surimi_irene okthie r_13.70.0142_unika soegijapranata

22
Acara I SURIMI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Irene Okthie Ratnasari NIM : 13.70.0142 Kelompok : D3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015

Upload: praktikumhasillaut

Post on 03-Dec-2015

16 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan surimi sebagai salah satu produk perantara dalam industri pengolahan ikan

TRANSCRIPT

Acara I

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Irene Okthie Ratnasari

NIM : 13.70.0142

Kelompok : D3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

1

Fillet ikan ditimbang dan diambil 100 gr

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pisau, telenan, kain saring, penggiling

daging, plastic, freezer, texture analyzer dan pengepres.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir,

polifosfat dan es batu.

1.2. Metode

Pencucian ikan

Pembuangan kepala, sirip, ekor dan isi perut

(Fillet daging ikan)

)

Penggilingan fillet menggunakan alat penggiling daging

dengan ditambah es batu

2

Pencucian daging giling dengan es batu sebanyak 3 kali

Penyaringan daging giling hingga kering (tidak menggumpal)

Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5% (kelompok 3, 4,

5), garam sebanyak 2,5% dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3%

(kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5)

Pembekuan selama 1 malam di dalam freezer

3

Thawing

Pengujian sensori meliputi kekenyalan dan aroma

Uji hardness menggunakan texture analyzer

Surimi dipress menggunakan presser untuk mengetahui WHC

Hasil press digambar di milimeter blok

4

Luas atas =1

3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ⋯ + hn)

Luas bawah =1

3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ⋯ + hn)

Luas area basah = Luas atas − Luas bawah

mg H2O =Luas area basah − 8,0

0,0948

Penghitungan WHC :

5

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengamatan Surimi

Kel. Perlakuan Hardness

(gf)

WHC

(mg H2O)

Sensori

Kekenyalan Aroma

1 Sukrosa 2,5% + garam 2,5%

+ polifosfat 0,1% 108,24 188832,63 + + +

2 Sukrosa 2,5% + garam 2,5%

+ polifosfat 0,3% 121,52 216793,25 + + + +

3 Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,3% 188,05 130435,97 + + + + +

4 Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,5% 103,44 271751,05 + + + +

5 Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,5% 91,87 273975,32 + + + + +

Kekenyalan Aroma

+ : tidak kenyal + : tidak amis

+ + : kenyal + + : amis

+ + + : sanagat kenyal + + + : sangat amis

Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa surimi dengan perlakuan berbeda-

beda pada masing-masing kelompok menghasilkan nilai WHC, hardness, dan uji

sensoris yang berbeda pula. Surimi pada kelompok D1 yang diberi perlakuan perlakuan

sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1% memiliki nilai hardness 108,32 gf, WHC

yaitu sebesar 188832,63 mg H2O dengan tingkat kekenyalan rendah (tidak kenyal) dan

aroma yang amis. Pada kelompok D2 yang diberi perlakuan sama dengan D1 hanya saja

kadar polifosfat berbeda yakni 0,3% dihasilkan surimi dengan tekstur tidak kenyal dan

aroma sangat amis, serta bernilai WHC sebesar 216793,25 mg H2O dan hardness

121,52 gf. Nilai WHC terendah dihasilkan pada surimi kelompok D3 yang diberi

perlakuan sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%, yaitu sebesar 130435,97 mg

H2O, hardness 188,05 gf, serta dengan tingkat kekenyalan yakni kenyal dan aroma

sangat amis. Pembuatan surimi kelompok D4 dan D5 diberi perlakuan yang sama.

Aroma surimi D4 amis serta tekstur kenyal sedangkan surimi D5 tekstur sangat kenyal

dan aroma amis. Nilai WHC surimi D4 yaitu sebesar 271751,05 mg H2O dan surimi D5

merupakan yang tertinggi yakni 273975,32 mg H2O. Sedangkan nilai hardness surimi

D5 merupakan nilai hardness terendah disemua perlakuan yakni 91,87 gf.

6

3. PEMBAHASAN

Surimi merupakan produk berupa lumatan daging yang telah mengalami berbagai

proses seperti pencucian, pengepresan, dan juga pembekuan. Daging yang digunakan

dapat bermacam-macam seperti daging ikan, daging kepiting, maupun daging dari

hewan jenis cephalopoda seperti cumi-cumi (Sanchez, et al., 2009). Bahkan berdasar

hasil penelitian belakangan ini daging ayam dapat digunakan sebagai bahan dasar

pembuatan surimi (Cortez, et al.,2012). Akan tetapi surimi yang berasal dari daging

ikan merupakan tipe yang paling sering ditemukan dipasaran. Bentuk dari surimi dapat

dijual berbagai macam bentuk seperti dalam bentuk stik, potongan, maupun remahan

(Ducept,2011). Surimi sendiri dapat dikatakan sebagai produk antara karena dapat

diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan seperti kamaboko, bakso, sosis, otak-

otak, nugget, chikuwa maupun produk lain. Surimi berdasarkan jenisnya dibagi menjadi

dua yakni muen surimi yaitu surimi tanpa penambahan garam dan kaen surimi yaitu

surimi dengan penambahan garam (Purwadi et al, 2014). Keberadaan produk surimi

merupakan salah satu alternatif dalam pengolahan ikan yang memiliki nilai ekonomis

tinggi (value added product) dimana produk ini dapat sekaligus memperpanjang umur

simpan dari ikan. Dikatakan dapat memperpanjang umur simpan disebabkan karena

ikan banyak mengandung protein, akan tetapi dengan adanya protein dan komponen

lainnya itulah yang menyebabkan ikan menjadi mudah mengalami kerusakan, sehingga

untuk memperpanjang umur simpan, diperlukan adanya pengolahan ikan supaya ikan

menjadi tahan lama tanpa mengurangi kandungan gizinya seperti pada produk ikan

surimi ini (Liptan,2000).

Kualitas dari ikan yang digunakan seperti tingkat kesegaran dan kandungan lemak

dapat mempengaruhi kualitas surimi. Surimi yang diinginkan adalah yang berwarna

putih, mempunyai flavor (cita rasa) yang baik dan memiliki elastisitas tinggi. Produk

akhir olahan ikan yang menggunakan surimi sebagai bahan baku utama membutuhkan

ingkat kelenturan (springines) atau tingkat keelastisan yang tinggi. Ikan dengan tingkat

kesegaran yang tinggi akan menghasilkan surimi dengan elastisitas yang semakin tinggi

pula. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan apabila ikan yang memiliki elastisitas

rendah dapat dijadikan surimi yakni dengan cara penambahan daging ikan jenis lain

7

serta diberikan penambahan gula, pati, atau protein nabati. Kandungan lemak juga turut

mempengaruhi daya gelatinasi dan dapat mengakibatkan produk surimi cepat

mengalami ketengikan. Berdasar Standar Nasional Indonesia (1992) kandungan

maksimal lemak untuk produk surimi beku adalah 0,5%. Sehingga, ikan yang dipilih

harus memiliki kadar lemak yang rendah. Jika ikan yang digunakan mempunyai

kandungan lemak tinggi, ikan tersebut harus melalui proses pengekstrakan lemak

terlebih dahulu.

Pada praktikum ini digunakan ikan bawal sebagai bahan utama pembuatan surimi. Dari

100 gram ikan bawal dengan 80% bagian ikan yang dapat dikonsumsi terkandung

protein sebanyak 19 gram; lemak sebanyak 1,7 gram; kalsium sebanyak 20 miligram;

fosfor sebanyak 150 miligram; zat besi sebanyak 2 miligram; vitamin A sebanyak 150

IU; dan vitamin B1 sebanyak 0,05 miligram. Adapun klasifikasi ikan bawal

(Colossoma macropomum) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Subfilum: Craniata

Kelas : Pisces

Subkelas : Neopterigii

Ordo : Cypriniformes

Subordo : Cyprinoidea

Famili : Characidae

Genus : Colossoma

Spesies : Colossoma macropomum

(Sitanggang,2014)

Pemilihan daging ikan bawal sebagai bahan baku utama dalam pembuatan surimi pada

praktikum ini dikarenakan ikan bawal karakteristiknya telah memenuhi syarat dalam

pembuatan surimi yakni memiliki daging berwarna putih. Hal ini sesuai dengan

pendapat Peranginangin et al (1999) yang menyatakan jika ikan yang dapat diolah

menjadi surimi hanyalah ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak

terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus. Daging ikan

yang berwarna yakni ikan daging merah penampakannya kurang disukai karena warna

8

daging merah akan berubah menjadi lebih gelap selama penyimpanan dan memiliki bau

yang lebih amis dibanding daging putih. Pertimbangan lain untuk tidak menggunakan

daging ikan merah karena kandungan asam lemak bebas pada daging ikan merah relatif

lebih besar sehingga dapat merangsang terjadinya reaksi oksidasi pada waktu proses

pembuatan surimi (Spinelli dan Dassow, 1982). Dari segi kekuatan gel secara umum

ikan air tawar dan ikan berdaging merah mempunyai kekuatan gel yang lebih rendah

daripada ikan laut dan ikan berdaging putih.

3.1. Proses Pembuatan Surimi

Proses pembuatan surimi membutuhkan waktu selama 2 hari. Pada hari pertama

langkah kerja yang dilakukan yaitu ikan bawal segar dipisahkan antara daging ikan yang

berwarna putih dengan isi jeroan, sisik, insang,dan kepala. Pemisahan yang dilakukan

ini karena bagian yang tidak diperlukan pada pembuatan surimi, seperti kepala dan isi

perut mengandung banyak minyak dan lemak yang dapat menyebabkan terjadinya

reaksi hidrolisis pada produk surimi (Fortina,1996). Ditambakan pula menurut Miyake,

et al. (1985), isi perut juga mengandung enzim protease yang dapat menurunkan

kemampuan pembentukan gel dari produk surimi. Setelah dilakukan proses pemisahan

maka daging ditimbang sebanyak 100 gram dan dihancurkan dengan cara digiling

hingga menjadi halus. Proses penggilingan ini menggunakan blender yang ditambahkan

sedikit es batu untuk menjaga suhu tetap dingin. Tujuan dari proses penggilingan ikan

bawal adalah untuk memperluas permukaan daging ikan, sehingga penyerapan bahan-

bahan lain lebih mudah dan optimal (Arpah,1993). Sedangkan penambahan es batu pada

proses ini sangatlah penting karena untuk menjaga kesegaran daging ikan dan mencegah

protein terdenaturasi (Irianto,1990). Es batu dapat pula meminimalkan tumbuhnya

mikroorganisme pembusuk karena suhu rendah dapat menginaktivasi enzim-enzim yang

mempercepat kerusakan ikan (Gaman & Sherrington,1994).

Selanjutnya daging ikan yang telah digiling, kemudian dicuci dengan air es. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Santana et al (2012), bahwa surimi merupakan kosentrat

protein myofibrial yang dihasilkan dari proses ekstraksi daging ikan dengan cara

mencuci daging ikan lumat yang telah dipisahkan dari tulang, kulit dan jeroannya.

Proses pencucian daging ikan dapat menggunakan air biasa untuk menghilangkan

9

protein sarkoplasma seperti enzim dan protein heme serta komponen nitrogen

(Sanchez., et al., 2009). Proses pencucian merupakan tahapan yang penting dalam

pembuatan surimi karena frekuensi dari pencucian dapat mempengaruhi kekuatan gel

dari produk dan dapat mencegah protein miofibril terdenaturasi selama penyimpanan

beku ( Matsumoto & Noguchi,1992). Selain itu komponen yang masih terdapat dalam

daging seperti lemak, darah, pigmen, dan komponen penyebab bau dapat berkurang

maupun hilang jumlahnya selama proses pencucian. Berdasarkan pendapat Stine, et al

(2011) pada proses pencucian, surimi dapat mengalami kehilangan protein berkisar 0.5–

2.3%. Protein ini dapat hilang dan terlarut dalam air limbah pencucian surimi. Adapun

proses pencucian ini dilakukan dengan cara menempatkan daging ikan pada kain saring

lalu dituang air es secukupnya lalu kain saring diperas dengan menggunakan tangan.

Proses ini diulangi sebanyak tiga kali dan pada pencucian terakhir daging diperas

hingga air keluar semua sehingga daging ikan menjadi kering. Penggunaan air dalam

keadaan dingin pada proses pencucian bertujuan untuk meminimalisir terjadinya

kerusakan ikan. Sedangkan penyaringan menggunakan kertas saring bertujuan agar

partikel padat dengan partikel cair akan terpisah. Partikel padat yang dimaksud pada

praktikum ini adalah daging ikan, sedangkan partikel cair adalah air yang digunakan

dalam tahap pencucian.

Tahap lanjut setelah dilakukan proses pencucian daging ikan, yakni penambahan bahan-

bahan seperti garam, gula sukrosa, dan polifosfat. Karena menggunakan garam sebagai

bahan tambahan dalam pembuatan surimi maka dapat dikatakan bahwa tipe surimi yang

dibuat dalam praktikum ini adalah tipe ka-en surimi. Tujuan dari pada penambahan

garam yaitu untuk proses pembentukan gel secara optimal, mempercepat pengeluaran

air sehingga surimi tidak cepat busuk dan tahan lama, penghilangan lendir, darah dan

kotoran lain dari daging. Apabila konsentrasi garam yang diberikan kurang dari 2%

maka miofibril tidak dapat larut, sedangkan jika konsentrasinya lebih dari 12% maka

miofibril akan terhidrasi dan menyebabkan salting out. Konsentrasi garam yang paling

umum digunakan untuk membuat produk surimi adalah 2-3% ( Tan et al., 1988). Oleh

sebab itulah pada praktikum ini digunakan konsentrasi garam 2,5% karena konsentrasi

tersebut ada di antara konsentrasi 2-3%. Penambahan sukrosa berfungsi sebagai bahan

krioprotektan yaitu untuk mencegah denaturasi protein selama penyimpanan beku

10

maupun pengeringan, sehingga dapat membentuk struktur gel yang baik dan bertahan

(Nopianti et al., 2010). Sedangkan tujuan utama dari penambahan polifosfat yaitu untuk

meningkatkan tingkat pemotongan yang dikarenakan dapat menurunkan tingkat

viskositas dari pasta ikan. Natrium tripolyfosfat merupakan salah satu komponen yang

mengandung satu gugus fosfat yang dinamakan orthophosphate. Penambahan bahan ini

juga bertujuan untuk meningkatkan pH yang akan meningkatkan pembentukan gel,

kekuatan gel, dan kepadatan tekstur karena meningkatnya kapasitas pengikatan air atau

WHC dalam pH yang tinggi. Polyphosphate yang ditambahkan dengan kadar 0,5% akan

memberikan kekuatan gel yang paling besar tetapi penambahan 0,3% cukup untuk

menghasilkan kekuatan gel. Penambahan fosfat biasanya diikuti dengan penambahan

dengan gula sukrosa atau sorbitol, seperti yang dilakukan dalam praktikum ini.

Setelah semua bahan tambahan berupa garam, gula sukrosa, dan polifosfat dimasukkan,

maka daging dimasukkan ke dalam plastik untuk menghindari kontak dengan udara dan

dibekukan pada freezer suhu -10oC hingga -20

oC selama 24 jam. Hal ini sesuai dengan

pendapat dari Lertwittayanon., et al (2013) yang mengatakan bahwa suhu yang optimal

untuk pembekuan surimi adalah -180C, suhu ini harus terus dijaga sampai surimi siap

digunakan untuk diolah. Pembekuan sangat berperan penting dalam proses pembuatan

surimi karena dengan pembekuan maka dapat mempertahankan kualitas atau mutu

surimi saat penyimpanan. Dikatakan dapat mempertahankan kualitas surimi karena pada

suhu rendah, aktivitas mikroba akan terhambat akibat tidak aktifnya enzim-enzim dalam

mikroba (Murniyati,2005). Ditambahkan pula oleh pendapat Winarno (2004), bahwa

pembekuan dengan suhu yang tidak tepat dapat menimbulkan pecahnya sel-sel sehingga

cairannya keluar dari sel, warna bahan menjadi gelap, terjadi pembusukan dan

pelunakan.

Pada hari kedua praktikum, surimi sebelum diolah lebih lanjut harus di thawing terlebih

dahulu selama kurang lebih 1 jam. Berdasarkan pendapat dari Lertwittayanon., et al

(2013) suhu yang sesuai untuk proses thawing surimi adalah sampai suhu bagian dalam

surimi mencapai 00C. Ketika kristal es dalam surimi sudah tidak ada, maka dapat

11

dilakukan berbagai pengujian yang terdiri dari pengujian sensoris surimi yang meliputi

tingkat kekenyalan dan aroma oleh 1 orang panelis. Selain itu diamati pula water

holding capacity dengan cara surimi ditekan dengan alat press untuk selanjutnya

digambar di atas kertas millimeter block, sehingga dapat dihitung Water Holding

Capacity (WHC) pada produk surimi yang telah dibuat. Pengujian yang terakhir

dilakukan adalah pengujian tekstur surimi dengan parameter utamanya adalah hardness.

Tekstur dari pada surimi diukur dengan menggunakan alat yaitu Texture analyzer (TA),

hal ini sesuai dengan pernyataan Bourne (2002), bahwa TA merupakan seperangkat

alat yang digunakan untuk menguji tekstur bahan pangan yang memiliki kapasitas gaya

sebesar 500 N dengan kecepatannya adalah 1-1000 mm/menit.

3.2. Hasil Pengamatan

3.2.1. Pengujian Sensoris

Pengujian sensoris yang dilakukan pada praktikum ini difokuskan untuk mengamati

tingkat kekenyalan dan aroma dari surimi yang telah dibuat. Salah satu kriteria

penentuan mutu surimi dapat dilihat pada tingkat elastisitas dari produk yang dihasilkan

(Heruwati, et al.,1995). Semakin kenyal surimi, maka kualitas yang dihasilkan akan

semakin bagus. Tingkat kekenyalan surimi dapat dilihat dari penambahan senyawa

polifosfat, dimana semakin tinggi penambahan polifosfat hingga 0,3%, maka surimi

yang dihasilkan semakin kenyal karena senyawa fosfat akan meningkatkan pH dan

berdampak pada membaiknya pembentukan gel. Hal ini disebabkan karena peningkatan

kemampuan daya ikat air umumnya terjadi pada pH yang tinggi. Sedangkan

penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan

kekuatan gel yang tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal, namun

semakin keras (Nopianti, et al., 2011). Adapun teori tersebut tidak sesuai dengan hasil

pengamatan sensoris yang dilakukan. Dapat dilihat pada tabel 1, tingkat kekenyalan

kelompok D4 dan D5 dengan konsentrasi polifosfat 0,5% justru surimi yang dihasilkan

kenyal pada kelompok D4 dan sangat kenyal pada kelompok D5. Sedangkan pada

kelompok D3 yang menggunakan konsentrasi polifosfat 0,3% justru surimi yang

dihasilkan hanya kenyal saja, dimana seharusnya surimi yang dihasilkan sangat kenyal.

Selain itu terdapat ketidaksesuaian hasil lagi pada kelompok D2 yang menggunakan

polifosfat 0,3% justru dihasilkan surimi yang tidak kenyal, dimana hasil ini sama

12

dengan kelompok D1 yang hanya menggunakan konsentrasi polifosfat 0,1 %.

Seharusnya tingkat kekenyalan surimi kelompok D2 juga sama dengan D3 dan

kelompok D4 sama dengan D5 karena jumlah penambahan polifosfat sama banyaknya.

Kekuatan gel dan kekenyalan yang menurun pada praktikum ini kemungkinan

disebabkan karena oksidasi yang mempercepat perubahan ikatan kimia, termasuk

diantaranya ikatan sulfida dan menyebabkan denaturasi protein (Chen, et al., 1997).

Ditambahkan pula menurut Tina et al (2010), surimi yang disimpan dalam freezer tetap

dapat mengalami perubahan biokimia, dimana perubahan ini berkaitan dengan

penurunan sifat gelasi dari pada surimi serta penurunan yang berkaitan dengan

denaturasi protein miofibril. Denaturasi yang terjadi pada protein ini mengakibatkan

kehilangan kemampuan pembentukan gel dari pada surimi yang disimpan pada suhu

freezer -180C. Selain itu, ketidaksesuaian hasil dengan teori dan pada masing-masing

kelompok yang menggunakan polifosfat dalam jumlah yang sama dapat terjadi

dikarenakan penimbangan polifosfat yang tidak akurat, sehingga mempengaruhi tingkat

kekenyalan surimi.

Pengujian sensoris lain yang dilakukan adalah bau. Ikan mentah yang baru ditangkap

pada umumnya memiliki bau yang segar, akan tetapi lambat laun bau akan berubah

menjadi bau amis. Hal ini pun berlaku pula bagi surimi yang merupakan produk olahan

ikan. Bau amis pada surimi dapat timbul karena adanya reaksi oksidasi pada ikan yang

menyebabkan asam lemak berubah menjadi off-flavor dan dapat dihilangkan pada saat

tahap pencucian (Peranginangin, et al., 1999). Berdasarkan hasil uji didapatkan data

bahwa surimi yang dihasilkan oleh semua kelompok (Kelompok D1-D5) menimbulkan

bau yang amis sampai dengan sangat amis. Bau amis yang timbul sebenarnya

dipengaruhi oleh adanya senyawa trimetilamin yang masih terkandung dalam surimi,

walaupun telah dilakukan proses pencucian. Hal ini menunjukkan bahwa proses

pencucian surimi pada tahap awal produk tidak berjalan optimal sehingga masih

terdeteksi bau amis. Irianto & Giyatmi (2009) mengungkapkan bahwa perlakuan

pencucian seharusnya dapat menghilangkan bau / aroma yang tidak diinginkan, seperti

bau yang disebabkan oleh senyawa trimetilamin yang merupakan salah satu senyawa

utama pembentuk aroma pada ikan. Peranginangin, et al. (1999) menambahkan pula

bahwa aroma amis surimi juga dipengaruhi oleh bahan baku ikan. Jika bahan baku ikan

13

yang digunakan untuk diolah menjadi surimi tidak terlalu amis, maka surimi yang

dihasilkan juga tidak akan beraroma terlalu amis.

Berdasarkan hasil pengujian sensoris, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni

metode sensoris memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah

dapat diaplikasikan pada semua produk, tidak membutuhkan fasilitas laboratorium

lengkap, cepat, tidak merusak sampel untuk diolah lebih lanjut, dan sesuai dengan

kriteria evaluasi yang mampu diterima oleh konsumen, sedangkan kekurangannya

adalah sulit untuk distandarisasi karena penilaian bersifat subjektif (Aitken, et al.,

1982). Sehingga apabila terdapat ketidaksesuaian antara hasil uji pada praktikum ini

dengan teori maka dapat disebabkan karena pengujian sensoris sangatlah bersifat

subjektif dan jika digunakan lebih dari 1 panelis maka akan didapatkan hasil yang

berbeda pula antara panelis yang satu dengan yang lain.

3.2.2. Water Holding Capacity (WHC)

WHC (Water Holding Capacity) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi

produk seperti surimi yang akan berdampak, baik secara ekonomi maupun kualitas

produk akhir itu sendiri. WHC didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk

mengikat air baik yang berasal dari daging itu sendiri ataupun yang berasal dari luar.

Penambahan sukrosa dan garam secara bersamaan dapat meningkatkan WHC. Selain

konsentrasi garam dan sukrosa yang berpengaruh dalam hasil nilai WHC adalah

konsentrasi polifosfat. Hal ini disebabkan karena penambahan polifosfat pada daging

giling lumat akan mempertahankan pH dan apabila pH terjaga hal ini akan berdampak

pada peningkatan WHC. Banyaknya air yang berikatan dengan protein pada WHC

merupakan fungsi dari komposisi asam amino dan bentuk proteinnya, seperti banyaknya

gugus polar, anion dan kation yang ada di dalamnya. Proses pembentukan gel ini

melibatkan garam, protein dan air, sehingga reaksi antara protein-air-garam memegang

peranan yang sangat penting. Selama penyimpanan beku terjadi perubahan sifat

fungsional dari protein miofibril yaitu berkurangnya kemampuan mengikat air dan

garam sehingga kekuatan gel yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini terkait adanya

proses denaturasi protein miofibril yang terjadi selama penyimpanan beku, sehingga

dari itu, penggunaan cryoprotectant menjadi keharusan untuk mempertahankan kualitas

14

dari surimi ini. Tekstur gel akan semakin baik bila daya serap air semakin baik pula

(Chen, 1995).

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 1 didapatkan data bahwa nilai WHC yang

didapat pada masing-masing kelompok berbeda-beda. Nilai WHC tertinggi terjadi pada

surimi kelompok D5, yaitu sebesar 273975,32 mg H2O, sedangkan nilai WHC terendah

diperoleh pada surimi kelompok D3, yaitu sebesar 130435,97 mg H2O. Secara

keseluruhan nilai WHC yang diperoleh beberapa kelompok yakni kelompok D1, D2,

D4, dan D5 yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya penambahan

sukrosa, garam, dan polifosfat. Hal ini sudah sesuai dengan teori dari Lilis & Rudy

(2011) yang mengatakan bahwa dengan semakin meningkatnya kadar anti denaturan

dan garam, maka nilai WHC (Water Holding Capacity) juga semakin meningkat. Hal

ini dibuktikan dengan meningkatnya nilai WHC surimi yang semakin besar dengan

bertambahnya senyawa polifosfat,sukrosa, dan garam. Adapun penyebabnya disebabkan

karena mekanisme kerja dari cryoprotectant adalah menghambat proses denaturasi

protein selama pembekuan dan penyimpanan beku, sehingga dapat menginaktifkan

kondensasi dengan cara mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen. Akan tetapi,

pada kelompok D3 yang menggunakan konsentrasi sukrosa 5%, garam 2,5%, dan

polifosfat 0,3% justru memiliki nilai WHC yang rendah. Ketidaksesuaian hasil

pengamatan dengan teori disebabkan karena tekanan dan waktu pemberian pressing

pada surimi masing-masing kelompok berbeda dan ketidaktepatan konsentrasi dalam

penambahan garam, sukrosa maupun polifosfat. Selain itu kesalahan ini dapat

disebabkan pada saat proses pemerasan sewaktu pencucian menggunakan air es

praktikan kurang berhati-hati sehingga ketika daging ikan diperas ada daging yang ikut

terbawa air keluar sehingga daging ikan yang diperas menjadi sedikit dan

mengakibatkan nilai WHC rendah.

3.3.3. Hardness

Tekstur dari pada surimi akan dipengaruhi oleh jumlah polyphosphate yang

ditambahkan, polyphosphate akan menyebabkan surimi memiliki tekstur yang lebih

lembut dan tidak keras sehingga hardness yang didapat pun juga akan semakin rendah

(Toyoda et al., 1992). Pada surimi, polifosfat berguna untuk meningkatkan elastisitas

15

surimi dan hardness pun akan semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan hasil uji

dimana konsentrasi polifosfat yang semakin besar akan menyebabkan hardness menjadi

semakin kecil. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada kelompok D2 dan D3 yang

menggunakan konsentrasi polifosfat yakni 0,3% dimana justru nilai hardness-nya

paling tinggi dibanding konsentrasi polifosfat 0,1%. Hal ini disebabkan karena air yang

digunakan untuk mencuci adalah air kran, dimana air kran memiliki kesadahan yang

tinggi. Air pencuci yang berkesadahan tinggi justru dapat merusak tekstur dan

mempercepat terjadinya degradasi lemak, sedangkan bila menggunakan air laut atau air

garam kehilangan proteinnya akan semakin tinggi (Irianto,1990). Sehingga dapat

disimpulkan bahwa akan lebih baik jika menggunakan aquades untuk mencuci ikan

bawal ini. Kelompok D4 dan D5 memiliki nilai hardness masing-masing 103,44 gf dan

91,873 gf. Hal ini sudah sesuai dengan teori karena nilai hardnessnya lebih kecil

dibanding kelompok lainnya karena ditambahkan polifosfat paling banyak yaitu 0,5%.

16

4. KESIMPULAN

Surimi merupakan produk berupa lumatan daging yang telah mengalami berbagai

proses seperti pencucian, pengepresan, dan juga pembekuan.

Ikan bawal digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan surimi

dikarenakan karakteristiknya telah memenuhi syarat dalam pembuatan surimi yakni

berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai

kemampuan membentuk gel yang bagus.

Sifat fungsional yang penting bagi produk surimi adalah sifat pembentukan gel dan

daya ikat air yang tinggi.

Pemisahan daging dan organ yang tidak diinginkan bertujuan untuk menghilangkan

bagian yang berlemak yang dapat memicu kerusakan surimi.

Proses pencucian berfungsi untuk menghilangkan bau amis, meningkatkan kekuatan

gel, dan memperbaiki penampakan.

Penggilingan daging dengan es batu bertujuan untuk memperluas luas permukaan

daging ikan supaya tidak terjadi kerusakan.

Sukrosa digunakan sebagai bahan anti denaturasi protein surimi (cryoprotectant).

Penambahan garam bertujuan untuk melarutkan protein miofibril agar miosin mudah

berikatan dengan aktin untuk pembentukan gel.

Penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi bertujuan untuk memberikan efek

buffer pada pH daging ikan dan sebagai agen pengkelat.

Semakin tinggi konsentrasi sukrosa, garam, dan polifosfat yang ditambahkan, maka

nilai WHC akan semakin meningkat.

Semakin tinggi konsentrasi polifosfat yang ditambahkan, maka tingkat kekenyalan

akan semakin meningkat, dimana penambahan polifosfat sebanyak 0,3% akan

menghasilkan tekstur surimi yang paling kenyal.

Semarang, 21 September 2014 Asisten Dosen :

- Yusdhika Bayu S.

Irene Okthie Ratnasari

(13.70.0142)

17

5. DAFTAR PUSTAKA

Aitken, A.; I. M. Mackie.; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and

Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Bourne, M. C. (2002). Food Texture and Viscosity Concept and Measurement Second

Edition. Academic Press. London.

Chen H. H.; Chiu E. M. & Huang J. R. (1997). Color and Gel-Forming Properties of

Horse Mackerel (Trachurus japonicus) as Related to Washing Conditions. Journal

of Food Science. Vol. 62 (5): 985 –991.

Chen NH. 1995. Thermal stability and gel-forming ability af shark muscle as related to

ionic strength. Journal Food Science 60(6): 1237-1240.

Cortez, William Renzo; Gustavo, Graciano Fonseca; Prentice, Carlos. 2012.

Comparisons of the Properties of Whitemouth Croaker (Micropogonias furnieri)

Surimi and Mechanically Deboned Chicken Meat Surimi-Like Material. Journal

of Food and Nutrition Science Volumne 3. Diakses tanggal 20 Oktober 2015pukul

09.00 WIB.

Ducept, F; Broucker, D; Soulie,J; Trystram,G; Cuvelier,G. 2011. Influence of The

Mixing Process on Surimi Seafood Paste Properties and Structure.Journal of Food

Engineering. Diakses tanggal 23 Oktober 2015 pukul 22.10 WIB

Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan

(Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi

dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan

Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Heruwati E. S.; Murtini J.T.; Rahayu S. & Suherman. (1995). Pengaruh Jenis Ikan dan

Zat Penambah terhadap Elastisitas Surimi Ikan Air Tawar. Jurnal Penelitian

Perikanan Inonesia 1: 12-17.

Irianto B. (1990). Teknologi Surimi: Salah Satu Cara Mempelajari Nilai Tambah Ikan

yang Kurang Dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9

(2): 35-39.

Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas

Terbuka. Jakarta.

18

Lertwitayanon, K; Benjakul, S; Maqsood,S; Encamacion, A.2013. Effect Of Different

Salts on Dewatering and properties of Yellowtail Barracuda Surimi. Journal of

International Aquatic Research. Diakses tanggal 18 September 2015 pukul 10.30

WIB.

Lilis, S. & Rudy P. (2011). Sifat Fisik dan Kimia Nikumi Daging Kuda dengan

Penambahan Antidenaturan dan Natrium. Jurnal Ilmu Ternak. Vol.11. No.1,

p.612.

Liptan (Lembar Informasi Pertanian). (2000). Pengolahan Ikan Nila Merah. LPTP

Puntikayu. Sumatera Selatan.

Matsumoto JJ, Noguchi SF. (1992). Cryostabilization of protein in surimi. In: Lanier

T.C. and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.

Miyake, Y.; Y. Hirasawa & M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi

Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.

Murniyati, A. S. (2005). Pembekuan Ikan. SUPM Tegal. Tegal.

Nopianti, Rodiana, Nuruk Huda, Noryati Ismail, Fazilah Ariffin, Azhar Mat Easa.

(2010). Effect of Polydextrose on Physicochemical Properties of Threadfin Bream

(Nemipterus spp) Surimi during Frozen Storage. Journal Food Science

Technology 50(4): 739-746.

Nopianti, Rodiana, Nurul Huda, and Noryati Ismail. (2011). Effect of Polydextrose on

Physicochemical Properties of Threadfin Bream (Nemipterus spp) Surimi during

Frozen Storage. American Journal of Food Technology 6(1): 19-30.

Peranginangin R; Wibowo S; Nuri Y. & Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi.

Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.

Phu, Ngo Van; Katsuji M. & Yoshiaki I. (2010). Gel-forming Characteristics of Surimi

from White Croaker under the Inhibition of the Polymerization and Degradation

of Protein. Journal of Biological Sciences 10 (5): 432-439. Japan.

Purwadi, Sigit; Darmanto, Y.S; Wijayanti,Ima.2014. Pengaruh Penambahan Egg White

Powder (EWP) Terhadap Kualitas Gel Surimi Beberapa Ikan Air Tawar.Jurnal

Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Volume 3, Nomer 2, Halaman 52-

59. http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp. Diakses tanggal 20

Oktober 2015 pukul 21.50 WIB.

S´anchez, A.M. Mart´ın; C. Navarro; J.A. P´erez Alvarez; and V. Kuri.2012.

Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi. Journal Of

Science and Food Safety Volume 8. Diakses tanggal 19 Oktober 2015 pukul 13.00

WIB.

19

Santana, Huda, N. and Yang, T.A. (2012). Technology Production of Surimi Powder

and Potential of Applications. International Food Research Journal 19(4) : 1313-

1323.

Sitanggang,L.2014.Biologi Ikan Bawal. Skripsi Departemen Biologi FMIPA USU.

http:// repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/ 40164 /4/ Chapter% 20II.

pdf.Diakses tanggal 20 Oktober 2015 pukul 21.54 WIB.

Spinelli J, Dassow JA. 1982. Fish proteins: their modification and potential uses in the

food industry. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, Hebard CE, Ward DR, editor.

Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Connecticut: AVI

Publishing Company.

Standar Nasional Indonesia. (1992). Surimi Beku. Badan Standarisasi Nasional [SNI

01-2694-1992]. Jakarta.

Stine, J; L.Pedersen ; S.Smiley; and P.J.Bechtel.2011.Recovery and Utilization Of

Protein Derived From Surimi Wash-Water. Journal of Food Quality ISSN 1745-

4557. Diakses tanggal 22 Oktober 2015 pukul 20.14 WIB.

Tan S. M.; Ng M. C.; Fujiwara T.; Kok K. H. & Hasegawa H. (1988). Handbook on the

Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine

Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center.

Singapore.

Tina, N., Nurul, H. dan Ruzita, A. (2010). Surimi-like Material: Challenges and

Prospect. A Review. International Food Research Journal 17: 509-517 (2010).

Toyoda, K., Shiraishi, T., Yoshioka, H., Yamada, T., Ichinose, Y. and Oku, H. (1992)

Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by

Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerella pinodes. Plant Cell

Physiol. 33: 445-452.

Winarno, F.G., 2004. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta

20

6. LAMPIRAN

6.1.Perhitungan

Rumus:

Luas atas =1

3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ⋯ + hn)

Luas bawah =1

3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ⋯ + hn)

Luas area basah = Luas atas − Luas bawah

mg H2O =Luas area basah − 8,0

0,0948

Kelompok D1

Luas atas =1

336,5 (89 + 4(186) + 2(197) + 4(180) + 99) = 24893 mm2

Luas bawah =1

336,5 (89 + 4(38) + 2(23) + 4(47) + 99) = 6983,667 mm2

Luas area basah = 24893 − 6983,667 = 17909,33 mm2

mg H2O =17909,33 − 8,0

0,0948= 188832,63 mg

Kelompok D2

Luas atas =1

340 (124 + 4(213) + 2(227) + 4(210) + 133) = 32040 mm2

Luas bawah =1

340 (124 + 4(67) + 2(54) + 4(57) + 133) = 11480 mm2

Luas area basah = 32040 − 11480 = 20560 mm2

mg H2O =20560 − 8,0

0,0948= 216793,25 mg

Kelompok D3

Luas atas =1

332 (105 + 4(129) + 2(148) + 4(146) + 88) = 16949,33 mm2

Luas bawah =1

332 (105 + 4(25) + 2(14) + 4(27) + 88) = 4576 mm2

21

Luas area basah = 16949,33 − 4576 = 12373,33 mm2

mg H2O =12373,33 − 8,0

0,0948= 130435,97 mg

Kelompok D4

Luas atas =1

345 (121 + 4(201) + 2(211) + 4(204) + 90) = 33795 mm2

Luas bawah =1

345 (121 + 4(34) + 2(30) + 4(32) + 90) = 8025 mm2

Luas area basah = 33795 − 8025 = 25770 mm2

mg H2O =25770 − 8,0

0,0948= 271751,05 mg

Kelompok D5

Luas atas =1

347 (95 + 4(182) + 2(201) + 4(195) + 107) = 33095,04 mm2

Luas bawah =1

347 (95 + 4(24) + 2(20) + 4(29) + 107) = 7114,18 mm2

Luas area basah = 33095,04 − 7114,18 = 25980,86 mm2

mg H2O =25980,86 − 8,0

0,0948= 273975,32 mg

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal