laporan kasus igd
DESCRIPTION
bxkTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
ILMU KESEHATAN JIWA
RSJD DR AMINO GONDOHUTOMO, SEMARANG
Oleh: Vincentius Adrian Madargerong (11.2014.143)
Mengetahui, Mengetahui,
Psikiater Pembimbing
dr. Linda Kartikasari, Sp.KJ dr. Endang Septiningsih, Sp.KJ
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA
RSJD DR AMINO GONDOHUTAMA, SEMARANG
SMF ILMU KESEHATAN JIWA FK UKRIDA
PERIODE 1 JUNI 2015 – 4 JULI 2015
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : Nn. KUmur : 21 tahunTempat, Tanggal Lahir : -, 8 Juli 1994Jenis Kelamin : PerempuanAlamat : SindenseloAgama : IslamStatus Pernikahan : Belum MenikahSuku : JawaPendidikan : SMKPekerjaan : Buruh PabrikTanggal Pemeriksaan : 8 Juni 2015- Identitas Keluarga
Nama : Tn MUmur : 51 tahunTempat, Tanggal Lahir : -Jenis Kelamin : Laki-lakiAlamat : SindenseloAgama : IslamStatus Pernikahan : MenikahSuku : JawaPendidikan : SDPekerjaan : BuruhHubungan dengan pasein : orang tua
II. AnamnesisA. Keluhan Utama
Autoanamnesis : Tidak bisa tidurAlloanamnesis : Marah - marah
B. Riwayat Penyakit Sekarang- Kurang lebih sekitar dua bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit jiwa,
keluarga mengeluhkan bahwa pasien sering marah-marah tanpa alasan yang jelas. Selama pasien marah, pasien tidak pernah sampai merusak barang, melukai diri sendiri ataupun orang lain disekitar. Dalam sehari pasien bisa marah lebih dari 5 kali, khususnya pada ayah pasien. Pasien menilai bahwa bapaknya sudah tidak nyambung lagi apabila diajak berbicara dan gagap dalam berbicara. Pasien mengeluhkan dapat melihat makhluk halus dan dapat berbicara dengan mereka. Kondisi ini disebabkan pasien tidak rutin melakukan control dan tidak patuh meminum obat 1 tahun terakhir ini. Pasien
sudah tidak bekerja karena sudah lama dipecat dari perusahaanya. Pasien juga sudah tidak dapat bergaul dengan teman sebaya dan tetangga sekitar, pasien hanya berada di dalam rumah saja. Penggunaan waktu luang juga kurang baik yaitu hanya menonton, mendengar lagu atau tidur, sedangkan perawatan diri pasien masih baik karena kebiasaan mandi masih inisiatif sendiri dan nafsu makan masih baik.(GAF 50)
- Dua malam sebelum masuk rumah sakit keluarga mengeluhkan bahwa pasien keluyuran keluar rumah. Pasien pergi ke Pati dan tidak pulang. Pasien dibawa oleh polisi dari Polsek Pati, menuju ke Polsek terdekat dengan rumah pasien, dan kemudian menghubungi keluarga mengenai keberadaan pasien. Hal ini terjadi penyebabnya dikarenakan ketidak patuhan untuk control dan minum obat waktu sebelumnya. Pasien sudah lama tidak bekerja. Pasien juga mengalami kesulitan untuk memulai interaksi atau bersosialisasi dengan teman sebaya, keluarga dan tetangga di sekitar pasien. Penggunaan waktu luang pasien juga tidak digunakan dengan efektif, namun untuk perawatan diri baik mandi maupun nafsu makan masih dalam batas yang normal. (GAF 50)
- Hari saat masuk rumah sakit yaitu tanggal 8 Juni 2015 pukul 17.00, pasien mengeluhkan bahwa beberapa hari ini ia susah untuk tidur dan mengalami vertigo. Pada saat pemeriksaan pasien mengaku dapat melihat makhluk halus dan dapat berbicara dengan makhluk halus tersebut. Pasien juga mengaku dapat mengisi benda mati seperti gelang atau kalung dengan makhluk halus, dan juga dapat membaca pikiran orang lain hanya dengan melihat orang tersebut. Pada saat anamnesis pasien menceritakan bahwa ia adalah lulusan sarjana strata 1 fakultas manajemen di Universitas Indonesia. Pasien juga mengaku bahwa pasien mengelola beberapa perusahaan yang tersebar di beberapa daerah yang dikelola bersama dengan kakak pasien. Namun kenyataannya adalah pasien tersebut hanyalah lulusan SMK, dan pasien sudah lama tidak bekerja karena dikeluarkan dari perusahaan tempat ia bekerja. Penampilan pasien juga tampak menor dengan make up dan penampilannya mencolok. Keluhan ini merupakan efek lanjutan karena ketidakpatuhan dalam control dan meminum obat. Serta sama seperti sebelumnya bahwa pasien sudah mengalami gangguan dalam fungsi peran, dalam fungsi sosial juga terlihat hal yang sama yaitu pasien tidak dapat membangun hubungan sosial dengan teman sebaya, rekan kerja, tetangga dan keluarga pasien dengan baik. Sehari-hari pasien hanya duduk depan televise, tidak menonton namun hanya melihat televise dengan tatapan yang kosong. Namun mengenai perawatan diri sehari-hari, nafsu makan pasien masih baik dan kesadaran untuk mandi dan menjaga kebersihan tubuh masih normal. (GAF 50)
C. Riwayat Penyakit Dahulu- Riwayat Psikiatri
Pasien pernah memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya. Dan pada akhir tahun sekitar bulan September tahun 2013, pasien dibawa RSJD
Amino Gondohutomo karena mengamuk. Memang pada pertengahan tahun 2013 pasien mengaku mempunyai indera ke 6 yaitu dapat melihat makhluk halus di lingkungan rumahnya. Hal ini mengakibatkan pasien menjadi sulit tidur saat malam hari. Stressor yang dihadapi pasien adalah putus cinta dan masalah dalam pekerjaan karena dikeluarkan dari perusahaan. Pasien mengalami hambatan dalam fungsi peran dan fungsi sosial, namun penggunaan waktu luang dan perawatan diri masih cukup.(GAF 50) Pasien dirawat di RSJD Amino Gondohutomo selama kurang lebih dua puluh hari. Setelah dirawat di rumah sakit, gejala psikotik dan gangguan mood pasien mengalami perbaikan. Dan diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Fungsi sosial, perawatan diri dan penggunaan waktu luang dapat kembali normal walaupun fungsi peran belum dapat kembali dengan baik.(GAF 70)
Namun karena saat pulang ke rumah kurang lebih satu tahun setelah dirawat kurang lebih pada akhir tahun 2014, pasien tidak rajin control dan tidak meminum obat secara rutin lagi, maka keluhan kembali muncul lagi seperti yang lalu. Hal ini merupakan salah satu stressor munculnya keluhan dan gejala yang sampai saat ini. Pasien terhambat dalam fungsinya sebagai pekerja dan fungsi sosialnya dengan sesama. Begitu pula dengan penggunaan waktu luang, namun perawatan diri masih baik. (GAF 50).
- Riwayat Medis UmumRiwayat Hipertensi : disangkalRiwayat DM : disangkalRiwayat Kejang : disangkalRiwayat Asma : disangkalRiwayat Trauma : disangkal
- Riwayat Obat-obatan dan NAPZAPasien mengaku tidak pernah menggunakan obat-obatan, NAPZA, merokok dan meminum alcohol sebelumnya.
D. Riwayat Pribadi dan Premorbid - Prenatal dan Perinatal
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pada saat kehamilan normal tidak ada keluhan dan tidak mengkonsumsi obat-obatan. Pasien termasuk anak yang diharapkan. Dan saat kelahiran pasien lahir sehat tanpa kelainan bawaan.
- Masa Anak Awal (0-3 tahun)Pasien dirawat oleh kedua orang tua. Perkembangan dan pertumbuhan pasien sesuai usia dan tidak ada kelainan.
- Masa Anak Pertengahan (3-7 tahun)Masuk SD usia 6 tahun, bisa bermain dengan teman sebaya di rumah dan di sekolahnya. Selama di sekolah hubungan dengan teman dan pengajar baik, mudah bergaul dan akademisnya tergolong baik.
- Masa Anak Akhir (7-11 tahun)
Saat sekolah dasar mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Mempunyai prestasi akademis yang baik, tidak pernah tinggal kelas, dan dapat bergaul dengan teman sekolah dan teman di lingkungan rumah.dirumah pasien adalah anak yang penurut.
- Masa Remaja (11-18 tahun)Pasien memiliki hubungan baik dengan teman di sekolah, di rumah, dengan orang tua dan tetangganya. Pasien tidak pernah tinggal kelas dan riwayat akademisnya baik. Dan saat itu pasien dapat menyelesaikan Sekolah Menengah Kejuruan. Mudah bergaul dan punya hubungan yang baik dengan teman maupun staf di sekolah. Di rumah juga dapat bergaul dengan teman-teman sebaya dan pasien termasuk anak yang penurut.
- Masa Dewasao Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pasien tidak pernah tinggal kelas.
o Riwayat PekerjaanPasien bekerja sebagai buruh pabrik yang kemudian dikeluarkan karena tidak produktif. Tidak mempunyai masalah dengan rekan kerja maupun atasnya.
o Riwayat PernikahanPasien belum menikah, pasien pernah memiliki teman dekat laki-laki, namun hubungannya berakhir dengan tidak baik.
o Riwayat KeagamaanAgama islam, dan pasien beribadah apabila ingat saja.
o Riwayat MiliterTidak pernah terlibat dalam aktivitas kemiliteran.
o Riwayat PsikososialPasien tidak pernah mendapatkan tindakan kekerasan dan pelecehan.
o Riwayat HukumPasien tidak pernah terlibat dengan masalah hokum dan tindakan criminal.
E. Riwayat KeluargaTidak ada anggota keluarga yang mengalami riwayat kelainan jiwa, ataupun mengalami keluhan yang dirasakan oleh pasien.
Keterangan:
: Perempuan
: Laki-laki
: Pasien
: Orang satu rumah pasien
F. Kurva Global Assesment of Functioning (GAF) scale
0 -
10-1 -
20-11 -
30-21 -
40-31 -
50-41 -
60-51 -
70-61 -
80-71 -
90-81 - ± 1 tahun fase remisi
100-91-
2 th SMRS 1 bln post rawat 2 bln SMRS 2 mlm SMRS HMRS
III. Pemeriksaan Status Mentala. Deskripsi Umum
i. PenampilanSeorang perempuan usia 21 tahun berpenampilan sesuai usia, kebersihan dan kerapian cukup. Pakaian yang digunakan berwarna merah cerah dan memakai
make up yang tebal / menor. Dan pasien menggunakan parfum dan juga kerudung.
ii. Perilaku dan Psikomotor- Normoaktif : (+) - Terkoordinasi : (-)- Hiperaktif : (-) - Tak terkoordinasi : (-)- Hipoaktif : (-) - Manineren : (-)- Stupor : (-) - Grimaceren : (-)- Gelisah : (-) - Ambivalensi : (-)- Kompulsif : (-) - Gerak otomatis : (-)- Stereotipik : (-)
iii. KesadaranKesadaran sensorium : compos mentisKesadaran psikiatri : Jernih
iv. Sikap Terhadap Pemeriksa- Kooperatif : (+) - Curiga : (-)- Non kooperatif : (-) - Berubah-ubah : (-)- Apatik : (-) - Tegang : (-)- Negatifisme pasif : (-) - Pasif : (-)- Indifferent : (-) - Aktif : (-)- Infantile : (-) - Katalepsi : (-)- Rigid : (-) - Permusuhan : (-)- Dependent : (-)
v. PembicaraanKualitas, kuantitas dan laju pembicaraan baik
vi. Kontak PsikisKontak psikis ada, wajar dan dapat dipertahankan
b. Mood dan AfekMood- Eutimik : (-) - Depresif : (-)- Hipertimik : (+) - Manik : (-)- Hipotimik : (-) - Cemas : (-)- Disforik : (-) - Irritable : (-)
Afek
- Serasi : (+) - Tumpul : (-)- Tidak serasi : (-) - Datar : (-)- Terbatas : (-) - Labil : (-)
c. Gangguan Persepsi1. Halusinasi
- Visual : (+)- Akustik : (+)
- Olfaktorik : (-)- Gustatorik : (-)- Taktil : (-)
2. Ilusi- Visual : (-)- Akustik : (-)- Olfaktorik : (-)- Gustatorik : (-)- Taktil : (-)
3. Depersonalisasi : (-)4. Derealisasi : (-)
d. Gangguan Proses Pikir1. Bentuk Pikir : non realistic2. Arus Pikir
- Flight of idea : (+) - Retardasi : (-)- Asosiasi longgar : (-) - Asosiasi bunyi : (-)- Inkoherensi : (-) - Blocking : (-)- Sirkumstansial : (-) - Perseverasi : (-)- Neologisme : (-) - Verbegerasi : (-)- Jawaban irrelevan : (-) - Lancar : (-)- Tangensial : (-)
3. Isi Pikir- Waham Kebesaran : (+)- Waham berdosa : (-)- Waham Kejar : (-)- Waham Curiga : (-)- Waham Somatis : (-)- Waham Magis/mistis : (+)- Overvalued Idea : (-)- Fobia : (-)- Delusion of Control : (-)- Delusion of Insertion : (-)- Delusion of Passivity : (-)- Delusion of Perception : (-)- Obsesif Kompulsif : (-)- Thought of Echo : (-)- Thought of Insertion : (-)- Thought of Broadcasting : (-)- Kemiskinan Isi Pikir : (-)- Gangguan menyangkut diri sendiri & Pengaruh : (-)
e. Sensorium dan Kognitif
1. Kesadaran : Jernih2. Orientasi
- Waktu : baik- Tempat : baik- Personal : baik- Situasi : baik
3. Memori- Segera : baik- Jangka Pendek : baik- Jangka Panjang : baik
4. Konsentrasi : baik5. Perhatian : baik6. Visuospasial : baik7. Abstraksi : baik8. Baca Tulis : baik9. Pengetahuan Umum : baik10. Daya Nilai : baik
f. Pengendalian Impuls : baik
g. Tilikan : 1 (Menyangkal sepenuhnya bahwa dirinya mengalami penyakit/gangguan.)
h. Reliabilitas : Pasien dapat dipercayaIV. Pemeriksaan Fisik
a. Status Internus- Keadaan Umum : baik- Kesadaran : compos mentis GCS : E4 M6 V5- Tanda Vital : TD : 120/80 mmHg RR : 20 x/menit
HR : 88 x/menit T : 36,3o C
- Kepala Leher : dalam batas normal- Thoraks : dalam batas normal- Abdomen : dalam batas normal- Ekstremitas : dalam batas normal
b. Status Neurologis : dalam batas normal
V. Pemeriksaan Penunjang- EKG : dalam batas normal- Laboratoriumo Darah rutin : dalam batas normalo Kimia darah : dalam batas normal
VI. Formulasi Diagnostik
Seorang perempuan usia 21 tahun, bertempat tinggal di Sindenselo. Beragama Islam, belum menikah, sehari-hari bekerja sebagai buruh pabrik di suatu perusahaan. Pendidikan terakhir pasien adalah Sekolah Menengah Kejuruan dan tamat sekolah. Datang ke IGD RSJD Amino Gondohutomo dengan diantar oleh keluarga karena marah-marah dan keluyuran keluar rumah.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keluhan pada pasien yang dirasakan oleh keluarga ini sudah 2 bulan yang lalu dimana pasien saat itu sering marah dan mengamuk tanpa alasan yang jelas saat di rumah. Pasien juga mengeluhkan dapat melihat makhluk halus dan berbicara dengan makhluk tersebut. Lalu sejak 2 malam sebelum masuk rumah sakit, pasien mempunyai kebiasaan keluyuran keluar rumah tanpa izin dan keluhan dapat melihat dan berbicara dengan makhluk halus masih dirasakan. Dan saat dibawa ke rumah sakit RSJD Amino Gondohutomo pasien mengeluh hanya kesulitan untuk tidur, sedangkan keluarga mengeluhkan pasien yang marah-marah tanpa alasan yang jelas saat dirumah. Terdapat juga waham kebesaran dimana pasien mengaku sebagai lulusan sarjana manajemen di Universitas Indonesia, dan juga mengaku mempunyai beberapa perusahaan yang tersebar di beberapa daerah. Perasaan pasien saat ini juga terlihat hiperthyme dengan afek yang sesuai. Adanya arus pikir yang berpindah dari subjek satu ke yang lain atau flight of idea. Dan adanya waham magis/mistik yang diakui pasien dengan mampu memasukan makhluk halus ke dalam benda-benda tertentu. Daya tilikan pasien saat pemeriksaan adalah 1 dimana pasien menyangkal sepenuhnya bahwa ia mengalami penyakit / gangguan.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mempunyai riwayat penyakit jiwa kurang lebih pertengahan tahun 2013. Pasien sempat dirawat di RSJD Amino Gondohutomo selama kurang lebih satu bulan pada akhir tahun 2013. Dikarenakan masalah dengan pekerjaan dan juga pasien baru saja putus cinta yang menjadi masalahnya. Keluhan sempat berkurang, namun karena tidak rutin control dan ketidak patuhan pasien dalam meminum obat, maka gejala kembali muncul dan memburuk hingga saat ini.
Saat ini yang menjadi masalah adalah karena ketidak patuhan minum obat dan control ke dokter berhubungan dengan penyakitnya. Pasien mempunyai hendaya di dalam fungsi peran dimana pasien sudah tidak bekerja lagi. Ada juga hendaya di fungsi sosial karena pasien sulit untuk memulai hubungan sosial atau menyapa tetangga, rekan kerja maupun teman sebaya. Penggunaan waktu luang pasien pun tidak digunakan untuk aktifitas yang produktif melainkan hanya menonton TV dan mendengar lagu. Namun perawatan diri seperti makan dan mandi sehari-hari masih ada inisiatif dari diri sendiri untuk melaksanakannya.
Axis I : Dari anamnesis dan pemeriksaan pada pasien didapatkan keluhan berupa kesulitan untuk tidur, dan keluhan dari keluarga bahwa pasien marah-marah. Pasien mempunyai riwayat gangguan jiwa sebelumnya dan pernah dirawat di
rumah sakit jiwa sebelumnya. Kambuh lagi akhir-akhir ini karena tidak rutin berobat dan tidak patuh minum obat. Saat diperiksa perasaan pasien senang yang berlebihan atau hyperthyme. Didapatkan halusinasi auditorik dan juga halusinasi visual saat pemeriksaan pada pasien. Arus pikir yang ada adalah flight of idea, isi pikir ada berupa waham kebesaran dan waham magis/mistis dengan bentuk pikir yang non realistic. Keluhan yang terjadi sudah lebih dari 2 bulan dan ditemukan hendaya pada pasien dalam fungsi peran, fungsi sosial dan juga penggunaan waktu luang. Diluar keadaan bahwa perawatan diri pasien masih dalam taraf yang baik. Maka diagnosis pada axis I adalah F 20.0 yaitu skizofrenia tipe paranoid.
Axis II : Dari data premorbid didapatkan bahwa pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Riwayat premorbid pasien tidak ada kelainan pada pertumbuhan maupun perkembangan dari masa kandungan sampai dewasa. Pasien dikenal mudah bergaul, tidak pernah melakukan atau terlibat hukum dan tindakan criminal. Sehingga axis II tidak ada diagnosis.
Axis III : Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien tidak ditemukan kelainan. Begitu juga dari pemeriksaan penunjang yang dilakuakn semua masih dalam batas normal. Sehingga pada axis III adalah tidak ada diagnosis.
Axis IV : Masalah yang didapatkan saat anamnesis saat ini adalah bahwa pasien kurang lebih mulai akhir tahun 2014 tidak teratur untuk control berobat ke dokter. Dan juga tidak patuh dan rutin dalam meminum obat. Sehingga axis IV adalah masalah ketidak patuhan pasien dalam berobat.
Axis V : Pada skala penilaian fungsi secara global bahwa 2 tahun sebelum dirawat adalah 50, saat 1 bulan keluar dari rumah sakit GAF pasien menjadi 70. Namun karena tidak rutin control, kambuh dan GAF pasien 50. GAF mutakhir pasien adalah 50.
VII. Diagnosis Multi Aksial
Axis I : F 20.0 Skizofrenia Tipe ParanoidAxis II : Tidak Ada DiagnosisAxis III : Tidak Ada DiagnosisAxis IV : Masalah ketidakpatuhan berobatAxis V : GAF 2 tahun SMRS : 50
GAF keluar dari RSJD : 70 GAF 2 bulan – saat ini : 50
VIII. Tata LaksanaMedika Mentosa:
- IGD:o Diazepam 10 mg inj
o Lodomer 5 mg inj- Maintenance:
o Chlorpromazine 2 x 100 mg ( sediaan 100 mg p.o)o Risperidon 2 x 2 mg ( sediaan 2 mg p.o)o Trihexylphenidyl 2 x 2 mg p.o
Non Medika Mentosa:
- Terapi suportif- Terapi okupasional- Terapi keluarga
IX. Prognosis
Baik Buruk- Onset Akut : (-) - Onset Kronis : (+)- Usia 25-35 : (-) - Usia <25/>35 tahun : (+)- Tidak ada riwayat keluarga : (+) - Ada riwayat di keluarga : (-)- Premorbid baik : (+) - Premorbid buruk : (-)- Menikah : (-) - Belum menikah : (+)- Tidak ada kekambuhan : (-) - Ada kekambuhan : (+)- Factor pencetus jelas : (+) - Faktor pencetus tidak jelas : (-)- Status ekonomi baik : (+) - Status ekonomi buruk : (-)- Gejala positif menonjol : (+) - Gejala negative menonjol : (-)- Patuh minum obat : (-) - Tidak patuh minum obat : (+)
Dubia
TINJAUAN PUSTAKA
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab ( banyak belum
diketahui ) dan perjalanan penyakit tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating” yang luas,
serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial
budaya.1
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar ( inapropriate ) atau tumpul ( blunted ).
Kesadaran yang jernih ( clear consciousness ) dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.2
Berdasarkan PPDGJ-III harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas ( dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas ) :2
I. Thought
- “Thought echo” = isi pikirannya dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya ( tidak keras ), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama namun kualitasnya
berbeda; atau
- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya ( insertion ) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
( withdrawal ); dan
- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya;
II. Delusion
– “Delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar; atau
- “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar; atau
- ‘delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu
kekuatan dari luar; ( tentang “ dirinya” = secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh / anggota
gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus );
- “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas
bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
III. Halusinasi auditorik
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri ( diantara berbagai suara yang
berbicara ), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
IV. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar
dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa ( misalnya mampu mengendalikan cuaca,
atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain ).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas, yaitu:2
V. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang maupun yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan ( over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-
bulan terus menerus.
VI. Arus pikiran yang terputus ( break ) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
VII. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (ex-citement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
VIII. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan
atau lebih ( tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal ). Harus ada suatu perubahan
yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek
perilaku pribadi ( personal behaviour ), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri ( self-absorbed attitude ), dan
penarikan diri secara sosial.2
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam
PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi
masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :1,3,4
1. Skizofrenia Paranoid
Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia yaitu dimana halusinasi dan atau waham harus
menonjol, seperti :
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi
auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan
tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control),
dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien skizofrenik
terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Pasien
yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan sosial yang
dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid cenderung lebih
besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan
regresi yang lambat dari kemampuanmentalnya, respon emosional, dan perilakunya
dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah.
Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-
kadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi social. Kecerdasan
mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.
2. Skizofrenia Hebefrenik
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa
muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun). Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas
yaitu pemalu dan senang menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk
menentukan diagnosis. Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan.
3. Skizofrenia Katatonik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia dan satu atau lebih dari perilaku berikut
ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
a) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan
serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi
oleh stimuli eksternal)
c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan mempertahankan
posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau
upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang berlawanan)
e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya menggerakkan
dirinya)
f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam
posisi yang dapat dibentuk dari luar)
g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis terhadap
perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated).
Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam
salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria
diagnostic menurut PPDGJ III yaitu memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia, tidak
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik, dan tidak
memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
5. Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis depresi pasca skizofrenia harus ditegakkan hanya kalau :
a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran
klinisnya)
c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk
episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode
depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus
tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua
yaitu:
a) Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan psikomotorik,
aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan
dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja
sosial yang buruk
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi
kriteria untuk diagnosis skizofenia
c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan
telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia
d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi kronis atau
institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.
7. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari : gejala “negative” yang
khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain
dari episode psikotik, danmdisertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu,
tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis
simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir
biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya
perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan
keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam
pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang
menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia YTT
Epidemiologi
Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu dalam
hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar dua sampai
empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua
juta yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang
mengidap skizofrenia.
Perbandingan antara laki-laki dan perempuan sama besar dan kebanyakan terjadi pada usia
antara 15-35 tahun dan sangat jarang pada usia kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun.
Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16 sampai 25 tahun
pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30
tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.5
Etiologi
Karena banyak ragamnya presentasi gejala dan prognositik skizofrenia, tak ada faktor
etiologik yang unggal yang dianggap kausatif. Model yang paling sering digunakan adalah
model stres-diatesis, yang mengatakan bahwa orang yang menderita skizofrenia memiliki
kerentanan biologik, atau diatesis, yang dicetuskan leh stres dan menimbulkan gejala skizofrenia.
Stress mungkin biologik, genetik, psikososial, atau lingkungan.1
Biologi
Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik ditemukan pada
penderita skizofrenia. Meskipun demikian beberapa gangguan organik dapat terlihat ( telah
direplika dan dibandingkan ) pada subpopulasi pasien. Gangguan yang paling banyak
dijumpai yaitu pelebaran ventrikel tiga dan lateral yang stabil yang kadang-kadang sudah
terlihat sebelum awitan penyakit, atropi bilateral lobus temporal medial dan lebih spesifik
yaitu girus parahipokampus, hipokampus dan amigdala, disorientasi spasial sel piramid
hipokampus, dan penurunan volume korteks prefrontal dorsolateral. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa semua perubahan ini tampaknya statis dan telah dibawa sejak lahir
( tidak ada gliosis ), dan pada beberapa kasus perjalanannya progresif. Lokasinya
menunjukkan gagguan perilaku yang ditemui pada skizofrenia; misalnya gangguan
hipokampus dikaitkan dengan impermen memori dan atropi lobus frontalis dihubungkan
dengan simptom negatif skizofrenia. Penemuan lain yaitu adanya antibodi sitomegalovirus
dalam cairan serebrospinalis ( CSS ), limposit atipikal tipe P ( terstimulasi ), gangguan
fungsi hemisfer kiri, gangguan transmisi dan pengurangan ukuran korpus kolosum,
pengecilan vermis serebri, penurunan aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal
( dilihat dengan PET ), kelainan EEG, EP P300 auditorik ( dengan EEG ), sulit memusatkan
perhatian, dan perlambatan waktu reaksi, serta berkurangnya kemampuan menamakan
benda.
Pada individu yang berkembang menjadi skizofrenia terdapat peningkatan insiden
komplikasi persalinan ( prematur, berat badan lahir rendah (BBLR), lahir pada masa epdiemi
influenza ), lebih besar kecenderungan lahir pada akhir musim dingin atau awal musim
panas, dan terdapat gangguan neurologi minor. Kemaknaan penemuan-penemuan ini belum
diketahui. Bagaimanapun ini menunjukkan adanya dasar biologik dan heterogenitas
skizofrenia.
Biokimia
Etiologi biokimia belum diketahui. Hipotesis yang paling banyak yaitu adanya
gangguan neurotransmiter sentral yaitu terjadinya peningkatan aktivitas dopamin sentral
( hipotesis dopamin ), hipotesis ini dibuat berdasarkan tiga penemuan utama :
1. Efektivitas obat-obat neuroleptik ( misalnya fenotiazin ) pada skizofrenia bekerja
memblok reseptor dopamin pasca sinaps ( tipe D2 ).
2. Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin. Psikosis yang terjadi sukar
dibedakan, secara klinis denga psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin
melepaskan dopamin sentral. Selain itu, amfetamin juga memperburuk skizofrenia.
3. Adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di nukleus kaudatus, nukleus akumben, dan
putamen pada skizofrenia.
Penelitian reseptor D1, D4, dan D5, saat ini tidak banyak memberikan hasil. Teori lain
yaitu peningkatan serotonin di susunan saraf pusat ( terutama 5-HT2A ) dan kelebihan NE di
forebrain limbik ( terjadi pada beberapa penderita skizofrenia ). Setelah pemberian obat
neurotransmitter tersebut terjadi perbaikan klinis skizofrenia.
Genetika
Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara bermakna, komples dan
poligen. Sesuai dengan penelitian hubungan darah ( konsanguinitas ), skizofrenia adalah
gangguan yang bersifat keluarga ( misalnya; terdapat dalam keluarga ). Semakin dekat
hubungan kekerabatan semakin tinggi risiko. Pada penelitian anak kembar, kembar
monozigot mempunyai risiko 4-6 kali lebih sering menjadi sakit bila dibandingkan dengan
kembar dizigot. Pada penelitian adopsi, anak yang mempunyai orang tua skizofrenia
diadopsi, waktu lahir, oleh keluarga normal, peningkatan angka sakitnya sama dengan bila
anak-anak tersebut daisuh sendiri oleh orang tuanya yang skizofrenia.
Frekuensi kejadian gangguan nonpsikotik meningkat pada keluarga skizofrenia dan
secara genetik dikaitkan dengan gangguan keprbadian ambang dan skizotipal ( gangguan
spektrum skizofrenia ), gangguan obsesif-konfulsif, dan kemungkina dihubungkan dengan
gangguan keprbadian paranoid antisosial.
Faktor Keluarga
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan
kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang pulang ke rumah sering relaps pada
tahun berikutnya bila dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan di Panti penitipan.
Pasien yang berisiko adalah pasien yang tinggal bersam keluarga yang hostil,
memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, sangat protektif terhadap pasien, terlalu ikut
campur, sangat pengeritik ( disebut Ekspresi Emosi Tinggi ). Pasien skizofrenia sering tidak
“dibebaskan” oleh keluarganya.
Beberapa peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologis dan aneh pada
keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-samar atau tidak jelas dan sedikit
tak logis. Pada tahun 1956, Betson menggambarkan suatu karakteristik “ikatan ganda” yaitu
pasien sering diminta oleh anggoa kelaurga untuk mersepons pesan yang bentuknya
kontradiktif sehingga membingungkan. Penelitian terbaru menyatakan bahwa pola
komunikasi keluarga tersebut mungkin disebabkan oleh dampak memilik anak skizofrenia.
Patofisiologi
Patofisiologi skizofrenia melibatkan sistem dopaminergik dan serotonergik. Skizofrenia
terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini
mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor
dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari
faktor-faktor tersebut.3 Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizofrenia :3
a. Pada pasien skizofrenia terjadi hiperaktivitas sistem dopaminergik
b. Hiperdopaminegia pada sistem meso limbikà berkaitan dengan gejala posistif
c. Hipodopaminergia pada sistem meso kortis dan nigrostriatalàbertanggungjawab terhadap
gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal.
Gambaran Klinis
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut Bleuler, yaitu
primer dan sekunder. Gejala-gejala primer dapat dibagi sebagai berikut :4
a. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah, isi pikiran).
Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran. Yang terganggu
terutama ialah asosiasi. Kadang-kadang satu ide belum selesai diutarakan, sudah timbul ide
lain. Atau terdapat pemindahan maksud, umpamanya maksudnya “tani” tetapi dikatakan
“sawah”. Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan “merah” bila
dimaksudkan “berani”. Atau terdapat “clang association” oleh karena pikiran sering tidak
mempunyai tujuan tertentu, umpamanya piring-miring, atau “…dulu waktu hari, jauh
memang matahari, lalu saya lari…”. Semua ini menyebabkan jalan pikiran pada skizofrenia
sukar atau tidak dapat diikuti dan dimengerti. Hal ini dinamakan inkoherensi. Jalan pikiran
mudah dibelokkan dan hal ini menambah inkoherensinya. Seorang dengan skizofrenia juga
kecenderungan untuk menyamakan hal-hal, umpamanya seorang perawat dimarahi dan
dipukuli, kemudian seorang lain yang ada disampingnya juga dimarahi dan dipukuli
Kadang-kadang pikiran seakan berhenti, tidak timbul ide lagi. Keadaan ini dinamakan
“blocking”, biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadang-kadang sampai
beberapa hari. Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang lain
didalamnya yang berpikir, timbul ide-ide yang tidak dikehendaki: tekanan pikiran atau
“pressure of thoughts”. Bila suatu ide berulang-ulang timbul dan diutarakan olehnya
dinamakan preseverasi atau stereotipi pikiran. Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering
inkoherensi. Pada inkoherensi sering tidak ada hubungan antara emosi dan pikiran, pada
pikiran melayang selalu ada efori. Pada inkoherensi biasanya jalan pikiran tidak dapat
diikuti sama sekali, pada pikiran melayang ide timbul sangat cepat, tetapi masih dapat
diikuti, masih bertujuan.
b. Gangguan afek dan emosi
Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa kedangkalan afek dan emosi
(“emotional blunting”), misalnya penderita menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal penting
untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa depannya. Gangguan afek dan
emosi lain adalah Emosi yang berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti
penderita yang sedang bermain sandiwara. Yang penting juga pada skizofrenia adalah
hilangnya kemampuan untuk melakukan hubungan emosi yang baik (“emotional rapport”).
Karena itu sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita.
c. Gangguan kemauan
Karena terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan mungkin
terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau
menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi pada afek
gangguan kemauan. Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan.
Mereka tidak dapat mengambil keputusan dan tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan.
Mereka selalu memberikan alasan, meskipun alasan itu tidak jelas atau tepat, umpamanya
bila ditanyai mengapa tidak maju dengan pekerjaan atau mengapa tiduran terus. Atau
mereka menganggap hal itu biasa saja dan tidak perlu diterangkan. Ada pula perilaku sepert
negativisme, ambivalensi kemauan dan otomatisme.
d. Gejala psikomotor
Juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perbuatan. Kelompok gejala ini
oleh Bleuler dimasukkan dalam kelompok gejala skizofrenia yang sekunder sebab didapati
juga pada penyakit lain. Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan
kemauan. Bila gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang
luwes atau yang agak kaku. Penderita dalma keadaan stupor tidak menunjukkan pergerakan
sama sekali. Stupor ini dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang-kadang
bertahun-tahun lamanya pada skizofrenia yang menahun. Mungkin penderita mutistik.
Mutisme dapat disebabkan oleh waham, ada sesuatu yang melarang ia bicara. Mungkin juga
oleh karena sikapnya yang negativistik atau karena hubungan penderita dengan dunia luar
sudah hilang sama sekali hingga ia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi. Kadang juga ada
neologisme logorea dimana pasien menunjukan hiperkinesa. Lalu ada kelainan obsesif
kompulsif pada pasien dengan gejala psikomotor.
Gejala-gejala sekunder yang dapat muncul pada pasien dengan skizofrenia adalah:4
a. Waham
Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizarre. Tetapi
penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya adalah fakta dan tidak dapat
diubah oleh siapapun. Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang bertentangan,
umpamanya penderita berwaham bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main dengan air
ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Mayer gross membagi waham
dalam dua kelompok yaitu waham primer dan waham sekunder, waham sistematis atau
tafsiran yang bersifat waham (delutional interpretations).
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari
luar. Menurur Mayer-Gross hal ini hampir patognomonis buat skizofrenia. Umpamanya
istrinya sedang berbuat serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali,
atau seorang penderita berkata “dunia akan kiamat sebab ia melihat seekor anjing
mengangkat kaki terhadap sebatang pohon untuk kencing. Waham sekunder biasanya logis
kedengarannya dapat diikuti dan merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan
gejala-gejala skizofrenia lain. Waham dinamakan menurut isinya :waham kebesaran atau
ekspansif, waham nihilistik, waham kejaran, waham sindiran, waham dosa, dan
sebagainya.
b. Halusinasi
Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini
merupakan gejala yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan lain. Paling sering pada
keadaan sskizofrenia ialah halusinasi (oditif atau akustik) dalam bentuk suara manusia,
bunyi barang-barang atau siulan. Kadang-kadang terdapat halusinasi penciuman
(olfaktorik), halusinasi citrarasa (gustatorik) atau halusinasi singgungan (taktil).
Umpamanya penderita mencium kembang kemanapun ia pergi, atau ada orang yang
menyinarinya dengan alat rahasia atau ia merqasa ada racun dalam makanannya Halusinasi
penglihatan agak jarang pada skizofrenia lebih sering pada psikosa akut yang berhubungan
dengan sindroma otak organik bila terdapat maka biasanya pada stadium permulaan
misalnya penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka orang yang menakutkan.
Diatas telah dibicarakan gejala-gejala. Sekali lagi, kesadaran dan intelegensi tidak menurun
pada skizofrenia. Penderita sering dapat menceritakan dengan jelas pengalamannya dan
perasaannya. Kadang-kadang didapati depersonalisasi atau “double personality”, misalnya
penderita mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah meja dan menganggap dirinya sudah tidak
adalagi. Atau pada double personality seakan-akan terdapat kekuatan lain yang bertindak sendiri
didalamnya atau yang menguasai dan menyuruh penderita melakukan sesuatu.4
Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan hubungan dengan dunia luar
ia seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya.
Oleh Bleuler depersonalisasi, double personality dan otisme digolongkan sebagai gejala primer.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa otisme terjadi karena sangat terganggunya afek dan
kemauan. Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala klinis skizofrenia
adalah:4
1) Tidak ada symptom atau gejala klinis yang patognomonik untu skizofrenia. Artinya
tidak ada simptom yang khas atau hanya terdapat pada skizofrenia. Tiap simptom
skizofrenia mungkin ditemukan pada gangguan psikiatrik atau gangguan syaraf lainnya.
2) Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari waktu ke waktu. Oleh
karena itu pasien skizofrenia dapat berubah diagnosis subtipenya dari perawatan
sebelumnya (yang lalu). Bahkan dalam satu kali perawatanpun diagnosis subtipe
mungkin berubah.
3) Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan latar belakang sosial
budaya pasien. Sebab perilaku atau pola pikir masyarakat dari sosial budaya tertentu
mungkin dipandang sebagai suatu hal yang aneh bagi budaya lain. Contohnya memakai
koteka di Papua merupakan hal yang biasa namun akan dipandang aneh jika dilakukan
di Jakarta. Selain itu hal yang tampaknya merupakan gangguan realitas mungkin akibat
keterbatasan intelektual dan pendidikan pasien.
Penatalaksanaan (medikamentosa dan non-medikamentosa)
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan
kemungkinan yang lebih besar bahwa penderita menuju ke kemunduran mental. Biarpun
penderita mungkin tidak sempurna sembuh, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik
penderita dapat ditolong untuk berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah ataupun di luar
rumah.
1. Terapi Somatik ( Medikamentosa )
----Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik.
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada
Skizofrenia.
Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat
atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama
diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif
untuk mngobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu
antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine).1,3,4
a. Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik
konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan
efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain Haldol
(haloperidol), Stelazine ( trifluoperazine), Mellaril (thioridazine), Thorazine
( chlorpromazine), Navane (thiothixene), Trilafon (perphenazine) dan Prolixin
(fluphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik
konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical
antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama,
pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan
antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli
merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua,
bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat
diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu
(disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan
terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot
formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsycotic.
b. Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya
berbda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan
antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia,
antara lain Risperdal (risperidone), Seroquel (quetiapine) dan Zyprexa (olanzopine).
Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk menangani pasien-pasien
dengan Skizofrenia
c. Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang
pertama. Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil)
dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek
samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%),
Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan
infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel
darah putihnya secara reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan Clozaril bila
paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.
Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama1
Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia episode
pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena tardive
dyskinesia lebih rendah. Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk
mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain,
para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada
Clozaril)
Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)1
Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk
mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti
minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi,
dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan
obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita berhenti minum obat karena
alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan
tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.
-Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal
ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain, misalnya
antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal
antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan
yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal.
Pengobatan Selama fase Penyembuhan1
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah sembuh.
Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah episode
pertama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia
episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba
menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum
sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat,
bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin beratnya
penyakit.
2. Terapi Psikososial4
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan sosial
untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan
praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian
atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa
dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur
tubuh aneh dapat diturunkan.
b. Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam
keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali
mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari).
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali,
anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena
skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu
optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofrenia dan dari
penyangkalan tentang keparahan penyakitnya.
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa
menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi
keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol,
penurunan angka relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga
sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga.
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah,
dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara
perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok
efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan
cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi
pasien skizofrenia.
d. Psikoterapi individual
-Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam pengobatan
skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu dan menambah efek
terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia
adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien sebagai aman.
Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional
antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan
oleh pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di dalam
pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali sulit dilakukan;
pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan
kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika
seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah
sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih
disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang
merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak
tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau
eksploitasi.
Selain anti psikosis, terapi psikososial ada juga terapi lainnya yang dilakukan di rumah
sakit Yaitu Elektro Konvulsif Terapi (ECT). Terapi ini diperkenalkan oleh Ugo cerleti(1887-
1963). Mekanisme penyembuhan penderita dengan terapi ini belum diketahui secara pasti. Alat
yang digunakan adalah alat yang mengeluarkan aliran listrik sinusoid sehingga penderita
menerima aliran listrik yang terputus putus. Tegangan yang digunakan 100-150 Volt dan waktu
yang digunakan 2-3 detik.
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik dan bagi pasien karena
alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan antipsikotik atau tidak adanya perbaikan setelah
pemberian antipsikotik. Kontra indikasi Elektro konvulsiv terapi adalah Dekompensasio kordis,
aneurisma aorta, penyakit tulang dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas
otot pada pasien dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah tumor
otak. Sebagai komplikasi terapi ini dapat terjadi luksasio pada rahang, fraktur pada vertebra,
robekan otot-otot, dapat juga terjadi apnue, amnesia dan terjadi degenerasi sel-sel otak.4
Komplikasi dan Pencegahan
Paranoid schizophrenia yang tidak ditangani dengan benar dapat menyebabkan
komplikasi-komplikasi sebagai berikut yaitu seperti keinginan atau usaha bunuh diri, perilaku
merusak diri sendiri, depresi, penyalahgunaan alkohol, obat-obatan terlarang, maupun obat yang
diresepkan, kemiskinan dan tuna wisma, pengurungan, misalnya oleh keluarga, konflik
keluarga, tidak mampu bekerja atau bersekolah, masalah kesehatan akibat penggunaan obat
antipsikosis, menjadi pelaku ataupun korban kejahatan, terkena penyakit jantung atau paru-paru.
Dan sampai saat ini tidak ada pencegahan pasti yang dapat dilakukan sebagai prevensi terhadap
terjadinya skizofrenia pada setiap orang.5
Prognosis
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10 tahun
setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skizofrenia, hanya kira-kira 10-
20 % pasien dapat digambarkan memliki hasil yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat
digambarkan memiliki hasil yang buruk, dengan perawatan di rumah sakit yang berulang,
eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat, dan usaha bunuh diri. Walaupun angka-angka
yang kurang bagus tersebut, skizofrenia memang tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang
buruk, dan sejumlah faktor telah dihubungkan dengan prognosis yang baik.4
a. Skizofrenia berprognosis baik berkaitan dengan :4
- Onset akut dengan faktor pencetus jelas
- Riwayat sosial dan pekerjaan premorbid yang baik ( termasuk kemunculan di usia
lebih lanjut )
- Gejala mood ( khususnya premorbid )
- Subtipe paranoid dan katatonik
- Menikah
- Riwayat keluarga gangguan mood
- Predominasi gejala positif
- Konfusi
- Tegang, cemas, hostilitas
b. Skizofrenia berprognosis buruk berkaitan dengan :4
- Kemunculan bertahap ( onset insidious ) tanpa faktor pencetus
- Riwayat sosial dan pekerjaan premorbid yang buruk ( termasuk kemunculan di
usia lebih dini )
- Perilaku menyendiri. Autistik
- Subtipe disorganisasi dan nondifferensiasi
- Tak menikah
- Riwayat keluarga skizofrenia
- Riwayat persalinan sulit
- Adanya tanda dan gejala neurologik. Ini termasuk fungsi kognitif buruk pada uji
neuropsikiatrik formal dan gangguan pada CT dan PET serta pada EEG dan studi
evoked potential.
- Predominan gejala negatif
- Absennya gejala mood atau hostilitas berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Silvia, HG. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. 138-196
2. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa: Ringkasan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: PT.
Nuh Jaya, 2003; 44-143.
3. Kaplan HI, Sadock BJ. Kaplan and sadock’s synopsis of psychiatry ed 9. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2003.84-104
4. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Airlangga University Press; 1995.
5. Morgan M.M. Segi praktis psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara. 1991. 42-52