ta mel

10
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi Kitin dari Cangkang Udang a. Tahap Demineralisasi Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tahap demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi pada proses pembuatan kitosan, tahap yang pertama kali dilakukan adalah demineralisasi, dimana tahap ini berfungsi untuk menghilangan mineral terhadap kulit udang yang digunakan. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Alamasyah yang menyatakan bahwa isolasi kitin melalui tahap demineralisasi-deproteinasi menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan tahap isolasi deproteinasi-demineralisasi (Alamsyah, ET AL., 2007). Ini dikarenakan mineral membentuk shield (pelindung) yang keras pada kulit udang dan cangkang kepiting, pada umumnya mineral lebih keras dibandingkan protein, sehingga dengan menghilangkan mineral terlebih dahulu, pada tahap deproteinasi basa dapat lebih optimal menghilangkan protein, karena pelindung yang terbuat dari mineral telah hilang (Puspawati dan Simpen,

Upload: mella-widiawati

Post on 25-Sep-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ta

TRANSCRIPT

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Kitin dari Cangkang Udanga. Tahap DemineralisasiBerdasarkan penelitian yang telah dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tahap demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi pada proses pembuatan kitosan, tahap yang pertama kali dilakukan adalah demineralisasi, dimana tahap ini berfungsi untuk menghilangan mineral terhadap kulit udang yang digunakan. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Alamasyah yang menyatakan bahwa isolasi kitin melalui tahap demineralisasi-deproteinasi menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan tahap isolasi deproteinasi-demineralisasi (Alamsyah, ET AL., 2007). Ini dikarenakan mineral membentuk shield (pelindung) yang keras pada kulit udang dan cangkang kepiting, pada umumnya mineral lebih keras dibandingkan protein, sehingga dengan menghilangkan mineral terlebih dahulu, pada tahap deproteinasi basa dapat lebih optimal menghilangkan protein, karena pelindung yang terbuat dari mineral telah hilang (Puspawati dan Simpen, 2010).Demineralisasi dengan berbagai sampel menghasilkan rendemen yang ditunjukkan pada gambar 1 : Gambar 1. Pengaruh konsentrasi HCl terhadap rendemen demineralisasiGambar 1 menunjukkan bahwa kenaikkan konsentrasi HCl yang digunakan menyebabkan rendemen yang dihasilkan semakin besar. Hal ini berbanding terbalik dengan teorinya, dimana konsentrasi HCl yang terlalu kecil menyebabkan proses demineralisasi berjalan tidak sempurna mengakibatkan banyaknya impurities yang ada pada kitin yang dihasilkan (Austin, 1981). penambahan konsentrasi HCl yang semakin meningkat akan menghasilkan rendemen yang sedikit karena banyak mineral-mineral yang hilang seiring dengan bertambahnya konsentrasi HCl. Berdasarkan data pada gambar 1, rendemen yang diperoleh semakin meningkat, hal ini terjadi karena gas CO2 yang menguap dalam bentuk gelembung udara yang terbentuk pada saat penambahan HCL kedalam sampel berbeda-beda. Terjadinya proses pemisahan mineral ditunjukan dengan terbentuknya gas CO2 berupa gelembung udara ketika larutan HCl ditambahkan kedalam sampel (Hendry, 2008). Sehingga penambahan larutan HCl dilakukan bertahap agar sampel tidak meluap. Penambahan larutan HCl yang bertahap menyebabkan gas CO2 yang terbentuk berbeda-beda, sehingga rendemen kitin yang diperoleh juga memiliki nilai yang fluktuatif. Reaksi yang terjadi yaitu sebagai berikut :CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g)Jumlah gelembung gas CO2 yang terbentuk akan semakin banyak sesuai dengan konsentrasi HCl yang semakin meningkat, namun pada penelitian ini gas CO2 yang seharusnya terlepas ke lingkungan tertahan pada permukaan sampel kulit udang yang sedang mengalami proses demineralisasi sehingga menyebabkan rendemen semakin meningkat. Pada penelitian ini diperoleh rendemen paling tinggi yaitu pada konsentrasi HCl 2M, sebesar 55,2% untuk tahap demineralisasi. Hal ini menunjukan bahwa pada konsentrasi HCl 2M lebih efektif dibandingkan dengan konsentrasi 1M, dan 1,5M.b. Tahap DeproteinasiSetelah tahap demineralisasi dilanjutkan ke tahap deproteinasi bertujuan untuk mengurangi kadar protein pada kulit udang yang digunakan. Tahap deproteinasi ini menggunakan senyawa NaOH dengan konsentrasi 1M, 1,5M dan 2M serta pemanasan pada temperatur 55 65oC.

Gambar 2. Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap rendemen kitin

Pada gambar 2 menunjukkan data tidak stabil setiap penambahan konsentrasi NaOH, hal ini disebabkan oleh proses pengurangan atau pengambilan protein pada kulit udang tersebut tidak sempurna. Faktor-faktor lain yang menyebabkan data hasil penelitian ini tidak baik adalah kurangnya ketelitian selama proses berlangsung, teliti terhadap massa bahan baku, volume NaOH dan temperatur yang digunakan. Berbeda dengan tahap demineralisasi, pada tahap ini rendemen paling tinggi dihasilkan pada konsentrasi NaOH 1M yaitu sebesar 62,7%.

4.2 Rendemen Kitosan pada Tahap DeasetilasiTahap selanjutnya setelah deproteinasi yaitu tahap deasetilasi yang bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil yang masih ada pada kitin dengan menambahkan NaOH pekat 60% dengan perbandingan 1:20 (b/v) antara kitin dengan pelarut.

Gambar 3. Pengaruh konsentrasi HCl dan NaOH pada tahap demineralisasi dan deproteinasi terhadap rendemen kitinGambar 3 menunjukkan pengaruh konsentrasi HCl dan NaOH pada tahap sebelumnya terhadap rendemen kitosan yang dihasilkan dari tahap deasetilasi dengan penambahan NaOH pekat 60%. Kondisi ini digunakan karena struktur sel-sel kitin yang tebal dan kuatnya ikatan hidrogen intramolekul antara atom hidrogen pada gugus amin dan atom oksigen pada gugus karbonil. Proses deasetilasi dalam basa kuat panas menyebabkan hilangnya gugus asetil pada kitin melalui pemutusan ikatan antara karbon pada gugus asetil dengan nitrogen pada gugus amin (Puspawati dan Simpen, 2010). Kitosan yang diperoleh kemudian di analisa dengan spektrofotometer FTIR untuk mengetahui gugus utama yang ada pada kitosan, sehingga dapat diketahui nilai derajat deasetilasi kitosan.

4.3 Pengaruh Konsentrasi HCl dan NaOH terhadap Derajat DeasetilasiUkuran besarnya penghilangan gugus asetil pada guus asetamida kitin dikenal dengan istilah derajat deasetilasi (DD). Jika DD 40-100% (derajat asetilasi, DA kecil dari 40%) disebut kitosan (Terbojevich, 2000), sedangkan Khan, et al (2002) menyatakan bahwa kitin dengan derajat deasetilasi 75% atau lebih umumnya dikenal sebagai kitosan. Derajat deasetilasi adalah salah satu karakteristik kimia paling penting karena dapat mempengaruhi performance kitosan pada banyak aplikasinya (Khan et al, 2002). Kualitas kitosan yang baik dilihat dari derajat deasetilasinya, semakin besar derajat deasetilasi yang dihasilkan maka semakin baik juga kualitas kitosan tersebut.

Gambar 5. Pengaruh konsentrasi HCl dan NaOH terhadap derajat deasetilasiPada gambar 5 menunjukkan derajat deasetilasi kitosan yang dipengaruhi oleh konsentrasi HCl dan NaOH yang digunakan pada isolasi kitin dan deasetilasi. Proses pelepasan gugus asetil dari gugus asetamida kitin berhubungan dengan konsentrasi ion OH- pada larutan. Konsentrasi OH- akan lebih besar pada larutan basa kuat. Semakin kuat suatu basa semakin besar konsentrasi OH- dalam larutannya. Dengan demikian kekuatan basa mempengaruhi proses deasetilasi gugus asetil dari gugus asetamida kitin. Kitin hasil isolasi dideasetilasi menggunakan larutan NaOH pekat 60%, derajat deasetilasi kitin diperoleh 20 57,2 %. Hasil deasetilasi kitin yang mencapai derajat deasetilasi diatas 40% yaitu pada proses isolasi kitin dengan konsentrasi HCl:NaOH, 1:1,5 DD 43,95%, 1.5:1,5 DD 44,82%, 1,5:2 DD 50,45%, 1,5:1 50,96% 2:2 DD 57,28%. Dengan demikian proses deasetilasi kitin dengan NaOH telah diperoleh kitosan.4.4 Pengaruh Derajat Deasetilasi terhadap Nilai SwellingDerajat swelling menggambarkan daya serap hidrogel terhadap cairan. Dari gambar 6 terlihat bahwa derajat swelling hidrogel yang dihasilkan oleh larutan kitosan dengan derajat deasetilasi 43 57,28% naik secara linier dengan kenaikan DD. Hal ini disebabkan kitosan dan alginat mempunyai sifat hidrofilik sehingga lebih mudah meyerap air (Vasquez dkk., 2012)

Gambar 6. Pengaruh derajat deasetilasi terhadap swellingDerajat swelling dipengaruhi oleh daya serap terhadap cairan. Kitosan mempunyai gugus asetil yang bersifat hidrofobik.4.5 Pengaruh Derajat Deasetilasi terhadap Derajat CrosslinkedSelain menganalisa swelling pada penelitian ini juga dilakukan analisa terhadap derajat crosslinked. Derajat crosslinked menggambarkan daya ikat kekuatan ikat silang hidrogel.

Gambar 7. Pengaruh derajat deasetilasi terhadap derajat crosslinked

Dari penelitian yang telah dilakukan seperti dapat dilihat pada gambar 7 bahwa semakin besar derajat deasetilasi kitosan maka semakin besar pula derajat crosslinked yang diperoleh. Karena kitosan mempunyai gugus kationik (amin) yang dapat membentuk hidrogel yang kuat dan rapat.