tuberkulosis dalam keluarga
DESCRIPTION
IKM IKKTRANSCRIPT
Tuberkulosis Dalam Keluarga
Pendahuluan
Salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah di masyarakat sampai saat
ini adalah tuberkulosis (TBC) atau yang lebih dikenal dengan TB Paru. Penyakit TB Paru di
Indonesia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan
penyakit infeksi. Tahun 1999 WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru
TB Paru, dengan kematian sekitar 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000
penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TB Paru BTA positif (Depkes RI, 2002).
Bahkan karena jumlahnya yang cukup besar, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia
dalam hal penderita TB Paru setelah India dan China (Achmadi, 2005).
Laporan WHO tahun 1999 menyatakan bahwa Penyakit TB Paru masih menjadi
masalah dunia karena menginfeksi sepertiga penduduk dunia, dan cenderung meningkat
terus. Di Indonesia diperkirakan setiap 100.000 penduduk terdapat 130 penderita baru BTA
positif. Departemen Kesehatan telah menetapkan kebijakan nasional tujuan jangka pendek
program penanggulangan TB Paru yaitu penemuan penderita pada tahun 2005 dapat
mencapai 70% dari perkiraan semua penderita baru BTA Positif (Depkes.RI, 2000).
Tinjauan Pustaka
Tuberkulosis dan Riwayat alamiahnya
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Cara penularan adalah
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Risiko penularan
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB
paru dengan BTA negatif. o Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB
selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.
Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.Infeksi TB dibuktikan
dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
Risiko menjadi sakit TB
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun.
Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi
sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien
TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun, 50% akan meninggal, 25% akan sembuh
sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap
menular
Diagnosis Tuberkulosis
Penyebab Penyakit TB Paru adalah Kuman Mycobacterium Tuberculosis. Kuman ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman TB
dapat mati dengansinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat
yang gelapdan lembab. Dalam jaringan tubuh jaringan ini Dormant atau tertidur lama selama
beberapa tahun.
Sedangkan klasifikasi Penyakit TB Paru menurut Bahar Asril sebagai berikut :
Tuberkolusis Paru
Bekas Tuberkolusis
Tuberkolusis Paru tersangka, dibagi dalam : a). Tuberkolusis TB Paru tersangka yang
diobati adalah sputum BTA negatif tetapi tanda-tanda lain positif; b). Tuberkolusis Paru
tersangka yang tidak diobati berupa sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga
meragukan.
Sedangkan berdasarkan waktu pengambilan dahak untuk keperluan diagnosa TB Paru,
dibagi menjadi jenis pengambilan dahak sewaktu dan pagi:
Pengambilan dahak S (Sewaktu), merupakan dahak yang dikumpulkan pada saat suspek
TB Paru datang berkunjung pertama kali pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak hari ke 2 (dua) .
Pengambilan dahak P(pagi ), merupakan dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari
kedua, segerasetelah bangun. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK
(Unit Pelayanan Kesehatan). Pengambilan dahak S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di
Unit Pelayanan Kesehatan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi
Penemuan penderita TB Paru secara pasif
Penemuan penderita TB Paru secara pasif adalah penjaringan tersangka penderita
dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan
secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan
maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini
biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding.
Selain itu semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama harus
diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita
sedini mungkin mengingat TB Paru adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan
kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-turut, yaitu Sewaktu-Pagi- Sewaktu.
Kriteria, Klasifikasi dan Diagnostik Penyakit Tb Paru
Penyakit Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama dunia, terutama di negara
berkembang. Sedangkan di Indonesia jumlah pasien TB paru menempati urutan ketiga
terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Diantara masalah utama yang ditemui, yaitu masih
kurangnya monitoring pada pasien TB paru, sehingga menyebabkan pengobatan tidak
efektif.Berdasarkan organ tubuh yang terkena:
TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
TB ekstra paru. TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis :
TB paru BTA positif. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran TB paru.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB paru positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
TB paru BTA negatif. Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative.
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB paru.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.Berdasarkan
tingkat keparahan penyakit : TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk
berat bila
Agent, Host dan Environment Pada Tuberculosis
Teori John Gordon, mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), penjamu (host), dan lingkungan
(environment). Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga epidemiologi (Epidemiologi
Triangle), hubungan ketiga faktor tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan
yaitu agent penyebab penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan
lingkungan sebagai penumpunya.
Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan seimbang, maka
seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan keseimbangan akan menyebabkan
seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agent
penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit, demikian pula bila agent
penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan faktor penjamu tetap, maka bobot agent
penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau
meningkat maka ia dalam keadaan sehat. Apabila faktor lingkungan berubah menjadi
cenderung menguntungkan agent penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya
seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut :
Agent
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan
termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah
penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering.
Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium leprae,
Mycobacterium paratuberkulosis dan Mycobacterium yang dianggap sebagai Mycobacterium
non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan (Heinz, 1993).
Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium tuberculosis hidup baik pada lingkungan yang
lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari. Mycobacterium tuberculosis
mempunyai panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2- 0,8 mikron. Kuman ini melayang diudara dan
disebut droplet nuclei. Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk,
lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi kuman
tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api
(Atmosukarto & Soewasti, 2000).
Kuman tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam,
selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5 menit dan juga oleh ethanol
80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam.
Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan
subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 %
volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-
bakteri patogen termasuk tuberkulosis.
Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri
mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 – 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal
pada suhu 31-37 C. Pengetahuan mengenai sifat-sifat agent sangat penting untuk pencegahan
dan penanggulangan penyakit, sifat-sifat tersebut termasuk ukuran, kemampuan berkembang
biak, kematian agent atau daya tahan terhadap pemanasan atau pendinginan.
Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau
manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk menimbulkan penyakit.
Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium
tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas,
infektifitas dan virulensi.
Patogenitas agent dapat berubah dan tidak sama derajatnya bagi berbagai host.
Berdasarkan sumber yang sama pathogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat
rendah. Infektifitas adalah kemampuan suatu mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan
berkembang biak didalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman
tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu
mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis paru
termasuk tingkat tinggi, jadi kuman ini tidak dapat dianggap remeh begitu saja.
Host
Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis,
kuman tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat
menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002). Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan
(1991), menunjukkan tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup
tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam
rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan
akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa
menangkap kuman TB.
Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan data
bahwa Tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.
Besar resiko terjadinya penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih dari 1
orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita tuberkulosis.Hal
yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik; gizi atau daya tahan
tubuh, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan.
Karakteristik host dapat dibedakan antara lain; Umur, jenis kelamin, pekerjaan, keturunan,
pekerjaan, keturunan, ras dan gaya hidup.
Host atau penjamu; manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan anthropoda yang
dapat memberikan tempat tinggal atau kehidupan untuk agent menular dalam kondisi alam
(lawan dari percobaan). Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan,
tetapi host yang dimaksud dalam penelitia ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah; kekebalan tubuh (alami dan
buatan), status gizi, pengaruh infeksi HIV/AIDS.
Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati, benda
hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-
elemen termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik,
lingkungan fisik terdiri dari; Keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan dan
lain-lain), kelembaban udara, temperatur atau suhu, lingkungan tempat tinggal.
Adapun lingkungan non fisik meliputi; sosial, budaya, ekonomi dan politik yang
mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit.
Epidemiologi
Besaran masalah Tuberkulosis
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian
akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB
didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB
lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Gambar 1. Angka Insidens TB didunia (WHO, 2009)
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis
(15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu
kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan
rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Pada tahun
1990-an, situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak
yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22
negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun
1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang
berkembang.
Kegagalan program TB. Hal ini diakibatkan oleh karena tidak memadainya komitmen
politik dan pendanaan
Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan
kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan
pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).
Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar,
gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi
atau pergolakan masyarakat.
Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur
umur kependudukan.
Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD
mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:
o Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
o Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
o Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
o Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
o Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB
sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi
kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-efective). Integrasi kedalam pelayanan
kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit
yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS,
setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat
sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan
demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara,
kemudian strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut
diperluas menjadi sebagai berikut :
Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
Memberdayakan pasien dan masyarakat
Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Surveilans
Survailans epidemiologi adalah bagian penting dari ilmu epidemiologi khusus
terutama untuk pemberantasan penyakit menular. Definisi survilans adalah penelitian
epidemiologi dari suatu penyakit yang merupakan suatu proses dinamik, melibatkan ilmu
ekologi dari bibit penyakit (agent), pejamu (host), reservoir dan vektor – vektor, maupun
mekanisme yang kompleks dari perjalanan infeksi. Kegiatan pokok survailas adalah
(a) Pengumpulan data epidemiologi yang jelas dan teratur
(b) Analisa data yang di peroleh (konsolidasi, evaluasi dan interprestasi dari data tersebut)
(c) Penyebar luasan data yang telah di analisa dengan segera kepada mereka yang
memerlukan informasi tersebut, untuk mengambil tindakan.
Dengan survilans epidemiologi kita dapat mengetahui tentang :
(a) Distribusi dari kasus dan kematian menurut : umur, sex, pekerjaan, waktu dan
sebagaianya
(b) Sumber infeksi dan cara penyebarannya
(c) Keadaan kesehatan lingkungan
(d) Kemungkinan masuknya infeksi di suatu daerah
(e) Perubahan lingkungan pada umumnya
Tehnik pencarian kasus (case finding)
Jika ditinjau dari pemanfaatan, cara penemuan kasus ini sebenarnya merupakan salah
satu langkah penanggulangan keadaan wabah. Tujuan yang dimiliki adalah dalam rangka
menemukan sumber penularan dan atau mencari ada atau tidaknya penderita baru di
masyarakat. Secara umum case finding ini dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu
1. Pencarian kasus aktif (active case finding)
Pada pencarian kasus aktif, cara kerja yang di tempuh pada dasarnya sama dengan
penyaringan. (screening). Bedanya, kelompok masyarakat yang dituju pada case finding
ialah mereka yang dicurigai terkena penyakit
Pada pencarian kasus aktif ini, petugas kesehatan mendatangi daerah yang terkena
wabah untuk mencari sumber penularan atau kasus baru. Pencarian kasus secara aktif ini
ada dua macam yakni :
- Cara telusur kebelakang (backward tracking)
Tujuan utamanya ialah untuk mencari sumber penularan, disini dikumpulkan data
tentang orang-orang yang pernah berhubungan dengan penderita sebelum penderita
tersebut jatuh sakit. Dengan memanfaatkan pengetahuan tentang reservoir penyakit,
masa inkubasi penyakit, cara penularan penyakit, riwayat alamiah perjalanan
penyakit serta gejala-gejala khas penyakit yang sedang mewabah, dapatlah di
tentukan sumber penularan penyakit tersebut.
- Cara telusur kedepan (forward tracking)
Tujuan utamanya ialah untuk mencari kasus baru. Disini dikumpulkan data tentang
orang-orang yang pernah berhubungan dengan penderita setelah penderita tersebut
terserang penyakit. Dengan memanfaatkan pengetahuan tentang masa inkubinasi
penyakit, cara penularan penyakit, riwayat alamiah perkembangan penyakit serta
gejala-gejala khas penyakit yang sedang mewabah, dapatlah ditemukan kasus-kasus
baru penyakit tersebut.
2. Pencarian kasus pasif (pasif case finding)
Pada pencarian kasus yang pasif, pengumpulan data tentang masalah kesehatan tidak
dilakukan secara aktif, melainkan hanya menunggu penderita yang datang berobat ke satu
fasilitas kesehatan saja.
Strategi Nasional Pengendalian Tb di Indonesia 2010-2014
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi, yaitu :
Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu
Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat
miskin serta rentan lainnya
Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin
kepatuhan terhadap International Standards for TB Care
Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program
pengendalian TB
Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.
Kegiatan Pengendalian Tuberkulosis
a) Tatalaksana dan Pencegahan TB
Penemuan Kasus Tuberkulosis
Pengobatan Tuberkulosis
Pemantauan dan Hasil Pengobatan Tuberkulosis
Pengendalian Infeksi pada sarana layanan
Pencegahan Tuberkulosis
b) Manajemen Program TB
Perencanaan program Tuberkulosis
Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis
Manajemen Logistik Program Tuberkulosis
Pengembangan Ketenagaan Program Tuberkulosis
Promosi program Tuberkulosis
c) Pengendalian TB komprehensif
Penguatan Layanan Laboratorium Tuberkulosis
Public - Private Mix (Pelibatan Semua Fasilitas Pelayanan Kesehatan)
Kolaborasi TB-HIV
Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB
Pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru
Manajemen TB Resist Obat
Penelitian tuberkulosis
Aspek Tatalaksana pasien TB
Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Dokter Praktek Swasta.
a. Puskesmas
Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP)
yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang
lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS).
Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri
(PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.
b. Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum, Balai/Baiali Besar Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), dan
klinik lannya dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB.
c. Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya.
Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama dengan
pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Penobatan (klinik).
Program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Tujuan: menurunkan angka kesakitan dan kematian tuberculosis paru dengan memutuskan
rantai penularan melalui upaya pengobatan penderita menular sampai sembuh.7
Kegiatan:
a. Pengamatan Epidemiologi dan Tindakan Pemberantasan
- Penderita tuberculosis paru yang ditemukan baik pada kunjungan dalam gedung
maupun luar gedung Puskesmas harus dicatat dan dilaporkan sesuai dengan ketentuan
pencatatan dan pelaporan Puskesmas yang berlaku.
- Setiap penderita tersangka tuberculosis paru yang berumur 15 tahun ke atas harus
diperiksa dahaknya sebanyak tiga kali berturut-turut dalam seminggu
- Bila dalam pemeriksaan tiga kali berturut-turut dalam seminggu tidak ditemukan
BTA, penderita tersangkaitu harus selalu berada dalam pengawasan dan dianjurkan
kembali sebulan kemudian untuk pemeriksaan dahak lagi.
- Bila dalam dahaknya ditemukan BTA, berikanlah penjelasan tentang pengobatan yang
harus dijalaninya.
- Susunlah jadwal minum obat TB bersama-sama dengan penderita dan pengawas
pengobatan (salah seorang keluarga penderita) yang telah disepakati bersama.
- Obat anti TB yang digunakan dalam program pemeberantas TB paru merupakan
kombinasi beberapa obat yang diberikan selama 6 bulan dan dikenal sebagai paduan
obat jangka pendek.
- Berikanlah petunjuk kepada penderita untuk mencegah penyebaran penyakit dengan:
menutup mulut sewaktu batuk atau bersin, menggunakan tempat dahak yang tertutup
dan diisi dengan larutan Lysol. Apabila tidak mungkin keluarkan dahak di tempat
yang langsung menerima sinar matahari, menjaga rumah selalu terbuka di siang hari
agar peredaran hawa baik dan sinar matahari masuk.
- Kunjungilah penderita dirumahnya jika penderita tidak mengontrol penyakitnya
selama satu minggu.7
b. Penilaian Pengobatan
- Untuk menilai keberhasilan setiap tahap pengobatan dan setelah selesai pengobatan
perlu diperiksa dahaknya pada awal bulan IV dan pada akhir masa pengobatan
(selayaknya pada akhir bulan VI). Pemeriksaan dilakukan tiga kali berturut-turut
dalam seminggu.
- Bila pada pemeriksaan dahak ini ditemukan BTA positif, harus dilakukan biakan
dahak. Bila biakan tidak tumbuh berarti BTA yang ditemukan adalah Mycobacterium
tuberculosis yang mati. Bila biakan tumbuh harus dilakukan pemeriksaan kekebalan
kuma (tes resistensi) terhadap OAT paduan jangka yang digunakan.
- Penderita dinyatakan sembuh bila pada akhir masa pengobatan tidak ditemukan BTA
pada pemeriksaan dahaknya selama tiga kali berturut-turut selama seminggu.7
c. Rujukan Penderita
- Indikasi Rujukan :
Penderita yang dalam pemeriksaan dahak berkala telah menunjukkan terjadinya
konversi namun keluhan tetap ada dan keadaan umum semakin berat.
Penderita yang mengalami kegagalan pengobatan disertai dengan kekebalan
kuman terhadap salah satu atau beberapa obat anti-tuberkulosis yang pernah
dipakai.
Penderita tidak tahan terhadap obat (drug intolerance)7
d. Penyuluhan Kesehatan
- Pentingnya penyuluhan kesehatan harus dimengerti dan dipahami secara mendalam
oleh petugas kesehatan, karena upaya ini berhubungan dengan perilaku
manusia/masyarakat.
- Kegiatan penyuluhan dalam program pemberantasan tuberculosis paru dilakukan oleh
petugas kesehatan baik di dalam maupun di luar gedung Puskesmas.
- Sasaran penyuluhan adalah penderita tuberculosis paru, keluarga penderita serta
masyarakat. Penyuluhan kepada penderita bertujuan meningkatnya kegiatan
pengendalian penderita sehingga angka putus berobat kurang dari 10%.7
Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengelompokan OAT
Golongan dan Jenis ObatGolongan-1 Obat Lini ■ Isoniazid (H) ■ Pyrazinamide(Z)Pertama ■ Ethambutol (E) ■ Rifampicin (R)
■ Streptomycin (S)
Golongan-2 / Obat ■ Kanamycin (Km) ■ Amikacin (Am)
suntik/ Suntikan lini kedua ■ Capreomycin (Cm)
Golongan-3 / Golongan ■ Ofloxacin (Ofx) ■ Moxifloxacin (Mfx)
Floroquinolone ■ Levofloxacin (Lfx)Golongan-4 / Obat ■ Ethionamide(Eto) ■ Para amino salisilatbakteriostatik lini kedua ■ Prothionamide(Pto) (PAS)
■ Cycloserine (Cs) ■ Terizidone (Trd)
Golongan-5 / Obat yang ■ Clofazimine (Cfz) ■ Thioacetazone(Thz)belum terbukti efikasinya ■ Linezolid(Lzd) ■ Clarithromycin(Clr)dan tidak ■ Amoxilin- ■ Imipenem(Ipm).direkomendasikan Clavulanate (Amx-oleh WHO Clv)
Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama
Dosis yang direkomendasikanJenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3xsemingguIsoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)Streptomycin (S) Bakterisid 15 15
(12-18) (12-18)Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a) Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
b) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
Obat kombinasi dosis tetap (KDT) mempunyai beberapa keuntungan dalam
pengobatan Tuberkulosis:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat
ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana
dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru Pasien baru TB paru BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif dan pasien TB ekstra paru
Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Tahap LamaDosis per hari / kali Jumlah
hari/kaliPengobatan Pengobatan Tablet Kaplet Tablet Tablet
menelanIsoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
@ 300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr @ 250 mgr obat
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya
tapi pasien kambuh, pasien gagal dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
(default)
Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berattiap hari 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)Badan
Selama 56 hariSelama 28 selama 20 minggu
hari
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol
Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Strepto JumlahIsoniasid Rifampisin Tablet Tablet hari/kali
Pengobat Pengoba- Pirazinamid misin@ 300 @ 450 @ 250 @ 400 menelaninjeksian tan mgr mgr @ 500 mgr mgr mgr obat
TahapIntensif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28harian)TahapLanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60(dosis 3xsemggu)
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan
TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hariRHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT38 – 54 kg 3 tablet 4KDT55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT
Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
Tahap Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Lamanya IsoniasidEtambut
ol hari/kaliPengobatan Ripamfisin PirazinamidPengobatan @ 300 mgr @ 250 menelan
@ 450 mgr @ 500 mgr mgr obatTahap
intensif1 bulan 1 1 3 3 28(dosis
harian)
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang
jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping
itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.
Kesehatan Lingkungan
Kesehatan lingkungan tempat tinggal penduduk merupakan salah satu dari faktor risiko
terjadinya TBC, meliputi :
1. Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas
lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak
menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan
mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang.
Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas
yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur
diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit
pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum
90cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri
dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga
langit-langit minimum tingginya 2,75 m.6
2. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum
20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat
dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-
bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus
mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang
diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 luks, kecuali untuk kamar tidur diperlukan
cahaya yang lebih redup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari
segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila
dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang
lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama. Penularan kuman TB Paru relatif tidak
tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi
udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.6
3. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran
udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang
diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya
kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus
menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah
untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam
kelembaban (humidity) yang optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari
luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi
insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk
menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar
22° – 30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.6
4. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap,
dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai dan dinding
yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan
sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculos.
5. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban
yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan
cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.6
Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan sebagai lingkungan yang dapat
memberikan tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk bersitirahat serta dapat
menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik, psikologis maupun sosial Menurut
APHA (American Public Health Assosiation), lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:6
a) Memenuhi kebutuhan fisiologis
Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar kontruksinya
sedemikian rupa sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak dan agar kelembaban
udara dapat dijaga jangan sampai terlalu tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus
diusahakan agar perbedaan suhu antara dinding, lantai, atap dan permukaan jendela
tidak terlalu banyak.
Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam. Suatu ruangan
mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas ventilasi minimal
10 % dari jumlah luas lantai.
Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi yang cukup
untuk proses pergantian udara.
Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak terganggu oleh
suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah.
Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain, ruang makan,
ruang tidur, dll.
Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis
kelaminnya.
b) Perlindungan terhadap penularan penyakit
Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kualitas maupun kuantitas,
sehingga selain kebutuhan untuk makan dan minum terpenuhi, juga cukup tersedia air
untuk memelihara kebersihan rumah, pakaian dan penghuninya.
Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang baik dan memenuhi syarat, juga
air pembuangan harus bisa dialirkan dengan baik.
Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu
harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap dan mengkontaminasi permukaan
sumber air bersih.
Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas dari pencemaran dan gangguan
binatang serangga dan debu.
Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan berkembang biak di
dalam rumah, jadi rumah dalam kontruksinya harus rat proof, fly fight, mosquito fight.
Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.
Luas kamar tidur minimal 8,5 m³ per orang dan tinggi langit-langit minimal 2.75
meter
Dokter Keluarga
Pelayanan dokter keluarga adalah upaya kesehatan dasar paripurna, mencakup semua
kebutuhan dasar kesehatan dalam keluarga, yang berkembang sesuai dengan perkembangan
kesehatan untuk pelbagai kelompok umur termasuk tindakan pertolongan gawat darurat dan
bedah minor, yang mencakup rawat jalan, rawat di rumah dan pendampingan/pasca rawat
inap yang sesuai dengan kebutuhan/indikasi medik dan kewenangannya.
Dengan memusatkan sasarannya kepada kepada keluarga, dokter keluarga mengisi
salah satu simpul yang merupakan salah satu alternatif dalam jaringan pelayanan kesehatan.
Dan salah satu ciri-ciri dari Dokter Keluarga adalah memiliki pengetahuan dan keterampilan
khusus kedokteran keluarga dan kesehatan keluarga yang diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan khusus dengan pendalaman di bidang ilmu bedah, ilmu kebidanan dan kandungan,
kesehatan anak dan penyakit dalam.
Kesiapan untuk terselenggaranya Jaminan Kesehatan Nasional tidak hanya dari unsur
kebijakan saja tetapi juga dari sumber daya manusia, fasilitas pelayanan kesehatan dan infra
struktur lainnya. Sumber daya manusia yang kompeten dan sarana prasarana yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan serta jumlah yang cukup, sistem pendekatan pelayanannya
juga merupakan satu hal yang penting. Menghadapi sistem jaminan kesehatan nasional ini
dibutuhkan dokter-dokter di layanan tingkat primer yang dapat mengendalikan biaya dan
mutu kesehatan yang merata dan terjangkau.
Pertemuan Koordinasi Lintas Program Lintas Sektor Pelayanan Kedokteran Keluarga
ini mengundang para Pakar dalam Bidang Pelayanan Kesehatan yang diharapkan nantinya
akan menghasilkan suatu kesepakatan dan dapat memberikan rekomendasi model pelayanan
kesehatan perorangan tingkat pertama yang paling baik.
1. Dokter Keluarga sebagai Pemberi Layanan (Care Provider), mempertimbangkan
kebutuhan pasien secara total (fisik, mental dan sosial) baik sebagai individu maupun
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keluarga dan komunitasnya.
2. Pengambil Keputusan (Decision Maker), dokter keluarga bertindak sebagai mitra bagi
pasiennya dalam mengambil keputusan medis dengan memilih dan menggunakan
teknologi kedokteran dan kesehatan yang tepat secara rasional, beretika dan sadar biaya.
3. Sebagai Komunikator (Communicator), seorang dokter keluarga harus dapat
menyampaikan pesan kesehatan dengan keteladanan dan penjelasan yang rasional.
4. Pemimpin Kelompok (Community Leader) merupakan orang yang memperoleh
kepercayaan dari masyarakat di wilayah kerjanya sehingga ia harus mampu menggalang
peran serta masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan.
5. Sebagai Manajer, dokter keluarga sebagai koordinator dalam pemeliharaan kesehatan
bagi pasien dan keluarganya.
Karakteristik Dokter Keluarga
Lynn P. Carmichael (1973)
Mencegah penyakit dan memelihara kesehatan
Pasien sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat
Pelayanan menyeluruh, mempertimbangkan pasien dan keluarganya
Andal mendiagnosis, tanggap epidemiologi dan terampil menangani penyakit
Tanggap saling-aruh faktor biologik-emosi-sosial, dan mewaspadai kemiripan penyakit
Debra P. Hymovic & Martha Underwood Barnards (1973)
Pelayanan responsif dan bertanggung jawab
Pelayanan primer dan lanjut
Diagnosis dini, capai taraf kesehatan tinggi
Memandang pasien dan keluarga
Melayani secara maksimal
IDI (1982)
Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan masyarakat
Pelayanan menyeluruh dan maksimal
Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan
Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya
Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab atas kelanjutannya
Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga
Skala kecil:
Mewujudkan keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga
Mewujudkan keluarga sehat sejahtera
Skala besar:
Pemerataan pelayanan yang manusiawi, bermutu, efektif, efisien, dan merata bagi
seluruh rakyat Indonesia
Dokter Keluarga di Indonesia
Kegiatan untuk mengembalikan pelayanan dokter keluarga di Indonesia telah dimulai
sejak tahun 1981 yakni dengan didirikannya Kelompok Studi Dokter Keluarga. Pada Tahun
1990 melalui kongres yang kedua di Bogor, nama organisasi dirubah menjadi Kolese Dokter
Keluarga Indonesia (KDKI). Sekalipun organisasi ini sejak tahun 1988 telah menjadi anggota
IDI, tapi pelayanan dokter keluarga di Indonesia belum secara resmi mendapat pengakuan
baik dari profesi kedokteran ataupun dari pemerintah.
Untuk lebih meningkatkan program kerja, terutama pada tingkat internasional, maka pada
tahun 1972 didirikanlah organisasi internasional dokter keluarga yang dikenal dengan
nama World of National College and Academic Association of General Practitioners /
Family Physicians(WONCA). Indonesia adalah anggota dari WONCA yang diwakili oleh
Kolese Dokter Keluarga Indonesia.
Untuk Indonesia, manfaat pelayanan kedokteran keluarga tidak hanya untuk
mengendalikan biaya dan atau meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, akan tetapi juga
dalam rangka turut mengatasi paling tidak 3 (tiga) masalah pokok pelayanan kesehatan lain
yakni:
Pendayagunaan dokter pasca PTT
Pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Menghadapi era globalisasi
Peran Masyarakat dan Pasien TB
Berbagai bentuk kemitraan dengan LSM telah ada sejak lama, meskipun baru pada
tahun 2002 terbentuk kemitraan format antara pemerintah pusat dan LSM melalui Gerdunas
dan CCM (Country Coordinating Mechanism) GF ATM pada tahun 2003. Meskipun
demikian, koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan LSM di daerah masih terbatas.
Pada umumnya pengetahuan dan pengertian masyarakat tentang penyakit TB dan
pengobatannya masih rendah.
Masyarakat dan pasien TB perlu diberdayakan melalui pemberian informasi yang
memadai tentang TB, pentingnya upaya pencegahan dan pengendalian TB, serta hak dan
kewajiban pasien TB sebagaimana tercantum dalam TB patient charter. Pendampingan dan
pemberdayaan sosial ekonomi pasien merupakan bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan
tersebut. Upaya KIE dapat pula menunjang kebutuhan tersebut sekaligus memberdayakan
masyarakat secara umum. Pemberdayaan masyarakat lebih lanjut dapat difasilitasi melalui
penguatan desa siaga untuk pengendalian TB. Seluruh upaya tersebut memerlukan
monitoring dan evaluasi serta payung hukum untuk menjaga kesinambungannya.
Berkembangnya wacana revitalisasi Gerdunas ataupun pembentukan komisi nasional
pengendalian TB akhir-akhir ini menggarisbawahi perlunya penguatan payung kemitraan
dalam pengendalian TB.
Cakupan dan Kualitas Pelayanan DOTS
Jejaring Laboratorium
Selama dekade terakhir telah terjadi peningkatan dalam kapasitas diagnosis program
pengendalian TB nasional. Meskipun demikian mutu pelayanan diagnosis masih menjadi
tantangan. Sistem jaminan mutu eksternal masih terbatas oleh karena masih banyak
laboratorium yang belum mengikuti cross-check secara rutin akibat keterbatasan
kapasitas BLK dalam melakukan supervisi, umpan balik yang tidak tepat waktu dan
belum tersedianya laboratorium rujukan di tujuh provinsi baru. Rencana penguatan
laboratorium telah disusun sebagai arahan bagi subdit TB dan BPPM. Laboratorium
rujukan nasional dan provinsi harus segera ditetapkan secara formal dengan garis
wewenang yang jelas. Pengurangan kesenjangan (kuantitas dan kualitas) dalam SDM
laboratorium perlu diupayakan secara terus menerus.
Logistik Obat
Secara keseluruhan, sistem logistik obat belum berjalan dengan optimal dalam
menjamin ketersediaan obat TB secara berkesinambungan di FPK. Data nasional stock-
out obat kategori 1 menunjukkan tingkat ketersediaan obat yang tidak stabil pada bulan-
bulan tertentu. Demikian pula halnya dengan buffer stock yang tidak memadai
berdasarkan situasi ketersediaan obat pada awal tahun 2010.
Sementara ketersediaan obat lini kedua/pengobatan untuk kasus MDR sedang
diupayakan untuk mendapat persetujuan dari GLC (Green Light Committee). Dengan
demikian, FPK untuk pengobatan kasus MDR harus dipersiapkan sedini mungkin.
Perbaikan dalam manajemen obat TB di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus
dilakukan secara kontinyu untuk mencegah stock-out.
Komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB
sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk
pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan tingginya pendanaan dari donor
internasional dan banyaknya masalah kesehatan masyarakat lainnya yang juga perlu didanai.
Pembiayaan program TB saat ini masih mengandalkan pendanaan dari donor
internasional dan alokasi pendanaan pemerintah pusat untuk pengadaan obat. Alokasi
anggaran pengadaan obat ini menurun dalam beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan
stock-out. Rendahnya komitmen politis untuk pengendalian TB merupakan ancaman bagi
kesinambungan program pengendalian TB. Program pengendalian TB nasional semakin perlu
penguatan kapasitas untuk melakukan advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat
maupun daerah.
Kesimpulan
Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Agent penyebab Tuberculosis adalah Mycobacterium
tuberculosis yang menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab
terjadinya infeksi tersering. Mycobacterium tuberculosis hidup baik pada lingkungan yang
lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari.
Host penyebab Tuberculosis. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan pada
10-15 orang. Penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di
dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih
baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap
kuman TB.
Environment penyakit Tuberculosis adalah Lingkungan yang segala sesuatu yang ada
di luar diri host baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang
terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Tuberculosis Untuk terpapar
penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : status sosial
ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, dan faktor toksis.
Hindari kontak dengan penderita TBC paru aktif. Selalu menjaga standar hidup yang
baik, caranya bisa dengan mengkonsumsi nakanan yang bernilai gizi tinggi, menjaga
lingkungan selalu sehat baik itu di rumah maupun di tempat kerja (kantor), dan menjaga
kebugaran tubuh dengan cara menyempatkan dan meluangkan waktu untuk berolah
raga. Pemberian vaksin BCG, tujuannya untuk mencegah terjadinya kasus infeksi TBC yang
lebih berat. Vaksin BCG secara rutin diberikan kepada semua balita.
Daftar Pustaka
1. Tuberkulosis paru. Di unduh dari
http://www.indonesian-publichealth.com/2014/01/tuberculosis-tb-paru.html tanggal
30 juni 2014
2. Penganggulangan Tb Di unduh dari http://www.kedokteran.info/pedoman-nasional-
penanggulangan-tuberkulosis-2007.html tanggal 30 juni 2014
3. Tuberkulosis. Di unduh dari http://www.tbindonesia.or.id/2012/03/20/struktur-
program-tb/ tanggal 30 juni 2014
4. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Jakarta: EGC; 2009.h. 159-
160
5. STRATEGI NASIONAL PENGENDALIAN TB DI INDONESIA 2010-2014. Di
unduh dari http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/STRANAS_TB.pdf tanggal 30
juni 2014
6. Azwar, A. Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Yayasan Penerbitan
IDI, 1995.
7. Azwar, A. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga. Jakarta: PT.
Binarupa Aksara, 1995.