trauma kepala

16
Trauma Kepala A. Pengertian Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak. (Brunner & Suddarth, 2001 : 2010). Cedera kepala adalah cedera kepala (terbuka dan tertutup) yang terjadi karena: fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio (memar /laserasi) dan perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak). (Doenges, 1999 : 270). Cedera kepala adalah trauma yang terjadi karena adanya pukulan /benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.(Tucker, 1998). Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. (Price, 1995 : 1015). Cedera kepala gangguan traumatik yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai / tanpa disertai perdarahan interstisial dan tidak mengganggu jaringan otak. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian. Macam-macam cedera kepala Cedera kepala dibagi menjadi: 1. Cedera kepala terbuka Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam / tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.

Upload: icigajah

Post on 24-Oct-2015

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

trauma kapitis

TRANSCRIPT

Page 1: Trauma Kepala

Trauma Kepala

A.    Pengertian

Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak. (Brunner & Suddarth, 2001 : 2010).

Cedera kepala adalah cedera kepala (terbuka dan tertutup) yang terjadi karena: fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio (memar /laserasi) dan perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak). (Doenges, 1999 : 270).

Cedera kepala adalah trauma yang terjadi karena adanya pukulan /benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.(Tucker, 1998).

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. (Price, 1995 : 1015).

Cedera kepala gangguan traumatik yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai / tanpa disertai perdarahan interstisial dan tidak mengganggu jaringan otak.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.

Macam-macam cedera kepala

Cedera kepala dibagi menjadi:

1. Cedera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam / tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.

2. Cedera kepala tertutup

Benturan kranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar) dan laserasi.

(Brunner & Suddarth, 2001 : 2211; Long, 1990 : 203)

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS:

Page 2: Trauma Kepala

1. Cedera kepala ringan

Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan: nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio / hematoma.

2. Cedera kepala sedang

Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).

3. Cedera kepala berat

Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral.

(Hudack dan Gallo, 1996 : 226)

B.     Anatomi Kepala

Tulang Tengkorak

Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga / fosa: fosa anterior (didalamnya terdapat lobus frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis, oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum).

Meningen

Adalah selaput yang menutupi otak dan medula spinalis yang berfungsi sebagai pelindung. Pendukung jaringan-jaringan dibawahnya, meningen terdiri dari:

1. Durameter (lapisan sebelah luar)

Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Durameter ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena ke otak.

2. Arakhnoid (lapisan tengah)

Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral.

3. Piameter (lapisan sebelah dalam)

Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan araknoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel.

(Ganong, 2002)

Otak

Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:

a.       Sereblum

Page 3: Trauma Kepala

Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia. Sereblum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor. Bagian luar hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang disebut sebagai kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang merupakan bagian dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua hemisfer saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus kalosum. Di dalam substansial alba tertanam masa substansial grisea yang disebut ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik dan motorik pada masingmasing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian tubuh yang berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh sebelah kanan. Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontra lateral. Setiap hemisfer dibagi dalam lobus dan terdiri dari 4, yaitu:

-          Lobus Frontalis : Kontrol motorik gerakan volunteer, terutama fungsi bicara, kontrol berbagai emosi, moral tingkah laku dan etika.

-          Lobus Temporal : Pendengaran, keseimbangan, emosi dan memori.

-          Lobus Oksipitalis : Visual senter, mengenal objek.

-          Lobus Parietalis : Fungsi sensori umum, rasa (pengecapan)

Kerusakan Pada Bagian Sebrum Tertentu

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri) biasanya akan mempengaruhi kemampuan berpikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

1.      Kerusakan Lobus Frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan, daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktifitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi.

Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam, penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

2.      Kerusakan Lobus Parientalis

Lobus parientalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematika dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parientalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di

Page 4: Trauma Kepala

sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parientalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.

Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bias mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.

3.      Kerusakan Lobus Temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

(Mediastore.Com)

b.      Serebellum

Sereblum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentonium yang memisahkan dari bagian posterior serebrum. Serebrum terdiri dari bagian tengah (vermis) dan 2 hemisfer lateral. Serebrum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas serabut yang dinamakan pedunkulus. Pedunkulus serebri superior berhubungan dengan kedua hemisfer otak sedangkan pedunkulus serebri inferior berisi serabut-serabut traktus spino sereberalis dorsalis dan berhubungan dengan medulla oblongata. Semua aktifitas serebrum dibawah kesadaran fungsi utamanya adalah sebagai pusat reflek yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.

c.       Brainstem

Ke arah kaudal batang otak berlanjut sebagai medulla spinalis dan ke rostral berhubungan langsung dengan pusat-pusat otak yang lebih tinggi. Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medulla oblongata, pors dan mesenfalon (otak tengah). Di seluruh batang otak banyak ditemukan jaras-jaras yang berjalan naik dan turun. Batang otak merupakan pusat penyampaian dan reflek yang penting dari SSP. Selain nervus alfaktorius dan optikus, nuclei nervus kranialis, juga terletak dari batang otak. Seringkali terdapat satu saraf kranialis atau lebih yang turut terlibat dalam lesi batang otak. Letak dan penyebaran lesi ini dapat dideteksi menggunakan pemeriksaan fungsi saraf kranialis. Nervus kranialis I (alfaktorius) dan II (optikus) merupakan jaras SSP, nervus optikus dapat terkena pada penyakit-penyakit SSP (misal sclerosis multiple dan tumor).

Page 5: Trauma Kepala

(Sylvia A. Price & Lorrain M. Wilson, 2006)

Fisiologi

Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT Scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.

Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering kali pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

1.      Hematoma Epidural

Berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bias segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya.

Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT Scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.

2.      Hematoma Subdural

Berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

-          Sakit kepala yang menetap

-          Rasa mengantuk yang hilang-timbul

-          Linglung

-          Perubahan ingatan

-          Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan

Page 6: Trauma Kepala

     Manifestasi Klinik

1.      Cedera kepala ringan

a.       Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian besar pasien mengalami penyembuhan total dalam beberapajam atau hari.

b.      Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.

3.      Cedera kepala sedang

a.       Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan koma.

b.      Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.

(Brunner & Suddarth, 2001; www. Mediatore)

4.      Cedera kepala berat

a.       Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan.

b.      Pupil tak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

    Komplikasi

Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi dari cedera kepala adalah:

1.      Peningkatan TIK

Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat kerusakan otak iskemik.

Pengendalian TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang signifikan.Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode yang lebih akurat dan non invasive.

Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi dan mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis.

TIK yang normal: 5-15 mmHg

TIK Ringan : 15 – 25 mmHg

TIK sedang : 25-40 mmHg

TIK berat : > 40 mmHg

Page 7: Trauma Kepala

Sebagian besar CSF diproduksi oleh pleksus choroidalis dari ventrikulus lateralis, sisanya dihasilkan oleh jaringan otak kemudian dialirkan langsung ke rongga sub arachnoid untuk diabsorpsi lewat vili arachnoid di sagitalis.

Pengikatan / penghilangan pleksus choroidalis akan menurunkan CSF 60%. Produksi CSF 0,3 – 0,5 cc/menit (450-500 cc/hari). Karena hanya ada volume 150cc CSF di otak dewasa, jadi ada 3 kali penggantian CSF selama sehari. Produksi CSF bersifat konstan dan tidak tergantung tekanan. Variasi pada TIK tidak mempengaruhi laju produksi CSF.

Absorpsi CSF secara langsung dipengaruhi oleh kenaikan TIK. Tempat utama penyerapan CSF, vili arachnoidalis (merupakan suatu katub yang diatur oleh tekanan). Bila fungsi katub rusak / jika tekanan sinus vena meningkat, maka absorpsi CSF menurun, maka terjadilah peningkatan CSF. Obstruksi terutama terjadi di aquaductus Sylvii dan cisterna basalis. Kalau aliran CSF tersumbat mengakibatkan hidrocephalus tipe obstruktif.

2.      Iskemia

Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat menyebabkan

perubahan fungsional pada sel normal.

Otak merupakan jaringan yang paling peka terhadap iskemia hingga episode iskemik

yang sangat singkat pada neuron akan menginduksi serangkaian lintasan metabolisme yang

berakhir dengan apoptosis. Iskemia otak diklasifikasikan menjadi dua subtipe yaitu iskemia

global dan fokal. Pada iskemia global, setidaknya dua, atau empat pembuluh cervicalmengalami

gangguan sirkulasi darah yang segera pulih beberapa saat kemudian. Pada iskemia fokal,

sirkulasi darah pada pembuluh nadi otak tengah umumnya terhambat oleh gumpalan trombus

sehingga memungkinkan terjadi reperfusi. Simtoma terhambatnya sirkulasi darah oleh gumpalan

trombus disebut vascular occlusion.

(Wikipedia.org)

3.      Perdarahan otak

-          Epidural hematom:Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat

pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.

Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.

-          Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.

Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara

duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2

minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang

dan edema pupil.

-          Perdarahan intraserebral

Page 8: Trauma Kepala

Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan,

hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.

-          Perdarahan subarachnoid:Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan

permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil

ipsilateral dan kaku kuduk.(Smeltzer, 2001; Tucker, 1998)

4.      Kejang pasca trauma.

Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.

5.      Demam dan mengigil :

Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.

6.      Hidrosefalus:

Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.

7.      Spastisitas :

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam posisioning.

Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin

8.      Agitasi

Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.

9.      Mood, tingkah laku dan kognitif

Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera

Page 9: Trauma Kepala

kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.

Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.

10.  Sindroma post kontusio

Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:

Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,

Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

G.    Prognosis cedera kepala

Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg selama perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.

Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala:

Skor GCS: Penurunan kesadaran pada saat kejadian, penurunan kesadaran < 30 menit, penurunan kesadaran setelah 30 menit, amnesia < 24 jam.

William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala sedang dengan komplikasi (CT Scan +) terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6 bulan. Rontgen tulang tidak direkomendasikan untuk evaluasi cedera kepala ringan dan sedang dan sensitifitasnya rendah terhadap adanya lesi intrakranial.

Faktor-faktor yang dapat menjadikan ”Predictor outcome” cedera kepala adalah: lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan cedera pada otak mekanisme cedera dan umur.

Pengukuran outcome:

Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang sering digunakan antara lain:

Glasgow Outcome Scale (GOS) :

Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative, kecacatan yang berat, kecacaatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan pekerjaannya), kembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).

Page 10: Trauma Kepala

Dissabily Rating Scale (DRS)

Merupakan skala tunggal untuk melihat progress perbaikan dari koma sampai ke kembali ke lingkungannya. Terdiri dari 8 kategori termasuk komponen kesadaran (GCS), kecacatan (activity of daily living, handicap dalam bekerja).

Fungsional Independent Measure (FIM)

Banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18 items skala yang digunakan untuk mengevalusi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan diri, kognitif.

Beberapa pendekatan farmakologi yang digunakan banyak yang tidak efektif. Strategi terapi masa yang akan datang lebih ditujukan pada fase hipoperfusi awal antara lain: induksi hipertensi arterial, terapi farmakologi yang dapat memperbaiki peningkatan resistensi mikrosirkulasi dan terapi hipotermi yang dapat memproteksi neuron akibat iskemik.

H.    Penataksanaan

1.      Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

2.      Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi

3.      Pemberian analgetik

4.      Pengobatan anti edema dengan laruitan hipertonis yaitu manitol 20% glukosa 40% atau gliserol.

5.      Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.

6.      Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

7.      Pembedahan

(Smeltzer, 2001; Long, 1996)

I.       Pengkajian Fokus dan Pemeriksaan Penunjang

Pengkajian fokus menurut Doenges (2000) dan Engram (1998) :

1.      Aktifitas dan Istirahat

Gejala merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letarghi, hemiparesis, quadreplagia, ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan spastik otot.

2.      Sirkulasi

Gejala: Perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi dan distritmia).

3.      Integritas Ego

Page 11: Trauma Kepala

Gejala: Perubahan tingkah laku / kepribadian (demam). Tanda: Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.

4.      Eliminasi

Gejala: Inkontinensia kandung kemih.

5.      Makanan / Cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami penurunan selera makan. Tanda: Muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dan disfagia).

6.      Neurosensorik

Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, rasa baal dan ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, displopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofotobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi tingkah laku dan emosi). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti cahaya, kehilangan pengindraan seperti: pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, lemah dan tidak seimbang. Reflek tendon dalam tidak ada / lemah, apiaksia, hemiparesis, quadreplagia, postur (dekortikasi deselerasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh dan kesulitan menentukan posisi tubuh.

7.      Nyeri / Kenyamanan

Gejala: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda dan biasanya lama. Tanda: Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat dan merintih).

8.      Pernafasan

Tanda: Perubahan pola nafas (apneu yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).

9.      Keamanan

Gejala: Trauma karena kecelakaan. Tanda: Fraktur / dislokasi dan gangguan penglihatan. Kulit: Laserasi, abrasi, perubahan warna seperti “racoon eye” rasa gatal di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga / hidung. Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis. Demam gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

10.  Interaksi Sosial

Tanda: Afasia motorik / sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.

11.  Penyuluhan / Pembelajaran

Gejala: Penggunaan alkohol / obat lain. Rencana pemulangan: Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang / penempatan fasilitas lainnya di rumah.

Page 12: Trauma Kepala

Pemeriksaan Penunjang

12.  CT Scan (tanpa / dengan kontras) : mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

13.  MRI (Magnetic Resonance Imaging): sama dengan CT Scan dengan / tanpa kontras. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur frekuensi radio radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis tumor, infark dan kelainan pada pembuluh darah.

14.  Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan kelainan serebral vaskuler.

15.  Angiografi Substraksi Digital: Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisasi untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang dan jaringan lunak di sekitarnya.

16.  EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG (elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik lapisan superfisial korteks serebri melalui elekroda yang dipasang di luar tengkorak pasien.

17.  ENG (Elektronistagmogram) merupakan pemeriksaan elekro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan system saraf pusat.

18.  Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.

19.  BAEK (Brain Auditon Euoked Tomografi) : Menentukan fungsi korteks dan batang otak.

20.  PET (Positron Emmision Tomografi): Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme batang otak.

21.  Fungsi lumbal, CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subaraknoid.

22.  GDA (Gas Darah Arteri): Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan meningkatkan TIK.

23.  Kimia / elekrolit darah: Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK / perubahan mental.

24.  Pemeriksaan toksilogi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.

25.  Kadar anti konvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.