makalah trauma kepala
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa karena atas rahmatnya kami
dapat menyelesaikan makalah asuhan keperawatan pada Tn.D dengan gangguan sistem
persarafan : post craniotomy a.i trauma kepala di ruang rc.3 bedah saraf.
Dalam makalah ini penulis membahas tentang asuhan keperawatan pada Tn.D dengan
gangguan sistem persarafan : post craniotomy a.i trauma kepala di ruang rc.3 bedah saraf.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami telah banyak mendapat bantuan dan
masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini tim penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak. Ali Hamzah., SKp., MNS. selaku dosen mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah III yang telah membimbing kami sehingga pengetahuan kami semakin
bertambah.
2. Pihak-pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah turut
membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dalam waktu
yang tepat.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dalam susunan
maupun isinya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan mahasiswa/mahasiswi.
Bandung, Januari 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Menurut Barell, Heruti, Abargel dan Ziv (1999), sebanyak 1465 korban mengalami
trauma kepala, sedangkan 1795 korban mengalami trauma yang multipel dalam penelitian di
Israel. Kecederaan multipel berkaitan dengan keparahan dan ia adalah asas dalam
mendiagnosa gambaran keseluruhan kecederaan. Dengan merekam seluruh kecederaan yang
dialami oleh korban, ia dapat membantu dalam mengidentifikasi kecederaan yang sering
mengikut penyebab trauma pada korban.
Trauma Murni adalah apabila korban didiagnosa dengan satu kecederaan pada salah
satu regio atau bagian anatomis yang mayor (Barell, Heruti, Abargel dan Ziv, 1999).
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan
secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan
disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan
kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan,
post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain (Veterans Health
Administration Transmittal Sheet). Ada beberapa trauma yang sering terjadi yaitu:
1.1.1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta
pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa
bagian ini.
1.1.2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan
cedera paru.
1.1.3. Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam dan bagian
luar abdominal
1.1.4. Trauma tungkai atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan cedera dan
putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas, siku, lengan
bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.
1.1.5. Trauma tungkai bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada bagian lain
ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, ke arah distal lagi
yaitu fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki (James, Corry dan Perry,
2000).
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pengertian
2.1.1. Pengertian Trauma Kepala
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Menurut Satya Negara (1998:148) mengemukakan bahwa cedera kepala
merupakan jumlah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu
kekuatan mekanis.
Dari beberapa penegertian di atas dapat disimpulkan bahwa trauma kepala
atau cidera kepala adalah suatu kerusakan yang menimpa struktur kepala yang
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat menimbulkan
gangguan fugsional jaringan otak.
2.1.2. Pengertian Trauma Kepala Sedang
Menurut Arief Mansjoer, (2000:5) dan Hudak and Gallo,alih bahasa Monica
E.D Adiyanti (1996:226) Cedera kepala sedang (Moderat HI) ialah suatu keadaan
cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12 dan tingkat kesadaran
lethargi, obtunded atau stupor.
2.1.3. Pengertian craniotomy
Barbara Engram, alih bahasa Suharyati Samba, dkk (1998: 642)
mengemukakan bahwa kraniotomi adalah operasi pembukaan tulang tengkorak,
sedangkan Ahmad Ramali (1996: 62) mendefinisikan craniotomy adalah setiap
pembedahan pada tulang tengkorak.
Dari kedua pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kraniotomi
adalah pembedahan yang dilakukan untuk membuka tulang tengkorak.
2.1.4. Pengertian Dekompresi
Menurut Ahmad Ramali, (1996:84) Dekompresi ialah pengurangan atau
mengevakuasi bekuan darah dari tulang tengkorak.
2.1.5. Pengertian Subdural Hematoma
Menurut Depkes RI (1995: 63) Subdural Hematoma adalah perdarahan yang
terjadi antara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena.
Sedangkan menurut Carolyn M. Hudak, alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 228)
hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan meningeal durameter
dan diatas lapisan arakhnoid yang menutupi otak. Definisi lain dikemukakan oleh Arif
Mansjoer, dkk (2000: 8) bahwa hematoma subdural ialah pengumulan darah dalam
rongga antara durameter dan membran subarakhnoid yang bersumber dari robeknya
vena.
Dari ketiga pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hematoma
subdural adalah akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan
arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Post craniotomy dekompresi
atas indikasi moderat HI disertai subdural hematoma fronto temporo parietal dextra
ialah operasi pembedahan yang dilakukan untuk membuka tengkorak guna
mengevakuasi bekuan darah atas indikasi cedera kepala dengan nilai tingkat
kesadaran (GCS) 9-12 disertai akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara
durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena di daerah
fronto temporo parietal dextra.
2.2. Anatomi dan Fisiologi Otak
Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan
terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang
secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa.
Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar
adalah: kulit kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang
tengkorak, meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998: 12)
Otak dibagi dalam beberapa bagian:
2.2.1.Serebrum (otak besar)
Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur,
mengisi depan atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis
anterior atas dan fase kranialis media.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus
sentralis. Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol
motorik gerakan volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai
ekspresi emosi, moral dan tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya
diekspresikan melalui: korteks somato-motorik primer (area Brodmann 4),
korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field (area
Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44), sedangkan kontrol
ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal
(Satyanegara, 1998: 15)
2) Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh
karaco oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan
rasa kecap, dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk
menimbulkan kesiagaan tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara,
1998: 17)
3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan
lobus oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang
berkaitan dengan pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-
memori.
4) Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus
oksipitalis sangat penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum,
fungsi serebrum terdiri dari:
a) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
b) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi,
keinginan dan memori
c) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil
Untuk memperjelas letak dari setiap Lobus Otak dapat dilihat pada
gambar 2.1 dibawah ini:
Gbr.2.1. Penampang lateral lobus-lobus otak
Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1998
a. Batang otak (trunkus serebri)
Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis
dan otak. Batang otak terdiri dari:
1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan
mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus
temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:
a) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah
b) respiratori, membantu proses persyarafan
c) mengontrol kegiatan reflek
d) membantu pekerjaan jantung
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi
sebagai pusat integrasi susunan saraf otonom, regulasi temperatur,
keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi sirkuit siklus bangun-tidur,
intake makanan, respon tingkah laku terhadap emosi, pengontrolan endokrin,
dan respon seksual. Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan dan integrasi
bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman.thalamus memainkan
peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998:20)
2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke
atas, 2 di sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah
bawah disebut korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius
berjalan ke veritral di bagian medial. Serat-serat saraf nervus troklearis
berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:
a) membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata
b) memutar mata dan pusat pergerakan mata
3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons
varoli dengan serebelum, terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan
medula oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan
pernafasan dan reflek.
Fungsi dari pons varoli terdiri dari:
a) penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula
oblongata dengan serebelum
b) pusat syaraf nervus trigeminus
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah
yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah
medula oblongata merupakan persambungan medula spinalis ke atas dan
bagian atas medula oblongata disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian
ventral medula oblongata.
Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari
medula spinalis dan otak yang terdiri dari:
a) mengontrol pekerjaan jantung
b) mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor)
c) pusat pernafasan (respiratory centre)
d) mengontrol kegiatan reflek
Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:
a. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, di
bagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di
bagian dalam. Di dalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater
pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak,
rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior, terletak di antara kedua
hemisfer otak.
b. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh
susunan syaraf sentral. Medula spinalis terhenti setinggi di bawah lumbal I-II
terdapat sebuah kantong berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari
medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil cairan otak yang disebut
pungsi lumbal.
c. Piamater (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang
disebut trabekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan
sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium
memisahkan serebri dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997: 124)
2.3. Etiologi
2.3.1. Menurut Satyanegara,1998:148
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme
dasar yaitu:
2.3.1.1. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek
atau sebaliknya
2.3.1.2. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat,
baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan
2.3.1.2.1. Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11%
dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan
adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1
per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab
utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut :
2.3.1.3. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
2.3.1.4. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.
2.3.1.5. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi
yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke
suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan
gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah
tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba
dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala
tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat
gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di
bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).
2.4. Manifestasi Klinis
2.4.1. Rupturenya aneurisme menyebabkan sakit kepala mendadak, biasanya terjadi sangat hebat, seringkali terjadi kehilangan kesadaran selama beberapa periode, nyeri dan kekauan bagian belakang leher dan tulang belakang, gangguan penglihatan (kehilangan penglihatan, diplopia, ptosis).
2.4.2. Dapat juga terjadi tinnitus, pusing, dan hemiparesis. Jika aneurisme mengeluarkan darah, pasien mungkin sedikit memperlihatkan deficit neurologis, atau perdarahan hebat, mengakibatkan kerusakan serebral yang dengan cepat diikuti dengan koma dan kematian.
2.4.3. Prognosis tergantung pada kondisi neurologis, usia pasien penyakit yang berkaitan, dan luas serta letak aneurisme.
2.5. Jenis Trauma KepalaCedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, kaparahan, dan morfologi cedera.
1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul) Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2. Keparahan cedera : (Mansjoer, Arief 2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa Monica E.D Adiyanti, 1996:226)
Ringan: Skala koma Glasgow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14-15Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian tingkat kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya
mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
Sedang: GCS 9-13Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang.
Berat : GCS 3-8Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma. Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Mengalami amnesia > 24 jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial.
3. Morfologi Fraktur tengkorak : kranium : linear/stelatum; depresi/non depresi;
terbuka/tertutup: basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
Lesi intrakranial : fokal: menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk (1996:49) epidural, Adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas, disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus.
Perdarahan Intrakranial berdasarkan lokasi akibat cedera kepala menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk (1996:49) adalah sebagai berikut:
1) Hematoma epiduralAdalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini
menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas, disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus.
2) Hematoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut atau kronik, tergantung pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
1. Hematoma subdural akut, sering dihubungkan dengan cedera kepala
mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam
keadaan koma dan/ atau tanda gejala klinis: sakit kepala, perasaan kantuk
dan kebingungan, respon yang lambat dan gelisah. Tekanan darah
meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat sesuai
dengan peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis terlihat dengan
adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
2. Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10 hari setelah
cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat dan
dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah
trauma kepala. Tanda dan gejala sama seperti pada hematoma subdural
akut. Tekanan serebral yang terus menerus menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien hematoma subdural
akut dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan kerusakan
otak.
3. Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala minor. Mulanya
perdarahan kecil memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan
meluas. Gejala klinis mungkin tidak terjadi/ terasa dalam beberapa minggu
atau bulan. Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi penurunan
reaksi pupil dan motorik, lansia cenderung yang paling sering mengalami
cedera kepala tipe ini sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan akibat
proses penuaan. Cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang
cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negatif.
3) Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak, cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantung aneurisma, anomali vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi darah dalam jaringan otak akan menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan
2.6. PatofisiologiPatofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter
Anugerah (1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa
Monica E.D Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara
mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal
dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi
dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek
akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan
deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau
memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan
mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran
yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih
kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi
karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel
endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak
karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan
interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan
duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena
“gantung” (bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus
venosus dapat menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada
ruang subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga
menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat
sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan
yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan
iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan
peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang
paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena
adanya proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di
dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan
edema yang bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang
terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi.
2.7. Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya
Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu
sistem tubuh lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih
bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai
berikut :
2.7.1. Sistem kardiovaskuler
Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi
perdarahan dan edema serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian
bradikardi dan iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas
atipikal miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan
vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh
persyarafan simfatik dan parasimfatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.
Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan
menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya
stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel.
Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium
kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik.
Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema
paru.
2.7.2. Sistem pernafasan
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau
hipertensi paru, menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne
stokes dihubungkan dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap
karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan
karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah,
aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi
alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF
(Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan sistem pernafasan
akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan pertambahan
CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan
intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada
kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang
mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial
otak normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan terhadap
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan herniasi
dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan daerah
medula oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan
irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat
menyebabkan terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan
terjadi obstruksi pada saluran pernapasan.
2.7.3. Sistem pencernaan
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post
craniotomy pada hari pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena
efek narkose. Setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan
merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulus gagal. Hal ini merangsang anterior
hipofisis menjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani
edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap lambung adalah peningkatan
ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas
terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani
stres yang mempengaruhi produksi lambung.
Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung.
sedangkan peningkatan asam lambung akan mengakibatkan klien mual dan
muntah. klien dengan peningkatan tekanan intra kranial akibat trauma kepala
ditandai dengan muntah yang seringkali proyektil.
2.7.4. Sistem endokrin dan perkemihan
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungannya
retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium
disebutkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan
pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Pada pasien dengan trauma kepala
khususnya fraktur tengkorak. Kerusakan pada kelenjar hipofisis atau hipotalamus
atau TTIK. Gambaran klinis dapat dikomplikasi oleh diabetes insipidus. Pada
keadaan ini terdapat disfungsi ADH. Dengan penurunan jumlah ADH yang ada
pada darah, ginjal mengekskresikan terlalu banyak air, menimbulkan dehidrasi.
Pada klien dengan penurunan kesadaran dapat menyebabkan inkontinensia urine
karena lemahnya kontrol otot spinkter uretra eksterna.
2.7.5. Sistem muskuloskeletal
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak,
terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat
gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang dapat membuat
komplikasi seperti peningkatan spastisitas dan kontraktur. klien dengan penurunan
kesadaran akan gelisah serta gerakan kaki dan tangannya yang tidak terkontrol.
2.7.6. Sistem integumen
Pada klien yang dilakukan craniotomy tampak luka operasi pada kepala bila
penyembuhan luka tidak baik akan didapatkan tanda-tanda rubor, tumor, dolor,
kalor dan fungsiolesa dan bila infeksi akan didapatkan gangguan integritas kulit
selain itu juga dapat terjadi peningkatan suhu tubuh sehingga pada anggota badan
akan tampak banyak keringat.
2.8. Komplikasi pada trauma kepala
2.8.1. Sindrompasca konkusi
Nyeri kepala, vertigo, depresi dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan
setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi setelah cedera vestibular
2.8.2. Kebocoran cairan serebro spinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan Antara rongga
subaraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil
dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin
mengalami meningitis dikemudian hari. Selain terapi infeksi, komplikasi ini
membutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura. Eksplorasi bedah juga dibutuhkan
terjadi kebocoran cairan serebrospinal presisten.
2.8.3. Epilepsy pascatrauma
Terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal ( dalam minggu pertama
setelah cedera), amnesia pasca trauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi
cranium, hematoma intracranial.
2.8.4. Komplikasi lanjut cedera kepala ini (dapat terjadi pada cedera kepala ringan) dapat
mengakibatkan demensia
2.9. Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Tuti Pahria,dkk,1996:57;
Arif Mansjoer, dkk, 2000: 4)
Menilai tingkat keparahan :
2.9.1. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran, misalnya konkusi
Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
Tidak ada kriteria cedera sedang – beratCedera kepala sedang (kelompok
resiko sedang)
Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
Konkusi
Amnesia pasca trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal)
Kejang
2.9.2. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologis fokal
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
2.10. Pemeriksaan Diagnostik
1. Skan CT ( tanpa /dengan kontras ) : mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras
3. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau brkembngnya gelombang patologis.
5. Sinar x : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari geras tengah, adanya fragmen tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang
otak
7. PET (positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak
8. Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui ada masalah ventilasi atau oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK.
10. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental
11. Pemeriksaan toksologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
2.11. Penatalaksanaaan Khusus
2.11.1. Cedera Kepala Ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut :
Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status
mini mental dan gaya berjalan) dalam batas
normal
Foto servikal jelas normal
Adanya orang yang bertanggung jawab untuk
mengamati pasien selama 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian
gawat darurat jika timbul gejala perburukan.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
Adanya darah intrakranial atau fraktur
yang tampak pada CT scan
Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
Adanya tanda dan gejala neurologis
fokal
Intoksikasi obat atau alkohol
Adanya penyakit medis komorbid yang
nyata
Tidak adanya orang yang dapat
dipercaya untuk mengamati pasien di
rumah.
2.11.2. Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak),
dengan skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah)
dan CT scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk
observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau
amnesia. Risiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan
cedera kepala sedang adalah minimal.
2.11.3. Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital,
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah
saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera
dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala
berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat
dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi
kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intrakranial yang
meningkat.
Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus
diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan
dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat
diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera kepala berat,
Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian
300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini
(minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan
intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya
epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang,
fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau
ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian
makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus
diberikan sesegera mungkin (biasanya hari ke-2 perawatan)
Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera
otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres
dingin. Pengobatan penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.
Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan
cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan
komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan
terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap
4-6 jam selama 48-72 jam)
Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati
memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat
ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6
jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien
dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin
dapat mengurangi resiko meningitis penumokok pada pasien dengan
otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat
meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi
Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40% atau gliserol 10%
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi
Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3
hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua,
dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai
urea N. (kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid dua)
BAB III
TINJAUAN KASUS
Tn. D, usia 18 tahun di rawat di ruang RC.3 Bedah syaraf karena mengalami trauma kepala sedang di sertai sub dural hematoma. Ketika di kaji diperoleh data: GCS= 11 (E2M5V4). Pasien telah di operasi 2 hari yang lalu, terdapat luka post craniotomy sepanjang 10cm pada daerah lobus frontal, pasien tampak gelisah dan terpasang mag slang karena masih di puasakan. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital di peroleh: TD= 140/90 mmHg, nadi= 110 x/menit, RR= 30x/menit, dan suhu= 38,5 K celcius.
Penugasan:
Diskusikanlah trauma kepala dengan tindakan operasi craniotomy, apa yang saudara bisa jelaskan dari kondisi tersebut terkait dengan kebutuhan perawatan pasien dan hal-hal lain terkait dengan komplikasi yang mungkin timbul.
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan Akibat
Trauma Kepala
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data baik
subyektif atau obyektif dan kemudian menganalisanya. Data-data dalam pengkajian
ini meliputi: (Pahria, Tuti ,dkk, 1996: 55)
a. Identitas klien
1) Identitas klien
Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia produktif
atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama, pendidikan, pekerjaan
klien biasanya berhubungan dengan sarana transportasi, status marital, suku
bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan darah,
no.medrek, diagnosa medis dan alamat.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b. Riwayat kesehatan
1) Alasan masuk Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas, namun tidak
menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien masuk
Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana
proses terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau perdarahan dari hidung
atau telinga.
2) Keluhan utama saat dikaji
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke rumah sakit
dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan apabila klien
sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung,mengeluh muntah, dispnea,
tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka
di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan
telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena proses benturan akselerasi-
deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat menyebabkan konkusio
atau kontusio serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran kurang atau
bisa lebih dari 24 jam.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau penyakit
sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah klien memiliki
kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya, memakai Helm dalam mengendarai
kendaraan, meminum minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular, kebiasaan buruk
dalam keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan anggota keluarga.
c. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman maupun
frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne stokes, ataxia
breathing), bunyi nafas ronchi atau stridor, adanya sekret pada trakheo
bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada.
2) Sistem kardiovaskuler
Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun kecuali
apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah
meningkat, denyut nadi tachikardi, kemudian bradikardi atau iramanya tidak
teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk membantu mengurangi tekanan
intra kranial.
3) Sistem pencernaan
Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang normal atau
bisa juga menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut kembung, bibir
dan mukosa mulut tampak kering, klien dapat mual dan muntah. kadang-
kadang konstipasi karena klien tidak boleh mengedan atau inkontinensia
karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen terdengar timpani, nyeri tekan
pada daerah epigastrium, penurunan berat badan.
4) Sistem perkemihan
Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar, sedangkan
pada klien tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan fekal, jumlah
urine output biasanya berkurang. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia.
5) Sistem muskuloskeletal
Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan involunter,
kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur, kekuatan otot mungkin
menurun atau normal.
6) Sistem integumen
Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu tubuh
mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari operasi
biasanya luka belum sembuh karena masih agak basah/ belum kering.
biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan perdarahan di
meningen. Data fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet dan
perdarahan pada bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris.
7) Sistem persyarafan
a) Test fungsi serebral
1) Klien mengalami penurunan kesadaran maka dalam
orientasi, daya ingat, perhatian dan perhitungan serta fungsi bicara
klien sehingga hasil pemeriksaan status mentalnya kurang dari normal
atau kurang dari 20 ditandai dengan amnesia, gangguan kognitif, dll.
2) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded sampai lethargi.
Kuantitas: nilai GCS: 9-12
3) Pengkajian bicara
(a) Proses reseptif
Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-kata yang leih
dari satu kata misalnya “sakit kepala” atau “rumah sakit”
(b) Proses ekspresif
Biasanya didapatkan bicara kurang lancar, tidak spontan dan tidak
jelas
b) Test nervus kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti Pahria,
dkk, 1996: 55)
1) Nervus I (olfaktorius)
Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia
bilateral yang disebabkan karena terputusnya serabut olfaktorius selain
karena trauma kepala juga bisa disebabkan oleh infeksi.
2) Nervus II (optikus)
Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa penurunan daya
penglihatan, penurunan lapang pandang
3) Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen)
Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan intrakranial akan
menyebabkan gangguan reaksi pupil yang lambat/ midriasis karena
tekanan pada bagian pinggir nervus III yang mengandung serabut
parasimpatis. Gangguan kelumpuhan N IV, namun jarang terjadi.
Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia, gejala lainnya
berupa refek cahaya menurun, anisokor.
4) Nervus V (trigeminus)
Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.
5) Nervus VII (fasialis)
Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik atas unilateral
dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,
melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3
bagian lidah anterior
6) Nervus VIII (akustikus)
Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan
keseimbangan tubuh.
7) Nervus IX, X, XI (glosofaringetus, vagus, assesoris)
Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal apabila trauma
mengenai syaraf tersebut. Adanya hiccuping (cegukan) karena
kompresi pada nervus vagus yang menyebabkan spasmodik dan
diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cegukan yang
terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan intrakranial.
8) Nervus XII (hipoglosus)
Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah satu sisi,
disfagia, dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
d. Data psikologis (Tuti Pahria, dkk, 1996: 57)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data psikologis tidak dapat
dikaji. Sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal (GCS: 13-
15) akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang
labil, iritabel, apatis, delirium.
e. Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang-orang
terdekat dan yang lainnya. Kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam
keluarga. Pada klien yang mengalami penurunan kesadaran data sosial tidak dapat
dikaji. Sedangkan pada klien yang tingkat kesadarannya normal, pada klien
trauma kepala akan didapatkan kesulitan berkomunikasi bila area trauma pada
lobus temporal.
f. Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak dapat dikaji, sehingga
data ketaatan klien terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup serta
keTuhanan yang diyakini klien tidak dapat terkaji.
g. Data penunjang (Doenges, et al, 2000:272)
1) Pemeriksaan analisa gas darah
Biasanya memperlihatkan acidosis respiratorik yaitu:
1) PH darah: < 7,35
2) PaO2 menurun antara 60-80 mmHg
3) PaCO2 : > 45 mmHg
4) HCO3: >22-26 mEq/l
5) Base excess: -2,5 s.d + 2,5
6) Saturasi: 95%
2) Pemeriksaan elektrolit biasanya didapatkan gambaran:
1) Natrium: > 14 mEq/l
2) Kalium: < 3,5 mEq/l
3) Kalsium: > 11 mg%
4) Fosfat: 3 mg%
5) Chlorida: > 107 mEq/l
3) Pemeriksaan HB dan leukosit biasanya didapatkan:
1) Penurunan HB (kurang dari normal: 13-18 gr/dl)
2) Leukosit meningkat (lebih dari normal: 3,8 – 10,6 ribu
mm3)
4) CT Scan (tanpa/ dengan kontras): mengidentifikasi hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Catatan: Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/
infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
5) MRI: Sama dengan CT Scan dengan/ tanpa menggunakan kontras
6) Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat oedema, perdarahan, trauma
7) EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
8) Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, oedema), adanya fragmen
tulang
9) BAER (Brain Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi
kortexs dan batang otak
10) PET (Position Emission Tomography): Menunjukkan perubahan
aktifitas metabolisme pada otak
11) Fungsi Lumbal, CSS: Dapat mendeteksi kemungkinan adanya
perdarahan subarakhnoid dan memastikan bocornya CSS sehingga terjadi
iritasi meningen mengakibatkan meningitis
12) Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran
13) Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat therapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
2. Diagnosa Keperawatan Dan Perencanaan
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisa terhadap data untuk
menentukan diagnosa keperawatan yang muncul baik aktual maupun resiko.
Pada klien post craniotomy dekompresi atas indikasi moderat HI disertai
subdural hematoma fronto temporo parietal dextra, kemungkinan diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul menurut:
Tuti Pahria, dkk, (1996: 58), Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo
(2002:2126), Linda Juall Carpenito, alih bahasa Monica Ester (2001:497), Linda Juall
Carpenito, alih bahasa Monica Ester (1999:523), Marilyn E. Doenges, alih bahasa I
Made Kariasa, dkk (2000:277) adalah sebagai berikut:
a. Resiko atau aktual tidak efektifnya pola pernafasan, disebabkan oleh:
1) Gangguan/ kerusakan pusat pernafasan di medula oblongata
2) Adanya obstruksi trakeobronkial
Tujuan:
Pola nafas efektif dalam batas normal
Kriteria evaluasi:
1) Pola nafas dalam batas normal dengan frekuensi 14-20 kali/ menit (untuk
dewasa) dan iramanya teratur
2) Bunyi nafas normal tidak ada stridor, ronchi, dullness dan wheezing
3) Tidak ada pernafasan cuping hidung
4) Pergerakan dada simetris/ tidak ada retraksi
5) Nilai analisa gas darah arteri normal yaitu:
pH darah: 7,35-7,45
PaO2: 80-100 mmHg
PaCO2: 35-45 mmHg
HCO3: 22-26 mEq/ L
BE: -2,5 - +2,5
Saturasi O2: 95-98%
Intervensi Rasional
1. Monitor kecepatan,
kedalaman, frekuensi, irama
dan bunyi nafas
2. Atur posisi pasien dengan
posisi semi fowler (150 –
450)
3. Lakukan penghisapan lendir
dengan hati-hati selama 10-
15 detik. Catat sifat, warna
dan bau sekret. Lakukan bila
Perubahan yang terjadi dan
hasil pengkajian berguna
dalam menunjukkan adanya
komplikasi pulmonal dan luas-
nya bagian otak yang terkena
Dengan menempatkan pasien
posisi semi fowler maka akan
mengurangi penekanan isi
rongga perut terhadap
diapraghma, sehingga
ekspansi paru tidak terganggu.
Kepala ditinggikan dengan
tempat tidur (tanpa bantal)
untuk cegah hiperekstensi/
fleksi
Dengan dilakukannya
penghisapan lendir maka jalan
nafas akan bersih dan
akumulasi dari sekret bisa
dicegah sehingga pernafasan
tidak ada retak pada tulang
basal dan robekan dural
4. Berikan posisi semi prone
lateral/ miring. Bila tidak ada
kejang dan setelah 4 jam
pertama, ubah posisi miring
atau prone (telentang) tiap 2
jam
5. Apabila pasien sudah sadar,
anjurkan dan ajak latihan
nafas dalam
6. Lakukan kolaborasi dengan
tim medis dalam pemberian
terapi oksigen, monitor
ketepatan terapi oksigen dan
komplikasi yang mungkin
timbul
7. Lakukan kolaborasi dengan
tim medis dalam
melaksanakan analisa gas
darah
akan tetap lancar dan efektif.
Penghisapan dilakukan hati-
hati untuk mencegah
terjadinya iritasi saluran nafas
dan refleks vagal
Posisi semi prone dapat
membantu keluarnya sekret
dan mencegah
aspirasisehingga dapat
membuka jalan nafas.
Mengubah posisi dapat
berguna untuk merangsang
mobilisasi sekret di saluran
pernafasan
Latihan nafas dalam berguna
untuk melatih complain paru
Pemberian oksigen terapi
tambahan dapat meningkatkan
oksigenisasi otak untuk
mencegah hipoksia. Monitor
pemberian oksigen untuk
mencegah terjadinya
pemberian oksigen yang
berlebihan, iritasi saluran
nafas
Analisa gas darah dapat
menentukan keefektifan
respiratori, keseimbangan
asam basa dan kebutuhan
terapi
b. Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh:
1) Adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak
2) Kelainan sirkulasi serobrospinal
3) Vasodilatasi pembuluh darah otak akibat asidosis metabolik
Tujuan:
Peningkatan tekanan intra kranial tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial seperti tekanan darah
meningkat, denyut nadi lambat, pernafasan dalam dan lambat, hipertermia, pupil
melebar, anisokor, refleks terhadap cahaya negatif, kesadaran bertambah buruk,
nilai GCS < 1
Intervensi Rasional
1. Monitor status neurologis
yang berhubungan dengan
tanda-tanda TTIK terutama
GCS.
2. Monitor tanda-tanda vital:
tekanan darah, denyut nadi,
respirasi, suhu minimal setiap
jam sampai keadaan pasien
stabil
3. Naikkan kepala dengan sudut
150-450, tanpa bantal (tidak
hiperekstensi dan fleksi) dan
posisi netral (dari kepala
hingga daerah lumbal dalam
garis lurus)
Hasil dari pengkajian dapat
diketahui secara dini adanya
tanda-tanda dan peningkatan
tekanan intra kranial sehingga
dapat menentukan arah tindakan
selanjutnya. Kecenderungan
terjadinya penurunan nilai GCS
menandakan adanya TTIK
Dapat mendeteksi secara dini
tanda-tanda TTIK
Dengan posisi kepala 150-450
dari badan dan kaki maka akan
meningkatkan dan melancarkan
aliran balik darah vena kepala
sehingga mengurangi kongesti
serebrum, edema dan
mencegahterjadinya TTIK.
Posisi netral tanpa hiperekstensi
dan fleksi dapat mencegah
penekanan pada saraf
medula spinalis yang menambah
TTIK.
4. Monitor asupan dan haluaran
setiap 8 jam sekali
5. Kolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian obat-obatan
anti edema seperti manitol,
gliserol dan lasix
6. Monitor suhu dan atur suhu
lingkungan sesuai indikasi.
Batasi pemakaian selimut,
kompreslah bila suhunya
tinggi (demam)
7. Berikan oksigen sesuai
program terapi dengan saluran
pernafasan yang lancar
8. Bantu pasien untuk
menghindari/ membatasi
batuk, muntah ataumengedan
seperti pada saat BAB
Tindakan ini untuk mencegah
kelebihan cairan yang dapat
menambah edema serebri
sehingga terjadi TTIK
Manitol atau gliserol merupakan
cairan hipertonis yang berguna
untuk menarik cairan dari
intraseluler (sel) ke ekstraseluler
(vaskuler). Lasix untuk
meningkatkan ekskresi natrium
dan air yang diinginkan, untuk
mengurangi edema otak.
Demam menandakan gangguan
hipotalamus. Peningkatan
kebutuhan metabolik karena
demam dan suhu lingkungan
yang panas akan meningkatkan
TTIK
Mengurangi hiposemnia yang
dapat meningkatkan vasodilatasi
serebri, volume darah dan
tekanan intra kranial.
Aktifitas seperti itu dapat
meningkatkan tekanan intratorak
dan intraabdomen yang dapat
meningkatkan TTIK.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan: penurunan
produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus
Tujuan:
Cairan elektrolit tubuh seimbang
Kriteria evaluasi:
1) Asupan-haluaran seimbang yaitu asupan cairan selama 24 jam 1-2 liter dan
haluaran urin 1-2 cc/ KgBB/ jam
2) Turgor kulit baik
3) Nilai elektrolit tubuh normal:
Natrium: 13-14 mEq/L
Kalsium: 9-11 mg%
Kalium: 3,5-4,5 mEq/L
Fosfat: 3-4 mg%
Klorida: 46-107 mEq/l
Intervensi Rasional
1. Monitor asupan-haluaran
setiap 8 jam sekali dan
timbang berat badan setiap
hari dapat dilakukan
2. Berikan cairan setiap hari
tidak boleh lebih dari 2000 cc
3. Pasang dower kateter dan
monitor warna urin, bau urin
dan aliran urin
4. Kolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian Lasix
5. Kolaborasi dengan tim analis
untuk pemeriksaan kadar
elektrolit tubuh
Monitor asupan-haluaran untuk
mendeteksi timbulnya tanda-
tanda kelebihan atau kekurangan
cairan yang dapat dibuktikan
pula dengan penimbangan berat
badan (BB)
Berguna untuk menghindari
peningkatan cairan di ruang
ekstra seluler yang dapat
menambah edema otak
Dapat membantu kelancaran
pengeluaran urin sehingga
terjadi urin statis. Monitor
kualitas dan kuantitas urin untuk
mencegah komplikasi.
Lasix dapat membantu
meningkatkan ekskresi urin
Pada trauma kepala dengan
pemakaian manitol dan obat-
obatan diuretik dapat mengalami
ketidakseimbangan elektrolit
hiponatremia dan hipokalemia.
Untuk itu perlu pemeriksaan
elektrolit setiap hari.
d. Aktual atau resiko terjadi gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan
yang disebabkan oleh:
1) Berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya
kesadaran
2) Melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah atau
menelan
3) Hipermetabolik
4) Perubahan kemampuan untuk mencerna makanan
Tujuan:
Kekurangan nutrisi tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Berat badan pasien normal (BB normal = TB-100-(10%TB-100))
2) Tanda-tanda malnutrisi tidak ada
3) Nilai-nilai hasil laboratorium normal:
Protein total: 6-8 gr%
Albumin: 3,5-5,3 gr%
Globulin: 1,8-3,6 gr%
Hb tidak kurang dari 10 gr%
Intervensi Rasional
1. Auskultasi bising usus dan
catat bila terjadi penurunan
bising usus
2. Timbang berat badan
3. Berikan makanan dalam
porsi sedikit tapi sering,
baik melalui Nasogastrik
tube (NGT) maupun oral
4. Tinggikan kepala pasien dari
badan ketika makan dan
buat posisi miring dan
netral/ lurus setelah makan
5. Lakukan kolaborasi dengan
tim kesehatan (analis) untuk
pemeriksaan, protein global,
globulin, albumin dan Hb
Fungsi gastro-intestinal harus
tetap dipertahankan pada
penderita trauma kepala.
Perdarahan lambung akan
menurunkan peristaltik (bising
usus lemah). Bising usus perlu
diketahui untuk menentukan
pemberian makanan dan
mencegah komplikasi
Penimbangan berat badan dapat
mendeteksi perkembangan berat
badan
Memudahkan proses pencernaan
dan toleransi pasien terhadap
nutrisi
Mencegah regurgitasi dan
aspirasi
Untuk mengidentifikasi
defisiensi nutrisi fungsi organ
dan respon nutrisi, serta menen-
tukan pemberian hiperalimentasi
karena protein yang banyak
keluar dari cairan serebrospinal
Pemberian makanan dapat
disesuaikan dengan kondisi
6. Berikan makanan melalui
oral, NGT atau IVFD
pasien
e. Gangguan mobilisasi fisik, sehubungan dengan:
1) Imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring
2) Menurunnya kekuatan/ kemampuan motorik
Tujuan:
1) Mampu melakukan aktifitas fisik dan ADL (Activity Daily Living)
2) Tidak terjadi komplikasi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan
kontraktur sendi
Kriteria evaluasi:
1) Pasien mampu dan pulih kembali setelah pascaakut dalam mempertahankan
fungsi gerak
2) Tidak terjadi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan kontraktur seni
3) Mampu mempertahankan keseimbangan tubuh
4) Mampu melakukan aktifitas ringan pascaakut dan aktifitas sehari-hari (ADL)
pada tahap rehabilitasi sesuai kemampuan
Intervensi Rasional
1. Koreksi tingkat kemampuan
mobilisasi dengan skala 0-4
0=pasien tidak tergantung
pada orang lain
1 = pasien butuh sedikit
bantuan
2 = pasien butuh bantuan/
pengawasan/ bimbingan
sederhana
3 = pasien butuh bantuan/
peralatan yang banyak
4 = pasien sangat tergantung
pada pemberian pelayanan
Untuk menentukan tingkat
aktifitas dan bantuan yang
diberikan
2. Atur posisi pasien dan ubahlah
secara teratur tiap 2 jam sekali
bila tidak ada kejang atau
setelah 4 jam pertama. Ubah
posisi dengan
mempertahankan posisi netral
sewaktu membalikkan tubuh
pasien terutama bila ada
trauma spinal
Mengubah posisi pasien secara
teratur dapat meningkatkan
sirkulasi seluruh tubuh dan
mencegah adanya penekanan
pada organ tubuh yang
menonjol. Pasien dengan kejang
tidak boleh banyak dirangsang
dengan gerakan-gerakan motorik
karena akan merangsang
terjadinya kejang.Posisi netral
akan mencegah trauma lebih
berat pada daerah saraf spinal
dan mencegah bertambahnya
3. Bantu pasien melakukan
gerakan-gerakan sendi secara
psif bila kesadaran menurun
dan secara aktif bila pasien
kooperatif
4. Observasi/ kaji terus
kemampuan gerakan motorik,
keseimbangan, koordinasi
gerakan dan tonus otot
TTIK
Mempertahankan fungsi sendi
dan mencegah penurunan tonus
dan kekuatan otot dan mencegah
kontraktor
Untuk melihat penurunan atau
peningkatan fungsi sensoris-
motoris (fungsi neurologis)
5. Buat posisi seluruh persendian
dalam letak anatomis dengan
memberi penyanggah pada
lekukan-lekukan sendi,
telapak tangan dan kaki
6. Lakukan massage, perawatan
kulit dan mempertahankan
alat-alat tenuin bersih dan
kering
7. Lakukan perawatan mata
dengan memberi cairan aira
mata buatan dan tutup mata
dengan kasa steril lembab
sesuai indikasi.
8. Bantu pasien seluruhnya
dalam memenuhi kebutuhan
ADL bila kesadaran belum
Untuk mencegah kontraktur
sendi
Meningkatkan sirkulasi,
elastisitas kulit dan integritas
kulit
Untuk mencegah iritasi mukosa
mata karena kekeringan dan
mencegah trauma pada mata
yang tidak dapat tertutup karena
penurunan kemampuan gerakan
kelopak mata
Bantuan yang diberikan akan
mampu memenuhi kebutuhan
ADL
pulih kembali
9. Observasi BAB dan bantu
BAB secara teratur, periksa
feses yang mengeras dan
terjepit di anus. Kolaborasi
dengan dokter pemberian
supositoria dan pengeluaran
feses secara manual bila ada
kesukaran BAB
10. Berikan motivasi dan latihan
pada pasien dalam memenuhi
kebutuhan ADL-nya sesuai
Tidak lancarnya BAB akan
menyebabkan distensi abdomen
dan terjepitnya feses pada anus
akan merangsang refleks vagal
yang dapat menambah TTIK.
Tidak lancarnya BAB dapat
disebabkan karena kurangnya
mobilisasi
Motivasi ini diberikan untuk
meningkatkan semangat hidup
pasien agar lebih mandiri dalam
f. Gangguan persepsi sensoris yang disebabkan oleh:
1) Menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis)
2) Penurunan daya penangkapan sensoris
Tujuan:
Mengembalikan fungsi persepsi sensoris agar mengarah ke pemulihan/ normal
dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Tingkat kesadaran normal: GCS = E4 M6 V5
2) Fungsi alat-alat indra baik
3) Pasien kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, tempat dan
waktu
Intervensi Rasional
1. Monitor respon sensoris
terhadap raba/ sentuhan,
panas/ dingin, tajam/
tumpul dan catat
perubahan-perubahan yang
terjadi
2. Monitor persepsi pasien,
beri umpan balik dan
koreksi kemampuan pasien
berorientasi terhadap
orang, tempat dan waktu
3. Berikan stimulus yang
berarti saat penurunan
kesadaran sampai kembali-
nya fungsi persepsi yang
maksimal seperti:
mengajak bicara (walau
tanpa jawaban), taktil
dengan memberikan
sentuhan dan pendengaran
dengan musik atau bunyi-
bunyian.
Berbicaralah pada pasien
dengan tenang, lembut
menggunakan kalimat yang
sederhana. Tunggu respon
pasien/ jawaban dengan
sabar baik melalui verbal,
isyarat atau tulis
Informasi yang didapat melalui
pengkajian sangat penting untuk
mengetahui tingkat kegawatan
dan kerusakan otak
Hasil pengkajian dapat
menginformasikan penurunan
fungsi otak yang terkena dan
membantu intervensi
selanjutnya
Stimulus dapat merangsang
kembalinya kemampuan
persepsi sensoris, tingkat
kesadaran dan memori pasien
Membantu pasien
berkomunikasi untuk
merangsang kondisi pasien,
perhatian dan pemahaman
kembali ke arah normal
(semaksimal mungkin)
4. Berikan keamanan pasien
dengan pengaman sisi
tempat tidur, bantu latihan
jalan dan lindungi dari
cedera
Gangguan persepsi sensoris dan
buruknya keseimbangan dapat
meningkatkan resiko terjadinya
injuri
g. Resiko terjadinya infeksi sehubungan dengan:
1) Masuknya kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak
2) Kekurangan nutrisi
Tujuan:
Tidak terjadi infeksi baru
Kriteria evaluasi:
1) Tidak terdapatnya tanda-tanda infeksi seperti rabor, dolor, kalor, tumor dan
fungsiolesa
2) Tidak ada pus pada daerah kulit yang rusak
3) Tidak ada infeksi dari kateter dan infus set
4) Tidak terjadi abses otak/ meningitis
Intervensi Rasional
1. Lakukan cuci tangan sebelum
dan sesudah melakukan
tindakan perawatan secara
aseptik dan antiseptik
Untuk mencegah infeksi
nosokomial
2. Monitor suhu tubuh dan
penurunan kesadaran
3. Kolaborasi dengan tim medis
Untuk mendeteksi tanda-tanda
sepsis
Antibiotik berguna untuk
dalam pemberian obat-obat
antibiotik
4. Kolaborasi dengan tim analis
untuk pemeriksaan: kadar
leukosit, liquor dari hidung,
telinga, dan urin serta kultur
resistensi
5. Bila ada perdarahan melalui
hidung dan telinga atau liquor
yang keluar dari hidung dan
telinga maka tutup dengan
kasa steril. Jangan
memasukkan alat-alat tidak
steril
6. Periksakan cairan/ liquor yang
keluar dari hidung dan telinga.
Kolaborasi dengan medis dan
analis
membunuh atau memberantas
bibit penyakit yang masuk ke
dalam tubuh sehingga infeksi
dapat dicegah
Kadar leukosit darah dan urin
adalah indikator dalam
menentukan adanya infeksi.
Liquor dari mulut dan hidung
diperiksa untuk menentukan
jenis kuman dan terapi yang
akan digunakan
Bila ada kuman yang masuk
melalui hidung dan telinga akan
menyebar sampai cairan
serebrospinal sehingga dapat
menyebabkan abses otak dan
meningitis
Untuk mengkaji apakah berasal
dari cairan serebrospinal
h. Gangguan rasa nyaman (pada pasien yang tingkat kesadarannya sudah pulih, GCS
= 15): nyeri kepala, pusing dan vertigo disebabkan karena:
Kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/ peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan:
Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi
Kriteria evaluasi:
1) Pasien tenang, tidak gelisah
2) Nyeri kepala, pusing dan vertigo hilang
3) Pasien dapat istirahat dengan tenang
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor mengenai lokasi,
intensitas, penyebaran, tingkat
kegawatan dan keluhan-
keluhan pasien
2. Ajarkan latihan teknik
relaksasi seperti latihan nafas
dalam dan relaksasi otot-otot
Untuk memudahkan membuat
intervensi
Latihan nafas dalam dan relaksasi
otot-otot dapat mengurangi
ketegangan syaraf sehingga
pasien merasa lebih rileks dan
dapat mengurangi rasa nyeri
kepala, pusing dan vertigo.
Latihan nafas dalam dapat
membantu pemasukan oksigen
lebih banyak, terutama untuk
oksigenisasi otak
3. Buat posisi kepala lebih tinggi
(150-450)
4. Kurangi stimulus yang tidak
menyenangkan dari luar dan
berikan tindakan yang
menyenangkan seperti
massage daerah punggung,
kaki, dll
5. Kolaborasi dengan tim media
dalam pemberian obat-obatan
analgetik
Posisi kepala lebih atas dari badan
dan kaki akan meningkatkan dan
melancarkan aliran balik
pembuluh darah vena dari kepala
sehingga dapat mengurangi
edema dan TTIK
Respon yang tidak menyenangkan
menambah ketegangan saraf dan
massage daerah punggung, kaki,
dll akan mengalihkan rangsangan
terhadap nyeri, pusing dan vertigo
Obat analgetik untuk meningkat-
kan ambang rangsang nyeri,
pusing yang dapat mengurangi/
menghilangkan rasa nyeri
i. Gangguan kemampuan proses berfikir dengan baik dan logis yang disebabkan
oleh:
1) Konflik psikologis
2) Gangguan fungsi sensoris
Tujuan:
Kemampuan berpikir pasien dapat kembali normal
Kriteria evaluasi
1) Pasien dapat menerima/ berorientasi terhadap kenyataan
2) Pasien dapat mengenali adanya perubahan-perubahan dalam proses
3) Keluarga dapat menerima perubahan berfikir pasien
4) Pasien mau berperan serta dalam proses latihan atau perawatan
Intervensi Rasional
1. Monitor kemampuan berfikir
dengan menanyakan nama
dan orientasi terhadap
lingkungan di sekitarnya;
tempat, orang dan waktu.
2. Monitor perhatian dan cara
pasien mengalihkan
perhatiannya kemudian catat
tingkat kecemasan
3. Berikan penjelasan kepada
pasien dan keluarga tentang
perubahan berfikir pasien dan
rencana perawatan
4. Ajarkan teknik relaksasi,
jangan berikan tantangan
berfikir keras dan beri
aktifitas sesuai kemampuan
Beritahu pasien dan keluarga
bahwa fungsi intelektual,
fungsi perilaku dan emosi
lambat laun akan normal bila
kerusakan otakdapat pulih
Dengan mengetahui kemampuan
berfikir pasien maka dapat
ditentukan rencana latihan-latihan
yang berhubungan dengan
stimulus proses berpikir dan
memori
Pada trauma kepala terutama
kontusio serebri akan mengalami
penurunan kemampuan
berkonsentrasi dan dalam
memusatkan perhatian. Hal ini
menimbulkan kecemasan.
Dengan memberi penjelasan
kepada pasien dan keluarga, dapat
mengurangi kecemasan pasien dan
keluarga, sehingga dapat diajak
bekerja sama dalam
mengantisipasi keadaan dan
meningkatkan peran sosial
Tindakan ini melatih pasien dalam
memusatkan perhatian sehingga
lambat laun kemampuan berpikir
pasien akan pulih kembali (sesuai
dengan kerusakan otak yang
terjadi).
Dengan penjelasan yang tepat dan
keterbukaan tim pelayanan
kesehatan terhadap pasien dan
keluarga akan memberikan
kembali. Tetapi efek-efek
tertentu dapat bertahan
sebagai gejala sisa.
kesiapan dan kesabaran dalam
latihan-latihan saat proses
rehabilitsi
j. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan gerakan tonik/ klonik tak terkontrol
selama episode kejang dan/ atau somnolen
Tujuan:
Cedera tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Klien tidak mengalami cedera
2) Tidak terjadi luka baru
3) Kesadaran meningkat
Intervensi Rasional
1. Libatkan keluarga untuk terus
menemani klien
2. Modifikasi lingkungan dengan
cara:
- menjauhkan benda-benda
tajam, memasang bed
plang,
- bantahan di pinggir tempat
tidur
Keluarga dapat mengawasi
keadaan klien dan menghindari
perilaku yang membahayakan
klien
Lingkungan yang aman dapat
mengurangi resiko cedera
3. Pasang restrain dan fiksasi
klien bila perlu
4. Berikan penjelasan pada
keluarga tentang pencegahan
trauma
Mencegah gerakan yang tidak
terkontrol yang dapat
menimbulkan cedera
Keluarga dapat mengetahui dan
memahami cara mencegah trauma
k. Perubahan eliminasi urinarius (inkontinen atau retensi) berhubungan dengan
penurunan kesadaran
Tujuan:
Retensi atau inkontinensi tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Klien dapat BAK dengan lancar
2) Pola BAK terkontrol
3) Warna urine kuning muda
Intervensi Rasional
1. Monitor intake dan output
urine
2. Palpasi distensi kandung
kemih dan observasi
pengeluaran urine
Mengetahui keseimbangan cairan
klien
Mengidentifikasi adanya kontraksi
kandung kemih
3. Bersihkan daerah perineum
dan jaga agar tetap kering
4. Lakukan pemasangan dan
perawatan kateter, jika perlu
5. Latih klien teknik bladder
training bila klien sehat
Mencegah infeksi pada meatus
uretra externa
Dapat menurunkan resiko
terjadinya iritasi kulit atau infeksi
Melatih otot spinkter uretra
eksterna sehingga kontrol klien
untuk BAK meningkat.
3. Implementasi
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang
telah ditentukan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
Pelaksanaan tindakan pada klien dengan gangguan sistem persyarafan akibat trauma
kepala difokuskan pada tindakan-tindakan yang ditujukan pada upaya untuk
mengembalikan tekanan intra kranial pada kondisi normal (50-200 mmH2O atau 4 –
15 mmHg), kebutuhan O2 ke otak terpenuhi, pemenuhan kebutuhan nutrisi yang
adekuat, pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari klien, mengembalikan fungsi
persepsi sensori dan fungsi kognitif kembali normal serta pencegahan terjadinya
cedera berulang.
(Effendy, Nasrul, 1995: 40)
tujuan utama dari pelayanan medis dan keperawatan ialah :
1. Harus selalu waspada tentang perubahan kondisi pasien,
terutama tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial.
2. Mempertahankan fungsi vital pasien sampai pemulihan
sehingga fungsi-fungsi bekerja kembali.
3. Pengelolaan komplikasi yang mengancam jiwa dan
berusaha sepenuhnya dengan pemulihan yang
sempurna.
Perawatan respiratori
Anoksia dengan penignkatan kadar karbondioksida dapat menyebabkan otak menjadi
hipoksia yang berakibat edema otak. Darah atau lendir aibat cedera dapat menyumbat
saluran nafas atau muntahan pasien, karena itu penyedotan sangat diperlukan.
Ketidakmampuan membebaskan salurann nafas dapat menimbulkan obstruksi saluran
nafas dan bisa timbul pneumonia aspirasi. Oksigen harus diberikan pada pasien cedera
kepala dan bila saluran nafas tidak dibersihkan harus dipasang pipa endotracheal.
Kadar gas darah arteri harus dicek sesering mungkin untuk menetukan perubahan
pernapasan samai membaik.
Istirahat dan pengawasan kejang
Jangan melakukan kebersihan pasien dengan kuat-kuat beberapa jam setelah
kecelakaan. Penghalang tempat tidur harus selalu terpasang karena pasien bisa
mendadak gelisah dan kejang dan bagian kepala biasanya ditinggikan 30º . gelisah
mungkin merupakan isyarat dari pasien ingin merubah posisi, nyeri, atau ingin BAK.
Codein atau analgesik lain yang tidak menekan pernapasan bisa dipakai mengurangi
nyeri. Antikonvulsan suka diberikan untuk mencegah kejang.
Tanda vital dan pengendalian suhu
Tanda vital dicatat sesering mungkin sampai keadaan stabil. Peningkata suhu tubuh
secara mendadak bisa mencapai 42ºC atau lebih. Penurunan tekanan darah
menunjukkan bahwa mekanisme pengatur suhu sudah tidak bekerja. Hipertermi
meningkatkan metabolisme otak yang bisa mengakibatkan otak menjadi rusak. Usaha-
usaha terdiri dari :
1. Pemberian aspirin
2. Kompres dingin
3. Kompres es pada sela paha dan aksila
4. Menurunkan suhu ruangan.
5. Kasur pendingin yang diatur oleh arus listrik.
Pencegahan infeksi
Telinga dan hidung diperiksa dengan cermat untuk memantau apakah meningen sobek
dan cairan serebrospinal keluar rongga tersebut jangan dibersihkan dapat dipasang
kapas yang tidak menutupi keluarnya cairan. Pasien tidak boleh batuk, bersin atau
mengosok-gosok hidung jika keluar liquor dari hidung. Bila ragu apakah cairan yang
keluar itu adalah CSF atau bukan, kertas tes dapat memuktikan positif gula.
Pengobatan
Obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi edema otak dan peningkatan TIK.
Obat-obatan terdiri dari :
1. Diuretik osmotik yang bisa penetrasi ke otak dengan lambat laun
a. Larutan urea 30%
b. Manitol 20%
2. Dexamethason
Ketidakseimbangan elektrolit
Pemantauan elektrolit yang cermat diperlukan. Berbagai macam ketidak
keseimbangan bisa terjadi pada pasien cedera kepala diantaranya seperti berikut :
1. Natriuresis (urin banyak mengandung sodium)
2. Sindrom ADH tidak sesuai (kenaikan kadar ADH dalam plasma,
hiponatremia, dan hipotonisitas)
3. Kadar cortisol dalam plasma meningkat
Eliminasi
Intake dan output dari pasien harus diukur dan dicatat, berat jenis urine juga harus
diukur, karena dapat menandai ketidak seimbangan elektrolit. Output urine harus rata-
rata 0,6 sampai 1 ml/kg berat badan/jam.
Membantu rasa nyaman dan AKS
o Dukungan emosi
Tidak jarang pasien dengan cedera kepala memperlihatkan kehilangan daya
ingat dan inisiatif. Masalah perilaku disertai pengambilan keputusan yang
salah serta gelisah dapat terjadi. Pasien perlu pelayanan yang ketat, tapi tepat,
disertai pedoman untuk perilaku yang bagaimana itu bisa dilaksanakan.
Pengembalian aktifitas
Masa konvalesen akan tergantung kepada besarnya kerusakan otak dan bagaimana
kecepatan pemulihan. Pasien biasanya dibujuk untuk melaksanakan kembali aktifitas
sedini mungkin. Sakit kepala dan pusing masih akan tetap ada untuk beberapa lama
setelah cedera otak. Sementara orang orang memerlukan rehabilitasi intensif dan
dalam waktu yang sangat lama di pusat rehabilitasi.
Konsultasi dan penyuluhan
Penyuluhan kepada pasien dengan cedera kepala yang mengalami gangguan yang
berat membutuhkan rehabikitasi lama sama seperti untuk pasien dengan masalah
motorik. Berikut beberapa uraian untuk penyuluhan :
1. Penyebab peningkatan tekanan intracranial
2. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan tekanan intracranial
a. Jangan bersin
b. Jangan mengangkat yang berat, jangan membungkuk, jangan
memaksakan tenaga
c. Jangan mengedan waktu bab
3. Tanda-tanda dan gejala yang harus dilaporkan kepada dokter
4. Evaluasi (Nasrul Effendy, 1995: 46)
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan
terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan
lainnya.
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam melaksanakan rencana
tindakan yang telah ditentukan untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan pasien secara
optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Evaluasi keperawatan adalah mengukir keberhasilan dari rencana dan
pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan
pasien.
Kriteria keberhasilan pada klien dengan gangguan sistem persyarafan akibat
trauma kepala adalah klien berada pada kondisi kesadaran penuh dengan nilai GCS:
15, tanpa adanya kecacatan fisik dan gejala sisa.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak.
Pengartian yang lain, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
http://askepkukeperawatan.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta : EGC
Effendy, Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta : EGC
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Alih Bahasa Indah R. Wardhani.
Jakarta: Erlangga
Masnjoer, Arif, dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius
Pahria, Tuti, dkk. 1996. Asuhan Keperawatan pada Paien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi IV,alih bahasa Peter Anugerah. Jakarta : EGC
Satyanegara, L. Djoko Listiano. 1998. Ilmu Bedah Saraf Edisi III. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Smeltzer, S. Suzanne, Bare, G.Brenda.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi VIII volume 3. Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta :
EGC