teori2 bab 2

38
Kepemimpinan adalah salah satu faktor yang menentukan kesuksesan dalam sebuah manajemen pendidikan. Untuk itu perlu kiranya dibahas tentang pengertian kepemimpinan, teori kepemimpinan, tipe kepemimpinan, pengertian manajemen, dan kepemimpinan sehubungan dengan manajemen pendidikan. Mengapa perlu ada pemimpin? Pemimpin diperlukan sedikitnya terdapat empat macam alasan, yaitu (a) karena banyak orang memerlukan figure pemimpin, (b) dalam beberapa situasi seorang pemimpin perlu tampil mewakili kelompoknya, (c) sebagai tempat pengambilalihan resiko bila terjadi tekanan terhadap kelompoknya, dan (d) sebagai tempat untuk meletakkan kekuasaan. A. DEFINISI KEPEMIMPINAN Literatur tentang kepemimpinan jumlahnya sangat banyak, dan definisi kepemimpinan bervariasi sebanyak orang yang mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan itu sendiri. Namun penulis membatasi hanya beberapa saja yang ditampilkan. Kepemimpinan (leadership) dapat didefinisikan sebagai proses yang berhubungan dengan kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang dari setiap individu dan kelompok (Ary gunawan, 2001: 1). Senada dengan definisi di atas Stephen P Robin (2006 : 432) mendefinisikan “kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok menuju pencapaian sasaran.”

Upload: aditya-hutomo-putra

Post on 26-Jun-2015

344 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Teori2 Bab 2

Kepemimpinan adalah salah satu faktor yang menentukan kesuksesan dalam sebuah

manajemen pendidikan. Untuk itu perlu kiranya dibahas tentang pengertian

kepemimpinan, teori kepemimpinan, tipe kepemimpinan, pengertian manajemen, dan

kepemimpinan sehubungan dengan manajemen pendidikan.

Mengapa perlu ada pemimpin? Pemimpin diperlukan sedikitnya terdapat empat macam

alasan, yaitu (a) karena banyak orang memerlukan figure pemimpin, (b) dalam beberapa

situasi seorang pemimpin perlu tampil mewakili kelompoknya, (c) sebagai tempat

pengambilalihan resiko bila terjadi tekanan terhadap kelompoknya, dan (d) sebagai

tempat untuk meletakkan kekuasaan.

A. DEFINISI KEPEMIMPINAN

Literatur tentang kepemimpinan jumlahnya sangat banyak, dan definisi kepemimpinan

bervariasi sebanyak orang yang mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan itu

sendiri. Namun penulis membatasi hanya beberapa saja yang ditampilkan.

Kepemimpinan (leadership) dapat didefinisikan sebagai proses yang berhubungan dengan

kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang dari setiap individu dan kelompok

(Ary gunawan, 2001: 1).

Senada dengan definisi di atas Stephen P Robin (2006 : 432) mendefinisikan

“kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok menuju

pencapaian sasaran.”

Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk

mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

(Slamet, 2002: 29)

Definisi ini didukung oleh Nurkolis (2005 :153) yang menyebutkan bahwa

kepemimpinan difahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai kekuatan untuk

menggerakkan orang dan mempengaruhi orang.

Jadi menurut tokoh-tokoh tersebut di atas kepemimpinan adalah proses dari sebuah

kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok dalam mencapai suatu

tujuan. Kata proses menandakan bahwa ada alur didalam sebuah kepemimpinan, dimana

alur tersebut memiliki aturan-aturan tersendiri dalam mempengaruhi orang lain.

Page 2: Teori2 Bab 2

Dalam buku Gary Yukl yang berjudul Kepemimpinan Dalam Organisasi disebutkan

bahwa “kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami

dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara

efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kelompok untuk mencapai

tujuan bersama” (2005 : 8).

Pendefinisian Gary Yukl tersebut mencakup upaya yang tidak hanya untuk

mempengaruhi dan memfasilitsi pekerjaan kelompok atau organisasi yang sekarang tetapi

definisi itu dapat juga digunakan untuk memastikan bahwa semuanya dipersiapkan untuk

memenuhi tantangan di masa depan.

Gary Yukl memandang kepemimpinan sebagai peran khusus dan proses pemberian

pengaruh secara sosial. Setiap orang dapat memerankannya, tetapi beberapa pembedaan

peran diasumsikan terjadi dalam berbagai kelompok atau organisasi. Baik proses rasional

maupun emosional ditinjau sebagai aspek yang esensial dalam kepemimpinan.

B. TEORI KEPEMIMPINAN

Teori tentang kepemimpinan terus berkembang, dan hingga kini setidaknya terdapat

empat fase pendekatan. Pertama, pendekatan berdasarkan sifat-sifat (trait) kepribadian

umum yang dimiliki seorang pemimpin. Kedua, berdasarkan pendekatan tingkah laku

(behaviour) pemimpin. Ketiga, berdasarkan pendekatan situasional (contingency).

Keempat, pendekatan kembali kepada sifat atau ciri pemimpin yang menjadi acuan orang

lain.

Hingga tahun 1940-an kajian tentang kepemimpinan didasakan pada teori sifat. Teori

kepemimpinan sifat adalah teori yang mencari sifat-sifat kepribadian, sosial, fisik, atau

intelektual yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin.

Antara tahun 1940-an hingga 1960-an berkembang teori kepemimpinan tingkah laku.

Teori kepemimpinan ini mengusulkan bahwa tingkah laku tertentu membedakan antara

pemimpin dan bukan pemimpin. Berdasarkan teori ini kepemimpinan itu dapat diajarkan.

Oleh karena itu, untuk melahirkan pemimpin yang baik kita bisa mendesain sebuah

program khusus.

Selanjutnya, antara tahun 1960-an hingga tahun 1970-an berkembang kajian-kajian

kepemimpinan yang berdasarkan kepada teori kemungkinan. Teori kemungkinan atau

Page 3: Teori2 Bab 2

situasional mendasarkan bukan pada sifat atau tingkah laku seorang pemimpin,

melainkan efektivitas kepemimpinan dipengaruhi oleh situasi tertentu. Dalam situasi

tertentu memerlukan gaya kepemimpinan tertentu, demikian pula pada situasi yang lain

memerlukan gaya kepemimpinan yang lain.

Teori kepemimpinan mutakhir berkembang antara tahun1970-an hingga tahun 2000-an.

Teori yang berkembang selanjutnya tidak didasarkan pada sifat, tingkah laku atau situasi

tertentu, tetapi didasarkan pada kemampuan lebih pada seorang pemimpin dibandingkan

dengan yang lain. Yang termasuk ke dalam kajian teori kepemimpinan mutakhir adalah

kepemimpinan atribusi, teori kepemimpinan kharismatik, teori kepemimpinn

transformasional yang sering dibandingkan dengan teori kepemimpinan transaksional.

Teori kepemimpinan atribusi mengemukakan bahwa kepemimpinan semata-mata suatu

atribusi yang dibuat orang mengenai individu-individu lain. Sementara itu, teori

kepemimpin kharismatik merupakan perpanjangan dari teori-teori atribusi. Teori ini

mengemukakan bahwa para pengikut membuat atribusi (penghubung) dari kemampuan

kepemimpinan yang heroik atau luar biasa bila mengamati perilaku-perilaku yang

membedakan pemimpin kharismatik dari padanan yang non kharismatik.

Kharismatik adalah kata Yunani yang berarti karunia diinspirasikan Illahi seperti

kemampuan untuk memprediksi peristiwa-peristiwa di masa datang. Seorang pemimpin

yang memiliki kharisma beerarti meemiliki pengaruh yang bukan didasarkan atas

kewenangan, melainkan atas persepsi para pengikut bahwa pemimpin tersebut dikaruniai

dengan kemampuan-kemampuan yang luar biasa.

Seorang pemimpin kharismatik memiliki tujuh karakteristik kunci, yaitu percaya diri,

memiliki visi, memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan visi, memiliki pendirian

yang kuat terhadap visinya, memiliki perilaku yang berbeda dari kebiasaan orang, merasa

sebagai agen pembaru dan sensitif terhadap lingkungan.

Pemimpin kharismatik adalah pemimpin yang memiliki pengaruh luar biasa pada

organisasi. Berdasarkan teori House, pemimpin kharismatik memiliki tingkat

kepercayaan diri, dominasi serta keyakinan yang sangat tinggi akan kebenaaran moral

dan keyakinannya. House juga mngemukakan bahwa pemimpin kharismatik

mengkomunikasikan visi atau sasaran lebih tinggi yang merebut komitmen dan energi

para pengikutnya. Mereka secara hati-hati menciptakan citra keberhasilan dari kompetisi

Page 4: Teori2 Bab 2

serta memberi contoh dalam tingkah laku dan nilai-nilai yang mereka dukung. Mereka

juga mengkomunikasikan harapan yang tinggi untuk paa pengikutnya dan kepercayaan

diri bahwa pengikutnya akan berprestasi mngikuti harapan tersebut.

Para pemimpin kharismatik memiliki kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan, rasa

percaya diri, serta pendirian dalam keyakinan-keyakinan dalam cita-cita mereka sendiri.

Suatu kebutuhan akan kekuasaan memotivasi pemimpin tersebut iuntuk mencoba

mempengaruhi para pengikut. Rasa pecaya diri dan pendirian yang kuat meningkatkan

rasa percaya para pengikut terhadap pertimbangan dan pendapat pemimpin tersebut.

Kepemimpinan transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikut

mereka dalam arah tujuan yang ditegaskan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.

Sementara itu, dalam kepemimpinan transformasional seorang pemimpin memberikan

pertimbangan dan ransangan intelektual yang diindividualkan, dan yang memiliki

kharisma.

menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) adalah kegiatan atau seni

mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan

orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang

diinginkan kelompok. Kepemimpinan menurut Young (dalam Kartono, 2003) lebih

terarah dan terperinci dari definisi sebelumnya. Menurutnya kepemimpinan adalah

bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau

mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh

kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.

Dalam teori kepribadian menurut Moejiono (2002) memandang bahwa kepemimpinan

tersebut sebenarnya sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin

memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para

ahli teori sukarela (compliance induction theorist) cenderung memandang kepemimpinan

sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana

untuk membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin (Moejiono, 2002).

Page 5: Teori2 Bab 2

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan

kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan

mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian

khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan

organisasi atau kelompok.

Menurut beberapa kelompok sarjana (dalam Kartono, 2003); Shinta (2002) membagi

TipeKepemimpinan sebagai berikut:

1. Tipe Kharismatis

Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan

yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang

sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. Kepemimpinan

kharismatik dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) dan kemampuan-

kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia Yang Maha Kuasa.

Kepemimpinan yang kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh

pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik memancarkan pengaruh dan

daya tarik yang amat besar.

2. Tipe Paternalistis/Maternalistik

Kepemimpinan paternalistik lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang kebapakan

dengan sifat-sifat sebagai berikut: (1) mereka menganggap bawahannya sebagai manusia

yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan, (2) mereka

bersikap terlalu melindungi, (3) mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan

untuk mengambil keputusan sendiri, (4) mereka hampir tidak pernah memberikan

kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif, (5) mereka memberikan atau hampir

tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk

Page 6: Teori2 Bab 2

mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri, (6) selalu bersikap maha

tahu dan maha benar.

Sedangkan tipe kepemimpinan maternalistik tidak jauh beda dengan tipe kepemimpinan

paternalistik, yang membedakan adalah dalam kepemimpinan maternalistik terdapat

sikap over-protective atau terlalu melindungi yang sangat menonjol disertai kasih sayang

yang berlebih lebihan.

3. Tipe militeristik

Tipe kepemimpinan militeristik ini sangat mirip dengan tipe kepemimpinan otoriter.

Adapun sifat-sifat dari tipe kepemimpinan militeristik adalah: (1) lebih banyak

menggunakan sistem perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali

kurang bijaksana, (2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3) sangat

menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang

berlebihan, (4) menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya, (5) tidak

menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi

hanya berlangsung searah.

4. Tipe Otokratis (Outhoritative, Dominator)

Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: (1) mendasarkan diri pada

kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi, (2) pemimpinnya selalu berperan

sebagai pemain tunggal, (3) berambisi untuk merajai situasi, (4) setiap perintah dan

kebijakan selalu ditetapkan sendiri, (5) bawahan tidak pernah diberi informasi yang

mendetail tentang rencana dan tindakan yang akan dilakukan, (6) semua pujian dan kritik

terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi, (7) adanya sikap

eksklusivisme, (8) selalu ingin berkuasa secara absolut, (9) sikap dan prinsipnya sangat

konservatif, kuno, ketat dan kaku, (10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan

apabila mereka patuh.

5. Tipe Laissez Faire

Page 7: Teori2 Bab 2

Pada tipe kepemimpinan ini praktis pemimpin tidak memimpin, dia membiarkan

kelompoknya dan setiap orang berbuat semaunya sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi

sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus

dilakukan oleh bawahannya sendiri. Pemimpin hanya berfungsi sebagai simbol, tidak

memiliki keterampilan teknis, tidak mempunyai wibawa, tidak bisa mengontrol anak

buah, tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja, tidak mampu menciptakan suasana

kerja yang kooperatif. Kedudukan sebagai pemimpin biasanya diperoleh dengan cara

penyogokan, suapan atau karena sistem nepotisme. Oleh karena itu organisasi yang

dipimpinnya biasanya morat marit dan kacau balau.

6. Tipe Populistis

Kepemimpinan populis berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisonal,

tidak mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang luar negeri. Kepemimpinan

jenis ini mengutamakan penghidupan kembali sikap nasionalisme.

7. Tipe Administratif/Eksekutif

Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan

tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari teknokrat-

teknokrat dan administratur-administratur yang mampu menggerakkan dinamika

modernisasi dan pembangunan. Oleh karena itu dapat tercipta sistem administrasi dan

birokrasi yang efisien dalam pemerintahan. Pada tipe kepemimpinan ini diharapkan

adanya perkembangan teknis yaitu teknologi, indutri, manajemen modern dan

perkembangan sosial ditengah masyarakat.

8. Tipe Demokratis

Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang

efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan,

dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama

yang baik. kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada pemimpinnya akan

tetapi terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok.

Page 8: Teori2 Bab 2

Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan

nasehat dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan

bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif

mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.

Refleksi:

Pada dasarnya gaya kepemimpinan ini bukan suatu hal yang mutlak untuk diterapkan,

karena pada dasarnya semua jenis gaya kepemimpinan itu memiliki keunggulan masing-

masing. Pada situasi atau keadaan tertentu dibutuhkan gaya kepemimpinan yang otoriter,

walaupun pada umumnya gaya kepemimpinan yang demokratis lebih bermanfaat. Oleh

karena itu dalam aplikasinya, tinggal bagaimana kita menyesuaikan gaya kepemimpinan

yang akan diterapkan dalam keluarga, organisasi/perusahan sesuai dengan situasi dan

kondisi yang menuntut diterapkannnya gaya kepemimpinan tertentu untuk mendapatkan

manfaat.

Teori Kepemimpinan. Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang

paling komprehensif berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan

transformasional dan transaksional (Bass, 1990). Gagasan awal mengenai gaya

kepemimpinan transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James

MacFregor Gurns yang menerapkannya dalam konteks politik. Gagasan ini selanjutnya

disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass

(Berry dan Houston, 1993).

Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan

transformasional dan transaksional dapat dipilah secara tegas dan keduanya merupakan

gaya kepemimpinan yang saling bertentangan. Kepemimpinan transformasional dan

transaksional sangat penting dan dibutuhkan setiap organisasi.

Selanjutnya Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997; Keller, 1992) mengembangkan

konsep kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan berlandaskan pada

pendapat Maslow mengenai hirarki kebutuhan manusia. Menurut Burn (dalam Pawar dan

Eastman, 1997) keterkaitan tersebut dapat dipahami dengan gagasan bahwa kebutuhan

karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisiologis dan rasa aman hanya dapat

Page 9: Teori2 Bab 2

dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transaksional. Sebaliknya, Keller (1992)

mengemukakan bahwa kebutuhan yang lebih tinggi, seperti harga diri dan aktualisasi diri,

hanya dapat dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transformasional.

Sejauhmana pemimpin dikatakan sebagai pemimpin transformasional, Bass (1990) dan

Koh, dkk. (1995) mengemukakan bahwa hal tersebut dapat diukur dalam hubungan

dengan pengaruh pemimpin tersebut berhadapan karyawan. Oleh karena itu, Bass (1990)

mengemukakan ada tiga cara seorang pemimpin transformasional memotivasi

karyawannya, yaitu dengan:

1) mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha;

2) mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok; dan

3) meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi

diri.

Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional 38 Berkaitan dengan

kepemimpinan transformasional, Bass (dalam Howell dan Hall-Merenda, 1999)

mengemukakan adanya empat karakteristik kepemimpinan transformasional, yaitu:

1) karisma,

2) inspirasional,

3) stimulasi intelektual, dan

4) perhatian individual.

Selanjutnya, Bass (1990) dan Yukl (1998) mengemukakan bahwa hubungan pemimpin

transaksional dengan karyawan tercermin dari tiga hal yakni:

1) pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelasakan apa yang akan

mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan;

2) pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan

imbalan; dan

3) pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama kepentingan

tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan karyawan.

Bass (dalam Howell dan Avolio, 1993) mengemukakan bahwa karakteristik

kepemimpinan transaksional terdiri atas dua aspek, yaitu imbalan kontingen, dan

manajemen eksepsi.

Page 10: Teori2 Bab 2

Berkaitan dengan pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap perilaku

karyawan, Podsakoff dkk. (1996) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan

transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap, persepsi, dan

perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin, motivasi,

kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu

organisasi.

Menurut Bycio dkk. (1995) serta Koh dkk. (1995), kepemimpinan transaksional adalah

gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin menfokuskan perhatiannya pada

transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan

pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi

sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.

Judge dan Locke (1993) menegaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan salah satu

faktor penentu kepuasan kerja. Jenkins (dalam Manajemen, 1990), mengungkapkan

bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kondisi

kerja karena karyawan merasa pimpinan tidak memberi kepercayaan kepada karyawan,

tidak ada

keterlibatan karyawan dalam pembuatan keputusan, pemimpin berlaku tidak objektif dan

tidak jujur pada karyawan. Pendapat ini didukung oleh Nanus (1992) yang

mengemukakan bahwa alasan utama karyawan meninggalkan organisasi disebabkan

karena pemimpin gagal memahami karyawan dan pemimpin tidak memperhatikan

kebutuhan-kebutuhan karyawan. Dalam kaitannya dengan koperasi, Kemalawarta (2000)

dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kendala yang menghambat perkembangan

koperasi di Indonesia adalah keterbatasan tenaga kerja yang terampil dan tingginya

turnover.

Pada dasarnya, kepemimpinan merupakan kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi

karyawan dalam sebuah organisasi, sehingga mereka termotivasi untuk mencapai tujuan

organisasi. Dalam memberikan penilaian terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkan

pemimpin, karyawan melakukan proses kognitif untuk menerima, mengorganisasikan,

dan memberi penafsiran terhadap pemimpin (Solso, 1998).

Berbagai penelitian yang dilakukan berkaitan dengan kepuasan kerja terutama dalam

hubungannya dengan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Penelitian

Page 11: Teori2 Bab 2

yang dilakukan oleh Koh dkk. (1995) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan

antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan kepuasan kerja.

Penelitian yang dilakukan oleh Popper dan Zakkai (1994) menunjukkan bahwa pengaruh

kepemimpinan transformasional terhadap organisasi sangat besar.

A. Pengertian Kepuasan kerja

Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda, seperti yang didefinisikan oleh Kreitner & Kinicki (2005), bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya. Blum (As’ad, 2000) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, karakteristik individual, serta hubungan kelompok di luar pekerjaan itu sendiri. Handoko (2001) mengatakan bahwa kepuasan kerja sebagai respon emosional menunjukkan perasaan yang menyenangkan berkaitan dengan pandangan karyawan terhadap pekerjaannya.

Tiffin mengemukakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaan itu sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dan sesama pimpinan dan sesama karyawan. Locke dan Luthans berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah perasaan pekerja atau karyawan yang berhubungan dengan pekerjaannya, yaitu merasa senang atau tidak senang, sebagai hasil penilaian individu yang bersangkutan terhadap pekerjaannya.

Herzberg di dalam teorinya Two Factors Theory mengatakan bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda serta kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu. Berdasarkan penelitian yang ia lakukan, Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu kelompok satisfiers dan kelompok dissatisfiers. Kelompok satisfiers atau motivator adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari achievement, recognition, work it self, responsibility and advancement.

Herzberg mengatakan bahwa hadirnya faktor ini dapat menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Sedangkan kelompok dissatisfiers ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari company policy and administration, supervision technical, salary, interpersonal relations, working conditions, job security dan status. Perbaikan terhadap kondisi atau situasi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja.

Page 12: Teori2 Bab 2

B. Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja akan dapat diketahui dengan melihat beberapa hal yang dapat menimbulkan dan mendorong kepuasan kerja  yaitu:

1. Faktor Psikologik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan.

2. Faktor Sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik sesama karyawan dengan atasan maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.

3. Faktor Fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya.

4. Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistim dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.

PENGERTIAN KEPUASAN KERJA

Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempatnya

bekerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual karena

setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan

nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap individu. Semakin banyak aspek dalam

pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi tingkat

kepuasan yang dirasakan.

Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang

menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yag diterima pekerja dan jumlah

yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbin, 2003:78).

Greenberg dan Baron (2003:148) mendeskripsikan kepuasan kerja sebagai sikap

positif atau negatif yang dilakukan individu terhadap pekerjaan mereka. Selain itu

Gibson (2000:106) menyatakan kepuasan kerja sebagai sikap yang dimiliki para

pekerja tentang pekerjaan mereka. Hal itu merupakan hasil dari persepsi mereka

tentang pekerjaan.

Kepuasan kerja merupakan respon afektif atau emosional terhadap berbagai segi

atau aspek pekerjaan seseorang sehingga kepuasan kerja bukan merupakan konsep

Page 13: Teori2 Bab 2

tunggal. Seseorang dapat relatif puas dengan salah satu aspek pekerjaan dan tidak

puas dengan satu atau lebih aspek lainnya.

Kepuasan Kerja merupakan sikap (positif) tenaga kerja terhadap pekerjaannya,

yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Penilaian tersebut dapat

dilakukan terhadap salah satu pekerjaannya, penilaian dilakukan sebagai rasa

menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai penting dalam pekerjaan. Karyawan

yang puas lebih menyukai situasi kerjanya daripada tidak menyukainya.

Locke mencatat bahwa perasaan-perasaan yang berhubungan dengan kepuasan

dan ketidakpuasan kerja cenderung mencerminkan penaksiran dari tenaga kerja

tentang pengalaman-pengalaman kerja pada waktu sekarang dan lampau daripada

harapan-harapan untuk masa depan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat dua

unsur penting dalam kepuasan kerja, yaitu nilai-nilai pekerjaan dan kebutuhan-

kebutuhan dasar.

Nilai-nilai pekerjaan merupakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam

melakukan tugas pekerjaan. Yang ingin dicapai ialah nilai-nilai pekerjaan yang

dianggap penting oleh individu. Dikatakan selanjutnya bahwa nilai-nilai pekerjaan

harus sesuai atau membantu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari tenaga kerja

yang berkaitan dengan motivasi kerja.

Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah dari

kepuasan kerja (dari setiap aspek pekerjaan) dikalikan dengan derajat pentingnya

aspek pekerjaan bagi individu. Menurut Locke seorang individu akan merasa puas

atau tidak puas terhadap pekerjaannya merupakan sesuatu yang bersifat pribadi, yaitu

tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara

keinginan-keinginannya dengan hasil keluarannya (yang didapatnya).

Sehingga dapat disimpulkan pengertian kepuasan kerja adalah sikap yang positif

dari tenaga kerja meliputi perasaan dan tingkah laku terhadap pekerjaannya melalui

Page 14: Teori2 Bab 2

penilaian salah satu pekerjaan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu

nilai-nilai penting pekerjaan.

B. TEORI KEPUASAN KERJA

Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian

orang lebih puas terhadap suatu pekerjaan daripada beberapa lainnya. Teori ini juga

mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja. Ada

beberapa teori tentang kepuasan kerja yaitu :

1. Two Factor Theory

Teori ini menganjurkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan merupakan

bagian dari kelompok variabel yang berbeda yaitu motivators dan hygiene

factors.

Pada teori ini ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi disekitar

pekerjaan (seperti kondisi kerja, upah, keamanan, kualitas pengawasan dan

hubungan dengan orang lain) dan bukan dengan pekerjaan itu sendiri. Karena

faktor mencegah reaksi negatif dinamakan sebagai hygiene atau maintainance

factors.

Sebaliknya kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan pekerjaan itu

sendiri atau hasil langsung daripadanya seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam

pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pengembangan diri dan

pengakuan. Karena faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja tinggi

dinamakan motivators.

2. Value Theory

Menurut teori ini kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil

pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang

menerima hasil, akan semakin puas dan sebaliknya. Kunci menuju kepuasan

pada teori ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dengan

yang diinginkan seseorang. Semakiin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan

orang.

C. PENYEBAB KEPUASAN KERJA

Page 15: Teori2 Bab 2

Ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja (Kreitner dan

Kinicki :225) yaitu sebagai berikut :

a. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment)

Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan

kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

b. Perbedaan (Discrepancies)

Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan

mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang

diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa yang

diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya individu akan puas bila

menerima manfaat diatas harapan.

c. Pencapaian nilai (Value attainment)

Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai

kerja individual yang penting.

d. Keadilan (Equity)

Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat

kerja.

e. Komponen genetik (Genetic components)

Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Hal ini

menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk

menjelaskan kepuasan kerja disampng karakteristik lingkungan pekerjaan.

Selain penyebab kepuasan kerja, ada juga faktor penentu kepuasan kerja.

Diantaranya adalah gaji, kondisi kerja dan hubungan kerja (atasan dan rekan

kerja).

a. Gaji/Upah

Menurut Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah

absolute dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi

Page 16: Teori2 Bab 2

harapan-harapan tenaga kerja dan bagaimana gaji diberikan. Selain untuk

pemenuhan kebutuhan dasar, uang juga merupakan simbol dari pencapaian

(achievement), keberhasilan dan pengakuan/penghargaan.

Berdasarkan teori keadilan Adams, orang yang menerima gaji yang

dipersepsikan terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami ketidakpuasan.

Jika gaji dipersepsikan adil berdasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat

ketrampilan individu dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok

pekerjaan tertentu maka akan ada kepuasan kerja.

Jika dianggap gajinya terlalu rendah, pekerja akan merasa tidak puas.

Tapi jika gaji dirasakan tinggi atau sesuai dengan harapan, pekerja tidak lagi

tidak puas, artinya tidak ada dampak pada motivasi kerjanya. Gaji atau

imbalan akan mempunyai dampak terhadap motivasi kerja seseorang jika

besarnya imbalan disesuaikan dengan tinggi prestasi kerjanya.

b. Kondisi kerja yang menunjang

Bekerja dalam ruangan atau tempat kerja yang tidak menyenangkan

(uncomfortable) akan menurunkan semangat untuk bekerja. Oleh karena itu

perusahaan harus membuat kondisi kerja yang nyaman dan menyenangkan sehingga

kebutuhan-kebutuhan fisik terpenuhi dan menimbulkan kepuasan kerja.

c. Hubungan Kerja

Hubungan dengan rekan kerja

Ada tenaga kerja yang dalam menjalankan pekerjaannya

memperoleh masukan dari tenaga kerja lain (dalam bentuk tertentu).

Keluarannya (barang yang setengah jadi) menjadi masukan untuk

tenaga kerja lainnya. Misalnya pekerja konveksi. Hubungan antar

pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak yang berbentuk

fungsional.

Kepuasan kerja yang ada timbul karena mereka dalam jumlah

tertentu berada dalam satu ruangan kerja sehingga dapat berkomunikasi.

Bersifat kepuasan kerja yang tidak menyebabkan peningkatan motivasi

Page 17: Teori2 Bab 2

kerja. Dalam kelompok kerja dimana para pekerjanya harus bekerja

sebagai satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena

kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi mereka seperti harga diri,

aktualisasi diri dapat dipenuhi dan mempunyai dampak pada motivasi

kerja mereka.

Hubungan dengan atasan

Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja

adalah tenggang rasa (consideration). Hubungan fungsional

mencerminkan sejauhmana atasan membantu tenaga kerja untuk

memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja.

Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang

mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa, misalnya

keduanya mempunyai pandangan hidup yang sama.

Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan adalah

jika kedua jenis hubungan adalah positif. Atasan yang memiliki ciri

pemimpin yang transformasional, maka tenaga kerja akan meningkat

motivasinya dan sekaligus dapat merasa puas dengan pekerjaannya.

D. KORELASI KEPUASAN KERJA

Hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain dapat bersifat positif

atau negatif. Kekuatan hubungan mepunyai rentang dari lemah dampai kuat.

Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa atasan dapat mempengaruhi dengan

signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja (Kreitner dan

Kinicki,2001:226).

Beberapa korelasi kepuasan kerja sebagai berikut :

1) Motivasi

Antara motivasi dan kepuasan kerja terdapat hubungan yang positif dan

signifikan. Karena kepuasan dengan pengawasan/supervisi juga mempunyai

korelasi signifikan dengan motivasi, atasan/manajer disarankan

mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mempengaruhi kepuasan

Page 18: Teori2 Bab 2

pekerja sehingga mereka secara potensial dapat meningkatkan motivasi

pekerja melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja.

2) Pelibatan Kerja

Hal ini menunjukkan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan

dengan peran kerjanya. Karena pelibatan kerja mempunyai hubungan dengan

kepuasan kerja, dan peran atasan/manajer perlu didorong memperkuat

lingkungan kerja yang memuaskan untuk meingkatkan keterlibatan kerja

pekerja.

3) Organizational citizenship behavior

Merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya.

4) Organizational commitment

Mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan

organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Antara komitmen

organisasi dengan kepuasan terdapat hubungan yang sifnifikan dan kuat,

karena meningkatnya kepuasan kerja akan menimbulkan tingkat komitmen

yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih tinggi dapat

meningkatkan produktivitas kerja.

5) Ketidakhadiran (Absenteisme)

Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat.

Dengan kata lain apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.

6) Perputaran (Turnover)

Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana

perputaran dapat mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga

diharapkan atasan/manajer dapat meningkatkan kepuasan kerja dengan

mengurangi perputaran.

7) Perasaan stres

Page 19: Teori2 Bab 2

Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan

negatif dimana dengan meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi

dampak negatif stres.

8) Prestasi kerja/kinerja

Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja.

Sementara itu menurut Gibson (2000:110) menggambarkan hubungan timbal

balik antara kepuasan dan kinerja. Di satu sisi dikatakan kepuasan kerja

menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja yang puas akan lebih

produktif. Di sisi lain terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya kinerja

atau prestasi kerja sehingga pekerja yang lebih produktif akan mendapatkan

kepuasan.

E. MENGUKUR KEPUASAN KERJA

Pengukuran kepuasan kerja ternyata sangat bervariasi, baik dari segi analisa

statistik maupun dari segi pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan

kerja ini biasanya melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan

pertemuan kelompok kerja (Riggio:2005). Dalam semua kasus, kepuasan kerja diukur

dengan kuesioner laporan diri yang diisi oleh karyawan. Pengukuran kepuasan kerja

dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu kepuasan kerja dilihat sebagai

konsep global, kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan, dan sebagai fungsi

kebutuhan yang terpenuhkan.

1. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global

Konsep ini merupakan konsep satu dimensi, semacam ringkasan psikologi

dari semua aspek pekerjaan yang disukai atau tidak disukai dari suatu jabatan.

Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner satu pertanyaan (soal).

Cara ini memiliki sejumlah kelebihan, diantaranya adalah tidak ada biaya

pengembangan dan dapat dimengerti oleh mereka yang ditanyai. Selain itu cara

ini cepat, mudah diadministrasikan dan diberi nilai. Kuesioner satu pertanyaan

menyediakan ruang yang cukup banyak bagi penafsiran pribadi dari pertanyaan

Page 20: Teori2 Bab 2

yang diajukan. Responden akan menjawab berdasarkan gaji, sifat pekerjaan, iklim

sosial organisasi, dan sebagainya .

2. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan

Konsep ini menggunakan konsep facet (permukaan) atau komponen, yang

menganggap bahwa kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi kerja yang

berbeda dapat bervariasi secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara

konsep facet yang dapat diperiksa adalah beban kerja, keamanan kerja,

kompetensi, kondisi kerja, status dan prestise kerja. Kecocokan rekan kerja,

kebijaksanaan penilaian perusahaan, praktek manejemen, hubungan atasan-

bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatan, kesempatan untuk menggunakan

pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk pertumbuhan dan

pengembangan.

3. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai kebutuhan yang terpenuhkan

Yaitu suatu pendekatan terhadap pengukuran kepuasan kerja yang tidak

menggunakan asumsi bahwa semua orang memiliki perasaan yang sama

mengenai aspek tertentu dari situasi kerja, pendekatan ini dikembangkan oleh

Porter. Kuesioner Porter didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan

kepuasan kerja. Kuesioner ini terdiri dari 15 pertanyaan yang berkaitan dengan

kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, otonomi, sosial, dan aktualisasi diri.

Berdasarkan kebutuhan dan persepsi orang itu sendiri mengenai jabatannya, tiap

responden menjawab tiga pertanyaan mengenai masing-masing pertanyaan: (1)

Berapa yang ada sekarang? (2) Berapa seharusnya? (3) Bagaimana pentingnya hal

ini bagi saya?. Berdasarkan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai pemenuhan

kebutuhan kerja tersebut, kepuasan kerja diukur dengan perbedaan antara “Berapa

yang ada sekarang?” dan “Berapa yang seharusnya?”, semakin kecil perbedaan,

maka semakin besar kepuasannya.

Nilai yang terpisah dihitung untuk masing-masing dari lima kategori

kebutuhan. Pertanyaan “Bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?” memberikan

Page 21: Teori2 Bab 2

kepada penyilid ukuran kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan bagi tiap

responden.

Sementara itu menurut Robbins (Wibowo:2007) ada dua pendekatan yang

digunakan untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja yaitu :

1. Single Global Rating yaitu meminta individu merespon atas suatu pertanyaan

seperti; dengan mempertimbangkan semua hal, seberapa puas anda dengan

pekerjaan anda? Individu bisa menjawab puas dan tidak puas.

2. Summation Scorenyaitu dengan mengidentifikasi elemen kunci dalam pekerjaan

dan menanyakan perasaan pekerja tentang maing-masing elemen. Faktor spesifik

yang diperhitngkan adalah sifat pekerjaan, supervisi, upah, kesempatan promosi

dan hubungan dengan rekan kerja.

Pendapat lain, Greenberg dan Baron menunjukkan tiga cara untuk melakukan

pengukuran kepuasan kerja yaitu :

1. Rating Scale dan Kuesioner

Dengan metode ini orang menjawab pertanyaan dari kuesioner yang

menggunakan rating scales sehingga mereka melaporkan reaksi mereka pada

pekerjaan mereka.

2. Critical incidents

Individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan pekerjaan mereka yang

dirasaka terutama memuaskan atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari

untuk mengungkap tema yang mendasari. Sebagai contoh misalnya apabila

banyak pekerja yang menyebutkan situasi pekerjaan dimana mereka mendapatkan

perlakuan kurang baik oleh supervisor atau sebaliknya.

3. Interviews

Dengan melakukan wawancara tatap muka dengan pekerja dapat diketahui sikap

mereka secara langsung dan dapat mengembangkan lebih dalam dengan

menggunakan kuesioner yang terstruktur.

F. PENGARUH KEPUASAN KERJA

Page 22: Teori2 Bab 2

1. Terhadap Produktivitas

Orang berpendapat bahwa produktivitas dapat dinaikkan dengan

meningkatkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja mungkin merpakan akibat dari

produktivitas atau sebaliknya. Produktivitas yang tinggi menyebabkan

peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa

apa yang telah dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang mereka terima

(gaji/upah) yaitu adil dan wajar serta diasosiasikan dengan performa kerja yang

unggul. Dengan kata lain bahwa performansi kerja menunjukkan tingkat kepuasan

kerja seorang pekerja, karena perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek

pekerjaan dari tingkat keberhasilan yang diharapkan.

2. Ketidakhadiran (Absenteisme)

Menurut Porter dan Steers, ketidakhadiran sifatnya lebih spontan dan

kurang mencerminkan ketidakpuasan kerja. Tidak adanya hubungan antara

kepuasan kerja dengan ketidakhadiran. Karena ada dua faktor dalam perilaku

hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir.

Sementara itu menurut Wibowo (2007:312) antara kepuasan dan

ketidakhadiran/kemangkiran menunjukkan korelasi negatif. Sebagai contoh

perusahaan memberikan cuti sakit atau cuti kerja dengan bebas tanpa sanksi atau

denda termasuk kepada pekerja yang sangat puas.

3. Keluarnya Pekerja (Turnover)

Sedangkan berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang

besar, maka besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.

Menurut Robbins (1998), ketidakpuasan kerja pada pekerja dapat diungkapkan

dalam berbagai cara misalnya selain dengan meninggalkan pekerjaan, mengeluh,

membangkang, mencuri barang milik perusahaan/organisasi, menghindari

sebagian tanggung jawab pekerjaan mereka dan lainnya.

4. Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja

Ada empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidakpuasan Robbins

(2003):

Page 23: Teori2 Bab 2

a. Keluar (Exit) yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain.

b. Menyuarakan (Voice) yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan

masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi.

c. Mengabaikan (Neglect) yaitu sikap dengan membiarkan keadaan menjadi lebih

buruk seperti sering absen atau semakin sering membuat kesalahan.

d. Kesetiaan (loyality) yaitu menunggu secara pasif samapi kondisi menjadi lebih

baik termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar.

G. MENINGKATKAN KEPUASAN KERJA

Greenberg dan Baron (2003:159) memberikan saran untuk mencegah

ketidakpuasan dan meningkatkan kepuasan dengan cara sebagai berikut :

1) Membuat pekerjaan yang menyenangkan

Karena pekerjaan yang mereka senang kerjakan daripada yang membosankan

akan membuat orang menjadi lebih puas.

2) Orang dibayar dengan jujur

Orang yang percaya bahwa sistem pengupahan/penggajian tidak jujur cendrung

tidak puas dengan pekerjaannya.

3) Mempertemukan orang dengan pekerjaan yang cocok dengan minatnya.

Semakin banyak orang menemukan bahwa mereka dapat memenuhi

kepentingannya di tempat kerja, semakin puas mereka dengan pekerjaannya.

4) Menghindari kebosanan dan pekerjaan beruang-ulang

Kebanyakan orang cendrung mendapatkan sedikit kepuasan dalam melakukan

pekerjaan yang sangat membosankan dan berulang. Karena orang jauh lebih puas

dengan pekerjaan yang meyakinkan mereka memperoleh sukses dengan secara

bebas melakukan kontrol atas cara mereka melakukan sesuatu.

Sedangkan menurut Riggio, peningkatan kerja dapat dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

1 Melakukan perubahan struktur kerja

Page 24: Teori2 Bab 2

Misalnya dengan melakukan perputaran pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah

sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tipe tugas ke tugas yang lainnya (yang

disesuaikan dengan job description). Cara kedua yang harus dilakukan adalah dengan

pemekaran (job enlargement), atau perluasan satu pekerjaan sebagai tambahan dan

bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktek untuk para pekerja yang menerima tugas-

tugas tambahan dan bervariasi dalam usaha untuk membuat mereka merasakan bahwa

mereka adalah lebih dari sekedar anggota dari organisasi.

2 Melakukan perubahan struktur pembayaran

Perubahan sistem pembayaran ini dilakukan dengan berdasarkan pada

keahliannya (skill-based pay), yaitu pembayaran dimana para pekerja digaji berdasarkan

pengetahuan dan keterampilannya daripada posisinya di perusahaan. Pembayaran kedua

dilakukan berdasarkan jasanya (merit pay), sistem pembayaran dimana pekerja digaji

berdasarkan performancenya, pencapaian finansial pekerja berdasarkan pada hasil yang

dicapai oleh individu itu sendiri. Dan pembayaran yang ketiga adalah Gainsharing atau

pembayaran berdasarkan pada keberhasilan kelompok (keuntungan dibagi kepada seluruh

anggota kelompok).

3 Pemberian jadwal kerja yang fleksibel

Dengan memberikan kontrol pada para pekerja mengenai pekerjaan sehari-hari

mereka, yang sangat penting untuk mereka yang bekerja di daerah padat, dimana pekerja

tidak bisa bekerja tepat waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab pada

anak-anak. Compressed work week (pekerjaan mingguan yang dipadatkan), dimana

jumlah pekerjaan per harinya dikurangi sedang jumlah jam pekerjaan per hari

ditingkatkan. Para pekerja dapat memadatkan pekerjaannya yang hanya dilakukan dari

hari senin hingga jum’at, sehingga mereka dapat memiliki waktu longgar untuk liburan.

Cara yang kedua adalah dengan sistem penjadwalan dimana seorang pekerja menjalankan

sejumlah jam khusus per minggu (Flextime), tetapi tetap mempunyai fleksibilitas kapan

mulai dan mengakhiri pekerjaannya.

4 Mengadakan program yang mendukung

Page 25: Teori2 Bab 2

Perusahaan mengadakan program-program yang dirasakan dapat meningkatkan

kepuasan kerja para karyawan, seperti; health center, profit sharing, employee sponsored

child care, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Jewell.L.N, Siegall Marc, Psikologi Industri/Organisasi Modern, Arcan, Jakarta, 1989

Riggio, R.E, Introduction to Industrial/Organizational Psychologi, Scott, Foresman

& Co, USA, 2005

Wibowo, Manajemen Kinerja, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007