tugas perorangan idelogi - ekonomi pancasila
DESCRIPTION
PolitikTRANSCRIPT
AKTUALISASI PENGAMALAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MEWUJUDKAN EKONOMI YANG BERKEADILAN
Oleh : H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH. 1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Globalisasi yang tengah berlangsung saat ini telah memberikan pengaruh yang
cukup signifikan bagi perkembangan paham induvidualistik, hal ini ditandai dengan
neo-liberalisasi yang dikendalikan oleh kaum kapitalis melalui perusahaan
transnasional (TNC) dan perusahaan multinasional (MNC)2. Konsepsi globalisasi - yang
diistilahkan dengan nama “Tata Dunia Baru” (Novus Ordo Seclarum) - sebagai sebuah
deskripsi mengacu pada perluasan dan penguatan arus perdagangan, modal, teknologi
dan informasi internasional dalam sebuah pasar tunggal yang menyatu.3 “Tata Dunia
Baru” yang diasumsikan sebagai satu-satunya alternatif yang tersedia sebagai tenaga
pendorong proses pembangunan dan sinyal bagi kemakmuran masa depan dinilai
sebagai imperialisme abad 21.4 Istilah imperialisme ini dikemukakan oleh James Petras,
dengan menggunakan konsep imperialisme didasarkan pada suatu kenyataan bahwa
jaringan lembaga-lembaga yang menentukan struktur sistem perekonomian global
1 Peserta Program Matrikulasi Ketahanan Nasional, dalam rangka menempuh Program Pascasarjana Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS RI).2 Dalam beberapa dekade belakangan, seiring dengan liberalisasi ekonomi dan perdagangan, perusahaan-perusahaan ini telah menjadi aktor ekonomi politik internasional yang semakin penting. Tujuan mereka yang paling utama adalah bagaimana mengakumulasi kekayaan yang sebesar-besarnya: Lihat: Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Cet.I (Yogyakarta: MedPress, 2007), hal.2 – 3.3 James Petras dan Henry Veltmeyer, Judul Asli: Globalization Unmasked: Imperialism in the 21th
Century, diterjemahkan oleh Agung Prihantoro, Imperialisme Abad 21, Cet.I (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hal.7 et seq.4 Ibid, hal.2.
1
dilihat bukan dalam pengertian struktural, melainkan dalam pengertian kesengajaan
dan ketergantungan, yang dikendalikan oleh orang-orang yang mempresentasikan dan
berusaha mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional baru.5
Pada akhirnya di era globalisasi diskusi mengenai negara bangsa telah menjadi
usang karena perannya digantikan oleh lembaga-lembaga internasional dan negara-
negara kawasan.6 Disinilah letak permasalahan kedudukan negara bangsa (nation
state) dengan nasionalisme-nya versus lingkungan global, suatu pemerintahan yang
tunggal dan global.
Menurut Budi Winarno7, tesis utama para penganut neo-liberalisme adalah
pasar merupakan institusi utama dan paling utama dalam masyarakat, dan karenanya
pasar dianggap sebagai mekanisme yang paling efisien dalam mendistribusikan
sumber-sumber ekonomi langka. Untuk itu, pasar harus dibebaskan dari campur
tangan negara, karena campur tangan ini hanya akan membuat pasar tidak dapat
bekerja secara efisien dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi kepada
masyarakat. Oleh karena itu, kebjiakan neo-liberalisme ini mempunyai ciri dalam tiga
hal, yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.
Dalam konteks Indonesia, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya
berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi
senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan
diantaranya adalah, deregulasi, privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.
5 Ibid, hal.9.6 Keniche Ohmae, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hal.25.7 Budi Winarno, Op.Cit, hal.20.
2
Globalisasi telah menjadi hard fact bagi semua negara termasuk berlaku di
negara negara-sedang berkembang. Bagi sebagian negara, terutama bagi negara
industri maju telah mendatangkan berkah. Namun bagi sebagian negara lainnya,
terutama sebagian besar negara sedang berkembang belum banyak membawa
manfaat, bahkan tidak sedikit menimbulkan bencana baik berupa makin
membengkaknya kemiskinan dan pengangguran serta menajamnya ketimpangan.8
Dalam menghadapi globalisasi ini, kita membutuhkan suatu pedoman dan
arahan agar identitas nasional tetap terjaga, yakni Pancasila sebagai suatu dasar
negara, ideologi dan pandangan hidup bangsa. Pancasila mengandung wawasan
tentang hakikat kehidupan manusia baik secara individual maupun sosial.9
Pengembangan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi terbuka di era globalisasi ini
menjadi suatu keniscayaan.10
Indonesia yang sedang menggalakkan pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi melalui peningkatan arus modal dalam kerangka investasi dan penanaman
modal di era globalisasi, kini dihadapmukakan dengan melemahnya identitas nasional.
Salah satu contoh melemahnya identitas nasional ini adalah terjadinya amendemen
atas UUD 1945, dimana perubahan ini telah menghilangkan seluruh Penjelasan UUD
1945 termasuk Penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi
dan landasan konstitusional koperasi. Perubahan ini telah mengadopsi prinsip neo-
liberalisme. Dengan memasukkan prinsip “negara minimalis”, yakni dengan
8 Didin S. Damanhuri, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar Dalam Kemelut Globalisasi, Cet.I (Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2009), hal.168.9 Ibid, hal165.10 Ibid.
3
menyebutkan “ekonomi disusun berdasarkan ekonomi pasar yang berkeadilan”.
Meskipun yang lainnya dari pasal-pasal ekonomi UUD 1945 relatif tetap utuh, namun
telah berpengaruh sangat besar dalam penyusunan perundang-undangan. Misalnya
UU Migas, UU BUMN, UU Perikanan, UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU
Penanaman Modal dan lain-lain, yang telah memungkinkan peran “pasar global” dan
perusahaan asing menguasai dan mengatur sumber daya ekonomi Indonesia. Oleh
karena itu, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan
upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas (liberalisasi), yang menjadi senjata
penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan
diantaranya adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.
Identitas nasional adalah bersifat mutlak yang harus dipegang agar tidak ikut
arus sama dan seragam dengan semakin meningkatnya perubahan lingkungan
strategis.11 Perubahan lingkungan yang bergolak (turbulen) dan penuh ketidakpastian
(uncertainty) yang bergerak cepat dan tidak menentu mendorong para akademisi,
praktisi, birokrat, dan berbagai profesi lainnya untuk berpacu mengembangkan
strategi perubahan dan kebijaksanaan antisipatif agar mampu menyesuaikan diri
11 Sembiring dalam artikelnya menegaskan bahwa salah satu yang perlu dikaji manajemen adalah perubahan lingkungan strategis, baik dalam skala global maupun domestik. Pada skala global fenomena globalisasi merupakan indikasi kuat perubahan lingkungan strategis. Globalisasi merupakan proses dimana masyarakat dunia semakin terhubungkan (interconected) satu sama lainnya dalam berbagai aspek kehidupan, seperti budaya, ekonomi, politik, teknologi, dan lingkungan. Dunia berubah menjadi sebuah pasar global, bukan hanya untuk barang dan jasa, melainkan juga penyedia modal dan teknologi. Lingkungan bisnis telah dan sedang mengalami perubahan signifikan. Perubahan tersebut diperkirakan akan semakin kompleks dan sulit untuk diprediksi. Dengan kata lain, lingkungan bisnis akan semakin turbulen. Eddy R. Sembiring, “Meraih Competitive Advantage Melalui Learning Organization”. Media Akuntansi Edisi 36, 2003, hal. 52-53.
4
dengan berbagai ragam tuntutan lingkungan12. Pada tataran empirik yang demikian,
maka peranan ideologi Pancasila merupakan suatu daya (power) pengikat identitas
nasional.
Pancasila mempunyai ciri khas sebagai pembeda bangsa kita dengan bangsa
lain, Pancasila bukanlah sesuatu yang kaku dan statis, Pancasila sebagai ideologi
bersifat terbuka, dinamis selaras dengan keinginan masyarakat penganutnya.
Implikasinya ada pada identitas nasional kita yang terbuka, serta terus berkembang
untuk diperbaharui maknanya agar relevan dan fungsional terhadap keadaan
sekarang.13
Sebagai suatu paradigma14, Pancasila merupakan model atau pola berpikir yang
mencoba memberikan penjelasan atas kompleksitas realitas sebagai manusia personal
dan komunal dalam bentuk bangsa. Pancasila yang merupakan satuan dari sila-silanya
harus menjadi sumber nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi
pembangunan.15
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, mengandung lima pesan pokok,
yaitu: penghayatan dan hakikat martabat bangsa, kesepakatan akan cita-cita nasional,
kebulatan tekad untuk mencapai tujuan nasional, mempertahankan dan
12 Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Jakarta: Erlangga, 2003), hal.45.13 Samsul Wahidin, Pokok-Pokok Kewarganegaraan, Cet.I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.27.14 Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. http://www.gudangmateri.com. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.15 Dardji Darmodiharjo, Orientasi Singkat Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hal.15.
5
memperjuangkan kepentingan nasional, serta kesepakatan tentang pencapaian tujuan
nasional.16
Pancasila juga sebagai suatu sistem ekomoni lazim disebut Sistem Ekonomi
Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila mengacu pada setiap sila sebagai berikut.17
(1) Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan-rangsangan
ekonomi, sosial, dan moral;
(2) Seluruh warga masyarakat bertekad untuk mewujudkan kemerataan sosial
yaitu tidak membiarkan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial;
(3) Semua pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah (sebagai
produsen sekaligus konsumen) selalu bersemangat nasionalistik, yang dalam
setiap putusan ekonominya menomorsatukan tujuan terwujudnya
perekonomian nasional yang kuat dan tangguh;
(4) Koperasi dan organisasi-organisasi ekonomi yang selalu mengedepankan
kerjasama (cooperation) dan tindakan bersama (collective action) menjadi
sokoguru kegiatan ekonomi masyarakat;
(5) Dalam perekonomian Indonesia yang luas dan beragam terus menerus
diupayakan keseimbangan antara perencanaan ekonomi nasional dengan
desentralisasi dan otonomi daerah. Melalui partisipasi aktif setiap daerah,
16 Eddy Oetomo, Bahan Kuliah Wawasan Nusantara, Lemhannas RI, tahun 2010.17 Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-Ilmu Sosial, (Yogyakarta: BPFE, 2002), hal.28. Rumusan ciri-ciri Sistem Ekonomi Pancasila yang demikian secara garis besar telah dikemukanan oleh Mubyarto pada tahun 1981, tetapi mendapat tanggapan negatif pakar-pakar ekonomi dan sejumlah pakar lain, meskipun dukungan terhadapnya sesungguhnya jauh lebih besar.
6
aturan main keadilan ekonomi berjalan sehingga menghasilkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat.
Tulisan dalam bentuk makalah ini menjawab relevansi nilai-nilai Pancasila
dalam mewujudkan ekonomi yang berkeadilan. Sejauhmana nilai-nilai Pancasila untuk
diimplementasikan dalam tataran empirik tergantung dari aktualisasi pengamalan
Pancasila dalam peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi. Pancasila tidak
akan dapat memberi manfaat apapun manakala keberadaannya hanya bersifat sebagai
konsep atau software belaka.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diidentifikasikan beberapa permasalahan dalam penulisan makalah ini, yakni sebagai
berikut:
Pertama, menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, faktor-faktor ini diidentifikasikan menjadi dua
bagian yakni faktor ekonomi dan faktor nonekonomi.
Kedua, menyangkut tolok ukur atau indikator pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi saat ini. Kondisi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi diukur dengan
besaran angka pertumbuhan ekonomi, jumlah (persentase) penduduk miskin serta
jumlah (persentase) pengangguran.
Ketiga, aktualisasi pengamalan Pancasila dalam mewujudkan ekonomi yang
berkeadilan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam proses pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
7
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah disampaikan,
maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah aktualisasi pengamalan Pancasila dalam mewujudkan
ekonomi yang berkeadilan?”
B. PEMBAHASAN
1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi18 tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi
(economic growth)19; pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan
sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan
PDB riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi
keberhasilan pembangunan ekonomi.
Setidaknya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi
dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi.
18 Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomi. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.19 Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomi. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.
8
Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi diantaranya
adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian
atau kewirausahaan. Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam
seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut,
sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal
penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan
dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki
nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi). Sumber daya manusia juga
menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas
penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk
memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa
besar produktivitas yang ada. Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia
untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan
untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang
modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi
karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas. Sedangkan
faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan
politik, kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku.20
2. Kondisi Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Saat Ini20 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi Revisi, (Jakarta: RajaGrafindo Prada, 2005), hal.35.
9
Pertumbuhan ekomoni sangat terkait dengan penyerapan tenaga kerja,
menaiknya pertumbuhan ekonomi maka menaik pula penyerapan tenaga kerja.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi juga memberi dampak positif yang dirasakan oleh
masyarakat seperti peningkatan daya beli dan angka kemiskinan yang menurun. Saat
ini pertumbuhan ekonomi belum banyak menyerap banyak tenaga kerja. Pasalnya,
sektor yang banyak berkembang adalah sektor padat modal bukan padat karya.21
Selama masa reformasi hingga sekarang, pertumbuhan ekonomi Indonesia
tergolong lambat. Meskipun, selama tahun 2006-2007, perekonomian tumbuh di atas
5%. Namun, banyak orang mengatakan bahwa pertumbuhan tersebut mempunyai
kualitas rendah. Ini terjadi karena setidaknya dua alasan. Pertama, daya serap tenaga
kerja yang terus-menerus mengalami penurunan. Setiap 1% pertumbuhan ekonomi
hanya akan menyerap sebanyak 400 ribu tenaga kerja22. Namun, dalam beberapa
tahun belakangan, kemampuan ekonomi dalam menyerap tenaga turun hingga
menjadi setengahnya.23 Menurunnya daya serap tenaga kerja ini terjadi karena sektor-
sektor yang mempunyai kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar tidak
mengalami pertumbuhan berarti. Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan bagus
hanyalah sektor telekomunikasi dan beberapa sektor lain yang kurang mampu
menyerap tenaga kerja. Sebaliknya, sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja
terbanyak (kurang lebih 40%) hanya tumbuh di sekitar angka 2-%3.
21 Ryan Kiryanto, Stabilitas Moneter-Perbankan 2007 dan Tantangan 2008, Makalah, Jakarta, 3 April 2007.22 Carunia Mulya Firdausy, “Kebijakan Ekonomi dalam Mengatasi Kemiskinan dan Penganggguran di Indonesia". Jurnal Dinamika Masyarakat, Vol. VI, No. 3, Desember 2007, hal.125.23 Pande Radja Silalahi, “Tuntutan Menggerakkan Sektor Riil”. Analisis CSIS Vol. 36 No. 3, September 2007, hal. 269.
10
Laporan BPS menyebutkan bahwa distribusi penduduk yang bekerja sebagian
besar masih berada di sektor pertanian, yakni 42,05%, disusul sektor industri 18,58%,
dan jasa sebesar 39,37%24. Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini menunjukkan bagaimana
pola-poa pertumbuhan ekonomi selama masa neo-liberalisme dilaksanakan. Sektor-
sektor yang memang menjanjikan keuntungan tumbuh sangat besar, sedangkan yang
lainnya tumbuh sangat lambat.
Tabel 1: Pertumbuhan Ekonomi Persektor (Tahun 2006 - 2007)
SEKTOR 2006 2007
I I sd II I sd III I sd IV I I sd II I sd III I sd IV
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
6.62 4.06 3.56 3.36 (2.12) 1.74 3.85 3.47
2. Pertambangan dan Penggalian
2.34 2.95 2.32 1.70 6.11 4.63 3.37 1.93
3. Industri Pengolahan 3.02 3.32 4.18 4.59 5.22 5.17 4.96 4.67
4. Listrik, Gas & Air Bersih 5.08 4.77 5.10 5.76 8.16 9.19 9.91 10.33
5. Konstruksi 7.71 8.12 8.26 8.34 8.30 7.92 8.00 8.53
6. Perdagangan, Hotel & Restoran
4.90 5.39 6.23 6.42 9.53 8.97 8.99 8.93
7. Pengangkutan dan Komunikasi
11.98 12.64 13.10 14.23 12.96 13.36 13.86 14.04
8. Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan
5.65 5.41 5.10 5.47 8.13 7.85 7.76 7.99
9. Jasa-jasa 5.78 5.89 6.16 6.16 6.98 6.97 6.32 6.44
Produk Domestik Bruto 5.13 5.03 5.31 5.50 6.06 6.39 6.51 6.35
Produk Domestik Bruto Tanpa Migas
5.84 5.62 5.95 6.11 6.64 7.05 7.09 6.95
(Sumber: htpp://www.bps.go.id, diakses tanggal 15 Oktober 2010.)
Tabel 2: Pertumbuhan Ekonomi Persektor (Tahun 2008 - 2009)
SEKTOR 2008 2009
I I sd II I sd III I sd IV I I sd II I sd III I sd IV
24 Analisis Dinamika Pasar Kerja I, Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007, hal.71.
11
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 6.44 5.60 4.75 4.83 5.91 4.38 3.99 4.13
2. Pertambangan dan Penggalian (1.62) (1.00) 0.10 0.68 2.61 2.99 4.08 4.37
3. Industri Pengolahan4.28 4.26 4.27 3.66 1.50 1.51 1.43 2.11
4. Listrik, Gas & Air Bersih12.34 12.05 11.48 10.92 11.25 13.31 13.71 13.78
5. Konstruksi8.20 8.26 8.09 7.51 6.25 6.17 6.71 7.05
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 6.75 7.22 7.35 6.87 0.63 0.30 0.11 1.14
7. Pengangkutan dan Komunikasi 18.12 17.33 16.73 16.57 16.78 16.91 16.75 15.53
8. Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan 8.34 8.50 8.53 8.24 6.26 5.79 5.49 5.05
9. Jasa-jasa5.52 6.02 6.33 6.23 6.70 6.95 6.64 6.40
Produk Domestik Bruto6.21 6.26 6.25 6.01 4.53 4.30 4.25 4.55
Produk Domestik Bruto Tanpa Migas 6.70 6.71 6.72 6.46 4.93 4.69 4.63 4.93
(Sumber: htpp://www.bps.go.id, diakses tanggal 15 Oktober 2010.)
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, ekonomi Indonesia pada kuartal II-
2010 tumbuh 6,2% secara year on year (yoy). Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi
semester I-2010 mencapai 5,9%.25
Untuk jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02
juta orang (13,33%). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang
berjumlah 32,53 juta (14,15%), berarti jumlah penduduk miskin berkurang 1,51 juta
jiwa. 26 Sedangkan jumlah pengangguran periode Februari 2010 mengalami penurunan
sekitar 370 ribu orang dari jumlah 9.258.964 orang (Februari 2009).27
Hingga saat ini kualitas perekonomian belum menampakkan perubahan yang
signifikan, tidak menutup kemungkinan, akan mendapat pukulan maha dasyat dari
25 http://bps.go.id. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.26 http://bps.go.id. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.27 http://bps.go.id. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.
12
arus globalisasi. Kekhawatiran ini muncul, karena pemerintah dalam proses
pemberdayaan masyarakat lemah masih parsial dan cenderung dualisme, antara
kemanjaan (ketergantungan) pemerintah kepada IMF, sementara keterbatasan
akomodasi bentuk perekonomian masyarakat yang tersebar (diversity of economy
style) di seluruh pelosok negeri tidak tersentuh.
Hal ini juga terlihat jelas pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak
proporsional, tidak mencerminkan model perekonomian yang telah dibangun oleh
para founding father terdahulu. Lihat saja, corak kebijakan neo-liberal ternyata
tidak berhenti, tetapi justru semakin kencang. UU Penanaman Modal Asing No. 25
Tahun 2007 yang sebenarnya merupakan perubahan atas UU PMA sebelumnya.
Namun, berbeda dengan UU No. 6 Tahun 1967 yang dapat dikatakan menjadi tonggak
liberalisasi awal selama pemerintahan Orde Baru.
Dalam UU No. 6 Tahun 1967, secara eksplisit, Pasal 6 ayat 1 menyebutkan
"Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara
pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut:
- Pelabuhan-pelabuhan
- Produksi, transimisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum
- Telekomunikasi
- Pelayaran
- Penerbangan
- Air minum
13
- Kereta api umum
- Pembangkit tenaga atom
- Mass media
Pasal 6 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1967 menyebutkan, "Saham peserta Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kuragnya 5% dari
seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian". Pasal ini mengandung
pengertian bahwa perusahaan asing tidak boleh memasuki bidang usaha yang
tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 3 UU ini
menyebutkan bahwa asing boleh memiliki dan menguasai sampai dengan 49%.
Kemudian, Pasal 3 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1968 mengenai PMDN Pasal 3 ayat 1
mengijinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang jelas menguasai
hajat hidup orang banyak asalkan porsinya 49%. Namun, di sini, ada ketentuan agar
agar invstor Indonesia yang 51% tersebut dinaikan menjadi 75% paling lambat tahun
1974. Dari sini, UU No. 6 Tahun 67 dan No. 6 Tahun 1968 meskipun membuka peluang
bagi investor asing untuk terlibat dalam pembangunan nasional Indonesia, tetapi
perannya masih sangat dibatasi. Kepentingan nasional, dalam hal ini, masih menjadi
pertimbangan dalam merumuskan keterlibatan asing dalam pembangunan.
Namun, pertimbangan-pertimbangan semacam ini, tampaknya sudah
dihilangkan sama sekali. UU No. 25 Tahun 2007 menghapuskan sama sekali proteksi
semacam itu, dan justru mendorong perlakuan yang sama antara pengusaha lokal atau
nasional dengan asing.
Beberapa pasal neo-liberalisasi dalam undang-undang tersebut sebagai berikut:
14
Pasal 1 yang mendefenisikan "Ketentuan Umum" yang mempunyai banyak
ayat itu pada intinya menyatakan tidak ada perbedaan antara modal asing dan dalam
negeri.
Pasal 6 mengatakan "Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada
semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan
penanaman modal di Indonesia.
Pasal 7 menegaskan bahwa "Pemerintah tidak akan melakukan tindakan
nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal kecuali dengan
undang-undang.
Pasal 8 ayat 3 menyatakan "Penanam modal diberi hak untuk melakukan
transfer dan repatriasi dalam valuta asing", yang dilanjutkan dengan perincian tentang
apa yang boleh ditransfer, yaitu sebanyak 12 jenis, yang praktis tidak ada yang tidak
boleh ditransfer Pasal 12 mengatakan bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha
terbuka bagi kegiatan penanaman modal kecuali produksi senjata dan bidang usaha
yang dinyatakan secara tertutup berdasarkan undang-undang. Hak atas tanah menjadi
95 tahun untuk Hak Guna Usaha, 80 tahun untuk Hak Guna Bangunan dan 70 tahun
untuk Hak Pakai
Dilihat dari pasal-pasal di atas, betapa undang-undang penanaman modal ini
tidak memberikan sedikitpun katup pengaman bagi industri dalam negeri. Industri-
industri lokal akan dibiarkan masuk dalam hutan belantara persaingan berdasarkan
prinsip survival of the fittest.
15
3. Aktualisasi Pengamalan Pancasila Dalam Mewujudkan Ekonomi yang Berkeadilan
Pancasila menggambarkan Indonesia, yang penuh dengan nuansa plural, yang
secara otomatis menggambarkan bagaimana multikulturalnya bangsa kita. Ideologi
Pancasila hendaknya menjadi satu panduan dalam berbangsa dan bernegara.
Para founding father kita dengan cerdas dan jitu telah merumuskan formula
alat perekat yang sangat ampuh bagi negara bangsa yang spektrum kebhinekaannya
teramat lebar (multi-facet natio state) seperti Indonesia. Alat perekat tersebut tiada
lain adalah Pancasila yang berfungsi pula sebagai ideologi, dasar negara serta jatidiri
bangsa.28 Sampai kini Pancasila diyakini sebagai yang terbaik dari sekian alternatif yang
ada, merupakan ramuan yang tepat dan mujarab dalam mempersatukan bangsa,
sehingga Prof. Dr. Syafi'i Maarif menyebutnya sebagai “Indonesia Masterpiece” (Karya
Agung Bangsa Indonesia)29. Namun demikian Pancasila tidak akan dapat memberi
manfaat apapun manakala keberadannya hanya bersifat sebagai konsep atau software
belaka. Untuk dapat berfungsi penuh sebagai perekat bangsa. Pancasila harus
diimplementasikan dalam segala tingkat kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan dalam segala aspek meliputi politik,
ekonomi, budaya, hukum dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan lingkungan strategis global, maka peranan Pancalisa
sangat relevan dan bahkan sangat perlu untuk diberdayakan ketangguhannya melalui
aktualisasi dan pengamalan nilai-nilainya.
28 Ika Dewi Ana dkk, Pemikiran Para Pemimpin Negara Tentang Pancasila: Sebuah Bunga Rampai (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006), hal.33. 29 Ibid.
16
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi secara
obyektif dan subyektif. Aktualisasi pancasila secara obyektif yaitu adalah pelaksanaan
Pancasila dalam bentuk realisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik
bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun semua bidang kenegaraan lainnya.
Aktualisasi obyektif ini terutama berkaitan dengan realisasi dalam bentuk perundang-
undangan negara Indonesia.30
Sedangkan aktualisasi Pancasila secara subyektif adalah pelaksanaan Pancasila
dalam setiap pribadi, perseorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap
penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Dengan demikian pelaksanaan
Pancasila yang subyektif sangat berkaitan dengan kesadaran, ketaatan serta kesiapan
individu untuk mengamalkan Pancasila. Aktualisasi Pancasila yang subyektif ini justru
lebih penting dan aktualisasi yang obyektif, karena aktualisasi yang subyektif ini
merupakan persyaratan keberhasilan aktualisasi yang obyektif.31
Pengaktualisasian Pancasila dalam bidang ekonomi yaitu dengan menerapkan
sistem ekonomi Pancasila yang berkeadilan menekankan pada harmoni mekanisme
harga dan sosial (sistem ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar bebas
(liberalisasi) yang mensyaratkan adanya dominasi pemilik modal terhadap sumber
daya alam dan sumber kekayaan alam.
Pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila yang berkeadilan dapat menjamin
dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil, dan mikro
(UMKM). Selain itu ekonomi yang berdasarkan Pancasila tidak dapat dilepaskan dari 30 Gunaryadi, Bahan Kuliah Ideologi, Lemhannas RI, tahun 2010.31 Loc.Cit.
17
sifat dasar individu dan sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang
lain untuk memenuhi semua kebutuhanya tetapi manusia juga mempunyai kebutuhan
dimana orang lain tidak diharapkan ada atau turut campur.
Ekonomi menurut Pancasila adalah berdasarkan asas kebersamaan,
kekeluargaan yang bersendikan keadilan artinya walaupun terjadi persaingan namun
tetap dalam kerangka tujuan bersama sehingga tidak terjadi persaingan bebas yang
mematikan.32
Dengan demikian pelaku ekonomi di Indonesia dalam menjalankan usahanya
tidak melakukan persaingan bebas, meskipun sebagian dari mereka akan mendapat
keuntungan yang lebih besar dan menjanjikan. Hal ini dilakukan karena pengamalan
dalam bidang ekonomi harus berdasarkan keadilan. Jadi interaksi antar pelaku
ekonomi sama-sama menguntungkan dan tidak saling menjatuhkan. Pilar Sistem
Ekonomi Pancasila yang meliputi: 1. ekonomika etik dan ekonomika humanistik, 2.
nasionalisme ekonomi dan demokrasi ekonomi, 3. ekonomi berkeadilan sosial.33
Mubyarto34 merumuskan Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi yang
bermoral Pancasila, dengan lima platform sebagai manifestasi sila-sila Pancasila yaitu
moral agama, moral kemerataan sosial, moral nasionalisme ekonomi, moral
kerakyatan, dan moral keadilan sosial. Ekonomi Pancasila merupakan prinsip-prinsip
moral (ideologi) ekonomi yang diderivasikan dari etika dan falsafah Pancasila. Oleh
karena itu, selain berisi cita-cita visioner terwujudnya keadilan sosial, ia juga
32 Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, Cet.I, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000). hal.42.33 Ibid.34 Mubyarto, Ekonomi Pancasila. (Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002), hal.39.
18
mengangkat realitas sosio-kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus ‘rambu-rambu’
yang bernilai sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalisme dan kapitalisme.
Penerapan platform Ekonomi Pancasila secara utuh (multi-sektoral) dan menyeluruh
(nasional) menempatkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi
khas Indonesia yaitu Sistem Ekonomi Pancasila.
Sistem Ekonomi Pancasila sangat relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita
saat ini. Di tengah pesatnya perkembangan ilmu (ideologi) ekonomi global yang sudah
semakin mengarah pada keyakinan layaknya agama, rasanya tidak sulit mengamati
ekses dari kecenderungan global tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila
dapat dideteksi dari cita-cita ideal pendiri bangsa, yang terangkum dalam kajian lima
platform Ekonomi Pancasila yang bersifat holistik dan visio-revolusioner.35
Platform pertama Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung
prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial,
dan moral”. Pada awalnya founding fathers kita merumuskan politik kemakmuran,
keadilan sosial, dan pembangunan karakter (character building) bangsa yang dilandasi
semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi
harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan
untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah SWT, tidak sekedar
pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar
mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum
Allah SWT (syari’ah), dan memperhatikan kepentingan sosial.
35 Ibid.
19
Platform kedua adalah “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga
masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan
berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah
lama tertuang dalam bagian penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen
dalam konsep kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang perseorangan.
Platform ketiga adalah “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi
makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh,
dan mandiri”. Platform ini sejalan dengan konsep founding fathers kita, khususnya
Bung Karno dan Bung Hatta, perihal politik-ekonomi berdikari yang bersendikan usaha
mandiri (self-help), percaya diri (self reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-
aktif. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional,
melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini
mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal
dan nasional untuk tidak hanya mencapai nilai tambah ekonomi melainkan juga nilai
tambah sosial-kultural, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa. Oleh
karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya pemberdayaan ekonomi
rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional.
Platform keempat adalah “demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan
kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi
perorangan dan masyarakat”. Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945,
yang kini sudah di amandemen keempat. Perubahan ini telah menghilangkan seluruh
20
Penjelasan UUD 1945 termasuk Penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip
demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya
penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk
memperjuangkan pasar bebas (liberalisasi), yang menjadi senjata penganut paham
liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah
privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.
Platform kelima (terakhir) adalah “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan
adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang
luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah
(daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai
potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi politik-ekonomi
era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun strategi pembangunan
nasional. Inilah substansi negara kesatuan yang tidak membiarkan terjadinya
ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivitas ekonomi oleh
pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma yang kemudian dibangun
adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di Indonesia seperti yang
dilakukan Orde Baru dengan paham developmentalism yang netral visi dan misi.
Gagasan para pendiri bangsa kita yang sejalan dengan praktek ekonomi rakyat,
menentang keras praktek ekonomi yang neo-liberal-kapitalistik kiranya menyadarkan
kita akan perlunya perombakan sistem ekonomi tersebut. Inilah relevansi lima
platform Ekonomi Pancasila yang dapat menjadi panduan (guidance) bagi pergantian
21
sistem dan ideologi ekonomi menjadi ekonomi yang lebih bermoral, berkerakyatan,
dan berciri ‘ke-Indonesia-an’, sehingga lebih menjamin upaya pewujudan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi
yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang paling penting
adalah sumber daya alam dan sumber kekayaan alam. Sehingga, pemanfaatan dan
penggunaan kedua sumber tersebut harus sejalan dan selaras dengan nilai-nilai
Pancasila agar tercapai tujuan nasional. Sedangkan faktor nonekonomi yang
menentukan adalah mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan
politik, kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku. Oleh karenanya,
political will pemerintah harus mengedepankan nilai-nilai keadilan dalam
pembangunan nasional, diwujudkan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih memihak kepada rakyat.
Pada tataran yang demikian, maka keberadaan Pancasila sebagai suatu
pedoman dan arahan pembangunan nasional menjadi mutlak adanya. Aktualisasi
Pancasila secara obyektif menuntut realisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan
negara, baik bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun semua bidang kenegaraan
lainnya. Aktualisasi obyektif ini terutama berkaitan dengan realisasi dalam bentuk
perundang-undangan negara Indonesia.
Sedangkan aktualisasi pancasila secara subyektif adalah pelaksanaan Pancasila
dalam setiap pribadi, perseorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap
22
penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Pelaksanaan Pancasila yang
subyektif sangat berkaitan dengan kesadaran, ketaatan serta kesiapan individu untuk
mengamalkan Pancasila. Aktualisasi Pancasila yang subyektif ini justru lebih penting
dari aktualisasi yang obyektif, karena aktualisasi yang subyektif ini merupakan
persyaratan keberhasilan aktualisasi yang obyektif.
Selanjutnya, bahwa dalam pengembangan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi
terbuka di era globalisasi, maka dalam tataran instrumental dan praksisnya kita
membutuhkan interpretasi nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan
(politik, ekonomi, sosbud, dan hankam), yang didukung oleh pemikiran-pemikiran baru
yang relevan.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat
diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, faktor - faktor yang mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi , adalah faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Terhadap faktor ekonomi,
seperti sumber daya alam dan sumber kekayaan alam pemanfaatan dan penggunaan
kedua sumber tersebut harus sejalan dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila agar
tercapai tujuan nasional. Sedangkan faktor nonekonomi, political will pemerintah
sangat menentukan keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
23
Kedua, keberadaan Pancasila sebagai suatu pedoman dan arahan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menjadi mutlak adanya, oleh karenanya
aktualisasi pengamalan Pancasila di bidang ekonomi harus dilakukan dengan objektif
dan subyektif. Aktualisasi Pancasila yang subyektif ini justru lebih penting dari
aktualisasi yang obyektif, karena aktualisasi yang subyektif ini merupakan persyaratan
keberhasilan aktualisasi yang obyektif.
Ketiga, dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila di bidang ekonomi
akan mampu mewujudkan ekonomi yang berkeadilan dalam rangka menghadapi
persaingan bebas (liberalisasi) dan globalisasi yang tengah berlangsung. Dengan
demikian, tujuan nasional untuk mensejahterakan rakyat akan terwujud dan tercipta
ketahanan nasional di bidang ekonomi.
2. Saran
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan sumbangsaran pemikirannya,
yakni sebagai berikut:
Pertama, dibutuhkan keberpihakan pemerintah dan legislatif baik di tingkat
pusat maupun di daerah untuk mengangkat masyarakat yang sekarang ini
terpinggirkan menjadi pelaku aktif ekonomi daerah maupun nasional. Program-
program pembinaan dan dukungan pendanaan bagi UMKM perlu ditingkatkan. Selain
itu juga sinergi antara perusahaan besar-menengah-kecil juga perlu diperkuat demi
menciptakan basis industri yang kuat dan efisien.
24
Kedua, perlu dibentuk peraturan perundang-undangan tentang pokok-pokok
pembangunan nasional sebagai paying hukum (umbrella act) terhadap seluruh bidang
ekonomi yang bercirikan dan bermuatan nilai-nilai Pancasila.
Demikianlah sumbangsaran singkat penulis dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Cet.I. Yogyakarta: MedPress, 2007.
Dardji Darmodiharjo, Orientasi Singkat Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1981.
Didin S. Damanhuri, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar Dalam Kemelut
Globalisasi, Cet.I, Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2009.
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi Revisi, Jakarta:Raja Grafindo
Prada, 2005.
25
Eddy Oetomo, Bahan Kuliah Wawasan Nusantara, Lemhannas RI, tahun 2010.
Gunaryadi, Bahan Kuliah Ideologi, Lemhannas RI, tahun 2010.
Ika Dewi Ana dkk, Pemikiran Para Pemimpin Negara Tentang Pancasila: Sebuah Bunga
Rampai, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006.
Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, Cet.I, Yogyakarta: BPFE-UGM, 2000.
_________. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002.
_________. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta,
2002.
Ohmae, Keniche .Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat
Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Yogyakarta: Qalam, 2002.
Petras, James dan Henry Veltmeyer, Judul Asli: Globalization Unmasked: Imperialism in
the 21th Century, diterjemahkan oleh Agung Prihantoro. Imperialisme Abad 21,
Cet.I. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
Samsul Wahidin, Pokok-Pokok Kewarganegaraan, Cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Todaro Michael P. dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga,
Jakarta: Erlangga, 2003.
Jurnal, Makalah, Majalah, Internet dll.
Analisis Dinamika Pasar Kerja I, Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
2007.
Carunia Mulya Firdausy, “Kebijakan Ekonomi dalam Mengatasi Kemiskinan dan
Penganggguran di Indonesia". Jurnal Dinamika Masyarakat, Vol. VI, No. 3,
Desember 2007.
Rajagukguk, Erman. ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,”
Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum
Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
26
Ryan Kiryanto, Stabilitas Moneter-Perbankan 2007 dan Tantangan 2008, Makalah,
Jakarta, 3 April 2007.
Silalahi, Pande Radja, “Tuntutan Menggerakkan Sektor Riil”. Analisis CSIS Vol. 36 No. 3,
September 2007.
Sembiring, Eddy R. “Meraih Competitive Advantage Melalui Learning Organization”.
Media Akuntansi Edisi 36, 2003.
http://www.gudangmateri.com. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomi. Diakses tanggal 18 Oktober
2010.
http://bps.go.id. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.
27