tindakan tembak ditempat oleh anggota kepolisian …digilib.unila.ac.id/54345/3/tesis tanpa bab...
TRANSCRIPT
TINDAKAN TEMBAK DITEMPAT OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN
TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA DIKAITKAN
DENGAN PERLINDUNGAN HAM
(Studi pada Polda Lampung)
(Tesis)
Oleh :
ADNAN ALIT SUPRAYOGI
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ii
ABSTRAK
TINDAKAN TEMBAK DITEMPAT OLEH KEPOLISIAN TERHADAP
PENGEDAR NARKOTIKA DIKAITKAN
DENGAN PERLINDUNGAN HAM
(Studi Pada Polda Lampung)
Oleh
ADNAN ALIT SUPRAYOGI
Peredaran narkotika secara ilegal sangat meluas termasuk di wilayah Lampung.
Hal ini menjadi pekerjaan penting bagi aparat kepolisian Polda Lampung. Setiap
upaya tindakan aparat kepolisian berpegang pada diskresi. Tindakan tembak
ditempat oleh anggota kepolisian terhadap tersangka dapat dilakukan apabila
tersangka merespon upaya kepolisian dengan tindakan aktif dan agresif. Upaya
tindakan tembak ditempat rentan dikaitkan sebagai pelanggaran HAM. Namun
disisi lain peredaran narkotika menjadi kejahatan luar biasa yang harus segera
ditangani termasuk di wilayah Lampung. Permasalahan dalam penulisan ini
adalah bagaimanakah upaya kepolisian dalam pengungkapan kasus peredaran
narkotika sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM? dan mengapa tindakan
tembak ditempat oleh anggota kepolisian terhadap pengedar narkotika dapat
dikatakan sebagai bentuk pelanggaran HAM?
Metode penelitian penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
empiris. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-
asas hukum, sedangkan pendekatan empiris dilakukan untuk mempelajari hukum
dalam kenyataannya baik berupa penilaian perilaku
Adapun hasil penelitiannya yakni upaya kepolisian dalam pengungkapan kasus
peredaran narkotika sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM yakni
pelaksanaannya harus dipedomani asas legalitas, dan asas kewajiban, serta
kewenangan diskresi kepolisian untuk menilai situasi yang dihadapi anggota
polisi saat itu, apabila dalam keadaan tertentu dapat menggunakan senjata api
sebagai upaya terakhir, dan tindakan tembak ditempat oleh kepolisian terhadap
pengedar narkotika dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran HAM apabila
tindakan tersebut tidak berpedoman pada prinsip hak asasi manusia.
Adapun saran dalam penelitian ini hendaknya Polri melakukan sosialisasi
mengenai tembak ditempat terhadap tersangka pengedar narkotika dan kepada
seluruh lapisan masyarakat dan sebaiknya Polri perlu menambahkan sanksi pidana
bagi anggota kepolisian yang melanggar prosedur tembak ditempat
Kata Kunci: Tembak Ditempat, Pengedar Narkotika, Perlindungan HAM
iii
ABSTRACT
SHOOTING ACTION BY POLICY ON NARKOTIC EDUCATORS
ASSOCIATED WITH PROTECTION OF HUMAN RIGHTS
(Study in Lampung Regional Police)
By
ADNAN ALIT SUPRAYOGI
Illegal narcotics distribution is very widespread including in Lampung. This is an
important job for the Lampung Regional Police. Every effort made by the police
forces adheres to discretion. The act of firing in a place by a police officer against
a suspect can be done if the suspect responds to police efforts with active and
aggressive action. Attempts to shoot in places prone to being associated with
human rights violations. But on the other hand the circulation of narcotics is an
extraordinary crime that must be handled immediately including in the Lampung
region. The problem in this writing is how do the police attempt to disclose
narcotics circulation cases so that there are no human rights violations? and why
is the shooting in place by members of the police against narcotics dealers a form
of human rights violations?
This writing research method uses normative and empirical juridical approaches.
Normative research is carried out on matters that are theoretical in terms of legal
principles, while an empirical approach is carried out to study law in reality in
the form of behavioral assessment.
The results of his research are police efforts in disclosing narcotics circulation
cases so that human rights violations do not occur namely the implementation
must be guided by the principles of legality, and the principle of obligation, as
well as the discretionary authority of the police to assess the situation faced by
police members at that time, if in certain circumstances can use firearms as the
last effort, and the shooting in place by the police against narcotics dealers can
be said to be a form of human rights violations if the action is not guided by the
principle of human rights.
The suggestion in this research should the National Police conduct socialization
about shooting at the place where the suspected drug traffickers and to all levels
of society and preferably the Police need to add criminal sanctions to members of
the police who violate the shooting procedure in place
Keywords: Shoot in the place, Narcotics Dealers, Human Rights Protection
iv
TINDAKAN TEMBAK DITEMPAT OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN
TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA DIKAITKAN
DENGAN PERLINDUNGAN HAM
(Studi Pada Polda Lampung)
Oleh :
ADNAN ALIT SUPRAYOGI
Tesis
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
MAGISTER HUKUM
Pada
Jurusan Sub Program Hukum Pidana
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balinuraga Lampung Selatan, pada
tanggal 11 Maret 1994, yang kemudian diberi nama
Adnan Alit Suprayogi. Penulis merupakan putra ketiga
dari tiga saudara dari pasangan I Nyoman Nandra dan Sri
Murti. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Negeri
3 Balinuraga pada tahun 2006, kemudian melanjutkan
studinya di SMP Dharma Bakti lulus pada tahun 2009, dan penulis melanjutkan
studinya di SMA Negeri 1 Kalianda lulus tahun 2012. Pada tahun 2012 penulis
diterima untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung
(FH Unila), penulis menyelesaikan studi Strata 1 pada tahun 2016, dan ditahun
2016 juga kembali melanjutkan studi Strata 2 di Program Pascasarjana Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung pada konsentrasi Hukum
Pidana.
ix
MOTTO
Jika orang berpegang pada keyakinan, maka hilanglah kesangsian. Tetapi, jika
orang sudah mulai berpegang pada kesangsian, maka hilanglah keyakinan.
(Sir Francis Bacon )
Lebih baik mengerjakan kewajiban sendiri walaupun tidak sempurna daripada
dharmanya orang lain yang dilakukan dengan baik; lebih baik mati dalam tugas
sendiri daripada dalam tugas orang lain yang sangat berbahaya.
(Bhagavad Gita III.35)
x
PERSEMBAHAN
Dengan sejuta kasih,
Kupersembahkan karya kecilku yang teramat berharga dan sederhana ini kepada:
Ayahanda ‘I Nyoman Nandra’ dan Ibunda ‘Sri Murti’ tercinta, yang telah
mencurahkan seluruh cinta, kasih, doa dan peluh keringatnya untuk
keberhasilanku, yang telah menempaku untuk kuat dan tegar dalam menjalani
pelik dan terjalnya kehidupam.
Untuk Kakakku WS Adi Saputra dan Yanatika Sulistyawati
Untuk Kekasihku Ni Wayan Novita Sari.
Untuk Keluarga besar Alm Nyoman Kerud dan Alm Suhono Hadi yang selalu
memberikan dorongan semangat serta doa untuk kesuksesan ku di kemudian hari.
Almamater tercinta Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Lampung
tempatku menuntut ilmu.
xi
SANWACANA
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Pencipta alam semesta yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sebab atas
astung kerta wara nugraha-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis
dengan judul “Tindakan Tembak Ditempat Oleh Anggota Kepolisian Terhadap
Pengedar Narkotika Dikaitkan Dengan Perlindungan HAM (Studi Pada Polda
Lampung)”,
Penulis menyadari dalam tesis ini masih terdapat kekurangan baik dari segi
substansi maupun penulisannya. Oleh karen itu, berbagai saran, koreksi, dan kritik
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan
dan kesempurnaan tesis ini. Hasil ini bukanlah jerih payah sendiri akan tetapi
berkat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun
materil sehingga penulisan tesis ini dapat selesai. Oleh karena itu, di dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan rasa terima kasih
yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku Rektor Universitas
Lampung;
2. Bapak Armen Yasir, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
3. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program Studi
Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung;
xii
4. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. selaku Ketua Sub Program Hukum
Pidana Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Lampung, yang juga sebagai Pembimbing II yang telah memberikan segala
arahan, petunjuk serta motivasi selama proses penulisan Tesis ini;
5. Bapak Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I atas
segala arahan, petunjuk serta motivasi selama proses penulisan Tesis ini;
6. Bapak Prof. Dr. Sanusi Husin, S.H., M.H. selaku Penguji atas kritik dan saran
yang telah diberikan;
7. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H. selaku Penguji atas kritik dan saran yang
diberikan selama penulisan tesis ini;
8. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H. selaku Penguji atas kritik dan saran
yang diberikan selama penulisan tesis ini;
9. Dosen Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas
Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat;
10. Narasumber atas bantuan informasi yang diberikan dalam penulisan tesis ini;
11. Untuk Orang Tuaku tercinta, Ayahanda Nyoman Nandra dan Ibunda Sri
Murti Terima kasih atas cinta kasih kalian yang telah mendidik dan
membimbingku dengan baik;
12. Untuk Kakak-kakakku WS Adi Saputra & Dewi Anggraini, Yanatika
Sulistyawati & Made Indra yang selalu menjadi panutanku;
13. Keponakanku tersayang Jyoti, Kafi, Azil, Adhisti;
14. Keluarga Besar Alm. Nyoman Kerud yang telah memberikan doa dan
dukungan bagi keberhasilan penulis;
xiii
15. Keluarga Besar Alm. Suhono Hadi yang selalu memberikan doa dan
dukungan bagi keberhasilan penulis;
16. Adik-adikku Gede Dian A.P & Ni Made Ita Dwijayani yang selalu
memberikan doa dan dukungan;
17. Kekasihku Ni Wayan Novita Sari yang selalu setia hingga sekarang
menemani dalam berproses hingga pencapaian saat ini;
18. Seluruh teman-temanku di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Lampung angkatan 2016;
19. Seluruh pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan
skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
20. Almamater tercinta.
Akhir kata, penulis berharap Tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan semua pihak yang berkepentingan pada umumnya untuk kehidupan yang
lebih baik dan bermanfaat bagi semua.
Semoga Sang Hyang Widhi merestui segala usaha dan ketulusan yang diberikan
kepada penulis.
Bandar Lampung, September 2018
Penulis,
Adnan Alit Suprayogi, S.H.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL LUAR ................................................................................................ i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
JUDUL DALAM ............................................................................................ iv
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... v
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... vi
SURAT PERNYATAAN ............................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ viii
MOTTO .......................................................................................................... ix
PERSEMBAHAN ........................................................................................... x
SANWACANA ............................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup..................................................... 10
1. Permasalahan ........................................................................... 10
2. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 10
1. Tujuan Penelitian ...................................................................... 10
2. Kegunaan Penelitian ................................................................. 11
D. Kerangka Pemikiran........................................................................... 12
1. Alur Pikir .................................................................................. 12
xv
2. Kerangka Teoritis ..................................................................... 13
3. Konseptual ................................................................................ 25
E. Metode Penelitian .............................................................................. 26
1. Pendekatan Masalah ................................................................. 26
2. Sumber dan Jenis Data ............................................................. 27
3. Penentuan Narasumber ............................................................. 28
4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data .......................... 29
5. Analisis Data ............................................................................ 30
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 30
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tata Cara Penggunaan Senjata Api oleh Aparat Kepolisian ............. 32
B. Tembak Di Tempat Oleh Polri ........................................................... 39
C. Profesionalitas Dan Pengendalain Diri Terhadap Tindakan Tembak
Di Tempat Oleh Polisi ....................................................................... 50
D. Teori Diskresi Kepolisian .................................................................. 55
E. Penegakan Hukum Oleh Kepolisian .................................................. 61
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Upaya Kepolisian Dalam Pengungkapan Kasus Peredaran Narkotika
Sehingga Tidak Terjadi Pelanggaran HAM ........................................ 66
B. Tindakan Tembak Di Tempat Oleh Anggota Kepolisian Terhadap
Pengedar Narkotika Dapat Dikatakan Sebagai Bentuk Pelanggaran
HAM ................................................................................................... 79
xvi
IV. PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................. 103
B. Saran ................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini narkotika menjadi masalah yang kompleks. Disatu sisi ketersediaan
narkotika sangat diperlukan bagi kepentingan medis namun disisi lain narkotika
kini diedarkan secara bebas tanpa izin dan sering disalahgunakan oleh oknum-
oknum yang tidak bertanggungjawab. Tindak pidana yang menyangkut narkotika
merupakan tindak pidana khusus yang menyebar secara Nasional dan
Internasional, karena penyalahgunaannya berdampak negatif dalam kehidupan
masyarakat, bangsa dan Negara. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum
dikenal antara lain :1
(1). Penyalahgunaan melebihi dosis; (2). Pengedaran; dan (3). Jual beli narkotika.
Persoalan mengenai narkotika semakin lama semakin meningkat. Narkotika
menjadi persoalan nasional bahkan internasional karena akibat dan dampak yang
ditimbulkan telah meluas ke seluruh negara. Secara nasional perdagangan
narkotika telah meluas kedalam setiap lapisan masyarakat, mulai lapisan
masyarakat atas sampai masyarakat bawah.2
Dari segi usia, narkotika tidak dinikmati golongan remaja saja, tetapi juga
golongan setengah baya maupun golongan usia tua. Penyebaran narkotika sudah
1Moh. Taufik Makaro, dkk., Tindak Pidana Narkotika, Bogor, Ghalia, 2005, hlm. 45.
2 Nurmalawaty, Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba,
Majalah Hukum USU Vol. 9 No. 2 Agustus 2004, hlm.188.
2
tidak lagi hanya di kota besar, tetapi sudah masuk kota- kota kecil dan merambah
di kecamatan bahkan desa-desa.3
Peredaran narkotika secara ilegal harus segera ditanggulangi mengingat efek
negatif yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya, tetapi juga bagi
keluarga, komunitas, hingga bangsa dan negara. Meningkatnya tindak pidana
narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para
pengedar menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai
menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang
dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu
menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan
sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian.4
Inilah yang menjadi pekerjaan rumah yang harus ditanggulangi oleh pihak
kepolisian dalam memberantas peredaran narkotika akan tetapi pihak kepolisian
dalam menjalankan kewajibannya memberantas narkotika harus berlandaskan
HAM dan tidak melanggar prinsip-prinsip penegakan hukum. Pada dasarnya
tindakan tembak ditempat tidak hanya upaya terakhir yang dapat dilakukan hanya
terhadap tersangka tindak pidana peredaran narkotika melainkan juga terhadap
tersangka tindak pidana lainnya apabila si tersangka merespon upaya kepolisian
dengan tindakan yang aktif dan agresif. Setiap melakukan tindakan, aparat
kepolisian mempunyai kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri dan
hal inilah yang terkadang disalahgunakan oleh aparat Kepolisian. Kewenangan ini
tertulis di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
3 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung,
2003, hlm. 2. 4 Moh. Taufik Makarao, Op.cit. 2003, hlm. 6
3
Kepolisian Negara Republik Indonesia berisi : “Untuk kepentingan umum pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Pasal ini dapat
disebut dengan kewenangan diskresi. Adapun pengertian diskresi Kepolisan
menurut Thomas J. Aaron adalah ”Suatu wewenang yang diberikan kepada
Polisi,untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu yang membutuhkan
pertimbangan sendiri dan menyangkut masalah moral, serta terletak dalam garis
batas antara hukum dan moral”.5
Dalam melakukan tugas nya, tak jarang pihak kepolisian melakukan tindakan
tembak di tempat terhadap pelaku yang diduga kuat sebagai pengedar narkotika.
Tindakan tembak ditempat itu sendiri merupakan perbuatan berupa melepaskan
peluru dari senjata api oleh pihak kepolisian terhadap tersangka disuatu tempat
atau lokasi. Secara formal prosedur penggunaan senjata api telah diatur dalam
Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam
Tindakan Kepolisian.
Pasal 5 ayat (1) menyatakan “Tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan
kepolisian terdiri dari :
a. Tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan
b. Tahap 2 : perintah lisan
c. Tahap 3 : kendali tangan kosong lunak
d. Tahap 4 : kendali tangan kosong keras
e. Tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata,
semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri
f. Tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang
menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang
dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota polri atau anggota
masyarakat.”
5 M.Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,
Jakarta, 1991, hlm.16
4
Dalam pelaksanaannya haruslah sesuai dengan ketentuan tersebut dan tidak
bertentangan dengan perundang-undangan lain yang berlaku. Tentu dalam
prosedur formal menjadi standar operasional prosedur dalam pelaksanaan tugas
kepolisian, akan tetapi kebijakan di lapangan sangat menentukan apa yang
dilakukan oleh seorang polisi. Sebab, selain kebijakan formal ada kebijakan
informal di satuan kerja kepolisian, umpamanya yang bersifat situasional. Yaitu
penggunaan senjata api serta eksekusi tanpa proses hukum semestinya.
Polisi dalam menangani kasus yang bersifat individual diperlukan tindakan
individual pula. Berdasarkan karakter profesi yang seperti itu, kepolisian
memberlakukan prinsip atau asas diskresi. Dengan prinsip diskresi ini, seorang
polisi boleh dan dapat mengambil keputusan dan tindakan sendiri, berdasarkan
pertimbangan individual. Seorang polisi yang sedang melakukan operasi dapat
memutuskan sendiri, apakah ia perlu menembak atau tidak.
Menurut Sutanto, penerapan atas asas diskresi tidak semudah teori, terutama
berkaitan dengan pertanggungjawaban pasca tindakan. Seorang polisi yang
mengambil keputusan untuk menembak seseorang tersangka kemudian harus
mempertanggung jawabkan keputusan itu kepada atasannya dan ia harus dapat
memberikan alasan mengapa perlu menembak tersangka. Tetapi mungkin saja
terjadi hal yang sebaliknya, yaitu jika seorang polisi tidak melakukan penembakan
dan ternyata tersangka lolos dari pengejaran atau dalam situasi lain dimana ia
tidak menembak, padahal seorang penjahat mengancam nyawa oarng lain dengan
senjata, dalam hal ini, ia tetap harus mempertanggungjawabkan keputusan
5
mengapa ia tidak menarik pelatuk senjatanya.6
Disisi lain tindakan tembak di tempat oleh pihak kepolisian dapat dikualifikasikan
sebagai pelanggaran terhadap hak yaitu hak perlindungan atas integritas fisik dan
mental seseorang (the protection of the physical and mental integrity of the
person).
Ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-undang No 39 Tahun 2009 Tentang HAM
menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.” Dengan demikian, hak
tersebut merupakan hak yang bersifat konstitusional. Maka pemajuan,
perlindungan serta pemenuhannya menjadi komitmen konstitusional pula.
Indonesia juga telah mengesahkan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan
atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat
manusia melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998. Selain itu dalam UUD
1945 pengaturan terhadap konsep HAM memiliki tempat tersendiri yakni pada
Bab XA tentang HAM, ditambah beberapa pasal diluar bab tersebut yang tetap
memuat materi HAM, seperti Pasal 28A tentang hak hidup.
Terdapat beberapa peristiwa tindakan tembak di tempat oleh pihak kepolisian
sebagai berikut:
Pertama, dalam kenyataannya, yang disebut sebagai diskresi penggunaan senjata
api juga terjadi pada kasus dugaan pidana umum, seperti yang dilakukan seorang
polisi di Lubuklinggau, Sumatera Selatan, April lalu, yang menembak satu
keluarga yang tengah melaju di dalam mobil.
6 Sutanto, Manajemen Investigasi, Pensil, Jakarta, 2008 hlm. 75
6
Polisi yang melepas tembakan tersebut mengaku mengaku curiga dengan mobil
yang disebutnya tak berhenti kala melewati razia kepolisian. Sementara itu
peneliti reformasi pengadilan kriminal dari Institute for Criminal Justice Reform,
Erasmus Napitupulu, menyebut diskresi polisi terhadap terduga pengedar
narkotika kerap tak sesuai aturan tersebut.
Kedua, salah satu kasus di Bandar Lampung yakni sala satu terduga bandar
narkotika yang ditembak mati anggota Subdit 2 Direktorat Narkoba Polda
Lampung Ridho Aures akan menggugat Polda Lampung. Pasalnya pihak keluarga
menilai banyak kejanggalan atas kasus yang menimpa mahasiswa semester akhir,
Universitas Bandar Lampung (UBL) tersebut. Mereka minta Kapolri dan Propam
Mabes Polri turun menyelidiki kasus tersebut.7
Para penegak hukum di Indonesia telah berupaya penuh melakukan penegakan
hukum terhadap para pelaku peredaran gelap narkotika meskipun belum secara
tuntas. Penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika tidaklah mudah
karena kejahatan ini memiliki modus operandi yang sangat canggih sehingga para
pelakunya dapat bekerja dalam sebuah jaringan dengan sistem komunikasi
terputus yang menyebabkan antara penjual maupun pembeli narkotika tidak
bertemu sama sekali atau bahkan hampir tidak saling mengenal satu sama lain.
Ketiga, kasus dua bandar narkoba ditembak polisi mereka berusaha mengedarkan
6 kilogram narkotika jenis sabu kristal di Lampung, dua tersangka tewas saat
penggerebekan tim Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung. Kepala
BNN Lampung Brigjen Tagam Sinaga menjelaskan, kedua pelaku, Wiko dan
7https://www.kupastuntas.co/2017/05/10/keluarga-terduga-bandar-narkoba-yang-ditembak-mati-
akan-gugat-polda-lampung/. diakses pada Tanggal 03 April 2018
7
Alam, tewas ditembak karena melawan petugas saat hendak ditangkap. Pelaku
meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. "Tersangka merupakan target
operasi kami sejak lama, komplotan ini dikendalikan oleh penghuni lapas,"
Tersangka Wiko tewas saat sedang melakukan transaksi kedua yang berperan
sebagai kurir, sedangkan Alam adalah pengendali kurir. Barang haram itu akan
dibawa dan diedarkan di Provinsi Lampung.8
Keempat, Toni Sapujagat yang diduga bandar sabu-sabu di Menggala tewas
diterjang peluru aparat saat penggerebekan. Toni sempat melakukan perlawanan
menggunakan pistol FN sebelum akhirnya peluru menerjang dada dan pahanya.
Wakil Direktur Reserse Narkoba Polda Lampung Ajun Komisaris Besar Yani
Sudarto menjelaskan, pihaknya menduga ada beberapa aset milik Toni hasil dari
pencucian uang tindak pidana narkotika.9
Kelima, Dua dari tiga pelaku pengedar Narkoba jenis sabu-sabu. lintas provinsi,
berhasil diringkus jajaran Anggota gabungan Sektor Tulangbawang Udik, Polres
Tulang Bawang, dan Polres Lampung Tengah. di Tiyuh gunung menanti,
Kecamatan Tumijajar, Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba) pada (20/3)
senin malam lalu. Sebelumnya, ketiga pelaku tersebut telah masuk dalam Daptar
Pencarian orang (DPO) dengan masing-masing inisial dari pelaku AD,OD,
sementara PK, berhasil melarikan diri saat penangkapan. Diketahui, ketiga
tersangka itu berasal dari sumatera selatan.
Berdasarkan kasus-kasus tersebut maka upaya penegakan hukum oleh pihak
kepolisian di setiap daerah tidak berbeda dikarenakan telah berpedoman pada
8https://regional.kompas.com/read/2018/04/13/19181051/bnn-lampung-tembak-mati-dua-
pengedar-6-kilogram-sabu, diakses pada Tanggal 18 April 2018 9http://www.tribunnews.com/regional/2015/02/26/polda-lampung-dalami-kepemilikan-harta-toni-
sapujagat-yang-tewas-diterjang-peluru. Tanggal 16 April 2018
8
peraturan kepolisian. Pada dasarnya penggunaan kekerasan oleh polisi baik secara
sah (lewat undang-undang) maupun dengan penyalahgunaan kekuasaan tidak
dibenarkan sekali dalam praktek. Eigon Bitter dalam bukunya the function of the
police in modern society menyatakan bahwa penggunaan kekerasan secara sah
oleh polisi praktis tidak ada artinya dan secara labih menarik Eigon Bitter
mengatakan bahwa pemberian kekuasaan kepada polisi untuk menggunakan
kekerasan dalam tugasnya itu, tidak penting sama sekali bila dikaitkan dengan
usaha untuk menghadapi penjahat.10
Asas yang mengatur perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang
terdapat didalam Undang-Undang ini adalah perlindungan terhadap asas praduga
tak bersalah. Asas praduga tak bersalah merupakan salah satu perwujudan hak
asasi manusia. Dalam UUD 1945, asas praduga tak bersalah tidak dicantumkan
secara tegas dalam satu pasal tertentu. Akan tetapi Mien Rukmini berpendapat
bahwa di dalam rumusan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 seolah-olah terkandung
makna dari asas praduga tak bersalah. Pasal tersebut mengandung pengertian
bahwa ketentuan itu dapat memberikan jaminan kepada setiap warga negara atas
keamanan pribadi dimana setiap orang mempunyai status sama baik di depan
hukum maupun pemerintahan, dan juga dalam kewajiban untuk menjunjung
hukum dan pemerintahan.11
Kepolisian dalam melakukan penangkapan haruslah berpegang pada asas praduga
bersalah. Pihak kepolisian harus yakin bahwa orang yang akan ditangkap
merupakan diduga kuat pelaku suatu tindak pidana yang didasarkan baik itu dari
10
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2013, hlm. 295 11
MienRukmini, Perlindungan HAMmelalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan
Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hlm.
21
9
laporan atau penemuan bukti permulaan yang cukup. Sehingga tindakan
kepolisian terkait tembak di tempat merupakan tindakan yang dapat
dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM. Namun disisi lain peredaran
narkotika secara ilegal telah menjadi kejahatan luar biasa yang dapat merusak
generasi penerus bangsa.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Tindakan Tembak Ditempat Oleh Anggota Kepolisian
Terhadap Pengedar Narkotika Dikaitkan Dengan Perlindungan HAM (Studi
Pada Polda Lampung)”
10
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
adalah:
a. Bagaimanakah upaya kepolisian dalam pengungkapan kasus peredaran
narkotika sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM ?
b. Mengapa tindakan tembak di tempat oleh anggota kepolisian terhadap
pengedar narkotika dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran HAM ?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada kajian ilmu hukum pidana dan
hukum acara pidana yang mengkaji mengenai tindakan tembak ditempat oleh
anggota kepolisian terhadap pengedar narkotika dikaitakan dengan perlindungan
HAM, penelitian ini juga mengkaji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang KUHAP dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia. Studi penelitian ini diambil di wilayah Polda Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk menganalisis dan memahami upaya kepolisian dalam pengungkapan
kasus peredaran narkotika sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM.
b. Untuk menganalisis dan memahami tindakan tembak di tempat oleh anggota
kepolisian terhadap pengedar narkotika dapat dikatakan sebagai bentuk
pelanggaran HAM.
11
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis, Kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan
kemampuan daya nalar dan daya pikir yang sesuai dengan disiplin ilmu
pengetahuan yang dimiliki untuk dapat mengungkapkan secara obyektif
melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap permasalahan yang ada,
khususnya masalah yang berkaitan dengan aspek hukum pidana terhadap
tindakan tembak ditempat oleh anggota kepolisian terhadap pengedar
narkotika dikaitakan dengan perlindungan HAM.
b. Secara Praktis, sebagai sumber informasi atau bahan pembaca pembanding
seperti hakim, advokat, jaksa, terdakwa, mahasiswa, dan pihak yang
membutuhkan dalam melakukan penelitian, dan juga sebagai salah satu syarat
dalam menempuh ujian di Magister Hukum Universitas Lampung.
12
D. Kerangka Pemikiran
1. Alur Pikir
Tindakan anggota Kepolisian Dalam
Melakukan Tembak di Tempat
Kepada Pengedar Narkotika
Hak Asasi Manusia
PEMBAHASAN
Penerapan Tembak di
Tempat Oleh Pihak
Kepolisian Dikaitkan
Dengan Hak Asasi
Manusia
Mekanisme
Kepolisian Dalam
Mengungkap Kasus
Narkotika
Teori Diskresi
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009
Tentang Implementasi Prinsip Dan
Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia
Diskresi
13
2. Kerangka Teoritis
a. Teori Diskresi Kepolisian
Diskresi Kepolisian pada dasarnya merupakan kewenangan Kepolisian yang
bersumber pada asas Kewajiban umum Kepolisian ( Plichtmatigheids beginsel)
yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk
bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri , dalam rangka
kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan
umum.
Diskresi Kepolisian di Indonesia secara yuridis diatur pada pasal 18 UU No 2
2002 yaitu “ Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri “ , hal tersebut mengandung maksud bahwa seorang anggota
Polri yang melaksanakan tugasnnya di tengah tengah masyarakat seorang diri,
harus mampu mengambil keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila
terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila timbul bahaya
bagi ketertiban dan keamanan umum.
Diskresi Polisi dapat pula diartikan sebagai wewenang Pejabat Polisi untuk
memilih bertindak atau tidak bertindak secara legal atau ilegal dalam menjalankan
tugasnya. Diskresi membolehkan seorang Polisi untuk memilih diantara berbagai
peran (memelihara ketertiban, menegakkan hukum atau melindungi masyarakat)
taktik (menegakkan Undang-Undang Lalu Lintas dengan berpatroli atau berjaga
pada suatu tempat) ataupun tujuan (menilang pelanggar atau menasehatinya)
dalam pelaksanaan tugasnya.
14
Seorang pejabat Polisi dapat menerapkan diskresi dalam berbagai kejadian yang
dihadapinya sehari-hari tetapi berbagai literatur tentang diskresi lebih difokuskan -
kepada penindakan selektif (Selective Enforcement) yaitu berkaitan dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi apakah seorang pelanggar hukum akan ditindak atau
tidak. Diskresi pada umumnya dikaitkan kepada dua konsep yaitu penindakan
selektif dan patroli terarah (Directed Patrol).
Diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan
hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan
pertimbanganpertimbangan moral dari pada pertimbangan hukum.12
Diskresi
menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, di
mana penilaian pribadi juga memegang peranan. Diskresi kepolisian adalah suatu
wewenang menyangkut pengambilan suatu keputusan pada kondisi tertentu atas
dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seorang anggota kepolisian.13
Kekuasaan diskresi yang dimiliki polisi menunjukkan polisi memiliki kekuasaan
yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan di mana keputusannya bisa
di luar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan
oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa
satu hal yang dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian atau lembaga lain dalam
melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh
hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati
instansi atau petugas sendiri.
12
M. Faal., Op.cit., 1991, hlm. 23. 13
F. Anton Susanto, Kepolisan dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, 2004, hlm. 12
15
Pelaksanaan diskresi oleh polisi tampak terkesan melawan hukum, namun hal itu
merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada polisi guna
memberikan efisiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar,
selanjutnya diskresi memang tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi tidak dapat
dihilangkan dan tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi merupakan bagian
integral dari peran lembaga atau organisasi tersebut. Namun, diskresi bisa dibatasi
dan dikendalikan, misalnya dengan cara diperketatnya perintah tertulis serta
adanya keputusan terprogram yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut
tindakan diskresi. Persoalannya, keputusan-keputusan tidak terprogram sering
muncul dan membuka pintu lebar-lebar bagi pengambilan diskresi.14
Diskresi meskipun dapat dikatakan suatu kebebasan dalam mengambil keputusan,
akan tetapi hal itu bukan hal yang sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi.
Diskresi itu disamakan begitu saja dengan kesewenang-wenangan untuk bertindak
atau berbuat sekehendak hati polisi. Menurut H.R. Abdussalam15
, tindakan yang
diambil oleh polisi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan
pada prinsip moral dan prinsip kelembagaan, sebagai berikut:
a) Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada
seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan;
b) Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan institusional dari polisi akan lebih
terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga
menimbulkan rasa tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada
hukum.
14
Ibid. hlm. 17 15
H.R. Abdussalam. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum, Restu
Agung, Jakarta, 2009, hlm. 51
16
Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas,
maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas,
terutama di dalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari
penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas
kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri.
Sebagai contoh di dalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan
penyidikan didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi
penyelidikan ini merupakan alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa
yang terjadi apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Untuk mencegah
tindakan sewenang-wenang atau arogansi petugas yang didasarkan atas
kemampuan atau pertimbangan subyektif. Menurut Satjipto Raharjo , tindakan
diskresi oleh polisi dibatasi oleh:16
a) Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan;
b) Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian;
c) Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu
gangguan atau tidak terjadinya kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar;
d) Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan
keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar
kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.
Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi itu biasanya sudah banyak dimengerti
oleh komponen-komponen fungsi di dalam sistem peradilan pidana. terutama oleh
16
Satjipto Raharjo, Polisi Pelaku dan Pemikir, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm. 12-
13
17
jaksa. Menurut M. Faal17
, langkah kebijaksanaan yang diambil oleh polisi itu.
Biasanya dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a) Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding dengan
hukum positif yang berlaku;
b) Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban
dan masyarakat;
c) Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat dari pada semata-mata
menggunakan hukum positif yang ada;
d) Atas kehendak mereka sendiri;
e) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum Adanya diskresi kepolisian
akan mempermudah polisi di dalam menjalankan tugasnya, terutama pada saat
penyidikan di dalam menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang efisien
jika dilanjutkan ke proses selanjutnya.
Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, prinsip-prinsip
penggunaan kekuatan sebagai batas dalam tindakan kepolisian (diskresi) adalah:
a) Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan
hukum yang berlaku;
b) Nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila
memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang
dihadapi;
17
M. Faal. Op.cit 1991. hlm. 26-27
18
c) Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan
secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau
respon anggota polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/
penderitaan yang berlebihan;
d) Kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota polri diberi kewenangan untuk
bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga,
memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum;
e) Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan;
f) Masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil
dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau
perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahaya terhadap
masyarakat.
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Dalam melaksanakan tugas
di lapangan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sering dihadapkan
pada situasi, kondisi atau permasalahan yang mendesak, sehingga perlu
melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian harus dilakukan
dengan cara yang tidak bertentangan denga aturan hukum, selaras dengan
kewajiban hukum dan tetap menghormati/menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
19
b. Tahapan Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian
Dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan
Dalam Tindakan Kepolisian. Pasal 5 ayat (1) menyatakan Tahapan penggunaan
kekuatan dalam tindakan kepolisian terdiri dari:
1) Tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan
2) Tahap 2 : perintah lisan
3) Tahap 3 : kendali tangan kosong lunak
4) Tahap 4 : kendali tangan kosong keras
5) Tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata,
semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri
6) Tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang
menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang
dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota
masyarakat.
Lebih rinci penggunaan senjata api diatur dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun
2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terdapat
pada beberapa pasal yakni sebagai berikut:
Pasal 45
Setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan dengan menggunakan kekuatan/
tindakan keras harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu;
b. tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan
c. tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah;
20
d. tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk
menggunakann kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;
e. penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan
secara proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum;
f. penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras
harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi;
g. harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan
tindakan keras; dan
h. kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus
seminimal mungkin.
Pasal 47
(1) Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar
diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
(2) Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
a. dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan
melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah
yang lebih lunak tidak cukup.
21
Pasal 48
Setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan kepolisian dengan menggunakan
senjata api harus memedomani prosedur penggunaan senjata api sebagai berikut:
a. petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas dan
proporsionalitas.
b. sebelum menggunakan senjata api, petugas harus memberikan peringatan
yang jelas dengan cara:
1. menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang
bertugas;
2. memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran
untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya; dan
3. memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.
c. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan
dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain
disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak perlu
dilakukan.
Pasal 49
(1) Setelah melakukan penindakan dengan menggunakan senjata api, petugas
wajib:
a. mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api;
b. memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak;
c. memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan
senjata api; dan
d. membuat laporan terinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.
22
(2) Dalam hal terdapat pihak yang merasa keberatan atau dirugikan akibat
penggunaan senjata api oleh petugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka:
a. petugas wajib membuat penjelasan secara rinci tentang alasan penggunaan
senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat dari tindakan yang telah
dilakukan;
b. pejabat yang berwenang wajib memberikan penjelasan kepada pihak yang
dirugikan; dan
c. tindakan untuk melakukan penyidikan harus dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
c. Kajian Teori Perlindungan Hukum
Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori
hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles
(murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam
menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan
abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran
ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara
internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum
dan moral.
Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah ketentuan akal
yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh orang
yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan. Eksistensi dam konsep hukum
alam selama ini, masih banyak dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian besar
filosof hukum, tetapi dalam kanyataann justru tulisan-tulisan pakar yang menolak
23
itu, banyak menggunakan paham hukum alam yang kemungkinan tidak
disadarinya.
Salah satu alasan yang mendasari penolakkan sejumlah filosof hukum terhadap
hukum alam, karena mereka masih mengganggap pencarian terhadap sesuatu yang
absolut dari hukum alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak
bermanfaat.18
Terjadi perbedaan pandangan para filosof tentang eksitensi hukum
alam, tetapi pada aspek yang lain juga menimbulkan sejumlah harapan bahwa
pencarian pada yang “absolut” merupakan kerinduan manusia akan hakikat
keadilan. Hukum alam sebagai kaidah yang bersifat “universal, abadi, dan berlaku
mutlak”, ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang
terbukti dengan semakin banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi
manusia (HAM).19
Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah cerminan
dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah
hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu
pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang-
undangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan,
merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi
dari hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya
hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak
teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa
18
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 116 19
Ibid, hlm. 116
24
ke masa. Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas
yang berisfat universal yang bisa disebut HAM.20
Berbicara mengenai hak asasi manusia atau HAM menurut Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pada dasarnya setiap
manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (TYME) yang
secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu kebebasan, hak hidup, hak untuk
dilindungi, dan hak yang lainnya.
Hal ini senada dengan prinsip hukum alam pada abad ke-18 yaitu kebebasan
individu dan keutamaan rasio, salah satu penganutnya adalah Locke, menurut
Locke teori hukum beranjak dari dua hal di atas yaitu kebebasan individu dan
keutamaan rasio. Ia juga mengajarkan pada kontrak sosial.
Menurutnya manusia yang melakukan kontrak sosial adalah manusia yang tertib
dan menghargai kebebasan, hak hidup dan pemilikan harta sebagai hak bawaan
manusia. Menurut Locke masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak
melanggar hak-hak dasar manusia. Menurut locke, hak-hak tersebut tidak ikut
diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan. Oleh karena itu,
kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial, dengan sendirinya tidak
mungkin bersifat mutlak.
20
Ibid, hlm. 116
25
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di
lembaga peradilan.21
Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang
diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari
hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum,
meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang,
namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.22
Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang
dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun
penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan
serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
3. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam penelitian23
. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari
istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Tindakan merupakan upaya paksa dan/atau tindakan lain yang dilakukan
secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah,
21
Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat
Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, : Universitas
Brawijaya, Malang, 2010, hlm. 18 22
Ibid, hlm. 18 23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Press Jakarta, 1993,
hlm. 112.
26
menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam
keselamatan, atau membahayakan jiwa raga, harta benda atau kehormatan
kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya
ketenteraman masyarakat.
b. Tembak di Tempat adalah melepaskan peluru dan sebagainya dari senjata api
pada situasi tertentu.
c. Anggota Kepolisian adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
d. Pengedar Narkotika adalah orang yang mengedarkan, membawa narkotika
dari orang yang satu kepada yang lainnya secara ilegal.
e. Perlindungan HAM adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia yang
harus dilindungi karena hak asasi manusia sangat penting dalam Negara yang
penuh kriminalitas supaya kekerasan berlebihan tidak terjadi.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk
memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau
kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk
memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan
realitas yang ada.24
Berdasarkan pengertian tersebut, pendekatan yuridis normatif
dan yuridis empiris digunakan untuk memahami persoalan mengenai bagaimana
47
Ibid, hlm. 41.
27
upaya kepolisian dalam pengungkapan kasus peredaran narkotika sehingga tidak
terjadi pelanggaran HAM dan mengapa tindakan tembak ditempat oleh anggota
kepolisian dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM.
2. Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh penulis secara langsung dari
lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden,
yakni anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia pada polda Lampung
dan akademisi di wilayah lampung, untuk mendapatkan data yang diperlukan
dalam penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber
hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder
dalam penelitian ini, terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer bersumber dari:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
(3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
28
(4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
(5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
(6) Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan
dalam Tindakan Kepolisian.
(7) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip
dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang
melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang
sesuai dengan masalah dalam penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti
teori/pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum,
dokumentasi, media masa, kamus hukum dan sumber dari internet.
3. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah orang yang dapat memberi informasi yang dibutuhkan oleh
peneliti, dengan demikian maka dalam penelitian ini penentuan narasumber yang
akan diwawancarai sangat penting guna mendapatkan informasi terkait yang
diteliti. Sebagaimana tersebut diatas maka narasumber dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Anggota Kepolisian di wilayah Polda Lampung = 2 orang
2) Dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +
Jumlah = 3 orang
29
4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan
seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta
melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait
dengan permasalahan.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara
(interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai
data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas
dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data
selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam
penelitian ini.
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-
kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-
benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
30
c. Sistematisasi, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan
merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada sub pokok pembahasan
sehingga mempermudah interpretasi data.
5. Analisis Data
Analisis data merupakan langkah lanjut setelah melakukan penelitian. Menurut
Soerjono Soekanto, analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat
yang tersusun secara sistematis, jelas, dan terperinci yang kemudian
diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan
kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang
bersifat khusus ke hal-hal yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini.25
F. Sistematika Penulisan
Bab I. Pendahuluan Bab ini akan diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka
Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II. Tinjauan Pustaka, merupakan Bab yang berisi landasan teori yang
melatar belakangi penulisan di dalamnya memuat tentang tata cara penggunaan
senjata api oleh kepolisian, profesionalitas dan pengendalian diri terhadap
tindakan tembak ditempat oleh polisi, teori diskresi kepolisian, serta upaya
penegakan hukum oleh kepolisian.
25
Ibid. hlm. 121.
31
Bab III. Hasil Penelitian dan Pembahasan, merupakan bab yang berisi tentang
pembahasan dari hasil penelitian yang telah diperoleh terhadap permasalahan
dalam penelitian yaitu upaya kepolisian dalam pengungkapan kasus peredaran
narkotika sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM dan mengapa tindakan tembak
di tempat oleh anggota kepolisian terhadap pengedar narkotika dapat dikatakan
sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Bab IV. Penutup Bab ini Berisi kesimpulan dan saran, kesimpulan yang
diperoleh dari seluruh analisa penelitian dari uraian Bab I sampai Bab III yang
merupakan jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta saran yang
relevan dengan obyek penelitian demi perbaikan dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
32
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tata Cara Penggunaan Senjata Api oleh Aparat Kepolisian
Polisi merupakan alat Negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri. Dalam upaya terwujudnya hal tersebut, maka polisi pun diberikan
wewenang dalam upanya terjaminnya keamanan dan ketertiban. Hal ini termasuk
dalam penggunaan kekerasan senjata api. Dalam Pasal 45 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
menyebutkan bahwa: Setiap petugas polri dalam melakukan tindakan dengan
menggunakan kekuatan/tindakan kekerasan harus mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
1) Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu;
2) Tindakan keras hanya diterapkan bila diperlukan;
3) Tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah;
4) Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk
menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;
5) Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara
proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum;
6) Penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus
berimbang dengan ancaman yang dihadapi;
7) Harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam
penerapantindakan keras;
8) Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus
seminimal mungkin.
33
Dalam pelaksanaannya kemudian, dibentuklah Peraturan Kepala Kepolisian
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan kepolisian
dalam melakukan tindakan. Disebutkan dalam Pasal 5, bahwa:
1) Tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian terdiri dari:
a) Tahap 1: kekuatan yang memiliki detterent/pencegahan;
b) Tahap 2: perintah lisan;
c) Tahap 3: kendali tangan kosong lunak;
d) Tahap 4: kendali tangan kosong keras;
e) Tahap 5: kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata,
semprotan cabeatau alat lain sesuai standar Polri;
f) Tahap 6: kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang
menghentikan tindakan atau prilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang
dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota
masyarakat.
2) Anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1, sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan
atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan kepolisian.
Dalam hal tersebut di atas sudah jelas bahwa senjata api hanya dapat digunakan
sebagai tahapan terakhir dalam penggunaan kekuatan atau tindakan kepolisian.
Dalam ayat 2 pun dikatakan bahwa dalam penggunaan kekuatan haruslah sesuai
dengan tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka dan
memperhatikan prinsip-prinsip yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut adalah
prinsip legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas.26
Maksud dari asas legalitas adalah tindakan atau penggunaan tersebut haruslah
sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku. Sementara asas nesesitas
26
A. Y Kanter dan S. R Sianturi, 2002. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan penerapannya,
Jakarta: Storia Grafika, hlm. 74
34
merupakan asas yang memerintahkan agar tindakan penggunaan senjata api harus
sesuai dengan kebutuhan dalam menegakkan hukum, yang hanya dapat
dipergunakan apabila hal tersebut tidak dapat dihindarkan lagi. Dan yang terakhir
adalah asas proporsionalitas, yaitu asas yang memerintahkan bahwa tindakan
tersebut dapat dilakukan apabila seimbang antara ancaman dan tindakan
penggunaan senjata api.
Setiap ancaman bahaya yang ada haruslah menggunakan kekuatan, akan tetapi
sebelumnya harus menggunakan komunikasi lisan/ucapan dengan cara membujuk,
memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku
kejahatan atau tersangka. Dalam menghadapi setimpa ancaman bahaya, maka
haruslah menggunakan tahapan tindakan, dimulai dengan tindakan pasif sampai
dengan tindakan agresif. Tindakan pasif adalah tindakan dengan menggunakan
tangan kosong secara lunak. Sementara tindakan agresif adalah tindakan
kekerasan dengan menggunakan alat, baik itu benda tumpul, zat kimia, ataupun
dengan kendali senjata api.
Dalam penggunaan kendali senjata api pun tidak boleh sembarangan. Lebih lanjut
dalam Pasal 8 menyebutkan bahwa:
1) Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d dilakukan ketika:
a) Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera
menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau
masyarakat;
35
b) Anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk
akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau
tersangka tersebut;
c) Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka
yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau
masyarakat.
2) Penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku
kejahatan atau tersangka;
3) Untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang
merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penggunaan kendali
senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan atau perintah lisan.
Selain itu, dalam Pasal 15 mengatur tentang tembakan peringatan dalam
penggunaan senjata api yang menyebutkan bahwa:
1) Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat menimbulkan
bahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau
masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak bersifat
segera, dapat dilakukan tembakan peringatan;
2) Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayai (1) dilakukan dengan
pertimbangan yang aman, beralasan dengan masuk akal untuk menghentikan
tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, serta tidak menimbulkan ancaman
atau bahaya bagi orang-orang di sekitarnya;
36
3) Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan kehati-
hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah dilakukan tidak berhasil dengan
tujuan sebagai berikut:
a) Untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan
menyerang anggota Polri atau masyarakat;
b) Untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada
pelaku kejahatan atau tersangka.
4) Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya ancaman
yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian bersifat segera, sehingga
tidak memungkinkan untuk dilakukan tembakan peringatan.
Dalam Pasal tersebut menjelaskan bahwa tembakan peringatan dilakukan sebagai
tindakan awal dalam penggunaan kendali senjata api. Tembakan peringatan
dilakukan untuk menurunkan moril si pelaku kejahatan dan juga memberikan
peringatan sebelum diarahkan ke pelaku. Akan tetapi, tembakan peringatan tidak
diperlukan jika ancaman yang diberikan pelaku dapat menimbulkan luka parah
atau kematian yang bersifat segera, yang tidak memungkinkan dilakukannya
tembakan peringatan. Selain itu dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 penjelasan
penggunaan kekuatan juga diatur yakni sebagai berikut:
Pasal 45
Setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan dengan menggunakan kekuatan/
tindakan keras harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu;
b. tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan
37
c. tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah;
d. tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk
menggunakann kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;
e. penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan
secara proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum;
f. penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras
harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi;
g. harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan
tindakan keras; dan
h. kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus
seminimal mungkin.
Kemudian penjelasan kembali mengenai syarat dan prosedur penggunaan senjata
api yakni terdapat dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi
Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terdapat pada beberapa pasal yakni
sebagai berikut:
Pasal 47
(1) Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar
diperuntukkan untuk
melindungi nyawa manusia.
(2) Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
a. dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
38
d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan
melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah
yang lebih lunak tidak cukup.
Pasal 48
Setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan kepolisian dengan menggunakan
senjata api harus memedomani prosedur penggunaan senjata api sebagai berikut:
a. petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas dan
proporsionalitas.
b. sebelum menggunakan senjata api, petugas harus memberikan peringatan
yang jelas dengan cara:
1. menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang
bertugas;
2. memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran
untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya; dan
3. memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.
c. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan
dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain
disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak perlu
dilakukan.
Pasal 49
(1) Setelah melakukan penindakan dengan menggunakan senjata api, petugas
wajib:
39
a. mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api;
b. memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak;
c. memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan
senjata api; dan
d. membuat laporan terinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.
(2) Dalam hal terdapat pihak yang merasa keberatan atau dirugikan akibat
penggunaa senjata api oleh petugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka:
a. petugas wajib membuat penjelasan secara rinci tentang alasan penggunaan
senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat dari tindakan yang telah
dilakukan;
b. pejabat yang berwenang wajib memberikan penjelasan kepada pihak yang
dirugikan; dan
c. tindakan untuk melakukan penyidikan harus dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
B. Tembak Di Tempat Oleh Polri
1. Pengertian Tembak di Tempat
Tembak di tempat adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh pihak media
massa atau masyarakat terhadap Polisi yang melakukan suatu tindakannya berupa
tembakan terhadap tersangka. Istilah tembak di tempat didalam Kepolisian
dikenal dengan suatu tindakan tegas, dimana tindakan tegas tersebut berupa
tindakan tembak di tempat. Bila tembak di tempat diartikan menurut kamus
bahasa Indonesia, maka dapat diartikan ; tembak adalah melepaskan peluru dari
40
senjata api (senapan/meriam); didalam kata depan untuk menandai sesuatu
perbuatan atau tempat; tempat adalah sesuatu untuk menandai atau memberi
keterangan disuatu tempat atau lokasi. Sehingga tembak di tempat dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api
disuatu tempat atau lokasi. Bila tembak di tempat dikaitkan dengan tugas dan
wewenang kepolisian maka tembak di tempat dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api oleh Polisi terhadap
tersangka disuatu tempat atau lokasi.27
Dalam setiap melakukan tindakan tembak di tempat Polisi selalu berpedoman
pada suatu kewenangan yaitu kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri
hal ini yang sering disalahgunakan oleh oknum anggota Kepolisian. Kewenangan
ini tertulis di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pasal ini dapat disebut dengan kewenangan diskresi. Dalam
konteks Polri, tindakan diskresi secara legal dapat dilakukan oleh Polri.
Dasar hukum diskresi bagi petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada UndangUndang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:
a) Pasal 15 ayat (2) huruf k, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : melaksanakan
kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas Kepolisian;
b) Pasal 16 ayat (1) huruf I, Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang
proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dimana
27
Sadjijono, Mengenal Hukum Kepolisian, Surabaya, Laksabang Mediatama, 2008
41
tindakan lain harus memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 16 ayat (2), sebagai
berikut :
1) Tidak bertentangan dengan aturan hukum;
2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
3) Hukum patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
4) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
5) Menghormati Hak Asasi Manusia.
c) Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan
yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan PerundangUndangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yang
berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana menunjuk
adanya tindakan lain berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, yang memberikan wewenang kepada
penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja
menurut hukum yang bertanggung jawab.
2. Pemberlakuan Tembak di Tempat Terhadap Tersangka
Pada dasarnya pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka merupakan
langah terakhir yang dilakukan oleh Polisi, sebelum melakukan tindakan tembak
di tempat seorang anggota Polisi harus mempertimbangkan hal-hal yang
42
tercantum dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, diantaranya:
a) Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu;
b) Tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan;
c) Tindakan keras hanya diterapkan untuk penegakkan hukum yang sah;
d) Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk
menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;
e) Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara
proporsional dengan tujuan dan sesuai dengan hukum;
f) Penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus
berimbang dengan ancaman yang dihadapi;
g) Harus ada batasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan
tindakan keras;
h) Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus
seminimal mungkin.
Bila tindakan keras atau penggunaan kekerasan sudah tidak dapat ditempuh maka
pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka boleh digunakan dengan
benar-benar dan diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia, hal ini sesuai
dengan Pasal 47 ayat (1). Selain itu menurut ayat (2) pemberlakuan tembak di
tempat terhadap tersangka oleh petugas Kepolisian dapat digunakan untuk :
a) Dalam menghadapi keadaan luar biasa;
b) Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c) Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
d) Mencegah terjadinya luka berat atau yang mengancam jiwa orang;
e) Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan
melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa;
f) Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang
lebih lunak tidak cukup.
Dalam menghadapi tersangka yang melakukan tindakan kejahatan Polisi
terkadang harus dilakukan tindakan kekerasan yang menjadi suatu kewenangan
tersendiri bagi Polisi. Dalam terminology hukum kewenangan tersebut disebut
sebagai tindakan diskresi.
43
3. Tindakan Anggota Polisi Setelah Melakukan Tembak di Tempat
Pada dasarnya yang terpenting dalam pelaksanaan perintah tembak harus sesuai
dengan mekanisme pelaksanaan tembak di tempat dan prosedur tetap penggunaan
senjata api oleh Polri. Setelah pelaksanaan kewenangan kewenangan tembak di
tempat selesai maka setiap anggota Polri yang terlibat dalam pelaksanaan
kewenangan tembak di tempat harus membuat laporan/berita acara sebagai bentuk
pertanggungjawabannya kepada atasannya serta juga harus
mempertanggungjawabkan tindakannya dihadapan hukum. Berdasarkan Pasal
49 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2009 tindakan Polisi setelah melakukan tindakan tembak di tempat Polisi
wajib :
a) Mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api;
b) Memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak;
c) Memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan
senjata api;
d) Membuat laporan terperinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.
Selain itu adapun tindakan yang harus dilakukan setelah menggunakan senjata
api, disarankan untuk melakukan tindakan berikut ini :
a. Memberikan perawatan medis bagi semua yang terluka
b. Mengijinkan dilakukan penyelidikan bila diperlukan
c. Menjaga tempat kejadian perkara untuk penyelidikan lebih lanjut
d. Memberitahu keluarga dan teman-teman orang yang terluka
e. Melaporkan kejadian
Dalam penggunaan senjata api terdapat berbagai tingkatan tanggung jawab,
tergantung pada orang-orang yang menggunakannya, tujuan yang hendak dicapai,
tempat kejadian dan tingkat tanggung jawab yang mereka miliki terhadap warga
44
atau pihak-pihak yang tidak terlibat. Dalam hal laporan kejadian dimana laporan
dan tinjauan atasan harus dilakukan setelah terjadinya penggunaan kekerasan dan
senjata api. Setalah itu atasan harus bertanggung jawab atas semua tindakan
anggota Polisi yang berada dibawah kepemimpinannya, jika atasan tersebut
mengetahui atau seharusnya mengetahui terjadinya penyalahgunaan wewenang
maka tindakan yang harus dilakukan berdasarkan Pasal 49 ayat (2) adalah :
a) Petugas wajib memberikan penjelasan secara rinci tentang alasan penggunaan
senjata api, tindakan yang dilakukan, dan akibat dari tindakan yang dilakukan;
b) Pejabat yang berwenang wajib memberikan penjelasan kepada pihak yang
dirugikan;
c) Tindakan untuk melakukan penyidikan harus dilaksanakan harus sesuai
dengan peraturan Perundang-Undangan.
Setiap pimpinan sebelum menugaskan anggota yang diperkirakan akan
menggunakan atau melakukan tindakan keras wajib memberikan arahan kepada
setiap anggota, bagi setiap anggota yang mengunakan kekuatan dalam tindakan
kepolisian wajib memperhatikan arahan pimpinan dimana arahan tersebut
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menerapkan diskresi Kepolisian dan
setelah itu wajib secara segera melaporkan pelaksanaannya kepada atasan
langsung secara tertulis. Laporan yang harus dibuat dan diberikan kepada atasan
berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan
Kepolisian memuat antara lain :
a) Tempat dan tanggal kejadian;
b) Uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga
memerlukan tindakan Kepolisian;
c) Alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan;
d) Rincian kekuatan yang digunakan;
e) Evaluasi hasil penggunaan kekuatan;
f) Akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan
tersebut.
45
4. Tindakan terhadap Polisi yang Tidak Sesuai Prosedur dalam Melakukan Tindak
Tembak di Tempat
Penggunaan kekerasan dan senjata api merupakan kewenangan yang diberikan
oleh Undang-Undang sebagai pilihan terakhir (last resort) bagi aparat Kepolisian
dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian penggunaan kekerasan berlebihan
merupakan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang. Pemerintah juga tidak
dapat menggunakan alasan seperti ketidak stabilan nasional atau alasan-alasan lain
untuk membenarkan penyalahgunaan kekerasan dan senjata api. Tindakan
penyalahgunaan kekerasan oleh aparat kepolisian dapat direfleksikan dalam dua
bentuk. Pertama terhadap subyek yang tidak dalam penguasaannya seperti dalam
melakukan pengendalian huru-hara. Subjek disini adalah orang atau kumpulan
orang yang berdemonstrasi dimana dalam keadaan kacau aparat tidak mampu
mengatasi keadaan dan juga tidak mampu menahan dirinya.
Perintah atasan untuk bertindak, dijalankan dan dicitrakan dengan menggunakan
kekerasan yang membahyakan serta tidak menghormati martabat mausia.
Pemukulan dengan menggunakan alat pengendali huru hara hingga
mengakibatkan luka serius dan penggunaan senjata api untuk memukul
demonstran adalah hal yang seringkali dilakukan oleh aparat Kepolisian. Tata cara
penggunaan senjata api tidak lagi diperhatikan. Sekalipun yang digunakan adalah
peluru karet, penembakan dilakukan dengan membabi buta tanpa lagi
memperhitungkan dampak dan jarak aman yang akan mengakibatkan luka serius.
Bahkan seringkali dalam penanganan aksi massa Polisi melakukan penembakan
dengan menggunakan peluru tajam yang mengakibatkan kematian. Kedua,
penggunaan kekerasan dilakukan terhadap subyek yang berada dalam
46
penguasaannya. Hal ini bisa ditujukan kepada seseorang atau kumpulan orang
yang telah ditahan atau ditangkap dimana Polisi menggunakan metode penyiksaan
terhadap mereka untuk mendapatkan keterangan atau hal lain. Atau dengan alasan
pelaku hendak melarikan diri, Polisi kemudian menggunakan senjata api untuk
membunuhnya. Khusus dalam penggunaan senjata api oleh penegak hukum
termasuk Polisi adalah untuk melumpuhkan pelaku serta aksi kejahatannya dan
bukan membunuhnya.
Berangkat dari pemaparan tersebut dapat dikatakan brutalitas Polisi adalah
tindakan penyalahgunaan kekerasan dan penggunaan senjata api yang ditujukan
terhadap orang atau sekelompok orang baik yang berada dalam penguasaan
maupun tidak dalam penguasaannya yang membahayakan keselamatan jiwa serta
tidak menghormati harkat dan martabat manusia. Adapun bentuk dan
penyalahgunaan kekerasan serta senjata api adalah metode penyiksaan; penahanan
atau penangkapan sewenang-wenang; menggunakan senjata api tanpa
memberikan peringatan, baik dalam penanganan huru hara maupun menghentikan
pelaku kejahatan yang mengakibatkan luka maupun kematian.
Pada dasarnya penggunaan kekerasan oleh Polisi baik secara sah, maupun dengan
penyalahgunaan kekuasaan, tidak dibenarkan sekali dalam praktek. Eigon Bitter
dalam bukunya the function of the police in modern society menyatakan bahwa
penggunaan kekerasan secara sah oleh Polisi praktis tidak ada artinya, dan secara
lebih menarik Eigon Bitter mengatakan bahwa pemberian kekuasaan bagi Polisi
untuk menggunakan kekerasan dalam tugasnya itu, tidak penting sama sekali bila
dikaitkan dengan usaha untuk menghadapi penjahat. Dalam rangka penindakan
terhadap pelanggaran disiplin oleh anggota Kepolisian dilaksanakan oleh Provoost
47
Polri. Menurut Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia dimana Provoost Polri
mempunyai wewenang untuk :
a) Melakukan pemanggilan dan pemeriksaan;
b) Membantu pimpinan menyelenggarakan pembinaan dan penegakkan disiplin,
serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Polri;
c) Menyelenggarakan siding disiplin atas perintah Ankum; dan
d) Melaksanakan putusan Ankum.
Sedangkan prosedur dan tata cara penyelesaian perkara pelanggaran disiplin oleh
anggota Polri dianut dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003,
yang pelaksanaannya melalui tahapan :
a. Laporan dan pengaduan;
b. Pemeriksaan pendahuluan;
c. Pemeriksaan di depan siding disiplin;
d. Penjatuhan hukuman disiplin;
e. Pelaksanaan hukuman;
f. Pencatatan dalam data personal perorangan.
Demikian pula dengan Kode Etik Profesi Polri yang mempunyai sanksi terhadap
para anggota Polri yang melanggar Kode Etik Profesi Polri. Dalam Pasal 11 ayat
(2) Kode Etik Profesi Polri Tahun 2006 disebutkan : “Anggota Polri yang
melakukan pelanggaran kode etik dikenakan sanksi berupa”;
a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b. Kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara terbatas ataupun secara
terbuka;
c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi;
d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi atau fungsi
Kepolisian.
Setelah melalui sidang Kode Etik Profesi Polri ini, menurut Pasal 13 Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian
Republik Indonesia, jika anggota Polisi terbukti bersalah melanggar Kode Etik
Profesi Polri, maka anggota Polisi tersebut dapat diberhentikan dengan tidak
48
hormat, selanjutnya anggota Polisi tersebut dilimpahkan untuk disidang yuridiksi
peradilan umum di Pengadilan Negeri.
5. Kedudukan Tembak di Tempat oleh Polisi dalam Sistem Kepolisian Dunia
Pada dasarnya pemberlakuan tembak di tempat di dalam sistem Kepolisian di
dunia mana saja, hal ini didasarkan pada Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang
Penggunaan Kekerasan dan Penggunaan Senjata Api oleh Petugas Penegak
Hukum yang diatur dalam Resolusi Dewan Umum (34/168, Tanggal 17
Desember1979). Prinsip-Prinsip Dasar PBB tersebut walaupun bukan merupakan
sebuah perjanjian internasional, tetapi merupakan sebuah perangkat yang
bertujuan memberikan panduan bagi Negara-negara anggota dalam pelaksanaan
tugas mereka untuk menjamin dan memajukan peran petugas penegak hukum
secara benar. Selain itu dalam Pasal 3 Prinsipprinsip Dasar PBB tersebut
dikatakan bahwa “Petugas penegak hukum hanya boleh menggunakan kekerasan
bila sangat diperlukan dan hanya sebatasa yang dibutuhkan dalam melaksanakan
pekerjaan mereka”.28
Serta tertera pada Peraturan Nomor 9 dikatakan bahwa “Anggota Polisi tidak
boleh menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi, kecuali
dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika menghadapi ancaman
nyawa atau luka yang parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam
nyawa”.
Berdasarkan peraturan tersebut diatas maka jelas tembak di tempat oleh petugas
Kepolisian terhadap tersangka dalam sistem Kepolisian didunia masih digunakan
28
Sutanto, Buku Panduan Tentang Hak Asasi Manusia Untuk Anggota Polri, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Jakarta, 2006.
49
oleh Negara-negara lain. Walaupun berpegang pada Prinsip-prinsip Dasar PBB
tersebut namun terdapat perbedaan dalam pelaksanaan dan tata cara tembak di
tempat dibeberapa Negara. Sebagai contoh Negara Amerika Serikat dimana di
Negara tersebut tembak di tempat merupakan langkah terakhiryang diambil oleh
petugas Kepolisian dan dilakukan apabila tersangka melakukan perlawanan
menggunakan senjata api. Tetapi apabila tersangka tidak menggunakan senjata
api dan melarikan diri serta melawan terhadap petugas, petugas berusaha
melumpuhkan tersangka dengan menggunakan tongkat pemukul, apabila tidak
berhasil maka digunakan zat kimia (semprotan merica), apabila cara tersebut
masih belum berhasil maka akan digunakan alat kejut listrik, bila tersangka masih
bisa melarikan diri maka Polisi melakukan pengejaran secara bersama-sama
hingga tersangka dapat tertangkap.29
Selama tersangka tidak melakukan perlawanan menggunakan senjata api, maka
Polisi tidak akan melumpuhkan tersangka dengan menggunakan senjata api
(pistol). Bila dibandingkan dengan Negara Indonesia pelaksanaan dan tata cara
pelaksanaan tembak di tempat berbeda, hal ini dikarenakan berbedanya fasilitas
yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana seorang Polisi
hanya dibekali dengan tongkat pemukul dengan senjata api (pistol), sehingga
dalam menghadapi tersangka hanya tiga tindakan yang dapat dilakukan yaitu
menggunakan tangan kosong, menggunakan tongkat pemukul, dan terakhir
menggunakan senjata api (pistol).
29
Rahardjo, S., Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia, Jakarta, Buku Kompas, 2002.
50
C. Profesionalitas Dan Pengendalain Diri Terhadap Tindakan Tembak Di
Tempat Oleh Polisi
Profesionalisme Polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai penegak
hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin canggih, seiring
dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Profesionalisme merupakan
kemahiran dan kemampuan tinggi yang didukung oleh pengetahuan, sikap,
keterampilan dan kematangan emosional dalam melaksanakn tugas dibidang
masing-masing selaras dengan ketentuan hukum yang berlaku sehingga
memberikan hasil kerja maksimal sesuai dengan standar (internasional)
pekerjaannya.30
Profesional berarti melakukan suatu keahlian sebagai pekerjaan pokok.
Profesionalisme merupakan tingkah laku etis dan pemeliharaan tata cara
menghadapi masyarakat oleh petugas penegak hukum harus sesuai dengan
prinsip-prinsip menghormati dan menaati hukum, menghormati martabat manusia,
dan menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia. Ketiga prinsip tersebut
termuat dalam ketentuan berprilaku sebagai kerangka kerja berprilaku profesional
dan etis dalam melaksanakan tugas-tugas penegak hukum bagi seluruh institusi
Kepolisian. Profesionalisme memiliki landasan akuntabilitas yang penting guna
menjamin bahwa Polisi secara umum maupun secara individu bertanggung jawab
atas tindakan-tindakan mereka terhadap orang-orang yang mereka layani maupun
masyarakat luas. Pada dasarnya istilah profesionalisme lebih tepat ditujukan
kepada individu Polisi dan bukan kepada organisasi. Setiap anggota Kepolisian
memiliki kompetensi dan kewenangan profesional yang bersifat individual
30
Untung S. Radjab, kedudukan dan fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam sistim
Ketatanegaraan, Bandung, C.V. Utama, 2003.
51
sebagai Polisi namun, upaya peningkatan profesionalisme tidak hanya dibebankan
kepada individu Polisi. Banyak faktor di luar diri Polisi yang ikut menentukan
keberhasilan dalam peningkatan profesionalisme dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu
faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah kepribadian, sedangkan faktor eksternalnya meliputi
pendidikan dan pelatihan, kesejahteraan, proses seleksi, peralatan dan
perlengkapan anggaran serta lingkungan. Unsur yang tidak kalah penting dalam
tindakan tembak di tempat adalah pengendalian diri. Dimana pengendalian diri
adalah merupakan suatu keinginan dan kemampuan dalam menanggapi kehidupan
yang selaras, serasi dan seimbang pada hak dan kewajibannya sebagai individu
dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.
Untuk mengendalikan dan mencegah dilakukannya tindakan tembak di tempat
terhadap tersangka ialah terdapat pada pengendalian diri setiap anggota
Kepolisian masingmasing. Sebab dengan pengendalian diri setiap anggota
Kepolisian dalam setiap mengambil keputusan maka terhadap putusan tersebut
tidak akan menghasilkan dampak yang negative dan dapat menjauhkan
profesionalitas petugas Kepolisian itu sendiri yang pada akhirnya membawa
institusi mereka sendiri (Polri). Aparat penegak hukum dalam pengertian luas
merupakan institusi penegak hukum, sedangkan dalam arti sempit, aparat penegak
hukum adalah polisi, jaksa, dan hakim. Dalam penyelenggaraan sistem peradilan
pidana, diperlukan jajaran aparatur penegak hukum yang profesional, cakap, jujur,
dan bijaksana. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab menegakkan
wibawa hukum dan menegakkan keadilan. Profesionalisme penegak hukum dapat
52
dilihat dari tingkat penguasan ilmu hukum, keterampilan dan kepribadian para
penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bekerja.
Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak
melampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Dalam menegakkan
keadilan, dituntut kemampuan penegak hukum mengkritisi hukum dan praktik
hukum demi menemukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang
profesional. Kedua, pelanggaran profesi tidak pernah hilang; tetapi
perkembangannya bisa dicegah. Perlu dicatat, kualitas komitmen tergantung
kemampuan membangun self-image positif dan menjadi refleksi pentingnya self-
esteem sebagai nilai. Kesadaran akan pentingnya self-image positif dan self-
esteem sebagai nilai akan membantu seorang profesional hukum tidak mudah
memperdagangkan profesinya. Artinya, keahlian saja tidak cukup. Diperlukan
keutamaan bersikap profesional: berani menegakkan keadilan. Konsistensi
bertindak adil menciptakan kebiasaan bersikap adil.
Ketiga, keutamaan bersikap adil menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan fair
terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga lewat keberanian menjadi
whistleblower saat terjadi salah praktik profesi. Seorang profesional seharusnya
tidak mendiamkan tindakan tidak etis rekan seprofesi. Ini bagian dari pelaksanaan
tugas yang tidak mudah, namun harus dilakukan karena kemampuan bersikap adil
menuntut keberanian mempraktikkan, bukan sekadar mengetahui keadilan.31
Pedoman perilaku yang bagi pemegang profesi terangkum dalam Kode Etika yang
di dalamnya mengandung muatan etika, baik etika deskriptif, normatif, dan meta-
31
Quo Vadis" Profesionalisme Hukum? Artikel Kompas, 12 Agustus 2005, oleh Andre Ata Ujan,
Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya Jakarta
53
etika.32
Jadi kode etik berkaitan dengan profesi tertentu sehingga setiap profesi
memiliki kode etiknya sendiri-sendiri tentang apa yang disepakati bersama seperti
bagaimana harus bersikap dalam hal-hal tertentu dan hubungan dengan rekan
sejawat. Akan tetapi tidak semua pekerjaan dapat dikatakan sebagai profesi yang
berhak dan layak memiliki kode etik tersendiri.
Integritas penegak hukum sebelumnya tidak lepas proses profesionalisme yang
merupakan elaborasi dari ciri yang menjadi inti konsep profesionalisme yakni:
1. Profesi menentukan standar dan latihan sendiri
2. Aparat yang terdidik secara profesional menjalani aktivitas lebih jauh
daripada sekedar mengalami sosialisasi serta lebih daripada tipe pekerjaan
lainnya
3. Praktek kaum profesional sering disahkan secara legal melalui semacam
lisensi
4. Norma-norma praktek kerja dijalani oleh kaum profesional lebih ketat
dariada kontrol oleh hukum.33
Ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur apakah suatu pekerjaan
itu dikatakan suatu profesi atau bukan:34
1) Profesi itu dilaksanakan atas keahlian tinggi dan karena itu hanya dapat
dimasuki oleh mereka yang telah menjalani pendidikan dan pelatihan teknis
yang amat lanjut. Contohnya seperti dokter dan advokat;
32
K. Bertens, Etika,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2005, hlm. 11-15. 33
Samuel W. Bloom, TheDoctor and His Patient a sociological Interpretation, Collin Max
Milamd Publisher, London, 1985, hlm. 19. 34
Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta:
ELSAM dan HUMA, 2003, hlm. 316-317.
54
2) Profesi itu mensyaratkan agar keahlian yang dipakainya selalu berkembang
secara nalar dan dikembangkan dengan teratur seiring dengan kebutuhan
masyarakat yang minta dilayani oleh profesi yang menguasai keahlian
profesional tersebut, atau dengan kata lain ada standar keahlian tertentu yang
dituntut untuk dikuasai. Contohnya seperti dokter atau sarjana hukum;
3) Profesi selalu mengembangkan pranata dan lembaga untuk mengontrol agar
keahlian-keahlian profesional didayagunakan secara bertanggung jawab,
bertolak dari pengabdian yang tulus dan tak berpamrih, dan semua itu
dipikirkan untuk kemaslahatan umat.
Jadi profesi tidak dapat dijalankan dengan begitu saja, akan tetapi menuntut
tanggung jawab moral dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu ada tiga nilai
moral yang dituntut dari pengemban profesi, antara lain berani berbuat untuk
memenuhi tuntutan profesi, menyadari kewajiban yang harus dipenuhi selama
menjalankan profesi, serta idealisme sebagai perwujudan makna misi organisasi
profesi.35
Kode Etik Profesi Polri adalah aturan atau norma penuntun,
pembimbing dan pengendali setiap anggota Polri agar berperilaku baik sesuai
dengan nilai-nilai kebaikan (nilai-nilai etis) yang terkandung dalam profesi
kepolisian.36
Kode Etik Profesi Polri yang dirumuskan dalam Peraturan Kapolri
No. Pol.: 7 Tahun 2006 tanggal 1 Juli 2006 meliputi empat kelompok sikap
moral yakni :37
1) Etika Kepribadian, yang adalah sikap moral anggota Polri terhadap
profesinya didasarkan pada panggilan ibadah sebagai umat beragama;
35
Franz Magnis Suseno dalam Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung, Citra
Aditya Bhakti, 2001. 36
Sadjijono, Etika Profesi Hukum : Suatu Telaah Filosofis terhadap Konsep dan Implementasi Kode
Etik Profesi Polri, Surabaya, Laksbang Mediatama, 2008, 37
Peraturan Kapolri No. Pol. : 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri, Jakarta, Mabes Polri.
55
2) Etika Kenegaraan, yakni sikap moral anggota Polri yang menjunjung tinggi
landasan dan konstitusional Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3) Etika Kelembagaan, ialah sikap moral anggota Polri terhadap institusi yang
menjadi wadah pengabdian dan patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir
batin dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat dan
kehormatannya; dan
4) Etika Kemasyarakatan, yaitu sikap moral anggota Polri yang senantiasa
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
D. Teori Diskresi Kepolisian
Diskresi Kepolisian pada dasarnya merupakan kewenangan Kepolisian yang
bersumber pada asas Kewajiban umum Kepolisian ( Plichtmatigheids beginsel)
yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk
bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri , dalam rangka
kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan
umum. Diskresi Kepolisian di Indonesia secara yuridis diatur pada pasal 18 UU
No 2 2002 yaitu “ Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri “ , hal tersebut mengandung maksud bahwa seorang anggota
Polri yang melaksanakan tugasnnya di tengah tengah masyarakat seorang diri,
harus mampu mengambil keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila
terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila timbul bahaya
bagi ketertiban dan keamanan umum.
56
Diskresi Polisi dapat pula diartikan sebagai wewenang Pejabat Polisi untuk
memilih bertindak atau tidak bertindak secara legal atau ilegal dalam menjalankan
tugasnya. Diskresi membolehkan seorang Polisi untuk memilih diantara berbagai
peran (memelihara ketertiban, menegakkan hukum atau melindungi masyarakat)
taktik (menegakkan Undang-Undang Lalu Lintas dengan berpatroli atau berjaga
pada suatu tempat) ataupun tujuan (menilang pelanggar atau menasehatinya)
dalam pelaksanaan tugasnya.
Seorang pejabat Polisi dapat menerapkan diskresi dalam berbagai kejadian yang
dihadapinya sehari-hari tetapi berbagai literatur tentang diskresi lebih difokuskan -
kepada penindakan selektif (Selective Enforcement) yaitu berkaitan dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi apakah seorang pelanggar hukum akan ditindak atau
tidak. Diskresi pada umumnya dikaitkan kepada dua konsep yaitu penindakan
selektif dan patroli terarah (Directed Patrol). Diskresi adalah suatu kekuasaan
atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan
keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pada
pertimbangan hukum.38
Diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak
sangat terikat oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan.
Diskresi kepolisian adalah suatu wewenang menyangkut pengambilan suatu
keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi
seorang anggota kepolisian.39
38
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta, Pradnya
Paramita, 1991, hlm. 23. 39
F. Anton Susanto, Kepolisan dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rineka
Cipta, 2004.hlm. 12.
57
Kekuasaan diskresi yang dimiliki polisi menunjukkan polisi memiliki kekuasaan
yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan di mana keputusannya bisa
di luar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan
oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa
satu hal yang dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian atau lembaga lain dalam
melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh
hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati
instansi atau petugas sendiri. Pelaksanaan diskresi oleh polisi tampak terkesan
melawan hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan
oleh hukum kepada polisi guna memberikan efisiensi dan efektifitas demi
kepentingan umum yang lebih besar, selanjutnya diskresi memang tidak
seharusnya dihilangkan. Diskresi tidak dapat dihilangkan dan tidak seharusnya
dihilangkan.
Diskresi merupakan bagian integral dari peran lembaga atau organisasi tersebut.
Namun, diskresi bisa dibatasi dan dikendalikan, misalnya dengan cara
diperketatnya perintah tertulis serta adanya keputusan terprogram yang paling
tidak mampu menyusun dan menuntut tindakan diskresi. Persoalannya,
keputusan-keputusan tidak terprogram sering muncul dan membuka pintu lebar-
lebar bagi pengambilan diskresi.40
Diskresi meskipun dapat dikatakan suatu
kebebasan dalam mengambil keputusan, akan tetapi hal itu bukan hal yang
sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi. Diskresi itu disamakan begitu saja
dengan kesewenang-wenangan untuk bertindak atau berbuat sekehendak hati
40
Ibid. hlm. 17
58
polisi. Menurut H.R. Abdussalam41
, tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada prinsip moral dan prinsip
kelembagaan, sebagai berikut:
a) Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada
seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan;
b) Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan institusional dari polisi akan lebih
terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga
menimbulkan rasa tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada
hukum.
Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas,
maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas,
terutama di dalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari
penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas
kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri. Sebagai contoh
di dalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan penyidikan
didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi penyelidikan ini
merupakan alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Untuk mencegah tindakan
sewenang-wenang atau arogansi petugas yang didasarkan atas kemampuan atau
pertimbangan subyektif. Menurut Satjipto Raharjo , tindakan diskresi oleh polisi
dibatasi oleh:42
a) Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan;
41
H.R. Abdussalam, Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum, Jakarta,
Restu Agung, 2009, hlm. 51. 42
Satjipto Raharjo. Polisi Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1991.hlm. 12-
13
59
b) Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian;
c) Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu
gangguan atau tidak terjadinya kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar;
d) Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan
keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar
kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.
Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi itu biasanya sudah banyak dimengerti
oleh komponen-komponen fungsi di dalam sistem peradilan pidana. terutama oleh
jaksa. Menurut M. Faal43
, langkah kebijaksanaan yang diambil oleh polisi itu.
Biasanya dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a) Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding dengan
hukum positif yang berlaku;
b) Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban
dan masyarakat;
c) Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat dari pada semata-mata
menggunakan hukum positif yang ada;
d) Atas kehendak mereka sendiri;
e) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum Adanya diskresi kepolisian
akan mempermudah polisi di dalam menjalankan tugasnya, terutama pada saat
penyidikan di dalam menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang efisien
jika dilanjutkan ke proses selanjutnya.
43
M. Faal. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian).Pradnya Paramita.
Jakarta. 1991. hlm. 26-27
60
Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, prinsip-prinsip
penggunaan kekuatan sebagai batas dalam tindakan kepolisian (diskresi) adalah:
a) Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan
hukum yang berlaku;
b) Nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila
memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang
dihadapi;
c) Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan
secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau
respon anggota polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/
penderitaan yang berlebihan;
d) Kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota polri diberi kewenangan untuk
bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga,
memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum;
e) Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan;
f) Masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil
dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau
perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahaya terhadap
masyarakat.
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memeliahara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Dalam melaksanakan tugas
61
di lapangan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sering dihadapkan
pada situasi, kondisi atau permasalahan yang mendesak, sehingga perlu
melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian harus dilakukan
dengan cara yang tidak bertentangan denga aturan hukum, selaras dengan
kewajiban hukum dan tetap menghormati/menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
E. Penegakan Hukum Oleh Kepolisian
Penegakan hukum Pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan
keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum pidana
menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh
negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang
apa yang bertentangan dengan hukum (On Recht) dan mengenakan nestapa
(penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.44
Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi
kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari
penegakan hukum. Penegakan hukum dapat diartikan pula penyelenggaraan
hukum oleh petugas penegakan hukum dan setiap orang yang mempunyai
kepentingan dan sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum
yang berlaku.45
Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem
yang menyangkut suatu penyerasian antara nilai dan kaidah serta perilaku nyata
44
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 60 45
Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cetakan Terakhir, Angkasa,. Bandung, 1980, hlm. 15
62
manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi
perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya, perilaku atau sikap
tindak itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian. Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada
ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku.
Gangguan tersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang
berpasangan, yang menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur dan pola
perilaku yang tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.
Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata-mata berarti
pelaksanaan perundang-undangan. Walaupun dalam kenyataan di Indonesia
kecenderungannya adalah demikian. Sehingga pengertian Law Enforcement
begitu populer. Bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum
sebagai pelaksana keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini
jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan peundang-undangan atau
keputusan pengadilan, bisa terjadi malahan justru mengganggu kedamaian dalam
pergaulan hidup masyarakat.46
Membicarakan penegakan hukum pidana
sebenarnya tidak hanya bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan
juga mengenai apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam
mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum.
Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud
suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pelaku delik itu.47
Oleh karena itu, dalam menangani masalah-masalah dalam penegakan hukum
46
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 5 47
Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2012. hlm 186.
63
pidana yang terjadi dalam masyarakat dapat dilakukan secara penal (hukum
pidana) dan non penal (tanpa menggunakan hukum pidana).
1. Upaya Non Penal (Preventif)
Upaya penanggulangan secara non penal ini lebih menitikberatkan pada
pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan
tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya:
a. Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau konkrit guna
mencegah hubungan antara pelaku dengan objeknya dengan sarana
pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas;
b. Mengurangi atau menghilangkan kesempatan berbuat criminal dengan
perbaikan lingkungan;
c. Penyuluhan kesadaran mengenai tanggung jawab bersama dalam terjadinya
kriminalitas yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan
kejahatan
2. Upaya Penal (Represif)
Upaya penal merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan
yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada
pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana
yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Penyidikan,
penyidikan lanjutan, penuntutan dan seterusnya merupakan bagian-bagian dari
politik kriminil. 48
48
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, 1987, Bandung, hlm. 113
64
Fungsionalisasi hukum pidana adalah suatu usaha untuk menaggulangi kejahatan
melalui penegakan hukum pidana yang rasional untuk memenuhi rasa keadilan
dan daya guna.49
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif menegakkan hukum
pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses
rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu yang
merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari
nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Tahap-tahap tersebut
adalah:50
a. Tahap Formulasi
Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang
yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa
kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan
daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislaif.
b. Tahap Aplikasi
Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat
penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian
aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturanperaturan
perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang,
dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada
nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif.
49
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 48 50
Ibid
65
c. Tahap Eksekusi
Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-aparat
pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas
menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat
undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan
pengadilan. Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan yang telah
ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam
pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan
pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-undang daya
guna. Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu usaha
atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.
103
IV. PENUTUP
A. Simpulan
Adapun simpulan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut
1. Upaya yang dilakukan oleh kepolisian dalam pengungkapan kasus yakni
bekerja sama dengan mantan jaringan, memaksimalkan sumber daya manusia
yang ada, dengan merazia, melakukan pemantauan, melakukan teknik
penyamaran/undercover, dan apabila dalam keadaan tertentu atau tersangka
merespon dengan tindakan aktif agresif, dapat menggunakan senjata api
sebagai upaya terakhir oleh polisi, dan agar tidak melanggar HAM
pelaksanaannya harus dipedomani asas legalitas, dan asas kewajiban, serta
kewenangan diskresi kepolisian untuk menilai situasi yang dihadapi saat itu.
2. Tindakan tembak di tempat oleh kepolisian terhadap pengedar narkotika dapat
dikatakan sebagai bentuk pelanggaran HAM apabila tindakan tersebut tidak
berpedoman pada prinsip hak asasi manusia. Akan tetapi tindakan tembak
ditempat diperlukan dalam usaha memberantas tindak pidana narkotika
khususnya terhadap peredaran narkotika karena termasuk ke dalam
ekstraordinary crime yang menimbulkan banyak kerugian bagi bangsa dan
negara. Tindakan tembak ditempatpun diperbolehkan oleh aturan hukum
sehingga dapat dijadikan pedoman bagi anggota kepolisian agar tidak terjadi
tindakan sewenang-wenang.
104
B. Saran
Adapun saran dalam penelitian ini yakni sebagai berikut
1. Hendaknya Polri melakukan sosialisasi mengenai pentingnya tembak di
tempat baik terhadap tersangka pengedar narkotika, anggota kepolisian, dan
seluruh lapisan masyarakat.
2. Diharapkan Polri menambahkan sanksi pidana bagi anggota kepolisian yang
melanggar prosedur tembak di tempat dan terhadap perbuatan yang
sewenang-wenang dalam pelaksanaan tugas kepolisian .
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
A.Y .Kanter dan S. R Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
penerapannya. Storia Grafika. Jakarta. 2002.
Abdussalam, H.R.. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin
Hukum. Restu Agung. Jakarta. 2009.
Alfons, Maria. Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-
produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual.
Ringkasan Disertasi Doktor : Universitas Brawijaya. Malang. 2010.
Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2012.
Bertens, K. Etika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2005.
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana I. PT. Raja Grafindo. Jakarta . 2010.
Chryshnanda. Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani. Yayasan Pengembangan
Kajian Ilmu Kepolisian. Jakarta. 2009.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita. RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2007.
Franz Magnis Suseno dalam Abdulkadir Muhammad. Etika Profesi Hukum. Citra
Aditya Bhakti. Bandung. 2001.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP:
Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. 2000.
Kadri Husin dan Budi Rizki. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Lembaga
Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 2012.
Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana. Alumni. Bandung. 2006.
Kelana, Momo. Memahami Undang-Undang Kepolisian. PTIK-Press. Jakarta.
2002.
Kunarto. Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan Hukum.
Cipta Manunggal. Jakarta. 2003.
_ _ _ _ . Etika Kepolisian. Cipta Manunggal. Jakarta. 1997.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Hukum. Mandar Maju. Bandung. 2011.
M.Faal. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian. Pradnya
Paramita. Jakarta. 1991.
Marpaung, Leden. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.
2009.
Makarao, Moh. Taufik. Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia. Jakarta.
2003.
_ _ _ _ _ _. Pembaharuan Hukum Pidana. Kreasi Wacana. Yogyakarta. 2005.
M. Sholehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Grafindo Persada. Jakarta.
2003.
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Ghalia Indonesia. Bogor. 2004.
Muladi dan Barda Nawawi. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
1992.
Nawawi Arief, Barda. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana (Edisi Revisi). Citra Aditya Bakti.
Bandung. 2005.
Nurmalawaty. Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkoba. Majalah Hukum USU Vol. 9 No. 2 Agustus
2004.
Priyanto, Dwidja. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. PT. Rafika
Aditama. Bandung. 2009.
Radjab, Untung S. Kedudukan dan fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam sistim
Ketatanegaraan. C.V. Utama. Bandung. 2003.
Raharjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat. Angkasa. Bandung. 1980.
_ _ _ _ _ _ _. Polisi Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1991.
_ _ _ _ _ _. Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia. Buku Kompas.
Jakarta. 2002.
Reksadiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana.
Lembaga Kriminologi UI. Jakarta. 1994.
Rosidah, Nikmah. Asas-Asas Hukum Pidana. Pustaka Magister. Semarang. 2011.
Rukmini, Mien. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan
Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana
Indonesia. Alumni. Bandung. 2007.
Sadjijono. Etika Profesi Hukum : Suatu Telaah Filosofis terhadap Konsep dan
Implementasi Kode Etik Profesi Polri. Laksbang Mediatama. Surabaya.2008.
_ _ _ _ _. Mengenal Hukum Kepolisian. Laksabang Mediatama. Surabaya. 2008.
Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2016.
Sasangka, Hari. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana. Mandar
Maju, Bandung. 2003.
Sitompul, DPM.. Hukum Kepolisian di Indonesia (Suatu Bunga Rampai). Tarsito.
Bandung. 1985.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Press
Jakarta. 1993.
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. 1981.
_ _ _ _ _, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986
_ _ _ _ _. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung. 1987.
Susanto, F. Anton. Kepolisan dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia.
Rineka Cipta. Jakarta. 2004.
Sutanto. Manajemen Investigasi. Pensil. Jakarta. 2008.
_ _ _ _ . Buku Panduan Tentang Hak Asasi Manusia Untuk Anggota Polri.
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta. 2006.
Tabah, Anton. Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia. Gramedia Pustaka.
Jakarta. 1990.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana (Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi). Pustaka Pelajar. Jakarta.
2005.
W. Bloom, Samuel. TheDoctor and His Patient a sociological Interpretation.
Collin Max Milamd Publisher. London. 1985.
Wibowo, Ari. Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta. 2012.
Wignyosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya. Elsam dan Huma. Jakarta. 2003.
Yesmil Anwar dan Adang. Pembaharuan Hukum Pidana. Grasindo. Jakarta.
2013.
B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA
Buku Panduan tentang Hak Asasi Manusia untuk Anggota POLRI (2006).
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1996.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI;
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM;
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang pelaksanaan KUHAP;
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan
Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Peraturan Kapolri 1 Tahun 2009 Penggunaan Kekuatan Dalam tindakan
Kepolisian
Peraturan Kapolri No. Pol. : 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri, Jakarta,
Mabes Polri.
Surat Keputusan Kapolri No.Pol. : SKEP/180/III/2006 tentang Buku Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bintara Polri Di Lapangan.
C. SUMBER LAINNYA
https://www.kupastuntas.co/2017/05/10/keluarga-terduga-bandar-narkoba-yang-
ditembak-mati-akan-gugat-polda-lampung/. diakses pada Tanggal 03 April
2018.
https://regional.kompas.com/read/2018/04/13/19181051/bnn-lampung-tembak-
mati-dua-pengedar-6-kilogram-sabu, diakses pada Tanggal 18 April 2018.
http://www.tribunnews.com/regional/2015/02/26/polda-lampung-dalami-
kepemilikan-harta-toni-sapujagat-yang-tewas-diterjang-peluru. Tanggal 16
April 2018.
Quo Vadis" Profesionalisme Hukum? Artikel Kompas, 12 Agustus 2005, oleh
Andre Ata Ujan, Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya Jakarta.