bab iv strategi ren-ren menghadapi dominasi ......110 bab iv strategi ren-ren menghadapi dominasi...

43
110 BAB IV STRATEGI REN-REN MENGHADAPI DOMINASI MEL-MEL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Mencermati deskripsi pada BAB III khususnya tentang kehadiran imigran dari Watlaar dan Haar di Ohoiwait, serta fenomena perpindahan kekuasaan (kepemimpinan adat) dari penduduk asli kepada para pendatang yang telah mengakibatkan keluarnya penduduk asli dari Ohoiwait sampai pada tindakan pencarian dan membawa kembali penduduk asli ke Ohoi, menimbulkan sebuah pertanyaan menggelitik “apakah ini kisah Tom&Jerry yang walapun sering berkonflik namun saling merindukan?” Tom&Jerry yang dalam lakonnya, mendemonstrasikan ketegangan sandiwara kehidupan manusia antara “benci tapi rindu serta rindu tapi benci” memang mirip dengan pergulatan antara penduduk asli dan pendatang di desa ini. Untuk itu pada bab ini, saya memilih tiga topik utama untuk dikaji lebih mendalam, yakni: 1) Upaya atau strategi Ren-ren dalam mempengaruhi dominasi mel-mel; 2) Faktor-faktor yang mendorong strategi ren-ren; dan 3) Kemampuan mereproduksi wacana: menuju lebenswelt baru;. Ketiga topik tersebut, lebih lanjut diuraikan di bawah ini. 4.1. Strategi Ren-Ren dalam Mempengaruhi Dominasi Mel-Mel Dalam struktur asli masyarakat Kei, fungsi adat yang selalu melekat dan menjadi hak golongan ren-ren adalah tuan tan dan mituduan (imam) atau yang bisanya juga disebut dengan penjaga Luw Sukat. Walaupun demikian, sebelum

Upload: others

Post on 07-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 110

    BAB IV

    STRATEGI REN-REN MENGHADAPI DOMINASI MEL-MEL DAN

    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    Mencermati deskripsi pada BAB III khususnya tentang kehadiran imigran dari

    Watlaar dan Haar di Ohoiwait, serta fenomena perpindahan kekuasaan

    (kepemimpinan adat) dari penduduk asli kepada para pendatang yang telah

    mengakibatkan keluarnya penduduk asli dari Ohoiwait sampai pada tindakan

    pencarian dan membawa kembali penduduk asli ke Ohoi, menimbulkan sebuah

    pertanyaan menggelitik “apakah ini kisah Tom&Jerry yang walapun sering

    berkonflik namun saling merindukan?” Tom&Jerry yang dalam lakonnya,

    mendemonstrasikan ketegangan sandiwara kehidupan manusia antara “benci tapi

    rindu serta rindu tapi benci” memang mirip dengan pergulatan antara penduduk asli

    dan pendatang di desa ini.

    Untuk itu pada bab ini, saya memilih tiga topik utama untuk dikaji lebih

    mendalam, yakni: 1) Upaya atau strategi Ren-ren dalam mempengaruhi dominasi

    mel-mel; 2) Faktor-faktor yang mendorong strategi ren-ren; dan 3) Kemampuan

    mereproduksi wacana: menuju lebenswelt baru;. Ketiga topik tersebut, lebih lanjut

    diuraikan di bawah ini.

    4.1. Strategi Ren-Ren dalam Mempengaruhi Dominasi Mel-Mel

    Dalam struktur asli masyarakat Kei, fungsi adat yang selalu melekat dan

    menjadi hak golongan ren-ren adalah tuan tan dan mituduan (imam) atau yang

    bisanya juga disebut dengan penjaga Luw Sukat. Walaupun demikian, sebelum

  • 111

    struktur asli masyarakat Kei mencapai bentuk akhir dengan dibentuknya hukum adat

    Larvul Ngabal sekitar abad ke-16, semua fungsi dan peran adat di desa Ohoiwait

    yang didistribusikan kepada marga-marga1 yang ada saat ini, merupakan hak dari

    penduduk asli yang selalu dikategorikan sebagai ren-ren.

    Kehadiran para imigran yang berasal dari Watlaar dan Haar di Ohoiwait dan

    dalam kehidupan bersama penduduk asli, telah menimbulkan fenomena baru yakni,

    berpindahnya fungsi dan peran adat kepada pendatang. Mula-mula fungsi

    (kekuasaan) adat pertama yang diambil alih adalah “kepala Ohoi” kemudian

    merambah pada fungsi-fungsi adat yang lain. Pengambil-alihan fungsi dan peran adat

    ini berimplikasi pada tidak diakuinya hak-hak kelompok ren-ren, bahkan

    diwacanakan kelompok ini telah punah. Dalam konteks seperti ini, maka dapat

    dikatakan bahwa praktek kepemimpinan dan dominasi berjalan seiring, atau dengan

    kata lain mel-mel menjalankan hegemoninya terhadap ren. Pertanyaannya adalah apa

    yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh kelompok ren-ren untuk setidaknya

    mengembalikan hak-hak mereka?

    Menurut Bourdieu, dalam setiap perjuangan aktor membutuhkan strategi.

    Strategi perjuangan diperlukan aktor untuk memperebutkan modal-modal di dalam

    ranah (field). Bagi Bourdieu, nilai yang diberikan modal (-modal) dihubungkan

    dengan berbagai karakteristik sosial dan kultural habitus. Karena itu, ranah selalu

    dikitari oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material. Dengan

    demikian, strategi perjuangan tanpa modal, mungkin tidak akan berhasil.

    1 lihat fungsi dan peran adat yang diemban oleh masing-masing marga dalam bab III halaman

    78-79

  • 112

    Menurut Soerjono Soekanto,2 dalam hubungan sosial jika sarana perjuangan

    tidak mencakup kekerasan fisik aktual, maka proses tersebut disebut perjuangan

    damai. Model perjuangan ini adalah untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan

    yang juga diperjuangkan oleh pihak-pihak lain. Karena itu, perjuangan yang tidak

    didasarkan atas konflik kepentingan, untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan

    pribadi disebutnya sebagai seleksi sosial. Sedangkan yang menyangkut pelbagai

    kemungkinan bertahannya ciri-cri secara turun-temurun, disebutnya seleksi biologis.

    Dalam perspektif Bourdieu, perjuangan damai ini dapat dimaknai sebagai

    kemampuan mereproduksi wacana untuk menjadi dominan terhadap pihak lain,

    selama wacana yang diproduksi itu tidak berimplikasi pada konflik dengan

    kekerasan.

    Pierre Bourdieu membedakan lima jenis strategi, yakni investasi biologis,

    suksesif, edukatif, investasi ekonomi, dan investasi simbolik. Namun jika mencermati

    pengertian yang diberikan pada masing-masing strategi itu, maka dapat juga

    dikategorikan menjadi dua jenis strategi, yakni: strategi investasi ekonomi dan

    strategi investasi simbolik. Untuk itu beberapa sub topik perlu dianalisa secara

    terpisah demi mendapatkan gambaran yang lebih jelas jentang “strategi ren-ren

    menghadapi dominasi mel-mel. Beberapa sub topik tersebut, adalah:

    a. Pewarisan Marga: Sebuah Dilema

    Bagi Bourdieu pewarisan nama keluarga (marga?) juga merupakan bentuk

    habitus yang dapat menggerakan tindakan individu maupun sosisl untuk berjuang

    2 Soerjono Sukanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

    2002: 48-51

  • 113

    memperebutkan modal-modal dalam ranah. Namun bagi saya, jika yang dimaksudkan

    dengan ‘pewarisan nama keluarga” itu adalah marga, maka ada masalah khususnya

    dengan kelompok ren-ren. Berdasarkan hasil penelitian, tidak semua bentuk

    “pewarisan nama keluarga” dapat memberikan keuntungan bagi yang mewarisinya,

    terutama pewarisan marga Yahaubun, Kudubun, Notanubun, Ingratubun oleh

    kelompok ren-ren telah menempatkan mereka pada posisi yang dilematis.

    Dalam tesisnya, Martinus Ngabalin (2006) memang tidak memberikan

    argumentasi yang dapat memperkuat pernyataannya bahwa “keturunan penduduk asli

    telah punah” demikian juga sejarah yang dituturkan oleh Eliazer Rahajaan dan ditulis

    oleh Melky, tidak memberikan argumentasi tentang punahnya keturunan Reyaur.

    Sebab itu, sejak awalnya memang sudah saya kritik. Berdasarkan hasil wawancara,

    satu-satunya alasan yang saya temukan tentang wacana punahnya keturunan

    penduduk asli itu, diakibatkan oleh pola “pewarisan marga”3 karena itu saya

    menyebutnya sebuah dilema.

    Setelah keturunan penduduk asli yang “melarikan diri” dari kampung

    kemudian kembali lagi dengan perjanjian bahwa mereka boleh mengatur dirinya

    sendiri, maka ada “harga” yang perlu dibayar kepada mereka yang telah memanggil

    itu.4 “Harga” itu tampak dalam kerelaan mereka untuk mengikuti marga dari orang

    yang membujuk mereka untuk kembali. Kerelaan itu merupakan sikap hidup orang

    Kei yang tahu berterimakasih (tet ya dalam bahasa Kei). Tet ya bermakna “karena

    3 Karena itu, argumentasi yang dibangun oleh Melky berdasarkan cerita Eliazer Rahajaan

    tentu tidak benar, sebab pola pewarisan marga baru terjadi setelah Towowod Rahawarin menikah dan

    menghasilkan keturunan. Pola pewarisan marga yang saya kemukakan, di satu sisi memberikan catatan

    tambahan bagi tesis Martinus Ngabalin, namun di sisi lain juga bertujuan meolak tesis Ngbalin itu. 4 Lihat uraian bab III khususnya pada bagian “marga sebagai bentuk asimilasi”

  • 114

    kebaikanmu engkau kutempatkan dalam lubuk hatiku untuk lebih dekat denganku.”

    Disinilah makna mendalam tentang “kakak – beradik” muncul.

    Masalahnya adalah ren-ren tidak hanya mewarisi satu marga diantara

    keempat marga (Yahaubun, Kudubun, Notanubun, dan Ingratubun), mereka terbagi,

    atau mengikuti semua marga itu. Di satu sisi pewarisan marga ini adalah positif untuk

    menjaga persatuan dan kesatuan Ohoi Nuhu, sebab merasa satu dan tidak lagi ada

    perbedaan penduduk “asli” dan “pendatang”, namun di sisi lain menjadi salah

    dimengerti oleh para pendatang yang akhirnya menciptakan dominasi. Dominasi

    terjadi sebab kepala marga harus berasal dari keturunan asli Yahau, Kud, Notan, dan

    Ingrat itu. Posisi kepala marga untuk orang Kei dan secara khusus di desa Ohoiwait

    adalah cukup kuat, sebab “dia” dianggap sebagai representasi adat untuk marganya.

    Bentuk representasi seperti ini tampak dan diatur dalam pasal 1 hukum adat Larvul

    Ngabal yang memang sangat ditaati oleh masyarakat Kei.

    Dalam konteks pewarisan marga (yang tidak satu), tentu akan memunculkan

    habitus baru. Sejarah asli (awal) terpecah atau terbagi, bahkan terasimilasi dengan

    habitus lain yang mengakibatkan munculnya habitus baru itu. Walupun habitus baru

    ini tidak menghilangkan habitus awal, namun produksi dan reproduksi sejarah asli

    terbagi dalam versi-versi yang berbeda, kecil dan tidak lagi sekuat sejarah awal.

    Diskursus argumentatif menurut Habermas, atau komunikasi “bebas penguasa”

    tidak/belum berlaku disini. Untuk sampai pada tingkat diskursus argumentatif itu

    diperlukan faktor pendukung lain, yakni pendidikan, bukan saja pendidikan formal,

    namun juga pendidikan nonformal yakni sosialisasi nilai-nilai adat kepada generasi

  • 115

    yang siap beradu argumen untuk memimpin. Masalahnya wadah atau situasi yang

    memungkinkan untuk saling beradu argumen demi memperebutkan modal-modal

    (atau posisi) belum tercipta dengan baik.

    Dengan demikian, reproduksi wacana oleh kelompok ren-ren untuk kembali

    kepada sejarah asli tentu tidak mudah, sebab sejarah asli telah terbagi dalam versi-

    versi akibat pembauran penduduk asli dan pendatang yang menjadi satu marga itu.

    Kelompok ren-ren khususnya yang bermarga Rahaningmas dan Notanubun mungkin

    mampu mereproduksi sejarah asli (tom tad), namun belum tentu diikuti atau diterima

    oleh semua kelompok ren-ren, sebab penghargaan, pengakuan, relasi dalam

    kehidupan bersama, serta identitas marga tentu turut mempengaruhi.

    Pola komunikasi yang intensif antara kepala marga dengan anggota-anggota

    marga tentu anak mempererat tali persaudaraan anggota marga. Sebab segala urusan

    yang “dilakukan” anggota marga, entah itu perkawinan, kematian, pembangunan

    rumah, pencurian, dan pembunuhan adalah menjadi tanggungjawab magra, semua

    anggota marga akan bermusyawarah (rasdov) untuk memutuskan sesuatu hal, dan

    kewenangan pengambilan keputusan itu adalah kepala marga. Karena itu, dalam

    beberapa hal solidaritas marga sangat kuat, sehingga reproduksi wacana tentang

    sejarah asli (ren-ren) menjadi dinomor sepatu-kan, bahkan oleh kelompok ren-ren

    sendiri. Walupun mereka sadar bahwa hak-haknya sebagai penduduk asli terabaikan.

    Kedekatan dan pola komunikasi yang baik memegang peranan penting dalam

    pembentukan habitus ini.

  • 116

    Robert Notanubun dan Daud Rahaningmas mengatakan “perjuangan itu masih

    butuh waktu dan memang sulit, sebab kita yang di Ohoi Un ini juga kurang bersatu.

    Namun perlu terus dilakukan terutama dengan cara mewariskan cerita-cerita dari

    orang tua (leluhur) kepada anak-anak, selain itu anak-anak perlu juga disekolahkan

    untuk bisa berpikir cerdas.” Kesulitan itu menurut keduanya disebabkan oleh adanya

    individu-individu tertentu yang mereka sebut dengan istilah Fen (penyu atau

    teteruga), fen adalah hewan yang bisa hidup di “dua dunia” (air dan darat). Konsep

    ini digunakan untuk menggambarkan perilaku individu-individu yang selalu “cari

    aman” artinya bisa diterima dua kelompok (ren dan mel) sekaligus. Selain konsep fen

    ada juga sebutan naus (gula) bagi orang-orang yang rela “menjual” informasi hanya

    untuk sekedar bisa minum segelas kopi atau teh.5 Individu-individu seperti inilah

    yang merusak solidaritas kelompok, atau dapat juga disebut provokator.

    Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa kelompok ren-ren adala

    mereka yang bertempat tinggal di bagian desa yang disebut Ohoi Un, kadang-kadang

    untuk menyebut orang atau kelompok orang yang tinggal di tiga bagian kampung

    (Ohoi Un, Ohoi Ren, dan Ohoi Tanan) dalam interaksi sehari hari, digunakan istilah

    koko; watwat; dan kotkot6”, seperti: koko Ohoi Un, koko Ohoi Tanan, koko Ohoi Ren,

    begitu juga ketika kata “koko” diganti dengan “watwat” dan “kotkot” semuanya

    bermakna “sekelompok orang.” Pemaknaan ini kemudian termanivestasi dalam

    perilaku, misalnya seorang anak yang tinggal di Ohoi Un ketika berkelahi dengan

    seorang anak di Ohoi Ren, maka orang akan berkata “kokot Ohoi Un hir bangil”

    5 Wawancara dengan Daud Rahaningmas dan Robert Notanubun tanggal 29 Januari 2011

    6 Koko bermakan “laki-laki - dalam jumlah yang banyak”; watwat bermakna “perempuan-

    perempuan”; dan kotkot bermakna “anak-anak”

  • 117

    (anak-anak Ohoi Un yang memukulnya) atau sebaliknya “kokot Ohoi Ren hir bangil”

    jadi tindakan satu orang selalu dikaitkan dengan kelompoknya. Begitupun dengan

    marga, tindakan seseorang (individu) selalu dikaitkan dengan “apa marganya”,

    karena itu solidaritas kelompok di Kei khususnya di Ohoiwait memang sangat kuat.

    Dengan demikian, dibutuhkan isu bersama pula yang dapat mengembalikan

    kesadaran kelompok ren-ren ini. Beberapa isu bersama yang dapat mengembalikan

    solidaritas kelompok ren-ren ini adalah: a) wacana tentang punahnya keturunan

    penduduk asli; b) pewarisan nama leluhur dan marga; c) tidak adanya golongan ren-

    ren Ohoiwait yang menjadi PNS di Maluku Tenggara; dan d) wacana tentang

    dikategorikannya kelompok ini sebagai Iri-iri. Beberapa isu ini tentu membutuhkan

    strategi yang tepat untuk mengubah distribusi modal, aturan main dan posisi-

    posisinya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial. Sebab itu faktor pendidikan,

    terutama pendidikan formal perlu menjadi strategi utama yang dipilih untuk

    mempersiapkan generasi berikutnya.

    Pewarisan nama leluhur memang telah dengan sadar dilakukan, misalnya

    nama-nama seperti: Kanar El, Viktor, Tanaef.7 Sedangkan alasan menggunakan

    marga “Rahaningmas” sebenarnya juga merupakan bentuk resistensi kepada

    “Yahaubun” namun sayangnya perubahan marga dari Yahaubun ke Rahaningmas

    juga diikuti oleh mereka yang mel-mel. Walaupun demikian, mel-mel yang bermarga

    Rahaningmas ini memang sangat mengerti tentang sejarah asli, mereka mengakui

    7 Viktor dan Tanaef adalah nama leluhur penduduk asli, keduanya masuk dalam kategori

    “Baran Fit”. Viktor adalah nama dari salah satu cucunya Anton Notanubun, sedangkan Tanaef adalah

    anak Manasye Rahaningmas. Keduanya masih anak-anak, dan Kanar El adalah nama dari salah satu

    informan. Menurut Anton Notanubun, nama-nama itu tidak pernah digunakan oleh mereka yang

    dikategorikan sebagai mel-mel itu.

  • 118

    bahwa Frans Rahaningmas, Gerson Rahaningmas, dan Anton Notanubun adalah

    penduduk asli desa Ohoiwait.8 Bentuk resistensi lain mengenai marga ini adalah yang

    dilakukan oleh Ganti Notanubun (tinggal di Jayapura, Papua), yang ketika anak

    pertamanya lahir dan dalam pengurusan akte kelahiran dia mencantumkan marga

    Rahangiar sebagai marga anaknya dan bukan Notanubun. Rahangiar adalah marga

    yang masih digunakan di dusun Wetuar.

    Dengan demikian, jika strategi pewarisan nama keluarga ini terus dilakukan,

    minimal seperti yang telah dilakukan oleh Ganti Notanubun akan berdampak positif

    suatu saat nanti. Selain itu, perubahan marga dari Yahaubun ke Rahaningmas juga

    merupakan hal yang baik, namun belum disertai dengan penjeasan makna dan alasan

    perubahan itu kepada generasi muda (anak-anak ren-ren) sehingga belum berdampak

    dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

    b. Strategi Investasi Ekonomi

    Pierre Bourdieu mengemukakan bahwa dalam setiap ranah terdapat modal-

    modal yang siap diperebutkan, jika dikaitkan dengan pemikiran Habermas, maka

    dapat dirumuskan bahwa modal-modal tersebar dalam setiap lebenswelt sebab itu

    dibutuhkan strategi argumentasi yang dibedakan dalam bentuk diskursus dan kritik

    yang bertujuan mempersoalkan klaim kebenaran dan ketepatan demi mendapatkan

    pengakuan setiap ruang kehidupan sosial. Walaupun demikian, dalam perebututan

    modal-modal itu, perlu mempersiapkan generasi yang memiliki jiwa kepemimpinan

    8 Jumlah Kepala Kekuarga (KK) marga ini di desa Ohoiwait sangat sedikit. Tidak lebih dari

    lima kepala Keluarga, yakni: Daud Rahaningmas, Nimrot Rahaningmas, Kanar El Rahaningmas,

    Adam Rahaningmas, dan satu keluarga dari mel-mel adalah Hopni Rahaningmas. Sebagian dari

    mereka tinggal di Tual, Maluku Tenggara dan berprofesi sebagai PNS maupun swasta, termasuk

    Manasye Rahaningmas yang bekerja di Suita Hotel.

  • 119

    (direction) untuk menggerakkan individu maupun kelompok, ketika berjuang di

    dalam ranah (field), karena itu saya membutuhkan pemikiran Gramsci tentang

    hegemoni.

    Strategi investasi ekonomi menurut Bourdieu merupakan upaya

    mempertahankan atau meningkatkan berbagai jenis modal. Investasi ekonomi

    sebenarnya merupakan akumulasi modal ekonomi dan modal sosial. Berdasarkan

    hasil penelitian, diketahui bahwa modal sosial yang dimiliki kelompok ren-ren yakni

    hubungan-hubungan sosialnya dengan kelompok mel-mel terutama melalui

    pertukaran uang, pekerjaan, dan perkawinan9 telah menempatkan mereka (ren-ren)

    pada posisi yang terdominasi. Hubungan sosial yang berkaitan dengan “pekerjaan”10

    yang saling membantu atau hamaren. Artinya pekerjaan atau hajatan yang dilakukan

    oleh salah satu mel-mel, maka anggota marganya (terutama yang ren-ren) wajib hadir

    untuk membantu atau bekerja atau sekedar memberikan yelim (bantuan berupa bahan

    pokok–makanan). Karena itu, strategi investasi ekonomi ini juga berhubungan erat

    dengan pola pewarisan marga, artinya hajatan salah satu anggota marga, akan

    menjadi tanggungkawab bersama.

    Kaitan antara stratgi investasi ekonomi dan pola pewarisan marga–selain

    hubungan-hubungan sosial yang terbangun–misalnya tampak dalam marga Kudubun.

    Marga ini memiliki beberapa dusun atau petuanan sagu (Er –dalam bahasa Kei ) yang

    biasa disebut “Er Kudubun” petuanan sagu dimiliki dan “dimakan” bersama. Secara

    9Kedua kelompok ini memang dilarang menikah. Karena itu yang dimaksudkan dengan

    hubungan sosial perkawinan itu adalah konsep tentang koi maduan yang telah diuraikan dalam bab III 10

    Yang saya maksudkan dengan pekerjaan di sini bukanlah pekerjaan yang mendatangkan

    “gaji tetap” setiap bulannya.

  • 120

    adat, ada mekanisme pengaturan yang disepakati, yakni siapa yang pertama

    memperikan tanda pada salah satu pohon sagu11

    maka dialah yang berhak memanen.

    Selain itu, marga Kudubun (ren-ren) juga memiliki harta warisan (emas) yang

    disimpan oleh salah satu “pembesarnya” (mel-mel) yang bernama AdK (alm)12

    yang

    sering disebut dengan “Turan Sosial”

    Namun harta Kudubun ini telah hilang.13

    Menurut Christian Kudubun harta

    itu telah dijual di Bali oleh kakaknya “turan sosial” itu, yang bernama AbK untuk

    menyekolahkan anak-anaknya. Christian mengemukakan bahwa “AbK mengakui hal

    ini dihadapan dirinya dan Welhelmus Kudubun, yang didengar langsung oleh anak-

    anaknya, ketika istri AbK meninggal dunia di Tual tahun 2007”14

    dengan demikian,

    dapat dikatakan bahwa para leluhur Kudubun sudah dengan sadar memperhitungkan

    strategi investasi ekonomi untuk anak cucu mereka, namun sayangnya harta warisan

    ini dicuri oleh orang lain untuk kepentingan anak-anaknya tanpa memberitahukan

    kepada “pemilik barang.”

    11

    Tanda ini biasanya berupa inisial nama. Contah, “MK” itu artinya pohon sagu tersebut

    sudah menjadi milik salah seorang berinisial “MK” itu. ‘M’ merujuk pada nama orang dan ‘K’

    merujuk pada marga. 12

    Selanjutnya nama-nama yang tidak termasuk dalam informan kunci akan digunakan inisial.

    Nama sebenarnya ada pada peneliti. 13

    Harta ini memang dinyatakan telah hilang, sebab menurut informasi dari Christian,

    Welhelmus, dan Matius sewaktu “turan sosial” sakit-sakitan mereka dipanggil untuk penyerahan

    kembali harta tersebut. namun waktu tas (kopor) tempat emas tersebut diambil ternyata gembok

    (kuncinya) telah rusak dan tidak ada apa-apa di dalamnya. Christian mengatakan, dia baru mengetahui

    kalau harta tersebut “diambil” turan AbK pada waktu istrinya meninggal itu. 14

    Waktu itu saya juga sempat mengikuti upacara pemakaman tersebut. Christian Kudubun

    mengatakan setelah pemakaman, malam harinya AbK menyuruh anaknya memanggil dirinya,

    Welhelmus Kudubun, dan Matius Kudubun (namun Matius Kudubun tidak datang di Tual waktu itu),

    kemudian mereka duduk diruang tamu dan AbK mengatakan kepada anak-anaknya “im lilik tuang

    yamab hir tel I, hor hirir yanar ubur, tal harta Kudubun ila ya fed mo nan lehar im maskol e” (kalian

    harus memperhatikan–membantu ketiga orang tua kalian ini (Christian, Welhelmus, dan Matius) serta

    anak cucu mereka sebab saya sudah jual harta Kudubun itu untuk membiayai sekolah kalian).

  • 121

    Mengenai harta Kudubun yang telah dicuri ini, Laurens Kudubun mengatakan

    bahwa “nanti pada saat acara 100 tahun Injil masuk Ohoiwait (tahun 2013), dia akan

    memanggil akan-anaknya AbK untuk meminta pertanggungjawaban supaya mereka

    membayar kembali harta yang telah dijual oleh bapak mereka.”15

    Oleh karena harta

    tersebut telah diambil orang, maka perspektif Bourdieu tantang “modal ekonomi”

    (harta) milik marga Kudubun ini dapat dikategorikan sebagai “modal simbolis” yang

    dapat mengangkat prestise maupun status sosial dari Kudubun ren-ren bahwa mereka

    memililiki “sesuatu” yang didak dimiliki oleh Kudubun mel-mel. Pengakuan akan

    adanya modal simbolik inilah yang kemungkinan akan diperjuangkan oleh Laurens

    Kudubun.

    Sedangkan menyangkut petuanan (kepemilihan lahan/tanah) di Desa

    Ohoiwait, hasil wawancara dan pengamatan selama penelitian berlangsung

    membukatikan bahwa kelompok ren-ren khusunya keluarga Anton Notanubun, dan

    tiga orang kakak-beradik, yakni Frans Rahaningmas, Gerson Rahaningmas, dan

    Reinhard Rahaningmas) adalah yang paling besar petuanannya di Ohoiwait. Namun

    Anton Notanubun telah membagi harta warisan (tanah) miliknya kepada semua anak

    anaknya.16

    Sedangkan ketiga kakak-beradik ini tidak membagi warisan kepada anak-

    anaknya, mereka sepakat untuk makan bersama tanpa ada pembagian. Sebab saat ini,

    hanya empat orang anak laki-laki dari ketiga bersaudara ini yang tinggal di kampung,

    15

    Wawancara dengan Laurens Kudubun di Surabaya, tanggal 28 Maret 2011. 16

    Anton memiliki 5 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Masing-masing dari

    anak laki-laki mendapatkan tiga bidang tanah. Sedangkan anak perempuannya tidak mendapatkan apa-

    apa sebab menikah dengan laki-laki dari kampung tetangga. Belum ada sistem pengukuran tanah di

    desa ini, sehingga tidak diketahui luas dari masing-masing bidang tanah itu. namun berdasarkan hasil

    observasi dapat diperkirakan bahwa ukuran masing-masing bidang tanah kurang lebih 1 hektar.

  • 122

    yakni: Kanar El Rahaningmas, Daud Rahaningmas, Nimrot Rahaningmas, dan Adam

    Rahaningmas. Menurut Edward Kudubun (anaknya Matius Kudubun) “jika tanah

    milik FR, GR, dan RR ini dibagi lagi kepada anak-anak mereka, maka kepemilikan

    tanah paling besar/bayak di Ohoiwait adalah bakapnya.17

    Itu artinya, Matius Kudubun

    berada pada urutan ketiga kepemilikan tanah di Ohoiwait.

    Selain itu, kelompok ren-ren juga memiliki modal budaya yakni pemilikan

    benda-benda budaya yang bernilai. Salah satu benda budaya yang dimiliki kelompok

    ini adalah Kasber (meriam) yang tersimpan di gunung Elyaur. Meriam ini memiliki

    sejarah panjang dengan desa Ohoitel Watraan di Kei Kecil, Meriam ini sebagai tanda

    bukti (tom tad) yang mengikat kedua desa ini dalam relasi Teabel.18

    Gunung ini

    adalah tempat bersejarah bagi kelompok ren-ren. Pada tahun 2006 Nimrot

    Rahaningmas dengan rombongan sempat melakukan penggalian di gunung tersebut

    guna mencari kerangka (tengkorak) leluhur mereka, dan menemukan tiga tengkorak.

    Tindakan tersebut diketahui oleh Kepala Desa (Librek Ingratubun) dan

    memanggil Nimrot untuk menghadap. Kemudian Nimrot Rahaningmas, Daud

    Rahaningmas dan Mathias Rahaningmas19

    memenuhi panggilan Kepala Desa

    tersebut. Kepala Desa lalu mempertanyakan tindakan itu, mengapa mereka tidak

    melapor sebelum menggali, sebab di gunung itu ada benda pusaka. Nimrot,

    menguraikan jawabannya kepada kelapa Desa, yakni:

    17

    Matius Kudubun memiliki 6 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan, dari

    kesembilan bersaudara ini hanya 2 orang yang tinggal di kampung, yakni, Edward Kudubun dan

    Tineke Kudubun. Matius Kudubun mengatakan kepada peneliti bahwa “dia tidak akan membagi

    warisan (tanah) miliknya, sebab kebanyakan dari anaknya tinggal di luar pulau Kei, dan anak-anaknya

    juga tidak mengingingkan jika warisan itu dibagi. 18

    Maknanya sama dengan konsep Pela di Maluku Tengah. 19

    Mathias Rahaningmas adalah lulusan Fakultas Hukum, salah satu Universitas di Surabaya,

    dan saat ini tinggal serta bekerja di Surabaya.

  • 123

    “ya her tabe hormat naa o de, ni am ail mem tanat Elyaur raai am ot sa

    umat rir afa waaidi. Elyaur how kasber raai am mem afa. O laai kapal

    wel te mu kwas ra nharang Elyaur raai waaidi ” (sebagai kepala desa saya

    menghormati anda, tapi Elyaur, termasuk Meriam itu adalah milik pusaka

    kami dan kami sedang menggali tanah/gunung kami dan tidak menggali

    tanah orang lain. Anda kepala desa, tetapi anda tidak memiliki kekuasaan

    sampai ke gunung itu, termasuk segala sesuatu yang ada gunung itu).

    Jawaban yang merupakan pukulan telak bagi kepala Desa tersebut tentu

    didasari oleh habitus yang mereka miliki, apalagi ketika Mathias Rahaningmas

    meminta kepala Desa untuk menjelaskan tentang “apakah tindakan mereka telah

    melanggar Undang-undang, dan kalaupun tindakan itu dikatakan melanggar UU,

    maka UU Nomor berapa yang dilanggar”?. Tentu pertanyaan itu didaarkan pula atas

    sebuah skema intelektual sebagai perwujudan dari habitus yang dia miliki. Menurut

    Nimrot, kepala Desa tidak mampu memberikan penjelasan tentang hal-hal yang

    mereka kemukakan itu, dan pertemuan itupun berakhir tanpa keputusan.

    Sebab itu, dapat dikatakan bahwa kemampuan dalam memberikan pernyataan

    yang keras kepada Kepala Desa, didasari oleh habitus yang tampak dalam modal

    budaya dan modal simbolik yang mereka miliki. Dengan demikian, diskursus

    komunikatif tetap masih bisa digunakan sebagai strategi mempengaruhi dominasi

    mel-mel dengan syarat perlu kepemilikan dan pemahaman akan habitus masing-

    masing dan penguasaan modal-modal dalam ranah menjadi mutlak. Karena itu,

    maka dapat dikatakan bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, atau

    suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah, yang telah dengan sadar

    “dimainkan” oleh Daud Rahaningmas dan adik-adiknya.

  • 124

    Sedangkan strategi investasi biologis yang menitik-beratkan pada masalah

    kesuburan dan pencegahan dalam penelitian yang saya lakukan terdapat perbedaan

    dengan apa yang dikemukakan Bouerdieu. Kesuburan berkaitan dengan pembatasan

    jumlah anak untuk menjamin transmisi modal. Hasil penelitian membuktikan bahwa

    kelompok ren-ren secara umum tidak membatasi jumlah anak.20

    Mereka yang telah

    menikah rata-rata memiliki lebih dari empat orang anak, selain itu jumlah kelompok

    ren-ren yang menempati Ohoi Un cukup banyak sehingga tahuan 2009 “pengurus

    gereja” membagi Ohoi Un menjadi dua unit yakni unit Maria dan unit Elim. Awalnya

    hanya satu unit, yakni unit Maria.

    Fakta ini sebenarnya bertentangan dengan logika Pierre Bourdieu. Namun

    saya sadar bahwa kelompok ini memiliki logikanya sendiri, konsep yang mereka

    gunakan adalah melraw’ar (tumbuh semakin banyak). Artinya dengan semakin

    banyak anak mereka berharap akan menguasai kampung, walaupun demikin, tidak

    hanya soal kuantitas yang mereka pertimbangkan tetapi juga kualitas. Dalam hal

    kualitas (anak harus sekolah), mereka memanfaatkan modal sosial yang terbangun

    dengan sesama mereka di luar Tual dan Maluku Tenggara, hubungan ini

    dimaksudkan agar saudaranya yang berdomisi di luar Kei dapat menampung akan-

    anak mereka ketika menempu pendidikan. Mereka berpendapat bahwa golongan mel-

    mel yang semakin berkurang di kampung itu sebagai bagian dari “teguran” akibat

    menjalankan adat dengan tidak tepat.

    20

    Argumentasi ini didasarkan atas hasil observasi sebab tidak ada data lengkap tentang

    jumlah penduduk berdasarkan tingkat umur dan jumlah/tingkat kelahiran per tahun di kantor Desa.

    Mungkin juga akibat desa ini tidak memiliki kantor desa. Alasan lain yang mendasari argumentasi ini

    adalah pembagian Ohoi Un menjadi dua unit tahun 2009 oleh gereja.

  • 125

    Logika yang berbeda dengan Bourdieu itu, didasari oleh pemahaman bahwa

    dengan banyaknya jumlah anak yang dimiliki, maka pewarisan nama keluarga akan

    tetap “hidup” dan berimplikasi pada pembentukan habitus berdasarkan sejarah asli

    (tom tad). Sebab ada banyak individu (anak-anak–khususnya anak laki-laki) yang

    akan terus mewarisi tom tad dan akan ikut bersaing memperebutkan modal-modal

    (baik modal ekonomi, budaya, sosial maupun simbolik) dalam field. Karena itu,

    mereka (kelompok ren-ren) beranggapan bahwa kuantitas orang juga turut

    mempengaruhi dan mendukung perjuangan untuk mendapatkan modal-modal itu.

    Walaupun perjuangan dalam ranah adat demi memperebutkan modal-modal tidak

    menggunakan sistem voting, namun dukungan moral dari kelompok tentu

    dibutuhkan.

    Memang ada masalah, jika strategi investasi biologis dalam hal membatasi

    jumlah anak diperhadapakan dengan strategi suksesif. Bagi Bourdieu strategi ini

    bertujuan menjamin pemeliharaan harta warisan antar generasi dengan menekan

    pemborosan. Strategi ini tampak nyata dalam hal kepemilikan tanah di atas.

    Keputusan Anton Notanubun untuk membagi warisan (tanah) kepada anak-anaknya

    tentu akan berdampak negatif dikemudian hari. Sedangkan keputusan atau

    kesepakatan dari FR, GR, dan RR untuk tidak membagi harta warisan (tanah) mereka

    dengan pertimbangan bahwa keturunannya akan terus bertambah, dan jika tanah itu

    dibagi tentu keturunan kesekian anak melarat (miskin). Selain itu, pertimbangan lain

    yang turut mempengaruhi keputusan itu adalah karena sebagain besar anak-anak

    mereka memilih untuk tinggal dan menetap di luar Ohoiwait.

  • 126

    Berdasarkan penjelasan di atas, saya bersepakat dengan Bourdieu yang

    mangatakan bahwa “modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat di

    dalam suatu sistem pertukaran, segala bentuk barang–baik material maupun simbol,

    tanpa perbedaan–yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan

    layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu.” sebab itu, keterkaitan antara

    ranah, habitus dan modal bersifat langsung. Dalam konteks seperti ini, maka dalam

    menjalankan strategi investasi biologis ala kelompok ren-ren perlu juga

    mempertimbangkan strategi suksesif agar tidak salah kaprah dalam mengambil

    keputusan seperti yang dilakukan Anton Notanubun. Kemampuan dalam

    menjalankan strategi investasi biologis dan strategi suksesif akan membuka jalan

    pada akumulasi modal ekonomi maupun sosial dan budaya.

    c. Strategi Investasi Simbolik

    Dengan memahami pemikiran mendasar Pierre Bourdieu, maka dapat

    dikatkan bahwa “di dalam ranah, pertarungan sosial selalu terjadi.” Pertanyaannya

    mengapa kelompok ren-ren tidak mendapatkan hak-hak mereka layaknya penduduk

    asli jika ada pertrungan dalam ranah?. Untuk memberikan jawaban pada pertanyaan

    itu, saya merujuk pada salah satu konsep penting Bourdieu, yakni kekerasan simbolik

    (symbolic violence) yang dimainkan oleh kelompok mel-mel. Konsep ini merujuk

    pada bentuk kekerasan yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen

    sosial tanpa mengundang resistensi, sebaliknya malah mengundang konformitas

    sebab sudah mendapat legitimasi sosial.

  • 127

    Kekerasan simbolik ini tampak dalam bahasa, makna, dan sistem simbol para

    pemilik kekuasaan yang dalam prakteknya ditanamkan dalam benak individu-

    individu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran. Pola seperti ini

    tampak dalam permainan bahasa yang mereproduksi mel-mel sebagai bangsawan,

    kaya, dan pintar/pandai yang diperhadapkan dengan ren-ren yang diwacanakan

    sebagai golongan rendah, tidak pintar/bodoh, miskin, karena itu tidak bisa memimpin

    apalagi memimpin mel-mel, serta tidak boleh menikah dengan mel-mel.

    Tentu reproduksi wacana dalam bentuk oposisi biner ini tidak selalu benar.

    Larangan perkawinan, hasil kesepakatan kedua kelompok ini tidak didasarkan oleh

    oposisi biner seperti itu. Pada awalnya larangan itu dibuat untuk mengikat tali

    persaudaraan sebagai kakak dan adik yang tidak boleh menikah. Namun dalam

    prakteknya, demi mempertahankan status quo kesepakatakan itu “dibunyikan” sesuai

    kebutuhan yang memimpin. Konsensus seperti ini (sebagai kakak dan adik) terjadi

    dalam masyarakat Kei mula-mula. Sedangkan di Ohoiwait, pada awalnya

    kesepakatan itu tidak demikian, leluhur El Umel membuat tomtoma (larangan)

    perkawinan itu dikarenakan “belum diketahui dengan pasti siapakah para pendatang

    itu.” Namun seiring dengan berjalannya waktu, tomtoma itu juga “dibunyikan” sesuai

    selera penguasa yang telah mengambil-alih kepemimpinan Ohoi pasca dibunuhnya

    Bun Liisa. Kelompok baru yang memimpin itu lalu mengidentifikasi diri sebagai

    “bangsawan, kaya, dan pintar/pandai” Dengan demikian, terjadi pergeresan makna

    dari “orang yang tidak diketahui asal-usulnya” menjadi memiliki habitus baru sebagai

    bangsawan, orang pandai dan kaya.

  • 128

    Selain itu, fenomena tentang “kembalinya kelompok ren-ren ke kampung”

    juga menunjukan bentuk kekerasan simbolik ini. Bujukan dan rayuan yang dilakukan

    kelompok mel-mel sebagai upaya membawa kembali ren-ren dengan janji ‘otonomi

    khusus’ tidak terbukti seluruhnya. “Otonomi khusus” itu direspon oleh ren-ren

    dengan kerelaan mengikuti marga hasil keturunan Towowod Rahawarin telah

    membawa mereka pada situasi yang dilematis, sebab mel-mel telah mereproduksi

    habitus baru yakni mengidentifikasikan diri sebagai bangsawan, orang pandai, dan

    kaya. Karena itu, ketika ren-ren memutuskan untuk mengkuti marga yang telah ada,

    mereka terjebak pada posisi yang harus dinomor–duakan, atau menjadi “warga kelas

    dua, bahkan kelas tiga” dibawah mel-mel. Sampai dengan penelitian ini dilakukan

    belum ada satupun kepala marga yang berasal dari kalangan ren-ren.

    Mencermati penjelasan di atas, muncul pertanyaan “apa yang harus dilakukan

    ren-ren untuk melawan bentuk kekerasan simbolik itu?” Antonio Gramsci

    menawarkan konsep hegemoni. Ren-ren memang sudah terhegemoni, namun perlu

    melakukan upaya-upaya untuk menghegemoni, upaya yang perlu dilakukan adalah

    meningkatkan kepemimpinan (derection) untuk dapat men-dominasi (doninance).

    Kelompok ren-ren yang dalam terminologi Gramsci dapat dikategorikan sebagai

    subaltern ini perlu menciptakan dan meningkatkan kesadaran diri mereka untuk

    berjuang, tentu dibutuhkan faktor lain, yakni: pendidikan dan pemahaman adat harus

    juga diasah, demi menciptakan pemimpin minimal bagi kelompok mereka.

    Pierre Bourdieu menawarkan resep reproduksi habitus, strategi edukatif, dan

    investasi simbolik untuk keluar dari kondisi ketidak-berdayaan itu. Habitus yang

  • 129

    merupakan produk sejarah perlu harus diupayakan lewat reproduksi wacana dalam

    ranah edukatif untuk menginvestasikan modal–modal baik yang telah ada maupun

    yang sedang diupayakan. Sedangkan Habermas menawarkan upaya komunikatif

    lewat diskursus argumentatif yang mempersoalkan klaim kebenaran dan klaim

    ketepatan, serta kritik terhadap norma-norma sosial yang objektif (kritik estetisi) dan

    penyingkapan penipuan dari masing–masing pihak yang berkomunikasi (kritik

    terapeutis).

    Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dalam beberapa hal upaya-

    upaya yang ditawarkan oleh ketiga tokoh di atas telah dilakukan, walupun dengan

    gaya dan bahasa yang berbeda. Sekalipun demikian, hasilnya belum sampai pada

    mengembalikan kedudukan mereka pada posisi tuan tan dan luw sukat/mituduan itu.

    Bourdieu mengungkapkan bahwa stratgi investasi simbolik bertujuan melestarikan

    dan meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi dan kehormatan melalui reproduksi

    skema-skema persepsi dan apersepsi yang paling cocok dengan property mereka, dan

    menghasilkan tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori

    masing-masing. Karena itu, saya mengkategorikan strategi edukatif ke dalam strategi

    investasi simbolik.

    Kasus pertama yang menunjukan bahwa pengakuan sosial terhadap

    kedudukan ren-ren itu terjadi, walau tidak diketahui oleh mel-mel secara umum

    adalah, ketika Pembangunan Gedung Gereja Elim di Ohoiwait. Hal ini berkaitan

  • 130

    dengan praktek adat, yakni “Huan Yaan21

    ” (yang menggali tanah pertama), ini

    merupakan salah satu fungsi adat yang harus dipegang oleh tuan tan (tuan tanah).

    Tuan tan saat itu adalah mereka yang bermarga Rahajaan. Menurut cerita yang

    dikemukakan oleh Mathias Rahaningmas (waktu itu dia masih SD) dan Nimrot

    Rahaningmas, bahwa mel-mel yang bermarga Rahajaan (tuan tanah), pada suatu pagi

    datang menemui Gerson Rahaningmas dan memintanya untuk “memegang Huan

    Yaan” itu. Namun, awalnya Gerson Rahaningmas menolak dengan alasan “im nai im

    Ohoi duan ikbo im mabran imail waidi?” (katakanya kalian tuan tanah kok tidak

    berani menggali?).

    Mathias mengatakan bahwa, ketika mendengar jawaban sekaligus pertanyaan

    dari bapaknya, kedua orang Rahajaan22

    itu menjawab “am kai ramub, afa i omu, am

    batang wat” (kami tahu diri, ‘barang’ ini kau punya, kamu hanya menjaga saja).

    Akibat ungkapan itulah Gerson Rahaningmas menyanggupi untuk memegang “Huan

    Yaan.” Meky Kudubun,23

    mengatakan bahwa dirinya memang melihat langsung hal

    itu, bahwa setelah doa, GR langsung menancapkan linggis ketanah dan kemudian

    mengangkatnya sebagai tanda penggalian fondasi Gereja dimulai. Bahkan Meky

    mengatakan bahwa dirinya yang kemudian mengambil linggis ditangan GR dan ikut

    menggali setelah GR menggali.

    21

    Secara harfian Huan berarti “Linggis” dan Yaan berarti “Kakak atau Yang Pertama”

    maknanya adalah “siapa yang berhak memegang linggis dan menggali tanah pertama sebagai simbol

    dimulainya sebuah pekerjaan – khususnya dalam membangun rumah atau gedung” 22

    Mathias mencoba mengingat-ingat wajah dan nama kedua orang itu dan mengatakan,

    mereka adalah Obetnego Rahajaan dan Eliazer Rahajaan, kedua orang inilah yang datang ke rumahnya

    pagi itu. 23

    Dia adalah satu-satunya ren-ren Ohoiwait yang lolos sebagai PNS (tenaga kesehatan-

    mantri) yang bertugas di Puskesmas Elat Kei Besar. Ketika peneliti masih sekolah SMA di Elat

    peneliti tinggal bersama dengannya di rumah dinas Puskesman. Wawancara di Elat tanggal 29 Januari

    2011.

  • 131

    Hal ini membuktikan bahwa ada pengakuan dan legitimasi tentang hak-hak

    ren-ren sebagai tuan tanah. Masalahnya adalah apakah tindakan kedua orang

    Rahajaan itu disosialisasikan kepada mel-mel secara umum dan lebih khusus anak-

    anak mereka? Jika melihat tuturan sejarah yang dilakukan Eliazer Rahajaan kepada

    Melky (yang disebar-luaskan dalam jejaring sosial facebook) maka jawabannya jelas

    bahwa Eliazer Rahajaan telah memutar-balikan cerita sejarah. Karena itu, jelas juga

    bahwa dia (mereka) tidak pernah mengisahkan “suasana” pertemuan di rumah Gerson

    Rahaningmas itu kepada mel-mel yang lain, apalagi kepada ren-ren.

    Hal kedua yang menunjukan adanya pengakuan sosial dan legitimasi

    kedudukan ren-ren sebagai tuan tanah sekaligus keturunan penduduk asli adalah,

    kedatangan Kepala Desa Sathean (salah satu Desa di Kei Kecil) tahun 200424

    ke

    Ohoiwait dalam menapaki sejarah asli. Kepala Desa Sathean, Anton Renyaan adalah

    keturunan Bun Viktor25

    yang berasal dari Ohoiwait dan pergi menetap di Sathean.

    Ketika melakukan napak tilas sejarah itu, rombongan dari Sathean diantar oleh

    Kepala Marga Rahajaan (Nehemya Rahajaan) untuk melihat Kasber (meriam) di

    gunung Elyaur. Anehnya hampir tiga jam mengitari gunung itu mereka tidak

    menemukan tumpukan batu dimana meriam itu diletakan. Akhirnya mereka

    memutuskan untuk turun gunung atau pulang saja.

    24

    Data ini sebenarnya didapat tahun 2007 ketika pengurusan perkawinan Manasye

    Rahaningmas dengan Margareta Retobjaan. Waktu ini peneliti masih mengajar di salah satu Sekolah

    Tinggi di Tual, dan bersama rombongan pergi ke Sathean untuk meminta bantuan Anton Renyaan

    (kepala desa) dalam pengurusan perkawinan itu. dan Anton menceritakan kisah ini. Kemudian pada

    saat penelitian ini dilakukan, saya mengkonfirmasi kembali hal ini kepada Anton Notanubun 25

    Bun Viktor adalah salah satu dari ketujuh orang yang disebut Baran Fit.

  • 132

    Ketika sedang dalam perjalanan turun gunung itu mereka bertemu dengan

    Anton Notanubun yang lagi berada di Hoar Laai (kali/sungai besar), dia lagi

    berkebun disitu. Kepala marga Rahajaan kemudian bertanya “turan, yau how hir tal

    Sathean ya am rat mliik afa naa Elyaur ret, am ba ken waaid. Mtuung om how am rat

    neke” (Opa, saya mengantar orang dari Sathean untuk melihat ‘barang’ di Elyaur tapi

    kami tidak menemukannya. Tolong antar kami ke atas dulu). Mendengar itu, Anton

    Notanubun menjawab “im bir afa ret mo, mhuak mhov umat lian rat hir liliki?”26

    (apakah ‘barang’ itu punya kalian sehingga kalian mengantar orang lain untuk

    melihatnya?). Walaupun AN berkata begitu, namun dia tetap memutuskan untuk

    mengantar mereka, dan akhirnya mereka sampai ke gunung serta menemukan meriam

    itu. Ketika hal ini dikonfirmasikan (pada saat penelitian) kepada Anton Notanubun,

    dia menjawab “ya how fo umat tal Sathean wuk hir kai yaau i ohoi duan naa Ohoi i”

    (saya antar supaya orang dari Sathean itu tahu bahwa saya adalah tuan tanah asli di

    kampung ini).

    Mencermati sikap dan perilaku yang tampak dilakukan oleh Gerson

    Rahaningmas dan Anton Notanubun dalam dua kasus di atas, menunjukan masih ada

    pengakuan akan keberadaan kelompok ren-ren di Ohoiwait itu. Secara sosiologis,

    dapat dikatakan bahwa perilaku itu ditujukan pada perubahan hubungan-hubungan

    sosial tertentu secara sadar atau pencegahan terjadinya maupun kelangsungannya

    26

    Kepala Desa Sathean mengisahkan kata-kata itu di tahun 2007, dan ketika saya tanyakan

    mengapa dia masih mengingat kata-kata itu, katanya “sebab moment itu adalah sesuatu yang sangat

    penting, dan juga menunjukan bahwa tuan tanah asli di Ohoiwait adalah opa itu dan bukan orang yang

    dari awal mengantar kami.” Setelah mereka kembali ke kampung (Ohoiwait) kepala desa Sathean

    mengutarakan keinginannya untuk mengunjungi rumah Anton Notanubun, dan kepala marga

    Rahayaan mempersilakan tanpa bersedia untuk mengantar.

  • 133

    secara abadi. Ini artinya tindakan yang dilakukan oleh Gerson Rahaningmas, Anton

    Notanubun, maupun Daud dan adik-adiknya bertujuan memperlihatkan kepada publik

    (masyarakat Ohoiwait) bahwa mereka adalah tuan tanah asli dan bukan Rahajaan.

    Sebab itu, tindakan tersebut perlu dipahami dalam kerangkan menumbuhkan

    hubungan-hubungan sosial tertentu dalam kondisi-kondisi tertentu dengan mel-mel

    yang dapat membuka ruang bagi adanya pengakuan sosial dan legitimasi terhadap

    keberadaan berikut hak-hak mereka (ren-ren).

    Kasus lain yang dapat mendemonstrasikan strategi investasi sismbolik adalah

    ketika tahun 2007 (pasca meninggalnya kepala desa Librek Ingratubun), sekretaris

    desa sekaligus Pelaksan Tugas (Plt) kepala desa Reveldus Kudubun mengangkat

    Daud Rahaningmas sebagai Sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa

    (LKMD), inilah pertamakalinya seorang ren-ren di desa Ohoiwait memegang jabatan

    di pemerintahan desa. Pengangkatan itu sebenarnya didasarkan atas pengalaman

    Reveldus Kudubun bersama Daud Rahaningmas. menurut sekretaris desa ini, Daud

    diangkat sebagai sekretaris LKMD sebab memang telah terbukti kemampuannya, dia

    (sekdes) sering meminta bantuan kepada Daud untuk menyusun dan mengerjakan

    beberapa program desa, dan ternyata berhasil. Atas dasar itu, sekretaris pernah

    mengusulkan kepada kepala desa agar saudara Daud diangkat, namun kepala desa

    masih keberatan tanpa alasan yang jelas. Akhirnya ketika kepala desa meninggal

    barulah keinginan sekretaris itu terwujud. Daud Rahaningmas dan Reveldus Kudubun

    (sekdes) dalam kehidupan sehari-hari mereka berteman dekat.

  • 134

    Daud Rahaningmas adalah lulusan SMA Negeri I Tual, yang diakui oleh

    kelompok ren-ren maupun mel-mel sebagai yang juga memiliki wawasan luas. Saat

    ini dia menjabat sebagai Penatua di gereja Elim Ohoiwait. Trajektori kehidupan yang

    disertai dengan modal-modal yang dimilikinya, baik ekonomi, budaya, sosial maupun

    simbolik telah membawa dirinya pada kelas yang sedikit berbeda dari ren-ren lainnya

    dan menjadi individu yang memiliki pengaruh bagi mel-mel atau khususnya bagi

    sekretaris desa saat ini. Dalam konteks seperti ini, maka habitus perlu terus

    diwujudkan, habitus memang selalu berubah-ubah tergantung situasi (waktu) dan

    kepemilikan modal-modal, sebab kondisi lingkungan sosial objektif bagi setiap

    generasi tentu tidak sama.

    Dalam hubungannya (pertemanan) dengan sekretaris desa itu, saling pengaruh

    serta proses adaptasi atau penyesuaian terhadap lingkungan baru (mel-mel) terjadi dan

    membentuk habitus baru yang dimiliki dan diakui orang lain. Pengakuan terhadap

    pembawaannya (Daud) itu turut merembes pada pengakuan akan keberadaan istrinya

    yang kemudian diangkat sebagai Guru Taman Kanak-kanak (TK) di Ohoiwait.

    “Kelas baru” berdasarkan trajektori kehidupan muncul dan diakui atas diri dan

    keluarga Daud Rahaningmas. Disinilah tampak nyata bagaimana perilaku individu

    ditujukan bagi pembentukan hubungan-hubungan sosial baru yang berimplikasi pada

    legitimasi kelas (status).

    Selain itu, strategi edukatif yang bertujuan mengakumulasikan modal

    simbolik termasuk investasi simbolik, juga dilakukan dengan cukup baik oleh

    kelompok ren-ren ini, khususnya yang dilakukan oleh keturunan Laurens

  • 135

    (Rahaningmas) yang telah digambarkan dalam bab III.27

    Tingkat pendidikan menjadi

    ciri penting sekaligus pembeda dan pembentuk habitus kelas baru. Berdasarkan

    tingkat pendidikan yang dimiki telah menciptakan habitus baru, dan menghasilakan

    perbedaan gaya hidup dan praktik-praktik kehidupan mereka.

    Habitus baru berdasarkan strategi edukatif ini telah mengkonfirmasikan

    kepemilikan modal ekonomi, budaya, sosial, maupun simbolik. Modal ekonomi yang

    dimiliki tentu muncul tidak hanya berdasarkan kepemilikan tanah di kampung

    halaman, namun juga berupa uang dan benda-benda berharga lain sebab mereka

    memilih untuk tinggal dan bekerja di luar Pulau Kei. Sebagian dari modal ekonomi

    yang mereka miliki digunakan untuk membantu saudara-saudara mereka di kampung.

    Dalam perspektif Bourdieu hal ini akan turut memperkuat modal simbolik mereka

    yang tinggal dikampung karena akan muncul pengakuan terhadap prestise maupun

    status bahwa keluarganya adalah “orang berada”.

    Selain itu, modal budaya yang merupakan keseluruhan kualifikasi intelektual

    juga muncul dan dimiliki kelompok ini. Masyarakat Ohoiwait tahu bahwa Reinhard

    Rahaningmas adalah dosen Universitas Arilangga Surabaya (UNAIR), dan Laurens

    Kudubun adalah Pengacara/Advokat yang memiliki kantor sendiri di Surabaya, selain

    itu semua gelar keserjanaan yang mereka miliki adalah juga didapatkan di Jawa.

    Tentu kualifikasi intelektual ini menimbulkan prestise, status, dan kehormatan

    tersendiri bagi diri dan kelompoknya, fakta ini akan membuat masyarakat untuk

    27

    Lihat uraian Bab III tentang silsilah keturunan, khususnya keturunan Frans, Gerson,

    Hanggarget, Priskila, dan Reinhard. Dalam silsilah itu, setiap nama telah disertai dengan gelar yang

    menunjukan tingkat pendidikan. Mereka yang tidak diberi gelar berdasarkan data hasil wawancara,

    rata-rata memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

  • 136

    mengingat bahwa keturunan dari Laurens Rahaningmas itu berhasil dan juga

    pintar/pandai.

    Salah satu tradisi orang Ohoiwait (dan ini pasti merupakan kebiasaan setiap

    orang), adalah kebiasaan untuk “menempelkan” foto-foto keluarga (yang berada di

    rantau) didinding runag tamu rumahnya, dan kadang-kadang kelihatan narsis sebab

    yang ditempelkan adalah foto-foto dalam moment-moment tertentu, seperti foto

    wisudah, seminar, termasuk foto perkawinan, selain itu di atas meja atau lemari di

    ruang tamu selalu ada album foto yang terkadang menarik perhatian tamu untuk

    sekedar membukanya. Hal ini tentu berjutuan untuk selalu ingat kepada keluarganya

    yang berada dirantau, namun juga memiliki efek lain, yakni orang lain yang bertamu

    ke rumahnya akan terkagum-kagum bahwa keluarganya adalah orang-orang yang

    berhasil “di luar sana”.

    Pola seperti ini tentu harus dimaknai sebagai bagian dari strategi untuk

    mendapatkan pengakuan, prestise dan kehormatan dari orang lain (terutama mel-mel)

    yang berkunjung ke rumahnya. Pola interaksi antara ren-ren dan mel-mel memang

    tidak terjadi secara intens, namun mekanisme Gereja tentang ibadah yang dilakukan

    di rumah-rumah anggota jemaat secara bergilir tentu akan mempertemukan kedua

    kelompok ini dalam rumah-rumah mereka. Walaupun mekanisme ibadah itu tidak

    dimaksudkan untuk saling melihat foto atau saling menuji orang, tetapi perbincangan

    atau pembicaraan sebelum dan setelah ibadah dirumah yang bersangkutan (baik ren

    maupun mel) pasti memiliki keterkaitan dengan kondisi rumah itu, termasuk keadaan

  • 137

    keluarga-keluarganya. Di sinilah saling transfer pengetahuan tentang kondisi masing-

    masing orang dan keluarga terjadi.

    Berdasarkan uraian di atas, dan ketika diperhadapkan dengan konteks

    reproduksi wacana di desa Ohoiwait tentang mel-mel sebagai bangsawan,

    pintar/pandai, dan kaya, dan ren-ren sebagai orang kelas dua, tidak pandai/bodoh,

    dan miskin, membawa saya pada sebuah pertanyaan menggelitik “apakah ren-ren itu

    identik dengan orang-orang yang bodoh dan miskin?” Jawabannya tentu tidak benar.

    Nimrot Rahanigmas yang menjawab kepala desa menunjukan bahwa itu

    jawaban orang pandai; Daud Rahaningmas yang diangkat menjadi sekretaris LKMD

    di Ohoiwait menunjukan bahwa dia tidak bodok; beberapa anak Frans Rahaningmas

    yang menjadi PNS dan polisi di Papua menunjukan bahwa mereka orang-orang

    pandai, dan tidak miskin; beberapa anak Louis Notanubun yang menjadi PNS di

    Papua juga menunjukan bahwa mereka tidak bodoh dan tidak miskin; tidak ada

    orang bodok yang diangkat sebagai dosen pada universitas sekaliber UNAIR; dan

    ketika Laurens Kudubun bisa menjadi Pengacara/Advokat dan mampu mendirikan

    kantornya sendiri di Surabaya, apakah masih bisa dikatakan sebagai orang bodok dan

    miskin?.

    Kalaupun jawabannya adalah benar bahawa ren-ren identik dengan bodoh dan

    miskin, maka saya dapat merumuskan pernyataan bahwa “hanya orang bodok yang

    mau mengangkat Daud Rahaningmas menjadi sekretaris LKMD di Ohoiwait;

    pemerintah negeri ini terlalu bodok untuk mengangkat beberapa orang dari anak-anak

    Frans Rahaningmas serta Louis Notanubun untuk menjadi abdi negara; hanya orang

  • 138

    bodok yang mau mengangkat Reinhard Rahaningmas sebagai dosen; dan hanya orang

    bodoh yang mau menyerahkan kasusnya untuk ditangani oleh Laurens Kudubun.

    Apakah demikian?.

    Karena itu, wacana mel dan ren atau kasta di desa Ohoiwait dan lebih umum

    lagi di Kei perlu didekati dan direproduksi ulang secara lebih cerdas, bahwa masalah

    pintar/pandai, kaya dan miskin adalah dinamis, dan semua orang, siapapun dia bisa

    mengalami hal itu. Bahwa di dunia ini tidak ada seorangpun atau sekelompok orang

    yang telah ditakdirkan untuk selamanya menjadi bodoh dan miskin, atau pintar dan

    kaya. Selain itu, saya berkeyakinan bahwa tidak ada bangsawan (dalam pengertian

    Bangsawan seperti di Jawa) di Kei, yang ada adalah sekelompok orang mengklaim

    diri sebagai penduduk asli, dan sekelompok lain sebagai pendatang, apakah mereka

    bangsawan? Tentu tidak.

    d. Mengharapkan Keajaiban: Sebuah Strategi Bertahan

    Penjelasa di atas memberikan gambaran bahwa perjuangan ren-ren dalam

    memperebutkan modal-modal dalam ranah serta mempengaruhi dominasi yang

    dilakukan mel-mel terhadap mereka, dilakukan dalam suasan tanpa kekerasan.

    Bahkan dalam beberapa kasus pengakuan tentang kedudukannya sebagai tuan tan

    atau penduduk asli datang dengan sendiriya. Hal ini sekali lagi memperkuat

    argumentasi bahwa tesis Martinus Ngabalin (2006) tentang “keturunan penduduk asli

    Ohoiwait telah punah” adalah tidak tepat, termasuk sejarah tutur yang dikemukakan

    Eliazer Rahajaan yang mengatakan bahwa keturunan Elyaur telah punah adalah tidak

    benar.

  • 139

    Mengharapkan keajaiban, pemahaman seperti inilah yang dimiliki oleh

    kelompok ren-ren. Hasil penelitian membuktikan bahwa mereka (ren-ren)

    sebenarnya sangat sadar adanya pelanggaran terhadap hak-hak mereka sebagai tuan

    tanah dan penduduk asli, namun secara kasat mata mereka tidak juga melawan.

    Abstraksi terhadap realitas hidup kelompok ini, sampai pada satu titik terbentur pada

    konsep ‘pasrah” dan “berharap” datangnya keajaiban. Fenomena ini mirip dengan

    realitas sebagian (mungkin keseluruhan) masyarakat bangsa Indonesia yang terus

    mengharapkan kedatangan sang Ratu Adil.

    Perjuangan dengan kekerasan sejak awalnya memang bukan merupakan

    “jiwa” dari kelompok ren-ren ini. Mereka lebih mengutamakan harmoni tatanan

    sosial kehidupan bersama. Sebab itu, sejak awalnya ketika terjadi perpindahan

    kekuasaan adat dengan terbunuhnya Bun Liisa, berlanjut pada masa “kegelapan” atau

    foar faraha, dan munculnya wacana bahwa mereka telah punah bahkan juga

    diwacanakan sebagai iri-iri (dalam pengerian budak), mereka pun tetap tidak

    melakukan perlawanan dalam bentuk fisik dan kekerasan. Maka pertanyaannya apa

    yang melatarbelakangi sikap seperti itu?

    Makna Ohoiwait diyakini mempengaruhi pemahaman mereka untuk tidak

    melakukan perbuatan yang menimbulkan “keributan” dan merusak tatanan adat.

    Mereka memahami makna Ohoiwait secara lebih mendalam, tidak sekedar sebagai

    sebuah ‘kampung baru’ yang berubah nama dari nama awal El Umel28

    menjadi

    Ohoiwait. “Wait” dalam bahasa Kei memiliki dua arti, yakni “baru” dan “hidup”

    28

    El Umel saat ini hanya digunakan sebagai nama Woma (pusat kampung). El Umel

    bermakna “di atas (tanah) dataran itu saya tumbuh atau hidup”

  • 140

    sebab itu, secara umum masyarakat memankaninya sebagai “hidup di kampung baru”

    hanya berdasarkan perubahan dari nama kampung itu.

    Namun oleh kelompok ren-ren tidak hanya sekedar ‘hidup di kampung baru’,

    mereka mengatakan bahwa kampung itu (Ohoiwait) adalah “kampung yang hidup”,

    bukan saja orang-orang yang hidup mendiami kampung itu, namun “kampung itu

    sendiri juga hidup.” Karena itu muncul konsep seperti “Ohoi Nliik” yang bermakna

    “oleh karena kampung ini hidup maka ‘dia’ bisa melihat perilaku orang-orang hidup

    yang juga hidup di dalamnya.” Itu artinya orang-orang yang hidup di kampung ini

    harus berlaku adil dan jujur terhadap sejarah Ohoi Nuhu, tanpa itu mereka akan

    “ditolak” oleh kampung ini–“Ohoi Ntuak.”

    Pemahaman seperti itu mengindikasikan bentuk kepercayaan kepada leluhur

    yang telah mati (meninggal) namun diyakini masih ‘hidup” dan menjaga kampung.

    Kepercayaan ini tampak dalam konsep “Nit Teten hir bail Ohoi Nuhu” (lelulur yang

    telah meninggal menjaga kampung halaman), prakteknya disebut “flurut nit atau tai

    taryoman” yang masih ada sampai sekarang. Misalnya ada anggota keluarga yang

    pulang kampung, atau hendak pergi meninggalkan kampung untuk merantau,

    termasuk kegiatan membangun atau membongkar rumah, dan lain-lain, tai taryoman

    ini selalu dilakukan. Tujuannya adalah memberitahukan segala kegiatan yang akan

    dilakukan kepada leluhur yang telah mati. Caranya adalah menyiapkan siri, pinang,

    tembakau, dan uang, dimasukan ke dalam piring kemudian meletakankan di atas

    pintu atau jendela rumah.29

    29

    Waktu yang tepat adalah pada pagi dan sore hari, dan biasanya setelah 1-2 jam sudah boleh

    diturunkan, namun ada juga yang dibiarkan samapi malam atau pagi hari berikutnya. Biasanya uang

  • 141

    Kepercayaan dan praktek inilah yang melatarbelakangi tindakan kelompok

    ren-ren untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat melanggar adat, atau keributan-

    keributan (konflik dengan kekerasan) di Ohoiwait. Sebab mereka sangat yakin bahwa

    leluhur mereka akan marah. “Kemarahan Leluhur” yang telah mati itu dipahami

    sebagai tampak dalam sakit-penyakit, lama/tidak menikah, lama/tidak punya anak,

    dan lain sebagainya.

    Pemahaman itulah yang membuat kelompok ren-ren selalu mengharapkan

    datangnya “keajaiban” dan bagi saya (peneliti) “keajaiban” itu tampak dalam rentetan

    peristiwa yang terjadi, seperti yang telah dijelaskan dalam berbagai strategi

    memperebutkan modal-modal di atas. “Keajaiban” lain yang terjadi adalah bahwa

    kelompok ren-ren (dan juga mel-mel) tidak pernah mengerti mengapa sekitar tahun

    1960-an (tepatnya tahun 1967) Reinhard Rahaningmas sudah berkuliah di Surabaya,

    yang selanjutnya diikuti oleh anak-anak dari saudara/saudarinya, termasuk cucu-

    cucunya. Dengan demikian, falsafah “adat in ot rat naa dunyai” (terhormat atau

    tidaknya seseorang tergantung dari perilaku dan tutur katanya), tampak dalam

    pemahaman ren-ren itu.

    4.2. Faktor-Faktor Yang Pendorong Strategi Ren-Ren

    Berdasarkan penelitian ditemukan beberapa faktor yang mendorong strategi

    ren-ren menghadapi dominasi mel-mel, diantaranya faktor budaya, sosial, pendidikan

    dan politik. Harapannya dengan menjelaskan faktor-faktor ini, akan memberikan

    kontribusi bagi ruang gerak kelompok ren-ren dalam upaya mempengaruhi dominasi

    yang digunakan adalah uang logam. Uang ini kemudian harus dibawa ke gereja pada hari minggu

    sebagai persembahan kepada Duad.

  • 142

    mel-mel. Faktor-faktor ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor pendukung atau

    pendorong berbagai upaya (strategi) yang dilakukan ren-ren untuk keluar atau

    setidaknya meminimalisasi dominasi mel-mel atas mereka, walaupun terkadang

    faktor-faktor ini bisa juga menjadi penghambat. Atau dengan kata lain, pendorong

    dan penghambat tergantung dari bagaimana mengkonstruksikannya. Beberapa faktor

    tersebut, adalah :

    a. Faktor Budaya

    Dalam hidup manusia, kebudayaan secara umum dapat dipahami sebagai

    arena dimana setiap orang dapat berupaya dengan kemampuannya mengolah realitas

    demi memperoleh kemajuan serta peningkatan mutu kehidupannya. Karena itu, C.A.

    van Peursen, mengemukakan bahwa, manusia dalam menghadapi realitas imanennya

    itu tidak bertopang dagu, tetapi menerobos cengkraman fakta-fakta dengan

    mengadakan penilaian dan mengangkatnya ke dalam keputusan dan kebijakan

    (transenden).30

    Berdasarkan penjelasan van Peursen di atas, maka faktor budaya yang

    maksudkan sebagai pendorong upaya ren-ren untuk keluar dari dominasi itu adalah

    soal interpretasi mereka terhadap hukum adat Larvul Ngabal dalam perspektif tom

    tad (tuturan sejarah asli). Dalam hukum adat Larvul Ngabal yang memuat tujuh

    pasal, dan merupakan hukum adat kebanggaan orang Kei, tidak ditemukan satu

    pasalpun yang menjelaskan tentang kedudukan mel-mel, ren-ren, dan iri-iri. Karena

    itu, ketika praktek pemerintahan adat yang dasarnya adalah hukum adat ini, kemudian

    30

    C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), 10-17

  • 143

    harus direcoki dengan sistem kasta yang ketat maka, orang harus bertanya tentang

    legalitas sistem kasta itu di dalam hukum adat.

    Ketiadaan legalitas hukum yang mendasari praktek kasta di Ohoiwait,

    maupun kepulauan Kei secara umum, menjadi motivasi tersendiri bagi kelompok ren-

    ren bahkan iri-iri untuk bangkit dan mempertanyakan model praktek kasta yang

    berimplikasi pada terdominasi, terdiskriminasi, bahkan tereliminasinya kelompok

    ren-ren khususnya di Ohoiwait dari hak-hak mereka.

    Pembacaan yang lebih cerdas terhadap hukum adat Larvul Ngabal, khususnya

    pasal 7 yakni, hira ni intub fo ni, it did intub fo it did yang menghendaki atau

    menuntut sikap jujur dan bermartabat telah mendorong ren-ren Ohoiwait untuk

    “bergerak” dalam mereproduksi wacana-wacana tandingan bahwa mereka adalah

    orang atau keturunan pendududk asli yang terabaikan hak-haknya akibat tipu-daya

    yang dilakukan mel-mel.

    b. Faktor Sosial

    Sedangkan faktor sosial yang ditemukan sebagai faktor pendorong strategi

    ren-ren dalam mempengaruhi dominasi mel-mel, muncul dalam beberapa tipe, yakni:

    Pertama, modal sosial yang terbangun sejak awanya bahwa mereka adalah keturunan

    rat Buyai (Kanar El) menciptakan solidaritas kelompok ren-ren sebab memiliki

    identitas bersama sebagai penduduk asli. Modal sosial ini terutama tampak dalam

    keputusan yang diambil oleh Anton Notanubun, dan Louis Notanubun dan anak-anak

    anak-anak untuk tidak berada dibawah penguasaan siapapun, walaupun mereka

    mengikuti marga Notanubun. Begitu pula dengan yang dilakukan oleh Frans

  • 144

    Rahaningmas, Gerson Rahaningmas, yang tidak juga berada dibawah penguasaan

    mel-mel walaupun hak-hak mereka sebagai penduduk asli (tuan tanah) juga tidak bisa

    dijalankan karena telah diambil alih oleh mel-mel.

    Tipe kedua, bahwa hubungan-hubungan sosial dengan keluarga-keluarga yang

    berhasil dan hidup menetap dirantau telah memberikan semangat dan kekuatan, sebab

    hubungan yang terbangun itu secara langsung juga menambah modal-modal seperi

    ekonomi, budaya, maupun simbolik bagi mereka (ren-ren) yang tinggal di kampung

    (Ohoiwait). Dengan adanya modal-modal itu, mereka memiliki kekuatan untuk

    bertarung memperebutkan modal-modal lain dalam ranah-ranah di kampung.

    Tipe ketiga, adalah ren-ren sebagai identitas di Kei. Dalam masyarakat Kei,

    ketika orang mengatakan ren-ren, maka ingatan si penutur dan pendengar sedang

    tertuju pada komunitas pembentuk woma, mereka sebenarnya adalah pusat

    kehidupan. Artinya, secara kultural (adat) kelompok ren-ren memegang peranan Luw

    Sukat atau Mituduan sebab mereka adalah tuan tan yang bertugas mendoakan atau

    memohon keselamatan Ohoi Nuhu (tanah air dan segala isinya) kepada Duan Duad

    atau kepada Tuhan dan para Leluhur yang telah meninggal dunia.

    Walupun dalam setiap Ohoi pengakuan hak-hak kelompok ren-ren ini tidak

    sama, namun masyarakat Kei memahami bahwa yang disebut ren-ren selalu

    berfungsi sebagai Mituduan yang memegang peranan untuk menghubungkan “dua

    dunia yang berbeda” lewat doa. Ren sebagai identitas maka ada pengakuan terhadap

    kedudukannya itu. Pada saat penelitian, saya sempat mengunjungi desa Ohoirenan,

    Sather, Ohoiel, Waur, dan Ngufit dan secara acak mengajukan pertanyaan “tahukah

  • 145

    anda siapa tuan tanah Ohoiwait? 31

    kepada orang-orang yang saya temui, jawabanya

    seragam yakni ren-ren Ohoiwait, dan yang mereka maksudkan dengan ren-ren

    Ohoiwait adalah mereka yang tinggal di Ohoi Un (ini adalah bagian kampung yang

    ditempati oleh keturunan rat Kanar El).

    Pengakuan desa lain terhadap eksistensi kelompok ren-ren sebagai penduduk

    asli yang tinggal di Ohoi Un itu, bukan hanya baru muncul/tampak ketika penelitian

    ini dilakukan. Pengakuan itu sudah terjadi sejak lama bahwa yang tinggal di Ohoi Un

    itu adalah ren-ren dan mereka adalah penduduk asli. Ketiga tipe inilah yang membuat

    saya untuk menyimpulkan bahwa faktor sosial atau solidaritas bersama ren-ren di Kei

    mendorong upaya-upaya mereka dalam mempertanyakan hak-haknya.

    c. Faktor Pendidikan

    Perjuangan dalam mempengaruhi atau meminimalisir dominasi yang

    dilakukan oleh mel-mel memang tidak hanya dilakukan oleh generasi muda, sejak

    awanya upaya-upaya menuju kesetaraan hak itu sudah ada, namun belum terlalu

    nampak. Upaya-upaya itu mulai muncul kepermukaan atau nampak jelas seiring

    dengan munculnya kesadaran akan pentingnya pendidikan anak.

    Itulah sebabnya, mengapa tahun 1967 Reinhard Rahanigmas harus keluar dari

    Ohoiwait, bahkan Maluku untuk kuliah di Jawa (Surabaya), dan dalam waktu-waktu

    berikutnya, sekitar tahun 1980–an diikuti oleh Laurens Kudubun dan akhirnya “jalan

    ini” terbuka lebar bagi anak cucu Renhard Rahaningmas untuk menempuh di

    31

    Kelima desa ini adalah desa-desa yang terletak disebelah Utara dan Selatan desa Ohoiwait

    yang dapat ditempuh dengan menggunakan Ojek atau speed dengan waktu antara 10-30 menit.

    Walaupun secara metodologis, pertanyaan “lepas dan lewat’ seperti itu dapat diperdebatkan keakuratan

    jawaban dari setiap orang, namun karena jawabannya seragam maka saya berkeyakinan bahwa

    jawaban itu benar adanya.

  • 146

    Surabaya (Jawa). Hasil dari kesadaran akan pentingnya faktor pendidikan sebagai

    dasar menggerakan komunitas agar mempengaruhi dominasi mel-mel ini mulai

    nampak sekitar tahun 2000-an, ketika Reinhard dan juga Laurens untuk pertama

    kalinya pulang ke kampung.

    Kehadiran untuk pertama kalinya kedua tokoh sentral kelompok ren-ren di

    Ohoiwait memberi semangat, kekuatan, dan harapan bagi mereka yang tinggal di

    kampung bahwa ren-ren bukan orang bodoh dan miskin yang hanya bisa tinggal diam

    dan menerima nasib buruk sebagai kelompok yang dinomor–duakan apalagi

    dikatakan sebagai iri-iri. Semangat baru kelompok ren-ren muncul untuk berupaya

    menyekolahkan anak-anak mereka, hasilnya sebagian dari mereka telah menjadi

    Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Papua, dan beberapa orang lainnya di Ambon, Maluku

    Tengah.

    d. Faktor Politik

    Secara khusus saya melihat bahwa ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda)

    Kabupaten Maluku Tenggara, Nomor 03 Tahun 2009 tentang Ratshap dan Ohoi,

    memunculkan asumsi bahwa perjuangan kelompok ren-ren khususnya di Ohoiwait

    dalam mengembalikan hak-hak mereka yang selama ini tidak dimilikinya menjadi

    lebih memiliki dasar pijakan secara politik.

    Memang ada masalah dengan Perda ini, ketika hendak mengembalikan

    tatanan pemerintahan adat diperhadapkan dengan fakta pemekaran Kecamatan di Kei

    Besar dan Kei Kecil yang secara administratif wilayah adat menjadi tidak jelas.

    Namun saya tidak bermaksud atau berkepentingan untuk mengkaji masalah itu lebih

  • 147

    jauh dalam penelitian ini. Kepentingan saya adalah bahwa dengan munculnya Perda

    tentang Ratshap dan Ohoi membuka ruang gerak bagi kelompok ren-ren. Hal ini

    berkaitan dengan oposisi biner mel dan ren yang sudah dijelaskan pada bagian-bagian

    sebelumnya.

    Hal menarik dalam Perda ini adalah pada Bagian Ketiga, Syarat dan Cara

    Pencalonan Orang Kai.32

    Isi dari bagian ketiga ini hanya satu pasal, yakni pasal 7

    yang terdiri dari 4 ayat. Untuk lebih jelas, maka 4 ayat dari pasal 7 itu adalah:

    (1) Orong kai ditetapkan melalui pengangkatan atau pemilihan.

    (2) Untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai Orong kai, harus

    memenuhi persyaratan :

    a. Warga negara Indonesia;

    b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

    c. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang Undang Dasar

    Republik Indonesia Tahun 1945 dan kepada Negara Kesatuan

    Republik Indonesia serta Pemerintah;

    d. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat

    Pertama dan/atau sederajat;

    e. Berusia paling rendah 25 (dua) puluh lima tahun dan setinggi-

    tingginya 60 tahun;

    f. Bersedia dicalonkan menjadi kepala pemerintah Orong kai;

    g. Penduduk Ohoi/Ohoi Rat setempat;

    h. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan

    dengan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun;

    i. Tidak dicabut hak pilihnya sesuai dengan keputusan pengadilan yang

    mempunyai kekuatan hukum tetap;

    j. Memenuhi syarat lain yang ditetapkan untuk itu.

    (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf j

    diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah

    (4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus

    memperhatikan dengan sungguh-sungguh hak, asal-usul, adat istiadat dan

    budaya setempat;

    Berdasarkan keempat ayat di atas, tidak ada ayat yang secara tegas dan jelas

    mengatakan bahwa Orang kai harus berasal dari kelompok tertentu khusunya mel-

    32

    Orang Kai adalah sebutan bagi kepala Ohoi, setelah berubah statusnya dari Desa ke Ohoi

    akibat ditetapkannya Perda ini. Sehingga sebutan Kepala Desa diganti dengan Orang Kai, yang

    mungkin lebih bermakna kultural dalam pandangan para anggota legislatif yang menyusun Perda ini.

  • 148

    mel. Karena itu, klaim mel-mel bahwa merekalah yang berhak untuk memimpin suatu

    Ohoi runtuh dengan sendirinya jika mengacu pada Perda ini. Selain itu, ada ketidak

    jelasan pada ayat (3) yang mengharuskan ketentuan lanjutan dari ayat (1) dan (2)

    huruf j diatur dalam Peraturan Daerah (mungkin yang dimaksud adalah Peraturan

    Pelaksana dari Bupati).

    Sedangkan pada ayat (4) dikatakan bahwa Peraturan Daerah itu “harus

    memperhatikan dengan sungguh-sungguh hak, asal-usul, adat istiadat dan budaya

    setempat.” Ayat (4) ini menurut saya masih memberikan peluang yang cukup terbuka

    bagi kelompok ren-ren khususnya mereka yang hak-haknya terabaikan atau tidak

    diakui untuk berjuang demi mendapatkan kembali hak-haknya itu. Dalam hal ini,

    maka tuntutan untuk mereproduksi wacana berdasarkan tom tad asli menjadi penting

    sekaligus mendesak bagi ren-ren Ohoiwait.

    4.3. Kemampuan Mereproduksi Wacana: Menuju Lebenswelt Baru

    Menuju lebenswelt (dunia kehidupan) atau field baru tidak dimaksudkan

    bahwa kelompok ren-ren harus bangkit melawan, mendominasi dan mengeliminir

    kelompok mel-mel (atau yang menyebut diri mel-mel) dari semua tatanan sosial dan

    tatanan pemerintahan adat. Yang saya maksudkan dengan menuju lebenswelt baru

    adalah sebuah tatanan kehidupan yang masyarakatnya saling bertoleran, saling

    menghormati, saling menghargai keberadaan yang lain, dan saling mengakui hak dan

    tanggungjawab individu maupun kelompok dalam kehidupan bersama. Dunia

    kehidupan seperti ini memang baru bisa diharapkan atau diandaikan, sebab dalam

    realitas hidup manusia selalu berwatak ingin menguasai.

  • 149

    Mengharapkan tatanan kehidupan atau sebuah dunia dengan orang-orang yang

    mampu hidup seperti yang diutarakan di atas sama saja dengan apa yang diharapkan

    oleh Habermas tentang “komunikasi bebas penguasa”. Keduanya sama-sama sulit

    terwujut namun perlu diandaikan. Apabila mencermati pemikiran Bourdieu, Gramsci,

    dan Habermas, benang merah yang ditawarkan ketiganya adalah mirip atau hampir

    sama, ketiganya berupaya memberikan sebuah jalan keluar kepada mereka yang

    terdominasi dan terdiskriminasi, walau dengan gaya yang berbeda. Selain itu,

    tuntutan yang diisyaratkan oleh ketiganya juga sama yakni pendidikan bagi generasi,

    walau Bourdieu cukup tegas dalam mengkritik praktek pendidikan sekolah yang

    menurutnya berkontribusi dalam melanggengkan dominasi kelas penguasa.

    Namun bagi ketiganya, pendidikan tetap menjadi fator penting untuk

    mempersiapkan generasi yang mampu berargumentasi, sekaligus mampu

    menjalankan strategi-strategi perjuangan demi memperebutkan modal-modal dalam

    ranah. Pendidikanlah yang mampu mengangkat harkat dan martabat kelompok

    subaltern untuk mempertanyakan dan mereproduksi kembali wacana kasta di India.

    Sebab itu demi menuju lebenswelt yang baru di Kei khususnya di Ohoiwait, maka

    dibutuhkan generasi muda yang cerdas dan mampu berpikir kritis dalam mengkritisi

    praktek kasta yang tampak dalam pembagian seperti mel-mel, ren-ren, dan iri-iri

    dengan segala embel-embelnya, yang seolah-olah terberi dan alami sehingga harus

    diterima begitu saja.

    Hanya dengan generasi muda yang kritis namun tetap mengapresiasi nilai-

    nilai adat sebagai pengetahuan lokal yang mendasari tindakan mereka, maka

  • 150

    lebenswelt yang baru secara perlahan akan nampak. Falsafah hidup masyarakat Kei

    seperti: ain ni ain; vuut ain mehe ni ngifun manut ain mehe ni tilur; dan adat in ot rat

    naa dunyai, serta yang lainnya semuanya mengerucut pada premis “mangajarkan

    orang Kei untuk hidup damai dan toleran terhadap yang lain, demi terwujudnya

    persatuan dan kesatuan orang Kei.” Sebab itu, nilai-nilai adat (budaya) seperti ini

    jangan sampai “dirusak” oleh reproduksi wacana mel, ren, dan iri yang salah kaprah

    tersebut. Karena itu, bagi saya jika orang Kei khususnya di Ohoiwait masih

    mempertahankan wacana kasta seperti itu, maka mereka telah mengalami

    kemunduran atau degradasi pemikiran dari leluhur mereka yang masih dikategorikan

    sebagai tradisional dan primitif, atau memang lebih primif dari pada leluhur mereka.

    Menuju lebenswelt baru yang dasarnya adalah solidaritas, mensyaratkan

    bentuk komunikasi yang bebas tekanan, bebas penguasa atau dengan kata lain

    dibutuhkan komunikasi yang setara. Pola komunikasi yang setara ini memang sulit

    terwujud jika dilakukan oleh “generasi tua”, sebab mereka masih mempertahankan

    serta mewarisi nilai-nilai lama, yakni wacana kasta yang saya sebut salah kaprah di

    atas. Pamahaman tentang kasta yang salah kaprah itu hanya bertujuan

    melanggengkan status quo, karena itu diperlukan pembacaan baru yang lebih kritis

    terhadap praktek kasta itu.

    Reproduksi wacana tentang kasta yang perlu dikemukakan adalah soal

    konsensus persaudaraan sebagai kakak dan adik pada pertemuan mula-mula dua

    komunitas itu. Selain itu, perlu dikembangkan pemahaman bahwa ‘tidak ada individu

    atau kelompok yang hadir di dunia ini dengan kodrat sebagai orang bodoh dan

  • 151

    miskin; dan yang lain hadir dengan kodrat sebagai pandai dan kaya.” Bahwa bodoh

    dan pandai, miskin dan kaya adalah konsep-konsep yang dinamis dan tidak

    terwariskan atau secara alami telah menjadi kodrat ketika seseorang dilahirkan.

    Diskursus argumentatif dan kritik ala Habermas perlu dimulai lewat “pintu masuk”

    seperti itu.

    Klaim kebenaran dan klaim ketepatan perlu selalu didiskursuskan, namun

    bukan dengan tujuan menciptakan kelompok penguasa baru yang mendominasi dan

    mengeliminir yang lain. Tetapi tindakan komunikatif itu diupayakan dalam

    kerangkan mengembalikan tatanan sosial asli masyarakat Kei yang hidup sebagai

    saudara, yang mengakui hak-hak kelompok lain, yang tidak mengeliminir kelompok

    lain demi mempertahankan kekuasaan.

    Dengan berdasar pada falsafah yang telah dikemukakan di atas, dan

    munculnya generasi muda Kei khususnya di Ohoiwait yang kritis, maka jalan menuju

    komunikasi yang setara itu terbuka. Minimal hal ini telah dilakukan oleh Daud

    Rahaningmas dan sekretaris desa Reveldus Kudubun yang telah membuahkan hasil,

    keduanya tidak saling berkonflik atau membunuh atas nama perbedaan kelas, mereka

    menjalin pertemanan sejati dalam kehidupan yang damai.

    Kemampuan mereproduksi wacana kasta untuk menuju lebenswelt yang baru,

    akan membuka ruang bagi perebutan modal-modal sosial dalam ranah dengan lebih

    “tertib” dan lebih bermartabat. Dengan demikian akan muncul model-model habitus

    baru yang tidak lagi berwatak sangar untuk meniadakan yang lain, namun lebih

    toleren, bermartabat, dan mengakui keberadaan orang lain. Untuk itu, diskursus

  • 152

    komunikatif harus dilakukan dengan bentuk kesadaran yang tinggi serta kebulatan

    tekad untuk berani mengatakan serta mengaplikasikan pasal 7 hukum adat Larvul

    Ngabal, “hira ni intub fo ni, it did intub fo it did” (mengakui kepunyaan orang lain

    dan kepunyaan sendiri). Aplikasi pasal ini memang memerlukan kebulatan tekad dan

    kejujuran. Jujur untuk mengakui bahwa “sesuatu” itu adalah milik orang lain, atau

    bukan miliknya, sebaliknya “sesuatu” itu miliknya dan bukan milik orang lain.

    Kejujuran memang menjadi kunci untuk segala sesuatu, dan dalam praktek

    kasta di Ohoiwait, kejujuran itu seakan hilang atau menjauh dari orang-orang

    Ohoiwait khususnya mel-mel, seoalah-olah tidak ada Hukum Laevul Ngabal. Atau

    dengan sedikit bernada keagamaan, bagi mereka yang beragama Kristen seolah-olah

    (atau memang telah) lupa bahwa Yesus pernah berkata “katakan ya di atas ya, dan

    tidak di atas tidak”. Sebab itu, ketika kejujuran terhadap diri serta orang lain dan

    komitmen terhadap tatanan sosial budaya yang asli maupun yang sedang berkembang

    menjadi dasar mereproduksi wacana kasta di Ohoiwait, serta diskursus komunikatif

    dapat terbangan antar generasi muda yang memiliki wawasan kritis, maka jalan

    menuju kehidupan sosial (lebenswelt) yang baru terbuka lebar. Di sinilah falsafah

    adat in ot rat naa dunyai, diuji.