surimi_irene okthie r_13.70.0142_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan surimi sebagai salah satu produk perantara dalam industri pengolahan ikanTRANSCRIPT
Acara I
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Irene Okthie Ratnasari
NIM : 13.70.0142
Kelompok : D3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1
Fillet ikan ditimbang dan diambil 100 gr
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pisau, telenan, kain saring, penggiling
daging, plastic, freezer, texture analyzer dan pengepres.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir,
polifosfat dan es batu.
1.2. Metode
Pencucian ikan
Pembuangan kepala, sirip, ekor dan isi perut
(Fillet daging ikan)
)
Penggilingan fillet menggunakan alat penggiling daging
dengan ditambah es batu
2
Pencucian daging giling dengan es batu sebanyak 3 kali
Penyaringan daging giling hingga kering (tidak menggumpal)
Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5% (kelompok 3, 4,
5), garam sebanyak 2,5% dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3%
(kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5)
Pembekuan selama 1 malam di dalam freezer
3
Thawing
Pengujian sensori meliputi kekenyalan dan aroma
Uji hardness menggunakan texture analyzer
Surimi dipress menggunakan presser untuk mengetahui WHC
Hasil press digambar di milimeter blok
4
Luas atas =1
3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ⋯ + hn)
Luas bawah =1
3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ⋯ + hn)
Luas area basah = Luas atas − Luas bawah
mg H2O =Luas area basah − 8,0
0,0948
Penghitungan WHC :
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan Surimi
Kel. Perlakuan Hardness
(gf)
WHC
(mg H2O)
Sensori
Kekenyalan Aroma
1 Sukrosa 2,5% + garam 2,5%
+ polifosfat 0,1% 108,24 188832,63 + + +
2 Sukrosa 2,5% + garam 2,5%
+ polifosfat 0,3% 121,52 216793,25 + + + +
3 Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,3% 188,05 130435,97 + + + + +
4 Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5% 103,44 271751,05 + + + +
5 Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5% 91,87 273975,32 + + + + +
Kekenyalan Aroma
+ : tidak kenyal + : tidak amis
+ + : kenyal + + : amis
+ + + : sanagat kenyal + + + : sangat amis
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa surimi dengan perlakuan berbeda-
beda pada masing-masing kelompok menghasilkan nilai WHC, hardness, dan uji
sensoris yang berbeda pula. Surimi pada kelompok D1 yang diberi perlakuan perlakuan
sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1% memiliki nilai hardness 108,32 gf, WHC
yaitu sebesar 188832,63 mg H2O dengan tingkat kekenyalan rendah (tidak kenyal) dan
aroma yang amis. Pada kelompok D2 yang diberi perlakuan sama dengan D1 hanya saja
kadar polifosfat berbeda yakni 0,3% dihasilkan surimi dengan tekstur tidak kenyal dan
aroma sangat amis, serta bernilai WHC sebesar 216793,25 mg H2O dan hardness
121,52 gf. Nilai WHC terendah dihasilkan pada surimi kelompok D3 yang diberi
perlakuan sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%, yaitu sebesar 130435,97 mg
H2O, hardness 188,05 gf, serta dengan tingkat kekenyalan yakni kenyal dan aroma
sangat amis. Pembuatan surimi kelompok D4 dan D5 diberi perlakuan yang sama.
Aroma surimi D4 amis serta tekstur kenyal sedangkan surimi D5 tekstur sangat kenyal
dan aroma amis. Nilai WHC surimi D4 yaitu sebesar 271751,05 mg H2O dan surimi D5
merupakan yang tertinggi yakni 273975,32 mg H2O. Sedangkan nilai hardness surimi
D5 merupakan nilai hardness terendah disemua perlakuan yakni 91,87 gf.
6
3. PEMBAHASAN
Surimi merupakan produk berupa lumatan daging yang telah mengalami berbagai
proses seperti pencucian, pengepresan, dan juga pembekuan. Daging yang digunakan
dapat bermacam-macam seperti daging ikan, daging kepiting, maupun daging dari
hewan jenis cephalopoda seperti cumi-cumi (Sanchez, et al., 2009). Bahkan berdasar
hasil penelitian belakangan ini daging ayam dapat digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan surimi (Cortez, et al.,2012). Akan tetapi surimi yang berasal dari daging
ikan merupakan tipe yang paling sering ditemukan dipasaran. Bentuk dari surimi dapat
dijual berbagai macam bentuk seperti dalam bentuk stik, potongan, maupun remahan
(Ducept,2011). Surimi sendiri dapat dikatakan sebagai produk antara karena dapat
diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan seperti kamaboko, bakso, sosis, otak-
otak, nugget, chikuwa maupun produk lain. Surimi berdasarkan jenisnya dibagi menjadi
dua yakni muen surimi yaitu surimi tanpa penambahan garam dan kaen surimi yaitu
surimi dengan penambahan garam (Purwadi et al, 2014). Keberadaan produk surimi
merupakan salah satu alternatif dalam pengolahan ikan yang memiliki nilai ekonomis
tinggi (value added product) dimana produk ini dapat sekaligus memperpanjang umur
simpan dari ikan. Dikatakan dapat memperpanjang umur simpan disebabkan karena
ikan banyak mengandung protein, akan tetapi dengan adanya protein dan komponen
lainnya itulah yang menyebabkan ikan menjadi mudah mengalami kerusakan, sehingga
untuk memperpanjang umur simpan, diperlukan adanya pengolahan ikan supaya ikan
menjadi tahan lama tanpa mengurangi kandungan gizinya seperti pada produk ikan
surimi ini (Liptan,2000).
Kualitas dari ikan yang digunakan seperti tingkat kesegaran dan kandungan lemak
dapat mempengaruhi kualitas surimi. Surimi yang diinginkan adalah yang berwarna
putih, mempunyai flavor (cita rasa) yang baik dan memiliki elastisitas tinggi. Produk
akhir olahan ikan yang menggunakan surimi sebagai bahan baku utama membutuhkan
ingkat kelenturan (springines) atau tingkat keelastisan yang tinggi. Ikan dengan tingkat
kesegaran yang tinggi akan menghasilkan surimi dengan elastisitas yang semakin tinggi
pula. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan apabila ikan yang memiliki elastisitas
rendah dapat dijadikan surimi yakni dengan cara penambahan daging ikan jenis lain
7
serta diberikan penambahan gula, pati, atau protein nabati. Kandungan lemak juga turut
mempengaruhi daya gelatinasi dan dapat mengakibatkan produk surimi cepat
mengalami ketengikan. Berdasar Standar Nasional Indonesia (1992) kandungan
maksimal lemak untuk produk surimi beku adalah 0,5%. Sehingga, ikan yang dipilih
harus memiliki kadar lemak yang rendah. Jika ikan yang digunakan mempunyai
kandungan lemak tinggi, ikan tersebut harus melalui proses pengekstrakan lemak
terlebih dahulu.
Pada praktikum ini digunakan ikan bawal sebagai bahan utama pembuatan surimi. Dari
100 gram ikan bawal dengan 80% bagian ikan yang dapat dikonsumsi terkandung
protein sebanyak 19 gram; lemak sebanyak 1,7 gram; kalsium sebanyak 20 miligram;
fosfor sebanyak 150 miligram; zat besi sebanyak 2 miligram; vitamin A sebanyak 150
IU; dan vitamin B1 sebanyak 0,05 miligram. Adapun klasifikasi ikan bawal
(Colossoma macropomum) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum: Craniata
Kelas : Pisces
Subkelas : Neopterigii
Ordo : Cypriniformes
Subordo : Cyprinoidea
Famili : Characidae
Genus : Colossoma
Spesies : Colossoma macropomum
(Sitanggang,2014)
Pemilihan daging ikan bawal sebagai bahan baku utama dalam pembuatan surimi pada
praktikum ini dikarenakan ikan bawal karakteristiknya telah memenuhi syarat dalam
pembuatan surimi yakni memiliki daging berwarna putih. Hal ini sesuai dengan
pendapat Peranginangin et al (1999) yang menyatakan jika ikan yang dapat diolah
menjadi surimi hanyalah ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak
terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus. Daging ikan
yang berwarna yakni ikan daging merah penampakannya kurang disukai karena warna
8
daging merah akan berubah menjadi lebih gelap selama penyimpanan dan memiliki bau
yang lebih amis dibanding daging putih. Pertimbangan lain untuk tidak menggunakan
daging ikan merah karena kandungan asam lemak bebas pada daging ikan merah relatif
lebih besar sehingga dapat merangsang terjadinya reaksi oksidasi pada waktu proses
pembuatan surimi (Spinelli dan Dassow, 1982). Dari segi kekuatan gel secara umum
ikan air tawar dan ikan berdaging merah mempunyai kekuatan gel yang lebih rendah
daripada ikan laut dan ikan berdaging putih.
3.1. Proses Pembuatan Surimi
Proses pembuatan surimi membutuhkan waktu selama 2 hari. Pada hari pertama
langkah kerja yang dilakukan yaitu ikan bawal segar dipisahkan antara daging ikan yang
berwarna putih dengan isi jeroan, sisik, insang,dan kepala. Pemisahan yang dilakukan
ini karena bagian yang tidak diperlukan pada pembuatan surimi, seperti kepala dan isi
perut mengandung banyak minyak dan lemak yang dapat menyebabkan terjadinya
reaksi hidrolisis pada produk surimi (Fortina,1996). Ditambakan pula menurut Miyake,
et al. (1985), isi perut juga mengandung enzim protease yang dapat menurunkan
kemampuan pembentukan gel dari produk surimi. Setelah dilakukan proses pemisahan
maka daging ditimbang sebanyak 100 gram dan dihancurkan dengan cara digiling
hingga menjadi halus. Proses penggilingan ini menggunakan blender yang ditambahkan
sedikit es batu untuk menjaga suhu tetap dingin. Tujuan dari proses penggilingan ikan
bawal adalah untuk memperluas permukaan daging ikan, sehingga penyerapan bahan-
bahan lain lebih mudah dan optimal (Arpah,1993). Sedangkan penambahan es batu pada
proses ini sangatlah penting karena untuk menjaga kesegaran daging ikan dan mencegah
protein terdenaturasi (Irianto,1990). Es batu dapat pula meminimalkan tumbuhnya
mikroorganisme pembusuk karena suhu rendah dapat menginaktivasi enzim-enzim yang
mempercepat kerusakan ikan (Gaman & Sherrington,1994).
Selanjutnya daging ikan yang telah digiling, kemudian dicuci dengan air es. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Santana et al (2012), bahwa surimi merupakan kosentrat
protein myofibrial yang dihasilkan dari proses ekstraksi daging ikan dengan cara
mencuci daging ikan lumat yang telah dipisahkan dari tulang, kulit dan jeroannya.
Proses pencucian daging ikan dapat menggunakan air biasa untuk menghilangkan
9
protein sarkoplasma seperti enzim dan protein heme serta komponen nitrogen
(Sanchez., et al., 2009). Proses pencucian merupakan tahapan yang penting dalam
pembuatan surimi karena frekuensi dari pencucian dapat mempengaruhi kekuatan gel
dari produk dan dapat mencegah protein miofibril terdenaturasi selama penyimpanan
beku ( Matsumoto & Noguchi,1992). Selain itu komponen yang masih terdapat dalam
daging seperti lemak, darah, pigmen, dan komponen penyebab bau dapat berkurang
maupun hilang jumlahnya selama proses pencucian. Berdasarkan pendapat Stine, et al
(2011) pada proses pencucian, surimi dapat mengalami kehilangan protein berkisar 0.5–
2.3%. Protein ini dapat hilang dan terlarut dalam air limbah pencucian surimi. Adapun
proses pencucian ini dilakukan dengan cara menempatkan daging ikan pada kain saring
lalu dituang air es secukupnya lalu kain saring diperas dengan menggunakan tangan.
Proses ini diulangi sebanyak tiga kali dan pada pencucian terakhir daging diperas
hingga air keluar semua sehingga daging ikan menjadi kering. Penggunaan air dalam
keadaan dingin pada proses pencucian bertujuan untuk meminimalisir terjadinya
kerusakan ikan. Sedangkan penyaringan menggunakan kertas saring bertujuan agar
partikel padat dengan partikel cair akan terpisah. Partikel padat yang dimaksud pada
praktikum ini adalah daging ikan, sedangkan partikel cair adalah air yang digunakan
dalam tahap pencucian.
Tahap lanjut setelah dilakukan proses pencucian daging ikan, yakni penambahan bahan-
bahan seperti garam, gula sukrosa, dan polifosfat. Karena menggunakan garam sebagai
bahan tambahan dalam pembuatan surimi maka dapat dikatakan bahwa tipe surimi yang
dibuat dalam praktikum ini adalah tipe ka-en surimi. Tujuan dari pada penambahan
garam yaitu untuk proses pembentukan gel secara optimal, mempercepat pengeluaran
air sehingga surimi tidak cepat busuk dan tahan lama, penghilangan lendir, darah dan
kotoran lain dari daging. Apabila konsentrasi garam yang diberikan kurang dari 2%
maka miofibril tidak dapat larut, sedangkan jika konsentrasinya lebih dari 12% maka
miofibril akan terhidrasi dan menyebabkan salting out. Konsentrasi garam yang paling
umum digunakan untuk membuat produk surimi adalah 2-3% ( Tan et al., 1988). Oleh
sebab itulah pada praktikum ini digunakan konsentrasi garam 2,5% karena konsentrasi
tersebut ada di antara konsentrasi 2-3%. Penambahan sukrosa berfungsi sebagai bahan
krioprotektan yaitu untuk mencegah denaturasi protein selama penyimpanan beku
10
maupun pengeringan, sehingga dapat membentuk struktur gel yang baik dan bertahan
(Nopianti et al., 2010). Sedangkan tujuan utama dari penambahan polifosfat yaitu untuk
meningkatkan tingkat pemotongan yang dikarenakan dapat menurunkan tingkat
viskositas dari pasta ikan. Natrium tripolyfosfat merupakan salah satu komponen yang
mengandung satu gugus fosfat yang dinamakan orthophosphate. Penambahan bahan ini
juga bertujuan untuk meningkatkan pH yang akan meningkatkan pembentukan gel,
kekuatan gel, dan kepadatan tekstur karena meningkatnya kapasitas pengikatan air atau
WHC dalam pH yang tinggi. Polyphosphate yang ditambahkan dengan kadar 0,5% akan
memberikan kekuatan gel yang paling besar tetapi penambahan 0,3% cukup untuk
menghasilkan kekuatan gel. Penambahan fosfat biasanya diikuti dengan penambahan
dengan gula sukrosa atau sorbitol, seperti yang dilakukan dalam praktikum ini.
Setelah semua bahan tambahan berupa garam, gula sukrosa, dan polifosfat dimasukkan,
maka daging dimasukkan ke dalam plastik untuk menghindari kontak dengan udara dan
dibekukan pada freezer suhu -10oC hingga -20
oC selama 24 jam. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Lertwittayanon., et al (2013) yang mengatakan bahwa suhu yang optimal
untuk pembekuan surimi adalah -180C, suhu ini harus terus dijaga sampai surimi siap
digunakan untuk diolah. Pembekuan sangat berperan penting dalam proses pembuatan
surimi karena dengan pembekuan maka dapat mempertahankan kualitas atau mutu
surimi saat penyimpanan. Dikatakan dapat mempertahankan kualitas surimi karena pada
suhu rendah, aktivitas mikroba akan terhambat akibat tidak aktifnya enzim-enzim dalam
mikroba (Murniyati,2005). Ditambahkan pula oleh pendapat Winarno (2004), bahwa
pembekuan dengan suhu yang tidak tepat dapat menimbulkan pecahnya sel-sel sehingga
cairannya keluar dari sel, warna bahan menjadi gelap, terjadi pembusukan dan
pelunakan.
Pada hari kedua praktikum, surimi sebelum diolah lebih lanjut harus di thawing terlebih
dahulu selama kurang lebih 1 jam. Berdasarkan pendapat dari Lertwittayanon., et al
(2013) suhu yang sesuai untuk proses thawing surimi adalah sampai suhu bagian dalam
surimi mencapai 00C. Ketika kristal es dalam surimi sudah tidak ada, maka dapat
11
dilakukan berbagai pengujian yang terdiri dari pengujian sensoris surimi yang meliputi
tingkat kekenyalan dan aroma oleh 1 orang panelis. Selain itu diamati pula water
holding capacity dengan cara surimi ditekan dengan alat press untuk selanjutnya
digambar di atas kertas millimeter block, sehingga dapat dihitung Water Holding
Capacity (WHC) pada produk surimi yang telah dibuat. Pengujian yang terakhir
dilakukan adalah pengujian tekstur surimi dengan parameter utamanya adalah hardness.
Tekstur dari pada surimi diukur dengan menggunakan alat yaitu Texture analyzer (TA),
hal ini sesuai dengan pernyataan Bourne (2002), bahwa TA merupakan seperangkat
alat yang digunakan untuk menguji tekstur bahan pangan yang memiliki kapasitas gaya
sebesar 500 N dengan kecepatannya adalah 1-1000 mm/menit.
3.2. Hasil Pengamatan
3.2.1. Pengujian Sensoris
Pengujian sensoris yang dilakukan pada praktikum ini difokuskan untuk mengamati
tingkat kekenyalan dan aroma dari surimi yang telah dibuat. Salah satu kriteria
penentuan mutu surimi dapat dilihat pada tingkat elastisitas dari produk yang dihasilkan
(Heruwati, et al.,1995). Semakin kenyal surimi, maka kualitas yang dihasilkan akan
semakin bagus. Tingkat kekenyalan surimi dapat dilihat dari penambahan senyawa
polifosfat, dimana semakin tinggi penambahan polifosfat hingga 0,3%, maka surimi
yang dihasilkan semakin kenyal karena senyawa fosfat akan meningkatkan pH dan
berdampak pada membaiknya pembentukan gel. Hal ini disebabkan karena peningkatan
kemampuan daya ikat air umumnya terjadi pada pH yang tinggi. Sedangkan
penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan
kekuatan gel yang tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal, namun
semakin keras (Nopianti, et al., 2011). Adapun teori tersebut tidak sesuai dengan hasil
pengamatan sensoris yang dilakukan. Dapat dilihat pada tabel 1, tingkat kekenyalan
kelompok D4 dan D5 dengan konsentrasi polifosfat 0,5% justru surimi yang dihasilkan
kenyal pada kelompok D4 dan sangat kenyal pada kelompok D5. Sedangkan pada
kelompok D3 yang menggunakan konsentrasi polifosfat 0,3% justru surimi yang
dihasilkan hanya kenyal saja, dimana seharusnya surimi yang dihasilkan sangat kenyal.
Selain itu terdapat ketidaksesuaian hasil lagi pada kelompok D2 yang menggunakan
polifosfat 0,3% justru dihasilkan surimi yang tidak kenyal, dimana hasil ini sama
12
dengan kelompok D1 yang hanya menggunakan konsentrasi polifosfat 0,1 %.
Seharusnya tingkat kekenyalan surimi kelompok D2 juga sama dengan D3 dan
kelompok D4 sama dengan D5 karena jumlah penambahan polifosfat sama banyaknya.
Kekuatan gel dan kekenyalan yang menurun pada praktikum ini kemungkinan
disebabkan karena oksidasi yang mempercepat perubahan ikatan kimia, termasuk
diantaranya ikatan sulfida dan menyebabkan denaturasi protein (Chen, et al., 1997).
Ditambahkan pula menurut Tina et al (2010), surimi yang disimpan dalam freezer tetap
dapat mengalami perubahan biokimia, dimana perubahan ini berkaitan dengan
penurunan sifat gelasi dari pada surimi serta penurunan yang berkaitan dengan
denaturasi protein miofibril. Denaturasi yang terjadi pada protein ini mengakibatkan
kehilangan kemampuan pembentukan gel dari pada surimi yang disimpan pada suhu
freezer -180C. Selain itu, ketidaksesuaian hasil dengan teori dan pada masing-masing
kelompok yang menggunakan polifosfat dalam jumlah yang sama dapat terjadi
dikarenakan penimbangan polifosfat yang tidak akurat, sehingga mempengaruhi tingkat
kekenyalan surimi.
Pengujian sensoris lain yang dilakukan adalah bau. Ikan mentah yang baru ditangkap
pada umumnya memiliki bau yang segar, akan tetapi lambat laun bau akan berubah
menjadi bau amis. Hal ini pun berlaku pula bagi surimi yang merupakan produk olahan
ikan. Bau amis pada surimi dapat timbul karena adanya reaksi oksidasi pada ikan yang
menyebabkan asam lemak berubah menjadi off-flavor dan dapat dihilangkan pada saat
tahap pencucian (Peranginangin, et al., 1999). Berdasarkan hasil uji didapatkan data
bahwa surimi yang dihasilkan oleh semua kelompok (Kelompok D1-D5) menimbulkan
bau yang amis sampai dengan sangat amis. Bau amis yang timbul sebenarnya
dipengaruhi oleh adanya senyawa trimetilamin yang masih terkandung dalam surimi,
walaupun telah dilakukan proses pencucian. Hal ini menunjukkan bahwa proses
pencucian surimi pada tahap awal produk tidak berjalan optimal sehingga masih
terdeteksi bau amis. Irianto & Giyatmi (2009) mengungkapkan bahwa perlakuan
pencucian seharusnya dapat menghilangkan bau / aroma yang tidak diinginkan, seperti
bau yang disebabkan oleh senyawa trimetilamin yang merupakan salah satu senyawa
utama pembentuk aroma pada ikan. Peranginangin, et al. (1999) menambahkan pula
bahwa aroma amis surimi juga dipengaruhi oleh bahan baku ikan. Jika bahan baku ikan
13
yang digunakan untuk diolah menjadi surimi tidak terlalu amis, maka surimi yang
dihasilkan juga tidak akan beraroma terlalu amis.
Berdasarkan hasil pengujian sensoris, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni
metode sensoris memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah
dapat diaplikasikan pada semua produk, tidak membutuhkan fasilitas laboratorium
lengkap, cepat, tidak merusak sampel untuk diolah lebih lanjut, dan sesuai dengan
kriteria evaluasi yang mampu diterima oleh konsumen, sedangkan kekurangannya
adalah sulit untuk distandarisasi karena penilaian bersifat subjektif (Aitken, et al.,
1982). Sehingga apabila terdapat ketidaksesuaian antara hasil uji pada praktikum ini
dengan teori maka dapat disebabkan karena pengujian sensoris sangatlah bersifat
subjektif dan jika digunakan lebih dari 1 panelis maka akan didapatkan hasil yang
berbeda pula antara panelis yang satu dengan yang lain.
3.2.2. Water Holding Capacity (WHC)
WHC (Water Holding Capacity) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi
produk seperti surimi yang akan berdampak, baik secara ekonomi maupun kualitas
produk akhir itu sendiri. WHC didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk
mengikat air baik yang berasal dari daging itu sendiri ataupun yang berasal dari luar.
Penambahan sukrosa dan garam secara bersamaan dapat meningkatkan WHC. Selain
konsentrasi garam dan sukrosa yang berpengaruh dalam hasil nilai WHC adalah
konsentrasi polifosfat. Hal ini disebabkan karena penambahan polifosfat pada daging
giling lumat akan mempertahankan pH dan apabila pH terjaga hal ini akan berdampak
pada peningkatan WHC. Banyaknya air yang berikatan dengan protein pada WHC
merupakan fungsi dari komposisi asam amino dan bentuk proteinnya, seperti banyaknya
gugus polar, anion dan kation yang ada di dalamnya. Proses pembentukan gel ini
melibatkan garam, protein dan air, sehingga reaksi antara protein-air-garam memegang
peranan yang sangat penting. Selama penyimpanan beku terjadi perubahan sifat
fungsional dari protein miofibril yaitu berkurangnya kemampuan mengikat air dan
garam sehingga kekuatan gel yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini terkait adanya
proses denaturasi protein miofibril yang terjadi selama penyimpanan beku, sehingga
dari itu, penggunaan cryoprotectant menjadi keharusan untuk mempertahankan kualitas
14
dari surimi ini. Tekstur gel akan semakin baik bila daya serap air semakin baik pula
(Chen, 1995).
Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 1 didapatkan data bahwa nilai WHC yang
didapat pada masing-masing kelompok berbeda-beda. Nilai WHC tertinggi terjadi pada
surimi kelompok D5, yaitu sebesar 273975,32 mg H2O, sedangkan nilai WHC terendah
diperoleh pada surimi kelompok D3, yaitu sebesar 130435,97 mg H2O. Secara
keseluruhan nilai WHC yang diperoleh beberapa kelompok yakni kelompok D1, D2,
D4, dan D5 yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya penambahan
sukrosa, garam, dan polifosfat. Hal ini sudah sesuai dengan teori dari Lilis & Rudy
(2011) yang mengatakan bahwa dengan semakin meningkatnya kadar anti denaturan
dan garam, maka nilai WHC (Water Holding Capacity) juga semakin meningkat. Hal
ini dibuktikan dengan meningkatnya nilai WHC surimi yang semakin besar dengan
bertambahnya senyawa polifosfat,sukrosa, dan garam. Adapun penyebabnya disebabkan
karena mekanisme kerja dari cryoprotectant adalah menghambat proses denaturasi
protein selama pembekuan dan penyimpanan beku, sehingga dapat menginaktifkan
kondensasi dengan cara mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen. Akan tetapi,
pada kelompok D3 yang menggunakan konsentrasi sukrosa 5%, garam 2,5%, dan
polifosfat 0,3% justru memiliki nilai WHC yang rendah. Ketidaksesuaian hasil
pengamatan dengan teori disebabkan karena tekanan dan waktu pemberian pressing
pada surimi masing-masing kelompok berbeda dan ketidaktepatan konsentrasi dalam
penambahan garam, sukrosa maupun polifosfat. Selain itu kesalahan ini dapat
disebabkan pada saat proses pemerasan sewaktu pencucian menggunakan air es
praktikan kurang berhati-hati sehingga ketika daging ikan diperas ada daging yang ikut
terbawa air keluar sehingga daging ikan yang diperas menjadi sedikit dan
mengakibatkan nilai WHC rendah.
3.3.3. Hardness
Tekstur dari pada surimi akan dipengaruhi oleh jumlah polyphosphate yang
ditambahkan, polyphosphate akan menyebabkan surimi memiliki tekstur yang lebih
lembut dan tidak keras sehingga hardness yang didapat pun juga akan semakin rendah
(Toyoda et al., 1992). Pada surimi, polifosfat berguna untuk meningkatkan elastisitas
15
surimi dan hardness pun akan semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan hasil uji
dimana konsentrasi polifosfat yang semakin besar akan menyebabkan hardness menjadi
semakin kecil. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada kelompok D2 dan D3 yang
menggunakan konsentrasi polifosfat yakni 0,3% dimana justru nilai hardness-nya
paling tinggi dibanding konsentrasi polifosfat 0,1%. Hal ini disebabkan karena air yang
digunakan untuk mencuci adalah air kran, dimana air kran memiliki kesadahan yang
tinggi. Air pencuci yang berkesadahan tinggi justru dapat merusak tekstur dan
mempercepat terjadinya degradasi lemak, sedangkan bila menggunakan air laut atau air
garam kehilangan proteinnya akan semakin tinggi (Irianto,1990). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa akan lebih baik jika menggunakan aquades untuk mencuci ikan
bawal ini. Kelompok D4 dan D5 memiliki nilai hardness masing-masing 103,44 gf dan
91,873 gf. Hal ini sudah sesuai dengan teori karena nilai hardnessnya lebih kecil
dibanding kelompok lainnya karena ditambahkan polifosfat paling banyak yaitu 0,5%.
16
4. KESIMPULAN
Surimi merupakan produk berupa lumatan daging yang telah mengalami berbagai
proses seperti pencucian, pengepresan, dan juga pembekuan.
Ikan bawal digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan surimi
dikarenakan karakteristiknya telah memenuhi syarat dalam pembuatan surimi yakni
berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai
kemampuan membentuk gel yang bagus.
Sifat fungsional yang penting bagi produk surimi adalah sifat pembentukan gel dan
daya ikat air yang tinggi.
Pemisahan daging dan organ yang tidak diinginkan bertujuan untuk menghilangkan
bagian yang berlemak yang dapat memicu kerusakan surimi.
Proses pencucian berfungsi untuk menghilangkan bau amis, meningkatkan kekuatan
gel, dan memperbaiki penampakan.
Penggilingan daging dengan es batu bertujuan untuk memperluas luas permukaan
daging ikan supaya tidak terjadi kerusakan.
Sukrosa digunakan sebagai bahan anti denaturasi protein surimi (cryoprotectant).
Penambahan garam bertujuan untuk melarutkan protein miofibril agar miosin mudah
berikatan dengan aktin untuk pembentukan gel.
Penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi bertujuan untuk memberikan efek
buffer pada pH daging ikan dan sebagai agen pengkelat.
Semakin tinggi konsentrasi sukrosa, garam, dan polifosfat yang ditambahkan, maka
nilai WHC akan semakin meningkat.
Semakin tinggi konsentrasi polifosfat yang ditambahkan, maka tingkat kekenyalan
akan semakin meningkat, dimana penambahan polifosfat sebanyak 0,3% akan
menghasilkan tekstur surimi yang paling kenyal.
Semarang, 21 September 2014 Asisten Dosen :
- Yusdhika Bayu S.
Irene Okthie Ratnasari
(13.70.0142)
17
5. DAFTAR PUSTAKA
Aitken, A.; I. M. Mackie.; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and
Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.
Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Bourne, M. C. (2002). Food Texture and Viscosity Concept and Measurement Second
Edition. Academic Press. London.
Chen H. H.; Chiu E. M. & Huang J. R. (1997). Color and Gel-Forming Properties of
Horse Mackerel (Trachurus japonicus) as Related to Washing Conditions. Journal
of Food Science. Vol. 62 (5): 985 –991.
Chen NH. 1995. Thermal stability and gel-forming ability af shark muscle as related to
ionic strength. Journal Food Science 60(6): 1237-1240.
Cortez, William Renzo; Gustavo, Graciano Fonseca; Prentice, Carlos. 2012.
Comparisons of the Properties of Whitemouth Croaker (Micropogonias furnieri)
Surimi and Mechanically Deboned Chicken Meat Surimi-Like Material. Journal
of Food and Nutrition Science Volumne 3. Diakses tanggal 20 Oktober 2015pukul
09.00 WIB.
Ducept, F; Broucker, D; Soulie,J; Trystram,G; Cuvelier,G. 2011. Influence of The
Mixing Process on Surimi Seafood Paste Properties and Structure.Journal of Food
Engineering. Diakses tanggal 23 Oktober 2015 pukul 22.10 WIB
Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan
(Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi
dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Heruwati E. S.; Murtini J.T.; Rahayu S. & Suherman. (1995). Pengaruh Jenis Ikan dan
Zat Penambah terhadap Elastisitas Surimi Ikan Air Tawar. Jurnal Penelitian
Perikanan Inonesia 1: 12-17.
Irianto B. (1990). Teknologi Surimi: Salah Satu Cara Mempelajari Nilai Tambah Ikan
yang Kurang Dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9
(2): 35-39.
Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas
Terbuka. Jakarta.
18
Lertwitayanon, K; Benjakul, S; Maqsood,S; Encamacion, A.2013. Effect Of Different
Salts on Dewatering and properties of Yellowtail Barracuda Surimi. Journal of
International Aquatic Research. Diakses tanggal 18 September 2015 pukul 10.30
WIB.
Lilis, S. & Rudy P. (2011). Sifat Fisik dan Kimia Nikumi Daging Kuda dengan
Penambahan Antidenaturan dan Natrium. Jurnal Ilmu Ternak. Vol.11. No.1,
p.612.
Liptan (Lembar Informasi Pertanian). (2000). Pengolahan Ikan Nila Merah. LPTP
Puntikayu. Sumatera Selatan.
Matsumoto JJ, Noguchi SF. (1992). Cryostabilization of protein in surimi. In: Lanier
T.C. and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.
Miyake, Y.; Y. Hirasawa & M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi
Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.
Murniyati, A. S. (2005). Pembekuan Ikan. SUPM Tegal. Tegal.
Nopianti, Rodiana, Nuruk Huda, Noryati Ismail, Fazilah Ariffin, Azhar Mat Easa.
(2010). Effect of Polydextrose on Physicochemical Properties of Threadfin Bream
(Nemipterus spp) Surimi during Frozen Storage. Journal Food Science
Technology 50(4): 739-746.
Nopianti, Rodiana, Nurul Huda, and Noryati Ismail. (2011). Effect of Polydextrose on
Physicochemical Properties of Threadfin Bream (Nemipterus spp) Surimi during
Frozen Storage. American Journal of Food Technology 6(1): 19-30.
Peranginangin R; Wibowo S; Nuri Y. & Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi.
Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
Phu, Ngo Van; Katsuji M. & Yoshiaki I. (2010). Gel-forming Characteristics of Surimi
from White Croaker under the Inhibition of the Polymerization and Degradation
of Protein. Journal of Biological Sciences 10 (5): 432-439. Japan.
Purwadi, Sigit; Darmanto, Y.S; Wijayanti,Ima.2014. Pengaruh Penambahan Egg White
Powder (EWP) Terhadap Kualitas Gel Surimi Beberapa Ikan Air Tawar.Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Volume 3, Nomer 2, Halaman 52-
59. http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp. Diakses tanggal 20
Oktober 2015 pukul 21.50 WIB.
S´anchez, A.M. Mart´ın; C. Navarro; J.A. P´erez Alvarez; and V. Kuri.2012.
Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi. Journal Of
Science and Food Safety Volume 8. Diakses tanggal 19 Oktober 2015 pukul 13.00
WIB.
19
Santana, Huda, N. and Yang, T.A. (2012). Technology Production of Surimi Powder
and Potential of Applications. International Food Research Journal 19(4) : 1313-
1323.
Sitanggang,L.2014.Biologi Ikan Bawal. Skripsi Departemen Biologi FMIPA USU.
http:// repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/ 40164 /4/ Chapter% 20II.
pdf.Diakses tanggal 20 Oktober 2015 pukul 21.54 WIB.
Spinelli J, Dassow JA. 1982. Fish proteins: their modification and potential uses in the
food industry. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, Hebard CE, Ward DR, editor.
Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Connecticut: AVI
Publishing Company.
Standar Nasional Indonesia. (1992). Surimi Beku. Badan Standarisasi Nasional [SNI
01-2694-1992]. Jakarta.
Stine, J; L.Pedersen ; S.Smiley; and P.J.Bechtel.2011.Recovery and Utilization Of
Protein Derived From Surimi Wash-Water. Journal of Food Quality ISSN 1745-
4557. Diakses tanggal 22 Oktober 2015 pukul 20.14 WIB.
Tan S. M.; Ng M. C.; Fujiwara T.; Kok K. H. & Hasegawa H. (1988). Handbook on the
Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine
Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center.
Singapore.
Tina, N., Nurul, H. dan Ruzita, A. (2010). Surimi-like Material: Challenges and
Prospect. A Review. International Food Research Journal 17: 509-517 (2010).
Toyoda, K., Shiraishi, T., Yoshioka, H., Yamada, T., Ichinose, Y. and Oku, H. (1992)
Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by
Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerella pinodes. Plant Cell
Physiol. 33: 445-452.
Winarno, F.G., 2004. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
20
6. LAMPIRAN
6.1.Perhitungan
Rumus:
Luas atas =1
3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ⋯ + hn)
Luas bawah =1
3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ⋯ + hn)
Luas area basah = Luas atas − Luas bawah
mg H2O =Luas area basah − 8,0
0,0948
Kelompok D1
Luas atas =1
336,5 (89 + 4(186) + 2(197) + 4(180) + 99) = 24893 mm2
Luas bawah =1
336,5 (89 + 4(38) + 2(23) + 4(47) + 99) = 6983,667 mm2
Luas area basah = 24893 − 6983,667 = 17909,33 mm2
mg H2O =17909,33 − 8,0
0,0948= 188832,63 mg
Kelompok D2
Luas atas =1
340 (124 + 4(213) + 2(227) + 4(210) + 133) = 32040 mm2
Luas bawah =1
340 (124 + 4(67) + 2(54) + 4(57) + 133) = 11480 mm2
Luas area basah = 32040 − 11480 = 20560 mm2
mg H2O =20560 − 8,0
0,0948= 216793,25 mg
Kelompok D3
Luas atas =1
332 (105 + 4(129) + 2(148) + 4(146) + 88) = 16949,33 mm2
Luas bawah =1
332 (105 + 4(25) + 2(14) + 4(27) + 88) = 4576 mm2
21
Luas area basah = 16949,33 − 4576 = 12373,33 mm2
mg H2O =12373,33 − 8,0
0,0948= 130435,97 mg
Kelompok D4
Luas atas =1
345 (121 + 4(201) + 2(211) + 4(204) + 90) = 33795 mm2
Luas bawah =1
345 (121 + 4(34) + 2(30) + 4(32) + 90) = 8025 mm2
Luas area basah = 33795 − 8025 = 25770 mm2
mg H2O =25770 − 8,0
0,0948= 271751,05 mg
Kelompok D5
Luas atas =1
347 (95 + 4(182) + 2(201) + 4(195) + 107) = 33095,04 mm2
Luas bawah =1
347 (95 + 4(24) + 2(20) + 4(29) + 107) = 7114,18 mm2
Luas area basah = 33095,04 − 7114,18 = 25980,86 mm2
mg H2O =25980,86 − 8,0
0,0948= 273975,32 mg
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal