhadap orang tua begitu
dalam. Hal ini dapat dilihat dalam ayat suci Kitab Xiao Jing sebagai-
berikut : Nabi bersabda: “Beginilah seorang anak berbakti
mengabdi/ melayani orang-tuanya, di rumah sikapnya sungguh
hormat, dalam merawatnya sungguh-sungguh berusaha memberi
kebahagiaan, saat orangtua sakit dia sungguh-sungguh prihatin,
dalam berkabung dia sungguh-sungguh bersedih dan dalam
menyembahyangi dia melakukannya dengan sungguh-sungguh
hormat. orang yang dapat melaksanakan lima perkara ini, dia benar-
benar boleh dinamai melakukan pengabdian kepada orangtua”88.
Di dalam Kitab Lun Yu/Lun Gie 論語, Zeng Zi/Cing Cu 曾子曾,
sorang murid nabi Kongzi, yang merupakan penulis Kitab Bakti,
menyampaikan sabda Nabi Kongzi tentang hubungan antara rasa
88Lihat Kitab Xiao Jing X:1 (Solo: Matakin Bagian Penerbitan, 1989), h. 21.
137
cinta manusia kepada orangtua dengan persoalan masa berkabung
sebagai berikut: Zeng Zi/Cing Cu 曾 子 berkata, “dahulu aku
mendengar guru bersabda: ‘Dalam hidup sehari-hari kita tidak dapat
memastikan betapa besar rasa cinta seseorang kepada orang tuanya.
Itu akan jelas bila datang masa berkabung’.”89. Mengapa seorang
anak harus berkabung selama tiga tahun bila orang tuanya
meninggal ? Dalam Kitab Lunyu/Lun Gie terdapat dialog Zai Wo (Cai
Ngo 宰我) seorang murid Nabi Kongzi dengan Nabi Kongzi: ”Masa
tiga tahun berkabung itu apakah tidak terlalu lama ?” Nabi Khongcu
bersabda ”…anak lahir setelah tiga tahun baru dapat lepas dari
asuhan ayah bundanya, maka berkabung tiga tahun sudah
teradatkan di dunia. Mungkinkah Yu/Ie tidak mendpatkan cinta
orang tuanya tiga tahun ?”90 Hal berkabung selama tiga tahun inipun
tersurat dalam kitab keimanan agama Khoghucu yakni Kitab Tengah
Sempurna, di sana dinyatakan bahwa upacara tiga tahun berkabung
(kematian orang tua) ditetapkan sampai kepada raja91
89Lihat Kitab Lun Yu/Lun Gie 論語 XIX:17, h. 325. 90Lihat Kitab Lun Yu/Lun Gie 論語 XVII:21, h. 308; Sebagai catatan: nama lain
dari Zai Wo/Cai Ngo (宰我) adalah Zai Yu/Cai Ie (宰予). 91Lihat Kitab Zhong Yong /Tiong Yong 中庸 XVII:3 dalam Kitab Sìshū (四書
Kitab Yang Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi Hanyŭ Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin-2011 (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016), hal 54.
138
139
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Ritual perkabungan dan pemaknaannya oleh umat Khonghucu di Kota Manado memperlihatkan bukti bahwa pelaksanaan agama tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Agama direfleksikan atau dimanifestasikan melalui budaya, begitu pula budaya diperkaya oleh agama. Semua agama mempunyai ritual masing-masing, tidak ada agama tanpa ritual, demikian pula dengan agama Khonghucu. Dalam hal ini pelaksanaan seruan dalam agama Khonghucu dan praktek budaya saling memperkuat satu dengan yang lain dan ritual perkabungan dalam Agama Khonghucu menjadi bagian yang tidak terpisahkan karena memiliki nilai-nilai kesakralan.
Tesis ini khusus mengangkat mengenai ritual-ritual perkabungan orang Tionghoa yang beragama Khonghucu dengan melihat kaitan budaya Minahasa pada upacara perkabungan umat Khonghucu di daerah Manado.
Penelitian ini bertolak belakang dengan penulisan Marcel Mauss dalam bukunya The Gift Forms and Functions Exchange in Archaic Societies, yang menyatakan bahwa tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang bebas dari pamrih, semuanya dilakukan dengan mengharapkan balasan dari apa yang mereka berikan kepada orang lain.
Namun penulis menemui bahwa yang mendorong umat Khonghucu mengikuti tradisi kebudayaan dan ajaran agama karena rasa bakti/xiao yang kuat kepada leluhur mereka, menyiapkan berbagai perlengkapan sembahyang untuk leluhur sama artinya dengan menghormati leluhur. Pelaksanaan penghormatan kepada leluhur tidak berdasarkan rasa pamrih melainkan dilaksanakan dengan ketulusan karena adanya rasa bakti yang mendalam dan itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh keturunannya. Hal ini diperkuat dengan tulisan dari Bratayana Ongkowijaya, S.E., XDS., dalam pengantar cheng xin zhi zhi (誠信旨
keyakinan iman), bahwa Tian (天) sebagai Khalik semesta, awal dan
akhir dari segala (zhong shi 終 始 ) mempunyai cara. Dia
menyelenggarakan itu semua, inilah Jalan Suci-Nya. Semua itu ada
140
dalam kuasa-Nya, inilah Hukum Suci-Nya, bahwa dalam penjadian manusia, dalam hidupnya di dunia ini yang diawali dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian, ada suatu kodrat yang harus digenapi, Firman Tian (天 ) yang menjadi kewajiban suci manusia untuk
melaksanakan, inilah Jalan Suci manusia yang ditetapkan-Nya. Bratayana berpendapat bahwa persembahyangan kepada leluhur sudah sewajarnya dijalankan oleh keturunannya, tidak ada pemikiran untuk pamrih melainkan dijalankan dengan penuh ketulusan karena itu sudah menjadi kewajiban manusia yang hidup. Selanjutnya Bratayana dalam tulisannya menyatakan, Ada suatu keyakinan, bahwa Jalan Suci Tian (天) itulah awal dan juga akhir dari
segala; demikian hidup manusia juga ada di dalamnya. Tanpa Jalan Suci Tian ( 天 ) segalanya tak ada! Dan tanpa berusaha
memperolehnya, suatupun tiada dalam hidup manusia. Inilah mengapa keyakinan akan kebenaran ini, kesungguhan dalam amal perbuatan yang berkiprah di dalamnya, ketulusan untuk hidup di Jalan Suci menjadi sesuatu yang mutlak bila manusia ingin memperoleh rahmat, berkah, karunia-Nya. Itu semua menjadi kodrat manusia, misi suci dari penjadiannya, kehendak-Nya atas manusia. Hal ini menjadi panggilan Ilahi agar umat manusia menunaikan baktinya. Dari mana manusia berasal, ke sana pula manusia kembali, yakni kepada-Nya.
Penelitian Ritual Kematian/Perkabungan Agama Khonghucu yang dilaksanakan di kota Manado ini dimulai dari kematian seseorang sampai pada upacara pemakaman merupakan perpaduan antara agama dan budaya.
Bentuk-bentuk ritual dan makna upacara persembahyangan kepada leluhur sampai dengan tiga tahun dimulai dari upacara ru mu (memasukkan jenazah ke dalam peti), men sang (malam menjelang pemberangkatan jenazah), song zang (pemberangkatan jenazah), ru kong (pemakaman jenazah), qi fu (doa kembali) yang juga disebut fan zhuo (membalik meja), zuo san (tiga hari), zuo qi (tujuh hari), xiao xiang (satu tahun), dan da xiang (tiga tahun).
Semua upacara persembahyangan yang dilaksanakan oleh Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Manado sudah sesuai dengan ajaran agama Khonghucu karena berdasarkan tuntunan ayat-ayat suci yang terdapat pada Kitab Shi Shu dan Wu Jing.
141
Dalam penelitian perkabungan agama Khonghucu ini penulis memperoleh beberapa temuan seperti memasukkan pakaian dan perlengkapan orang hidup kedalam peti mati, termasuk kaca yang dipecahkan, melapisi alas peti mati dengan teh kering, mandi di sungai, pembelian air, yang kesemuanya itu merupakan budaya/tradisi, yang sebagian merupakan tradisi setempat. Tradisi-tradisi tersebut di atas pada dasarnya tidak wajib dilaksanakan walaupun dalam prakteknya banyak yang tetap melaksanakannya. Adanya percampuran antara budaya Tionghoa dan budaya Minahasa terjadi secara natural dan tidak pernah terjadi konflik. Menjadi tugas para rohaniwan Khonghucu untuk memberikan pembinaan kepada umat baik melalui kebaktian maupun sosialisasi terhadap hal di atas.
B. Saran
1. Untuk Lembaga Matakin a. Dapat memberi pembinaan kepada umat Makin Manado agar
dapat melaksanakan kehidupan sesuai kitab suci agama Khonghucu.
b. Mengupayakan secara sistematis untuk meningkatkan wawasan umat dengan memberinya pembinaan sehingga umat dapat mengetahui rangkaian persembahyangan leluhur dari awal sampai akhir dengan benar. Demikian pula agar memberi bimbingan kepada umat untuk dapat membedakan mana tradisi / budaya dan mana yang sesuai ajaran yang harus dilaksanakan.
c. Membangun kesepahaman di kalangan para pemuka agama/rohaniwan Khonghucu yang ada di Makin Manado agar terdapat keseragaman dalam pelaksanaan upacara perkabungan, dengan membuat buku petunjuk untuk melaksanakan perkabungan sesuai ajaran Nabi Kongzi.
2. Untuk Umat Khonghucu a. Hendaknya lebih bisa membedakan mana ajaran agama dan mana
tradisi, mengikuti agama lebih penting karena sudah tertulis di ayat kitab suci agama Khonghucu dan harus diikuti.
b. Tetap saling menghormati dan menghargai dengan umat yang beragama lain, tidak memaksakan kehendak bahwa upacara agama Khonghucu adalah yang terbaik.
142
c. Mengikuti Buku Petunjuk yang sudah dibuat oleh Matakin. 3. Untuk Komunitas Umat Beragama di Manado
Membangun kerukunan diantara umat beragama agar lebih akrab, saling menghormati terhadap upacara perkabungan masing-masing agama.
4. Untuk Fakultas Ushuluddin
Memperbanyak buku-buku tentang ajaran agama Khonghucu, termasuk buku-buku tentang upacara perkabungan.
5. Untuk Peneliti selanjutnya.
Dapat meneliti pelaksanaan perkabungan pada anak-anak atau ibu-ibu.
143
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga, 2001.
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Dhavamony Mariasusai, Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Fung, Yu-Lan. A Short History of Chinesse Philosophy. New York: The Free Press, 1948.
Furchan, Arif. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional, 1992.
Ghazali, Adeng Muchtar. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta, 2011.
Gunadi. Hubungan antara Persepsi Umat Khonghucu tentang Pemujaan Kepada Leluhur, Pemeliharaan Abunya, dan Keteguhan Memeluk Agama Khonghucu. Jakarta: Matakin Bagian Penerbitan, 2018.
Gunawan, Suyena Adi. Riwayat Kongzi, Tinjauan Historis, Antropologis dan Budaya Mengenai Khonghucu. Bandung: Penerbit TSN, 2017.
http://tradisitridharma.blogspot.com/2014/11/arti-dan-makna-yang-dalam-dari-tradisi.html, 15 Oktober 2018, pukul 15.22 Wib.
https://usahahokiblog.wordpress.com/2016/09/30/fengshui-kuburan/:diakses tanggal 02 Desember 2018, pukul 17.53 Wib.
144
Ibnu Rajab al-Baghdadi, Imam Zainuddin. Alam Barzakh dan Perjalanan Roh Setelah Kematian. Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2004.
Irawan, Bingki, Kuncono Ongky Setio. Tata Upacara Kematian. Surabaya: Litbang MAKIN Surabaya, 1997.
Iskandar. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial Cet. Kelima. Jakarta: Referensi, 2013.
KBBI Ofline Ver. 1.2. sumber: http://ebsoft.web.id/, dengan sumber database dari http://pusatbahasa.diknas go.id/kbbi.
Kilapong, Hanny. Upacara Kematian Penganut Agama Khonghucu Indonesia di Sulawesi Utara. Manado: tanpa penerbit, 2005.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1985.
Kuncono, Ongky Setio. Pengalaman Spiritual. Sidoarjo: SPOC Study Park of Confucius, 2016.
---------------------------. Wei De Dong Tian, Jalan Menuju Tuhan, Sebuah Kumpulan Khotbah Minggu. Sidoardjo: SPOC (Study Park of Confucius), 2017.
Liang, Mulyadi. Mengenal Agama Khonghucu. Sidoarjo: SPOC (Study Park of Confucius), 2013.
Lubis, Ridwan. Agama dan Perdamaian, Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan Beragama di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, 2017.
Matakin Bagian Penerbitan. Majalah Genta Harmoni, edisi perdana. Solo: 2003.
---------------------------------. Majalah Genta Harmoni, edisi perdana. Solo, 2003.
---------------------------------. Panduan, Tata Cara dan Upacara Duka dan Berkabung, SGSK: 36/2010 Edisi Khusus, Tata Aturan Dewan Rohaniwan Agama Khonghucu Indonesia Beserta
145
Berbagai Panduan Tata Upacara dan Kode Etik Rohaniwan. Solo, 2010.
---------------------------------. Tata Aturan Dewan Rohaniwan Agama Khonghucu Indonesia beserta berbagai Panduan Tata Upacara dan Kode Etik Rohaniwan, Surakarta: 2010.
---------------------------------. Perihal Kematian Dan Rokh Menurut Pikiran Konfuciani. Solo:, 1996.
---------------------------------. Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, Seri Genta Suci Konfucian, SAK TH XXVIII No. 4-5. Solo, 1984.
Moleong, L. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
Mujahidin, Adnan Mahdi. Panduan Penelitian Praktis untuk menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi. Bandung: Alfabet, 2014.
Nasuhi, Hamid, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) Cet.-1. Ciputat: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Ongkowijaya, Bratayana. Makalah Pengantar Cheng Xin Zhi Zhi (Keyakinan Iman), Jakarta: tanpa penerbit, 2015.
Pujileksono, Sugeng. Petualangan Antropologi. Malang: UMM Press, 2006.
Qurthubi, Imam Al. Ensiklopedi Kematian dan Hari Akhir. Jakarta: Pustakaazam, 2013.
Salidi, Hasan. Ensiklopedia Indonesia, Jilid VI. Jakarta: Ikthtiar Van Haouve, tt.
Sandehang, Anderson Marcello. Upacara Kematian Khonghucu, Pemahaman Umat Khonghucu di Litang Gerbang Kebajikan Manado, tentang Upacara Kematian. Tomohon: UKIT-Tomohon, 2005.
SPOC. Keputusan Rakernas Rohaniwan Matakin. Sidoarjo: Study Park of Confucius, 2016.
146
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif-Kualitatif dan R & D. Jakarta, 2009.
Tanggok, M. Ikhsan. Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang. Memuja Leluhur Menanti Datangnya Rezeki. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2017.
-----------------------. Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
-----------------------. Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia. Jakarta: PT. Pelita Kebajikan, 2005.
Tanuwibowo, B. S., Tjhie Tj. I., dkk., Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu, dalam Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu) Cet-1. ISBN 978-602-8766-97-5. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2014.
Tjhie, Tjay Ing. San Cai, Tiga Landasan Dasar Keimanan Agama Khonghucu dalam majalah Genta Harmoni edisi kedelapan. Solo: Genta Harmoni, 2006.
Tjhie, Tjay Ing (penerjemah). Kitab Da Xue (大學) dalam Kitab Si Shu
( 四 書 Kitab Yang Empat), versi Dwilingual dengan
Transliterasi Hanyu Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin-2011. Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016.
---------------------------------- Kitab Lun Yu (論語) dalam Kitab Si Shu (
四書 Kitab Yang Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi
Hanyu Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin-2011. Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016.
----------------------------------. Kitab Xiao Jing (Hau King 孝經) cetakan
ke-4. Solo: Matakin Bagian Penerbitan, 1989.
147
----------------------------------. Kitab Zhong Yong (中庸)dalamKitab Si
Shu (四書 Kitab Yang Empat), versi Dwilingual dengan
Transliterasi Hanyu Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin-2011. Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016.
----------------------------------. Kitab Lĭjì (禮記). Jakarta: Pelita Kebajikan
(Matakin Jakarta), 2005.
----------------------------------. Kitab Meng Zi (孟子) dalam Kitab Sishu (
四書 Kitab Yang Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi
Hanyu Pinyin oleh Team P3K Deroh Matakin-2011. Jakarta: Matakin dan diperbanyak .oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2016.
Tjhie, Tjay Ing. Selayang Pandang Sejarah Suci Agama Khonghucu. Solo: Matakin, 2006.
Wika. Buku Kenang-kenangan 50 Tahun Pak Kik Bio – Hian Tian Siang Tee 1951-2001 dalam majalah Widya Karya Edisi Khusus. Malang, 2001.
Wika. Majalah Widya Karya Edisi Harlah Nabi yang ke 2550. Surabaya: Wika, 1999.
Winangun, Y.W. Wartajaya. Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas Menurut Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius. 1990.
Yosadi, Sofyan Jimmy. Buku Kenangan Perayaan Hari Lahir Nabi Khongcu 2556, Sekilas tentang Perkembangan Agama Khonghucu di Manado dan Sekitarnya. Manado: Makin Manado, 2005.
Yunardi, Yugi. Pesan Moral Upacara Perkabungan dalam Agama Khonghucu (Studi Kasus di Makin Cimanggis Depok). Jakarta: Matakin Bagian Penerbitan, 2018.
148
Biodata Penulis
Penulis: Liem Liliany Lontoh, lahir di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara pada 06 Juni 1963. Tamat Sekolah Dasar di RK II Manado tahun 1975, SMP RK I Manado tahun 1979 dan tamat SMA Rex Mundi Manado pada 1982. Penulis kemudian melanjutkan studi di Akademi Manajemen Perusahaan Program Sarjana Muda di Eben Haezar Manado dan selesai pada 1986, selanjutnya penulis melanjutkan studi di Universitas Terbuka jurusan Administrasi Niaga dan selesai pada bulan Maret 1991. Selama di Manado penulis aktif berkebaktian di PAKIN (Pemuda Agama Khonghucu Indonesia) Manado dan pernah menjabat sebagai Wakil Sekertaris PAKIN Manado periode 1983 -1985.
Tanggal 08 Nopember 1997 penulis menikah dengan Suwandi yang juga beragama Khonghucu dan telah dikaruniai dua orang anak yaitu Jessica Belle yang saat ini kuliah di Bina Nusantara Alam Sutera jurusan DKV semester 3 dan William Alexander kelas 3 SMP Sang Timur. Pada tanggal 20 April 2003 penulis bersama suami di liyuan sebagai kau sing/jiao sheng oleh Xs. Tjhie Tjay Ing.
Catatan riwayat pekerjaan penulis sebagai berikut:
Finance & Acc. Manager PT. Impack Supremasi Jun’12 - Apr’15 Sec. Head Accountiing PT. Indographica Ekakarsa Nov’97- Mar’12 Acc. Manager PT. Mitradhana Sedaya Sep’95 - Mar’97 Finance & Operation Ass. PT. Bukit Zaitun Jkt. Aug’93 - Aug’95 Senior Acc. Bukit Group PT. Sirontalo Perkasa, Jkt. May’92 - Aug’93 Chief Acc. Bukit Group PT. Bukit Zaitun, Manado Apr’88 - May’92
149
Selama di Jakarta penulis telah membidangi beberapa Organisasi antara lain :
1. Ketua Hub. Antar Lembaga& Lintas Agama Matakin 2018 - 2022 2. Ketua Matakin Provinsi DKI Jakarta 2018 - 2022 3. Ketua Bid. Seni, Budaya & OR – FHAB 2018 -2022 4. Bendahara RT Perum. Metro Permata I Tangerang 2018 - 2021 5. Ketua Forum Kemitraan Religi Kamtibmas M. Jaya 2017 - 2019 6. Ketua Bidang Sosial dan CSR Perhimpunan INTI 2017 - 2019 7. Ketua Matakin Provinsi DKI Jakarta 2015 - 2018 8. Anggota FKUB Jakarta Barat 2015 - 2018 9. Ketua Makin Jakarta Pusat 2012 - 2018 10. Bendahara Dewan Rohaniwan Matakin 2010 - 2014
Tahun 2015 perusahaan terakhir tempat penulis bekerja
mengalami kemunduran, banyak karyawan di PHK dan akhirnya perusahaan tutup. Penulis ditawarkan untuk bekerja kembali di perusahaan lain dengan bidang yang sama tetapi penulis memilih untuk fokus di organisasi Matakin DKI.
Sepanjang berkiprah di Organisasi, penulis telah melakukan berbagai kegiatan bersama FKUB Provinsi DKI Jakarta dengan ketuanya K.H. Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Mufid, M.A. (melakukan kunjungan kerja ke Mesir), bersama FKUB Jakarta Barat dengan ketuanya Drs. H. Tatang Rahmat Firdaus Anggadinata, M.Pd. juga mengadakan kunjungan kerja ke Eropa dan Vietnam disamping melakukan tugas utama FKUB di Jakarta. Tugas selama menjadi Ketua Matakin Provinsi DKI maupun keliling khotbah Makin-Makin di Jakarta, menjadi nara sumber, membawakan doa lintas agama, melayani pelayanan suka maupun duka, bakti sosial, MOU dengan beberapa rumah sakit, menjadi tenaga pengajar baik SD, SMP, SMA di Jakarta Intercultural School (JIS) Academy dan Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi, juga pernah mengisi kelas Ming De di Universitas Bina Nusantara, melayani wawancara dengan siswa maupun mahasiswa, mengisi acara di televisi, mengikuti seminar, sosialisasi, FGD dan lain-lain. disamping itu penulis juga pernah menjadi tim seleksi pelaksanaan uji kelayakan & kepatutan FKDM tingkat kecamatan & kelurahan periode 2016-2020 di wilayah Jakarta Barat, ketua panitia Perayaan Nasional Harlah Nabi Kongzi ke-2567 di Taman
150
Mini Indonesia Indah pada September 2016, ketua panitia Sahur Bersama Dra. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum., pada Juni 2018 di RPTRA Kalijodo yang menghadirkan 2000 peserta yang diprakarsai oleh Bpk. Teddy Sugianto sebagai ketua Perhimpunan INTI dan ketua regu Khonghucu Poco Poco Dance untuk Guinness World Record 2018 dan pada tanggal 13 April 2019 mendampingi imam besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., dalam doa lintas agama pada acara Debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden ke lima.
Tahun 2015 atas beasiswa dari Kemenag RI melalui Matakin Pusat, penulis berkesempatan melanjutkan Program Studi Agama Agama Magister Perbandingan Agama Konsentrasi Agama Khonghucu di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
DOA PENYEMAIAMAN BADAN LAHIRIAH; MASUK PETI (UPACARA RÙ MÙ)
Kehadirat Huángtiān, Tuhan Yang Maha Besar, di tempat yang Maha Tinggi, Maha Suci-Gemilang, dalam bimbingan rokhani Nabi Agung Kŏngzĭ, penyertaan Malaikat Bumi (Fúdé Zhèngshén), dan restu yang kami hormati alm. dàoqīn . . . . . . . . . Qīnzāi!
Diperkenankan saat ini kami Umat Khonghucu dari . . . . . . . . . . berhimpun bersama keluarga yang berduka, memanjatkan doa memohon rida Huángtiān dalam rangka upacara suci penyemaiaman badan lahiriah Almarhum dàoqīn . . . . . ., yang telah menyelesaikan segala tugas dan kewajiban hidup di atas dunia ini, telah berpulang kembali ke haribaan kebajikan Huángtiān, memenuhi panggilan suci Huángtiān dalam usia . . . . . . .
Sebelum peti jenazah ditutup, kami panjatkan doa, semoga saat ini arwah almarhum dàoqīn . . . . . . . . . boleh memperoleh damai dan tenteram dalam proses perjalanan kembali ke haribaan kebajikan kebajikan Huángtiān, dan kami sampaikan kepada dàoqīn bahwa demikianlah setiap insan yang telah berakhir semua kewajiban hidupnya di atas dunia ini, akan tiba saatnya untuk berpulang kepada Huángtiān sesuai dengan panggilan suci Huángtiān. Nǎi tǒng Tiān. Qīnzāi!
Maka kami berdoa semoga Huángtiān berkenan atas sembahyang duka ini. Limpahkan sinar pancaran kesucian yang boleh meliputi tempat ini serta meridai upacara suci sederhana ini, sehingga boleh menjadi terang bagi alm., boleh menjadi saaat yang terbaik untuk penyemaiaman jenazah alm. dàoqīn . . . . . . . . . Qīnzāi!
Bagi keluarga yang ditinggalkan, kamipun bermohon kiranya Huángtiān mengaruniakan kekuatan dan kemampuan untuk dapat menerima perpisahan lahiriah ini, bolehlah kiranya mereka semua mampu melaksanakan semua kewajiban penyelenggaraan upacara persembahyangan lanjutan lainnya dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan seruan agama yang diimani dàoqīn . . . . . Semoga keluarga alm. juga akan mampu melangsungkan hidupnya di atas dunia ini, mampu mengembangkan kebajikan sesuai Firman Huángtiān dan teladan alm. sehingga dapat membawa berkah sentosa atas hidup mereka. Karena sungguh kami yakin Huángtiān berkenan hanya kepada kebajikan. Qīnzāi!
Sembah dan sujud ke hadirat Huángtiān, di dalam iman kami sungguh yakin dalam suka dan duka Huángtiān Yang Maha Kuasa senantiasa menilik, membimbing dan menyertai hidup keluarga yang berduka dan juga kami semua. Wūhū Āizāi....!
Maha Besarlah Tiān Khalik semesta alam. Tuhan senantiasa melindungi kebajikan.
Huáng yǐ Shàng Dì, wéi Tiān yòu dé.... Shànzāi !
167
DOA MALAM MENJELANG KEBERANGKATAN JENAZAH (UPACARA MÉN SÀNG)
Kehadirat Huángtiān, Tuhan Yang Maha Besar, di tempat yang Maha Tinggi,
Maha Suci-Gemilang, dalam bimbingan Nabi Agung Kŏngzĭ, penyertaan Malaikat Bumi (Fúdé Zhèngshén), dan restu yang kami hormati alm. dàoqīn ….. Qīnzāi!
Diperkenankan pada saat ini tanggal . . . . . . . , kami umat Khonghucu . . .. . . . berhimpun bersama keluarga yang berduka, beserta kerabat dan handai tolan, memanjatkan doa memohon rida Huángtiān untuk kami sampaikan doa dan hormat bakti kami bagi saudara seiman kami alm. dàoqīn . . . . . . yang telah berpulang ke haribaan Huángtiān. Qinzai!
Alm. dàoqīn . . . . .. . . yang terkasih, kami laksanakan upacara ini karena dàoqīn telah menyelesaikan segala tugas dan kewajiban hidup di atas dunia ini, telah kembali ke haribaan kebajikan Huángtiān, memenuhi panggilan suci Huángtiān dalam usia . . . . Kami memahami, bahwa kejadian berpulangnya alm. dàoqīn ini membawa kepedihan dan keharuan yang mendalam bagi kami para saudara seiman, kerabat, handai tolan tertama anggota keluarga, karena harus berpisah selamanya dengan alm. dàoqīn. Namun dalam iman kami yakin, bahwa peristiwa duka ini adalah sesuatu yang pasti akan dialami oleh setiap insan yang hidup di dunia ini, karena sesungguhnya segala makhluk yang dilahirkan suatu saat akan berpulang kembali kepada Sang Pencipta. Nǎi Tǒng Tiān,...Qīnzāi!
Alm. dàoqīn . . . Nabi Kŏngzĭ bersabda dalam kitab Lùnyǔ VIII: “bersembahyang kepada leluhur hayatilah kehadirannya”, maka kepada alm. dàoqīn . . . . . . . . . . . kami yakin dàoqīn dapat merasakan penyampaian hormat dan rasa bakti yang kami, terutama keluarga lakukan dengan sembahyang dan doa ini. Qīnzāi!
Maha Besar dan Maha Sempurnalah Huángtiān, khalik semesta alam, firman Huángtiān telah menjadikan kami manusia mendapatkan Watak Sejati dalam bentuk benih benih kebajikan, yang memampukan hidup kami berada di dalam Jalan Suci. Kesadaran adanya Jalan Suci inilah yang dapat mengiklaskan kami terutama keluarga atas kepulangan alm. dàoqīn . . . . . . . . Kami bermohon kepada Huángtiān semoga roh alm. dàoqīn boleh mendapatkan cahaya terang dalam proses perjalanan kembali ke haribaan kebajikan Huángtiān sehingga dapat tenang damai pulang kepada Huángtiān, menuju kepada Kemuliaan Huángtiān yang abadi. Qinzai!
Bagi keluarga yang ditinggalkan, kamipun bermohon kiranya Huángtiān mengaruniakan kekuatan dan kemampuan untuk dapat menerima peristiwa duka ini, agar dapat tetap mampu melanjutkan kehidupan di atas dunia ini. Semoga segala tugas dan cita-cita luhur yang diteladankan alm. semasa hidupnya, yang mungkin belum tergenapkan oleh alm., keluarga akan mampu untuk melanjutkan dan mewujudkannya; sehingga dengan demikian boleh mendatangkan berkah sentosa atas kehidupan keluarga, dan seterusnya dapat semakin memberi ketenangan pula kepada arwah alhmarhum. Qinzai!
Sembah dan sujud ke hadirat Huángtiān, di dalam iman kami sungguh yakin dalam suka maupun duka Huángtiān akan senantiasa menilik, membimbing dan menyertai hidup keluarga yang berduka, serta juga kami semua. Wūhū Āizāi!
Maha Besarlah Tiān Khalik semesta alam. Tuhan senantiasa melindungi kebajikan. Huáng yǐ Shàng Dì, wéi Tiān yòu dé.... .... Shànzāi !
168
DOA MENGHANTAR BADAN LAHIRIAH KE TEMPAT PEMAKAMAN (UPACARA SÒNG ZÀNG)
Kehadirat Huángtiān, Tuhan Yang Maha Besar, di tempat yang Maha Tinggi,
Maha Suci-Gemilang, dalam bimbingan rokhani Nabi Agung Kŏngzĭ, penyertaan Malaikat Bumi (Fúdé Zhèngshén), dan restu yang kami hormati alm. dàoqīn . . . . . . . . . Qīnzāi!!
Diperkenankan pada hari ini, . . . . . . . . . ., kami umat Khonghucu dari . . . . . . . . ., berhimpun bersama para handai tolan, kerabat dan terutama keluarga yang berduka, menaikkan doa bersama memohon rida Huángtiān dalam rangka sembahyang pemberangkatan badan lahiriah saudara kami alm. dàoqīn . . . . . . . . . . . yang telah berakhir masa hidupnya, telah menerima panggilan suci Firman Huángtiān dalam usia . . . . . . Berkenanlah kiranya ya Huángtiān. Qīnzāi!
Yang terkasih alm. dàoqīn . . . . . . . , dengan rida Huángtiān, kami berdiri, dan keluarga dàoqīn bersimpuh di hadapan dàoqīn, mengucapkan selamat jalan kepada dàoqīn yang telah berpulang kembali ke haribaan Huángtiān, dan sesaat lagi akan diberangkatkan ke tempat jasad dàoqīn akan dikebumikan / diperabukan. Qīnzāi!
Alm.. . . . . . . . . . yang terkasih, tempat yang dàoqīn tinggalkan, kenangan yang pilu, kepedihan yang timbul akibat kepergian dàoqīn, sungguh itu tidak terbatas pada keluarga dàoqīn yang memang paling merasakan peristiwa kehilangan ini, karena telah hidup bersama dengan dàoqīn dan telah menerima segenap budi, cinta kasih dan bimbingan dàoqīn, tapi sesungguhnya kepedihan itu terasakan pula dalam hati kami semua yang hadir saat ini, Āizāi!
Namun kesadaran bahwa selama hidup dàoqīn telah berusaha hidup di jalan benar, jalan yang Huángtiān ridai sebagaimana dalam bimbingan Nabi Agung Kŏngzĭ, maka hal ini bolehlah meredakan kedukaan kami dan terutama keluarga….boleh menjadi kekuatan dan ketabahan bagi keluarga almarhum dàoqīn dalam menjalani rasa duka-citanya, mengiklaskan kepergian dàoqīn. Dipermuliakanlah! Sekarang kehidupan dàoqīn telah berakhir, melaui jalan suci dan atas rida Huangtian dan doa kami semua, semoga dàoqīn beroleh damai sentosa dalam perjalanan kembali kepada kemuliaan Huángtiān Maha gemilang nan abadi. Nǎi Tǒng Tiān. Qīnzāi!
Sembah dan sujud ke hadirat Huángtiān, semoga dengan doa kami semua, arwah alm. dàoqīn . . . . . . . . . .terkasih boleh dengan tenang bersama-sama kami dalam perjalanan menuju ke tempat penyempurnaan badan lahiriah (pemakaman/kremasi) alm. dàoqīn, diterangi cahaya gemilang kebajikan Huángtiān, disertai doa kami, diiringi kepul semerbak harum dupa ini.Qīnzāi!
Sembah dan sujud ke hadirat Huángtiān, kami sungguh yakin dalam suka dan duka, Huángtiān Yang Maha Kuasa akan senantiasa menilik, membimbing dan menyertai hidup keluarga yang berduka dan juga kami semua. Wūhū Āizāi....!
Maha Besarlah Tiān Khalik semesta alam. Tuhan senantiasa melindungi kebajikan. Huáng Yǐ Shàng Dì,... Wéi Tiān Yòu Dé.... Shànzāi !
169
DOA PENYEMPURNAAN BADAN LAHIRIAH PEMAKAMAM/KREMASI (UPACARA RÙ KŌNG)
Kehadirat Huángtiān, Tuhan Yang Maha Besar, di tempat yang Maha Tinggi,
Maha Suci-Gemilang, dalam bimbingan rokhani Nabi Agung Kŏngzĭ, penyertaan Malaikat Bumi (Fúdé Zhèngshén), dan restu yang kami hormati alm. dàoqīn . . . . . . . . . Qīnzāi !
Diperkenankan pada hari ini, tanggal . . . . . . . . . . . . . kami umat Khonghucu dari . . . . . . . . . , berhimpun bersama para kerabat dan terutama keluarga yang berduka, menaikkan doa bersama dalam upacara sembahyang Penyempurnaan/Kremasi/Pengebumian badan lahiriah saudara kami alm. dàoqīn . . . . . . . . . yang telah berakhir masa hidupnya, telah menerima panggilan suci Firman Huángtiān dalam usia . . . . . . . Ridailah kami ya Huángtiān. qīnzāi!
Alm. dàoqīn . . . . . . . . . yang terkasih, di dalam rida Huángtiān, kami berdiri,…keluarga dan dàoqīn bersimpuh di hadapan dàoqīn,... kami semua menyampaikan bahwa pada saat ini kehidupan dàoqīn telah berakhir dan telah tibalah saat suci untuk peyempurnaan badan lahiriah dàoqīn untuk kami antarkan kembali ke bumi sedangkan roh dàoqīn akan berproses berpulang kembali kepada Huángtiān sebagai yang Maha Awal, sumber dari segala sesuatu. Nǎi tǒng Tiān,...Qīnzāi!
Di dalam kitab Lǐjì XXI:II:1 tersurat bahwa: qì (氣 semangat) itulah wujud
berkembangnya shén (神 roh insani); badan-jasad pò (魄 ) itulah wujud
berkembangnya guǐ (鬼 nyawa). Berpadu harmonisnya nyawa dan roh itulah
tujuan tertinggi pengajaran agama. Semua yang dilahirkan pasti mengalami kematian, yang mati berpulang kepada tanah, itulah yang berkaitan dengan nyawa….. Sedangkan semangat (roh) itu memancar di atas, cerah gemilang, diiringi semerbaknya asap harum dupa, itulah sari beratus zat, itulah wujud adanya roh.
Terimalah hormat dan doa bakti dari keluarga dàoqīn, dan juga doa hormat kami semua para saudara seiman dan para handai tolan. qīnzāi!
Saat ini kamipun berdoa semoga roh alm. dàoqīn . . . . . . .beserta dengan watak sejati di dalamnya yang berasal dari Huángtiān saat ini boleh dengan legawa berproses berpulang ke hadirat Huángtiān yang Maha Awal, Maha Kekal-abadi. Semoga dàoqīn akan damai dan tenteram, kekal selamanya diterima di haribaan Huángtiān Yang Maha Pengasih. Kamipun bermohon Huángtiān agar supaya memberikan ampunan atas segara khilaf dan salah alm. dàoqīn . . . . . . . semasa hidup. Terimalah doa dan permohonan kami ini. qīnzāi!
Sembah dan sujud ke hadirat Huángtiān, sungguh kami yakin Huángtiān Yang Maha Kuasa akan senantiasa menilik, membimbing dan menyertai hidup keluarga yang berduka dan juga kami semua. Wūhū āizāi....!
Maha Besarlah Tiān Khalik semesta alam. Tuhan senantiasa melindungi kebajikan. Huáng yǐ Shàng Dì, wéi tiān yòu dé.... Shànzāi !
170
DOA PERINGATAN SETAHUN BERPULANG ALMARHUM (UPACARA XIǍO XIÁNG)
Ke hadirat Huángtiān Tuhan Yang Maha Besar, di tempat yang Maha Tinggi, Maha Suci-Gemilang, dalam bimbingan rokhani Nabi Agung Kŏngzĭ, penyertaan Malaikat Bumi (Fúdé Zhèngshén), dan restu yang kami hormati alm. dàoqīn . . . . . . . . ., Qīnzāi !
Diperkenan kiranya saat yang baik ini dengan sederhana dan khidmat kami langsungkan upacara sembahyang genap satu tahun berpulangnya alm. dàoqīn ……………Semoga upacara suci xiǎoxiáng yang kami laksanakan ini membawakan kekuatan dan kemampuan iman bagi keluarga yang ditinggalkan agar selalu dapat melanjutkan cita-cita luhur alm. sesuai dengan Firman Huángtiān serta bimbingan Nabi Kŏngzĭ, Genta penyedar hidup ini. qīnzāi!
Yang kami hormati, alm. dàoqīn …… … Walaupun dàoqīn telah meninggalkan kami, keluarga, dan para saudara
seiman setahun yang lalu, namun semangat dan pribadi dàoqīn tetap hidup di dalam kenangan kami semua. Kami berharap, semoga Huángtiān selalu beserta sehingga segala perkara yang luhur sebagaiamana keteladanan dàoqīn bolehlah menjadi pedoman dan langkah kehidupan keluarga yang dàoqīn tinggalkan.
Walaupun segala kenangan bersama dàoqīn tentu menimbulkan rasa haru dan perih, namun biarlah semuanya itu menjadi pendorong semangat untuk kami terutama keluarga melaksanakan tugas kewajiban sebagaimana difirmankan Huángtiān bagi hidup insani dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan kemanusiaan. Terimalah hormat yang kami naikkan dengan setulus hati dan dengan sepenuh kebajikan dari dalam hati ini. Qīnzāi!
Kami juga selalu berdoa semoga Huángtiān Tuhan yang Maha Kekal Maha Penyanyang telah memberikan damai dan tenteram…. yang selamanya akan meliputi arwah alm. dàoqīn di alam Tuhan Yang Terang-Gemilang.
Sembah dan sujud ke hadirat Huángtiān, semoga dengan doa dan perhormatan bakti yang kami terutama keluarga sampaikan ini, Huángtiān berkenan, dan kami semua terutama keluarga almarhum dijauhkan dari segala mara-bahaya, dari pencobaan, serta sesal-menyalahkan di antara kami. Dijauhkan pula dari segenap keluh-gerutu dan keraguan kepada Huángtiān. Melainkan dengan sepenuh iman dapat hidup dalam kerukunan dan keharmonisan, yakin pula bahwa dalam kehidupan ini, di dalam suka maupun duka, Huángtiān Yang Maha Kuasa senantiasa menilik, membimbing dan menyertai hidup keluarga yang berduka dan juga kami semua. Wūhū āizāi!
Maha Besarlah Tiān Khalik semesta alam. Tuhan senantiasa melindungi kebajikan. Huáng yǐ Shàng Dì,... wéi Tiān yòu dé.... Shànzāi !
171
DOA SEMBAHYANG MENGENANG TIGA TAHUN KEPULANGAN ALMARHUM (UPACARA DÀ XIÁNG)
Kehadirat Huángtiān Tuhan Yang Maha Besar di tempat yang Maha Gemilang, dalam bimbingan Nabi Agung Kŏngzĭ, penyertaan-penampungan Malaikat Bumi dan restu yang kami hormati alm. dàoqīn . . . . . Qīnzāi ! Diperkenankan pada hari ini tanggal . . . . . . . kami umat Khonghucu dari . . . . . . . . . . ,menaikkan syukur atas rahmat Huángtiān karena kami dapat berhimpun bersama kerabat keluarga alm. memohon restu kepada Huángtiān, untuk menyampaikan doa, hormat serta mengenang - memperingati masa tiga tahun kepulangan alm. dàoqīn . . . . . . . . . Semoga upacara suci yang sederhana ini memberi hikmah bagi kami semua terutama para keluarga alm. dàoqīn . . . . . . . . Ridailah kami kami ya Huángtiān. Qīnzāi! Ke hadapan yang kami hormati dan kami kenang alm. dàoqīn . . . . . . . meskipun kita telah berjauhan karena masing-masing berada di alam yang berbeda, namun kepribadian, kiprah dan teladan dàoqīn akan selalu menjadi kenangan, akan tetap hidup dalam sanubari kami para saudara seiman dan keluarga dàoqīn. Kami mendoakan semoga saat ini arwah alm. dàoqīn telah damai sempurna di alam Huángtiān, semoga tenteram kekal di haribaan Huángtiān yang Gemilang. Qīnzāi! Dari kedamaian di haribaan Huángtiān, semoga terpancarkan pula semangat keteladanan kebajikan alm. dàoqīn kepada semua anggota keluarga dan juga kami semua, sehingga oleh perkenan Huángtiān kami akan mampu hidup di dalam jalan suci, jalan lurus memasuki pintu kesusilaan dan mendiami rumah sentosa yang disuasanai cinta kasih, mampu berbakti kepada negara dan kepada lembaga agama kami Matakin, melaksanakan firman Huángtiān, menggemilangkan kebajikan yang bercahaya, mengasihi rakyat/sesama dan bersemayam di puncak kebaikan. Semoga pula dengan upacara peringatan masa tiga tahun (dà xiáng) ini kami penerus dan keluarga besar alm. dàoqīn akan terberkahi dengan kesejahteraan dalam mengarungi kehidupan, dalam memuliakan kebajikan karunia Huángtiān. Qīnzāi! Alm. Dàoqīn . . . . . . .Terimalah kembali hormat dan rasa kenang kami kepada Dàoqīn yang kami sampaikan dalam ketulusan dan dalam keharuan ini….. Wūhū Āizāi....! Sembah sujud kehadirat Huángtiān jauhkanlah hati kami dari kelemahan, keluh gerutu kepada Huángtiān, dan sesal penyalahan kepada sesama, yakin dalam suka maupun duka Huángtiān akan senantiasa menilik, membimbing dan menyertai hidup kami. serta juga kami semua. Maha Besarlah Tiān Khalik semesta alam, Tuhan senantiasa melindungi kebajikan. Huáng yǐ Shàng Dì,... Wéi Tiān yòu dé.... Shànzāi !
172
6. FOTO DOKUMENTASI PELAKSANAAN UPACARA PERKABUNGAN (Sumber: Dokumentasi Keluarga)
173
174
7.FOTO DOKUMENTASI DENGAN PARA INFORMAN DI MANADO
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
Bersama Charles Tilung Bersama Felix Tumewu
Bersama Ronny Loho Bersama Sofyan Jimmy Yosady, S.H.
175
9. FOTO KEGIATAN PENULIS SELAMA BERADA DI MANADO
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
176
177