laporan pendahuluan trauma kepala

56
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA KEPALA (POST TREPANASI) Oleh : NI PUTU RISTA WULANDARI NIM. 1002105010 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: rista

Post on 07-Nov-2015

110 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

1

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA KEPALA (POST TREPANASI)

Oleh :

NI PUTU RISTA WULANDARINIM. 1002105010KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi

Trauma Kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan structural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan tindakan trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan duramater, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya Arteri meningica media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria, Sinus venosus duralis. Sedangkan Subdural hematoma (SDH) merupakan suatu perdarahan yang terdapat pada rongga diantara lapisan duramater dengan araknoidea, sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis. Dan ICH adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Prosedur ini dilakukan untuk menghilangkan tumor, mengurangi TIK, mengevakuasi bekuan darah, dan mengontrol hemoragi. Flap tulang dibuat ke dalam tengkorak dan dipasang kembali setelah pembedahan, ditempatkan dengan jahitan periosteal atau kawat.

2. Epidemiologi

Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala adalah salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif antara 15-44 tahun. Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia.

Insiden cedera kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per100.000 populasi. Insiden cedera kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per tahun. Gururaj et al pada tahun 2004 mendapatkan bahwa insiden cedera kepala di India setiap tahunnya adalah 160 per100.000 populasi.

Di Amerika Serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut (Fauzi, 2002). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer and Bare, 2002).

3. Penyebab

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat (Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:

Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).

Jatuh

Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih digerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.

Kekerasan

Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala (Smeltzer, 2001:2210; Long,1996:203), antara lain :

Trauma tajam

Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam

Trauma tumpul

Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya

Cedera akselerasi

Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun bukan dari pukulan

Kontak benturan (Gonjatan langsung)

Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek

Kecelakaan lalu lintas

Jatuh

Kecelakaan industri

Serangan yang disebabkan karena olah raga

Perkelahian

4. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008). Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009). Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003).

5. Klasifikasi

Cedera Kepala dibagi menjadi:

a. Cedera Kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak atau luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki akses langsung ke otak.

b. Cedera Kepala Tertutup

Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi (Brunner & Suddarth, 2001: 2211; Long,1990 : 203)

Cedera Kepala berdasarkan nilai GCS:

a. Cedera kepala ringan

Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/hematom

b. Cedera kepala sedang

Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)

c. Cedera kepala berat

Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral

(Hudack dan Gallo, 1996 : 226)

6. Gejala Klinis

Gejala klinis trauma kepala sebagai berikut:

a. Battle sign : warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid

b. Hemotipanum : perdarahan di daerah membrane timpani telinga

c. Periorbital ecchymosis : mata warna hitam tanpa trauma langsung

d. Rhinorrhe : cairan serebrospinal keluar dari hidung

e. Otorrhe : cairan serebrospinal keluar dari telinga

Gejala Klinis untuk trauma kepala ringan, sebagai berikut:

a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh

b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan

c. Mual atau dan muntah

d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun

e. Perubahan kepribadian diri

f. Letargik

Gejala Klinis untuk trauma kepala berat, sebagai berikut:

a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau meningkat

b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)

c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernapasan)

d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstrimitas

Gejala Klinis EDH

Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa Hemiparese/plegi, pupil anisokor, reflek patologis satu sisi. Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/plegi letaknya kontralateral dengan lokasi EDH. Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura. Terjadinya penurunan kesadaran, adanya lateralisasi, nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan pemberian analgesia.

Indikasi dilakukan operasi pada EDH jika hasil CT Scan menunjukkan terjadinya perdarahan volumenya lebih dari 20cc atau tebal lebih dari 1cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5mm. Gejala Klinis SDH

a. Nyeri kepalab. Bingungc. Mengantukd. Menarik dirie. Berfikir lambatf. Kejang

g. Udem pupil

Indikasi operasi menurut EBIC (Europebraininjuy commition) pada perdarahan subdural adalah Jika perdarahan tebalnya lebih dari 1cm, Jika terdapat pergeseran garis tengah lebih dari 5mm.

Gejala Klinis ICH

Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single diameter lebih dari 3cm, Perifer, adanya pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi.7. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi

a. CT scan ( dengan/tanpa kontras)

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak

b. MRI

Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif

c. Cerebral angiografi

Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre menjadi edema, perdarahan, dan trauma.

d. Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis

e. Sinar X

Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema) fragmen tulang

f. BAER

Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil

g. PET

Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak

h. CSS

Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid

i. Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial

j. Screen toxicology

Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran

k. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)

Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.

l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan

8. Diagnosis

Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi tomografi computer (pemindaian CT) untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya. Pencitraan resonans magnetik (MRI) memberikan informasi serupa dengan pemindaian CT, dengan tambahan keutungan pemeriksaan lesi di potongan lain. Angiografi serebral dapat digunakan untuk meneliti suplai darah tumor atau memberi informasi mengenai lesi vascular. Pemeriksaan Doppler transkranial mengevaluasi aliran darah pembuluh darah intrakranial.

9. Terapi

Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.

Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial.

Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan tindakan trepanasi.

Indikasi dilakukanya trepanasi yaitu penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata, adanya tanda herniasi/lateralisasi, adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

Klasifikasi kraniotomi/trepanasi

Secara umum ada dua pendekatan melalui tengkorak yang digunakan:

a. Di atas tentorium (kraniotomi supratentorial) ke dalam kompartemen supratentorial.

b. Di bawah tentorium ke dalam kompartemen infratentorial (fossa posterior).

Pendekatan transfenodial melalui sinus mulut dan hidug digunakan untuk membuat akses ke kelenjar hipofisis.

Teknik Operasi trepanasi kepala:

Positioning

Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang lebih 15o(pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.

Washing

Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan duk steril. Pasang duk steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi

Markering

Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan:garis rambut untuk kosmetik,sinus untuk menghindari perdarahan,sutura untuk mengetahui lokasi,zygoma sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita) Desinfeksi

Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.

Operasi

Insisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.

Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.

Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek.

Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.

Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT scan.

Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudsons Brace) kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula interna.

Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.

Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.

Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.

Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.

Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax.

Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.

Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stitch pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus.

Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.

Padasubdural hematomasetelah dilakukan kraniektomi langkah salanjutnya adalah membuka duramater.

Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.

Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus. Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk pembuluh darah kulit atau subkutan.

Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.

Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak ada darah lagi.

Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.

Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut:

Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar kulit. Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0. Pasang drain subgaleal. Jahit galea dengan vicryl 2.0. Jahit kulit dengan silk 3.0. Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain). Operasi selesai.

Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis demi lapis seperti diatas.

Perawatan Pascabedah

Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.

Follow-upCT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

Intervensi Keperawatan

a. Kraniotomi supratentorial

Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat dengan leher pada kesejajaran netral.

Posisikan pasien miring atau terlentang. (Hindari memposisikan pasien pada sisi operasi bila tumor besar telah diangkat)

b. Kraniotomi Intratentorial

Pertahankan leher dalam kesejajaran lurus.

Hindari fleksi leher untuk mencegah kemungkinan robekan garis jahitan.

Posisikan pasien miring. (Periksa protocol untuk peddoman posisi pasien)

c. Transfenoidal

Pertahankan tampon nasal di tempatnya dan kuatkan sesuai kebutuhan.

Instruksikan pasien untuk menghindari meniup hidup.

Berikan perawatan oral sering.

Pertahankan kepala tempat tidur tinggi utuk meningkatkan drainase vena dan drainase dari sisi pembedahan.

10. Komplikasi

Komplikasi bedah intrakranial meliputi peningkatan TIK, infeksi, dan defisit neurologik.

a. Peningkatan TIK dapat terjadi sebagai akibat edema serebral atau pembengkakan dan diatasi dengan manitol, diuretik osmotik. Pasien juga memerlukan intubasi dan penggunaan agens paralisis.

b. Infeksi mungkin karena insisi terbuka. Pasien harus mendapat terapi antibiotik, dan balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda infeksi, peningkatan drainase, bau menyengat, drainase purulen, dan kemerahan serta bengkak sepanjang garis insisi.

c. Defisit neurologik dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pascaperasi status neurologik pasien dipantau dengan ketat untuk adanya perubahan.

B. ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA (POST TREPANASI)

1. Pengkajian dan Analisa Data

Pengkajian Pasca Operasi Trepanasi

Frekuensi pemantauan pascaoperasi didasarkan pada status klinis pasien. Mengkaji fungsi pernapasan adalah esensial karena hipoksia ringan dapat meningkatkan iskemia serebral. Frekuensi dan pola pernapasan dipantau, dan nilai gas darah arteri ditinjau ulang. Fluktuasi tanda vital pasien dipantau dengan cermat dan didokumentasikan karena ini mengindikasikan peningkatan TIK. Suhu rektal pasien diukur pada interval untuk mengkaji adanya hipertemia skunder akibat kerusakan hipotalamus.

Pemeriksaan neurologik dilakukan dengan sering untuk mendeteksi peningkatan TIK yang diakibatkan oleh edema serebral atau perdarahan. Perubahan pada tingkat kesadaran pasien atau respon rangsang mungkin menjadi tanda pertama peningkatan TIK.

Pengkajian status neurologik berfokus pada tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda mata, respons motorik, dan tanda vital. Pasien diobservasi untuk tanda-tanda tak nyata dari defisit neurologik, seperti penurunan respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan dalam menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual (diplopia, penglihatan kabur), parastesia, atau kejang. Gelisah dapat terjadi saat pasien lebih responsive atau mungkin nyeri, konfulsif, hipoksia atau rangsangan lain.

Balutan bedah pasien diinspeksi untuk adanya perdarahan atau drainase CSS. Pada pasien yang mengalami bedah transfenoidal, tampon nasal yang dipasang selama pembedahan diperiksa untuk adanya darah atau drainase CSS. Perawat harus waspada pada terjadinya komplikasi, dan semua pengkajian dilakukan dengan masalah ini tetap diingat.

Pengkajian 11 Pola Gordon

a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan dan kesehatan

Adanya riwayat masalah visual-hilang ketajaman penglihatan dan diplopia

Terjadi perasaan abnormal

Gangguan kepribadian/halusinasi

b. Pola nutrisi metabolik

Riwayat epilepsi

Nafsu makan hilang

Adanya mual, muntah selama fase akut

Kehilangan sensasi pada lidah, pipi dan tenggorokan

Kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan Faringeal)

c. Pola eliminasi

Perubahan pola berkemih dan buang air besar (Inkontinensia)

Bising usus negative

d. Pola aktifitas dan latihan

Gangguan tonus otot terjadinya kelemahan otot, gangguan tingkat kesadaran

Resiko trauma karena epilepsi

Hamiparase, ataksia

Gangguan penglihatan

Merasa mudah lelah, kehilangan sensasi (Hemiplefia)

e. Pola tidur dan istirahat

Susah untuk beristirahat dan atau mudah tertidur

f. Pola persepsi kognitif dan sensori

Pusing

Sakit kepala

Kelemahan

Tinitus

Afasia motorik

Hilangnya rangsangan sensorik kontralateral

Gangguan rasa pengecapan, penciuman dan penglihatan

Penurunan memori, pemecahan masalah

kehilangan kemampuan masuknya rangsang visual

penurunan kesadaran sampai dengan koma

g. Pola persepsi dan konsep diri

perasaan tidak berdaya dan putus asa

emosi labil dan kesulitan untuk mengekspresikan

h. Pola peran dan hubungan seksama

masalah bicara

Ketidak mampuan dalam berkomunikasi (kehilangan komunikasi verbal/bicara pelo)

i. Reproduksi dan seksualitas

Adanya gangguan seksualitas dan penyimpangan seksualitas

Pengaruh/hubungan penyakit terhadap seksualitas

j. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres

Adanya perasaan cemas,takut,tidak sabar ataupun marah

Mekanisme koping yang biasa digunakan

Perasaan tidak berdaya, putus asa

Respon emosional klien terhadap status saat ini

Orang yang membantu dalam pemecahan masalah

Mudah tersinggung

k. Sistem kepercayaan

Agama yang dianut, apakah kegiatan ibadah terganggu

l. Pemeriksaan fisik

1) Breathing

Pengkajian fisik di ICU sangat penting dilakukan sekurang-kurangnya sekali sekali setiap hari pada pasien high dependency care dan setiap kali shif pada pasien kritis. Sedangkan pengkajian rutin dapat berupa data objektif dan data subjektif.Pada saat pengkajian fisik lakukan mulai dari kepala ke bawah dan lakukan secara cepat pengkajian ABC (airway, breathing, sirculation).A : AirwayApakah pernafasan pasien adekuat?Pola nafas?Apakah pergerakan kedua dinding dada sama?B : BreathingBagaimana saturasi oksigen pasien?Bagaimana cara pemberian terapi oksigen?Apakah adekuat?C : CirculationBagaimana heart rate pasien ? irama?Bagaimana tekanan darahnya? Bagaimana warna tangan dan kaki?Berikut adalah standar penilaian berdasarkan Gaslow coma sacale (GCS)E = Buka mata (eyes) Spontan 4Respon terhdap perintah lisan 3Respon terhadap rangsangan sakit 2Tidak ada respon 1M = Motorik responsSesuai perintah 6Terlokasi pada tempat sakit 5Menarik terhadap rangsang sakit 4Fleksi abnormal 3Respon ekstensor 2Tidak ada respon 1V = Verbal responseBicara sesuai, terorientasi 5Bicara kacau 4Bicara tidak sesuai 3Kata-kata tak berarti 2Tidak ada respon verbal 1Terintubasi TKetiga tersebut di gabungkan atau dijumlahkan menjadi penilaian GCS = E M V(urutan yang sering di gunakan urutannya untuk berkomunikasi dengan dokter atau petugas kesehatan lain adalah Eyes (E) motorik (M) Verbal (V))Jumlah sekor :15 = Compos mentis (CM)14 11 = Somnolen11 8 = Apatis8 7 = Soporusmisalkan : E3 M5 V4 = 12 ( kesadaran somnolen)Pada pemerikasaan Pernafasan.

Lihat pergerakan dada, samakah? Auskultasi sura nafas. Cek mode pemberian oksigen. Cek saturasi oksigen dan analisa gas darah.Pada pemeriksaan Kardiovaskuler Tanda-tanda vital seperti heart rate, tekanan darah, temperature, CVP. Auskultasi suara jantung. Kaji IV line. Cek sirkulasi perifer seperti warna jaringan perifer, kehangatan dan nadi.2) Blood

Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang (>3 det).

3) Brain

Klien biasanya mengalami penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji tingkat kesadaran, besar dan reflek pupil terhadap cahaya

4) Bladder

Pengukuran volume output dan intake cairan, serta dikaji pula kelainan pada genetalia dan pola eliminasi urine.

Pada pemerikasaan Ginjal

Cek urine output Cek setatus cairan dan balance kumulatif Cek kadar ureum dan kreatinin darah5) Bowel

Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi alvi, adakah kelainan pada anus.

Pada pemerikasaan Pencernaan Cek Naso Gastrik Tube (NGT) jika ada Cek jenis makanan, kecepatan dan toleransi Auskultasi peristaltik Kapan terakhir BAB dan BAK.6) Bone

Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, bagaimana ATR (activity tonus respon).

Analisa Data

No.DataEtiologiMasalah

1.DS : -

DO : pasien mengalami efek anastesi lama, terjadi penurunan motilitas usus.Mengalami anastesi lama

Kondisi tidak sadar

Korelasi positif terhadap seluruh sistem dalam tubuh

Relaksasi otot abdomen

motilitas usus

Risiko KonstipasiRisiko Konstipasi Berhubungan dengan sedative, dan penurunan motilitas traktus gastrointestinal

2. DS : -

DO : Pasien dalam keadaan tidak sadar dan tidak mampu untuk mobilasasi. Kulit tampak kemerahan pada tonjolan-tonjolan tulang pada bagian tubuh. Mengalami anastesi lama

Kondisi tidak sadar

Bed rest pasca operasi dalam waktu yang lama

Penekanan dan gesekan pada area tubuh yang menonjol

Risiko kerusakan integritas kulitRisiko Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobiliasasi fisik.

3.DS : -

DO : Pasien dalam keadaan tidak sadar, terdapat luka bekas jaritan post op trepanasi.Post op Trepanasi

Luka jaritan post op

Terpapar agen infeksi

Risiko infeksiRisiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasive, dan pertahanan tubuh primer tidak adekuat (integritas kulit tidak utuh)

4.DS : -

DO : Pasien dalam keadaan tidak sadar, Rahang bawah dan lidah jatuh ke belakang

Post op Trepanasi

Korelasi positif terhadap seluruh sistem dalam tubuh

Relaksasi otot faringeal

Rahang bawah dan lidah jatuh ke belakang

Jalan udara tersumbat

Pernafasan bising dan tidak teratur

Pola Nafas Tidak EfektifKetidakefektifan bersihan jalan napas b.d adanya materi asing dalam jalan napas yang d.d suara napas tambahan dan dispnea

5.DS : -

DO : Pasien dalam keadaan tidak sadar, Rahang bawah dan lidah jatuh ke belakang

Post op Trepanasi

Korelasi positif terhadap seluruh sistem dalam tubuh

Relaksasi otot faringeal

Rahang bawah dan lidah jatuh ke belakang

Jalan udara tersumbat

Penggunaan ventilator mekanis

tekanan intra torakal

Ventilasi tekanan positif

Cardiac output menurun

Penurunan Curah Jantung

Penurunan curah jantung b.d perubahan preload d.d penurunan tekanan vena sentral (CVP)

6.Post op Trepanasi

Korelasi positif terhadap seluruh sistem dalam tubuh

Relaksasi otot faringeal

Rahang bawah dan lidah jatuh ke belakang

Jalan udara tersumbat

Penggunaan ventilator mekanis

tekanan intra torakal

Ventilasi tekanan positif

tekanan vena sentral CPP

Hipoksemia serebral

Risiko SyokRisiko syok b.d hipoksemia

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d adanya materi asing dalam jalan napas yang d.d suara napas tambahan dan dispnea

b. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload d.d penurunan tekanan vena sentral (CVP)

c. Risiko syok b.d hipoksemia

d. Risiko infeksi b.d pertahanan tubuh primer tidak adekuat

e. Risiko kerusakan integritas kulit b.d imobilisasi fisik

f. Risiko konstipasi b.d penurunan motilitas traktus gastrointestinal dan efek sedatif

3. Rencana Keperawatan

NoDiagnosa KeperawatanTujuanIntervensiRasionalEvaluasi

1.Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d adanya materi asing dalam jalan napas yang d.d suara napas tambahan dan dispneaSetelah diberikan asuhan keperawatan selama ... X 24 jam jalan napas klien paten dengan kriteria hasil:

:

NOC Label : respiratory status : ventilation

1. Laju pernapasan klien dalam rentang normal (skala 5)

2. Irama pernapasan dalam rentang normal (skala 5)

3. Kedalaman inspirasi dalam rentang normal (skala 5)

4. Klien tidak menggunnakan otot bantu pernapasan (skala 5)

NOC Label : respiratory status : airway patency

1. Klien mampu mengeluarkan secret (level 5)

NIC Label : Airway management

1. Kaji TTV klien, catat jika ada perubahan.

2. Posisikan klien pada posisi yang memaksimalkan potensi pertukaran udara (posisi semi fowler)

3. Lakukan terapi fisik dada sesuai kebutuhan.

4. Bersihkan sekresi dengan dorongan batuk atau suctioning

5. Ajarkan klien bagaimana cara batuk efektif

6. Monitor status respirasi dan oxigenasi klien

7. Auskultasi suara napas, catat adanya suara tambahan

NIC Label : Airway suction

1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning

2. Auskultasi suara napas sebelum dan sesudah suctioning

3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning

4. Anjurkan alat yang steril setiap melakukan tindakan

5. Monitor status oksigen klienNIC Label : Airway management

1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal.

2. Posisi semi fowler memberikan ekspansi paru yang optimal sehingga pasien dapat memaksimalkan potensial ventilasi

3. Untuk membantu pengeluaran secret

4. Untuk melancarkan jalan nafas dari secret

5. Untuk mampu mengeluarkan secret yang menghambat jalan nafas

6. Mengetahui perkembangan status respirasi dan oksigenasi

7. Derajat spasme bronkus dengan obstruksi jalan nafas dapat / tidak dimanifestasikan adanya buinyi nafas adventisius misalnya tidak adanya bunyi nafas oleh mengi

NIC Label : Airway suction

1. Mencegah terjadinya komplikasi

2. Pengkajian ini membantu mengevaluasi keberhasilan tindakan

3. Agar klien mengetahui tindakan yang akan dilakukan.

4. Mencegah terjadinya infeksi

5. Mengetahui perkembangan status respirasi dan oksigenasiS: -

O:

RR Klien 16 x/menit

PaO2 klien 80 mmHg

PaCO2 klien 40 mmHg

pH arteri klien 7,40

Suara napas tambahan (-)

Tanda Hipoksia (-)

Saturasi Oksigen 98%

A: Tujuan tercapai

P: Pertahankan kondisi klien, perketat monitoring perkembangan kondisi klien.

2. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload d.d penurunan tekanan vena sentral (CVP)Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x24 jam diharapkan diharapkan status sirkulasi pasien normal dengan kriteria hasil :

NOC Label : Cardiopulmonary Status

1. Tekanan sistolik pasien dalam rentang normal

2. Tekanan diastolik pasien dalam rentang normal

3. RR pasien dalam rentang normal

4. Tidak adanya sianosis pada pasien

5. Peripheral pulses pasien dalam rentang normal

NOC Label: Circulation Status

6. MAP dalam rentang normal

7. Capillary refill dalam rentang normal

NOC Label : Vital Sign

TTV pasien dalam rentang normalNIC label: Cardiac Care

1. Catat dan perhatikan tanda dan gejala dari penurunan cardiac output.

2. Catat dan monitor adanya disritmia jantung.

3. Monitor status kardiovaskuler.

4. Monitor abdomen untuk indikasi dari penurunan perfusi.

5. Monitor adanya dyspnea, kelelahan, tachypnea, dan orthopnea.

6. Monitor tekanan darah perifer pasien

NIC label : Oxygen therapy

7. Pertahankan kepatenan jalan nafas pasien.

8. Berikan oksigen tambahan jika diindikasikan.

9. Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung.

NIC :Fluid monitoring

10. Monitor balance cairan.

11. Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminasi.

12. Monitor serum dan elektrolit urine.

13. Catat secara akurat intake dan output.

14. Monitor adanya distensi leher, oedem perifer dan penambahan BB.

NIC label: Vital sign monitoring

15. Cek dan monitor vital sign secara berkala

16. Sadari jika ada perubahan tekanan darah

17. Cek CRT pasien.

18. Monitor adanya sianosis pada pasienNIC label: Cardiac Care

1. Untuk mengetahui apakah terjadi penurunan cardiac output pada pasien atau tidak sehingga dapat ditentukan rencana keperawatan yang sesuai dengan gejala yang terjadi pada pasien.

2. Memantau keadaan umum pasien diharapkan dapat meminimalkan kejadian yang tidak diharapkan.

3. Untuk mengetahui status kardiovaskuler pasien sehingga dapat ditentukan terapi yang diperlukan.

4. Untuk memantau tanda-tanda terjadinya penurunan perfusi pada pasien.

5. Dyspnea, kelelahan, tachypnea, dan orthopnea merupakan salah satu tanda dari penurunan cardiac output sehingga perlu dipantau.

6. Untuk mengetahui status sirkulassi pasien.

NIC label: Oxygen therapy

7. Untuk mencegah terjadinya kesulitan bernafas pada pasien.

8. Untuk membantu memenuhi kebutuhan oksigen pada pasien.

9. Untuk memastikan status pernafasan apsien.

NIC Label :Fluid monitoring

10. Mengetahui status cairan pasien.

11. Untuk memanatu status cairan pasien.

12. Untuk memantau fungsi ginjal pasien.

13. Memantau intake dan output pasien diperlukan untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh pasien.

14. Merupakan salah satu tanda dari kelebihan volume cairan.

NIC label. Vital sign monitoring

15. Memantau keadaan umum pasien.

16. Untuk menentukan tindakan yang tepat.

17. Mengetahui keadaan sirkulasi pasien.

18. Memantau sirkulasi pasein.S: -

O: Tekanan sistolik, diastolik, MAP, VS pasien dalam rentang normal, tidak adanya sesak napas

A: Tujuan tercapai sebagian

P: Lanjutkan intervensi

3Risiko infeksi b.d pertahanan tubuh primer tidak adekuatSetelah diberikan asuhan keperawatan selama . X 24 jam diharapakan klien tidak mengalami infeksi dengan criteria hasil :

NOC : Wound Healing : Primary Intention

1. Tidak terjadi peningkatan temperatur kulit

2. Tidak terdapat edema di sekitar luka

3. Tidak ada kemerahan di sekitar luka

4. Tidak terdapat cairan purulen di sekitar luka

NIC Label : Wound Care

1. Ganti dressing dan pita perekat (plester) secara rutin

2. Pantau karakteristik dari luka termasuk ukuran, drainase, warna dan bau3. Bersihkan luka dengan pembersih normal saline.4. Pilihlah dreesing sesuai untuk jenis luka5. Pertahankan teknik steril ketika melakukan perawatan luka.6. Bandingkan dan catat secara teratur setiap perubahan luka.NIC Label : Wound Care

1. Dressing diganti secara rutin untuk menjaga kebersihan luka sehingga meminimalkan terjadinya infeksi

2. Pemantauan luka yang tepat akan membantu dalam mengetahuai perkembangan luka dan tindakan perawatan selanjutnya.

3. Normal saline menciptakan keadaan yang lembab pada luka.

4. Penggunaan dreesing yang tepat sangat berpengaruh pada kesembuhan luka karena pemakaian dresing berbeda-beda disesuai dengan keadaa luka.

5. Teknik sterille saat perawatan luka berguna untuk mencegah terjadi infeksi.

6. Agar mengetahui perkembngan lukanya.S :

O :

1.Tidak terjadi peningkatan temperatur kulit

2.Tidak terdapat edema di sekitar luka

3.Tidak ada kemerahan di sekitar luka

4.Tidak terdapat cairan purulen di sekitar luka

A :

Tujuan tercapai

P :

Pertahankan keadaan klien

4Risiko kerusakan integritas kulit b.d imobilisasi fisikSetelah diberikan asuhan keperawatan selama . X 24 jam diharapakan integritas kulit klien membaik dengan criteria hasil :

NOC Label :Tissue Integrity : Skin and Mucous membranes

1. Integritas kulit klien normal (skala 5)

2. Temperature kulit klien normal (skala 5)

3. Tidak adanya lesi pada kulit (skala 5)

NIC Label :Skin Surveillance

1. Observasi dari ekstremitas seperti warna, hangat, bengkak, nadi, tekstur, edema, atau lesi.

2. Monitor area kulit dari kemerahan dan gangguan.

3. Menginstruksikan keluarga untuk melaporkan pada petugas medis jika ada tanda dari gangguan kulit yang sesuai.

4. Catat bila kulit atau membrane mukosa terjadi perubahan.NIC Label :Skin Surveillance

1. adanya perubahan pada kulit ditandai dengan reaksi inflmasi.

2. kulit yang kemerahan menandakan ada inflamasi.3. Keluarga diusahakan ikut berperan dalam perkembangan kesembuhan pasien.4. Pencatatan dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi luka.S:

O:

Integritas kulit klien normal

Temperature kulit klien normal

Tidak adanya lesi pada kulit

A:

Tujuan tercapai

P:

Lanjutkan intervensi keperawtan

5Risiko konstipasi b.d penurunan motilitas traktus gastrointestinal dan efek sedatifSetelah diberikan asuhan keperawatan selama ... X 24 jam tidak terjadi konstipasi dengan kriteria hasil:

NOC Label:

Bowel elimination

1. Pola eleminasi klien teratur

2. Pertaltik usus dalam rentang normal

3. Tidak terjadi konstipasiNIC Label:

Bowel Management

1. Monitor suara peristaltik usus klien

2. Laporkan adanya penurunan peristaltik usus

3. Monitor tanda dan gejala konstipasi

NIC Label : Fluid Management

1. Pantau input dan output yang sesuai

2. Pantau status hidrasi klien

3. Pantau hasil laboratorium retensi cairan yang relevan

4. Pantau tanda-tanda vital

5. Pantau indikasi cairan overload / retensi yang sesuai

6. Pantau makanan / cairan yang masuk dan menghitung asupan kalori harian yang sesuai

7. Berikan terapi IV yang ditentukan

8. Berikan asupan cairan selama 24 jam sesuai ketentuan

9. Pantau respon klien terhadap terapi elektrolit yang telah ditentukan

10. Konsultasikan dengan dokter jika tanda-tanda dan gejala kelebihan volume cairan menetap atau memburuk.NIC Label:

Bowel Management

1. Peristaltik usus merupakan tanda fungsi alat pencernaan

2. Adanya penurunan peristaltik usus merupakan tanda dari konstipasi

3. Mengantisipasi terjadinya konstipasi

NIC Label : Fluid Management

1. Untuk mengetahui status keseimbangan cairan klien.

2. Untuk memantau tanda-tanda dehidrasi pada klien.

3. Untuk mengetahui hasil laboratorium untuk memudahkan intervensi.

4. Untuk mengecek perubahan kondisi tubuh klien.

5. Untuk mencegah overload cairan klien.

6. Agar intake cairan dan kalori klien terkontrol.

7. Untuk memenuhi kebutuhan cairan klien.

8. Agar kekurangan cairan klien teratasi.

9. Untuk mengetahui efek samping terapi yang diberikan kepada klien

10. Agar dapat segera dilakukan tindakan yang tepat apabila terjadi kelebihan volume cairan pada klien.S: -

O:

Klien tidak mengalami konstipasi

Pola eleminasi klien teratur

Peristaltik usus 8 kali/menit

A: Tujuan tercapai penuh

P: pertahankan kondisi klien terutama status hidrasi klien

DAFTAR PUSTAKA

Dochterman, Joanne McCloskey et al.2004. Nursing Interventions Classification (NIC). Missouri :Mosby

Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). Missouri : Mosby

Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC

Zen Akatsuki. 2011. Trepanasi / KranioktomiI pada EDH dan SDH.

http://akatsuki-ners.blogspot.com/2011/08/trepanasi-kranioktomii-pada-edh-dan-sdh.html. Diakses (online) 14 Desember 2013