terapi oksigen- yolanda shinta p

24
REFERAT TERAPI OKSIGEN Pembimbing: dr. Aunun Rofiq, Sp.An Disusun oleh: Yolanda Shinta P T G4A014070 SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO

Upload: yolanda-shinta

Post on 11-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

tx o2

TRANSCRIPT

REFERAT

TERAPI OKSIGEN

Pembimbing:

dr. Aunun Rofiq, Sp.An

Disusun oleh:

Yolanda Shinta P T G4A014070

SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

PURWOKERTO

2015

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Oksigen adalah gas yang merupakan hasil dari fotosintesis tumbuhan

yang menunjang metabolisme seluler pada seluruh organisme aerob, termasuk

manusia. Oksigen (O2) adalah gas yang tidak berbau, tidak berwarna, dan

tidak memiliki rasa yang berada di sekitar kita. Udara yang kita hirup

mengandung 21% O2 (National Home Oxygen Patients Association, 2013).

Terapi oksigen adalah tindakan untuk meningkatkan tekanan parsial

oksigen pada inspirasi. Terapi oksigen memiliki tujuan tuntuk

mempertahankan oksigenasi jaringan dan mencegah terjadinya hipoksia.

Terapi oksigen bermanfaat untuk memperbaiki hemodinamik paru, kapasitas

latihan, kor pulmonal, menurunkan cardiac output, meningkatkan fungsi

jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik, mengurangi hipertensi pulmonal

dan memperbaiki metabolisme otot (Singh, et al., 2001).

Pemberian terapi oksigen yang kurang tepat dapat menyebabkan

komplikasi seperti adanya hipoventilasi atau atelektasis paru. Komplikasi ini

akan menyebabkan penurunan kualitas hidup dari pasien, sehingga dalam

pemberian terapi oksigen dibutuhkan evaluasi dan monitoring, agar tidak

memperburuk kondisi pasien dan tujuan terapi tercapai.

B. TUJUAN

Penyusunan referat ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:

1. Mengetahui proses dalam fisiologi respirasi

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen

3. Mengetahui indikasi pemberian terapi oksigen

4. Mengetahui bahaya dan efek samping dari terapi oksigen.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. FISIOLOGI RESPIRASI

Respirasi merupakan proses pertukaran gas antara organisme dengan

lingkungan, meliputi pengambilan O2 dan eliminasi CO2. Terdapat dua jenis

respirasi, yaitu respirasi eksternal dan respirasi internal. Respirasi eksternal

adalah proses pertukaran gas O2 dan CO2 antara darah dengan atmosfer.

Respirasi internal adalah proses pertukaran gas O2 dan CO2 antara darah

sirkulasi dengan jaringan (Djojodibroto, 2007).

Respirasi eksternal memerlukan empat proses antara lain:

1. Ventilasi

Ventilasi berkaitan dengan volume udara yang bergerak

masuk dan keluar dari hidung atau mulut selama proses pernapasan.

Minute ventilation (Ventilasi per menit), VE adalah volume udara

yang keluar dari paru dalam satu menit dan diukur dalam liter

(Djojodibroto, 2007).

VE = VT. f

VT = volume tidal, volume udara yang masuk dan keluar selama

satu kali bernapas.

f = frekuensi napas per menit.

Alveolar ventilation (ventilasi alveolar), VA adalah volume

udara inspirasi yang mencapai alveoli dan dapat mengalami

pertukaran gas dengan darah. Wasted ventilation atau Dead space

ventilation (ventilasi percuma), VD adalah volume udara inspirasi

yang tidak mengalami pertukaran dengan darah (Djojodibroto,

2007).

VE=VA.VD

Gambar 1. VD dan VA pada paru normal dan dengan penyakit

2. Distribusi

Setelah ventilasi, udara yang telah memasuki saluran napas

akan didistribusikan ke seluruh paru, lalu kemudian masuk ke dalam

alveoli. Distribusi udara tidak merata di seluruh lapang paru. Udara

yang masuk akan cenderung masuk ke bagian basal paru pada posisi

berdiri atau duduk, dan ke bagian dorsal pada saat berbaring. Hal ini

dipengaruhi oleh adanya gravitasi dan perbedaan tekanan

intrapleural antara bagian basal paru dan bagian apeks paru. Bagian

basal paru memiliki tekanan intra pleural yang lebih rendah

dibandingkan dengan bagian apeks, sehingga bagian basal dapat

lebih mudah mengembang dan udara lebih mudah masuk

(Hedenstierna, 2009.).

Distribusi volume udara yang diinspirasi merupakan fungsi

langsung dari resistance (R) dan compliance (C) yang disebut

sebagai RC time constant. Pada keadaan normal, dua buah alveolus

yang berdekatan akan memiliki distribusi yang sama karena nilai R

dan C yang sama. Pada bronkiolus yang menyempit atau pada

alveoli yang kaku nilai R dan C akan lebih tinggi dibandingkan

dengan keadaan yang normal. Alveoli dengan nilai R dan C yang

tinggi akan mendapat distribusi udara yang lebih sedikit sehingga

underventilated (Djojodibroto, 2007).

3. Difusi

Proses difusi merupakan proses perpindahan gas menembus

selaput alveolokapiler. Oksigen berdifusi secara pasif dari bentuk

gas di alveolus menuju plasma dan eritrosit dan menuju plasma dan

sel darah merah. Jumlah yang dapat mengalami difusi melalui

membran ditentukan oleh area permukaan yang tersedia untuk

difusi, ketebalan membran, perbedaan tekanan di antara jaringan,

dan solubilitas gas tersebut di jaringan (Hedenstierna, 2009.).

4. Perfusi

Proses perfusi adalah proses pengambilan gas oleh aliran

darah kapiler paru yang adekuat. Aliran darah di paru dipengaruhi

oleh tekanan dan resistensi vaskuler. Aliran darah di dalam paru

memiliki tekanan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan

tekanan darah sistemik, yaitu hampir satu per lima dari diastole

normal (Djojodibroto, 2007 & Hedenstierna, 2009).

B. HUBUNGAN ANTARA VENTILASI-PERFUSI

Ventilasi dan perfusi pada orang normal hampir seimbang kecuali pada

bagian apeks paru. Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah

menyebabkan aliran darah di basis paru lebih besar dibandingkan dengan

bagian apeks. Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya gaya gravitasi. Nilai rata-

rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi adalah 0,8 (Price& Wilson, 2006).

V/Q= 0,8

V = ventilasi alveolar normal (4L/menit)

Q = curah jantung normal (5L/menit)

Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi kebanyakan terjadi

pada penyakit pernapasan. Hal yang dapat terjadi adalah tidak terdapat

ventilasi tetapi perfusi masih normal, dengan rasio ventilasi-perfusi kurang

dari 0,8 atau ventilasi normal tetapi tanpa perfusi, dengan rasio ventilasi-

perfusi lebih dari 0,8 (Price&Wilson, 2006).

C. TRANSPORT O2, CO2 DAN KURVA DISOSIASI OKSIHEMOGLOBIN

Sistem respirasi dan sistem kardiovaskuler bekerja sama dalam proses

transport oksigen menuju sel. Oksigen dalam darah ditransport dalam dua

bentuk yaitu bentuk terlarut dalam plasma, dapat diukur dengan PaO2, dan

yang terikat dengan hemoglobin. Dalam 100 ml darah yang meninggalan

kapiler paru, lebih kurang membawa 20 ml oksigen, dan hanya sekitar 0,3 ml

molekul oksigen yang terlarut dalam plasma. Oksigen diikat oleh ion besi dari

unit heme pada hemoglobin, sehingga akan membentuk oksihemoglobin yang

ikatannya bersifat reversible (Nurcahyo, et al., 2013).

Homeostasis CO2 juga merupakan salah satu aspek penting dalam

kecukupan respirasi. Pembuangan CO2 dari jaringan memiliki 3 jalur. Hampir

10% CO2 larut dalam plasma, 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada

Hb membentuk karbaminohemoglobin, dan 10% diangkut dalam bentuk ion

bikarbonat (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut:

CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3-

Reaksi tersebut bersifat reversibel dan disebut sebagai persamaan buffer

asam bikarbonat-karbonat. Keseimbangan asam-basa tubuh sangat

dipengaruhi oleh fungsi paru dan homeostasis CO2. Keadaan hiperventilasi

menyebabkan alkalosis karena ekskresi berlebihan CO2 dari paru, sedangkan

hipoventilasi menyebabkan asidosis karena adanya retensi CO2 oleh paru.

Jumlah CO2 dalam darah digambarkan dengan PCO2 (Price&Wilson, 2006).

Saturasi hemoglobin adalah persentase unit heme yang mengandung

oksigen terikat. Molekul hemoglobin dalam darah jika penuh terisi oksigen,

maka saturasinya adalah 100%. Saturasi oksigen pada darah arteri sistemik

biasanya sebesar 97%. Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb

ke dalam plasma, lalu berdifusi menuju sel-sel jaringan tubuh untuk

memenuhi kebutuhan jaringan. Saturasi hemoglobin pada vena yang kembali

dari jaringan perifer adalah 75% dengan PO2 40 mmHg. Hanya sekitar 25% O2

dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah

melepaskan O2 disebut Hb tereduksi. (Guyton &Hall, 2007; Price&Wilson,

2006).

Hubungan saturasi hemoglobin dan PO2 digambarkan dengan kurva

disosiasi oksigen-hemoglobin. Kurva disosiasi oksigen-hemoglobin

menyatakan afinitas Hb terhadap O2 pada berbagai tekanan parsial. Pergeseran

kurva disosiasi ke arah kanan menandakan adanya penurunan afinitas oksigen,

dan sebaliknya.

Terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi pergeseran kurva ke

kanan, antara lain (Guyton & Hall, 2007; Nurcahyo, et al., 2013):

1. Tingkat keasaman darah yang digambarkan dengan pH. Jika tingkat

keasaman darah meningkat atau pH meningkat maka kurva disosiasi

akan bergeser ke kanan lebih kurang sebanyak 15%. Afinitas Hb

terhadap O2 berkurang, sehingga jumlah O2 yang dapat diangkut

oleh darah menurun. Pergeseran kurva sedikit ke kanan akan

membantu pelapasan O2 ke jaringan. Pergeseran ini disebut efek

Bohr.

2. Peningkatan karbon dioksida dan ion hidrogen akan meningkatkan

pelepasan oksigen dari darah menuju jaringan dan akan

meningkatkan oksigenasi darah dalam paru.

3. Peningkatan 2,3 difosfogliserat (DPG). DPG adalah senyawa fosfat

organik yang berada dalam darah dan berfungsi untuk mengurangi

afinitas Hb terhadap oksigen.

4. Peninggian suhu darah. Pada aktivitas fisik, sejumlah otot aktif

bekerja dan akan melepaskan sejumlah besar karbon dioksida dan

beberapa asam lainnya, sehingga akan meningkatkan konsentrasi

ion hidrogen dalam darah kapiler otot. Selain itu suhu otot akan

meningkat 2-3o C sehingga transport oksigen ke serabut otot akan

semakin meningkat. Hal ini juga memungkinkan pengambilan

oksigen tambahan dari alveoli.

Gambar 2. Kurva Disosiasi Oksigen Hemoglobin

D. ANALISIS GAS DARAH ARTERI

Pengukuran gas darah arteri sangat penting untuk menilai pertukaran

gas di dalam paru. Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengukur keasaman

darah dan kadar bikarbonat. Analisis gas darah (AGD) arteri dilakukan untuk

mengevaluasi status oksigen dan karbondioksida dalam darah dan untuk

mengukur pH. Komponen AGD arteri antara lain pH, PaCO2, PaO2, SaO2,

HCO3, dan Base Excess (BE) (Djojodibroto, 2007).

Tabel 1. Nilai Normal AGD ArteriPengukuran Gas Darah Simbol Nilai normal

Tekanan CO2 PaCO2 35-45 mmHg

Tekanan O2 PaO2 80-100 mmHg

Persentase kejenuhan O2 SaO2 97

Konsentrasi ion hydrogen pH 7,35-7,45

Bikarbonat HCO3- 22-26 mEq/L

E. TERAPI OKSIGEN

Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu intervensi

medis dengan konsentrasi lebih tinggi dibanding dengan konsentrasi oksigen

dalam udara. Tujuan dari terapi oksigen antara lain untuk mempertahankan

oksigen jaringan yang adekuat sehingga mencegah hipoksia, menurunkan

kerja nafas, dan menurunkan kerja jantung (Nurcahyo, et al., 2013).

Hipoksia adalah kekurangan O2 di tingkat jaringan. Jaringan akan

mengalami hipoksia jika aliran oksigen tidak adekuat untuk memenuhi

metabolisme jaringan, dan dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah ventilasi

spontan berhenti. Hipoksia dibagi dalam 4 jenis, antara lain:

a. Hipoksia hipoksik atau anoksia anoksik, jika PO2 darah arteri

berkurang. Hipoksia hipoksik adalah masalah pada individu normal

di daerah ketingian dan merupakan penyulit pada penyakit-penyakit

sistem pernapasan seperti pneumonia. Gejala yang dapat muncul

pada keadaan ini adalah iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak

napas, mual dan muntah.

b. Hipoksia anemik jika O2 darah arteri normal tetapi mengalami

denervasi. Hipoksia anemik tidak berat ketika istirahat, karena

adanya peningkatan kadar DPG di dalam sel darah merah, kecuali

jika defisiensi hemoglobin dalam jumlah besar. Penderita mungkin

cukup mengalami kesulitan ketika melakukan latihan fisik, karena

keterbatasan kemampuan penngangkutan O2 ke jaringan fisik.

c. Hipoksia stagnan, terjadi akibat sirkulasi yang lambat, Hal ini

merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung ketika

terjadi syok. Pada gagal jantung kongestif, hati dan jaringan otak

dapat mengalami kerusakan akibat hipoksia stagnan.

d. Hipoksia histotoksik merupakan hipoksia yang disebabkan oleh

adanya kegagalan metabolisme seluler, karena adanya agen toksik,

endotoksemia, syok septik, defisensi sitemik dan penyakit

sistemiklainnya. Kegagalan proses oksidasi jaringan sering

disebabkan oleh sianida. Sianida akan menghambat sitokrom

oksidasi dan beberapa enzim lainnya.

Hipoksemia merupakan indikasi primer dari pemberian terapi oksigen.

Hipoksemia adalah keadaan penurunan PaO2 dan SaO2 di bawah nilai normal.

Hipoksemia dapat disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi, gangguan

difusi, dan ketika berada di tempat yang tinggi. Keadaan hipoksemia akan

menyebabkan beberapa perubahan fisiologi dengan tujuan mempertahankan

oksigenasi ke jaringan yang memadai. Jika PaO2 di bawah 55 mmHg, kendali

nafas akan meningkat dam PaO2 akan meningkat. Berdasarkan nilai PaO2 dan

SaO2, hipoksemia dibedakan menjadi ringan, sedang, dan berat (Singh, et al.,

2001):

1. Hipoksemia ringan jika PaO2 60-79 mmHg dan SaO2 90-94%

2. Hipoksemia sedang jika PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75-89%

3. Hipoksemia berat jika PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang

dari 75%.

Aliran oksigen ke jaringan yang kurang ataupun adanya penggunaan

berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari metabolisme

aerobik menjadi metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi. Jika

terdapat ketidakseimbangan, maka produksi asam laktat akan meningkat,

menimbulkan asidosis dengan cepat, mengganggu metabolisme seluler dan

menyebabkan kematian sel (Price &Wilson, 2006).

Terapi oksigen berdasarkan jangka waktu pemberian dibagi menjadi

dua, yaitu terapi oksigen jangka pendek (Short-term oxygen therapy) atau

terapi oksigen jangka panjang (Long term oxygen therapy). Indikasi untuk

pemberian oksigen harus jelas. Selain itu, oksigen yang diberikan harus dalam

jumlah yang tepat dan harus dievaluasi agar tujuan terapi tercapai dan tidak

terjadi toksisitas (Latief, 2002).

1. Terapi Oksigen Jangka Pendek

Oksigen diberikan dengan FiO2 antara 60-100% dalam jangka

waktu yang pendek hingga kondisi membaik dan terapi yang

spesifik diberikan. Setelah itu oksigen diberikan dengan dosis yang

dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisir efek samping

(Ganong, 2003).

Indikasi terapi oksigen jangka pendek antara lain (Ganong,

2003):

a. Hipoksemia akut (PaO2 <60mmHg, SaO2 <90%)

b. Cardiac arrest dan respiratory arrest

c. Hipotensi (tekanan darah sistolik <100mmHg)

d. Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik

(HCO3- <18 mmol/L)

e. Respiratory distress (frekuensi napas>24/menit)

2. Terapi Oksigen Jangka Panjang

Terapi oksigen jangka panjang paling sering diberikan kepada

pasien dengan PPOK, karena dapat meningkatkan jangka hidup

sekitar 6-7 tahun. Angka kematian pada pasien dengan hipoksemia

kronis menurun pada oksigen yang diberikan >12 jam perhari

(Ganong, 2003).

Pemberian terapi oksigen jangka panjang harus diberikan

dengan beberapa syarat, antara lain (Singh, et al., 2001):

a. Terdiagnosis dengan hipoksemia kronis

b. Mendapatkan pengaruh dari pengobatan yang optimal

c. Kondisi pasien stabil

d. Pemberian oksigen harus menunjukkan peningkatan

kondisi hipoksemia dan memberikan keuntungan klinis

bagi pasien.

Indikasi pemberian terapi oksigen jangka panjang antara lain

(Singh, et al., 2001):

a. PaO2 pasien pada posisi tidak berbaring ≤ 55 mmHg

b. PaO2 pasien ≥ 55 mmHg jika

i. Dengan pengobatan optimal, pasien menunjukkan

tanda-tanda disfungsi organ

ii. PaO2 pasien turun ≤ 55 mmHg selama tidur

iii. PaO2 menurun ketika aktifitas dan terapi oksigen

meningkatkan toleransi.

Pasien dengan PPOK diberikan oksigen sebanyak 1-2 L/menit.

PaO2 harus dipertahankan pada kurang lebih 60 mmHg (Singh, et

al., 2001).

Indikasi lain untuk terapi oksigen adalah:

1. Syok dengan berbagai penyebab

2. Infark miokard akut

3. Keadaan yang menyebabkan peningkatan metabolisme rate

(tirotoksikosis, sepsis, hipertermia)

4. Keracunan gas CO (karbon monoksida)

5. Menjelang induksi anestesi

6. Penderita yang tidak sadarkan diri

7. Keadaan-keadaan seperti emfisema pasca bedah, emboli udara,

pneumothoraks

8. Asidosis

9. Anemia berat.

Terapi oksigen berdasarkan cara pemberiannya dibagi menjadi dua

jenis, yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi. Alat yang digunakan

pada sistem arus rendah meliputi (British Thoracic Society, 2008):

1. Kanul Nasal

Kanul nasal digunakan pada konsentrasi oksigen rendah

sampai sedang. Pemberian 1-6L/menit dengan kanul nasal dapat

mempengaruhi FiO2 sebanyak 24-44%. Setiap 1 L/menit oksigen

akan menambah kadar oksigen sebesar 4%. Pemberian oksigen >

4L/ menit pada beberapa orang dapat menyebabkan rasa tidak

nyaman dan rasa kering pada hidung, terutama jika diberikan

selama beberapa jam. Beberapa keuntungan dari penggunaan nasal

kanul adalah nyaman, rentang pemberian oksigen luas (antara 1-6

L), tidak menyebabkan sensasi klaustrofobik, dan pasien masih bisa

makan dan berbicara tanpa terganggu. Kerugian dari kanul nasal

adalah tidak dapat digunakan jika terdapat kongesti hidung. Selain

itu penggunaan kanul nasal dapat menyebabkan iritasi hidung.

Gambar 3. Kanul Nasal

2. Simple Face Mask

Menghantarkan oksigen dengan konsentrasi di antara 40%-

60%. Oksigen dapat diberikan dengan aliran 5-10L/menit. Sungkup

ini sesuai untuk pasien dengan gagal napas hipoksemik.

Gambar 4. Simple Face Mask

3. Partial Rebreathing Mask (PRM) dan Non Rebreathing Mask

(NRM)

PRM merupakan simple mask yang dilengkapi dengan kantung

reservoir. Sistem ini mengalirkan oksigen sebanyak 6-10 L/menit

dengan konsentrasi 40-70% oksigen. Sedangkan NRM dapat

menghantarkan oksigen sebanyak 10-15 L/ menit dengan

konsentrasi 60-90% oksigen. NRM cocok digunakan untuk trauma

dan keadaan gawat darurat yang mungkin terjadi retensi CO2.

Gambar 5. Non Rebreathing Mask

Alat yang digunakan untuk pemberian oksigen dengan sistem arus

tinggi adalah Venturi Mask. Venturi Mask dapat memberikan konsentrasi

oksigen yang akurat. Venturi Mask tersedia dalam beberapa konsentrasi, yaitu

24%, 28%, 35%, 40%, dan 60%. Venturi mask sesuai untuk pasien yang

membutuhkan oksigen dengan konsentrasi yang akurat, tetapi untuk

konsentrasi 24% dan 28% lebih sering digunakan untuk pasien dengan risiko

retensi CO2, seperti pada pasien PPOK (British Thoracic Society, 2008).

Gambar 6. Venturi Mask

Terapi oksigen memiliki bahaya dan efek samping, antara lain

(Nurcahyo, et al., 2013):

1. Kebakaran

Oksigen dengan konsentrasi tinggi dalam udara kamar akan

meningkatkan risiko terjadinya kebakaran jika ada sumber api.

2. Hipoksia

Hipoksia dapat terjadi jika oksigen diberikan dengan konsentrasi

tinggi dalam waktu mendadak.

3. Hipoventilasi

Terutama pada pasien PPOK. Pengendalian pusat napas pada pasien

PPOK dikendalikan dengan keadaan hipoksia (hypoxic drive). Jika

kondisi hipoksia berhenti, maka rangsangan di pusat napas akan

berhenti, sehingga menyebabkan hipoventilasi. Oleh sebab itu

pasien PPOK diberikan oksigen dengan konsenrasi rendah dan

diberikan bertahap.

4. Atelektasis Paru

Atelektasis terjadi jika oksigen yang diberikan memiliki konsentrasi

yang sangat tinggi dan dalam jangka waktu yang lama. N2 dari

alveoli terusir, sehingga dinding alveoli tidak dapat teregang dan

kolaps.

5. Keracunan oksigen

PaO2 yang melebihi 100 torr dan diberikan dalam jangka waktu

yang lama dapat menyebabkan keracunan oksigen. Pada keadaan

akut akan muncul kejang, pada keadaan kronis gejala yang muncul

seperti nyari di belakang tulang dada, nyeri sendi, kesemutan, mual,

muntah dan nafsu makan yang menurun.

III. KESIMPULAN

1. Respirasi adalah proses pertukaran gas antara darah dan lingkungan yang

terdiri dari empat proses yaitu ventilasi, distribusi, difusi dan perfusi.

2. Saturasi oksigen antara lain dipengaruhi oleh pH, PCO2, DPG dan

peningkatan suhu.

3. Indikasi utama dari pemberian terapi oksigen adalah hipoksemia, yaitu

penurunan PaO2 dan SaO2 di bawah nilai normal. Hipoksemia dapat

disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi, gangguan difusi, atau ketika

berada di tempat tinggi.

4. Pemberian terapi oksigen memiliki beberapa risiko dan efek samping antara

lain kebakaran, hipoksia, hipoventilasi, atelektasis paru, dan keracunan

oksigen.

DAFTAR PUSTAKA

British Thorax Society. 2008. Guideline for Emergency Oxygen Use in Adult Patients. UK: BTS.

Djojodibroto D. 2007. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC

Ganong FW. 2003. Fisiologi Kedokteran Edisi 20.Jakarta: EGC.

Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed. 11. Jakarta: EGC.

Latief AS. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: FK UI.

National Home Oxygen Patients Association. 2013. Understanding Oxygen Therapy. Available at: http://www.homeoxygen.org/assets/docs/Understanding%20Oxygen%20Therapy%202013.pdf (Diakses pada 8/4/2015)

Nurcahyo WI, Susilowati D, Sutiyono D. 2013. Anestesiologi. Semarang: FK UNDIP.

Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Voume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC.

Singh CP, Singh N, Singh J, Brar GK, Singh G. 2001. Oxygen Therapy. Indian Academy of Clinical Medicine Volume 2 No.3: 178-179.