repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/anggi...repository.uinjkt.ac.idauthor:...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
ANGGI ANGGARA
NIM 109011000038
PROGRAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015/1437 H
i
ABSTRAK
Anggi Anggara (NIM: 109011000038): Urgensi Pendidikan Multikultural
di Indonesia dalam Agama Islam. Dalam kehidupan selalu ada kemajemukan
suku, bahasa, budaya maupun agama. Dengan adanya berbagai kemajemukan
tersebut menyebabkan kerusuhan dan konflik atas nama sebuah kepentingan dan
mengatasnamakan agama dengan menghalalkan segala dalil untuk memperkuat
tindakannya. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan
kemajemukannya, sehingga bangsa Indonesia selalu berupaya menjalin kehidupan
secara damai. Umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia berusaha untuk
menyelesaikan masalah kemajemukan agama dengan berbagai cara, diantaranya
melalui bidang pendidikan. Karena pendidikan dianggap sebagai salah satu bidang
yang sangat tepat dan efektif untuk melakukan perubahan.
Pendidikan multikultural bertujuan untuk menanamkan dan membudayakan
nilai-nilai segala jenis ras, budaya dan agama kepada peserta didik, bahwa
Indonesia bukan hanya mempunyai satu budaya, satu ras, ataupun satu agama.
Tetapi Indonesia mempunyai banyak budaya, bahasa, etnis dan agama. Agar tidak
saling berbenturan dan melecehkan terhadap yang lainnya, juga terbiasa dan
mempunyai karakter yang baik dalam berperilaku.Sesuai dengan karakteristik
masalah yang diangkat dalam skripsi ini maka penulis menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dan penelitian pustaka (library research).
Metode pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode dokumentasi
berupa buku, surat kabar, dan literatur-literatur lain yang relevan dengan judul
skripsi.
Konsep pendidikan multikultural dalam Islam mencoba melakukan proses
transformasi prinsip-prinsip multikulturalisme yang ada dalam al-Quran untuk
diterapkandan diimplementasikan dalam kehidupan beragama yang
berkebudayaan. Pendidikan multikultural dalam Islam berusaha
mengaktualisasikan pesan normatif agama dengan realitas sosial yang ada. Prinsip
yang perlu dikembangkan dalam pendidikan multikultural antara lain prinsip
kemanusiaan dan kebebasan serta metode dialogis untuk memberikan kebebasan
dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah yang berkaitan dengan
kemajemukan masyarakat.
Key: Pendidikan, Multikultural dan Islam
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana pada jurusan Manajemen Pendidikan. Dalam hal ini penulis mengangkat
judul yaitu URGENSI PENDIDIKAN DI INDONESIA MULTIKULTURAL
DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM
Terimakasih penulis ucapkan atas segala dukungan dan motivasi yang
telah diberikan kepada penulis dari berbagai pihak sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dukungan dan motivasi dari
berbagai pihak tersebut sangat membantu penulis dalam melalui hambatan selama
proses penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Thib Raya selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Abdul Majid Khon selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dosen Pembimbing, Bapak Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum yang dengan
penuh kesabaran dan kasih sayang memberikan waktu luang untuk
memberikan bimbingan, arahan, nasihat. Semoga kebaikannya menjadi amal
ibadah. Amin
4. Kepada seluruh jajaran Dosen Pendidikan Agama Islam, jasa bapak dan ibu
tak akan pernah saya lupakan, dan terima kasih pula kepada Papak Faza selaku
staf Jurusan Pendidikan Agama Islam jasa ibu sangat berarti.
5. Kepada orang tua saya, Mama Karmila dan Bapak Edi Sidik, Almarhum,
malaikat yang dikirim oleh Allah yang telah memperjuangkan jiwa dan
raganya demi anaknya dalam menempuh pendidik, terima kasih banyak mama
dan bapak jasa-jasamu tak ada tandingannya.
iii
6. Kepada kawan-kawan seperjuangan dan adik-adik Keluaga Besar Himpunan
Mahasiswa Islam Komisariat Tarbiyah, penulis ucapkan terima kasih
motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini
7. Kawan-kawan seperjuangan PAI A 2009 terima kasih atas dukungannya,
kalian semua takkan terlupakan yang sudah belajar bersama-sama disaat suka
maupun duka.
8. Kepada kawan-kawan HMI Komisariat Tarbiyah 2009 yang sudah
memberikan motivasinya.
9. Kepada kawan-kawan seperjuangan M. Aziz Akbar, M. Rizki F. Hasan,
Sulhan, Abdurrahman Fadillah, Suci Nurpratiwi, A Hasan Indra, Budiansyah
yang sudah memberikan motivasinya dan kawan-kawan lain yang tak bisa
saya ucapkan satu persatu.
Dan penulis mohon maaf kepada semua pihak yang sudah membantu dan
tidak sempat disebutkan masing-masing penulis ucapkan terima kasih banyak,
atas dukungan kalian semua Skripsi ini dapat diselesaikan.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 19 April 2015
ANGGI ANGGARA
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
LEMBAR UJI REFERENSI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 12
C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 12
D. Rumusan Masalah .......................................................................... 12
E. Tujuan dan Manfaan Penelitian ..................................................... 12
F. Metode penelitian .......................................................................... 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Agama Islam ............................................................... 14
1. Pengertian Pendidikan .............................................................. 14
2. Pendidikan secara umum .......................................................... 15
3. Pendidikan Islam ...................................................................... 17
4. Tujuan Pendidikan Islam .......................................................... 19
B. Multikultural .................................................................................. 21
1. Embrio Lahirnya Multikultural ................................................ 21
2. Definisi/Pengertian Multikultural ............................................ 23
3. Visi Multikultural Pendidikan .................................................. 25
4. Tujuan Pendidikan Multikultural ............................................. 27
C. Gagasan Pendidikan Islam Multikultural ............................................ 29
1. Konsep Pendidikan Multikultural ........................................... 32
2. Pendidikan Agama dan Multikultural ..................................... 35
3. Pendekatan Sosio-Kultural ..................................................... 39
4. Multikulturalisme, Agama dan Integrasi Sosial ..................... 39
v
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian ............................................................................ 45
B. Jenis Penelitian .............................................................................. 46
C. Sumber Data .................................................................................. 46
D. Metode Pengumpulan Data ............................................................ 47
E. Teknik Analisis Data ..................................................................... 47
F. Teknik Penulisan ............................................................................ 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Teks Ayat dan Terjemahan Tentang Pendidikan Multikultural ..... 49
1. Persaudaran Sesama Manusia ................................................... 49
2. Toleransi .................................................................................... 53
3. Silaturrahim/Taaruf..................................................................55
4. Musyawarah/Kebersamaan........................................................56
5. Tolong-Menolong......................................................................59
B. Keberagaman Pendidikan Islam .................................................... 61
1. Universalitas Agama ................................................................. 61
2. Perdamaian Bagi Seluruh Makhluk dalam Al-Quran .............. 67
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 73
B. Saran .............................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dengan segala kemajemukannya merupakan tantangan
tersendiri bagi para penduduknya. Terlebih bagi umat Islam, sebagai umat
yang mayoritas di negeri ini.Kemajemukan selain merupakan modal yang
sangat besar untukkemajuan, juga rentan denganterjadinya persinggungan
akibat kemajemukan tersebut. Pertikaian karena kemajemukan termasuk di
dalamnya antar umat beragama atau antara aliran dalam agama tertentu sudah
sering terjadi, baik itu dipicu oleh konflik yang benar-benar konflik agama,
ataupun hanya sekedar menjadikan agama sebagai penyulut konflik.
Sepertinya umat beragama dalam hal ini benar-benar sedang diuji
kedewasaannya untuk bisa saling berinteraksi dengan baik agar bisa menjaga
nama baik agama masing-masing dan tidak saling mengganggu kebebasan
dalam memeluk dan beribadat menurut kepercayaan masing-masing.
Keragaman, konflik, kekerasan dan multikulturalisme telah lama menjadi
bahan telaah beberapa peneliti. Dalam sepuluh tahun terakhir ini perhatian
peneliti terhadap tema tersebut semakin meningkat. Besarnya peneliti tidak
bisa dilepaskan dari faktor keragaman masyarakat Indonesia. Perhatian
peneliti terhadap keragaman di Indonesia tidak dimaksudkan sekedar
mendeskripsikan identitas masing-masing kelompok yang banyak ditelaah
dari perspektif antropologi, tetapi yang tidak kalah menariknya, adalah
2
penggambaran pola interaksi antara masing-masing kelompok; apakah
berpola konflik, integratif, akomodatif dan kompetitif. Salah satu identitas
kelompok yang banyak menarik perhatian peneliti adalah keragaman agama
sebagai salah satu faktor krusial dalam interaksi sosial antara masing-masing
kelompok1.
Konflik yang disebabkan oleh faktor faham keagamaan tentang pemicu
konflik dan aksi kekerasan antara penganut Islam dengan Kristen yang
bermodus perusakan gereja di Situbondo. Perusakan gereja antara lain
disebabkan oleh faham keagamaan yang membenarkan tindakan tersebut.
Masyarakat Situbondo yang dikenal sangat agamis dan berjuluk Kota Santri
merasa terancam dengan pesatnya pertumbuhan gereja. Di kalangan
masyarakat Islam memang telah lama berkembang faham keagamaan ekslusif
yang sering mengkritik faham keagamaan lain. Faham ini menunjukkan
adanya faham ekslusif di kalangan elit muslim yang sering mengkritik faham
ketuhanan Kristen. Faham ini tidak hanya berkembang dikalangan elit, tetapi
telah menyebar hampir kepada seluruh umat Islam. Tentu faham keagamaan
bukan satu-satunya faktor pemicu konflik dan aksi kekerasan antar umat
beragama.2
Konflik kekerasan di Indonesia tak lagi sekedar mencak-mencak, orang
nekad menghilangkan nyawa sesama manusia atas nama pemberantasan etnis,
suku, agama, dan harga diri. Tak bisa mengelak bahwa konflik bermuara pada
kekerasan fisik dan turut menghiasi perjalanan reformasi Indonesia. Beberapa
konflik telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Sampit
Kalimantan Tengah, di Jawa Timur, Yogyakarta, Kepulauan Karimun. Orang
bisa marah dalam waktu cepat, tak lagi menyimpan senyum atau sekedar
hidup bersampingan. Walaupun kecendrungan keinginan hidup tanpa
kekerasan, konflik pun tak serta merta berkurang, justru muncul
kecendrungan wacana dan praktik kekerasan yang meluas.3
1Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer, (Malang,
UMM Press, 2009), cet. I, h. 63. 2 Ibid., h. 65.
3Annabel Mc Goldrick, Jake Lynch, Jurnalisme Damai: Bagaimana Melakukannya?,
(Jakarta, LSPP, 2001), cet. I, h. vii
3
Banyak masalah dalam masyarakat terkait diskriminasi dan hak asasi
manusia. Prasangka ras dapat tumbuh sebagai akibat perbedaan budaya.
Orang Timur misalnya, tak mau dipengaruhi kebiasaan mandat dan
kebiasaan-kebiasaan dari Barat, karena mereka takut struktur sosial mereka
berubah dan menganggap kebiasaan-kebiasaan itu sebagai produk kaum
Barbar. Lalu setiap budaya asing mereka meremehkan, menghina, bahkan
membenci. Kurangnya komunikasi antar bangsa kerena kendala bahasa sudah
cukup kuat untuk menyulut prasangka ras jenis sosio-kultural ini.4
Rasialisme dan diskriminasi rasial justu menemukan ladang
penyemaiannya pada yang tidak mau atau malas mengenal golongan atau
kelompok masyarakat manusia lain yang asing atau belum dikenalkannya.
Orang juga sering terperangkap dalam mengidentifikasi orang lain yang
berbeda berdasarkan suku, bangsa, ras, etnik dan agama. Kerap juga
terperangkap pada ciri fisik seperti negro, kulit merah, kulit kuning, keling
atau bule. Sering juga tampilan anatomi tubuh, misalnya hidung betet, mata
sipit, kaki lebar, orang kate dan sebagainya.5
Reproduksi rasisme tingkat wacana oleh sebagian golongan masyarakat
yang berkuasa, memegang teguh fanatisme yang menganggap diri atau
kelompok sebagai yang terbaik, terunggul dan secara berlebihan, dapat
memunculkan sikap diskriminatif rasial pada kelompok lain yang dianggap
lebih rendah tingkatannya. Kasus penembakan Smith yang mendukung
supermasi pada kelompok minoritas di Amerika Serikat sudah
memperlihatkan keterlibatan individu, anggota kelompok, bagian masyarakat
dunia dalam pelanggaran sikap diskriminatif berdasar ras. Juga, kerusuhan
rasial di Los Angeles, Amerika pada 1984. Sejarah juga mencatat tindakan
diskriminasi rasial yang terjadi di berbagai negara lain, termasuk yang maju
macam Inggris, Prancis, Jerman, juga Indonesia dengan kerusuhan Ketapang,
Sambas.6
4Dicky Lopulalan, Benjamin Tukan, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, (Jakarta, LSPP, 2000), cet. I. h. 16. 5Ibid., h. 20.
6Ibid.
4
Di tingkat negara, diskriminasi rasial bisa menghasilkan teror dan tindak
kekerasan yang tiada taranya. Bukti sejarah menunjukkan, pemusnahan yang
dilakukan oleh Adolf Hitler antara 1939-1945 memakan korban tak kurang
dari 5.721.500 orang Yahudi Eropa.7 Gambaran lain adalah pemberlakuan
sistem apartheid di Afrika Selatan yang telah menguntungkan empat juta kulit
putih sebagai pemerintah minoritas dan sebaliknya, menyengsarakan,
memisahkan (apartheid = pemisahan), mengklasifikasikan orang atas dasar
ras, membuat 20 juta penduduk etnik Afrika tidak bisa maju lantaran
pengganjalan serikat perdagangan, serta pembatasan masuk ke sekolah
pemerintah.8
Kemudian di Indonesia untuk melanggengkan kekuasaan, pemerintah
atau penguasa satu wilayah mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat
mengikat dan mengandung muatan diskriminasi rasial. Politik kekuasaan
Orde Baru yang dipertahanlan selama 32 tahun dengan menjalankan politik
SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) telah menghasilkan produk
hukum yang sangat rasialis dari rezim Orde Baru, yakni Inpres No. 2/1980
yang melahirkan kewajiban bagi warga negara tertentu untuk memiliki bukti
sebagai warga negara Indonesia. Hanya dengan dasar pertimbangan demi
kepastian hukum, setiap warga negara keturunan asing yang belum
mempunyai bukti kewarganegaraan wajib memiliki Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).9
Menyinggung soal pemerintah Orde Baru yang meminggirkan
masyarakat adat dan kelompok minoritas. Masyarakat adat telah menjadi
salah satu pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan-kebijakan
pembangunan selama tiga dekade terakhir ini. Secara sistematis pemerintah
menyingkirkan masyarakat adat dari semua lapangan kehidupan sosial,
politik, hukum, ekonomi dan kultural. Pemerintah juga tidak mengakui agama
yang dipeluk masyarakat adat karena tidak dianggap sebagai agama benar.10
7Ibid.
8Ibid.
9Ibid.
10Sapto Yunus, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta:
LPSS, 2000), cet. I, h. 43.
5
Begitu juga dengan faktor religius, perbedaan agama dapat melahirkan
kebencian antar ras. Meski setiap agama yang bersangkutan menganjurkan
saling pengertian, kasih, dan toleransi, dalam sejarah terbukti peperangan
serta penindasan dapat merajarela ketika penganut agama Kristen berhadapan
dengan pemeluk agama Islam, atau antara Katolik dan Protestan sendiri. Di
Timur Tengah, perbedaan agama atau adat sekte agama dapat membakar
kesatuan menjadi kebencian yang memakan banyak korban, seperti yang
terjadi perang saudara di Lebanon dan perang Iran-Irak. Dapat pula muncul
prasangka ras jika pihak tertentu dilihat terlalu hidup enak karena korupsi
atau menindas pihak lain.11
Kecendrungan dorongan dan motif berbeda untuk ikut serta dalam setiap
kerusuhan individual yang bergejolak membuat setiap pertikaian, bentrokan
menaburkan bibit-bibit kekerasan di tempat lainnya terkontaminasi dengan
menghambat arus pengungsi dan menekankan solideritas antar agama.
Konflik-konflik di daerah-daerah disebabkan karena ketidakadilan ekonomi,
tanah yang subur dan sumber daya alam yang berlimpah seharusnya bisa
mensejahterakan lebih dari 1.000 etnis yang hidup di tengahnya. Tapi
kenyataan tak seindah harapan, setidaknya belum untuk saat ini.
Masa reformasi yang diharapkan bisa membuat 200 juta penduduk
memperoleh kehidupan yang lebih baik justru meningkatkan ekskalasi
konflik di tengah masyarakatnya. Setiap kelompok dalam kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan telah berkembang sedemikian rupa seolah-olah
sudah menjadi yang terbaik, dengan kata lain kelompok yang satu merasa
lebih baik dari yang lainnya. Faktor kesenjangan juga ditengarai menambah
ricuh konflik horizontal antar suku bangsa yang terjadi.12
Untuk itulah dalam rangka merajut kebersamaan dan saling pengertian
antar sesama warga-bangsa, maka perlu melihat pemikiran pendidikan dalam
bingkai pendidikan multikulturalisme diharapkan perlu memahami konsep
wacana multikultural yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan
11
Dicky Lopulalan, Benjamin Tukan, Op. Cit, h. 17. 12
Latifudin, Paradigma Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam, Sekolah
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008, h. 4.
6
budaya-budaya lokal dan etnisitas tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi
budaya lain. Hal ini sangat penting untuk dipahami bersama dalam kehidupan
masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia ini. Sebab kenyataan yang
tak dapat dielakkan, bangsa Indonesia memiliki keragaman bahasa, sosial,
agama, budaya dan sebagainya. Keragaman tersebut amat kondusif bagi
munculnya konflik dalam berbagai dimensi kehidupan.
Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika, tentunya sangat menghargai kebebasan masing-masing
agama dan budaya, dimana berbagai pihak termasuk pemerintah pun harus
bertindak adil, sehingga tidak terjadi diskriminasi agama, budaya dan etnis
tertentu. Jika paradigma pendidikan multikultural mengarah pada pedagogik
kesetaraan maka disini dapat dilihat bahwa pendidikan Islam melihat pada
pendidikan multikultural yang dalam Islam dikenal dengan istilah sawwamah,
hurriyah, syuubah, hanif, ihtiram dan tasyamuh.
Pemahaman multikultural didasarkan kepada pedagogik baru yaitu
pedagogik yang berdasarkan pada kesetaraan manusia (equity pedagogy).
Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui adanya hanya hak asasi
manusia tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa,
kelompok bangsa untuk hidup berdampingan berdasarkan kebudayaan
sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip kesetaraan individu, antar
individu, antar bangsa, antar budaya, antar agama dan antar etnis. Pedagogik
kesetaraan tidak mengakui perbedaan-perbedaan artifisial yang telah dibuat
oleh manusia di dalam sejarah kehidupannya. Pedagogik kesetaraan
berpangkal kepada pandangan mengenai kesetaraan martabat manusia (digity
of man).13
Di satu sisi perkembangan multikulturalisme didorong oleh keterbukaan
kehudupan manusia karena terbentuknya apa yang disebut global village.
Terutama didorong oleh kemajuan teknologi komunikasi, hubungan antar
manusia di dunia ini semakin terbuka dan menyatu sehingga dimungkinkan
oleh hubungan global yang semakin erat, yang jelas ialah, hubungan
13
Ibid., h. 9.
7
kehidupan ekonomi, globalisasi melahirkan adanya pasar terbuka (open
market), menyebabkan hubungan antar manusia, antar ras, antar agama dan
antar budaya sangat menjadi erat. Disini maka dilihat hubungan atau
keterkaitan antar pendidikan multikultural dengan agama Islam. Pendidikan
multikultural berbasis agama tidak dapat dilepaskan dari pemahaman
pendidikan yang bersifat universal. Hal ini jika dikaitkan dengan pendidikan
Islam perspektif al-quran maka, pembahasannya adalah pluralitas, discourse
civilization, serta identitas sosial.14
Oleh krena itu cara beradab untuk menyelesaikan setiap konflik ditengah
masyarakat yang tidak dapat diselesaikan secara damai adalah melalui
hukum. Dalam negara yang beradab, keberadaan masyarakat tidaklah
berkelas, maka Indonesia amat sangat penting untuk mengembalikan negeri
ini menjadi negeri hukum sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Di mana-mana dan tanpa terkecuali tindakan yang
bertentangan dengan hukum. Apabila masyarakat dapat mengendalikan
bahwa hukum selalu terlaksana tanpa pandang bulu, mereka tidak akan lagi
main hakim sendiri.15
Jika politik pengakuan berbagai kelompok, entah etnis, religius, jender
ataupun ideologis, menguat secara signifikan dalam masyarakat majemuk,
kompleksitas baru itu pasti akan mengganggu netralitas negara sehingga tidak
mungkin lagi mensterilkan isu-isu agama, kebudayaan dan jender dari politik.
Sebaliknya, berbagai konsep pra-politis dari berbagai kelompok etnis, religius
dan jender dalam situasi itu menjadi politis. Sementara itu keadilan
multikultural berarti memberikan hak-hak kolektif yang sama kepada semua
kelompok kultural untuk memelihara dan mengungkapkan tradisi dan
identitas kolektif mereka. Negara misalnya, dapat mengakomodasi sikap-
sikap eksklusif suatu kelompok kultural tertentu dalam norma perkawinan,
pendidikan dan tradisi kultural. Jika untuk mempertahankan integritas sosial
perlu mengambil strategi seperti konsep libealisme ialah management of self-
14
Ibid. 15
Maarif, Kekerasan Atas Nama Agama, (Jurnal Islam dan Sosial, vol. 5, 2010), h. 129.
8
intersts, dan multikultural mengambil strategi management of cultural
identities. Masalah terbesar yang dihadapi model ini adalah relativisme nilai-
nilai. Sekalipun keadilan multikultural dapat ditegakkan pada ranah politis
dengan berlakunya hukum positif yang memproteksi hak-hak kolektif, pada
ranah sosial akan terjadi kultural makna keadilan.
Di dalam relativisme tesebut, berbagai tradisi kultural justru mengisolasi
diri secara eksklusif satu sama lain. Mosaik identitas-identitas itu harus
dibayar dengan ongkos hilangnya rasa kekitaan yang lebih luas, yaitu kita
sebagai warga negara republik Indonesiayang berbagi nilai-nilai bersama.
Makna keadilan itulah yang dalam radar tertentu dialami dalam masyarakat
Indonesia sebagai krisis moral.16
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perasangka ras dan agama
bukan muncul akibat insting manusia atau karena adanya sikap yang
diturunkan. Namun, perasangka ini bertalian dengan pendidikan yang
diberikan orang tua di rumah atau yang diperoleh dari isi buku pelajaran di
sekolah atau dari media massa. Hal ini bisa terjadi karena kekurangpahaman
pada konsepsi dasar rasialisme dan diskriminasi rasial, atau karena media itu
sendiri mengusung paham yang rasis.17
Di Indonesia, pluralisme dan multikulturalisme terutama yang terkait
dengan agama seakan ditakdirkan selalu berada dalam posisi problematis.
Siapapun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman Indonesia.
Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama, jauh
sebelum datangnya Islam, masyarakat nusantara telah terpola ke dalam
berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya
pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang
diakui eksistensinya, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan
Konghucu.18
Tentang kemajemukan (pluralizm) dapat dilihat dari artikulasi yang
diberikannya terhadap term al-Islam yang secara intrinsik berarti kedamaian,
16
Ibid., h. 41. 17
Op. Cit, h. 18. 18
Syamsul Arifin, op, cit. h. 164.
9
ketundukan atau sikap pasrah. Bahkan dapat dielaborasikan dalam term al-
Islam dengan al-iman dan taqwa. Yang semuanya merujuk pada arti
ketundukan, aman dan mencegah diri dari kehancuran dan kebinasaan.
Sehingga dalam pandangan keuniversalan Islam terletak pada esensi dan
subtansi ajaran yang rahmatan lilalamin, memelihara kedamaian dengan
mengarahkan para pemeluknya memiliki sikap tunduk dan patuh kepada
ajaran al-quran. Klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (claim
salvation) yang memicu sikap konfrontasi atau konflikantara manusia dengan
dalih perbedaan agama dan keyakinan harus dibuang jauh-jauh, sebaliknya
kerjasama dan perdamaian dapat ditumbuhkembangkan.19
Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan
ideologis, ekonomi, sosial-politik dan agama, manusia menjalani kehidupan
yang bersifat pluralis secara alamiah tanpa begitu banyak mempertimbangkan
sampai pada tingkat benar tidak nya realitas pluralistik yang menyatu
dalam kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan kepentingannya
(organisasi, politik, agama dan budaya) mulai mengangkat isu pluralistik pada
puncak kesadaran mereka dan menjadikannya sebagai pusat perhatian, maka
pluralitas yang semula bersifat alamiah, wajar berubah menajadi hal yang
sangat penting. Tak bisa dipungkiri, bumi sebagai tempat hunian umat
manusia adalah satu. Namun, telah menjadi sunatullah, para penghuninya
terdiri dari berbagai macam ras, suku, bahasa, budaya dan agama. Dengan
demikian kemajemukan merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dari
berbagai ruang kehidupan termasuk dalam kehidupan beragama.
Dalam perkembangan selanjutnya, dunia pendidikan tidak lagi bisa
difokuskan pada pembangunan kepribadian perorangan saja. Peradaban
manusia yang semakin maju menuntut pendidikan untuk lebih
memperhatikan aspek sosial masyarakat. Pada kenyataannya, pendidikan
kemasyarakatan lebih penting dari pada pendidikan individual, karena
pendidikan sebenarnya merupakan sebuah fungsi sosial. Selanjutnya
19
Muhamad Irfan, Basuki, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan, (Ponorogo,
STAIN Ponorogo Press, 2009), cet, I, h. 17.
10
masyarakat dan lingkungan merupakan sarana penyelenggaraan pendidikan.20
Sebagai salah satu fungsi sosial, pendidikan mempunyai peranan penting
dalam memerdekakan pemikiran setiap anggota masyarakat, sebab
kemerdekaan pemikiran awal terciptanya masyarakat yang beradab,
berbudaya dan tidak tertindas. Oleh karena itu hakikat pendidikan sebagai
suatu proses memanusiakan anak manusia, yakni menyadari akan manusia
yang merdeka. Manusia merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud
di dalam budayanya, karena manusia dibesarkan di dalam habitusnya yang
membudaya. Hidup di dalam budayanya dan menciptakan atau merekontruksi
budayanya itu sendiri, memanusiakan berarti membudaya.21
Pendidikan sebagai faktor utama perkembangan budaya masyarakat,
seringkali dimanfaatkan oleh berbagai pemikiran dan ideologi untuk
menyebarkan pemahaman dan pola pikirnya. Sudah tidak asing lagi jika suatu
pemikiran mendominasi lembaga atau sistem pendidikan tertentu. Di antara
pemikiran-pemikiran yang banyak memberikan pengaruh dan bahkan
menentukan tujuan dan metode pembelajaran suatu sistem pendidikan adalah
ideologi agama.22
Pendidikan merupakan institusi sosial yang dipandang strategis untuk
mendiseminasikan wacana lintas agama. Posisi strategis pendidikan sebagai
media untuk mensosialisasikan sikap pluralistik, pendidikan multikultural
tidak hanya ingin mengembangkan pengetahuan, tetapi juga ingin
mengembangkan sikap pluralistik, demokratis, humanis dan keadilan terkait
dengan perbedaan kultural yang ada di sekitar peserta didik.23
Paparan di atas memberikan isyarat penting bahwa kajian seputar
keragaman, konflik, kekerasan dan multikulturalisme, telah melimpah.
Meskipun demikian, tidak berarti kajian di seputar topik tersebut tidak
memiliki daya tarik lagi terutama dari kepentingan pengembangan ilmu
20
Yulia Rahman, Nasionalisme dan Islam Dalam Pembelajaran Agama, (Bandung,
Friska Agung Insani, 2000), h. 30. 21
Ibid., h. 30. 22
Ibid. 23
Syamsul Arifin, Op.cit., h. 66.
11
pengetahuan. Dari semua topik yang telah diteliti, topik multikulturalisme
nampaknya masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam lagi terutama
untuk memperkokoh kebenaran pragmatisnya. Di beberapa negara konsep
multikulturalisme telah mengalami pelembagaan sebagai bagian dari
pendekatan kebijakan publik dalam menghadapi persoalan kemajemukan. Ini
berarti konsep multikulturalisme dianggap benar secara pragmatis karena
memiliki kegunaan dalam realitas empirik. Di Indonesia multikulturalisme
memang telah memperoleh apresiasi terutama dari kalangan akademisi. Salah
satu bentuk apresiasi misalnnya nampak pada adanya wacana
multikulturalisme sebagai alternatif dari pluralisme. Apresiasi juga terlihat
pada berbagai upaya untuk mengobjektivasikan multikulturalisme dalam
berbagai bidang kehidupan seperti yang bisa diamati dalam dunia
pendidikan.24
Ada dua masalah yang menjadi keprihatinan dikalangan umat Islam
Indonesia menyangkut pendidikan. Pertama ialah memudarnya nilai-nilai
agama, tumbuhnya sikap sekuler atau sikap anti agama di sebagian
masyarakat Indonesia. Ini dirasakan terutama sejak berdirinya sekolah-
sekolah modern pada masa kolonial Belanda. Kalangan pemimpin Islam
yakin apabila keadaan tersebut terus berlanjut, maka negara dan masyarakat
Indonesia akan rapuh. Sebab itu, pendidikan agama harus menjadi materi
pendidikan pokok. Kedua ialah rendahnya mutu pengetahuan modern para
siswa di lembaga-lembaga pendidikan Islam.25
Dari beberapa kasus pengalaman tersebut tampaknya hingga hari ini
pendidikan multikultural masih menyimpan sejumlah persoalan dalam
konteks Indonesia. Oleh karenanya sudah semestinya pendidikan Islam
memberikan respon terhadap gejala multikultural yang sedang booming dan
menggejala saat ini. Maka dari itu penulis tertarik mengulas judul Urgensi
Pendidikan Multikultural Di Indonesia dalam Perspektif Agama Islam
24
Op.cit., h. 66-67. 25
Azyumardi Azra, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: PPIM,
1998), h. 235.
12
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkanlatarbelakang masalah di atas penulis mengidentifikasikan
masalah-masalah sebagai berikut:
1. Kesadaran sebagai anggota masyarakat yang rendah terhadap
keberagaman sosial
2. Sering terjadi konflik antar individu maupun kelompok di Indonesia
3. Penyamarataan yang rendah dalam bermasyarakat
4. Terjadinya diskriminasi dan kesenjangan sosial.
C. PembatasanMasalah
Dengan membaca identifikasi masalah, sesungguhnya penelitian terhadap
aspek pendidikan nasioal dengan menggunakan pendidikan multikultural
tentulah sangat luas dan kompleks, karena keterbatasan ruang dan waktu.
Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dan tepat dalam pembahasannya,
perlu ada pembatasan pada hubungan pendidikan multikultural di Indonesia
dalam agama Islam.
1. Urgensi pendidikan multikultural?
2. Bagaimana pemahaman pendidikan multikultural menurut Islam?
D. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah tersebut dapat dirumuskan sebuah pertanyaan yang
akan dijawab oleh peneliti, yaitu:
1. Seberapa besar urgensi Pendidikan Multikultural Di Indonesia?
2. Bagaimana pemahaman Islam terhadap pendidikan multikultural?
E. Tujuan dan Manfaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menentukan pandangan dasar Islam terhadap
wacana pendidikan multikultural dan membongkar wacana yang dilontarkan
intelektual muslim seputar hal itu sebagai bagian dari tuntutan zaman.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah mensosialisasikan pendidikan
multikultural dari sudut pandang Islam untuk mengintegrasikan kemajemukan
demi terciptanya kerukunan hidup berbangsa dan beragama.
13
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis, yaitu
penelitian yang dimaksud mengadakan pendeskripsian yang berkaitan dengan
tema yang dibahas. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam pencarian
data adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan meneliti buku-buku, kitab-
kitab, majalah, surat kabar, jurnal dan sumber lainnya yang berkaitan dengan
tema ini. Sedangkan teknik penulisannya berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan
Di dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1
dijelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.1 Dalam pasal 1 ayat 2 tentang pendidikan nasional ialah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan
nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.2
Kemudian, dalam pasal 16 diterangkan pendidikan berbasis masyarakat
adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial,
budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,
dan untuk masyarakat.3 Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kegiatan
bimbingan pengajaran dan pelatihan terkandung makna pendidikan.
1Undang-Undang Tentang Sisdiknas dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV.
Tamita Utama, 2004), h. 4. 2 Ibid., h. 5.
3Ibid
15
Di kalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya diarahkan
pada Pembina an watak, moral, sikap atau kepribadian atau lebih mengarah
pada efektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu
pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotorik.
Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai
aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang
secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang
dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani
dan memanfaatkan kehidupannya), sikap hidup dan keterampilan hidup, baik
yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial.
Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara
dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan
hidup atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak.4
Ahmad Tafsir menambahkan, bahwa pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.Jadi,
pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik)
terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang
positif. Sekarang jelaslah bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan
kepada seseorang agar dapat berkembang secara maksimal.5
Dari istilah-istilah tersebut, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendidikan bisa diartikan sebagai suatu proses yang komprehensip dari
pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi
bidang intelektual, spritual, emosional dan fisik.6
2. Pendidikan secara umum
Kata pendidikan ditinjau dari segi etimologi berasal dari kata dasar didik
yang berarti memelihara dan memberi latihan, ajaran, pimpinan mengenai
4Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), cet. 5, h. 37. 5Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008), cet. 1, h. 24-28. 6Anshori, Pendidikan Islam Transformatif, (Jakarta: Referensi, 2012), cet. I, h. 10.
16
akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan sebagai daya upaya untuk
memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan
jasmani anak-anak. Maksudnya ialah untuk memajukan kesempurnaan hidup,
yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alam dan
masyarakat.
Memperhatikan definisi di atas dapat ditarik pengertian bahwa
pendidikan adalah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
dalam mempengaruhi orang lain yang bertujuan untuk mendewasakan
manusia seutuhnya, baik lahir maupun batin. Artinya, dengan pendidikan
manusia bisa memiliki kestabilan dalam pandangan hidup dan
kestabilandalam nilai-nilai kehidupan dengan penuh rasa tanggung jawab.7
Plato mengatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah
penyadaran terhadap self knowing and self realizationkemudian inquiri,
reasoning and logic. Jadi, disini jelas bahwa tujuan pendidikan memberikan
penyadaran terhadap apa yang diketahuinya, kemudian pengetahuan tersebut
harus direalisasikan sendiri dan selanjutnya mengadakan penelitian serta
mengetahui hubungan kausal, yaitu alasan dan alur pikirnya. Ahli filsafat lain
seperti Aristoteles mengatakan bahwa tujuan pendidikan penyadaran terhadap
self realization, yaitu kekuatan efektif (virtue) kekuatan untuk menghasilkan
(efficacy) dan kekuatan untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui kebiasaan
dan kemampuan berfikir rasional.8
Dari pengertian di atas, pendidikan dikatakan sebagai sebuah proses yang
dilakukan secara sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi-potensi
yang dimiliki peserta didik. Dengan dasar itu, pendidikan dimaksudkan untuk
membekali peserta didik agar mampu menjadi warga negara yang baik.9
Sebetulnya, tujuan umum pendidikan Islam sinkron dengan tujuan agama
Islam, yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa dan
7Armai Arif, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI,
2009), cet. I, h. 32. 8Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan dan Aplikasinya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2014), cet. I, h. 4. 9Armai Arif dan Sholehuddin, Perencanaan Sistem Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:
PT. Wahana Kardofa, 2009), cet. I, h. 2-3.
17
beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.10
3. Pendidikan Islam
Pendidikan menurut Islam adalah sarana untuk melatih badan (fisik),
fikiran dan jiwa dengan menerapkan berbagai ilmu pengetahuan, yaitu ilmu
fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain seperti rukun Islam
diwajibkan bagi setiap orang dan ilmu fardhu kifayah yang merupakan ilmu
pilihan seseorang diperlukan untuk masyarakat dalam kehidupannya dan
untuk melestarikan alam. Tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya
kepribadian muslim, bahwa tujuan demikian identik dengan tujuan hidup
setiap orang muslim, adapun tujuan hidup seorang muslim adalah
menghamba (ibadah) kepada Allah.11
Masih sejalan dengan uraian tersebut, tujuan pendidikan Islam dalam
Konferensi Pendidikan Islam tahun 1980, bahwa pendidikan harus
merealisasikan cita-cita Islam yang mencakup pengembangan kepribadian
muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis yang berdasarkan
psikologis dan fisiologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan
sekaligus berilmu pengetahuan secara berkesinambungan sehingga
terbentuknya manusia muslim paripurna yang berjiwa tawakal secara total
kepada Allah.12
Dalam seminartentang Sistem Pendidikan Islam di Indonesia, yang
diadakan oleh BKS-Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta pada 13-16 mei 1979,
disimpulkan tentang kependidikan Islam; Pendidikan Islam ialah usaha yang
berlandaskan untuk membantu manusia dalam mengembangkan dan
mendewasakan kepribadiannya, baik jasmaniyah maupun rohaniyah untuk
memikul tanggung jawab memenuhi tuntunan zaman dan masa depan.13
10
Rizaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: FAI UHAMKA, 2008, cet. I, h. 7.
11Armai Arif, op.cit., h. 137.
12Abdul Halim, Wawasan Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), cet. I, h. 18-
19. 13
Muhamad H Talhah, Islam Dalam Perspektif Sosio-Kultural, (Jakarta: Lantabora Pers,
2005), cet. I, h. 97.
18
Bangsa Indonesia telah merumuskan tujuan pendidikan nasional melalui
TAP MPR dan dimasukkan sebagai GBHN. Tujuan tersebut ialah untuk
meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,
keterampilan, mempertinggi budipekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan pembangunan
manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Rumusan tersebut merupakan
tujuan akhir dari pendidikan nasional atau yang disebut sebagai ultimate aims
of education. Dalam tujuan akhir ini masih dapat mengandung bagian-bagian
tertentu yang disebut sebagai tujuan khusus (Proxsimate Objective). Tujuan
khusus ini banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang menjiwai proses
pendidikan. Bagi seseorang religius (muslim), tujuan khusus pendidikannya
adalah untuk mencapai suatu kesempurnaan dan kesempurnaan itu baginya
ialah kebijakan kepada Allah dan sesama manusia (atqakum billah wa
anfaukum linnas), itulah yang merupakan citra tertinggi keagamaan.14
Dalam konteks pendidikan Islam, berarti pandangan hidup, sikap hidup
dan keterampilan hidup harus bernafaskan juga dijiwai oleh ajaran dan nilai-
nilai Islam yang bersumber dari al-Quran dan sunnah/hadis. Pendidikan
dalam perspektif Islam dapat mengandung pengertian pendidikan atau
pengajaran keagamaanatau ke-Islaman, dan pendidikan atau pengajaran
agama Islam.15
Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu pengertian, bahwa yang
dimaksud dengan pendidikan Islam melalui pengajaran, bimbingan dan
latihan yang dilakukan dengan sadar dan penuh tanggungjawab dalam rangka
pembentukan, pembinaan, pendayagunaan dan pengembangan pikir, zikir dan
kreasi manusia, sehingga terbentuk pribadi muslim sejati, yang mampu
mengembangkan kehidupan dengan penuh tanggung jawab dalam rangka
beribadah kepada Allah Swt untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat.16
14
Ibid., h. 99. 15
Ahmad Sadali, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1987), cet. I, h,. 38. 16
Ibid., h. 33.
19
4. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan agama Islam yaitu menciptakan manusia yang
berakhlak Islam, beriman, dan bertaqwa sebagai suatu kebenaran serta
berusaha dan mampu membuktikan kebenaran melalui akal, rasa, dalam
seluruh perbuatan dan tingkah laku sehari-hari. Karena pendidikan tidak
hanya mengajarkan atau mentransformasikan ilmu dan keterampilan serta
kepekaan budaya atau agama, akan tetapi seyogyanya memberi perlengkapan
kepada anak didik untuk mampu memecahkan persoalan-persoalan yang
sudah nampak maupun yang baru akan nampak jelas dimasa yang akan
datang. Dengan perkataan lain pendidikan Islam harus berorientasi ke masa
yang akan datang (futuristic), karena sesungguhnya anak didik masa kini
adalah bangsa yang akan datang.
Persoalan-persoalan yang harus dipecahkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat dan warganegara mungkin tidak hanya akan dihadapi
satu atau dua kali, tetapi seringkali selama hidupnya. Disinilah antara lain
letak pentingnya bahwa ruang lingkup materi pendidikan tidak hanya
merupakan perbendaharaan ilmu pengetahuan yang harus dihafalkan
(cognitive learning), atau berbagai latihan keterampilan yang spesifik
(psychomotoric training), akan tetapi yang lebih penting bahwa ilmu
pengetahuan disampaikan sedemikian rupa dalam satu susunan yang
memungkinkan untuk berfungsi sebagai masukan (input) yang dapat
diperoses didalam otak, sehingga memungkinkan terbentuknya suatu sikap
apresiatif dan suatu konsep idea tentang suatu masalah dan atau sebagai
pemecah masalah. Yang paling penting diperhatikan, karena seringkali
diabaikan ialah suatu bagian dari belajar secara kognitif yaitu pembinaan
sikap yang melandasi perbuatan seseorang yang committed kepada perintah
Allah dengan ikhlas atau pembinaan yang disebut akhlak.17
Konsep ini hendaknya juga berfungsi sebagai suatu dasar yang dapat
dikembangkan lebih lanjut didalam proses belajar, baik secara formal maupun
secara informal atau non-formal terus menerus selama hidup. Pada akhirnya
17
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I, h. 41.
20
pendididkan Islam diharapkan dapat menghasilkan manusia secara sadar
mampu mengucapkan kalimat seperti dalam al-Quran surat az-Zukhruf (43):
13.
) (:
Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat
Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya, dan supaya kamu
mengucapkan maha suci Tuhan telah menundukkan semua ini bagi kami
padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. az-Zukhruf (43): 13.
Dengan demikian usaha pendidikan Islam diproyeksikan kepada:
a. Pembinaan ketaqwaan dan akhlakul karimah yang dijabarkan didalam
pembinaan kompetensi enam aspek ke-imanan, lima aspek ke-Islaman dan
multi aspek ke-ihsanan.
b. Mempertinggi kecerdasan dan kemampuan anak didik.
c. Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta manfaat dan
aplikasinya.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
e. Memelihara, mengembangkan dan meningkatkan budaya dan lingkungan.
f. Memperluas pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap
keluarga, masyarakat, bangsa, sesama manusia dan makhluk lainnya.18
Dengan demikian pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia
yang berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya serta senang dan gemar
mengamalkan juga mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan
Allah dan dengan sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin
meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di
akhirat nanti. Tujuan ini kelihatannya terlalu ideal sehingga sukar dicapai,
tetapi dengan kerja keras yang dilakukan secara berencana dengan kerangka-
kerangka kerja yang konseptual mendasar, pencapaian tujuan itu bukanlah
sesuatu yang mustahil.19
18
Ibid., h. 42. 19
Ibid.
21
Banyak sekali konsep dan teori tujuan pendidikan Islam yang telah
dikemukakan oleh para ahli pendidikan, baik pada zaman klasik, pertengahan
maupun dewasa ini. Dapat dipahami, bahwa beragamnya konsep dan teori
pendidikan Islam merupakan bukti adanya usaha dari para intelektual muslim
dan masyarakat muslim umumnya untuk menciptakan suatu sistem
pendidikan yang baik bagi masyarakat. Namun demikian, berkembangnya
pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam tidak pernah melenceng dari
prinsip dasar yang menjadi asas dan pijakan dalam pengembangan tujuan
pendidikan Islam. Diantara prinsip tersebut adalah prinsip universal,
keseimbangan, kejelasan, dinamis dan relevan.20
Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan
mencari keridhoan Allah, membangun budipekerti untuk berakhlak mulia,
serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna
ditengah-tengah komunitas sosial (masyarakat).21
Pengertian lain tentang
pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh
aspek kehidupan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi
pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun
ukhrawi.22
Pada hakikatnya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah
merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia baik
individu maupun masyarakat.23
B. Multikultural
1. Embrio Lahirnya Multikultural
Latar historis multikultural, pemikiran tentang pluralisme agama muncul
pada masa-masa pencerahan Eropa abad ke 18 Masehi, sebagai masa awal
kebangkitan gerakan pemikiran modern di Eropa. Bahwa abad ke 18
merupakan abad kebangkitan Eropa dari masa kegelapan, feodalisme dan
dominasi gereja terhadap negara dan masyarakat ke masa pencerahan
20
Ahmad Sadali,op.cit.,h. 18. 21
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. I, h. 116. 22
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 8. 23
Samsul Nizar, op, cit., h. 30.
22
pemikiran yang berorientasi superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan
akal dari kungkungan agama (gereja). Dominasi gereja dan prilaku korup
kalangan pastoral tingkat tinggi ditambah hiruk-pikuk konflik-konflik etnik,
sekterian, ras, mazhab dan keagamaan yang berprilaku intoleran
memperburuk hubungan gereja dan kehidupan diluar gereja yang semakin
memuncak dengan munculnya paham liberalisme.
Konflik gereja dan kehidupan di luar gereja tersebut telah melahirkan
arus pemikiran dan gerakan yang bersifat anti gereja di Eropa. Gerakan
tersebut merupakan perlawanan terhadap hak-hak istimewa, dugaan korupsi
dikalangan pastoral tingkat tinggi, dan terhadap situasi yang disebut sebagai
keyakinan yang tak tercerahkan dilingkungan Katolik Roma yang telah
melakukan kontrol dan pengawasan terhadap negara, ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Situasi kacau balau telah mengantarkan pada kelahiran paham
liberalisme dengan komposisi utama kebebasan, toleransi, persamaan, dan
keragaman atau pluralisme. Maka di lihat dari karakter kemunculannya dan
kondisi sosial politik yang mengitarinya, paham liberalisme merupakan
produk pemikiran sosial-politik sebagai reaksi terhadap dominasi gereja
Katolik dan stagnasi pemikiran saat itu.
Isu pluralisme agama kemudian berkembang ke isu multikulturalisme.
Perkembangan isu ini memiliki dua implikasi. Pertama, dari aspek
terminologis pengertian pluralisme mencakup keragaman dalam segala aspek
seperti pluralisme politik, pluralisme budaya, pluralisme bahasa, dan
pluralisme agama. Oleh karena itu pluralisme agama adalah salah satu aspek
dari pluralisme. Pengertian multikulturalisme lebih diarahkan kepada
keragaman budaya. Orientasi kebudayaan dengan berbagai unsur lebih
ditonjolkan atau dipertajam dalam istilah multikulturalisme. Karena
menjangkau segala aspek kebudayaan, maka pengertian multikulturalisme
menjadi lebih luas dibanding istilah pluralisme agama sebab dalam paradigma
antropologi, agama merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan kata lain,
istilah multikulturalisme dipilih untuk menjangkau segala aspek keragaman
berlatar budaya, bukan hanya agama seperti selama ini yang banyak
23
dipahami. Dalam kenyataannya, tema-tema multikulturalisme menjangkau
bidang yang lebih luas seperti bahasa, difabilitas, ras dan etnik, gender,
orientasi seksual dan sebagainya.
Prinsip penting dalam konsep multikultiralisme yang selama ini banyak
dikemukakan adalah prinsip kesetaraan. Dari prinsip kesetaraan muncul
keterbukaan, inklusivitas, penerimaan terhadap keragaman (akseptabilitas),
keadilan dan kepedulian. Salah satu instituisi yang dipandang sering
menghambat penegakan prinsip-prinsip tersebut adalah agama.24
2. Pengertian Multikultural
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Akar kata dari
multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari
fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Multikulturalisme tidak
hanya merujuk pada kenyataan sosial antropologis adanya pluralitas
kelompok etnis, bahasa dan agama yang berkembang di Indonesia tetapi juga
mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima
keragaman budaya.25
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan
kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan budaya. Pendidikan multikultural
sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan
dunia secara keseluruhan. Bahwa paradigma pendidikan multikultural
mencakup subjek-subjek ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakang kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang
diantaranya sosial-budaya, ekonomi, dan pendidikan.
Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang
kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang
menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan
multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme
24
Dody Trauma, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, (Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2010),cet. I. h. 69. 25
Ibid., h. 70.
24
dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan
dalam kesadaran politik.26
Masyarakat Multikultural disusun atas tiga kata, yaitu Masyarakat, Multi,
dan Kultural. Masyarakat artinya adalah sebagai satu kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
terus menerus dan terikat oleh rasa toleransi bersama, Multi berarti banyak
atau beranekaragam, dan Kultural berarti Budaya. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas
banyak struktur kebudayaan. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya suku
bangsa yang memilik struktur budaya sendiri yang berbeda dengan budaya
suku bangsa yang lainnya.27
Multikultural juga dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan
terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga
masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang
tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan
ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya
masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.28
Tujuannya adalah untuk mencapai pemberdayaan bagi kelompok-
kelompok minoritas. Kemudian istilah multikultural dapat digunakan baik
pada tingkat deskriptif maupun normatif, yang menggambarkan isu-isu dan
masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural.
Oleh karena itu, kurikulum pendidikan multikultural mencakup subjek seperti
toleransi, tema-tema tentang perbedaan etnik-kultural, agama, bahaya
diskriminasi, penyelesaian konflik, mediasi, HAM, demokrasi, pluralitas dan
kemanusiaan universal.Bahwa kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah
pengakuan akan pluralitas, heterogenitas dan keberagaman manusia itu
sendiri. Keberagaman itu bisa berupa ideologi, agama, paradigma, polapikir,
26
Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme
Indonesia, (Jakarta: PPIM, 2007), h. 34. 27
Ibid., h. 36. 28
Ibid.
25
kebutuhan, keinginan dan tingkat intelektualitas. Pendidikan multikultural
mampu menghargai dan menghormati semua bentuk keragaman agar mampu
meredam berbagai gejolak yang mengarah kepada permusuhan, genoid atau
bahkan tindakan kekerasan.29
3. Visi Multikultural Pendidikan
Indonesia adalah bangsa majemuk.Hal ini ditandai dengan banyaknya
etnis, suku, agama, bahasa, budaya dan adat istiadat.Kemajemukan tersebut
belakangan dikenal sebagai masyarakat multikultural, masyarakat yang
anggotanya memiliki latarbelakang budaya dan agama yang beragam.
Keragaman merupakan modal sosial (social capital) yang sangat
berharga bila dimanfaatkan dengan baik, maka akan menjadi keuntungan
besar bagi kejayaan bangsa Indonesia. Tetapi juga sangat rentan terjadi
konflik antar warga dan antar agama manakala tidak dikelola dengan benar.
Dalam konteks ini, kemajemukan dan multikultural bisa menjadi faktor
destruktif dan menimbulkan bencana dahsyat. Konflik dan kekerasan sosial
yang sering terjadi antar kelompok masyarakat merupakan bagian dari
kemajemukan dan multikultural yang tidak bisa dikelola dengan baik.
Rendahnya kesadaran multikultural ditengah kehidupan umat manusia, bukan
semata masalah domestik Indoneisa, melainkan juga masalah global.
Tantangan di atas sangat penting untuk zaman milenium ini, karena abad
yang lampau ternyata telah merangkum 25 sampai 35 peperangan pertahun.
Terjadinya peperangan terkait dengan kekerasan struktural. Kekerasan
struktural adalah buah dari ketidakadilan, penindasan sosial, gender,
militerisme, rasisme, kerusakan ekosistem dan kegagalan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia (human basic needs). Salah satu
bentuk kekerasan langsung yang paling ekstrim, yaitu peperangan yang telah
mematikan 40 juta manusia sejak tahun 1990. Kesadaran tentang betapa
gawatnya masalah konflik dan kekerasan pada tataran global ternyata telah
29
Suwito, Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. I, h.
25.
26
cukup dimiliki oleh berbagai pihak di dunia. Gerakan dan sosialisasi akan
pentingnya kehidupan yang damai pada tataran global dan disertai dengan
pentingnya kehidupan multikultural harus saling memahami dan
menghormati adalah bukti bahwa kehidupan damai merupakan dambaan
semua umat manusia.
Untuk mengubah kerangka fikir baik kolektif maupun individual bangsa
Indonesia dalam menghadapi persoalan sosio-kultural, pendidikan dipandang
sebagai faktor penting dalam menumbuhkembangkan kesadaran akan nilai-
nilai kehidupan multikultural. Pendidikan dalam perspektif ini boleh
dipandang sebagai upaya pendewasaan manusia, kebebasan manusia dari
tindak anarkisme dan transendensi dari manusia atas nilai-nilai multikultural
dalam kehidupan berbangsa, sehingga kehidupan sosio-kultural semakin baik
kualitasnya. Kesadaran multikultural adalah kesediaan kelompok lain secara
sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik,
gender, bahasa dan agama.
Kesadaran multikultural dapat berkembang baik apabila ditanamkan
sejak awal terhadap generasi muda lewat lembaga pendidikan. Melalui
pendidikan, sikap saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang
dengan baik. Pendidikan berbasis multikultural ini membantu siswa untuk
mengerti, menerima dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai dan
agama yang berbeda. Untuk itu, anak didik perlu diajak melihat nilai budaya
lain sehingga mengerti secara mendalam. Modelnya dengan tidak
menyembunyikan budaya lain atau menyeragamkan berbagai budaya menjadi
satu budaya nasional. Dalam pendidikan berbasis multikultural, tiap budaya
diakomodasi dan memiliki nilai sendiri. Disinilah dibutuhkan keterbukaan
hati dan fikiran, serta diperlukan pemahaman relativitas nilai budaya.
Dalam konteks di atas, pendidikan Islam mempunyai peranan
pentinguntuk menanamkan kesadaran multikultural kepada anak didik.
Sayangnya, di Indonesia sendiri masih kurang partisipasi ilmuan muslim
dalam perdebatan teoritis, pelahiran teori serta pengembangan teori.
Kenyataan ini tercermin dari kurangnya publikasi ilmiah dalam jurnal
27
maupun penerbitan buku yang ditulis para pakar pendidikan Islam, yang
mengetengahkan perdebatan, pelahiran atau pengembangan konsep
pendidikan Islam berbasis multikultural. Tak pelak sampai saat ini, para guru
Islam di sekolah-sekolah umum maupun madrasah masih kesulitan mencari
model pendidikan Islam berwawasan multikultural.
Padahal di Indonesia, agama seringkali menjadi sumber konflik dan
kekerasan sosial. Untuk mencegah terjadinya konflik yang bersumber pada
agama maka mengajarkan agama secara inklusif dan kontekstual menjadi
penting. Materi-materi agama Islam yang diajarkan di sekolah mempunyai
pengaruh yang signifikan dalam membentuk pemahaman ke-Islaman bagi
setiap muslim.30
4. Tujuan Pendidikan Multikultural
Perbaikan dunia pendidikan merupakan bagian terpenting bagi upaya
mengangkat martabat bangsa. Perbaikan pendidikan dengan mendudukkan
pendidikan sebagaimana fungsinya, yakni membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat secara operasional adalah mendudukkan sekolah
sebagai agen multikulturalisme.31
Tujuan pendidikan multikultural ada dua yakni: tujuan awal dan tujuan
akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya
berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhir tercapai dengan baik. Pada
dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membantu wacana
pendidikan, mengambil kebijakan dalam dunia pendidikan. Mampu
mentransformasikan pendidikan multikultural dan mampu menanamkan nilai-
nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung kepada orang-
orang dan kepada para peserta didik. Sedangkan tujuan akhir pendidikan
multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan
menguasai materi yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa
peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk bersikap demokratis,
30
Ali Maksin, Pluralisme dan Multikulturalisme: Paradigma Baru Pendidikan Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Aditia Media Publishing, 2011), cet. I, h. 8. 31
Suwito, Fauzan, op, cit., h. 74.
28
pluralis dan humanis. Ketiga hal tersebut adalah ruh pendidikan multikultural.
Sedangkan tujuan pendidikan multikultural adalah:
a. Pengajaran siswa dengan cara etnik tertentu tentang kebudayaan yang
mereka miliki, termasuk di dalamnya pengajaran bahasa pusaka dan
budaya.
b. Pengajaran kepada semua siswa tentang keanekaragaman budaya
tradisional, baik dalam dan luar negeri. Ketika pembelajaran dapat
disampaikan dalam berbagai cara, sesuatu yang tidak biasanya terlewat
adalah susunan secara sistematis dari isu utama budaya dan entitas bangsa.
c. Mempromosikan penerimaan menunjukkan perbedaan atau
keanekaragaman etnik dalam masyarakat.
d. Bahwa manusia dengan perbedaan agama, ras, suku, kebangsaan memiliki
kebebasan yang sama.
e. Menunjukkan penerimaan secara penuh dan ditandai dengan perlakuan
yang sama yakni keseimbangan antara budaya subetnik dengan perbedaan
agama, ras, suku kebangsaan, dan lain-lain.
f. Membantu siswa untuk menyesuaikan bentuk budaya, untuk dirinya
sendiri dan untuk masyarakat.
Berdasarkan tujuan pendidikan multikultural tersebut, pendidikan
multikultural berupaya mengajak warga pendidikan untuk menerima
perbedaan yang ada pada sesama manusia sebagai hal-hal yang alamiah
(natural sunnatullah). Selain itu, pendidikan multikultural menanamkan
kesadaran kepada siswa akan kesetaraan (equality), keadilan (justice),
kemajemukan (plurality), kebangsaan, ras, suku, bahasa, tradisi,
penghormatan agama, menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan yang
seimbang, harmoni, fungsional dan sistematik juga tidak menghendaki
terjadinya proses diskriminasi, kemanusiaan (humanity), dan nilai-nilai
demokrasi (democration values) yang diperlukan dalam berbagai aktivitas
sosial.32
32
Larasati Minten Ayu, Tujuan Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Kompasiana,
2012), h. 39.
29
C. Gagasan Pendidikan Islam Multikultural
Strategi pendidikan multikultural, sejak lama telah berkembang di Eropa,
Amerika dan di negara-negara maju lainnya. Gagasan ini, dengan demikian
bukan merupakan hal baru. Strategi ini adalah pengembangan dari studi
interkultural dan multikulturalisme. Dalam perkembangannya, studi ini
menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multikultural yang pada
awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat bersikap toleran terhadap
para imigran baru. Studi ini juga mempunyai tujuan politis sebagai alat
kontrol sosial penguasa terhadap warganya, agar kondisi negara aman dan
stabil.
Sementara itu, Indonesia mengalami pengalaman yang menyedihkan.
Kekerasan, pemberontakan, pembumihangusan dan pembunuhan generasi
genocid. Peperangan, perpecahan dan ancaman disintegrasi bangsa telah
terjadi sejak zaman kerajaan Singosari, Sriwijaya, Majapahit, Goa, Mataram
hingga pada era terkini. Pembunuhan besar-besaran terhadap masa pengikut
Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di
Jakarta pada Mei 1998, perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun
1999-2003 dan perang etnis antar warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak
tahun 1931 hingga tahun 2000 yang telah menyebabkan kurang lebih 2000
nyawa manusia melayang sia-sia adalah bagian dari sejarah kelam bangsa
ini.33
Berdasarkan kenyataan yang memilukan inilah, maka keberadaan
pendidikan multikultural sangat diperlukan. Pendidikan multikultural adalah
strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran
dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa
seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan
dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan
multikultural sekaligus juga melatih dan membangun karakter siswa agar
mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka.
Dengan kata lain dapat digambarkan melalui sebuah pribahasa sambil
33
Ibid., h. 41.
30
menyelam minum air artinya selain siswa diharapkan dapat dengan mudah
memahami, menguasai, dan mempunyai kompetensi yang baik terhadap mata
pelajaran yang diajarkan guru, siswa juga diharapkan mampu untuk selalu
bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokratis, humanisme, dan pluralisme
di sekolah dan di luar sekolah.
Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana
pendidikan multikultural dikalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil
kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan pendidikan
maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai
wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya
mampu membangun kecakapan dan keahlian terhadap pelajaran yang
diajarkan. Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah peserta
didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang
dipelajarinya melainkan peserta didik mempunyai karakter yang kuat untuk
selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.34
Setelah meletakan multikultural pendidikan Islam, tibalah waktunya
membicarakan pandangan Islam terhadap pergeseran nilai kultural di
Indonesia. Hubungan antar umat manusia bertambah luas dan bertambah
cepat berkat kemajuan transportasi dan komunikasi yang jaringannya meluas
ke seluruh dunia, manusia sudah saling dekat antara satu sama lain. Namun
demikian, tentulah ada perbedaan antara hubungan lingkungan yang terlalu
luas dan abstrak dengan hubungan dalam masyarakat kecil. Hubungan yang
konkrit antar orang yang serumah menjadi layu dan kering dari perasaan
kehangatan suku dan keluarga yang besar.35
Islam sebagai agama mengandung pedoman bagi manusia dalam
berkebudayaan. Agama Islam membawa nilai yang memberi arti hidup dan
kehidupan, memberi arah dan hidup manusia yang puncaknya adalah ridho
Allah swt. Agama Islam juga mengakui hajat kebutuhan manusia dalam
hidup. Haknya memenuhi kebutuhan untuk kepuasan yang diharapkannya itu,
34
Ibid., h. 23. 35
Muhammad Siregar, Islam Untuk Berbagai Aspek Kehidupan, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999), cet. 1, h. 133-134.
31
harus ada keseimbangan diantara semuanya. Agama Islam mengakui
bermacam-macam nilai yang penting bagi manusia, tetapi juga mempunyai
nilai-nilai dasar, norma-norma yang asasi, yang memberikan patokan
terhadap berbagai kegiatan kultural manusia.
Kesimpulan tersebut mengingatkan akan pentingnya untuk memberi arah
terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia, untuk selalu dibenahi dengan
nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam. Untuk itu dituntut peran dan
perhatian semua pihak, para ulama, cendikiawan, tokoh masyarakat, tokoh
pendidikan sebagai tanggungjawab terhadap masa depan bangsa Indonesia
yang mayortias beragama Islam.36
Mengenai kebudayaan Indonesia Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa
kebudayaan Indonesia harus berpangkal pada kebudayaan sendiri.
Menurutnya, kebudayaan Indonesia merupakan segala puncak dan sari dari
kebudayaan bernilai di seluruh kepulauan Indonesia. Jadi kebudayaan
nasional Indonesia didukung oleh kebudayaan-kebudayaan daerah yang tinggi
mutunya, baik yang lama maupun ciptaan baru. Jadi kebudayaan daerah
mendukung dan memperkaya kebudayaan Indonesia.37
Dengan mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia, masyarakat akan
menemukan kepribadiannya. Dengan mengenal kebudayaan bangsa Indonesia
tidak akan mudah meniru kebudayaan asing yang tidak sesuai dan tidak ada
gunanya bagi kemajuan kebudayaan Indonesia. Dengan menemukan
kepribadian bangsa Indonesia tidak akan mudah dipengaruhi oleh kebudayaan
dari luar yang mungkin akan merusak. Dengan demikian kita akan lebih sadar
dan tahu mana yang baik dan yang buruk. Dengan menemukan kepribadian
bangsa Indonesia, akan mampu memilih unsur-unsur buruk. Ki Hajar
Dewantara seorang tokoh dan pemimpin kebudayaan Indonesia yang berhasil
membimbing bangsa dalam menemukan kepribadian.38
Pancasila sebagai asas dalam berbangsa dan bernegara merupakan
pandangan hidup yang telah diakui dan disetujui bersama dalam melihat
36
Ibid., h. 135. 37
Sagimun, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), cet. II, h. 38-
39. 38
Ibid., h. 40.
32
segala hal di negara tercinta ini. Karena itu, dalam rangka pembinaan
kebudayaan daerah, dasar filsafat negara, Pancasila harus menjadi tolak ukur.
Dengan kata lain, unsur kebudayaan daerah perlu terus dipelihara, yaitu yang
mengandung unsur religius, yang memupuk rasa ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, yang dapat menanamkan jiwa prikemanusiaan,
meningkatkan rasa cinta kepada keadilan, memperkuat rasa persatuan,
mendidik agar mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi, serta menumbuhkan sifat-sifat lain yang meningkatkan taraf
kehidupan jasmaniah.
Kebudayaan nasional adalah sebagai perwujudan, perpaduan unsur-unsur
kebudayaan daerah. Kesadaran akan kebudayaan nasional yang berdiri di atas
kebudayaan suku atau daerah bukanlah merupakan kesadaran yang timbul
dengan serta merta. Kesadaran kearah perwujudan kebudayaan nasional
haruslah berakal pada pengalaman antara kebudayaan daerah yang satu
dengan kebudayaan yang lain. Proses tumbuhnya kesadaran akan adanya
persamaan itu makin tampak ketika bangsa Indonesia memperoleh
kemerdekaan. Seterusnya inilah yang diharapkan dapat lebih cepat dan tepat
melengkapi dan memperkaya budaya dalam berbagai macam perwujudannya.
Dalam menghadapi kebudayaan dari luar, sebagai bangsa Indonesia
menjadikan Pancasila sebagai filter, dan sebagai seorang muslim, ajaran al-
Quran dan hadits adalah tetap menjadi pegangan dan pedoman dalam
memilih dan mengambil kebudayaan untuk dikembangkan. Hal ini sejalan
dengan apa yang seharusnya menjadi pilihan seorang muslim.39
1. Konsep Pendidikan Multikultural
Multikulturalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan
atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang given tetapi
merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai dalam suatu komunitas.
Pendidikan multikultural adalah sebuah pendekatan pada pengajaran dan
pembelajaran yang didasarkan atas nilai dan kepercayaan demokratis dan
39
Muhamad Siregar, op, cit., h. 141-142.
33
melihat keragaman sosial dan interpendensi sebagai bagian dari pluralisme
budaya. Multikultural dan pendidikan merupakan rangkaian kata yang
berisikan esensi dan konsekuensi yang tidak dapat dipisahkan. Dalam
multikulturalisme terdapat materi dan kajian yang menjadi dasar pijakan
pelaksanaan pendidikan yang kedua-duanya sama-sama penting. Dalam
pendidikan terdapat fondasi dan akar-akar kultur yang disarikan dari nilai-
nilai kultur masyarakat.40
Pandangan agama terhadap perbedaan, tidak dapat dipungkiri bahwa
perbedaan antar manusia adalah realitas yang tak terbantahkan.
Perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi dewasa ini
membuat pertemuan antara kelompok-kelompok yang berbeda latarbelakang
tersebut semakin sering terjadi. Mobilitas penduduk antar daerah, bahkan
antar negara, menjadi semakin tinggi dan semakin mudah jugamurahnya alat
transfortasi. Sehingga masyarakat satu negara atau daerah bisa dengan mudah
dan sering berkunjung kedaerah/negara lain yang berbeda dengan mereka.
Hal ini membuat pertemuan dan bahkan pertukaran budaya semakin sering
terjadi. Menyadari bahwa perbedaan adalah sunatullah maka ajaran agama
sangat membuka diri terhadap berbagai perbedaan tersebut.
Agama Islam tidak membeda-bedakan derajat seseorang karena status
sosial atau nilai hartanya, perbedaan antara satu orang dan lainnya hanya
dinilai atas dasar kebaikan dan ketaatannya kepada Allah. Hal ini
dimungkinkan karena ajaran Islam tidak diturunkan untuk ras atau etnis
tertentu saja, melainkan untuk seluruh manusia. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa ajaran agama sangat demokratis dalam menyikapi
perbedaan-perbedaan yang dibenarkan dalam ajaran agama memiliki batasan-
batasan umat manusia. Namun demikian, seperti dijelaskan diatas, perbedaan
yang dibenarkan dalam agama memiliki batasan-batasan tertentu, sepanjang
tidak jauh bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Oleh sebab itu,
disamping membenarkan adanya perbedaan, ajaran agama juga mengajarkan
untuk menyikapi perbedaan-perbedaan itu secara positif.
40
Zainal Abidin, Neneng Habibah, Pendidikan Agama Islam Dalam Perspektif
Multikulturalisme, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pembangunan Agama, 2004), cet, I, h. 47.
34
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap
suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat
multikultural dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang tinggal dan
hidup menetap disuatu tempat yang memiliki kebudyaan dan ciri khas
tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya
masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut, dari
sinilah muncul istilah multikulturalisme. Dibandingkan pluralisme,
multikultural sebenarnya relatif baru, secara konseptual terdapat perbedaan
signifikan antara pluralisme, keragaman, dan multikultural. Inti dari
multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama
sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender,
bahasa, ataupun agama. Apabila pluralisme sekedar merepresentasikan
adanya kemajemukan, multikulturalisme memberikan penegasan bahwa
dengan segala perbedaan itu adalah sama didalam ruang publik.
Multikulturalisme menjadi semacam respon kebijakan baru terhadap
keragaman, dengan kata lain adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja
tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu
diperlakukan sama oleh negara. Yang harus dipahami adalah akar kata dari
multikulturalisme ini sendiri adalah kebudayaan sehingga sebagai pranata-
pranata sosial nantinya diperlukan pengawasan-pengawasan yang harusnya
dilakukan oleh pemerintah.41
Memahami Islam dalam memandang dan menyikapi masalah-masalah
sosial kemasyarakatan, dalam kajian Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan
nilai, bahwa memang Islam telah meletakkan konsep dan doktrin yang
memberikan rahmat bagi al-alamin. Namun sejarah umat Islam kerap kali
mencatat fenomena-fenomena sosial yang dialami oleh komunitas ini sebagai
kebalikan atau paling tidak penyimpangandari konsep-konsep dasar
kemasyarakatan Islam. Disini menunjukan, suatu nilai-nilai normatif itu pada
41
Ibid., h. 51
35
saat tertentu harus berbenturan dengan realitas sosial yang dipengaruhi oleh
macam-macam kepentingan dan tuntutan akan mengalami bahaya distorsi.42
Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif dalam memandang
dan menempatkan martabat, hakikat manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota kelompok sosial. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Konsep kesamaan (as-sawiyah), yang memandang manusia pada
dasarnya sama derajatnya. Satu-satunya perbedaan bentuk kualitatif
dalam pandangan Islam adalah ketakwaan.
b. Konsep keadilan (al-adalah), yang membongkar budaya nepotisme dan
sikap-sikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hukum, hak dan
kewajiban, bahkan dalam praktik-praktik keagamaan.43
c. Konsep kebebasan/kemerdekaan (al-hurriyah), yang memandang semua
manusia pada hakikatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan
hamba sesama manusia.44
2. Pendidikan Agama dan Multikultural
Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku dengan budayanya
masing-masing, dalam dunia yang semakin terbuka, maka perjumpaan dan
pergaulan antar suku semakin mudah. Dengan demikian sikap multikultural
merupakan sikap yang terbuka pada perbedaan. Mereka yang memiliki sikap
multikultural berkeyakinan dengan perbedaan, bila tidak dikelola dengan baik
memang bisa menimbulkan konflik, namun bila dikelola dengan baik maka
perbedaan justru memperkaya dan bisa sangat produktif. Salah satu syarat
agar sikap multikultural efektif adalah mau menerima kenyataan hakiki
bahwa manusia bukan makhluk sempurna, manusia membutuhkan
sesamanya.45
42
Thalhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, (Jakarta: Lantabora Press,
2005), cet. I, h. 141-142. 43
Ibid., h. 147. 44
Ibid 45
Andre, Ujan Ata, Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama Dalam Perbedaan,
(Jakarta: PT. Indeks, 2009), h. 16.
36
Pada dasarnya program pendidikan multikultural tidak lagi difokuskan
kepada kelompok-kelompok agama atau mainstream budaya barat (budaya
ras putih). Program multikultural melihat masalah-masalah masyarakat secara
lebih luas. Bukan hanya memasukan masalah-masalah struktur ras, tetapi juga
mempersoalkan masalah-masalah kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam ilmu pengetahuan.
Lahirnya studi-studi mengenai pluralisme yang ada didalam masyarakat
ethnic studies mulai dikembangkan, bukan saja didalam program-program
penelitian pendidikan tinggi, tetapi juga memasuki kurikulum sekolah
menengah dan tingkat dasar.46
Dengan kata lain sikap yang seharusnya
mendasari masyarakat multikultural adalah sikap rendah hati (mau menerima
kenyataan), bahwa tidak ada seorang pun yang mampu memiliki kebenaran
absolut, karena kebenaran absolut melampaui ruang dan waktu, padahal
manusia adalah makhluk yang terikat pada ruang dan waktu. Manusia
merupakan makhluk yang berjalan bersama menuju kebenaran absolut
tersebut. Untuk itu perlu mengembangkan sikap hormat akan keunikan
masing-masing pribadi atau kelompok tanpa membeda-bedakan entah atas
dasar gender, agama dan etnis.47
Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan di atas, bangunan Indonesia
Baru dari hasil reformasi adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia.
Berbeda dengan masyarakat majemuk yang menunjukkan keanekaragaman
suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan
dari konsep pluralisme budaya dengan menekankan pada kesederajatan
budaya yang ada dalam sebuah masyarakat. Multikultural ini mengusung
semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peace full ceoxistence)
dalam perbedaan kultur yang baik secara individual maupun kelompok dan
masyarakat. Dengan demikian, corak masyarakat Indoneisa yang Bhinneka
Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan, tetapi
keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.48
46
H. A. R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif Untuk Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), cet. I, h. 484. 47
Ibid., h. 17. 48
Dasim Budimansyah, Karim Suryadi, PKN dan Masyarakat Multikultural, (Bandung:
Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, UPI, 2008), cet. I, h. 29.
37
Multikulturalism