tinjauan pustaka igd

15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Instalasi Gawat Darurat Intalasi Gawat Daurat (IGD) adalah salah satu bagian di rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan mengenai Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit yang tertuang dalam Kepmenkes RI No. 856/Menkes/SK/IX/2009 untuk mengatur standarisasi pelayanan gawat darurat di rumah sakit. IGD rumah sakit mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan sementara serta pelayanan pembedahan darurat, bagi pasien yang datang dengan gawat darurat medis. Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan. Salah satu indikator mutu pelayanan adalah waktu tanggap (respons time) (Depkes RI. 2006) Latar belakang pentingnya diatur standar IGD karena pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat untuk itu perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat. Semua itu dapat dicapai antara lain dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumberdaya manusia dan manajemen IGD Rumah Sakit sesuai dengan standar. Menurut Departemen Kesehatan RI (2010), prinsip umum pelayanan IGD di rumah sakit adalah :

Upload: meldonosepoetro

Post on 25-Sep-2015

30 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Terkait patient safety dan akreditasi

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Instalasi Gawat DaruratIntalasi Gawat Daurat (IGD) adalah salah satu bagian di rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan mengenai Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit yang tertuang dalam Kepmenkes RI No. 856/Menkes/SK/IX/2009 untuk mengatur standarisasi pelayanan gawat darurat di rumah sakit.IGD rumah sakit mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan sementara serta pelayanan pembedahan darurat, bagi pasien yang datang dengan gawat darurat medis. Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan. Salah satu indikator mutu pelayanan adalah waktu tanggap (respons time) (Depkes RI. 2006)Latar belakang pentingnya diatur standar IGD karena pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat untuk itu perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat. Semua itu dapat dicapai antara lain dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumberdaya manusia dan manajemen IGD Rumah Sakit sesuai dengan standar.Menurut Departemen Kesehatan RI (2010), prinsip umum pelayanan IGD di rumah sakit adalah : 1. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki kemampuan : melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat dan melakukan resusitasi dan stabilitasi (life saving). 2. Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit harus dapat memberikan pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. 3. Berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di rumah sakit diseragamkan menjadi Instalasi Gawat Darurat (IGD). 4. Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat menangani kasus gawat darurat.5. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 ( lima ) menit setelah sampai di IGD. 6. Organisasi IGD didasarkan pada organisasi multidisiplin, multiprofesi dan terintegrasi struktur organisasi fungsional (unsur pimpinan dan unsur pelaksana) 7. Setiap rumah sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan pelayanan gawat daruratnya minimal sesuai dengan klasifikasi.2.2. Mutu Pelayanan Instalasi Gawat DaruratKemampuan suatu rumah sakit secara keseluruhan dalam hal mutu dan kesiapan untuk melayani pasien tercermin dari kemampuan IGD. Standarisasi IGD untuk mencapai mutu pelayanan saat ini menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam akreditasi suatu rumah sakit. Penilaian mutu pelayanan IGD rumah sakit mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit menggunakan Indikator Kinerja Kunci atau Key Performance Indicators (KPI). Dalam SPM rumah sakit untuk unit pelayanan IGD rumah sakit memiliki beberapa indikator sebagai berikut.Tabel 2.1. Key Performance Indicators Instalasi Gawat Darurat Rumah SakitJenis PelayananIndikatorStandar

Gawat Darurat1. kemampuan menangani life saving100%

2. Jam buka pelayanan gawat darurat24 jam

3. Pemberi pelayanan kegawatdaruratan yang bersertifikat yang masih berlaku (ATLS/BTLS/ACLS/PPGD)100%

4. Kesediaan tim penanggulangan bencanaSatu tim

5. Waktu tanggap pelayanan gawat darurat < 5 menit setelah pasien datang

6. Kepuasan pelanggan> 70%

7. Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka100%

8. Kematian pasien < 24 jam< dua per seribu (pindah ke pelayanan rawat inap setelah 8 jam)

Sumber : SPM Rumah Sakit tahun 20082.3. Fasilitas IGD Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan RS, untuk RS umum kelas B, peralatan kesehatan yang harus ada di pelayanan gawat darurat berdasarkan area adalah sebagai berikut :Tabel 2.2. Syarat Peralatan Kesehatan Pelayanan Gawat DaruratTRIAGERESUSITASITINDAKANISOLASIOBSERVASI

Kursi rodaDefibrilatorGynecological bedBed pasien elektrikBrankar

BrankarResusitation kitHeadlampBed pasien manualDefibrilator

Pocket Pulse OximetryFilm viewerLampu periksaBed side monitorEKG 12 channels

StetoskopLampu periksaOperating lamp mobileEmergency trolleyEKG 6 channels

Tensimeter digitalLaryngoscopeMinor surgery setOxigen concentrator portableEmergency trolley

Tensimeter aneroidNebulizerBed pasien elektrikStetoskopInfusion pump

Termometer digitalPulse oxymetryBed pasien manualTensimeter digitalPneumotic splint set

Timbangan bayiStetoskopTensimeter aneroidResucitator kir

Timbangan dewasaSuction pumpTermometer digitalStetoskop

Infusion pumpSuction pump

Syringe pumpSyringe pump

Bed pasien elektrikTensimeter digital

Bed pasien manualTensimeter aneroid

Tensimeter digital

Tensimeter aneroid

Termometer digital

Sumber : PMK RI No.56 (2014) (ini boleh dihapus aja kalo gaperlu)

Menurut Pedoman Teknis Fasilitas Rumah Sakit Kelas B tahun 2011, Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan awal kasus kasus gawat daruratdan melakukan resusitasi serta stabilisasi. Pelayanan di Unit Gawat Darurat rumah sakit harus dapat memberikan pelayanan 24 jam secara terus menerus 7 hari dalam seminggu.Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kelas B setara dengan unit pelayanan gawat darurat level III yaitu memiliki dokter spesialis empat besar (dokter spesialis bedah, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis anak, dokter spesialis kebidanan) yang siaga di tempat (on-site) dalam 24 jam, dokter umum siaga ditempat (on-site) 24 jam yang memiliki kualifikasi medik untuk pelayanan GELS (General Emergency Life Support) dan atau ATLS + ACLS dan mampu memberikan resusitasi dan stabilisasi Kasus dengan masalah ABC (Airway, Breathing, Circulation) untuk terapi definitif serta memiliki alat transportasi untuk rujukan dan komunikasi yang siaga 24 jam.Kebutuhan besaran ruangan tiap area IGD berdasarkan Pedoman Teknis Fasilitas Rumah Sakit Kelas B tahun 2011 adalah sebagai berikut :Tabel 2.3. Kebutuhan Besaran Ruangan IGDNoRuanganBesaran Ruang

APENERIMAAN

1Ruang Administrasi dan pendaftaran 3-5 m2/ petugas (luas area disesuaikan dengan jumlah petugas)

2Ruang Tunggu Pengantar Pasien1-1,5 m2/ orang (luas area disesuaikan dengan jumlah kunjungan pasien/ hari)

3Ruang Rekam MedisSesuai kebutuhan

4Ruang Informasi dan Komunikasi(Ket : boleh ada/tidak)Sesuai kebutuhan

5Ruang TriaseMin. 25 m2

6Ruang Persiapan Bencana MassalMin. 3 m2/ pasien bencana

BRUANG TINDAKAN

7R. Resusitasi BedahMin. 36 m2

8R. Resusitasi Non BedahMin. 36 m2

9R. Tindakan BedahMin. 7,2 m2/ meja tindakan

10R. Tindakan Non BedahMin. 7,2 m2/ meja tindakan

11R.DekontaminasiMin. 6 m2

12R.Khusus / IsolasiMin. 9 m2

CRUANG OBSERVASI

13R. ObservasiMin. 7,2 m2/ tempat tidur periksa

DRUANG KHUSUS

14Ruang Plester / gipsMin. 12 m2

ERUANG PENUNJANG MEDIS

15Ruang Farmasi/ ObatMin 3 m2

16Ruang Linen SterilMin 4 m2

17Ruang Alat MedisMin 8 m2

18R. Radiologi Cito (Jika diperlukan)Min 6 m2

19Laboratorium Standar &/ Khusus(Jika diperlukan)Min 4 m2

20R. Dokter KonsulenSesuai Kebutuhan

21R. DiskusiSesuai Kebutuhan

22Ruang Pos Perawat (Nurse Station)3-5 m2/perawat (luas ruangan disesuaikan dengan perawat jaga)

23Ruang PerawatSesuai Kebutuhan

24Ruang Kepala IGDSesuai Kebutuhan

25Gudang Kotor (Spoolhoek/Dirty Utility)Sesuai Kebutuhan

26Toilet (petugas, pengunjung)masing2 2-3 m2

27R. Sterilisasi (jika diperlukan)Min 4 m2

28R. Gas MedisMin 3 m2

29R. LokerSesuai Kebutuhan

30PantriSesuai Kebutuhan

31R. Parkir TroliMin 2 m2

32R. BrankarMin 3 m2

Sumber : Pedoman Teknis Fasilitas Rumah Sakit Kelas B tahun 2011Persyaratan khusus IGD menurut Pedoman Teknis Fasilitas Rumah Sakit Kelas B tahun 2011 adalah sebagai berikut :1. Area IGD harus terletak pada area depan atau muka dari tapak RS.2. Area IGD harus mudah dilihat serta mudah dicapai dari luar tapak rumah sakit (jalan raya) dengan tanda-tanda yang sangat jelas dan mudahdimengerti masyarakat umum.3. Area IGD harus memiliki pintu masuk kendaraan yang berbeda dengan pintu masuk kendaraan ke area Instalasi Rawat Jalan/Poliklinik, Instalasi rawat Inap serta Area Zona Servis dari rumah sakit.4. Untuk tapak RS yang berbentuk memanjang mengikuti panjang jalan raya maka pintu masuk kearea IGD harus terletak pada pintu masuk yang pertama kali ditemui oleh pengguna kendaraan untuk masuk kearea RS.5. Untuk bangunan RS yang berbentuk bangunan bertingkat banyak (Super Block Multi Storey Hospital Building) yang memiliki ataupun tidak memiliki lantai bawah tanah (Basement Floor) maka perletakan IGD harus berada pada lantai dasar (Ground Floor) atau area yang memiliki akses langsung.6. IGD disarankan untuk memiliki Area yang dapat digunakan untuk penanganan korban bencana massal (Mass Disaster Cassualities Preparedness Area).7. Disarankan pada area untuk menurunkan atau menaikan pasien (Ambulance Drop-In Area) memiliki sistem sirkulasi yang memungkinkan ambulan bergerak 1 arah (One Way Drive / Pass Thru Patient System).8. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst. Bedah Sentral. 9. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit Rawat Inap Intensif (ICU (Intensive Care Unit)/ ICCU (Intensive Cardiac Care Unit)/ HCU (High Care Unit)).10. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit Kebidanan. 11. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst. Laboratorium. 12. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Instalasi Radiologi. 13. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan BDRS (Bank Darah Rumah Sakit) atau UTDRS (Unit Transfusi Darah Rumah Sakit) 24 jam. 2.4. AkreditasiBeberapa definisi lebih lanjut tentang akreditasi rumah sakit tingkat internasional dijelaskan oleh beberapa lembaga, yaitu menurut Depkes RI (2009) akreditasi internasional rumah sakit adalah akreditasi yang diberikan oleh pemerintah dan/atau Badan Akreditasi Rumah Sakit taraf Internasional yang bersifat Independen yang telah memenuhi standar dan kriteria yang ditentukan. Menurut Joint Comission International (JCI) Tahun 2011, akreditasi adalah proses penilaian organisasi pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit utamanya rumah sakit non pemerintah, oleh lembaga akreditasi internasional berdasarkan standar internasional yang telah ditetapkan. Akreditasi disusun untuk meningkatkan keamanan dan kualitas pelayanan kesehatan. Akreditasi saat ini mendapat perhatian dari publik internasional karena merupakan alat pengukuran dan evaluasi kualitas pelayanan dan manajemen rumah sakit yang efektif. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa akreditasi internasional rumah sakit adalah proses penilaian organisasi kesehatan oleh lembaga akreditasi internasional berdasar standar dan kriteria yang ditetapkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan perawatan kesehatan.Dalam Permenkes RI No. 012 Tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit, disebutkan bahwa pengertian akreditasi adalah pengakuan terhadap Rumah Sakit yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, setelah dinilai bahwa Rumah Sakit itu memenuhi Standar Pelayanan Rumah Sakit yang berlaku untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit secara berkesinambungan.Di Indonesia akreditasi rumah sakit baik tingkat nasional maupun internasional sudah diatur oleh pemerintah melalui Undang-Undang maupun peraturan tertulis lainnya, yaitu: UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 40 ayat 1. dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala menimal 3 (tiga) tahun sekali, ayat 2. Akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam maupun dari luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku.Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah memberikan dukungan sepenuhnya terhadap rumah sakit untuk mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan sehingga mendapat akreditasi internasional. Dengan demikian diharapkan setiap organisasi rumah sakit mampu mengembangkan potensi dan kualitas pelayanan kesehatan dengan semaksimal mungkin.Kementerian Kesehatan berupaya untuk menjaga mutu layanan melalui kegiatan akreditasi rumah sakit baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Dasar hukum pelaksanaan akreditasi rumah sakit adalah UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 29 huruf b menyebutkan bahwa Rumah Sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit, kemudian pada Pasal 40 ayat (1) disebutkan bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali. Dari Undang-Undang tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Akreditasi rumah sakit penting untuk dilakukan dengan alasan agar mutu/kualitas diintegrasikan dan dibudayakan kedalam sistem pelayanan di Rumah Sakit.Joint Commission International (JCI) merupakan lembaga akreditasi internasional yang berwenang melakukan akreditasi. Kementerian Kesehatan menetapkan JCI sebagai lembaga atau badan yang dapat melakukan akreditasi rumah sakit bertaraf Internasional yang ditetapkan dalam Keputusan Menkes No.1195/MENKES/SK/VIII/2010.JCI didirikan tahun 1998 sebagai perpanjangan tangan untuk kawasan internasional dari The Joint Commission (United States). JCI bermarkas di Amerika Serikat. JCI telah bekerja sama dengan 80 menteri kesehatan di seluruh dunia. Fokusnya ialah peningkatan pengawasan terhadap keamanan pasien dengan cara memberikan sertifikasi akreditasi dan pendidikan untuk mengimplementasikan solusi berkelanjutan berbagai organisasi pelayanan kesehatan.Pada tahun 2012 penilaian Akreditasi Rumah Sakit akan mengacu pada Standar JCI, yang dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu, (1) kelompok sasaran yang berfokus pada pasien, (2) kelompok standar manajemen rumah sakit, (3) kelompok keselamatan pasien dan (4) sasaran MDGs.Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dalam langkah dan strategi pelaksanaan keselamatan pasien (Depkes RI. 2010), salah satunya adalah mengikuti Akreditasi Rumah Sakit. Selanjutnya dalam Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (Depkes RI. 2007) disebutkan rumah sakit mutlak memerlukan sistem tanggap darurat sebagai bagian dari manajemen K3RS. Mengacu kepada kedua landasan hukum tersebut, maka konsep kajian tentang keselamatan pasien yang dilakukan pada penelitian ini mengacu kepada aspek kesehatan dan keselamatan kerja yang terkait dengan standar akreditasi yang dikeluarkan oleh Joint Commission International Accreditation Standards for Hospitals, 4th Edition (2011) serta serta dihubungkan dengan mutu pelayanan adalah aspek pelayanan di IGD rumah sakit, yaitu sasaran keselamatan pasien rumah sakit dengan indikator sebagai berikut.1. Ketepatan Identifikasi PasienKesalahan karena keliru-pasien sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan pengobatan. Keadaan yang dapat mengarahkan terjadinya error/kesalahan dalam mengidentifikasi pasien, adalah pasien yang dalam keadaan terbius atau tersedasi, mengalami disorientasi, atau tidak sadar sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, lokasi di dalam rumah sakit; mungkin mengalami disabilitas sensori; atau akibat situasi lain. Maksud ganda dari sasaran ini adalah : pertama, untuk dengan cara yang dapat dipercaya (reliable) mengidentifikasi pasien sebagai individu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk mencocokkan pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut (Depkes RI. 2011).Kebijakan dan atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya proses yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau memberikan pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor identifikasi umumnya digunakan nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang (identitas pasien) dengan bar-code, atau cara lain. Nomor kamar atau lokasi pasien tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua pengidentifikasi atau penanda yang berbeda pada lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan ambulatori atau pelayanan rawat jalan yang lain, unit gawat darurat, atau kamar operasi. Identifikasi terhadap pasien koma yang tanpa identitas, juga termasuk. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan atau prosedur untuk memastikan telah mengatur semua situasi yang memungkinkan untuk diidentifikasi (Depkes RI. 2011).2. Peningkatan Komunikasi yang EfektifKomunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh resipien/penerima, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang paling mudah mengalami kesalahan adalah perintah diberikan secara lisan dan yang diberikan melalui telepon, bila diperbolehkan peraturan perundangan. Komunikasi lain yang mudah terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti laboratorium klinis menelpon unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil pemeriksaan segera (Depkes RI. 2011).Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur untuk perintah lisan dan melalui telepon termasuk: menuliskan (atau memasukkan ke komputer) perintah secara lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima informasi; penerima membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibacakan ulang adalah akurat. Kebijakan atau prosedur mengidentifikasi alternatif yang diperbolehkan bila proses pembacaan kembali (read back) tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan dalam situasi gawat darurat/emergensi di IGD atau ICU (Depkes RI. 2011).3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu DiwaspadaiRumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk menyusun daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan datanya sendiri. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana yang membutuhkan elektrolit konsentrat secara klinis sebagaimana ditetapkan oleh petunjuk dan praktek profesional, seperti di IGD atau kamar operasi, serta menetapkan cara pemberian label yang jelas serta bagaimana penyimpanannya di area tersebut sedemikian rupa, sehingga membatasi akses untuk mencegah pemberian yang tidak disengaja atau kurang hati-hati (Depkes RI. 2011).4. Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien OperasiSalah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien operasi, adalah kejadian yang mengkhawatirkan dan biasa terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/ tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk memverifikasi lokasi operasi. Di samping itu juga asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca (illegible handwriting) dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi.Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Kebijakan termasuk definisi dari operasi yang memasukkan sekurang-kurangnya prosedur yang menginvestigasi dan/atau mengobati penyakit dan kelainan atau disorder pada tubuh.5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan KesehatanPencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam kebanyakan tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi umumnya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih- terkait kateter, infeksi aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis).Pokok dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene yang berlaku secara internasional bisa diperoleh dari WHO, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (US CDC) berbagai organisasi nasional dan intemasional.Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi pedoman hand hygiene yang diterima secara umum untuk implementasi pedoman itu di rumah sakit.6. Pengurangan Risiko Pasien JatuhRumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa meliputi riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap obat dan konsumsi alkohol, penelitian terhadap gaya/cara jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program ini memonitor baik konsekuensi yang dimaksudkan atau yang tidak sengaja terhadap langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi jatuh. Misalnya penggunaan yang tidak benar dari alat penghalang aau pembatasan asupan cairan bisa menyebabkan cedera, sirkulasi yang terganggu, atau integrasi kulit yang menurun. Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit (Depkes RI. 2011).2.5. Peran Akreditasi dalam Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan

(dari buku referensi bu Viera)

Fida,ini banyak yg copas dari jurnal dan PMK/KMK, dll. Bole dihapus2 aja yang ga perlu.wkwkwkwk. Sekian...