repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/anggi...repository.uinjkt.ac.idauthor:...

of 97 /97
URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Oleh ANGGI ANGGARA NIM 109011000038 PROGRAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015/1437 H

Author: vodiep

Post on 01-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

Embed Size (px)

TRANSCRIPT

URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

ANGGI ANGGARA

NIM 109011000038

PROGRAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2015/1437 H

i

ABSTRAK

Anggi Anggara (NIM: 109011000038): Urgensi Pendidikan Multikultural

di Indonesia dalam Agama Islam. Dalam kehidupan selalu ada kemajemukan

suku, bahasa, budaya maupun agama. Dengan adanya berbagai kemajemukan

tersebut menyebabkan kerusuhan dan konflik atas nama sebuah kepentingan dan

mengatasnamakan agama dengan menghalalkan segala dalil untuk memperkuat

tindakannya. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan

kemajemukannya, sehingga bangsa Indonesia selalu berupaya menjalin kehidupan

secara damai. Umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia berusaha untuk

menyelesaikan masalah kemajemukan agama dengan berbagai cara, diantaranya

melalui bidang pendidikan. Karena pendidikan dianggap sebagai salah satu bidang

yang sangat tepat dan efektif untuk melakukan perubahan.

Pendidikan multikultural bertujuan untuk menanamkan dan membudayakan

nilai-nilai segala jenis ras, budaya dan agama kepada peserta didik, bahwa

Indonesia bukan hanya mempunyai satu budaya, satu ras, ataupun satu agama.

Tetapi Indonesia mempunyai banyak budaya, bahasa, etnis dan agama. Agar tidak

saling berbenturan dan melecehkan terhadap yang lainnya, juga terbiasa dan

mempunyai karakter yang baik dalam berperilaku.Sesuai dengan karakteristik

masalah yang diangkat dalam skripsi ini maka penulis menggunakan metode

deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dan penelitian pustaka (library research).

Metode pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode dokumentasi

berupa buku, surat kabar, dan literatur-literatur lain yang relevan dengan judul

skripsi.

Konsep pendidikan multikultural dalam Islam mencoba melakukan proses

transformasi prinsip-prinsip multikulturalisme yang ada dalam al-Quran untuk

diterapkandan diimplementasikan dalam kehidupan beragama yang

berkebudayaan. Pendidikan multikultural dalam Islam berusaha

mengaktualisasikan pesan normatif agama dengan realitas sosial yang ada. Prinsip

yang perlu dikembangkan dalam pendidikan multikultural antara lain prinsip

kemanusiaan dan kebebasan serta metode dialogis untuk memberikan kebebasan

dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah yang berkaitan dengan

kemajemukan masyarakat.

Key: Pendidikan, Multikultural dan Islam

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar

sarjana pada jurusan Manajemen Pendidikan. Dalam hal ini penulis mengangkat

judul yaitu URGENSI PENDIDIKAN DI INDONESIA MULTIKULTURAL

DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM

Terimakasih penulis ucapkan atas segala dukungan dan motivasi yang

telah diberikan kepada penulis dari berbagai pihak sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dukungan dan motivasi dari

berbagai pihak tersebut sangat membantu penulis dalam melalui hambatan selama

proses penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan

terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Thib Raya selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Abdul Majid Khon selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama

Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dosen Pembimbing, Bapak Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum yang dengan

penuh kesabaran dan kasih sayang memberikan waktu luang untuk

memberikan bimbingan, arahan, nasihat. Semoga kebaikannya menjadi amal

ibadah. Amin

4. Kepada seluruh jajaran Dosen Pendidikan Agama Islam, jasa bapak dan ibu

tak akan pernah saya lupakan, dan terima kasih pula kepada Papak Faza selaku

staf Jurusan Pendidikan Agama Islam jasa ibu sangat berarti.

5. Kepada orang tua saya, Mama Karmila dan Bapak Edi Sidik, Almarhum,

malaikat yang dikirim oleh Allah yang telah memperjuangkan jiwa dan

raganya demi anaknya dalam menempuh pendidik, terima kasih banyak mama

dan bapak jasa-jasamu tak ada tandingannya.

iii

6. Kepada kawan-kawan seperjuangan dan adik-adik Keluaga Besar Himpunan

Mahasiswa Islam Komisariat Tarbiyah, penulis ucapkan terima kasih

motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini

7. Kawan-kawan seperjuangan PAI A 2009 terima kasih atas dukungannya,

kalian semua takkan terlupakan yang sudah belajar bersama-sama disaat suka

maupun duka.

8. Kepada kawan-kawan HMI Komisariat Tarbiyah 2009 yang sudah

memberikan motivasinya.

9. Kepada kawan-kawan seperjuangan M. Aziz Akbar, M. Rizki F. Hasan,

Sulhan, Abdurrahman Fadillah, Suci Nurpratiwi, A Hasan Indra, Budiansyah

yang sudah memberikan motivasinya dan kawan-kawan lain yang tak bisa

saya ucapkan satu persatu.

Dan penulis mohon maaf kepada semua pihak yang sudah membantu dan

tidak sempat disebutkan masing-masing penulis ucapkan terima kasih banyak,

atas dukungan kalian semua Skripsi ini dapat diselesaikan.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, 19 April 2015

ANGGI ANGGARA

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH

LEMBAR UJI REFERENSI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 12

C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 12

D. Rumusan Masalah .......................................................................... 12

E. Tujuan dan Manfaan Penelitian ..................................................... 12

F. Metode penelitian .......................................................................... 13

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pendidikan Agama Islam ............................................................... 14

1. Pengertian Pendidikan .............................................................. 14

2. Pendidikan secara umum .......................................................... 15

3. Pendidikan Islam ...................................................................... 17

4. Tujuan Pendidikan Islam .......................................................... 19

B. Multikultural .................................................................................. 21

1. Embrio Lahirnya Multikultural ................................................ 21

2. Definisi/Pengertian Multikultural ............................................ 23

3. Visi Multikultural Pendidikan .................................................. 25

4. Tujuan Pendidikan Multikultural ............................................. 27

C. Gagasan Pendidikan Islam Multikultural ............................................ 29

1. Konsep Pendidikan Multikultural ........................................... 32

2. Pendidikan Agama dan Multikultural ..................................... 35

3. Pendekatan Sosio-Kultural ..................................................... 39

4. Multikulturalisme, Agama dan Integrasi Sosial ..................... 39

v

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu Penelitian ............................................................................ 45

B. Jenis Penelitian .............................................................................. 46

C. Sumber Data .................................................................................. 46

D. Metode Pengumpulan Data ............................................................ 47

E. Teknik Analisis Data ..................................................................... 47

F. Teknik Penulisan ............................................................................ 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Teks Ayat dan Terjemahan Tentang Pendidikan Multikultural ..... 49

1. Persaudaran Sesama Manusia ................................................... 49

2. Toleransi .................................................................................... 53

3. Silaturrahim/Taaruf..................................................................55

4. Musyawarah/Kebersamaan........................................................56

5. Tolong-Menolong......................................................................59

B. Keberagaman Pendidikan Islam .................................................... 61

1. Universalitas Agama ................................................................. 61

2. Perdamaian Bagi Seluruh Makhluk dalam Al-Quran .............. 67

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan .................................................................................... 73

B. Saran .............................................................................................. 74

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 77

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dengan segala kemajemukannya merupakan tantangan

tersendiri bagi para penduduknya. Terlebih bagi umat Islam, sebagai umat

yang mayoritas di negeri ini.Kemajemukan selain merupakan modal yang

sangat besar untukkemajuan, juga rentan denganterjadinya persinggungan

akibat kemajemukan tersebut. Pertikaian karena kemajemukan termasuk di

dalamnya antar umat beragama atau antara aliran dalam agama tertentu sudah

sering terjadi, baik itu dipicu oleh konflik yang benar-benar konflik agama,

ataupun hanya sekedar menjadikan agama sebagai penyulut konflik.

Sepertinya umat beragama dalam hal ini benar-benar sedang diuji

kedewasaannya untuk bisa saling berinteraksi dengan baik agar bisa menjaga

nama baik agama masing-masing dan tidak saling mengganggu kebebasan

dalam memeluk dan beribadat menurut kepercayaan masing-masing.

Keragaman, konflik, kekerasan dan multikulturalisme telah lama menjadi

bahan telaah beberapa peneliti. Dalam sepuluh tahun terakhir ini perhatian

peneliti terhadap tema tersebut semakin meningkat. Besarnya peneliti tidak

bisa dilepaskan dari faktor keragaman masyarakat Indonesia. Perhatian

peneliti terhadap keragaman di Indonesia tidak dimaksudkan sekedar

mendeskripsikan identitas masing-masing kelompok yang banyak ditelaah

dari perspektif antropologi, tetapi yang tidak kalah menariknya, adalah

2

penggambaran pola interaksi antara masing-masing kelompok; apakah

berpola konflik, integratif, akomodatif dan kompetitif. Salah satu identitas

kelompok yang banyak menarik perhatian peneliti adalah keragaman agama

sebagai salah satu faktor krusial dalam interaksi sosial antara masing-masing

kelompok1.

Konflik yang disebabkan oleh faktor faham keagamaan tentang pemicu

konflik dan aksi kekerasan antara penganut Islam dengan Kristen yang

bermodus perusakan gereja di Situbondo. Perusakan gereja antara lain

disebabkan oleh faham keagamaan yang membenarkan tindakan tersebut.

Masyarakat Situbondo yang dikenal sangat agamis dan berjuluk Kota Santri

merasa terancam dengan pesatnya pertumbuhan gereja. Di kalangan

masyarakat Islam memang telah lama berkembang faham keagamaan ekslusif

yang sering mengkritik faham keagamaan lain. Faham ini menunjukkan

adanya faham ekslusif di kalangan elit muslim yang sering mengkritik faham

ketuhanan Kristen. Faham ini tidak hanya berkembang dikalangan elit, tetapi

telah menyebar hampir kepada seluruh umat Islam. Tentu faham keagamaan

bukan satu-satunya faktor pemicu konflik dan aksi kekerasan antar umat

beragama.2

Konflik kekerasan di Indonesia tak lagi sekedar mencak-mencak, orang

nekad menghilangkan nyawa sesama manusia atas nama pemberantasan etnis,

suku, agama, dan harga diri. Tak bisa mengelak bahwa konflik bermuara pada

kekerasan fisik dan turut menghiasi perjalanan reformasi Indonesia. Beberapa

konflik telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Sampit

Kalimantan Tengah, di Jawa Timur, Yogyakarta, Kepulauan Karimun. Orang

bisa marah dalam waktu cepat, tak lagi menyimpan senyum atau sekedar

hidup bersampingan. Walaupun kecendrungan keinginan hidup tanpa

kekerasan, konflik pun tak serta merta berkurang, justru muncul

kecendrungan wacana dan praktik kekerasan yang meluas.3

1Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer, (Malang,

UMM Press, 2009), cet. I, h. 63. 2 Ibid., h. 65.

3Annabel Mc Goldrick, Jake Lynch, Jurnalisme Damai: Bagaimana Melakukannya?,

(Jakarta, LSPP, 2001), cet. I, h. vii

3

Banyak masalah dalam masyarakat terkait diskriminasi dan hak asasi

manusia. Prasangka ras dapat tumbuh sebagai akibat perbedaan budaya.

Orang Timur misalnya, tak mau dipengaruhi kebiasaan mandat dan

kebiasaan-kebiasaan dari Barat, karena mereka takut struktur sosial mereka

berubah dan menganggap kebiasaan-kebiasaan itu sebagai produk kaum

Barbar. Lalu setiap budaya asing mereka meremehkan, menghina, bahkan

membenci. Kurangnya komunikasi antar bangsa kerena kendala bahasa sudah

cukup kuat untuk menyulut prasangka ras jenis sosio-kultural ini.4

Rasialisme dan diskriminasi rasial justu menemukan ladang

penyemaiannya pada yang tidak mau atau malas mengenal golongan atau

kelompok masyarakat manusia lain yang asing atau belum dikenalkannya.

Orang juga sering terperangkap dalam mengidentifikasi orang lain yang

berbeda berdasarkan suku, bangsa, ras, etnik dan agama. Kerap juga

terperangkap pada ciri fisik seperti negro, kulit merah, kulit kuning, keling

atau bule. Sering juga tampilan anatomi tubuh, misalnya hidung betet, mata

sipit, kaki lebar, orang kate dan sebagainya.5

Reproduksi rasisme tingkat wacana oleh sebagian golongan masyarakat

yang berkuasa, memegang teguh fanatisme yang menganggap diri atau

kelompok sebagai yang terbaik, terunggul dan secara berlebihan, dapat

memunculkan sikap diskriminatif rasial pada kelompok lain yang dianggap

lebih rendah tingkatannya. Kasus penembakan Smith yang mendukung

supermasi pada kelompok minoritas di Amerika Serikat sudah

memperlihatkan keterlibatan individu, anggota kelompok, bagian masyarakat

dunia dalam pelanggaran sikap diskriminatif berdasar ras. Juga, kerusuhan

rasial di Los Angeles, Amerika pada 1984. Sejarah juga mencatat tindakan

diskriminasi rasial yang terjadi di berbagai negara lain, termasuk yang maju

macam Inggris, Prancis, Jerman, juga Indonesia dengan kerusuhan Ketapang,

Sambas.6

4Dicky Lopulalan, Benjamin Tukan, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, (Jakarta, LSPP, 2000), cet. I. h. 16. 5Ibid., h. 20.

6Ibid.

4

Di tingkat negara, diskriminasi rasial bisa menghasilkan teror dan tindak

kekerasan yang tiada taranya. Bukti sejarah menunjukkan, pemusnahan yang

dilakukan oleh Adolf Hitler antara 1939-1945 memakan korban tak kurang

dari 5.721.500 orang Yahudi Eropa.7 Gambaran lain adalah pemberlakuan

sistem apartheid di Afrika Selatan yang telah menguntungkan empat juta kulit

putih sebagai pemerintah minoritas dan sebaliknya, menyengsarakan,

memisahkan (apartheid = pemisahan), mengklasifikasikan orang atas dasar

ras, membuat 20 juta penduduk etnik Afrika tidak bisa maju lantaran

pengganjalan serikat perdagangan, serta pembatasan masuk ke sekolah

pemerintah.8

Kemudian di Indonesia untuk melanggengkan kekuasaan, pemerintah

atau penguasa satu wilayah mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat

mengikat dan mengandung muatan diskriminasi rasial. Politik kekuasaan

Orde Baru yang dipertahanlan selama 32 tahun dengan menjalankan politik

SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) telah menghasilkan produk

hukum yang sangat rasialis dari rezim Orde Baru, yakni Inpres No. 2/1980

yang melahirkan kewajiban bagi warga negara tertentu untuk memiliki bukti

sebagai warga negara Indonesia. Hanya dengan dasar pertimbangan demi

kepastian hukum, setiap warga negara keturunan asing yang belum

mempunyai bukti kewarganegaraan wajib memiliki Surat Bukti

Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).9

Menyinggung soal pemerintah Orde Baru yang meminggirkan

masyarakat adat dan kelompok minoritas. Masyarakat adat telah menjadi

salah satu pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan-kebijakan

pembangunan selama tiga dekade terakhir ini. Secara sistematis pemerintah

menyingkirkan masyarakat adat dari semua lapangan kehidupan sosial,

politik, hukum, ekonomi dan kultural. Pemerintah juga tidak mengakui agama

yang dipeluk masyarakat adat karena tidak dianggap sebagai agama benar.10

7Ibid.

8Ibid.

9Ibid.

10Sapto Yunus, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta:

LPSS, 2000), cet. I, h. 43.

5

Begitu juga dengan faktor religius, perbedaan agama dapat melahirkan

kebencian antar ras. Meski setiap agama yang bersangkutan menganjurkan

saling pengertian, kasih, dan toleransi, dalam sejarah terbukti peperangan

serta penindasan dapat merajarela ketika penganut agama Kristen berhadapan

dengan pemeluk agama Islam, atau antara Katolik dan Protestan sendiri. Di

Timur Tengah, perbedaan agama atau adat sekte agama dapat membakar

kesatuan menjadi kebencian yang memakan banyak korban, seperti yang

terjadi perang saudara di Lebanon dan perang Iran-Irak. Dapat pula muncul

prasangka ras jika pihak tertentu dilihat terlalu hidup enak karena korupsi

atau menindas pihak lain.11

Kecendrungan dorongan dan motif berbeda untuk ikut serta dalam setiap

kerusuhan individual yang bergejolak membuat setiap pertikaian, bentrokan

menaburkan bibit-bibit kekerasan di tempat lainnya terkontaminasi dengan

menghambat arus pengungsi dan menekankan solideritas antar agama.

Konflik-konflik di daerah-daerah disebabkan karena ketidakadilan ekonomi,

tanah yang subur dan sumber daya alam yang berlimpah seharusnya bisa

mensejahterakan lebih dari 1.000 etnis yang hidup di tengahnya. Tapi

kenyataan tak seindah harapan, setidaknya belum untuk saat ini.

Masa reformasi yang diharapkan bisa membuat 200 juta penduduk

memperoleh kehidupan yang lebih baik justru meningkatkan ekskalasi

konflik di tengah masyarakatnya. Setiap kelompok dalam kehidupan

kebangsaan dan kenegaraan telah berkembang sedemikian rupa seolah-olah

sudah menjadi yang terbaik, dengan kata lain kelompok yang satu merasa

lebih baik dari yang lainnya. Faktor kesenjangan juga ditengarai menambah

ricuh konflik horizontal antar suku bangsa yang terjadi.12

Untuk itulah dalam rangka merajut kebersamaan dan saling pengertian

antar sesama warga-bangsa, maka perlu melihat pemikiran pendidikan dalam

bingkai pendidikan multikulturalisme diharapkan perlu memahami konsep

wacana multikultural yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan

11

Dicky Lopulalan, Benjamin Tukan, Op. Cit, h. 17. 12

Latifudin, Paradigma Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam, Sekolah

Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008, h. 4.

6

budaya-budaya lokal dan etnisitas tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi

budaya lain. Hal ini sangat penting untuk dipahami bersama dalam kehidupan

masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia ini. Sebab kenyataan yang

tak dapat dielakkan, bangsa Indonesia memiliki keragaman bahasa, sosial,

agama, budaya dan sebagainya. Keragaman tersebut amat kondusif bagi

munculnya konflik dalam berbagai dimensi kehidupan.

Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dengan semboyan

Bhineka Tunggal Ika, tentunya sangat menghargai kebebasan masing-masing

agama dan budaya, dimana berbagai pihak termasuk pemerintah pun harus

bertindak adil, sehingga tidak terjadi diskriminasi agama, budaya dan etnis

tertentu. Jika paradigma pendidikan multikultural mengarah pada pedagogik

kesetaraan maka disini dapat dilihat bahwa pendidikan Islam melihat pada

pendidikan multikultural yang dalam Islam dikenal dengan istilah sawwamah,

hurriyah, syuubah, hanif, ihtiram dan tasyamuh.

Pemahaman multikultural didasarkan kepada pedagogik baru yaitu

pedagogik yang berdasarkan pada kesetaraan manusia (equity pedagogy).

Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui adanya hanya hak asasi

manusia tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa,

kelompok bangsa untuk hidup berdampingan berdasarkan kebudayaan

sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip kesetaraan individu, antar

individu, antar bangsa, antar budaya, antar agama dan antar etnis. Pedagogik

kesetaraan tidak mengakui perbedaan-perbedaan artifisial yang telah dibuat

oleh manusia di dalam sejarah kehidupannya. Pedagogik kesetaraan

berpangkal kepada pandangan mengenai kesetaraan martabat manusia (digity

of man).13

Di satu sisi perkembangan multikulturalisme didorong oleh keterbukaan

kehudupan manusia karena terbentuknya apa yang disebut global village.

Terutama didorong oleh kemajuan teknologi komunikasi, hubungan antar

manusia di dunia ini semakin terbuka dan menyatu sehingga dimungkinkan

oleh hubungan global yang semakin erat, yang jelas ialah, hubungan

13

Ibid., h. 9.

7

kehidupan ekonomi, globalisasi melahirkan adanya pasar terbuka (open

market), menyebabkan hubungan antar manusia, antar ras, antar agama dan

antar budaya sangat menjadi erat. Disini maka dilihat hubungan atau

keterkaitan antar pendidikan multikultural dengan agama Islam. Pendidikan

multikultural berbasis agama tidak dapat dilepaskan dari pemahaman

pendidikan yang bersifat universal. Hal ini jika dikaitkan dengan pendidikan

Islam perspektif al-quran maka, pembahasannya adalah pluralitas, discourse

civilization, serta identitas sosial.14

Oleh krena itu cara beradab untuk menyelesaikan setiap konflik ditengah

masyarakat yang tidak dapat diselesaikan secara damai adalah melalui

hukum. Dalam negara yang beradab, keberadaan masyarakat tidaklah

berkelas, maka Indonesia amat sangat penting untuk mengembalikan negeri

ini menjadi negeri hukum sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan

berbangsa dan bernegara. Di mana-mana dan tanpa terkecuali tindakan yang

bertentangan dengan hukum. Apabila masyarakat dapat mengendalikan

bahwa hukum selalu terlaksana tanpa pandang bulu, mereka tidak akan lagi

main hakim sendiri.15

Jika politik pengakuan berbagai kelompok, entah etnis, religius, jender

ataupun ideologis, menguat secara signifikan dalam masyarakat majemuk,

kompleksitas baru itu pasti akan mengganggu netralitas negara sehingga tidak

mungkin lagi mensterilkan isu-isu agama, kebudayaan dan jender dari politik.

Sebaliknya, berbagai konsep pra-politis dari berbagai kelompok etnis, religius

dan jender dalam situasi itu menjadi politis. Sementara itu keadilan

multikultural berarti memberikan hak-hak kolektif yang sama kepada semua

kelompok kultural untuk memelihara dan mengungkapkan tradisi dan

identitas kolektif mereka. Negara misalnya, dapat mengakomodasi sikap-

sikap eksklusif suatu kelompok kultural tertentu dalam norma perkawinan,

pendidikan dan tradisi kultural. Jika untuk mempertahankan integritas sosial

perlu mengambil strategi seperti konsep libealisme ialah management of self-

14

Ibid. 15

Maarif, Kekerasan Atas Nama Agama, (Jurnal Islam dan Sosial, vol. 5, 2010), h. 129.

8

intersts, dan multikultural mengambil strategi management of cultural

identities. Masalah terbesar yang dihadapi model ini adalah relativisme nilai-

nilai. Sekalipun keadilan multikultural dapat ditegakkan pada ranah politis

dengan berlakunya hukum positif yang memproteksi hak-hak kolektif, pada

ranah sosial akan terjadi kultural makna keadilan.

Di dalam relativisme tesebut, berbagai tradisi kultural justru mengisolasi

diri secara eksklusif satu sama lain. Mosaik identitas-identitas itu harus

dibayar dengan ongkos hilangnya rasa kekitaan yang lebih luas, yaitu kita

sebagai warga negara republik Indonesiayang berbagi nilai-nilai bersama.

Makna keadilan itulah yang dalam radar tertentu dialami dalam masyarakat

Indonesia sebagai krisis moral.16

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perasangka ras dan agama

bukan muncul akibat insting manusia atau karena adanya sikap yang

diturunkan. Namun, perasangka ini bertalian dengan pendidikan yang

diberikan orang tua di rumah atau yang diperoleh dari isi buku pelajaran di

sekolah atau dari media massa. Hal ini bisa terjadi karena kekurangpahaman

pada konsepsi dasar rasialisme dan diskriminasi rasial, atau karena media itu

sendiri mengusung paham yang rasis.17

Di Indonesia, pluralisme dan multikulturalisme terutama yang terkait

dengan agama seakan ditakdirkan selalu berada dalam posisi problematis.

Siapapun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman Indonesia.

Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama, jauh

sebelum datangnya Islam, masyarakat nusantara telah terpola ke dalam

berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya

pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang

diakui eksistensinya, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan

Konghucu.18

Tentang kemajemukan (pluralizm) dapat dilihat dari artikulasi yang

diberikannya terhadap term al-Islam yang secara intrinsik berarti kedamaian,

16

Ibid., h. 41. 17

Op. Cit, h. 18. 18

Syamsul Arifin, op, cit. h. 164.

9

ketundukan atau sikap pasrah. Bahkan dapat dielaborasikan dalam term al-

Islam dengan al-iman dan taqwa. Yang semuanya merujuk pada arti

ketundukan, aman dan mencegah diri dari kehancuran dan kebinasaan.

Sehingga dalam pandangan keuniversalan Islam terletak pada esensi dan

subtansi ajaran yang rahmatan lilalamin, memelihara kedamaian dengan

mengarahkan para pemeluknya memiliki sikap tunduk dan patuh kepada

ajaran al-quran. Klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (claim

salvation) yang memicu sikap konfrontasi atau konflikantara manusia dengan

dalih perbedaan agama dan keyakinan harus dibuang jauh-jauh, sebaliknya

kerjasama dan perdamaian dapat ditumbuhkembangkan.19

Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan

ideologis, ekonomi, sosial-politik dan agama, manusia menjalani kehidupan

yang bersifat pluralis secara alamiah tanpa begitu banyak mempertimbangkan

sampai pada tingkat benar tidak nya realitas pluralistik yang menyatu

dalam kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan kepentingannya

(organisasi, politik, agama dan budaya) mulai mengangkat isu pluralistik pada

puncak kesadaran mereka dan menjadikannya sebagai pusat perhatian, maka

pluralitas yang semula bersifat alamiah, wajar berubah menajadi hal yang

sangat penting. Tak bisa dipungkiri, bumi sebagai tempat hunian umat

manusia adalah satu. Namun, telah menjadi sunatullah, para penghuninya

terdiri dari berbagai macam ras, suku, bahasa, budaya dan agama. Dengan

demikian kemajemukan merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dari

berbagai ruang kehidupan termasuk dalam kehidupan beragama.

Dalam perkembangan selanjutnya, dunia pendidikan tidak lagi bisa

difokuskan pada pembangunan kepribadian perorangan saja. Peradaban

manusia yang semakin maju menuntut pendidikan untuk lebih

memperhatikan aspek sosial masyarakat. Pada kenyataannya, pendidikan

kemasyarakatan lebih penting dari pada pendidikan individual, karena

pendidikan sebenarnya merupakan sebuah fungsi sosial. Selanjutnya

19

Muhamad Irfan, Basuki, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan, (Ponorogo,

STAIN Ponorogo Press, 2009), cet, I, h. 17.

10

masyarakat dan lingkungan merupakan sarana penyelenggaraan pendidikan.20

Sebagai salah satu fungsi sosial, pendidikan mempunyai peranan penting

dalam memerdekakan pemikiran setiap anggota masyarakat, sebab

kemerdekaan pemikiran awal terciptanya masyarakat yang beradab,

berbudaya dan tidak tertindas. Oleh karena itu hakikat pendidikan sebagai

suatu proses memanusiakan anak manusia, yakni menyadari akan manusia

yang merdeka. Manusia merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud

di dalam budayanya, karena manusia dibesarkan di dalam habitusnya yang

membudaya. Hidup di dalam budayanya dan menciptakan atau merekontruksi

budayanya itu sendiri, memanusiakan berarti membudaya.21

Pendidikan sebagai faktor utama perkembangan budaya masyarakat,

seringkali dimanfaatkan oleh berbagai pemikiran dan ideologi untuk

menyebarkan pemahaman dan pola pikirnya. Sudah tidak asing lagi jika suatu

pemikiran mendominasi lembaga atau sistem pendidikan tertentu. Di antara

pemikiran-pemikiran yang banyak memberikan pengaruh dan bahkan

menentukan tujuan dan metode pembelajaran suatu sistem pendidikan adalah

ideologi agama.22

Pendidikan merupakan institusi sosial yang dipandang strategis untuk

mendiseminasikan wacana lintas agama. Posisi strategis pendidikan sebagai

media untuk mensosialisasikan sikap pluralistik, pendidikan multikultural

tidak hanya ingin mengembangkan pengetahuan, tetapi juga ingin

mengembangkan sikap pluralistik, demokratis, humanis dan keadilan terkait

dengan perbedaan kultural yang ada di sekitar peserta didik.23

Paparan di atas memberikan isyarat penting bahwa kajian seputar

keragaman, konflik, kekerasan dan multikulturalisme, telah melimpah.

Meskipun demikian, tidak berarti kajian di seputar topik tersebut tidak

memiliki daya tarik lagi terutama dari kepentingan pengembangan ilmu

20

Yulia Rahman, Nasionalisme dan Islam Dalam Pembelajaran Agama, (Bandung,

Friska Agung Insani, 2000), h. 30. 21

Ibid., h. 30. 22

Ibid. 23

Syamsul Arifin, Op.cit., h. 66.

11

pengetahuan. Dari semua topik yang telah diteliti, topik multikulturalisme

nampaknya masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam lagi terutama

untuk memperkokoh kebenaran pragmatisnya. Di beberapa negara konsep

multikulturalisme telah mengalami pelembagaan sebagai bagian dari

pendekatan kebijakan publik dalam menghadapi persoalan kemajemukan. Ini

berarti konsep multikulturalisme dianggap benar secara pragmatis karena

memiliki kegunaan dalam realitas empirik. Di Indonesia multikulturalisme

memang telah memperoleh apresiasi terutama dari kalangan akademisi. Salah

satu bentuk apresiasi misalnnya nampak pada adanya wacana

multikulturalisme sebagai alternatif dari pluralisme. Apresiasi juga terlihat

pada berbagai upaya untuk mengobjektivasikan multikulturalisme dalam

berbagai bidang kehidupan seperti yang bisa diamati dalam dunia

pendidikan.24

Ada dua masalah yang menjadi keprihatinan dikalangan umat Islam

Indonesia menyangkut pendidikan. Pertama ialah memudarnya nilai-nilai

agama, tumbuhnya sikap sekuler atau sikap anti agama di sebagian

masyarakat Indonesia. Ini dirasakan terutama sejak berdirinya sekolah-

sekolah modern pada masa kolonial Belanda. Kalangan pemimpin Islam

yakin apabila keadaan tersebut terus berlanjut, maka negara dan masyarakat

Indonesia akan rapuh. Sebab itu, pendidikan agama harus menjadi materi

pendidikan pokok. Kedua ialah rendahnya mutu pengetahuan modern para

siswa di lembaga-lembaga pendidikan Islam.25

Dari beberapa kasus pengalaman tersebut tampaknya hingga hari ini

pendidikan multikultural masih menyimpan sejumlah persoalan dalam

konteks Indonesia. Oleh karenanya sudah semestinya pendidikan Islam

memberikan respon terhadap gejala multikultural yang sedang booming dan

menggejala saat ini. Maka dari itu penulis tertarik mengulas judul Urgensi

Pendidikan Multikultural Di Indonesia dalam Perspektif Agama Islam

24

Op.cit., h. 66-67. 25

Azyumardi Azra, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: PPIM,

1998), h. 235.

12

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkanlatarbelakang masalah di atas penulis mengidentifikasikan

masalah-masalah sebagai berikut:

1. Kesadaran sebagai anggota masyarakat yang rendah terhadap

keberagaman sosial

2. Sering terjadi konflik antar individu maupun kelompok di Indonesia

3. Penyamarataan yang rendah dalam bermasyarakat

4. Terjadinya diskriminasi dan kesenjangan sosial.

C. PembatasanMasalah

Dengan membaca identifikasi masalah, sesungguhnya penelitian terhadap

aspek pendidikan nasioal dengan menggunakan pendidikan multikultural

tentulah sangat luas dan kompleks, karena keterbatasan ruang dan waktu.

Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dan tepat dalam pembahasannya,

perlu ada pembatasan pada hubungan pendidikan multikultural di Indonesia

dalam agama Islam.

1. Urgensi pendidikan multikultural?

2. Bagaimana pemahaman pendidikan multikultural menurut Islam?

D. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah tersebut dapat dirumuskan sebuah pertanyaan yang

akan dijawab oleh peneliti, yaitu:

1. Seberapa besar urgensi Pendidikan Multikultural Di Indonesia?

2. Bagaimana pemahaman Islam terhadap pendidikan multikultural?

E. Tujuan dan Manfaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menentukan pandangan dasar Islam terhadap

wacana pendidikan multikultural dan membongkar wacana yang dilontarkan

intelektual muslim seputar hal itu sebagai bagian dari tuntutan zaman.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah mensosialisasikan pendidikan

multikultural dari sudut pandang Islam untuk mengintegrasikan kemajemukan

demi terciptanya kerukunan hidup berbangsa dan beragama.

13

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis, yaitu

penelitian yang dimaksud mengadakan pendeskripsian yang berkaitan dengan

tema yang dibahas. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam pencarian

data adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan meneliti buku-buku, kitab-

kitab, majalah, surat kabar, jurnal dan sumber lainnya yang berkaitan dengan

tema ini. Sedangkan teknik penulisannya berpedoman pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pendidikan Agama Islam

1. Pengertian Pendidikan

Di dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1

dijelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara.1 Dalam pasal 1 ayat 2 tentang pendidikan nasional ialah pendidikan

yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan

nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.2

Kemudian, dalam pasal 16 diterangkan pendidikan berbasis masyarakat

adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial,

budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,

dan untuk masyarakat.3 Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kegiatan

bimbingan pengajaran dan pelatihan terkandung makna pendidikan.

1Undang-Undang Tentang Sisdiknas dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV.

Tamita Utama, 2004), h. 4. 2 Ibid., h. 5.

3Ibid

15

Di kalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya diarahkan

pada Pembina an watak, moral, sikap atau kepribadian atau lebih mengarah

pada efektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu

pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotorik.

Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai

aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang

secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang

dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani

dan memanfaatkan kehidupannya), sikap hidup dan keterampilan hidup, baik

yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial.

Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara

dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan

hidup atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak.4

Ahmad Tafsir menambahkan, bahwa pendidikan adalah bimbingan atau

pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan

rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.Jadi,

pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik)

terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang

positif. Sekarang jelaslah bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan

kepada seseorang agar dapat berkembang secara maksimal.5

Dari istilah-istilah tersebut, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa

pendidikan bisa diartikan sebagai suatu proses yang komprehensip dari

pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi

bidang intelektual, spritual, emosional dan fisik.6

2. Pendidikan secara umum

Kata pendidikan ditinjau dari segi etimologi berasal dari kata dasar didik

yang berarti memelihara dan memberi latihan, ajaran, pimpinan mengenai

4Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), cet. 5, h. 37. 5Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,(Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2008), cet. 1, h. 24-28. 6Anshori, Pendidikan Islam Transformatif, (Jakarta: Referensi, 2012), cet. I, h. 10.

16

akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan sebagai daya upaya untuk

memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan

jasmani anak-anak. Maksudnya ialah untuk memajukan kesempurnaan hidup,

yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alam dan

masyarakat.

Memperhatikan definisi di atas dapat ditarik pengertian bahwa

pendidikan adalah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang

dalam mempengaruhi orang lain yang bertujuan untuk mendewasakan

manusia seutuhnya, baik lahir maupun batin. Artinya, dengan pendidikan

manusia bisa memiliki kestabilan dalam pandangan hidup dan

kestabilandalam nilai-nilai kehidupan dengan penuh rasa tanggung jawab.7

Plato mengatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah

penyadaran terhadap self knowing and self realizationkemudian inquiri,

reasoning and logic. Jadi, disini jelas bahwa tujuan pendidikan memberikan

penyadaran terhadap apa yang diketahuinya, kemudian pengetahuan tersebut

harus direalisasikan sendiri dan selanjutnya mengadakan penelitian serta

mengetahui hubungan kausal, yaitu alasan dan alur pikirnya. Ahli filsafat lain

seperti Aristoteles mengatakan bahwa tujuan pendidikan penyadaran terhadap

self realization, yaitu kekuatan efektif (virtue) kekuatan untuk menghasilkan

(efficacy) dan kekuatan untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui kebiasaan

dan kemampuan berfikir rasional.8

Dari pengertian di atas, pendidikan dikatakan sebagai sebuah proses yang

dilakukan secara sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi-potensi

yang dimiliki peserta didik. Dengan dasar itu, pendidikan dimaksudkan untuk

membekali peserta didik agar mampu menjadi warga negara yang baik.9

Sebetulnya, tujuan umum pendidikan Islam sinkron dengan tujuan agama

Islam, yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa dan

7Armai Arif, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI,

2009), cet. I, h. 32. 8Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan dan Aplikasinya, (Jakarta: PT

Raja Grafindo, 2014), cet. I, h. 4. 9Armai Arif dan Sholehuddin, Perencanaan Sistem Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:

PT. Wahana Kardofa, 2009), cet. I, h. 2-3.

17

beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagiaan di

dunia dan di akhirat.10

3. Pendidikan Islam

Pendidikan menurut Islam adalah sarana untuk melatih badan (fisik),

fikiran dan jiwa dengan menerapkan berbagai ilmu pengetahuan, yaitu ilmu

fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain seperti rukun Islam

diwajibkan bagi setiap orang dan ilmu fardhu kifayah yang merupakan ilmu

pilihan seseorang diperlukan untuk masyarakat dalam kehidupannya dan

untuk melestarikan alam. Tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya

kepribadian muslim, bahwa tujuan demikian identik dengan tujuan hidup

setiap orang muslim, adapun tujuan hidup seorang muslim adalah

menghamba (ibadah) kepada Allah.11

Masih sejalan dengan uraian tersebut, tujuan pendidikan Islam dalam

Konferensi Pendidikan Islam tahun 1980, bahwa pendidikan harus

merealisasikan cita-cita Islam yang mencakup pengembangan kepribadian

muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis yang berdasarkan

psikologis dan fisiologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan

sekaligus berilmu pengetahuan secara berkesinambungan sehingga

terbentuknya manusia muslim paripurna yang berjiwa tawakal secara total

kepada Allah.12

Dalam seminartentang Sistem Pendidikan Islam di Indonesia, yang

diadakan oleh BKS-Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta pada 13-16 mei 1979,

disimpulkan tentang kependidikan Islam; Pendidikan Islam ialah usaha yang

berlandaskan untuk membantu manusia dalam mengembangkan dan

mendewasakan kepribadiannya, baik jasmaniyah maupun rohaniyah untuk

memikul tanggung jawab memenuhi tuntunan zaman dan masa depan.13

10

Rizaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: FAI UHAMKA, 2008, cet. I, h. 7.

11Armai Arif, op.cit., h. 137.

12Abdul Halim, Wawasan Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), cet. I, h. 18-

19. 13

Muhamad H Talhah, Islam Dalam Perspektif Sosio-Kultural, (Jakarta: Lantabora Pers,

2005), cet. I, h. 97.

18

Bangsa Indonesia telah merumuskan tujuan pendidikan nasional melalui

TAP MPR dan dimasukkan sebagai GBHN. Tujuan tersebut ialah untuk

meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,

keterampilan, mempertinggi budipekerti, memperkuat kepribadian dan

mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan pembangunan

manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama

bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Rumusan tersebut merupakan

tujuan akhir dari pendidikan nasional atau yang disebut sebagai ultimate aims

of education. Dalam tujuan akhir ini masih dapat mengandung bagian-bagian

tertentu yang disebut sebagai tujuan khusus (Proxsimate Objective). Tujuan

khusus ini banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang menjiwai proses

pendidikan. Bagi seseorang religius (muslim), tujuan khusus pendidikannya

adalah untuk mencapai suatu kesempurnaan dan kesempurnaan itu baginya

ialah kebijakan kepada Allah dan sesama manusia (atqakum billah wa

anfaukum linnas), itulah yang merupakan citra tertinggi keagamaan.14

Dalam konteks pendidikan Islam, berarti pandangan hidup, sikap hidup

dan keterampilan hidup harus bernafaskan juga dijiwai oleh ajaran dan nilai-

nilai Islam yang bersumber dari al-Quran dan sunnah/hadis. Pendidikan

dalam perspektif Islam dapat mengandung pengertian pendidikan atau

pengajaran keagamaanatau ke-Islaman, dan pendidikan atau pengajaran

agama Islam.15

Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu pengertian, bahwa yang

dimaksud dengan pendidikan Islam melalui pengajaran, bimbingan dan

latihan yang dilakukan dengan sadar dan penuh tanggungjawab dalam rangka

pembentukan, pembinaan, pendayagunaan dan pengembangan pikir, zikir dan

kreasi manusia, sehingga terbentuk pribadi muslim sejati, yang mampu

mengembangkan kehidupan dengan penuh tanggung jawab dalam rangka

beribadah kepada Allah Swt untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

di akhirat.16

14

Ibid., h. 99. 15

Ahmad Sadali, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Bulan

Bintang, 1987), cet. I, h,. 38. 16

Ibid., h. 33.

19

4. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan agama Islam yaitu menciptakan manusia yang

berakhlak Islam, beriman, dan bertaqwa sebagai suatu kebenaran serta

berusaha dan mampu membuktikan kebenaran melalui akal, rasa, dalam

seluruh perbuatan dan tingkah laku sehari-hari. Karena pendidikan tidak

hanya mengajarkan atau mentransformasikan ilmu dan keterampilan serta

kepekaan budaya atau agama, akan tetapi seyogyanya memberi perlengkapan

kepada anak didik untuk mampu memecahkan persoalan-persoalan yang

sudah nampak maupun yang baru akan nampak jelas dimasa yang akan

datang. Dengan perkataan lain pendidikan Islam harus berorientasi ke masa

yang akan datang (futuristic), karena sesungguhnya anak didik masa kini

adalah bangsa yang akan datang.

Persoalan-persoalan yang harus dipecahkan oleh manusia sebagai

anggota masyarakat dan warganegara mungkin tidak hanya akan dihadapi

satu atau dua kali, tetapi seringkali selama hidupnya. Disinilah antara lain

letak pentingnya bahwa ruang lingkup materi pendidikan tidak hanya

merupakan perbendaharaan ilmu pengetahuan yang harus dihafalkan

(cognitive learning), atau berbagai latihan keterampilan yang spesifik

(psychomotoric training), akan tetapi yang lebih penting bahwa ilmu

pengetahuan disampaikan sedemikian rupa dalam satu susunan yang

memungkinkan untuk berfungsi sebagai masukan (input) yang dapat

diperoses didalam otak, sehingga memungkinkan terbentuknya suatu sikap

apresiatif dan suatu konsep idea tentang suatu masalah dan atau sebagai

pemecah masalah. Yang paling penting diperhatikan, karena seringkali

diabaikan ialah suatu bagian dari belajar secara kognitif yaitu pembinaan

sikap yang melandasi perbuatan seseorang yang committed kepada perintah

Allah dengan ikhlas atau pembinaan yang disebut akhlak.17

Konsep ini hendaknya juga berfungsi sebagai suatu dasar yang dapat

dikembangkan lebih lanjut didalam proses belajar, baik secara formal maupun

secara informal atau non-formal terus menerus selama hidup. Pada akhirnya

17

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I, h. 41.

20

pendididkan Islam diharapkan dapat menghasilkan manusia secara sadar

mampu mengucapkan kalimat seperti dalam al-Quran surat az-Zukhruf (43):

13.

) (:

Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat

Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya, dan supaya kamu

mengucapkan maha suci Tuhan telah menundukkan semua ini bagi kami

padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. az-Zukhruf (43): 13.

Dengan demikian usaha pendidikan Islam diproyeksikan kepada:

a. Pembinaan ketaqwaan dan akhlakul karimah yang dijabarkan didalam

pembinaan kompetensi enam aspek ke-imanan, lima aspek ke-Islaman dan

multi aspek ke-ihsanan.

b. Mempertinggi kecerdasan dan kemampuan anak didik.

c. Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta manfaat dan

aplikasinya.

d. Meningkatkan kualitas hidup.

e. Memelihara, mengembangkan dan meningkatkan budaya dan lingkungan.

f. Memperluas pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap

keluarga, masyarakat, bangsa, sesama manusia dan makhluk lainnya.18

Dengan demikian pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia

yang berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya serta senang dan gemar

mengamalkan juga mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan

Allah dan dengan sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin

meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di

akhirat nanti. Tujuan ini kelihatannya terlalu ideal sehingga sukar dicapai,

tetapi dengan kerja keras yang dilakukan secara berencana dengan kerangka-

kerangka kerja yang konseptual mendasar, pencapaian tujuan itu bukanlah

sesuatu yang mustahil.19

18

Ibid., h. 42. 19

Ibid.

21

Banyak sekali konsep dan teori tujuan pendidikan Islam yang telah

dikemukakan oleh para ahli pendidikan, baik pada zaman klasik, pertengahan

maupun dewasa ini. Dapat dipahami, bahwa beragamnya konsep dan teori

pendidikan Islam merupakan bukti adanya usaha dari para intelektual muslim

dan masyarakat muslim umumnya untuk menciptakan suatu sistem

pendidikan yang baik bagi masyarakat. Namun demikian, berkembangnya

pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam tidak pernah melenceng dari

prinsip dasar yang menjadi asas dan pijakan dalam pengembangan tujuan

pendidikan Islam. Diantara prinsip tersebut adalah prinsip universal,

keseimbangan, kejelasan, dinamis dan relevan.20

Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan

mencari keridhoan Allah, membangun budipekerti untuk berakhlak mulia,

serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna

ditengah-tengah komunitas sosial (masyarakat).21

Pengertian lain tentang

pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh

aspek kehidupan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi

pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun

ukhrawi.22

Pada hakikatnya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah

merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia baik

individu maupun masyarakat.23

B. Multikultural

1. Embrio Lahirnya Multikultural

Latar historis multikultural, pemikiran tentang pluralisme agama muncul

pada masa-masa pencerahan Eropa abad ke 18 Masehi, sebagai masa awal

kebangkitan gerakan pemikiran modern di Eropa. Bahwa abad ke 18

merupakan abad kebangkitan Eropa dari masa kegelapan, feodalisme dan

dominasi gereja terhadap negara dan masyarakat ke masa pencerahan

20

Ahmad Sadali,op.cit.,h. 18. 21

Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka

Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. I, h. 116. 22

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 8. 23

Samsul Nizar, op, cit., h. 30.

22

pemikiran yang berorientasi superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan

akal dari kungkungan agama (gereja). Dominasi gereja dan prilaku korup

kalangan pastoral tingkat tinggi ditambah hiruk-pikuk konflik-konflik etnik,

sekterian, ras, mazhab dan keagamaan yang berprilaku intoleran

memperburuk hubungan gereja dan kehidupan diluar gereja yang semakin

memuncak dengan munculnya paham liberalisme.

Konflik gereja dan kehidupan di luar gereja tersebut telah melahirkan

arus pemikiran dan gerakan yang bersifat anti gereja di Eropa. Gerakan

tersebut merupakan perlawanan terhadap hak-hak istimewa, dugaan korupsi

dikalangan pastoral tingkat tinggi, dan terhadap situasi yang disebut sebagai

keyakinan yang tak tercerahkan dilingkungan Katolik Roma yang telah

melakukan kontrol dan pengawasan terhadap negara, ilmu pengetahuan dan

pendidikan. Situasi kacau balau telah mengantarkan pada kelahiran paham

liberalisme dengan komposisi utama kebebasan, toleransi, persamaan, dan

keragaman atau pluralisme. Maka di lihat dari karakter kemunculannya dan

kondisi sosial politik yang mengitarinya, paham liberalisme merupakan

produk pemikiran sosial-politik sebagai reaksi terhadap dominasi gereja

Katolik dan stagnasi pemikiran saat itu.

Isu pluralisme agama kemudian berkembang ke isu multikulturalisme.

Perkembangan isu ini memiliki dua implikasi. Pertama, dari aspek

terminologis pengertian pluralisme mencakup keragaman dalam segala aspek

seperti pluralisme politik, pluralisme budaya, pluralisme bahasa, dan

pluralisme agama. Oleh karena itu pluralisme agama adalah salah satu aspek

dari pluralisme. Pengertian multikulturalisme lebih diarahkan kepada

keragaman budaya. Orientasi kebudayaan dengan berbagai unsur lebih

ditonjolkan atau dipertajam dalam istilah multikulturalisme. Karena

menjangkau segala aspek kebudayaan, maka pengertian multikulturalisme

menjadi lebih luas dibanding istilah pluralisme agama sebab dalam paradigma

antropologi, agama merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan kata lain,

istilah multikulturalisme dipilih untuk menjangkau segala aspek keragaman

berlatar budaya, bukan hanya agama seperti selama ini yang banyak

23

dipahami. Dalam kenyataannya, tema-tema multikulturalisme menjangkau

bidang yang lebih luas seperti bahasa, difabilitas, ras dan etnik, gender,

orientasi seksual dan sebagainya.

Prinsip penting dalam konsep multikultiralisme yang selama ini banyak

dikemukakan adalah prinsip kesetaraan. Dari prinsip kesetaraan muncul

keterbukaan, inklusivitas, penerimaan terhadap keragaman (akseptabilitas),

keadilan dan kepedulian. Salah satu instituisi yang dipandang sering

menghambat penegakan prinsip-prinsip tersebut adalah agama.24

2. Pengertian Multikultural

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Akar kata dari

multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari

fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Multikulturalisme tidak

hanya merujuk pada kenyataan sosial antropologis adanya pluralitas

kelompok etnis, bahasa dan agama yang berkembang di Indonesia tetapi juga

mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima

keragaman budaya.25

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan

kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan budaya. Pendidikan multikultural

sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon

perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan

dunia secara keseluruhan. Bahwa paradigma pendidikan multikultural

mencakup subjek-subjek ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan

keterbelakang kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang

diantaranya sosial-budaya, ekonomi, dan pendidikan.

Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang

kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang

menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan

multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme

24

Dody Trauma, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, (Jakarta:

Kementerian Agama RI, 2010),cet. I. h. 69. 25

Ibid., h. 70.

24

dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan

dalam kesadaran politik.26

Masyarakat Multikultural disusun atas tiga kata, yaitu Masyarakat, Multi,

dan Kultural. Masyarakat artinya adalah sebagai satu kesatuan hidup

manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat

terus menerus dan terikat oleh rasa toleransi bersama, Multi berarti banyak

atau beranekaragam, dan Kultural berarti Budaya. Jadi, dapat disimpulkan

bahwa masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas

banyak struktur kebudayaan. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya suku

bangsa yang memilik struktur budaya sendiri yang berbeda dengan budaya

suku bangsa yang lainnya.27

Multikultural juga dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan

terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga

masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang

tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan

ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan

masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya

masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.28

Tujuannya adalah untuk mencapai pemberdayaan bagi kelompok-

kelompok minoritas. Kemudian istilah multikultural dapat digunakan baik

pada tingkat deskriptif maupun normatif, yang menggambarkan isu-isu dan

masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural.

Oleh karena itu, kurikulum pendidikan multikultural mencakup subjek seperti

toleransi, tema-tema tentang perbedaan etnik-kultural, agama, bahaya

diskriminasi, penyelesaian konflik, mediasi, HAM, demokrasi, pluralitas dan

kemanusiaan universal.Bahwa kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah

pengakuan akan pluralitas, heterogenitas dan keberagaman manusia itu

sendiri. Keberagaman itu bisa berupa ideologi, agama, paradigma, polapikir,

26

Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme

Indonesia, (Jakarta: PPIM, 2007), h. 34. 27

Ibid., h. 36. 28

Ibid.

25

kebutuhan, keinginan dan tingkat intelektualitas. Pendidikan multikultural

mampu menghargai dan menghormati semua bentuk keragaman agar mampu

meredam berbagai gejolak yang mengarah kepada permusuhan, genoid atau

bahkan tindakan kekerasan.29

3. Visi Multikultural Pendidikan

Indonesia adalah bangsa majemuk.Hal ini ditandai dengan banyaknya

etnis, suku, agama, bahasa, budaya dan adat istiadat.Kemajemukan tersebut

belakangan dikenal sebagai masyarakat multikultural, masyarakat yang

anggotanya memiliki latarbelakang budaya dan agama yang beragam.

Keragaman merupakan modal sosial (social capital) yang sangat

berharga bila dimanfaatkan dengan baik, maka akan menjadi keuntungan

besar bagi kejayaan bangsa Indonesia. Tetapi juga sangat rentan terjadi

konflik antar warga dan antar agama manakala tidak dikelola dengan benar.

Dalam konteks ini, kemajemukan dan multikultural bisa menjadi faktor

destruktif dan menimbulkan bencana dahsyat. Konflik dan kekerasan sosial

yang sering terjadi antar kelompok masyarakat merupakan bagian dari

kemajemukan dan multikultural yang tidak bisa dikelola dengan baik.

Rendahnya kesadaran multikultural ditengah kehidupan umat manusia, bukan

semata masalah domestik Indoneisa, melainkan juga masalah global.

Tantangan di atas sangat penting untuk zaman milenium ini, karena abad

yang lampau ternyata telah merangkum 25 sampai 35 peperangan pertahun.

Terjadinya peperangan terkait dengan kekerasan struktural. Kekerasan

struktural adalah buah dari ketidakadilan, penindasan sosial, gender,

militerisme, rasisme, kerusakan ekosistem dan kegagalan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia (human basic needs). Salah satu

bentuk kekerasan langsung yang paling ekstrim, yaitu peperangan yang telah

mematikan 40 juta manusia sejak tahun 1990. Kesadaran tentang betapa

gawatnya masalah konflik dan kekerasan pada tataran global ternyata telah

29

Suwito, Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. I, h.

25.

26

cukup dimiliki oleh berbagai pihak di dunia. Gerakan dan sosialisasi akan

pentingnya kehidupan yang damai pada tataran global dan disertai dengan

pentingnya kehidupan multikultural harus saling memahami dan

menghormati adalah bukti bahwa kehidupan damai merupakan dambaan

semua umat manusia.

Untuk mengubah kerangka fikir baik kolektif maupun individual bangsa

Indonesia dalam menghadapi persoalan sosio-kultural, pendidikan dipandang

sebagai faktor penting dalam menumbuhkembangkan kesadaran akan nilai-

nilai kehidupan multikultural. Pendidikan dalam perspektif ini boleh

dipandang sebagai upaya pendewasaan manusia, kebebasan manusia dari

tindak anarkisme dan transendensi dari manusia atas nilai-nilai multikultural

dalam kehidupan berbangsa, sehingga kehidupan sosio-kultural semakin baik

kualitasnya. Kesadaran multikultural adalah kesediaan kelompok lain secara

sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik,

gender, bahasa dan agama.

Kesadaran multikultural dapat berkembang baik apabila ditanamkan

sejak awal terhadap generasi muda lewat lembaga pendidikan. Melalui

pendidikan, sikap saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang

dengan baik. Pendidikan berbasis multikultural ini membantu siswa untuk

mengerti, menerima dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai dan

agama yang berbeda. Untuk itu, anak didik perlu diajak melihat nilai budaya

lain sehingga mengerti secara mendalam. Modelnya dengan tidak

menyembunyikan budaya lain atau menyeragamkan berbagai budaya menjadi

satu budaya nasional. Dalam pendidikan berbasis multikultural, tiap budaya

diakomodasi dan memiliki nilai sendiri. Disinilah dibutuhkan keterbukaan

hati dan fikiran, serta diperlukan pemahaman relativitas nilai budaya.

Dalam konteks di atas, pendidikan Islam mempunyai peranan

pentinguntuk menanamkan kesadaran multikultural kepada anak didik.

Sayangnya, di Indonesia sendiri masih kurang partisipasi ilmuan muslim

dalam perdebatan teoritis, pelahiran teori serta pengembangan teori.

Kenyataan ini tercermin dari kurangnya publikasi ilmiah dalam jurnal

27

maupun penerbitan buku yang ditulis para pakar pendidikan Islam, yang

mengetengahkan perdebatan, pelahiran atau pengembangan konsep

pendidikan Islam berbasis multikultural. Tak pelak sampai saat ini, para guru

Islam di sekolah-sekolah umum maupun madrasah masih kesulitan mencari

model pendidikan Islam berwawasan multikultural.

Padahal di Indonesia, agama seringkali menjadi sumber konflik dan

kekerasan sosial. Untuk mencegah terjadinya konflik yang bersumber pada

agama maka mengajarkan agama secara inklusif dan kontekstual menjadi

penting. Materi-materi agama Islam yang diajarkan di sekolah mempunyai

pengaruh yang signifikan dalam membentuk pemahaman ke-Islaman bagi

setiap muslim.30

4. Tujuan Pendidikan Multikultural

Perbaikan dunia pendidikan merupakan bagian terpenting bagi upaya

mengangkat martabat bangsa. Perbaikan pendidikan dengan mendudukkan

pendidikan sebagaimana fungsinya, yakni membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat secara operasional adalah mendudukkan sekolah

sebagai agen multikulturalisme.31

Tujuan pendidikan multikultural ada dua yakni: tujuan awal dan tujuan

akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya

berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhir tercapai dengan baik. Pada

dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membantu wacana

pendidikan, mengambil kebijakan dalam dunia pendidikan. Mampu

mentransformasikan pendidikan multikultural dan mampu menanamkan nilai-

nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung kepada orang-

orang dan kepada para peserta didik. Sedangkan tujuan akhir pendidikan

multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan

menguasai materi yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa

peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk bersikap demokratis,

30

Ali Maksin, Pluralisme dan Multikulturalisme: Paradigma Baru Pendidikan Islam di

Indonesia, (Yogyakarta: Aditia Media Publishing, 2011), cet. I, h. 8. 31

Suwito, Fauzan, op, cit., h. 74.

28

pluralis dan humanis. Ketiga hal tersebut adalah ruh pendidikan multikultural.

Sedangkan tujuan pendidikan multikultural adalah:

a. Pengajaran siswa dengan cara etnik tertentu tentang kebudayaan yang

mereka miliki, termasuk di dalamnya pengajaran bahasa pusaka dan

budaya.

b. Pengajaran kepada semua siswa tentang keanekaragaman budaya

tradisional, baik dalam dan luar negeri. Ketika pembelajaran dapat

disampaikan dalam berbagai cara, sesuatu yang tidak biasanya terlewat

adalah susunan secara sistematis dari isu utama budaya dan entitas bangsa.

c. Mempromosikan penerimaan menunjukkan perbedaan atau

keanekaragaman etnik dalam masyarakat.

d. Bahwa manusia dengan perbedaan agama, ras, suku, kebangsaan memiliki

kebebasan yang sama.

e. Menunjukkan penerimaan secara penuh dan ditandai dengan perlakuan

yang sama yakni keseimbangan antara budaya subetnik dengan perbedaan

agama, ras, suku kebangsaan, dan lain-lain.

f. Membantu siswa untuk menyesuaikan bentuk budaya, untuk dirinya

sendiri dan untuk masyarakat.

Berdasarkan tujuan pendidikan multikultural tersebut, pendidikan

multikultural berupaya mengajak warga pendidikan untuk menerima

perbedaan yang ada pada sesama manusia sebagai hal-hal yang alamiah

(natural sunnatullah). Selain itu, pendidikan multikultural menanamkan

kesadaran kepada siswa akan kesetaraan (equality), keadilan (justice),

kemajemukan (plurality), kebangsaan, ras, suku, bahasa, tradisi,

penghormatan agama, menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan yang

seimbang, harmoni, fungsional dan sistematik juga tidak menghendaki

terjadinya proses diskriminasi, kemanusiaan (humanity), dan nilai-nilai

demokrasi (democration values) yang diperlukan dalam berbagai aktivitas

sosial.32

32

Larasati Minten Ayu, Tujuan Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Kompasiana,

2012), h. 39.

29

C. Gagasan Pendidikan Islam Multikultural

Strategi pendidikan multikultural, sejak lama telah berkembang di Eropa,

Amerika dan di negara-negara maju lainnya. Gagasan ini, dengan demikian

bukan merupakan hal baru. Strategi ini adalah pengembangan dari studi

interkultural dan multikulturalisme. Dalam perkembangannya, studi ini

menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multikultural yang pada

awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat bersikap toleran terhadap

para imigran baru. Studi ini juga mempunyai tujuan politis sebagai alat

kontrol sosial penguasa terhadap warganya, agar kondisi negara aman dan

stabil.

Sementara itu, Indonesia mengalami pengalaman yang menyedihkan.

Kekerasan, pemberontakan, pembumihangusan dan pembunuhan generasi

genocid. Peperangan, perpecahan dan ancaman disintegrasi bangsa telah

terjadi sejak zaman kerajaan Singosari, Sriwijaya, Majapahit, Goa, Mataram

hingga pada era terkini. Pembunuhan besar-besaran terhadap masa pengikut

Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di

Jakarta pada Mei 1998, perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun

1999-2003 dan perang etnis antar warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak

tahun 1931 hingga tahun 2000 yang telah menyebabkan kurang lebih 2000

nyawa manusia melayang sia-sia adalah bagian dari sejarah kelam bangsa

ini.33

Berdasarkan kenyataan yang memilukan inilah, maka keberadaan

pendidikan multikultural sangat diperlukan. Pendidikan multikultural adalah

strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran

dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa

seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan

dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan

multikultural sekaligus juga melatih dan membangun karakter siswa agar

mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka.

Dengan kata lain dapat digambarkan melalui sebuah pribahasa sambil

33

Ibid., h. 41.

30

menyelam minum air artinya selain siswa diharapkan dapat dengan mudah

memahami, menguasai, dan mempunyai kompetensi yang baik terhadap mata

pelajaran yang diajarkan guru, siswa juga diharapkan mampu untuk selalu

bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokratis, humanisme, dan pluralisme

di sekolah dan di luar sekolah.

Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana

pendidikan multikultural dikalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil

kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan pendidikan

maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai

wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya

mampu membangun kecakapan dan keahlian terhadap pelajaran yang

diajarkan. Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah peserta

didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang

dipelajarinya melainkan peserta didik mempunyai karakter yang kuat untuk

selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.34

Setelah meletakan multikultural pendidikan Islam, tibalah waktunya

membicarakan pandangan Islam terhadap pergeseran nilai kultural di

Indonesia. Hubungan antar umat manusia bertambah luas dan bertambah

cepat berkat kemajuan transportasi dan komunikasi yang jaringannya meluas

ke seluruh dunia, manusia sudah saling dekat antara satu sama lain. Namun

demikian, tentulah ada perbedaan antara hubungan lingkungan yang terlalu

luas dan abstrak dengan hubungan dalam masyarakat kecil. Hubungan yang

konkrit antar orang yang serumah menjadi layu dan kering dari perasaan

kehangatan suku dan keluarga yang besar.35

Islam sebagai agama mengandung pedoman bagi manusia dalam

berkebudayaan. Agama Islam membawa nilai yang memberi arti hidup dan

kehidupan, memberi arah dan hidup manusia yang puncaknya adalah ridho

Allah swt. Agama Islam juga mengakui hajat kebutuhan manusia dalam

hidup. Haknya memenuhi kebutuhan untuk kepuasan yang diharapkannya itu,

34

Ibid., h. 23. 35

Muhammad Siregar, Islam Untuk Berbagai Aspek Kehidupan, (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1999), cet. 1, h. 133-134.

31

harus ada keseimbangan diantara semuanya. Agama Islam mengakui

bermacam-macam nilai yang penting bagi manusia, tetapi juga mempunyai

nilai-nilai dasar, norma-norma yang asasi, yang memberikan patokan

terhadap berbagai kegiatan kultural manusia.

Kesimpulan tersebut mengingatkan akan pentingnya untuk memberi arah

terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia, untuk selalu dibenahi dengan

nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam. Untuk itu dituntut peran dan

perhatian semua pihak, para ulama, cendikiawan, tokoh masyarakat, tokoh

pendidikan sebagai tanggungjawab terhadap masa depan bangsa Indonesia

yang mayortias beragama Islam.36

Mengenai kebudayaan Indonesia Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa

kebudayaan Indonesia harus berpangkal pada kebudayaan sendiri.

Menurutnya, kebudayaan Indonesia merupakan segala puncak dan sari dari

kebudayaan bernilai di seluruh kepulauan Indonesia. Jadi kebudayaan

nasional Indonesia didukung oleh kebudayaan-kebudayaan daerah yang tinggi

mutunya, baik yang lama maupun ciptaan baru. Jadi kebudayaan daerah

mendukung dan memperkaya kebudayaan Indonesia.37

Dengan mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia, masyarakat akan

menemukan kepribadiannya. Dengan mengenal kebudayaan bangsa Indonesia

tidak akan mudah meniru kebudayaan asing yang tidak sesuai dan tidak ada

gunanya bagi kemajuan kebudayaan Indonesia. Dengan menemukan

kepribadian bangsa Indonesia tidak akan mudah dipengaruhi oleh kebudayaan

dari luar yang mungkin akan merusak. Dengan demikian kita akan lebih sadar

dan tahu mana yang baik dan yang buruk. Dengan menemukan kepribadian

bangsa Indonesia, akan mampu memilih unsur-unsur buruk. Ki Hajar

Dewantara seorang tokoh dan pemimpin kebudayaan Indonesia yang berhasil

membimbing bangsa dalam menemukan kepribadian.38

Pancasila sebagai asas dalam berbangsa dan bernegara merupakan

pandangan hidup yang telah diakui dan disetujui bersama dalam melihat

36

Ibid., h. 135. 37

Sagimun, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), cet. II, h. 38-

39. 38

Ibid., h. 40.

32

segala hal di negara tercinta ini. Karena itu, dalam rangka pembinaan

kebudayaan daerah, dasar filsafat negara, Pancasila harus menjadi tolak ukur.

Dengan kata lain, unsur kebudayaan daerah perlu terus dipelihara, yaitu yang

mengandung unsur religius, yang memupuk rasa ketakwaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa, yang dapat menanamkan jiwa prikemanusiaan,

meningkatkan rasa cinta kepada keadilan, memperkuat rasa persatuan,

mendidik agar mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan

pribadi, serta menumbuhkan sifat-sifat lain yang meningkatkan taraf

kehidupan jasmaniah.

Kebudayaan nasional adalah sebagai perwujudan, perpaduan unsur-unsur

kebudayaan daerah. Kesadaran akan kebudayaan nasional yang berdiri di atas

kebudayaan suku atau daerah bukanlah merupakan kesadaran yang timbul

dengan serta merta. Kesadaran kearah perwujudan kebudayaan nasional

haruslah berakal pada pengalaman antara kebudayaan daerah yang satu

dengan kebudayaan yang lain. Proses tumbuhnya kesadaran akan adanya

persamaan itu makin tampak ketika bangsa Indonesia memperoleh

kemerdekaan. Seterusnya inilah yang diharapkan dapat lebih cepat dan tepat

melengkapi dan memperkaya budaya dalam berbagai macam perwujudannya.

Dalam menghadapi kebudayaan dari luar, sebagai bangsa Indonesia

menjadikan Pancasila sebagai filter, dan sebagai seorang muslim, ajaran al-

Quran dan hadits adalah tetap menjadi pegangan dan pedoman dalam

memilih dan mengambil kebudayaan untuk dikembangkan. Hal ini sejalan

dengan apa yang seharusnya menjadi pilihan seorang muslim.39

1. Konsep Pendidikan Multikultural

Multikulturalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan

atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang given tetapi

merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai dalam suatu komunitas.

Pendidikan multikultural adalah sebuah pendekatan pada pengajaran dan

pembelajaran yang didasarkan atas nilai dan kepercayaan demokratis dan

39

Muhamad Siregar, op, cit., h. 141-142.

33

melihat keragaman sosial dan interpendensi sebagai bagian dari pluralisme

budaya. Multikultural dan pendidikan merupakan rangkaian kata yang

berisikan esensi dan konsekuensi yang tidak dapat dipisahkan. Dalam

multikulturalisme terdapat materi dan kajian yang menjadi dasar pijakan

pelaksanaan pendidikan yang kedua-duanya sama-sama penting. Dalam

pendidikan terdapat fondasi dan akar-akar kultur yang disarikan dari nilai-

nilai kultur masyarakat.40

Pandangan agama terhadap perbedaan, tidak dapat dipungkiri bahwa

perbedaan antar manusia adalah realitas yang tak terbantahkan.

Perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi dewasa ini

membuat pertemuan antara kelompok-kelompok yang berbeda latarbelakang

tersebut semakin sering terjadi. Mobilitas penduduk antar daerah, bahkan

antar negara, menjadi semakin tinggi dan semakin mudah jugamurahnya alat

transfortasi. Sehingga masyarakat satu negara atau daerah bisa dengan mudah

dan sering berkunjung kedaerah/negara lain yang berbeda dengan mereka.

Hal ini membuat pertemuan dan bahkan pertukaran budaya semakin sering

terjadi. Menyadari bahwa perbedaan adalah sunatullah maka ajaran agama

sangat membuka diri terhadap berbagai perbedaan tersebut.

Agama Islam tidak membeda-bedakan derajat seseorang karena status

sosial atau nilai hartanya, perbedaan antara satu orang dan lainnya hanya

dinilai atas dasar kebaikan dan ketaatannya kepada Allah. Hal ini

dimungkinkan karena ajaran Islam tidak diturunkan untuk ras atau etnis

tertentu saja, melainkan untuk seluruh manusia. Dengan demikian dapat

dipahami bahwa ajaran agama sangat demokratis dalam menyikapi

perbedaan-perbedaan yang dibenarkan dalam ajaran agama memiliki batasan-

batasan umat manusia. Namun demikian, seperti dijelaskan diatas, perbedaan

yang dibenarkan dalam agama memiliki batasan-batasan tertentu, sepanjang

tidak jauh bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Oleh sebab itu,

disamping membenarkan adanya perbedaan, ajaran agama juga mengajarkan

untuk menyikapi perbedaan-perbedaan itu secara positif.

40

Zainal Abidin, Neneng Habibah, Pendidikan Agama Islam Dalam Perspektif

Multikulturalisme, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pembangunan Agama, 2004), cet, I, h. 47.

34

Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap

suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat

multikultural dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang tinggal dan

hidup menetap disuatu tempat yang memiliki kebudyaan dan ciri khas

tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan

masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya

masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut, dari

sinilah muncul istilah multikulturalisme. Dibandingkan pluralisme,

multikultural sebenarnya relatif baru, secara konseptual terdapat perbedaan

signifikan antara pluralisme, keragaman, dan multikultural. Inti dari

multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama

sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender,

bahasa, ataupun agama. Apabila pluralisme sekedar merepresentasikan

adanya kemajemukan, multikulturalisme memberikan penegasan bahwa

dengan segala perbedaan itu adalah sama didalam ruang publik.

Multikulturalisme menjadi semacam respon kebijakan baru terhadap

keragaman, dengan kata lain adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja

tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu

diperlakukan sama oleh negara. Yang harus dipahami adalah akar kata dari

multikulturalisme ini sendiri adalah kebudayaan sehingga sebagai pranata-

pranata sosial nantinya diperlukan pengawasan-pengawasan yang harusnya

dilakukan oleh pemerintah.41

Memahami Islam dalam memandang dan menyikapi masalah-masalah

sosial kemasyarakatan, dalam kajian Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan

nilai, bahwa memang Islam telah meletakkan konsep dan doktrin yang

memberikan rahmat bagi al-alamin. Namun sejarah umat Islam kerap kali

mencatat fenomena-fenomena sosial yang dialami oleh komunitas ini sebagai

kebalikan atau paling tidak penyimpangandari konsep-konsep dasar

kemasyarakatan Islam. Disini menunjukan, suatu nilai-nilai normatif itu pada

41

Ibid., h. 51

35

saat tertentu harus berbenturan dengan realitas sosial yang dipengaruhi oleh

macam-macam kepentingan dan tuntutan akan mengalami bahaya distorsi.42

Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif dalam memandang

dan menempatkan martabat, hakikat manusia, baik sebagai individu maupun

sebagai anggota kelompok sosial. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Konsep kesamaan (as-sawiyah), yang memandang manusia pada

dasarnya sama derajatnya. Satu-satunya perbedaan bentuk kualitatif

dalam pandangan Islam adalah ketakwaan.

b. Konsep keadilan (al-adalah), yang membongkar budaya nepotisme dan

sikap-sikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hukum, hak dan

kewajiban, bahkan dalam praktik-praktik keagamaan.43

c. Konsep kebebasan/kemerdekaan (al-hurriyah), yang memandang semua

manusia pada hakikatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan

hamba sesama manusia.44

2. Pendidikan Agama dan Multikultural

Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku dengan budayanya

masing-masing, dalam dunia yang semakin terbuka, maka perjumpaan dan

pergaulan antar suku semakin mudah. Dengan demikian sikap multikultural

merupakan sikap yang terbuka pada perbedaan. Mereka yang memiliki sikap

multikultural berkeyakinan dengan perbedaan, bila tidak dikelola dengan baik

memang bisa menimbulkan konflik, namun bila dikelola dengan baik maka

perbedaan justru memperkaya dan bisa sangat produktif. Salah satu syarat

agar sikap multikultural efektif adalah mau menerima kenyataan hakiki

bahwa manusia bukan makhluk sempurna, manusia membutuhkan

sesamanya.45

42

Thalhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, (Jakarta: Lantabora Press,

2005), cet. I, h. 141-142. 43

Ibid., h. 147. 44

Ibid 45

Andre, Ujan Ata, Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama Dalam Perbedaan,

(Jakarta: PT. Indeks, 2009), h. 16.

36

Pada dasarnya program pendidikan multikultural tidak lagi difokuskan

kepada kelompok-kelompok agama atau mainstream budaya barat (budaya

ras putih). Program multikultural melihat masalah-masalah masyarakat secara

lebih luas. Bukan hanya memasukan masalah-masalah struktur ras, tetapi juga

mempersoalkan masalah-masalah kemiskinan, penindasan dan

keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam ilmu pengetahuan.

Lahirnya studi-studi mengenai pluralisme yang ada didalam masyarakat

ethnic studies mulai dikembangkan, bukan saja didalam program-program

penelitian pendidikan tinggi, tetapi juga memasuki kurikulum sekolah

menengah dan tingkat dasar.46

Dengan kata lain sikap yang seharusnya

mendasari masyarakat multikultural adalah sikap rendah hati (mau menerima

kenyataan), bahwa tidak ada seorang pun yang mampu memiliki kebenaran

absolut, karena kebenaran absolut melampaui ruang dan waktu, padahal

manusia adalah makhluk yang terikat pada ruang dan waktu. Manusia

merupakan makhluk yang berjalan bersama menuju kebenaran absolut

tersebut. Untuk itu perlu mengembangkan sikap hormat akan keunikan

masing-masing pribadi atau kelompok tanpa membeda-bedakan entah atas

dasar gender, agama dan etnis.47

Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan di atas, bangunan Indonesia

Baru dari hasil reformasi adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia.

Berbeda dengan masyarakat majemuk yang menunjukkan keanekaragaman

suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan

dari konsep pluralisme budaya dengan menekankan pada kesederajatan

budaya yang ada dalam sebuah masyarakat. Multikultural ini mengusung

semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peace full ceoxistence)

dalam perbedaan kultur yang baik secara individual maupun kelompok dan

masyarakat. Dengan demikian, corak masyarakat Indoneisa yang Bhinneka

Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan, tetapi

keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.48

46

H. A. R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik

Transformatif Untuk Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), cet. I, h. 484. 47

Ibid., h. 17. 48

Dasim Budimansyah, Karim Suryadi, PKN dan Masyarakat Multikultural, (Bandung:

Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, UPI, 2008), cet. I, h. 29.

37

Multikulturalism