manajemen trauma kepala

21
I. PENDAHULUAN Statistik dari negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa cedera kepala mencakup 26% dan jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut cedera kapitis. Di luar medan peperangan lebih adri 50% dari cedera kapitis terjadi kaena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan antara 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dan mereka yang dimasukkan dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35 % meninggal dalam satu minggu dalam perawatan. (1) Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat cedera kapitis, maka 50% ternyata disebabkan oleh cedera secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada cedera. (2) Cedera kepala baik terbuka maupun tertutup dapat mengganggu fungsi otak, yang pada akhirnya mungkin dapat menyebabkan kematian atau meninggalkan kecacatan. (1,2) Berbagai macam akibat dari cedera kepala telah dikenal, misalnya komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan epidura, perdarahan subdura, perdarahan 1

Upload: luhur-anggoro-sulistio

Post on 20-Jan-2016

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Manajemen Trauma Kepala

I. PENDAHULUAN

Statistik dari negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa cedera

kepala mencakup 26% dan jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan

seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang kurang

lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut cedera kapitis. Di

luar medan peperangan lebih adri 50% dari cedera kapitis terjadi kaena kecelakaan

lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena

kecelakaan antara 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit.

Dan mereka yang dimasukkan dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam

satu hari dan 35 % meninggal dalam satu minggu dalam perawatan.(1)

Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat cedera

kapitis, maka 50% ternyata disebabkan oleh cedera secara langsung dan 50% yang

tersisa disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait

secara tidak langsung pada cedera. (2)

Cedera kepala baik terbuka maupun tertutup dapat mengganggu fungsi otak,

yang pada akhirnya mungkin dapat menyebabkan kematian atau meninggalkan

kecacatan. (1,2)

Berbagai macam akibat dari cedera kepala telah dikenal, misalnya komosio

serebri, kontusio serebri, perdarahan epidura, perdarahan subdura, perdarahan

intraserebral dan laserasi serebri. Dengan isitilah komosio dan kontusio masalah

gangguan kesadaran, sedangkan bentuk-bentuk perdarahan menyangkutkan masalah

massa yang pada penanganannya nanti bila memang diperlukan akan melibatkan ahli

bedah saraf. (1,2,3,4,5)

Dalam kaitannya dengan gangguan kesadaran ini, telah dikenal istilah-istilah

somnolen, sopor, koma dan sebagainya yang kesemuanya tadi adalah merupakan

penilaian yang bersifat kualitatif, sehingga masih memungkinkan terjadinya

perbedaan penilaian antara pemeriksa yang satu dengan yang lain. (2)

Dengan adanya Glasgow Coma Scale sebagai pengukur derajat gangguan

kesadaran yang telah dipakai sejak 20 tahun yang lalu dan bersifat kuantitatif, maka

penilaian gangguan kesadaran menjadi lebih obyektif. Dalam manajemen cedera

1

Page 2: Manajemen Trauma Kepala

kepala, penilaian gangguan kesadaran dengan Glasgow Coma Scale ini memegang

peran utama. (2)

Untuk keperluan klinis, berdasarkan skala ini cedera kepala dibedakan

menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat yang penanganannya akan diuraikan

secara singkat dalam makalah ini. (2)

Tujuan penulisan referat ini adalah supaya dapat memberikan gambaran

akibat cedera kepala dan cara penatalaksanaannya.

II. CEDERA KEPALA DAN AKIBATNYA

Pada tempat tamparan bisa terjadi (1) :

1. Fraktur linier

2. Fraktur stelatum

3. Fraktur impresi ataupun tidak terdapat apa-apa. Hanya edema atau perdarahan

subkutan saja.

Akibat cedera kapitis dengan berbagai macam memungkinkan pada “impact” si

penderita bisa (4)

1. Pingsan sejenak lalu sadar kembali dan tidak menunjukkan kelainan apapun.

2. Pingsan beberapa jam, kemudian menunjukkan gejala-gejala “organic brain

syndrom” untuk sementara waktu atau

3. Pingsan lama, lalu sadar namun menunjukkan defisit neurologik, bahkan

4. Kematian.

Secara umum, cedera kepala mudah dibedakan menjadi cedera terbuka dan

tertutup. Untuk jenis yang tertutup, dapat disertai atau tidak disertai “impact”.

Sebagai akibat dari cedera tersebut otak dapat mengalami cedera, yang secara klinis

dibedakan menjadi (2) :

A. Cedera otak primer

B. Cedera otak sekunder

2

Page 3: Manajemen Trauma Kepala

A. Cedera Otak Primer (2)

Dengan istilah primer diartikan bahwa cedera yang ada benar-benar timbul pada

saat terjadinya cedera.

Termasuk dalam kelompok ini adalah :

1. Cedera Otak Fokal

2. Cedera Otak Difus.

1. Cedera Otak Fokal

Pada cedera otak fokal ini, secara makroskopis terlihat adanya lesi

fokal yaitu :

a. Perdarahan Epidura Akut

b. Perdarahan Subdura Akut

c. Kontusi dan Perdarahan Intraserebral

a. Perdarahan Epidura Akut

Hematom terdapat di luar durameter, kebanyakan di daerah temporal

dan temporo-parietal, sebagai akibat dari pecahnya vasa meningea

media, dimana pada 2/3 kasus berasal dari arteri dan 1/3 kasus lainnya

berasal dari vena. Kadang-kadang juga berasal dari sinus venous

terutama di daerah parieto-oksipital dan daerah fossa posterior.

Meskipun perdarahan epidura ini relatif jarang terjadi (0,5 % dari

keseluruhan cedera kepala dan 9 % dari cedera kepala yang disertai

koma), tetapi bila ada dan segera dilakukan tindakan operasi,

prognosisnya sangat baik. Angka mortalitas dari perdarahan epidura

adalah 0 % bila penderita sadar, 9 % bila “obtunded” dan 20 % bila

penderita sudah dalam keadaan koma. (2)

Ciri khas pada hematom epidural adalah terdapatnya interval bebas

antara saat terjadainya cedera dan tanda pertama yang berlangsung

beberapa menit sampai beberapa jam. (1)

Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu

pupil ipsilateral melebar (lateralisasi). (1)

b. Perdarahan Subdura Akut

3

Page 4: Manajemen Trauma Kepala

Jenis perdarahan ini lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan

perdarahan epidura.

Didapatkan pada 30 % kasus cedera kepala berat oleh karena pecahnya

“bridging vein”.

Perdarahan ini dapat disertai atau tanpa disertai adanya fraktur tulang

kepala.

Oleh karena letak hematom di bawah durameter maka jaringan otak di

bawahnya biasanya juga mengalami kerusakan, sehingga prognosisnya

lebih jelek bila dibandingkan dengan perdarahan epidura. (2)

Oleh karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain,

maka dibandingkan dari hematom epidural, prognosisnya lebih jelek

secara klinis sukar dibedakan dengan hematom epidural yang

berkembang lambat. Hematom subdural akut dan kronik memberi

gambaran klinis suatu proses desak ruang yang progresif sehingga tidak

jarang dianggap sebagai neoplasma atau demensia. (1)

c. Kontusi dan Perdarahan Intraserebral

Sering terjadi di lobis frontalis dan lobus temporalis meskipun juga

dapat terjadi di serebelum dan batang otak. Pada pemeriksaan CT-scan

akan terlihat gambaran “salt-and-pepper” yaitu adanya bercak-bercak

hiperdens pada daerah hipodens (daerah udemateus).

2. Cedera Otak Difuss

Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara mikroskopis

tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi

neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia atau

penurunan kesadaran bahkan sampai koma.

Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan

disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang tak oleh massa

yang mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung

pada batang otak atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah

4

Page 5: Manajemen Trauma Kepala

membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari

derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa

disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung

pada banyak sedikitnya akson yang mengalami kerusakan.

Percobaan di laboratorium membuktikan bahwa benturan langsung (impact)

bukan merupakan syarat untuk terjadinya cedera difus ini, tetapi justru

proses ekselerasi-deselerasilah yang lebih banyak menyebabkan kerusakan

difus pada akson. Bukti-bukti yang terakhir menunjukkan bahwa nodus

Renvier sebagai bagian yang paling rawan pada struktur akson akan

mengalami regangan (stretching) dan puntiran (twisting) pada setiap proses

ekselerasi-deselerasi. Keadaan ini selanjutnya akan diikuti beberapa proses

toksik yang pada akhirnya menyebabkan masuknya ion Ca secara

berlebihan. Kerusakan ini bersifat reversibel selama akson mampu

mengatasi influk ion Ca yang berlebihan ini. Regangan yang berlebihan juga

akan merusak sitoskeleton dan mengganggu transport yang bersifat menetap

yang pada akhirnya menyebabkan transport pada akson berhenti total. Pada

pemeriksaan patologi anatomis lesi ini akan terlihat sebagai “axonal

retraction ball” yang tampak sesudah 12-72 jam.

Pada keadaan yang berat proses ekselerasi dan deselerasi juga menyebabkan

kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak

gambaran bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari

subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak serta edema di daerah

yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya terlihat kerusakan

yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-

bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah “tissue tear

hemorrages”. (1)

Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya

dapat berupa (4,6) :

1. Konkusi ringan

5

Page 6: Manajemen Trauma Kepala

Pada keadaan ini didapatkan adanya gangguan fungsi neurologis yang

sifatnya sementara misalnya amnesia, sedang penderita tetap sadar.

Karena ringannya gambaran klinis yang ada, meskipun banyak terjadi,

kerapkali luput dari perhatian. Yang paling ringan berujud bingung

(“confuse”) sedang pada yang lebih berat berujud bingung dengan

amnesia retrograd maupun amnesia post-cederatika.

2. Konkusi klasik

Pada keadaan ini bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, yang

akan membaik kembali dalam waktu kurang dari 6 jam.

Sebagian besar kasus tidak memberikan gejala sisa kecuali hanya

berupa amnesia yang berkaitan dengan cederanya, meskipun ada juga

yang disertai defisit neurologik yang sangat ringan.

3. Cedera Akson Difus (“Diffuse Axonal Injury” = DAI)

Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari

6 jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal

baik berupa massa maupun daerah yang iskhemik.

Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson

sehingga dipakai istilah cedera akson difus.

Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi :

a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa

disertai defisit neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup

lama sampai permanen. Jenis ini relatif jarang ditemukan.

b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai

gangguan fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak

ditemui, terdapat pada 45 % dari semua kasus DAI. Dengan terapi

agresif angka kematiannya adalah 20 %.

c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai

disfungsi batang otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti.

Angka kematiannya mencapai 57 % dan menyebabkan cacat

neurologis yang berat.

6

Page 7: Manajemen Trauma Kepala

B. Cedera Otak Sekunder (2)

Dengan istilah sekunder diartikan bahwa cedera yang ada, terjadi setelah cedera

berlangsung, jadi merupakan akibat dari adanya cedera otak primer. Cedera otak

sekunder dapat timbul setiap saat, jadi ada yang datangnya awal, tetapi juga

dapat timbul beberapa waktu kemudian setelah cedera. Sebagai contoh tekanan

intrakranial yang meninggi dapat terjadi segera sesudah ada perdarahan subdura,

tetapi dapat pula timbul belakangan yaitu setelah terbentuk edema (“swelling”).

Dari penelitian Graham dkk 1978 terbukti bahwa otopsi dari 151 kasus cedera

kepala yang sebelumnya telah mendapat penanganan secara modern dan intensif,

ternyata lebih dari 80 % menunjukkan adanya gambaran iskhemi. Iskhemik ini

dapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti terlihat pada tabel berikut ini :

SYSTEMIC INTRACRANIAL

Hypoxaemia

Arterial hypotension

Hypercarbia

Pyrexia

Hyponatremia

Anemia

Diffuse intravascular coagulopathy

Haematoma (EDH, SDH, ICH)

Brain swelling/oedema

Intracranial hypertension

Cerebral vasospasm intracranial infection

Epilepsy

Oleh karena cedera otak primer merupakan keadaan yang sudah terjadi, dalam

penatalaksanaannya nantinya tidak ada tindakan lain kecuali hanya mengatasi.

Sebaliknya untuk cedera otak sekunder karena ini merupakan komplikasi dari

cedera otak primer maka harus diusahakan pencegahannya.

III. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA SECARA KLINIS (2)

Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CT-scan masih

jarang, maka agar dapat mengelola dengan baik, pasien-pasien cedera otak,

khususnya jenis tertutup, berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan Glasgow

Coma Scale + GCS) dikelompokkkan menjadi :

1. Cedera kepala ringan (Head Injury Grade I)

GCS : 13-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual, muntah.

2. Cedera kepala sedang (Head Injury Grade II)

GCS : 9-12 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal.

Disini pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah sederhana.

7

Page 8: Manajemen Trauma Kepala

3. Cedera kepala berat.

GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan

fungsi batang otak.

Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini

dilakukan sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa

defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain.

Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran,

dikemukakan pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.

Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon

motorik (= M) dan respon verbal (= V).

Pemeriksaan GCS tidak memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan sehingga

dapat dilakukan dimana saja oleh siapa saja.

Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Eye opening (E)

Spontaneous

To call

To pain

None

Motor response (M)

Obeys commands

Localizes pain

Normal flexion (withdrawal)

Abnorma flexion (decoraticate)

Extension (decerebrate)

None (flaccid)

Verbal respons (V)

Oriented

Confused conversation

Inappropriate words

Incomprehensible sounds

None

4

3

2

1

6

5

4

3

2

1

5

4

3

2

1* GCS sum score = (E + M + V); best possible score = 15; worst possible score = 3

8

Page 9: Manajemen Trauma Kepala

IV. TATA LAKSANA (1,2,3,5,6)

Sudah disinggung di depan bahwa penatalaksanaan cedera kepala pada garis

besarnya ditujukan pada 2 masalah pokok yaitu :

1. Mengatasi cedera otak primer

2. Mencegah terjadinya komplikasi berupa cedera otak sekunder.

Berdasarkan gambaran klinisnya seperti yang telah diuraikan di atas, maka

penatalaksanaannya adalah sebagai berikut :

A. Penatalaksanaan cedera kepala ringan

1. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan kemungkinan adanya cedera

sistemik.

2. Pemeriksaan neurologis.

3. Pemeriksaan darah untuk menentukan kadar alkohol, pemeriksaan urine.

4. Pemeriksaan x-foto kepala, untuk mengatahui

a. Ada tidaknya fraktur (linear, depresi)

b. Ada tidaknya fraktur facialis

c. Ada tidaknya pergeseran letak kelenjar pinealis (yang telah mengalami

perkapuran)

d. Permukaan udara-cairan dalam sinus

e. Ada tidaknya pneumosefalus

f. Ada tidaknya benda asing

Perlu diketahui bahwa fraktur pada kalvaria didapatkan tiga kali lebih

banyak daripada fraktur dasar tengkorak.

Fraktur dasar tengkorak sendiri jarang sekali terlihat pada foto polosnya,

sehingga diagnosisnya ditegakkan berdasarkan tanda-tanda yang ada berupa

hematom pada mata, rhinorrhea, otorrea, hemotimpanum.

5. Pemeriksaan x-foto vertebra servikal dan lain-lain bila memang diperlukan.

6. Pemeriksaan CT-scan

Idealnya dilakukan pada semua pasien.

Bila pada pemeriksaan awal tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan

ulang beberapa jam kemudian adakalanya nampak gambaran suatu massa.

9

Page 10: Manajemen Trauma Kepala

Tergantung pada hasil pemeriksaan yang didapat, pasien dengan cedera

kepala ringan dapat dipulangkan atau dapat pula dianjurkan untuk dirawat di

rumah sakit.

Indikasi perawatan antara lain bila (1,2) :

1. Ada amnesia post-cederatika yang berlangsung lebih dari 1 jam.

2. Ada riwayat kehilangan kesadaran.

3. Ada fraktur kepala

4. Ada otorrhoea atau rhinorrhoea

5. Ada kelainan pada pemeriksaan CT-scan-nya.

Kepala pasien yang dapat dipulangkan, diberikan suatu lembaran

peringatan (“warning sheet”), yang didalamnya tercantum sejumlah gejala dan

tanda yang bila sewaktu-waktu nanti timbul hendaknya yang bersangkutan

segera kembali ke dokter atau ke rumah sakit.

Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah :

1. Ada mual dan muntah

2. Timbul sakit kepala yang hebat

3. Bila timbul kejang

4. Bila nadi sangat lambat atau sangat cepat

5. Bila keluar darah atau cairan dari hidung atau telinga.

B. Penatalaksanaan cedera kepala sedang

Pasien dengan cedera kepala sedang meskipun masih dapat mengikuti/menuruti

perintah, dapat dengan cepat masuk ke dalam yang lebih berat yaitu derajat III.

Oleh karena itu dalam penanganannya harus dipikirkan kemungkinan tersebut.

Urutan pemeriksaannya adalah seperti pada cedera kepala ringan, hanya saja

pemeriksaan CT-scan di sini harus dikerjakan sesegera mungkin.

Meskipun pada pemeriksaan CT-scan tidak ditemukan adanya kelainan, pasien

harus tetap dirawat untuk keperluan observasi.

Pengobatan medikamentosa :

1. Decardon (deksametason) : bolus 10 mg i.v, disusul 4 mg tiap 6 jam.

2. Antikonvulsan : bolus 500 mg i.v. dalam 10 menit disusul

dengan 100 mg tiap 8 jam selama 1 tahun

C. Penatalaksanaan cedera kepala berat

10

Page 11: Manajemen Trauma Kepala

Pada pasien ini penatalaksanaannya dibagi dalam 7 tahapan yaitu :

A. Stabilisasi Kardiopulmoner

Yang perlu diketahui disini adalah :

a. Pada pasien dikerjakan intubasi (Pemasangan “endotracheal tube”) dan

jika perlu dikerjakan trakheotomi, kemudian dilakukan hiperventialsi

sampai pCO2 = 25-30 mmHg, untuk menurunkan tekanan intra kranial.

b. Dijaga agar jangan sampai terjadi hipotensi. Hipoksia dan hipotensi

merupakan keadaan yang sangat membahayakan otak. Hipotensi sendiri

sebenarnya bukan bersumber pada otak (kecuali pada stadium terminale

dimana batang otak terganggu), melainkan berasal dari sebab lain yaitu

dari adanya perdarahan, baik perdarahan yang nampak maupun yang

tidak nampak (lihat tabel 3). Pemberian transfusi harus segera

dilakukan bila Hb kurang dari 10 (Ht = 30).

Penyebab lain adalah mungkin karena adanya gangguan medula spinalis

(dengan tetraplegi atau paraplegi), kontusi jantung, tamponade dan

pneummothorax.

c. Pemasangan catheter.

Pada pasien dipasang Foley catheter dan “nasogastric-tube” (double

lumen plastic catheter).

d. Pemeriksaan radiologik : servikal, thoraks, kepala, abdomen, pelvis,

ekstremitas.

B. Pemeriksaan umum

Pemeriksaan ini meliputi :

a. Kepala/leher

b. Thorax

c. Abdomen : cedera limpa, hepar, ginjal

d. Pelvis : perdarahan

e. Vertebra : cedera servikal biasanya menyertai cedera kepala.

C. Pemeriksaan neurologik

11

Page 12: Manajemen Trauma Kepala

Termasuk dalam pemeriksaan ini adalah pemeriksaan :

a. GCS

b. Refleks pupil

Tanda awal dari herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil

dan refleks cahaya melambat. Tanda awal dari herniasi central chepalic

adalah miosis bilateral.

c. Gerak bola mata :

- Oculocephalic (“doll’s eyes”)

- Oculovestibular (Calorics)

d. Pemeriksaan motorik

e. Pemeriksaan sensorik

D. Penatalaksanaan cedera-cedera yang lain

E. Penentuan terapi

Tujuan :

1. Mencegah naiknya tekanan intrakranial.

Dapat memberikan :

a. Deksametasone (masih kontroversial)

b. Mannitol

2. Mencegah terjadinya bangkitan kejang

Dapat diberikan : Phenytoin.

F. Prosedur diagnostik

Termasuk dalam hal ini adalah pemeriksaan :

a. Ventrikulografi

b. Arteriografi

c. CT-Scan

G. Penentuan perlu tidaknya tindakan bedah saraf

Bila terdapat “midline shift” sebesar 5 mm atau lebih, perlu tindakan bedah

saraf.(2)

12

Page 13: Manajemen Trauma Kepala

Dengan tanpa melupakan sifat otak yang kurang menguntungkan dan

mengacu kepada tindakan operasi, maka kita dapat menentukan indikasi

pertolongan bedah pada kasus cedera kapitis. (6)

Cedera tertutup

1. Fraktur impresi

2. Perdarahan epidural

3. Perdarahan subdural

4. Perdarahan intraserebral

5. Operasi dekompresi misal kontusio berat atau edema.

Cedera terbuka

1. Perlukaan kranioserebral

2. Liquorhoea

3. Pneumoencephalik

4. Corpus alienum

5. Luka tembak

V. RINGKASAN

Telah dibicarakan akibat cedera kepala terhadap otak, yang dibedakan

menjadi cedera otak primer dan sekunder.

Penanganan penderita dengan cedera kepala pada garis besarnya adalah sebagai

berikut :

1. Tentukan ada tidaknya cedera otak primer yang memerlukan tindakan bedah

saraf.

Untuk keperluan ini pemeriksaan CT-Scan merupakan pemeriksaan pilihan.

2. Penderita cedera kepala yang tidak memerlukan tindakan bedah saraf dan juga

yang telah menjalani pembedahan harus dijaga agar tidak timbul komplikasi

berupa cedera otak sekunder yang berdasarkan penelitian Graham dkk.

disebabkan oleh faktor iskhemik.

Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan iskhemi otak tersebut telah

dilampirkan dalam masalah ini.

3. Pengobatan medikamentosa yang dianjurkan adalah Mannitol, sedangkan

kortikosteroid masih kontroversial.

13

Page 14: Manajemen Trauma Kepala

DAFTAR PUSTAKA

1. M. Nurjanto, Manajemen Cedera Kepala, dalam Kedaruratan Neurologi, Kumpulan Makalah Utama Temu Regional Neurologi XI Jateng dan DIY, Yogyakarta, 1994, hal. 1-11.

2. R. Sjamsuhidayat, Wim de Jong, Cedera Kepala, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, 1997.

3. R. Cambell Connoly, Cedera Kapitis

4. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Cedera Kapitis dalam Buku Ajar Neurologi Klinis Dasar, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1978.

5. Sabiston, Penatalaksanaan Orang Cedera Akut Cedera Kapitis dan Medula Spinalis, Buku Ajar Bedah, Bagian pertama, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, 1995.

6. R.M. Padmo Santojo, Daryo Sumitro, Tindakan Bedah Saraf Cedera Kepala, Bagian Bedah Saraf FKUI, Penerbit FKUI, Jakarta, 1999.

14