tbc pada keluarga

49
Program dan Penanggulangan Tuberkulosis pada Puskesmas dengan Pendekatan Dokter Keluarga Ega Farhatu Jannah (102012277) Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 06 Jakarta Barat [email protected] Latar Belakang Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang dihadapi oleh seluruh negara didunia saat ini. Penyakit tuberkulosis dapat menyerang pada siapa saja tidak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja. Tuberkulosis adalah suatu infeksi menular dan menahun dan bisa berakibat fatal, yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium boivs dan Mycobacterium africanum. Tuberkulosis paru kini bukan penyakit yang menakutkan sampai penderita harus dikucilkan , tetapi penyakit kronik ini dapat menyebabkan cacat fisik atau kematian. Penularan TB paru hanya terjadi dari penderita tuberculosis terbuka. Tuberculosis paling seirng mengenai paru-paru, tetapi dapat juga mengenai organ-organ lainnya seperti selaput otak,tulang, kelenjar superfisisalis dan lain lain. Seseorang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menjadi sakit tuberculosis aktif.Beberapa minggu (2-12 minggu) setelah infeksi , terjadi respons imunitas selular yang dapat 1 Tinjauan Pustaka

Upload: resti-aulia-wulandari

Post on 12-Dec-2015

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

blok 26

TRANSCRIPT

Program dan Penanggulangan Tuberkulosis pada Puskesmas dengan

Pendekatan Dokter Keluarga

Ega Farhatu Jannah

(102012277)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 06 Jakarta Barat

[email protected]

Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang dihadapi oleh

seluruh negara didunia saat ini. Penyakit tuberkulosis dapat menyerang pada siapa saja tidak

terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja. Tuberkulosis adalah

suatu infeksi menular dan menahun dan bisa berakibat fatal, yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium boivs dan Mycobacterium africanum.

Tuberkulosis paru kini bukan penyakit yang menakutkan sampai penderita harus dikucilkan ,

tetapi penyakit kronik ini dapat menyebabkan cacat fisik atau kematian. Penularan TB paru

hanya terjadi dari penderita tuberculosis terbuka. Tuberculosis paling seirng mengenai paru-

paru, tetapi dapat juga mengenai organ-organ lainnya seperti selaput otak,tulang, kelenjar

superfisisalis dan lain lain. Seseorang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak

selalu menjadi sakit tuberculosis aktif.Beberapa minggu (2-12 minggu) setelah infeksi ,

terjadi respons imunitas selular yang dapat ditunjukkan dengan uji tuberkulin. Dengan

meningkatnya kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun, diperkirakan kasus TBC menjadi

bertambah. 1

Sebagian besar Negara-negara di dunia tidak berhasil mengendalikan penyakit TBC.

Hal ini disebabkan oleh rendahnya angka kesembuhan penderita yang berdampak pada

tingginya penularan. Penyakit tuberculosis paru merupakan penyakit ineksi yang dapat

menyerang berbagai orang atau jaringan tubuh. Tuberculosis paru merupaka bentuk yang

paling banyak dan paling penting.2

1

Tinjauan Pustaka

Epidemiologi

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian,

dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakitm kecacatanm dan

kematian dalam populasi manusia. Epidemiologi juga meliputi pemberian ciri pada distribusi

status kesehatan, penyakit, atau masalah kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia,

jenis kelamin, ras, geografi, agama, pendidikan, pekerjaan , perilaku, waktu, tempat, dan

orang. Karakterisasi ini dilakukan guna menjelaskan distribusi suatu penyakit atau masalah

yang terkait dengan kesehatan jiga dihubungkan dengan faktor penyebab. Epidemiologi

berguna untuk mengkaji dan menjelaskan dampak dari tinakan pengendalian kesehatan

masyarakat, program pencegahan, intervensi klinis, dan pelayanan kesehatan terhadap

penyakit atau mengkaji dan menjelaskan faktor lain yang berdampak pada status kesehatan

penduduk. Epidemiologi dapat dikatagorikan sebagai berikut: dilihat dari agen nya, host,

faktor lingkungan, dan cara penularannya.1

Pertama adalah agentnya. TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri

gram positif, berbentuk batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan aerobic. Karakteristik

alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan

mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama. Kedua adalah

host nya. Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak

kejadian dan kematian: pealing rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita;

paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan

fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita; dan puncak sedang pada usia lanjut.

Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak

berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini

atau tidak terlindung dari risiko infeksi. Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa

muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.

Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TBC sejak

lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan distribusi

secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi

keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan

sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya

ketidakpedulian dan kelalaian Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-

mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar.

Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun

sulit untuk dievaluasi.2,3

2

Ketiga adalah lingkungan. Biasanya untuk kasus TBC, lingkungannya dapat

dilihat dari lingkungan tempat tinggal terutama rumahnya. Apa rumah pasien tersebut sesuai

standard atau tidak, apakah rumah tersebut dapat menjadi sarang perkembangannya kuman

TB. Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah. Lingkungan

rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta

lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni.

Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang

menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut juga semua

fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani

dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan individu.

Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan sebagai lingkungan yang dapat

memberikan tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk bersitirahat serta dapat

menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik, psikologis maupun sosial Menurut

APHA (American Public Health Assosiation), lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis

Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar

kontruksinya sedemikian rupa sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak

dan agar kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu tinggi dan

terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan agar perbedaan suhu antara

dinding, lantai, atap dan permukaan jendela tidak terlalu banyak.

Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam. Suatu

ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas

ventilasi minimal 10 % dari jumlah luas lantai.

Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi yang

cukup untuk proses pergantian udara.

Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak terganggu

oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah.

Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain, ruang

makan, ruang tidur, dll.

Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis

kelaminnya.

2. Perlindungan terhadap penularan penyakit

3

Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kualitas maupun

kuantitas, sehingga selain kebutuhan untuk makan dan minum terpenuhi, juga

cukup tersedia air untuk memelihara kebersihan rumah, pakaian dan

penghuninya.

Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang baik dan memenuhi

syarat, juga air pembuangan harus bisa dialirkan dengan baik.

Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus memenuhi syarat kesehatan,

yaitu harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap dan mengkontaminasi

permukaan sumber air bersih.

Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas dari pencemaran dan

gangguan binatang serangga dan debu.

Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan berkembang

biak di dalam rumah, jadi rumah dalam kontruksinya harus rat proof, fly fight,

mosquito fight.

Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.

Luas kamar tidur minimal 8,5 m³ per orang dan tinggi langit-langit minimal 2.75

meter.2,3

Cara Penularan

Dewasa ini wawasan mengenai diagnosis, gejala, pengobatan dan pencegahan TBC

sebagai suatu penyakit infeksi menular terus berkembang. Sejalan dengan itu, maka perlu

dipelajari faktor-faktor penentu yang saling berinteraksi sesuai dengan tahapan perjalanan

alamiah.

1. Periode Prepatogenesis

a. Faktor Agent (Mycobacterium tuberculosis)

Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan

kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk

jangka waktu yang lama. Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal

sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir rendah

dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat

resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan

kemoterapi moderen, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat

baru. Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang

terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung,

serta transmisi kongenital yang jarang terjadi.

4

b. Faktor Lingkungan

Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian

yang besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun

berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis. Keadaan sosial-

ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis

menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang

mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan

tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi

dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga

fisik, penggangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC

dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini.

Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang

dengan hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya.

c. Faktor Host

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak

kejadian dan kematian ; (1) paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua

penderita, (2) paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan

pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita, (3)

puncak sedang pada usia lanjut. Dalam perkembangannya, infeksi pertama

semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria

dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko

infeksi. Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang

diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.

Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal

TBC sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek

keturunan dan distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi

mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang

pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut

memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan

kelalaian. Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan

tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar.

Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa

resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.

2. Periode Pathogenesis (Interaksi Host-Agent)

5

Interaksi terutama terjadi akibat masuknya Agent ke dalam saluran respirasi

dan pencernaan Host. Contohnya Mycobacterium melewati barrier plasenta, kemudian

berdormansi sepanjang hidup individu, sehingga tidak selalu berarti penyakit klinis.

Infeksi berikut seluruhnya bergantung pada pengaruh interaksi dari Agent, Host dan

Lingkungan. Penderita TB BTA positif merupakan sumber terjadinya penularan.

Ketika batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman boleh bertahan di udara

pada suhu kamar selama beberapa jam. Jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran

pernafasan, maka orang tersebut akan terinfeksi. Selama kuman tersebut masuk dalam

tubuh melalui saluran pernafasan, ia dapat menyebar dari paru ke bahagian tubuh

lainnya.4,5

Daya penuluran seorang penderita ditentukan oleh banyakknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,

semakin tinggi penularan penderita tersebut. Jika hasil pemeriksaan dahak negatif

(tidak terlihat kuman), maka penderita dianggap tidak menular. Kemungkinan

seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya

menghirup udara tersebut.4,5

Pedoman Nasional Pemberantasan TB Paru

Dalam perkembangannya dalam upaya ekspansi penanggulangan TB, kemitraan

global dalam penanggulangan TB mengembangkan strategi sebagai berikut: 6

1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS

2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya

3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan

4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintahmaupun swasta

5. Memberdayakan pasien dan masyarakat

6. Melaksanakan dan mengembangkan riset

Adapun kegiatan P2TB dilaksanakan dengan cara penemuan dan pengobatan pasien,

perencanaan, pemantauan dan evaluasi, peningkatan SDM (pelatihan, supervisi), penelitian,

promosi kesehatan, dan kemitraan dengan lintas sector.

a. Tujuan dan Target

6

Tujuan P2TB adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB,

memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya multidrug  resistance

(MDR),sehingga TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat.

b. Kebijakan

1. Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi

dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program yang meliputi:

perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan

sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana)

2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS

3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program

penanggulangan TB

4. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan

mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga

mampu memutuskan rantai penularan dan mencegahterjadinya MDR-TB

5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh

seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit

Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru(RSP), Balai Pengobatan Penyakit

Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatanlain serta Dokter Praktek Swasta (DPS)

6. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerjasama dan

kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta

dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB)

7. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan

untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejarin

8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikankepada

pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya

9. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yangmemadai

untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program

10. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dankelompok

rentan terhadap TB

11. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya

12. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millennium

Development Goals (MDGs)

c. Strategi

7

1. Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin

ketersediaan sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu prioritas

2. Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu dilaksanakan secara

bertahap dan sistematis

3. Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melaluikegiatan

advokasi, komunikasi dan mobilisasi social

4. Kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen dan bantuan

sumber daya.

5. Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi, pemantauan

dan evaluasi yang berkesinambungan

Pendekatan Kedokteran Keluarga

Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan

primer yang komprehensif, kontinu, integrative, holistic, koordinatif, dengan mengutamakan

pencegahan, menimbang peran keluarga dan lingkungan serta pekerjaannya. Pelayanan

diberikan kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis

penyakitnya.5

Sistem pelayanan dokter keluarga sesungguhnya merupakan bagian dari Sistem

Kesehatan Nasional (SKN) yang perlu diatur dalam Undang-undang. Disinilah sesungguhnya

tumbuh kembangnya "the five stars doctors", sebagai "the agent of change", yang

berkemampuan dan berfungsi sebagai "care provider" (sebagai bagian dari kelurga, sebagai

pelaksana pealyanan kedokteran komprehensif, terpadu, berkesinambungan, pada pelayanan

dokter tingkat pertama; sebagai pelapis menuju ke pelayanan kedokteran tingkat kedua),

sebagai "decicion maker" (sebagai penentu pada setiap tindakan kedokteran, dengan

memperhatikan semua kondisi yang ikut mempengaruhinya), sebagai "communicator"

(sebagai pendidik, penyuluh, teman, mediator dan sebagai penasehat keluarga dalam banyak

hal dan masalah: gizi, narkoba, keluarga berencana, seks, HIV, AIDS, sters, kebersihan, pola

hidup sehat, olah raga, olah jiwa, kesehatan lingkungan), sebagai "community leader"

(membantu mengambil keputusan dalan ikhwal kemasyarakatan, utamanya kesehatan dan

kedokteran keluarga, sebagai pemantau, penelaah ikhwal kesehatan dan kedokteran

keluarga), dan sebagai "manager" (berkemampuan untuk berkolaborasi dalam kemitraan,

dalam ikhwal penanganan kesehatan dan kedokteran keluarga).

Five star doctor merupakan profil dokter ideal yang memiliki kemampuan untuk

melakukan serangkaian pelayanan kesehatan untuk memenuhi kualitas, kebutuhan, efektifitas

8

biaya, dan persamaan dalam dunia kesehatan. WHO menerapkan batasan bahwa dokter masa

depan wajib memenuhi kriteria lima kualitas seorang dokter, yaitu:

1. Care provider

Dalam memberikan pelayanan medis, seorang dokter hendaknya:

a. Memperlakukan pasien secara holistic

b. Memandang Individu sebagai bagian integral dari keluarga dan komunitas.

c. Memberikan pelayanan yang bermutu, menyeluruh, berkelanjutan dan manusiawi.

d. Dilandasi hubungan jangka panjang dan saling percaya.

2. Decision maker

Seorang dokter diharapkan memiliki:

a. Kemampuan memilih teknologi

b. Penerapan teknologi penunjang secara etik

c. Cost Effectiveness

3. Communicator

Seorang dokter, dimanapun ia berada dan bertugas, hendaknya:

a. Mampu mempromosikan gaya hidup sehat.

b. Mampu memberikan penjelasan dan edukasi yang efektif.

c. Mampu memberdayakan individu dan kelompok untuk dapat tetap sehat.

4. Community leader

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang dokter hendaknya:

a. Dapat menempatkan dirinya sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat.

b. Mampu menemukan kebutuhan kesehatan bersama individu serta masyarakat.

c. Mampu melaksanakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

5. Manager

Dalam hal manajerial, seorang dokter hendaknya:

a. Mampu bekerja sama secara harmonis dengan individu dan organisasi di luar dan

di dalam lingkup pelayanan kesehatan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasien

dan komunitas.

b. Mampu memanfaatkan data-data kesehatan secara tepat dan berhasil guna.

Karakteristik Dokter keluarga menurut IDI (1982) adalah :

a. Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan masyarakat.

b. Pelayanan menyeluruh dan maksimal

c. Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan

d. Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya

9

e. Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab atas kelanjutannya.

Tugas Dokter Keluarga, meliputi :

a. Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna menyuruh, dan bermutu

guna penapisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan.

b. Mendiagnosis secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat.

c. Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan

sakit.

d. Memberikan pelayanan kedokteran kepada nidividu dan keluarganya.

e. Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf

kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi.

f. Menangani penyakit akut dan kronik.

g. Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke rumah sakit.

h. Tetap bertanggung jawab atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau

dirawat di RS.

i. Memantau pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan

j. Bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya.

k. Mengkoordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien.

l. Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar

m.Melakukan penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran secara umum dan

ilmu kedokteran keluarga secara khusus.

Kesehatan Lingkungan

Kesehatan lingkungan tempat tinggal penduduk merupakan salah satu dari faktor

risiko terjadinya TBC, meliputi :

1. Kepadatan hunian kamar tidur

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,

artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah

penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping

menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena

penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.7

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam

m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan

fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk

kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan

10

penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya

minimum 90cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk

suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di

syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.6

2. Pencahayaan

Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca

minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka

dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-

bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus

mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang

diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 luks, kecuali untuk kamar tidur diperlukan

cahaya yang lebih redup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari

segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila

dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang

lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama. Penularan kuman TB Paru relatif tidak

tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi

udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.6

3. Ventilasi

Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar

aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen

yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan

menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi

akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses

penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang

baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya

kuman TB.

Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari

bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang

terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya

adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam

kelembaban (humidity) yang optimum.

Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari

luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi

insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk

11

menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar

22° – 30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.6

4. Kondisi rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC.

Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai dan

dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan

dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium

tuberculosis.6

5. Kelembaban udara

Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana

kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman

TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup

selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.6

Case Finding

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan

klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam

kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,

secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di

masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif

di masyarakat. Strategi penemuan pasien TB yang diberlakukan DEPKES RI dilakukan

secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan

kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun

masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.6

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.

Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak

nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam

hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas

dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis,

asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,

maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai

seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung.6

12

Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan

pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan

diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua

hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):6

• S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.

Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada

hari kedua.

• P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.

Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

• S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pemeriksaan Biakan

Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya

untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang

digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila

dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:6

1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis

2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.

3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

Pemeriksaan Tes Resistensi

Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu

melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan

telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional

TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar

sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat di cegah.6

Uji Tuberkulin

Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA, sehingga diagnosis TB pada anak didapat

dari gambaran klinik, radiologi dan uji tuberkulin.6

Untuk itu, seorang anak dapat dicurigai menderita TB, bila terdapat gejala seperti:

1. Mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB dengan BTA positif.

2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7 hari.

3. Terdapat gejala umum TB.

Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:

13

6. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas dan

tidak naik dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi yang baik.

7. Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik

dengan memadai.

8. Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat

malam, tanpa sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas

bagian atas yang akut, malaria, tipus, dan lain-lain.

9. Pembesaran kelenjar limpa superfisialis yang tidak sakit. Pembesaran ini

biasanya multiple, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

10. Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.

11. Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang tidak

sembuh dengan pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah dan

adanya tanda-tanda cairan abdomen.

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan (yakni di dalam

kulit), dengan tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan

dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau indurasi

yang dinyatakan dalam milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10 mm pada

anak dengan gizi baik, dan pada anak-anak dengan gizi buruk.6

Pengobatan

Pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat

untuk menjamin kepatuhan penderita minum obat. Pengobatan TB diberikan dalam dua

tahap, yaitu:

1. Tahap intensif. Pada tahap awal penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi

langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap rifampicin. Bila pada saat

tahap intensif tesebut diberikan secara tepat, maka penderita menular menjadi tidak

menular dalam kurun waktu dua minggu.

2. Tahap lanjutan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat dalam jangka waktu yang

lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah kekambuhan.

Panduan OAT di Indonesia4

WHO dan IUALTD merekomendasikan OAT standar, yaitu:

14

Obat tersebut diberikan tiap hari selama dua bulan (2HRZE).Kemudian

diteruskan dengan tahap lanjutan, diberikan tiga kali seminggu selama empat bulan

(4H3R3).Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA positif dan penderita TB paru

BTA negative dengan rontgen positif yang sakit berat.

Tabel 1. OAT Kategori 1

Tahap Pengobatan Lama

pengobatan

Dosis per hari/kali Jumlah

hari/kali

menelan

obat

H

300mg

R

450m

g

Z

500mg

E

250mg

Tahap intensif 2 bulan 1 1 3 3 60

Tahap lanjutan 4 bulan 2 1 - 54

Tabel 2. OAT Kategori 2

Tahap

pengobatan

Lama

pengob

atan

DOSIS PER HARI/KALI STREPTOMI

SIN INJEKSI

MENEL

AN

OBAT

H

300

mg

R

450

mg

Z

500

mg

ETAMBUT

OL

250

mg

500

mg

Tahap

intensif

2 bulan

1 bulan

1

1

1

1

3

3

3

3

-

-

0.75gr

-

60

30

Tahap

Lanjutan

5 bulan 2 1 - 1 2 - 66

Setelah tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan

tablet HRZE dan suntikan streptomisin. Dilanjutkan satu bulan dengan tablet HRZE setiap

hari. Setelah itu diturunkan dengan tahap lanjutan selama lima bulan dengan HRE yang

diberikan tiga kali seminggu. Suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai

menelan obat.Obat ini diberikan untuk penderita yang kambuh, penderita gagal berobat, atau

penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

Tabel 3. OAT Kategori 3

Tahap pengobatan Lama

pengobatan

H 300mg R

450mg

Z

500mg

Jumlah hari

menelan obat

15

Tahap intensif 2 bulan 1 1 3 60

Tahap lanjutan 4 bulan 2 1 - 54

Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negative dan rontgen positif sakit ringan

atau penderita ekstra paru ringan yaitu TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa, TB kulit, TB

tulang, sendi, dan kelenjar adrenal.

Tabel 4. Obat sisipan

Tahap

pengobatan

Lama pengobatan H

300

mg

R

450

mg

Z

500

mg

E

250

mg

Jumlah

hari/kali

menelan obat

Tahap intensif 1 bulan 1 1 3 3 30

Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2, hasil

pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan setiap hari selama 1 bulan.

Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis 7,8

Table 5

Nama Obat Efek Samping

1. Isoniazid (INH) Neuritis perifer, ikterus, hipersensitivitas, mulut kering,

nyeri epigastrik, tinitus, retensio urine dan

methemoglobinemia

2. Rifampisin Ikterus, flu-like syndrome, syndrome Redman, nyeri

epigastrik, reaksi hipersensitivitas, dan supremi imunitas

3. Etambutol Neuritis optik, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah,

disuria, malaise dan demam

4. Pirazinamid Gangguan hati, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah,

disuria, malaise dan demam

5. Streptomisin Hipersensitivitas, vertigo, tuli, gangguan fungsi ginjal

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.

Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan

kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Pemantauan efek samping obat dapat dilakukan dengan cara :

Menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping

16

Menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT.

Efek samping OAT dapat dibedakan menjadi efek samping berat dan efek samping ringan.

Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus

ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke UPK

spesialistik.

Efek samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak.

Gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obatan simptomatik atau

obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama

pengobatan. Dalam hal ini pengobatan OAT dapat diteruskan.

Tabel 6 Efek Samping Berat OAT dan Penatalaksanaannya6

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan

pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih

baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.

Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena

tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan

spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke

17

2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil

pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.6

Pengawasan Menelan Obat (PMO)

Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek

dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang

PMO.9

Persyaratan PMO:

Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan

maupun penderita. Selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita,

seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.

Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

penderita.9

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya

Sanitarian, juru imunisasai, dll. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO

dapat berasal dari kader Kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya

atau anggota keluarga.9

Tugas seorang PMO

Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan.

Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.

Mengingatkan penderita untuk pemeriksaan ulang sputum pada waktu yang

telah ditentukan.

Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang memiliki

gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan

kesehatan.9

Informasi penting yang perlu disampaikan PMO untuk disampaikan adalah TB

bukanlah penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

dengan mengikuti tahap intensif dan lanjutan. Penderita juga perlu mengetahui pentingnya

berobat secara teratur karena itu pengobatan perlu diawasi, serta mengenali efek samping

obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut.9

Pencegahan

18

Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan dari

TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :10

1. Pencegahan Primer

Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif,

walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar

kesehatan sebelumnya yang sudah tinggi.10

Promosi kesehatan menghindari kemunculan dari/ adanya factor resiko (masa

Pra-Kesakitan). Dimana upaya promosi kesehatan diantaranya adalah:

Penyuluhan penduduk

Untuk meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan lingkungan. Penyuluhan

kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian kegiatan

yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana

individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan

cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatannya. Penyuluhan TB perlu

dilakukan karena masalah TB banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan

perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran,

kemauan, peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB. Penyuluhan TB dapat

dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun

menggunakan media.10

Penyuluhan langsung bisa dilakukan perorangan maupun kelompok. Dalam

program penanggulangan TB, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya

untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan

kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan

secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga,

melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB.

Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk

dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat

tentang TB-dari “suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan”,

menjadi “suatu penyakit yang berbahaya, tetapi dapat disembuhkan”. Bila penyuluhan

ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif.10

Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan

PMO, sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa selain

dilakukan oleh tenaga kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sektor, termasuk

kalangan media massa.10

19

a. Penyuluhan Langsung Perorangan

Cara penyuluhan langsung perorangan lebih besar kemungkinan untuk

berhasil dibanding dengan cara penyuluhan melalui media. Dalam penyuluhan

langsung perorangan, unsur yang terpenting yang harus diperhatikan adalah

membina hubungan yang baik antara petugas kesehatan (dokter, perawat,dll)

dengan penderita. Penyuluhan ini dapat dilakukan di rumah, puskesmas,

posyandu, dan lain-lain sesuai kesepakatan yang ada. Supaya komunikasi

dengan penderita bisa berhasil, petugas harus menggunakan bahasa yang

sederhana yang dapat dimengerti oleh penderita. Gunakan istilah-istilah

setempat yang sering dipakai masyarakat untuk penyakit TB dan gejala-

gejalanya. Supaya komunikasi berjalan lancar, petugas kesehatan harus

melayani penderita secara ramah dan bersahabat, penuh hormat dan simpati,

mendengar keluhan-keluhan mereka, serta tunjukkan perhatian terhadap

kesejahteraan dan kesembuhan mereka. Dengan demikian, penderita mau

bertanya tentang hal-hal yang masih belum dimengerti.10

Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama :

Dalam kontak pertama dengan penderita, terlebih dahulu dijelaskan tentang

penyakit apa yang dideritanya, kemudian Petugas Kesehatan berusaha

memahami perasaan penderita tentang penyakit yang diderita serta

pengobatannya.

Petugas Kesehatan seyogyanya berusaha mengatasi beberapa faktor manusia

yang dapat menghambat terciptanya komunikasi yang baik.10

b. Penyuluhan Kelompok

Penyuluhan kelompok adalah penyuluhan TB yang ditujukan kepada

sekelompok orang (sekitar 15 orang), bisa terdiri dari penderita TB dan

keluarganya. Penggunaan flip chart (lembar balik) dan alat bantu penyuluhan

lainnya sangat berguna untuk memudahkan penderita dan keluarganya

menangkap isi pesan yang disampaikan oleh petugas. Dengan alat peraga

(gambar atau symbol) maka isi pesan akan lebih mudah dan lebih cepat

dimengerti gunakan alat bantu penyuluhan dengan tulisan dan atau gambar

yang singkat dan jelas.10

c. Penyuluhan Massa

Penyakit menular termasuk TB bukan hanya merupakan masalah bagi

penderita, tetapi juga masalah bagi masyarakat, oleh karena itu keberhasilan

20

penanggulangan TB sangat tergantung tingkat kesadaran dan partisipasi

masyarakat. Pesan-pesan penyuluhan TB melalui media massa (surat kabar,

radio, dan TV) akan menjangkau masyarakat umum. Bahan cetak berupa

leaflet, poster, billboard hanya menjangkau masyarakat terbatas, terutama

pengunjung sarana kesehatan. Penyampaian pesan TB perlu memperhitungkan

kesiapan unit pelayanan, misalnya tenaga sudah dilatih, obat tersedia dan

sarana laboratorium berfungsi. Hal ini perlu dipertimbangkan agar tidak

mengecewakan masyarakat yang datang untuk mendapatkan pelayanan.

Penyuluhan massa yang tidak dibarengi kesiapan UPK akan menjadi

“bumerang” (counter productive).10

Penyuluhan Penderita Tuberkulosis

Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara

berkala memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas melalui tatap muka,

ceramah dan mass media yang tersedia diwilayahnya, tentang cara pencegahan

TB-paru.

Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu

kunjungan rumah dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai

upaya mengurangi penyebaran penyakit.

Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar

penderita mau berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit

kepada orang lain.

Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan cara-cara

pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.

Menganjurkan perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan

demi tercapainya masyarakat yang sehat.

Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila diantara warganya ada yang

mempunyai gejala-gejala penyakit TB paru.

Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita oleh karena penyakit TB

paru bukan bagi penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan

seperti halnya penyakit lain.

Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada

koordinatornya sesuai formulir pencatatan dan pelaporan kegiatan kader.10

21

Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan.

Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang

dahak tidak disembarangan tempat.

Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus harus

diberikan vaksinasi BCG. Vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan

perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun

ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan.

Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara

lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.

Desinfeksi, cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian

khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, handuk, tempat tidur, pakaian), ventilasi

rumah dan sinar matahari yang cukup.

Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan

hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.

Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas,

sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect,

perawatan.

Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan

pasteurisasi air susu sapi.10

2. Pencegahan Sekunder

Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC

yang timbul dengan 3 komponen utama ; Agent, Host dan Lingkungan.10

a. Diagnosis TB

Mengacu pada program nasional penanggulangan TB, diagnosis dilakukan

dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Adapun diagnosis

pastinya adalah melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan

kultur memerlukan waktu yang lama, hanya akan dilakukan bila diperlukan atas

indikasi tertentu, dan tidak semua unit pelayanan kesehatan memilikinya.

Pemerintah melalui gerakan terpadu nasional, memiliki upaya untuk meningkatkan

kemampuan Puskesmas untuk melakukan diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan

BTA. Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya 3 kali, yaitu pengambilan dahak

sewaktu penderita datang berobat dan dicurigai menderita TB, kemudian

pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya, yang diambil adalah dahak pagi.

Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita memeriksakan dirinya

22

sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut pemeriksaan SPS (Sewaktu-

Pagi-Sewaktu).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya

BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan

positif apabila sedikit 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu)

BTA hasilnya positif.

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut,

yaitu rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan

radiologi, dada menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TB maka

yang bersangkutan dianggap positif menderita TB. Kalau hasil radiologi tidak

menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang.

Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau kuman TB, hanya dilakukan apabila

sarana mendukung untuk itu.

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka diberikan antibiotik

berspektrum luas selama 1 hingga 2 minggu, amoksilin atau kotrimoksasol. Bila

tidak berhasil, dan penderita yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-

tanda TB, maka ulangi pemeriksaan dahak SPS. Selanjutnya prosedur terdahulu

dilakukan, yakni kalau dalam pemeriksaan ulang ternyata dahak SPS positif, maka

yang bersangkutan adakah positif menderita TB. Namun, apabila dahak negatif,

maka ulangi pemeriksaan radiologi. Apabila hasil radiologi mendukung TB

dianggap sebagai penderita TB dengan BTA negatif, radiologi positif. Apabila baik

radiologi tidak mendukung TB, spesimen dahak negatif, maka yang bersangkutan

bukan TB.4-7

Karena tingginya prevalensi TB di Indonesia, maka tes tuberkulin pada orang

dewasa, tidak memiliki makna lagi. Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA,

sehingga diagnosis TB pada anak didapat dari gambaran klinik, radiologi dan uji

tuberkulin.

Untuk itu, seorang anak dapat dicurigai menderita TB, kalau terdapat gejala

seperti:

3. Mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB dengan BTA

positif.

4. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7

hari.

5. Terdapat gejala umum TB. Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:

23

i. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas

dan tidak naik dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi

yang baik.

ii. Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik

dengan memadai.

iii. Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat

malam, tanpa sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas

bagian atas yang akut, malaria, tipus, dan lain-lain.

iv. Pembesaran kelenjar limpa superfisialis yang tidak sakit. Pembesaran ini

biasanya multiple, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

v. Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.

vi. Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang

tidak sembuh dengan pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah

dan adanya tanda-tanda cairan abdomen.

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan, dengan

tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan dilakukan

48-72 jam setelah penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau indurasi

yang dinyatakan dalam milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10

mm.

Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern

kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun

tenaga.Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang

terinfeksi TBC sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat diberikan.Selain itu,

pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi

dari petunjuk yang paling efektif.

b. Penatalaksanaan TB

Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat.

Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun

dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya resistensi

terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.7

Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup

efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis.

24

Berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita

infeksi HIV terbukti bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian

rifampin dan pyrazinamide jangka pendek ternyata cukup efektif. Pemberian

terapi preventif merupakan prosedur rutin yang harus dilakukan terhadap

penderita HIV/AIDS usia dibawah 35 tahun. Apabila mau melakukan terapi

preventif, pertama kali harus diketahui terlebih dahulu bahwa yang

bersangkutan tidak menderita TB aktif, terutama pada orang-orang dengan

imunokompromais seperti pada penderita HIV/AIDS. Oleh karena ada risiko

terjadinya hepatitis dengan bertambahnya usia pada pemberian isoniazid, maka

isoniazid tidak diberikan secara rutin pada penderita TB usia diatas 35 tahun

kecuali ada hal-hal sebagai berikut: infeksi baru terjadi (dibuktikan dengan baru

terjadinya konversi tes tuberkulin); adanya penularan dalam lingkungan rumah

tangga atau dalam satu institusi; abnormalitas foto thorax konsisten dengan

proses penyembuhan TB lama, diabetes, silikosis, pengobatan jangka panjang

dengan kortikosteroid atau pengobatan lain yang menekan kekebalan tubuh,

menderita penyakit yang menekan sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS.

Mereka yang akan diberi pengobatan preventif harus diberitahu kemungkinan

terjadi reaksi samping yang berat seperti terjadinya hepatitis, demam dan ruam

yang luas, jika hal ini terjadi dianjurkan untuk menghentikan pengobatan dan

hubungi dokter yang merawat. Sebagian besar fasilitas kesehatan yang akan

memberikan pengobatan TB akan melakukan tes fungsi hati terlebih dahulu

terhadap semua penderita, terutama terhadap yang berusia 35 tahun atau lebih

dan terhadap pecandu alkohol sebelum memulai pengobatan.

Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif

dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan

di AS. Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT,

sedangkan Indonesia sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi dan

mengadaptasi sistem yang sama yang disebut DOTS (Directly Observed

Treatment Shortcourse). Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi

yang tepat dengan pemeriksaan sputum yang teratur. Untuk penderita yang

belum resisten terhadap OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari

isoniazid (INH), Rifampin (RIF) dan pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan

kemudia diikuti dengan INH dan PZA selama 4 bulan. Pengobatan inisial

dengan 4 macam obat termasuk etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan

25

jika infeksi TB terjadi didaerah dengan peningkatan prevalensi resistensi

terhadap INH. Namun bila telah dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan

obat yang sesuai. Jika tidak ada konversi sputum setelah 2-3 bulan pengobatan

atau menjadi positif setelah beberapa kali negatif atau respons klinis terhadap

pengobatan tidak baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan

minum obat dan tes resistensi. Kegagalan pengobatan umumnya karena tidak

teraturnya minum obat dan tidak perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan

Supervisi dilakukan bila tidak ada perubahan respons klinis penderita. Minimal

2 macam obat dimana bekteri tidak resisten harus ada dalam regiemen

pengobatan. Jangan sampai menambahkan satu jenis obat baru pada kasus yang

gagal. Jika INH atau rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen maka

lamanya pengobatan minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif.

551 Untuk penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang,

WHO merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2

bulan yang teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan pemberian INH

dan RIF 3 kali seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus diawasi

secara langsung, jika pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan

pengawasan langsung maka diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan

EMB selama 6 bulan. Walaupun pengobatan jangka pendek dengan 4 macam

obat lebih mahal daripada pengobatan dengan jumlah obat yang lebih sedikit

dengan jangka waktu pengobatan 12- 18 bulan namun pengobatan jangka

pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih baik. Penderita TBC pada

anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan dewasa dengan sedikit

modifikasi. Kasus resistensi pada anak umumnya karena tertular dari penderita

dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan limfadenopati hilus

hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan. Pengobatan anak-anak dengan

TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal selama 9-12 bulan, beberapa

ahli menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan. Etambutol tidak

direkomendasikan untuk diberikan pada anak sampai anak cukup besar sehingga

dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya usia> 5 tahun). Penderita

TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus diberikan

pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin tidak

boleh diberikan selama hamil. Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan

26

reaksi efek samping yang berat. Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada

kasus MDR.8

Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi

untuk penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS)

dan sediakan juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak.

Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan

dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum

biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit

hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis

dan secara sosial tidak bisa dirawat di rumah. Penderita TB paru dewasa dengan

BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan

ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu agar menutup mulut dan

hidung setiap saat batuk dan bersin. Orang yang memasuki ruang perawatan

penderita hendaknya mengenakan pelindung pernafasan yang dapat menyaring

partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak perlu dilakukan bagi penderita

yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi penderita yang tidak batuk dan

bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang adekuat (didasarkan juga

pada pemeriksaan sensitivitas/resistensi obat dan adanya respons yang baik

terhadap pengobatan).Penderita remaja harus diperlakukan seperti penderita

dewasa. Penilaian terus menerus harus dilakukan terhadap rejimen pengobatan

yang diberikan kepada penderita.

Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:

a. Obat primer/Lini pertama: Isoniazid (INH), Rifampisin, Etambutol,

Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi

dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar dapat

dipisahkan dengan obat-obatan ini.

b. Obat sekunder / Lini kedua: Etionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,

Amikasin, Kapreomisin, Kanamisin.

3. Pencegahan Tersier

Rehabilitasi merupakan suatu usaha mengurangi komplikasi penyakit. Rehabilitasi

merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan diagnosis kasus

berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi

penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi

pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali

27

dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta

penegasan perlunya rehabilitasi.10

Imunisasi

Vaksin BCG sebaiknya digunakan pada infant dan anak-anak yang hasil uji

tuberculinnya negatif dan yang berada dalam lingkungan orang dewasa dengan kondisi

terinfeksi TBC dan tidak menerima terapi atau menerima terapi tetapi resisten terhadap

isoniazid atau rifampin. Sebelum dilakukan pemberian vaksin BCG (selain bayi sampai

dengan usia 3 bulan) setiap pasien harus terlebih dahulu menjalani skin test. Vaksin BCG

tidak diindikasikan untuk pasien yang hasil uji tuberculinnya posistif atau telah menderita

tuberculosis aktif, karena pemberian vaksin BCG tidak memiliki efek untuk pasien yang telah

terinfeksi TBC. Pemberian vaksin BCG biasanya dilakukan secara injeksi

intradermal/intrakutan (tidak secara subkutan) pada lengan bagian atas atau injeksi perkutan

sebagai alternatif bagi bayi usia muda yang mungkin sulit menerima injeksi intradermal.

Dosis normal adalah 0,005 ml untuk neonates dan bayi di bawah 1 tahun dan 0,1 ml untuk

anak yang lebih besar dan orang dewasa. Perlindungan yang diberikan oleh vaksin BCG

dapat bertahan untuk 10 – 15 tahun. Sehingga re-vaksinasi pada anak-anak umumnya

dilakukan pada usia 12 -15 tahun. Vaksin BCG dikontra-indikasikan untuk pasien yang

mengalami gangguan pada kulit seperti dermatitis atopik, serta baru saja menerima vaksinasi

lain (perlu ada interval waktu setidaknya 3 minggu). Vaksin BCG juga tidak diberikan

untuk:11

Pasien dengan gangguan imunitas (immunosuppressed) seperti pasien HIV, pasien

yang mengkonsumsi obat-obat kortikosteroid (immunosuppressan), atau baru saja

menerima transplantasi organ.

Wanita hamil dan menyusui, walaupun belum ada data yang menunjukkan efek

bahaya dari pemberian vaksin BCG terhadap wanita hamil dan menyusui.15

Beberapa adverse reaction yang mungkin terjadi setelah pemberian vaksin BCG antara

lain: nyeri pada tempat injeksi, terjadi ulcer atau keloid karena kesalahan pada saat injeksi.

Kelebihan dosis dan pemberian vaksin pada pasien dengan tuberculin positif. Dan sakit

kepala, demam, dan timbul reaksi alergi.11

Kesimpulan

TBC adalah suatu infeksi bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis yang utama menyerang organ paru manusia. TBC merupakan salah satu problem

28

utama epidemiologi kesehatan didunia. Agent, Host dan Lingkungan merupakan faktor

penentu yang saling berinteraksi, terutama dalam perjalanan alamiah epidemi TBC baik

periode Prepatogenesis maupun Patogenesis. Interaksi tersebut dapat digambarkan dalam

Bagan “Segitiga Epidemiologi TBC”.

Meningkatnya angka penderita TBC disebabkan berbagai faktor diantaranya

karakteristik demografi keluarga, social ekonomi, sikap keluarga itu sendiri, seperti

ketidaktahuan akan akibat, komplikasi dan cara merawat anggota keluarganya yang

menderita TBC di rumah dan sikap penderita TBC. Selain itu penularan dalam keluarga juga

disebabkan kebiasaan sehari-hari keluarga yang kurang memenuhi kesehatan seperti

kebiasaan membuka jendela, kebiasaan membuang dahak penderita. Faktor lain yang

berpengaruh adalah pengetahuan keluarga yang kurang tentang penyakit TBC seperti

penyebab, akibat dan komplikasinya, sehingga menyebabkan keluarga dan penderita TBC

kurang termotivasi untuk berobat yang berakibat terjadinya penularan dalam keluarga. Akibat

lebih jauh dari hal tersebut adalah terjadinya penularan penderita TBC dalam keluarga dan

masyarakat yang kemudian akan berdampak pada masalah pembangunan kesehatan

kesehatan di Indonesia karena meningkatnya angka penderita TBC.

Pencegahan terhadap infeksi TBC sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yang terdiri dari

pencegahan primer, sekunder dan tersier (rehabilitasi).

Daftar Pustaka

1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2010.h.67.105.

2. Achmadi, Umar Fahmi. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Penerbit Buku

Kompas. 2005.h.45-90.

3. Chin J (Ed), Kandun IN (Editor Penterjemah). Manual Pemberantasan Penyakit

Menular. Jakarta: Infomedika. 2006.h.78-105.

4. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Edisi IV. Jakarta:FKUI. 2006.h.45-67.

5. Soetono, Sadikin, & Zanilda. Membangun Praktek Dokter Keluarga Mandiri.

Jakarta : Pengurus Besar IDI. 2006.h23-98.

6. Amin Z, Bahar A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Jakarta: Interna

Publishing; 2010.

29

7. Pickett G, Hanlon JJ. Kesehatan masyarakat administrasi dan praktik. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.

8. Cahyono JBSB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius; 2010.h.246-88.

9. Balai Pelatihan Kesehatan Salaman- Magelang. Pedoman praktis pelaksanaan kerja di

puskesmas; 2000.h.234-78/

10. Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan fisis umum buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid

I. Jakarta: Interna Publishing; 2010.h.96-108.

11. Mandal, Wilkins, Dunbar, White M. Lecture notes: penyakit infeksi. Jakarta: Penerbit

Erlangga; 2008.h.56-89.

30