teori2 bab 2
TRANSCRIPT
Kepemimpinan adalah salah satu faktor yang menentukan kesuksesan dalam sebuah
manajemen pendidikan. Untuk itu perlu kiranya dibahas tentang pengertian
kepemimpinan, teori kepemimpinan, tipe kepemimpinan, pengertian manajemen, dan
kepemimpinan sehubungan dengan manajemen pendidikan.
Mengapa perlu ada pemimpin? Pemimpin diperlukan sedikitnya terdapat empat macam
alasan, yaitu (a) karena banyak orang memerlukan figure pemimpin, (b) dalam beberapa
situasi seorang pemimpin perlu tampil mewakili kelompoknya, (c) sebagai tempat
pengambilalihan resiko bila terjadi tekanan terhadap kelompoknya, dan (d) sebagai
tempat untuk meletakkan kekuasaan.
A. DEFINISI KEPEMIMPINAN
Literatur tentang kepemimpinan jumlahnya sangat banyak, dan definisi kepemimpinan
bervariasi sebanyak orang yang mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan itu
sendiri. Namun penulis membatasi hanya beberapa saja yang ditampilkan.
Kepemimpinan (leadership) dapat didefinisikan sebagai proses yang berhubungan dengan
kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang dari setiap individu dan kelompok
(Ary gunawan, 2001: 1).
Senada dengan definisi di atas Stephen P Robin (2006 : 432) mendefinisikan
“kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok menuju
pencapaian sasaran.”
Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk
mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
(Slamet, 2002: 29)
Definisi ini didukung oleh Nurkolis (2005 :153) yang menyebutkan bahwa
kepemimpinan difahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai kekuatan untuk
menggerakkan orang dan mempengaruhi orang.
Jadi menurut tokoh-tokoh tersebut di atas kepemimpinan adalah proses dari sebuah
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok dalam mencapai suatu
tujuan. Kata proses menandakan bahwa ada alur didalam sebuah kepemimpinan, dimana
alur tersebut memiliki aturan-aturan tersendiri dalam mempengaruhi orang lain.
Dalam buku Gary Yukl yang berjudul Kepemimpinan Dalam Organisasi disebutkan
bahwa “kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami
dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara
efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kelompok untuk mencapai
tujuan bersama” (2005 : 8).
Pendefinisian Gary Yukl tersebut mencakup upaya yang tidak hanya untuk
mempengaruhi dan memfasilitsi pekerjaan kelompok atau organisasi yang sekarang tetapi
definisi itu dapat juga digunakan untuk memastikan bahwa semuanya dipersiapkan untuk
memenuhi tantangan di masa depan.
Gary Yukl memandang kepemimpinan sebagai peran khusus dan proses pemberian
pengaruh secara sosial. Setiap orang dapat memerankannya, tetapi beberapa pembedaan
peran diasumsikan terjadi dalam berbagai kelompok atau organisasi. Baik proses rasional
maupun emosional ditinjau sebagai aspek yang esensial dalam kepemimpinan.
B. TEORI KEPEMIMPINAN
Teori tentang kepemimpinan terus berkembang, dan hingga kini setidaknya terdapat
empat fase pendekatan. Pertama, pendekatan berdasarkan sifat-sifat (trait) kepribadian
umum yang dimiliki seorang pemimpin. Kedua, berdasarkan pendekatan tingkah laku
(behaviour) pemimpin. Ketiga, berdasarkan pendekatan situasional (contingency).
Keempat, pendekatan kembali kepada sifat atau ciri pemimpin yang menjadi acuan orang
lain.
Hingga tahun 1940-an kajian tentang kepemimpinan didasakan pada teori sifat. Teori
kepemimpinan sifat adalah teori yang mencari sifat-sifat kepribadian, sosial, fisik, atau
intelektual yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin.
Antara tahun 1940-an hingga 1960-an berkembang teori kepemimpinan tingkah laku.
Teori kepemimpinan ini mengusulkan bahwa tingkah laku tertentu membedakan antara
pemimpin dan bukan pemimpin. Berdasarkan teori ini kepemimpinan itu dapat diajarkan.
Oleh karena itu, untuk melahirkan pemimpin yang baik kita bisa mendesain sebuah
program khusus.
Selanjutnya, antara tahun 1960-an hingga tahun 1970-an berkembang kajian-kajian
kepemimpinan yang berdasarkan kepada teori kemungkinan. Teori kemungkinan atau
situasional mendasarkan bukan pada sifat atau tingkah laku seorang pemimpin,
melainkan efektivitas kepemimpinan dipengaruhi oleh situasi tertentu. Dalam situasi
tertentu memerlukan gaya kepemimpinan tertentu, demikian pula pada situasi yang lain
memerlukan gaya kepemimpinan yang lain.
Teori kepemimpinan mutakhir berkembang antara tahun1970-an hingga tahun 2000-an.
Teori yang berkembang selanjutnya tidak didasarkan pada sifat, tingkah laku atau situasi
tertentu, tetapi didasarkan pada kemampuan lebih pada seorang pemimpin dibandingkan
dengan yang lain. Yang termasuk ke dalam kajian teori kepemimpinan mutakhir adalah
kepemimpinan atribusi, teori kepemimpinan kharismatik, teori kepemimpinn
transformasional yang sering dibandingkan dengan teori kepemimpinan transaksional.
Teori kepemimpinan atribusi mengemukakan bahwa kepemimpinan semata-mata suatu
atribusi yang dibuat orang mengenai individu-individu lain. Sementara itu, teori
kepemimpin kharismatik merupakan perpanjangan dari teori-teori atribusi. Teori ini
mengemukakan bahwa para pengikut membuat atribusi (penghubung) dari kemampuan
kepemimpinan yang heroik atau luar biasa bila mengamati perilaku-perilaku yang
membedakan pemimpin kharismatik dari padanan yang non kharismatik.
Kharismatik adalah kata Yunani yang berarti karunia diinspirasikan Illahi seperti
kemampuan untuk memprediksi peristiwa-peristiwa di masa datang. Seorang pemimpin
yang memiliki kharisma beerarti meemiliki pengaruh yang bukan didasarkan atas
kewenangan, melainkan atas persepsi para pengikut bahwa pemimpin tersebut dikaruniai
dengan kemampuan-kemampuan yang luar biasa.
Seorang pemimpin kharismatik memiliki tujuh karakteristik kunci, yaitu percaya diri,
memiliki visi, memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan visi, memiliki pendirian
yang kuat terhadap visinya, memiliki perilaku yang berbeda dari kebiasaan orang, merasa
sebagai agen pembaru dan sensitif terhadap lingkungan.
Pemimpin kharismatik adalah pemimpin yang memiliki pengaruh luar biasa pada
organisasi. Berdasarkan teori House, pemimpin kharismatik memiliki tingkat
kepercayaan diri, dominasi serta keyakinan yang sangat tinggi akan kebenaaran moral
dan keyakinannya. House juga mngemukakan bahwa pemimpin kharismatik
mengkomunikasikan visi atau sasaran lebih tinggi yang merebut komitmen dan energi
para pengikutnya. Mereka secara hati-hati menciptakan citra keberhasilan dari kompetisi
serta memberi contoh dalam tingkah laku dan nilai-nilai yang mereka dukung. Mereka
juga mengkomunikasikan harapan yang tinggi untuk paa pengikutnya dan kepercayaan
diri bahwa pengikutnya akan berprestasi mngikuti harapan tersebut.
Para pemimpin kharismatik memiliki kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan, rasa
percaya diri, serta pendirian dalam keyakinan-keyakinan dalam cita-cita mereka sendiri.
Suatu kebutuhan akan kekuasaan memotivasi pemimpin tersebut iuntuk mencoba
mempengaruhi para pengikut. Rasa pecaya diri dan pendirian yang kuat meningkatkan
rasa percaya para pengikut terhadap pertimbangan dan pendapat pemimpin tersebut.
Kepemimpinan transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikut
mereka dalam arah tujuan yang ditegaskan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.
Sementara itu, dalam kepemimpinan transformasional seorang pemimpin memberikan
pertimbangan dan ransangan intelektual yang diindividualkan, dan yang memiliki
kharisma.
menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) adalah kegiatan atau seni
mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan
orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang
diinginkan kelompok. Kepemimpinan menurut Young (dalam Kartono, 2003) lebih
terarah dan terperinci dari definisi sebelumnya. Menurutnya kepemimpinan adalah
bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau
mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh
kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Dalam teori kepribadian menurut Moejiono (2002) memandang bahwa kepemimpinan
tersebut sebenarnya sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin
memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para
ahli teori sukarela (compliance induction theorist) cenderung memandang kepemimpinan
sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana
untuk membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin (Moejiono, 2002).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan
kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan
mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian
khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan
organisasi atau kelompok.
Menurut beberapa kelompok sarjana (dalam Kartono, 2003); Shinta (2002) membagi
TipeKepemimpinan sebagai berikut:
1. Tipe Kharismatis
Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan
yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang
sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. Kepemimpinan
kharismatik dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) dan kemampuan-
kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia Yang Maha Kuasa.
Kepemimpinan yang kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh
pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik memancarkan pengaruh dan
daya tarik yang amat besar.
2. Tipe Paternalistis/Maternalistik
Kepemimpinan paternalistik lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang kebapakan
dengan sifat-sifat sebagai berikut: (1) mereka menganggap bawahannya sebagai manusia
yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan, (2) mereka
bersikap terlalu melindungi, (3) mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan
untuk mengambil keputusan sendiri, (4) mereka hampir tidak pernah memberikan
kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif, (5) mereka memberikan atau hampir
tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk
mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri, (6) selalu bersikap maha
tahu dan maha benar.
Sedangkan tipe kepemimpinan maternalistik tidak jauh beda dengan tipe kepemimpinan
paternalistik, yang membedakan adalah dalam kepemimpinan maternalistik terdapat
sikap over-protective atau terlalu melindungi yang sangat menonjol disertai kasih sayang
yang berlebih lebihan.
3. Tipe militeristik
Tipe kepemimpinan militeristik ini sangat mirip dengan tipe kepemimpinan otoriter.
Adapun sifat-sifat dari tipe kepemimpinan militeristik adalah: (1) lebih banyak
menggunakan sistem perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali
kurang bijaksana, (2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3) sangat
menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang
berlebihan, (4) menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya, (5) tidak
menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi
hanya berlangsung searah.
4. Tipe Otokratis (Outhoritative, Dominator)
Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: (1) mendasarkan diri pada
kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi, (2) pemimpinnya selalu berperan
sebagai pemain tunggal, (3) berambisi untuk merajai situasi, (4) setiap perintah dan
kebijakan selalu ditetapkan sendiri, (5) bawahan tidak pernah diberi informasi yang
mendetail tentang rencana dan tindakan yang akan dilakukan, (6) semua pujian dan kritik
terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi, (7) adanya sikap
eksklusivisme, (8) selalu ingin berkuasa secara absolut, (9) sikap dan prinsipnya sangat
konservatif, kuno, ketat dan kaku, (10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan
apabila mereka patuh.
5. Tipe Laissez Faire
Pada tipe kepemimpinan ini praktis pemimpin tidak memimpin, dia membiarkan
kelompoknya dan setiap orang berbuat semaunya sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi
sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus
dilakukan oleh bawahannya sendiri. Pemimpin hanya berfungsi sebagai simbol, tidak
memiliki keterampilan teknis, tidak mempunyai wibawa, tidak bisa mengontrol anak
buah, tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja, tidak mampu menciptakan suasana
kerja yang kooperatif. Kedudukan sebagai pemimpin biasanya diperoleh dengan cara
penyogokan, suapan atau karena sistem nepotisme. Oleh karena itu organisasi yang
dipimpinnya biasanya morat marit dan kacau balau.
6. Tipe Populistis
Kepemimpinan populis berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisonal,
tidak mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang luar negeri. Kepemimpinan
jenis ini mengutamakan penghidupan kembali sikap nasionalisme.
7. Tipe Administratif/Eksekutif
Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan
tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari teknokrat-
teknokrat dan administratur-administratur yang mampu menggerakkan dinamika
modernisasi dan pembangunan. Oleh karena itu dapat tercipta sistem administrasi dan
birokrasi yang efisien dalam pemerintahan. Pada tipe kepemimpinan ini diharapkan
adanya perkembangan teknis yaitu teknologi, indutri, manajemen modern dan
perkembangan sosial ditengah masyarakat.
8. Tipe Demokratis
Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang
efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan,
dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama
yang baik. kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada pemimpinnya akan
tetapi terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok.
Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan
nasehat dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan
bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif
mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.
Refleksi:
Pada dasarnya gaya kepemimpinan ini bukan suatu hal yang mutlak untuk diterapkan,
karena pada dasarnya semua jenis gaya kepemimpinan itu memiliki keunggulan masing-
masing. Pada situasi atau keadaan tertentu dibutuhkan gaya kepemimpinan yang otoriter,
walaupun pada umumnya gaya kepemimpinan yang demokratis lebih bermanfaat. Oleh
karena itu dalam aplikasinya, tinggal bagaimana kita menyesuaikan gaya kepemimpinan
yang akan diterapkan dalam keluarga, organisasi/perusahan sesuai dengan situasi dan
kondisi yang menuntut diterapkannnya gaya kepemimpinan tertentu untuk mendapatkan
manfaat.
Teori Kepemimpinan. Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang
paling komprehensif berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan
transformasional dan transaksional (Bass, 1990). Gagasan awal mengenai gaya
kepemimpinan transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James
MacFregor Gurns yang menerapkannya dalam konteks politik. Gagasan ini selanjutnya
disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass
(Berry dan Houston, 1993).
Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan
transformasional dan transaksional dapat dipilah secara tegas dan keduanya merupakan
gaya kepemimpinan yang saling bertentangan. Kepemimpinan transformasional dan
transaksional sangat penting dan dibutuhkan setiap organisasi.
Selanjutnya Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997; Keller, 1992) mengembangkan
konsep kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan berlandaskan pada
pendapat Maslow mengenai hirarki kebutuhan manusia. Menurut Burn (dalam Pawar dan
Eastman, 1997) keterkaitan tersebut dapat dipahami dengan gagasan bahwa kebutuhan
karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisiologis dan rasa aman hanya dapat
dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transaksional. Sebaliknya, Keller (1992)
mengemukakan bahwa kebutuhan yang lebih tinggi, seperti harga diri dan aktualisasi diri,
hanya dapat dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transformasional.
Sejauhmana pemimpin dikatakan sebagai pemimpin transformasional, Bass (1990) dan
Koh, dkk. (1995) mengemukakan bahwa hal tersebut dapat diukur dalam hubungan
dengan pengaruh pemimpin tersebut berhadapan karyawan. Oleh karena itu, Bass (1990)
mengemukakan ada tiga cara seorang pemimpin transformasional memotivasi
karyawannya, yaitu dengan:
1) mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha;
2) mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok; dan
3) meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi
diri.
Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional 38 Berkaitan dengan
kepemimpinan transformasional, Bass (dalam Howell dan Hall-Merenda, 1999)
mengemukakan adanya empat karakteristik kepemimpinan transformasional, yaitu:
1) karisma,
2) inspirasional,
3) stimulasi intelektual, dan
4) perhatian individual.
Selanjutnya, Bass (1990) dan Yukl (1998) mengemukakan bahwa hubungan pemimpin
transaksional dengan karyawan tercermin dari tiga hal yakni:
1) pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelasakan apa yang akan
mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan;
2) pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan
imbalan; dan
3) pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama kepentingan
tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan karyawan.
Bass (dalam Howell dan Avolio, 1993) mengemukakan bahwa karakteristik
kepemimpinan transaksional terdiri atas dua aspek, yaitu imbalan kontingen, dan
manajemen eksepsi.
Berkaitan dengan pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap perilaku
karyawan, Podsakoff dkk. (1996) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan
transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap, persepsi, dan
perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin, motivasi,
kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu
organisasi.
Menurut Bycio dkk. (1995) serta Koh dkk. (1995), kepemimpinan transaksional adalah
gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin menfokuskan perhatiannya pada
transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan
pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi
sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.
Judge dan Locke (1993) menegaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan salah satu
faktor penentu kepuasan kerja. Jenkins (dalam Manajemen, 1990), mengungkapkan
bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kondisi
kerja karena karyawan merasa pimpinan tidak memberi kepercayaan kepada karyawan,
tidak ada
keterlibatan karyawan dalam pembuatan keputusan, pemimpin berlaku tidak objektif dan
tidak jujur pada karyawan. Pendapat ini didukung oleh Nanus (1992) yang
mengemukakan bahwa alasan utama karyawan meninggalkan organisasi disebabkan
karena pemimpin gagal memahami karyawan dan pemimpin tidak memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan karyawan. Dalam kaitannya dengan koperasi, Kemalawarta (2000)
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kendala yang menghambat perkembangan
koperasi di Indonesia adalah keterbatasan tenaga kerja yang terampil dan tingginya
turnover.
Pada dasarnya, kepemimpinan merupakan kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi
karyawan dalam sebuah organisasi, sehingga mereka termotivasi untuk mencapai tujuan
organisasi. Dalam memberikan penilaian terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkan
pemimpin, karyawan melakukan proses kognitif untuk menerima, mengorganisasikan,
dan memberi penafsiran terhadap pemimpin (Solso, 1998).
Berbagai penelitian yang dilakukan berkaitan dengan kepuasan kerja terutama dalam
hubungannya dengan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Penelitian
yang dilakukan oleh Koh dkk. (1995) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan kepuasan kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Popper dan Zakkai (1994) menunjukkan bahwa pengaruh
kepemimpinan transformasional terhadap organisasi sangat besar.
A. Pengertian Kepuasan kerja
Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda, seperti yang didefinisikan oleh Kreitner & Kinicki (2005), bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya. Blum (As’ad, 2000) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, karakteristik individual, serta hubungan kelompok di luar pekerjaan itu sendiri. Handoko (2001) mengatakan bahwa kepuasan kerja sebagai respon emosional menunjukkan perasaan yang menyenangkan berkaitan dengan pandangan karyawan terhadap pekerjaannya.
Tiffin mengemukakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaan itu sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dan sesama pimpinan dan sesama karyawan. Locke dan Luthans berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah perasaan pekerja atau karyawan yang berhubungan dengan pekerjaannya, yaitu merasa senang atau tidak senang, sebagai hasil penilaian individu yang bersangkutan terhadap pekerjaannya.
Herzberg di dalam teorinya Two Factors Theory mengatakan bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda serta kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu. Berdasarkan penelitian yang ia lakukan, Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu kelompok satisfiers dan kelompok dissatisfiers. Kelompok satisfiers atau motivator adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari achievement, recognition, work it self, responsibility and advancement.
Herzberg mengatakan bahwa hadirnya faktor ini dapat menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Sedangkan kelompok dissatisfiers ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari company policy and administration, supervision technical, salary, interpersonal relations, working conditions, job security dan status. Perbaikan terhadap kondisi atau situasi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja akan dapat diketahui dengan melihat beberapa hal yang dapat menimbulkan dan mendorong kepuasan kerja yaitu:
1. Faktor Psikologik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan.
2. Faktor Sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik sesama karyawan dengan atasan maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
3. Faktor Fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya.
4. Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistim dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.
PENGERTIAN KEPUASAN KERJA
Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempatnya
bekerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual karena
setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan
nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap individu. Semakin banyak aspek dalam
pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi tingkat
kepuasan yang dirasakan.
Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang
menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yag diterima pekerja dan jumlah
yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbin, 2003:78).
Greenberg dan Baron (2003:148) mendeskripsikan kepuasan kerja sebagai sikap
positif atau negatif yang dilakukan individu terhadap pekerjaan mereka. Selain itu
Gibson (2000:106) menyatakan kepuasan kerja sebagai sikap yang dimiliki para
pekerja tentang pekerjaan mereka. Hal itu merupakan hasil dari persepsi mereka
tentang pekerjaan.
Kepuasan kerja merupakan respon afektif atau emosional terhadap berbagai segi
atau aspek pekerjaan seseorang sehingga kepuasan kerja bukan merupakan konsep
tunggal. Seseorang dapat relatif puas dengan salah satu aspek pekerjaan dan tidak
puas dengan satu atau lebih aspek lainnya.
Kepuasan Kerja merupakan sikap (positif) tenaga kerja terhadap pekerjaannya,
yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Penilaian tersebut dapat
dilakukan terhadap salah satu pekerjaannya, penilaian dilakukan sebagai rasa
menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai penting dalam pekerjaan. Karyawan
yang puas lebih menyukai situasi kerjanya daripada tidak menyukainya.
Locke mencatat bahwa perasaan-perasaan yang berhubungan dengan kepuasan
dan ketidakpuasan kerja cenderung mencerminkan penaksiran dari tenaga kerja
tentang pengalaman-pengalaman kerja pada waktu sekarang dan lampau daripada
harapan-harapan untuk masa depan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat dua
unsur penting dalam kepuasan kerja, yaitu nilai-nilai pekerjaan dan kebutuhan-
kebutuhan dasar.
Nilai-nilai pekerjaan merupakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam
melakukan tugas pekerjaan. Yang ingin dicapai ialah nilai-nilai pekerjaan yang
dianggap penting oleh individu. Dikatakan selanjutnya bahwa nilai-nilai pekerjaan
harus sesuai atau membantu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari tenaga kerja
yang berkaitan dengan motivasi kerja.
Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah dari
kepuasan kerja (dari setiap aspek pekerjaan) dikalikan dengan derajat pentingnya
aspek pekerjaan bagi individu. Menurut Locke seorang individu akan merasa puas
atau tidak puas terhadap pekerjaannya merupakan sesuatu yang bersifat pribadi, yaitu
tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara
keinginan-keinginannya dengan hasil keluarannya (yang didapatnya).
Sehingga dapat disimpulkan pengertian kepuasan kerja adalah sikap yang positif
dari tenaga kerja meliputi perasaan dan tingkah laku terhadap pekerjaannya melalui
penilaian salah satu pekerjaan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu
nilai-nilai penting pekerjaan.
B. TEORI KEPUASAN KERJA
Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian
orang lebih puas terhadap suatu pekerjaan daripada beberapa lainnya. Teori ini juga
mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja. Ada
beberapa teori tentang kepuasan kerja yaitu :
1. Two Factor Theory
Teori ini menganjurkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan merupakan
bagian dari kelompok variabel yang berbeda yaitu motivators dan hygiene
factors.
Pada teori ini ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi disekitar
pekerjaan (seperti kondisi kerja, upah, keamanan, kualitas pengawasan dan
hubungan dengan orang lain) dan bukan dengan pekerjaan itu sendiri. Karena
faktor mencegah reaksi negatif dinamakan sebagai hygiene atau maintainance
factors.
Sebaliknya kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan pekerjaan itu
sendiri atau hasil langsung daripadanya seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam
pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pengembangan diri dan
pengakuan. Karena faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja tinggi
dinamakan motivators.
2. Value Theory
Menurut teori ini kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil
pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang
menerima hasil, akan semakin puas dan sebaliknya. Kunci menuju kepuasan
pada teori ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dengan
yang diinginkan seseorang. Semakiin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan
orang.
C. PENYEBAB KEPUASAN KERJA
Ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja (Kreitner dan
Kinicki :225) yaitu sebagai berikut :
a. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment)
Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan
kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
b. Perbedaan (Discrepancies)
Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan
mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang
diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa yang
diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya individu akan puas bila
menerima manfaat diatas harapan.
c. Pencapaian nilai (Value attainment)
Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai
kerja individual yang penting.
d. Keadilan (Equity)
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat
kerja.
e. Komponen genetik (Genetic components)
Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Hal ini
menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk
menjelaskan kepuasan kerja disampng karakteristik lingkungan pekerjaan.
Selain penyebab kepuasan kerja, ada juga faktor penentu kepuasan kerja.
Diantaranya adalah gaji, kondisi kerja dan hubungan kerja (atasan dan rekan
kerja).
a. Gaji/Upah
Menurut Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah
absolute dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi
harapan-harapan tenaga kerja dan bagaimana gaji diberikan. Selain untuk
pemenuhan kebutuhan dasar, uang juga merupakan simbol dari pencapaian
(achievement), keberhasilan dan pengakuan/penghargaan.
Berdasarkan teori keadilan Adams, orang yang menerima gaji yang
dipersepsikan terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami ketidakpuasan.
Jika gaji dipersepsikan adil berdasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat
ketrampilan individu dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok
pekerjaan tertentu maka akan ada kepuasan kerja.
Jika dianggap gajinya terlalu rendah, pekerja akan merasa tidak puas.
Tapi jika gaji dirasakan tinggi atau sesuai dengan harapan, pekerja tidak lagi
tidak puas, artinya tidak ada dampak pada motivasi kerjanya. Gaji atau
imbalan akan mempunyai dampak terhadap motivasi kerja seseorang jika
besarnya imbalan disesuaikan dengan tinggi prestasi kerjanya.
b. Kondisi kerja yang menunjang
Bekerja dalam ruangan atau tempat kerja yang tidak menyenangkan
(uncomfortable) akan menurunkan semangat untuk bekerja. Oleh karena itu
perusahaan harus membuat kondisi kerja yang nyaman dan menyenangkan sehingga
kebutuhan-kebutuhan fisik terpenuhi dan menimbulkan kepuasan kerja.
c. Hubungan Kerja
Hubungan dengan rekan kerja
Ada tenaga kerja yang dalam menjalankan pekerjaannya
memperoleh masukan dari tenaga kerja lain (dalam bentuk tertentu).
Keluarannya (barang yang setengah jadi) menjadi masukan untuk
tenaga kerja lainnya. Misalnya pekerja konveksi. Hubungan antar
pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak yang berbentuk
fungsional.
Kepuasan kerja yang ada timbul karena mereka dalam jumlah
tertentu berada dalam satu ruangan kerja sehingga dapat berkomunikasi.
Bersifat kepuasan kerja yang tidak menyebabkan peningkatan motivasi
kerja. Dalam kelompok kerja dimana para pekerjanya harus bekerja
sebagai satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena
kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi mereka seperti harga diri,
aktualisasi diri dapat dipenuhi dan mempunyai dampak pada motivasi
kerja mereka.
Hubungan dengan atasan
Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja
adalah tenggang rasa (consideration). Hubungan fungsional
mencerminkan sejauhmana atasan membantu tenaga kerja untuk
memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja.
Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang
mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa, misalnya
keduanya mempunyai pandangan hidup yang sama.
Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan adalah
jika kedua jenis hubungan adalah positif. Atasan yang memiliki ciri
pemimpin yang transformasional, maka tenaga kerja akan meningkat
motivasinya dan sekaligus dapat merasa puas dengan pekerjaannya.
D. KORELASI KEPUASAN KERJA
Hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain dapat bersifat positif
atau negatif. Kekuatan hubungan mepunyai rentang dari lemah dampai kuat.
Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa atasan dapat mempengaruhi dengan
signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja (Kreitner dan
Kinicki,2001:226).
Beberapa korelasi kepuasan kerja sebagai berikut :
1) Motivasi
Antara motivasi dan kepuasan kerja terdapat hubungan yang positif dan
signifikan. Karena kepuasan dengan pengawasan/supervisi juga mempunyai
korelasi signifikan dengan motivasi, atasan/manajer disarankan
mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mempengaruhi kepuasan
pekerja sehingga mereka secara potensial dapat meningkatkan motivasi
pekerja melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja.
2) Pelibatan Kerja
Hal ini menunjukkan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan
dengan peran kerjanya. Karena pelibatan kerja mempunyai hubungan dengan
kepuasan kerja, dan peran atasan/manajer perlu didorong memperkuat
lingkungan kerja yang memuaskan untuk meingkatkan keterlibatan kerja
pekerja.
3) Organizational citizenship behavior
Merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya.
4) Organizational commitment
Mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan
organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Antara komitmen
organisasi dengan kepuasan terdapat hubungan yang sifnifikan dan kuat,
karena meningkatnya kepuasan kerja akan menimbulkan tingkat komitmen
yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih tinggi dapat
meningkatkan produktivitas kerja.
5) Ketidakhadiran (Absenteisme)
Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat.
Dengan kata lain apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.
6) Perputaran (Turnover)
Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana
perputaran dapat mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga
diharapkan atasan/manajer dapat meningkatkan kepuasan kerja dengan
mengurangi perputaran.
7) Perasaan stres
Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan
negatif dimana dengan meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi
dampak negatif stres.
8) Prestasi kerja/kinerja
Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja.
Sementara itu menurut Gibson (2000:110) menggambarkan hubungan timbal
balik antara kepuasan dan kinerja. Di satu sisi dikatakan kepuasan kerja
menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja yang puas akan lebih
produktif. Di sisi lain terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya kinerja
atau prestasi kerja sehingga pekerja yang lebih produktif akan mendapatkan
kepuasan.
E. MENGUKUR KEPUASAN KERJA
Pengukuran kepuasan kerja ternyata sangat bervariasi, baik dari segi analisa
statistik maupun dari segi pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan
kerja ini biasanya melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan
pertemuan kelompok kerja (Riggio:2005). Dalam semua kasus, kepuasan kerja diukur
dengan kuesioner laporan diri yang diisi oleh karyawan. Pengukuran kepuasan kerja
dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu kepuasan kerja dilihat sebagai
konsep global, kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan, dan sebagai fungsi
kebutuhan yang terpenuhkan.
1. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global
Konsep ini merupakan konsep satu dimensi, semacam ringkasan psikologi
dari semua aspek pekerjaan yang disukai atau tidak disukai dari suatu jabatan.
Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner satu pertanyaan (soal).
Cara ini memiliki sejumlah kelebihan, diantaranya adalah tidak ada biaya
pengembangan dan dapat dimengerti oleh mereka yang ditanyai. Selain itu cara
ini cepat, mudah diadministrasikan dan diberi nilai. Kuesioner satu pertanyaan
menyediakan ruang yang cukup banyak bagi penafsiran pribadi dari pertanyaan
yang diajukan. Responden akan menjawab berdasarkan gaji, sifat pekerjaan, iklim
sosial organisasi, dan sebagainya .
2. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan
Konsep ini menggunakan konsep facet (permukaan) atau komponen, yang
menganggap bahwa kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi kerja yang
berbeda dapat bervariasi secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara
konsep facet yang dapat diperiksa adalah beban kerja, keamanan kerja,
kompetensi, kondisi kerja, status dan prestise kerja. Kecocokan rekan kerja,
kebijaksanaan penilaian perusahaan, praktek manejemen, hubungan atasan-
bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatan, kesempatan untuk menggunakan
pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk pertumbuhan dan
pengembangan.
3. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai kebutuhan yang terpenuhkan
Yaitu suatu pendekatan terhadap pengukuran kepuasan kerja yang tidak
menggunakan asumsi bahwa semua orang memiliki perasaan yang sama
mengenai aspek tertentu dari situasi kerja, pendekatan ini dikembangkan oleh
Porter. Kuesioner Porter didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan
kepuasan kerja. Kuesioner ini terdiri dari 15 pertanyaan yang berkaitan dengan
kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, otonomi, sosial, dan aktualisasi diri.
Berdasarkan kebutuhan dan persepsi orang itu sendiri mengenai jabatannya, tiap
responden menjawab tiga pertanyaan mengenai masing-masing pertanyaan: (1)
Berapa yang ada sekarang? (2) Berapa seharusnya? (3) Bagaimana pentingnya hal
ini bagi saya?. Berdasarkan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai pemenuhan
kebutuhan kerja tersebut, kepuasan kerja diukur dengan perbedaan antara “Berapa
yang ada sekarang?” dan “Berapa yang seharusnya?”, semakin kecil perbedaan,
maka semakin besar kepuasannya.
Nilai yang terpisah dihitung untuk masing-masing dari lima kategori
kebutuhan. Pertanyaan “Bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?” memberikan
kepada penyilid ukuran kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan bagi tiap
responden.
Sementara itu menurut Robbins (Wibowo:2007) ada dua pendekatan yang
digunakan untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja yaitu :
1. Single Global Rating yaitu meminta individu merespon atas suatu pertanyaan
seperti; dengan mempertimbangkan semua hal, seberapa puas anda dengan
pekerjaan anda? Individu bisa menjawab puas dan tidak puas.
2. Summation Scorenyaitu dengan mengidentifikasi elemen kunci dalam pekerjaan
dan menanyakan perasaan pekerja tentang maing-masing elemen. Faktor spesifik
yang diperhitngkan adalah sifat pekerjaan, supervisi, upah, kesempatan promosi
dan hubungan dengan rekan kerja.
Pendapat lain, Greenberg dan Baron menunjukkan tiga cara untuk melakukan
pengukuran kepuasan kerja yaitu :
1. Rating Scale dan Kuesioner
Dengan metode ini orang menjawab pertanyaan dari kuesioner yang
menggunakan rating scales sehingga mereka melaporkan reaksi mereka pada
pekerjaan mereka.
2. Critical incidents
Individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan pekerjaan mereka yang
dirasaka terutama memuaskan atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari
untuk mengungkap tema yang mendasari. Sebagai contoh misalnya apabila
banyak pekerja yang menyebutkan situasi pekerjaan dimana mereka mendapatkan
perlakuan kurang baik oleh supervisor atau sebaliknya.
3. Interviews
Dengan melakukan wawancara tatap muka dengan pekerja dapat diketahui sikap
mereka secara langsung dan dapat mengembangkan lebih dalam dengan
menggunakan kuesioner yang terstruktur.
F. PENGARUH KEPUASAN KERJA
1. Terhadap Produktivitas
Orang berpendapat bahwa produktivitas dapat dinaikkan dengan
meningkatkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja mungkin merpakan akibat dari
produktivitas atau sebaliknya. Produktivitas yang tinggi menyebabkan
peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa
apa yang telah dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang mereka terima
(gaji/upah) yaitu adil dan wajar serta diasosiasikan dengan performa kerja yang
unggul. Dengan kata lain bahwa performansi kerja menunjukkan tingkat kepuasan
kerja seorang pekerja, karena perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek
pekerjaan dari tingkat keberhasilan yang diharapkan.
2. Ketidakhadiran (Absenteisme)
Menurut Porter dan Steers, ketidakhadiran sifatnya lebih spontan dan
kurang mencerminkan ketidakpuasan kerja. Tidak adanya hubungan antara
kepuasan kerja dengan ketidakhadiran. Karena ada dua faktor dalam perilaku
hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir.
Sementara itu menurut Wibowo (2007:312) antara kepuasan dan
ketidakhadiran/kemangkiran menunjukkan korelasi negatif. Sebagai contoh
perusahaan memberikan cuti sakit atau cuti kerja dengan bebas tanpa sanksi atau
denda termasuk kepada pekerja yang sangat puas.
3. Keluarnya Pekerja (Turnover)
Sedangkan berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang
besar, maka besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.
Menurut Robbins (1998), ketidakpuasan kerja pada pekerja dapat diungkapkan
dalam berbagai cara misalnya selain dengan meninggalkan pekerjaan, mengeluh,
membangkang, mencuri barang milik perusahaan/organisasi, menghindari
sebagian tanggung jawab pekerjaan mereka dan lainnya.
4. Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja
Ada empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidakpuasan Robbins
(2003):
a. Keluar (Exit) yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain.
b. Menyuarakan (Voice) yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan
masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi.
c. Mengabaikan (Neglect) yaitu sikap dengan membiarkan keadaan menjadi lebih
buruk seperti sering absen atau semakin sering membuat kesalahan.
d. Kesetiaan (loyality) yaitu menunggu secara pasif samapi kondisi menjadi lebih
baik termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar.
G. MENINGKATKAN KEPUASAN KERJA
Greenberg dan Baron (2003:159) memberikan saran untuk mencegah
ketidakpuasan dan meningkatkan kepuasan dengan cara sebagai berikut :
1) Membuat pekerjaan yang menyenangkan
Karena pekerjaan yang mereka senang kerjakan daripada yang membosankan
akan membuat orang menjadi lebih puas.
2) Orang dibayar dengan jujur
Orang yang percaya bahwa sistem pengupahan/penggajian tidak jujur cendrung
tidak puas dengan pekerjaannya.
3) Mempertemukan orang dengan pekerjaan yang cocok dengan minatnya.
Semakin banyak orang menemukan bahwa mereka dapat memenuhi
kepentingannya di tempat kerja, semakin puas mereka dengan pekerjaannya.
4) Menghindari kebosanan dan pekerjaan beruang-ulang
Kebanyakan orang cendrung mendapatkan sedikit kepuasan dalam melakukan
pekerjaan yang sangat membosankan dan berulang. Karena orang jauh lebih puas
dengan pekerjaan yang meyakinkan mereka memperoleh sukses dengan secara
bebas melakukan kontrol atas cara mereka melakukan sesuatu.
Sedangkan menurut Riggio, peningkatan kerja dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1 Melakukan perubahan struktur kerja
Misalnya dengan melakukan perputaran pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah
sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tipe tugas ke tugas yang lainnya (yang
disesuaikan dengan job description). Cara kedua yang harus dilakukan adalah dengan
pemekaran (job enlargement), atau perluasan satu pekerjaan sebagai tambahan dan
bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktek untuk para pekerja yang menerima tugas-
tugas tambahan dan bervariasi dalam usaha untuk membuat mereka merasakan bahwa
mereka adalah lebih dari sekedar anggota dari organisasi.
2 Melakukan perubahan struktur pembayaran
Perubahan sistem pembayaran ini dilakukan dengan berdasarkan pada
keahliannya (skill-based pay), yaitu pembayaran dimana para pekerja digaji berdasarkan
pengetahuan dan keterampilannya daripada posisinya di perusahaan. Pembayaran kedua
dilakukan berdasarkan jasanya (merit pay), sistem pembayaran dimana pekerja digaji
berdasarkan performancenya, pencapaian finansial pekerja berdasarkan pada hasil yang
dicapai oleh individu itu sendiri. Dan pembayaran yang ketiga adalah Gainsharing atau
pembayaran berdasarkan pada keberhasilan kelompok (keuntungan dibagi kepada seluruh
anggota kelompok).
3 Pemberian jadwal kerja yang fleksibel
Dengan memberikan kontrol pada para pekerja mengenai pekerjaan sehari-hari
mereka, yang sangat penting untuk mereka yang bekerja di daerah padat, dimana pekerja
tidak bisa bekerja tepat waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab pada
anak-anak. Compressed work week (pekerjaan mingguan yang dipadatkan), dimana
jumlah pekerjaan per harinya dikurangi sedang jumlah jam pekerjaan per hari
ditingkatkan. Para pekerja dapat memadatkan pekerjaannya yang hanya dilakukan dari
hari senin hingga jum’at, sehingga mereka dapat memiliki waktu longgar untuk liburan.
Cara yang kedua adalah dengan sistem penjadwalan dimana seorang pekerja menjalankan
sejumlah jam khusus per minggu (Flextime), tetapi tetap mempunyai fleksibilitas kapan
mulai dan mengakhiri pekerjaannya.
4 Mengadakan program yang mendukung
Perusahaan mengadakan program-program yang dirasakan dapat meningkatkan
kepuasan kerja para karyawan, seperti; health center, profit sharing, employee sponsored
child care, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Jewell.L.N, Siegall Marc, Psikologi Industri/Organisasi Modern, Arcan, Jakarta, 1989
Riggio, R.E, Introduction to Industrial/Organizational Psychologi, Scott, Foresman
& Co, USA, 2005
Wibowo, Manajemen Kinerja, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007