tugas pancasila
DESCRIPTION
Sangat jelas bahwa yang menjadi cita -cita kemerdekaan yang merupakan cita-cita dari lahirnya bangsa negara indonesia itu sangat jelas, ada di dalam pancasila. Lima sila itulah yang memberikan pertunjukan kemana perjuangan kita dan bagaimana masa depan yang kita tuju dari perjuangan itu. Republik Indonesia lahir sebagai hasil perjuangan bangsa melawan penjajahan. Dari hasil perjuangan kemerdekaan tersebut dibentuklah pemerintah negara indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan pancasila. DeTRANSCRIPT
Sangat jelas bahwa yang menjadi cita-cita kemerdekaan yang merupakan
cita-cita dari lahirnya bangsa negara indonesia itu sangat jelas, ada di dalam
pancasila. Lima sila itulah yang memberikan pertunjukan kemana perjuangan
kita dan bagaimana masa depan yang kita tuju dari perjuangan itu.
Republik Indonesia lahir sebagai hasil perjuangan bangsa melawan
penjajahan. Dari hasil perjuangan kemerdekaan tersebut dibentuklah pemerintah
negara indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan pancasila.
Dengan demikian, pancasila juga merupakan suatu hasil perjuangan yang
sekaligus menjadi sumberinspirasi perjuangan bangsa. Pancasila sekali lagi
kristalisasi inti peradaban nusantara, rumusan filosofis-ideologis yang bertolak
dari kesadaran sejarah dan cara pandang bangsa indonesia dalam menghadapi
masa depannnya.
Indonesia pada zaman prasejarah. Zaman dipengaruhi oleh beberapa
faktor, sebagai berikut :
Nilai Hinduisme, Islamisme dan Kristen.
Pancasila sebagai dasar filsafah negara Indonesia tercantum dalam
beberapa dokumen historis, sebagai berikut :
1. Dalam pidato 1 Juni 1945
2. Dalam alinea IV naskah politik yang bersejarah tanggal 22 Juni 1945
yang kemudian dijadikan naskah rancangan pembukaan UUD 1945
dikenal dengan Piagam Jakarta
3. Dalam alinea IV pembukaan UUD proklamasi 1945
4. Dalam alinea IV mukadimah konstitusi Republic Indonesia Serikat
(RIS) tanggal 27 Desember 1949
5. Dalam alinea IV mukadimah UUD Sementara RI (UUDS RI) tanggal
17 Agustus 1950
6. Dalam pembukaan alinea IV UUD 1945 setelah dekrit presiden 5 Juli
1959
Kita tetap harus memaknai pancasila dalam konteks sejarah
kemerdekaan. Pemaknaan itu adalah :
Pertama, nilai-nilai tersebut memiliki makna khas ketika
kelimanya dirangkum menjadi satu kesatuan nilai. Artinya,
makna pancasila itu sendiri telah mengandung spirit ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Inilah jiwa
Indonesia itu, jiwa yang akan menggerakkan kita untuk terus
berjuang.
Kedua, pancasila tidak semata-mata dipahami sebagai seremoni
atau sekedar hafalan, tapi merupakan upaya kita memahami
proses penggalian terhadap pancasila, sekaligus sebagai acuan
praksis perjuangan. Pancasila bukanlah slogan, tapi cita-cita dan
petunjuk bagaimana perjuangan itu diarahkan dan dilakukan.
Dengan itu, kita dapat memaknai
Radikalisme dan Pancasila. Dua kata di atas agaknya adalah sesuatu yang
kurang diminati akhir-akhir ini. Barang siapa yang terkait dengan dua kata di
atas, boleh jadi akan dikomentari -- mengutip istilah ABG -- basi!.
Radikalisme meskipun masih ada dan diam diam digemari dalam praktek
keseharian, adalah sesuatu yang negatif dan desktruktif, sesuatu yang patut
dihindari. Sedangkan Pancasila, seiring dengan berakhirnya Orde Baru dan
tidak lagi menjadi azas tunggal dalam berkehidupan, sudah dicap negatif oleh
banyakorang dan mulai kurang diperhatikan lagi.
Tetapi kedua kata itu digabungkan oleh Kuntowijoyo, dan diberi ruh dan
makna baru. Pendek kata, Kunto telah melakukan, katakanlah, makrifat lebih
dalam terhadap Pancasila. Radikalisme Pancasila dengan faktor dan pendekatan
kebudayaan, menurut Kuntowijoyo, adalah harapan. Radikalisasi Pancasila
adalah kunci solusi alternatif agar bangsa ini lepas dari keterpurukan dan
melesat. Inilah benang merah dari buku kumpulan esainya Selamat Tinggal
Mitos, Selamat Datang Realitas (Esai-Esai Budaya dan Politik), yang baru
diterbitkan Mizan Juli 2002 lalu.
Krisis kebudayaan, krisis yang terjadi karena ada kesenjangan antara
kesadaran dan perilaku, adalah hal yang amat disadari Kunto, seperti tercermin
dalam halaman 75. Itulah salah satu alasan dia kerap mengungkapkan masalah
kebudayaan, dan pendekatan kebudayaan dalam berbagai analisa tajamnya
dalam menafsirkan berbagai fenomena.
'Kebudayaan sebagai Faktor', adalah sesuatu yang mendasari setiap
pemikirannya, sehingga dijadikan sebagai pengantar dalam buku setebal 230
halaman ini. Faktor kebudayaan begitu penting, karena nilai budaya--yang
menyangkut perilaku, lembaga, dan barang hasil produk buatan manusia--bisa
ditemui dengan mudah dimana-mana.
Walaupun wacana tentang berakhirnya ideologi sudah pernah dicuatkan,
tetapibagi Kunto ideologi masih diperlukan. Boleh jadi ideologi internasional
berakhir, tetapi tidak bagi ideologi domestik. Apalagi berpikir pragmatis, yang
semula adalah antitesis terhadap serba ideologi Orde Lama, terbukti tidak
manjur. Ideologi saat ini, menurutnya, dipandang sebagai obat yang mujarab,
walaupun Kunto masih menambahkan faktor manajemen rasional untuk
melengkapinya.(hal 145).
Pancasila menurut pembuat novel Khotbah diatas Bukit ini, masih bisa
menjadi ideologi harapan, tanpa harus dimitoskan. Kunto khawatir, teknologi
yang diharapkan menjadi pengganti ideologi akan berubah menjadi bencana.
Karena itu, baginya, kesadaran teknologis harus diubah menjadi kesadaran
ideologis, dan masyarakat teknologis digantikan oleh masyarakat Pancasila.
Mengapa Pancasila? Masihkah Kunto percaya dengan kesaktian
Pancasila setelah melihat sejarah Pancasila dianggap gagal oleh banyak pihak?
Untuk apa percaya lagi pada ideologi, di antara 'dosa-dosa'nya, yang pernah
menjadi monopoli kebenaran, alat pemberangus oposisi, dan menciptakan
peluang KKN?
Sila-sila dalam Pancasila tidak pernah integrated (hal 101). Tidak ada koherensi
(keterpaduan) antarsila yang satu dengan lainnya, dan korespondensi
(kecocokan) antara sila dan realitas politik.
Kedua, meskipun terbukti tidak konsisten, tetapi bagaimanapun Pancasila
adalah penemuan utama bangsa Indonesia (hal 215). Ketiga, Pancasila adalah
titik temu berbagai pemikiran, semua aliran pemikiran tertampung di dalamnya,
asal ideologinya senantiasa terbuka. Pancasila adalah juga general theme
kebudayaan nasional dengan pusat-pusat yang banyak (plural centers).
Sebagai ideologi terbuka, Pancasla membuka diri pada ide-ide yang
dikembangkan oleh berbagai ideologi yang justru menyuburkannya. Ia cukup
punya rambu-rambu untuk tidak terjebak dalam salah satu ideologi, seperti yang
terjadipada rezim-rezim sebelumnya.
Penulis Daun Makrifat, Makrifat Daun ini lantas menghidangkan satu
solusi: Pancasila harus dibaca sebagai kata kerja aktif dan bersifat terbuka.
Misalnya: "Menuhankan yang Maha Esa", dan seterusnya.
Dalam membahas Integrasi Ideologi, Kunto menegaskan bahwa selama
ini Indonesia sudah mempunyai ideologi nasional bernama Pancasila, tetapi ia
tidak pernah menjadi kenyataan sejarah. "Kita suka memanipulasi ideologi. Kita
selau memakainya untuk menjamin loyalitas vertikal" tuturnya di halaman 101.
Selain menjadi titik temu, Pancasila adalah juga gabungan unsur kultural,
struktural, dan transendental, sesuatu yang menjadi nilai tambah.
"Dalam kaitannya dengan teori perubahan, rupa-rupanya Pancasila
berusaha mengambil yang terbaik dari pengalaman sejarah manusia.
Pengambilan itu tidaksemata-mata eklestisme, yaitu kultural dicampur dengan
struktural, tetapi ditambah dengan satu hal, yaitu transendental." (hal 35)
Dalam buku ini, sebagian besar energi Kunto tertuang dalam memberikan
ruh baru kepada Pancasila sehingga ia mampu menjadi kekuatan yang
menggerakkan sejarah, agar perjalanan sejarah bangsa tidak kehilangan arah.
Karena, selama ini ia hanya menjadi lip service belaka (hal 218). Ada
indoktrinasi (Orla) dan penataran (Orba), tetapi tidak efektif, karena hanya
dipandang sebagai ritual politik yang tidak ada hubungannya dengan kenyataan
sejarah.
Sudah saatnya kita melihat Pancasila sebagai ideologi yang radikal,
teriaknya. Tetapi radikalisasi Pancasila harus masih dalam kerangka rule of law
yang tegas (hal 101). Radikalisasi disini adalah revolusi gagasan, bukan orang,
yaitu membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara
ini diorganisasikan (hal 221).
Radikalisasi Pancasila disini demi mencegahnya menjadi ideologi yang
lumpuhtak berdaya. Yaitu agar tidak lembek dan bisa diobok-obok
penafsirannya oleh presiden-presiden RI, seperti penafsiran trisila dan ekasila
oleh Soekarno dan sulapan Soeharto yang mengubahnya menjadi sangat
kapitalisme yang paling kasar dan berpihak pada usaha besar.(hal 106).
Dengan Pancasila yang radikal, diharapkan ideologi nasional itu menjadi
sebuah sistem nasional yang dilaksanakan -- semua silanya -- secara murni dan
konsekwen, secara vertikal sekaligus horizontal.(hal 119).
Untuk itu, Pancasila harus diukur dengan tiga kriteria. Pertama,
konsistensi, satu sila harus punya hubungan yang terpadu dengan sila-sila
lainnya. Kedua, koherensi, satu sila harus saling terkait dengan sila-sila lainnya.
Ketiga korespondensi, yatu samanya teori dengan prakteknya.
Definisi radikalisasi Pancasila tertuang di halaman 222. Yaitu (1)
mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2) mengganti persepsi dari
Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai Ilmu, (3) mengusahakan
Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan,
koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang
semula melayani kepentingan vertikal, harus melayani kepentingan horizontal,
dan (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijhakan negara.
Yang jelas, salah satu dari penerapan radikalisasi itu adalah perlunya
disusun suatu Teori Perubahan Pancasila (hal 36)
Dalam buku ini juga, Kunto tak segan-segan mengritik pemerintahan dan
partai politik yang ada. Boleh dibilang, Kunto adalah satu dari sedikit 'lawan'
yang seimbang, secara intelektual dan kultural, dari Presiden Abdurrahman
Wahid.
Beberapa tulisannya memperlihatkan nuansa 'oposisi elegan'. Misalnya,
dalamkonteks demitologisasi para Presiden, Gus Dur adalah tokoh mitos
PemersatuNasional yang dipilih dengan cara berpikir mitos, dan sang tokoh
juga berpikir berdasarkan mitos. (hal 92-93).
Gus Dur kerap menghindari yang kongkret (realitas) menuju pada yang
abstrak, sebuah ciri khas berpikir cara mitos. Misalnya, menghindar dari realitas
nasional--krisis ekonomi, disintegrasi bangsa, dan anarki hukum--dengan
diplomasi ke luar negeri, seraya melakukan sesaji dengan mengorbankan
Hamzah Haz, Laksamana Sukardi, dan Yusuf Kalla (hal 93).
Atau saat menjawab sebuah pertanyaan, dengan penuh emosi menyatakan
bahwa komitment tertingginya kepada kemanusiaan, sesuatu yang abstrak, tidak
kepada ekonomi (suatu yang kongkret) (hal 94).
Dengan tegas, Kunto menyatakan: "Mereka yang hidup dalam mitos tak
akan bisa menangani realitas. Realitas tidak terpecahkan dengan kebiasaan kita
untuk menghindar dan melakukan abstraksi. Oleh karenanya, mari kita hentikan
khurafat nasional!".
Bahkan lebih tegas lagi, Kunto menulis: "Akar permasalahannya ternyata
terletak dalam cara berpikir kita sebagai bangsa. Bangsa ini hanya dapat
survive, bila kita sanggup meninggalkan cara berpikir berdasarkan mitos,
menuju pada cara berpikir berdasarkan realitas" (hal 97).
Selanjutnya, Kunto mengritik Gus Dur, sebagaimana dia mengritik
presiden-presiden lainnya yang juga sama tajam dan menukiknya, bahwa
Presiden ke-4 inihanya mengumandangkan retorika.
"Sekarang retorikanya demokrasi, nyatanya one man show", tulisanya di
halaman 98. Dengan lugas, Kunto mengkaji dimensi kultural integrasi bangsa
seraya mengambil contoh tindak tanduk Gus Dur.
Dalam Integrasi Budaya, Kunto terkejut mendengar pemerintah yang
menyatakanbahwa kebudayaan adalah urusan masyarakat, sesuatu yang
bertentangan dengan Pasal 32 UUD'45. "Cuci tangan seperti itu bahkan tidak
terjadi di negeri-negeri Eropa dan Amerika," tegasnya. Masalahnya, identitas
nasional terlaluriskan untuk diserahkan kepada rakyat yang notabene adalah
pasar.
Dalam mengkaji Integrasi Sosial, Kunto mengritik pembubaran
Departemen Sosial karena urusan kesejahteraan sosial adalah urusan
masyarakat, sesuatu yang tidak sesuai dengan pasal 34 UUD'45. Gejala ini
bahkan tidak terdapat di negara yang paling kapitalistis yang memuja usaha
perorangan sekalipun (hal102). Tetapi, untunglah, kemudian ada departemen
lain yang mengurusi hal ini.
Sayang sekali, kritikan dan masukan Kunto berhenti pada Presiden ke-4,
begitu budayawan kita ini acap memanggil Gus Dur. Sedangkan pemerintahan
Megawati dan Hamzah Haz sedikit sekali disinggung. Buku ini lebih mengena,
bila terbit lebih awal, yaitu saat-saat pemerintahan Gus Dur. Walaupun terkesan
telat, tetapi buku ini masih bisa menjadi cermin masa sekarang, sebab dilakukan
dengan pendekatan kultural, intelektual, dan historis.
Harap maklum, buku ini 'hanyalah' kumpulan tulisannya di berbagai
media dankesempatan, sesuatu yang kental terasa walaupun tidak ada
pemberitahuan satu kalipun dalam buku tersebut. Tetapi, kalau boleh kita
berpikir positif, sebagai sejarawan, tulisan-tulisannya bisa dimasukkan ke dalam
kategori "sejarah komtemporer".
Semoga saja, akan terbit kumpulan tulisan dan pemikiran Kuntowijoyo
tentangmasa kepresidenan Megawati, atau rezim yang sedang berkuasa,
sehingga bisamenjadi masukan (dan akhirnya menjadi lebih relevan) bagi
pemegang kekuasaan.
Walaupun terasa telat, tapi keterburuan mengejar tenggat sangat terasa.
Misalnya, tidak adanya biografi pengarang atau sumber asli tulisan berasal.
Dari subjudulnya, Esai-Esai Budaya dan Politik, nampak ada keanehan.
Sebenarnya, yang ditulis oleh Kunto semuanya adalah esai budaya,
sebagaimana konsekuensi logis memakai pendekatan kultural. Adapun segala
hal yang menyangkut politik, dilihat pula sebagai bagian dari kebudayaan.
Begitulah. Kunto mengajak kita untuk lebih makrifat lagi dengan
Pancasila. Lebih jauh lagi, Kunto berani memaknai ulang kata-kata yang
dianggap sudah kadaluwarsa, seperti Radikalisme dan Pancasila. (Ekky
Imanjaya, aktivis Komunitas Budaya Musyawarah Burung).
TUGAS PANCASILA
DALAM KONTEKS SEJARAH PERJUANGAN
BANGSA INDONESIA
Oleh:
DIAH RARA ANGGUN P
NIM. 090810201001
S1 MANAGEMENT
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
2009