strategi petani dalam pengelolaan resiko pada usahatani cabai

14
1 Jurnal Hortikultura, Tahun 1999, Volume 8, Nomor (4): 1299-1311 STRATEGI PETANI DALAM PENGELOLAAN RESIKO PADA USAHATANI CABAI Witono Adiyoga dan T. Agoes Soetiarso Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu no 517, Lembang-Bandung 40391 ABSTRAK. Adiyoga, W. dan T. A. Soetiarso. 1997. Strategi petani dalam pengelolaan resiko pada usahatani cabai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi strategi petani cabai dalam menghadapi resiko usahatani dan implikasinya terhadap usaha perbaikan atau perancangan teknologi baru. Survai dilaksanakan pada bulan Desember 1995 sampai Januari 1996 di sentra produksi cabai Brebes, Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan untuk mengadopsi pola tanam dominan (bawang merah dan cabai - bawang merah - padi) serta memilih sistem produksi tumpang gilir (bawang merah dan cabai) merupakan pencerminan strategi pengelolaan resiko ex ante yang ditempuh petani. Sementara itu, strategi pengelolaan resiko interactive dilaksanakan melalui penggunaan masukan (pupuk dan pestisida) yang cenderung berlebih, karena petani menganggap kedua jenis masukan tersebut bersifat mengurangi resiko. Sedangkan jika terjadi kegagalan yang mengganggu sumber pendapatan keluarga dan keberlanjutan usahatani, petani cenderung memilih menjual sebagian aset yang dimilikinya sebagai manifestasi strategi pengelolaan resiko ex post. Beberapa implikasi penting dari penelitian ini adalah: (1) perancangan teknologi harus mempertimbangkan cabai sebagai salah satu komponen dalam sistem produksi tumpang gilir, (2) perbaikan teknologi harus lebih diarahkan untuk meningkatkan ketahanan sistem terhadap kejutan yang terjadi pada akhir musim, sekaligus meningkatkan respon sistem terhadap kejutan pada awal atau pertengahan musim, (3) proses perancangan teknologi harus melibatkan berbagai simulasi agro- ekosistem (lingkungan produksi) yang dihadapi petani, dan (4) berdasarkan asumsi bahwa petani pada umumnya penolak resiko, rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian-pengujian teknologi, secara implisit harus mengandung informasi mengenai variabilitas dan ketidak-simetrisan distribusi probabilitas luaran. Kata kunci: Cabai; Tumpang gilir; Resiko; Usahatani. ABSTRACT. Adiyoga, W. and T. A. Soetiarso. 1997. Farmers’ strategy in managing risk on hot pepper farming. The objective of this study was to identify hot pepper farmers’ risk management strategy and its implications on the effort for improving and generating new technology. A survey was conducted in Brebes, Central Java from December 1995 to January 1996. Results show that farmers’ decisions to adopt the existing dominant cropping pattern (shallot and hot pepper - shallot - rice) and to choose sequential cropping system (shallot and hot pepper) are part of their ex ante risk management strategy. As the season progresses, farmers employ their interactive risk management method by using inputs (fertilizers and pesticides) intensively, even tends to be excessive, since those two input are perceived by farmers as risk reducing. Meanwhile, when their crop fails, the main ex post risk management method used by farmers is mostly to sell some of their assets. Some important implications resulted from this study are: (1) new technology should be designed by considering hot pepper as a crop in sequential cropping system, not as a crop for monoculture, (2) in designing technology, more emphasis should be placed on increasing system resistance to late season shocks, while increasing system responsiveness to early and mid-season shocks, so that the technology can provide farmers with greater flexibility, (3) the process of technology design should involve more simulations on farmer’s circumstances, and (4) assuming that most farmers are moderately risk averse and most crop yield distributions are asymmetric, design of trials should provide information for documenting not only the variability, but also the skewness of distributions. Key words: Hot pepper; Sequential cropping; Risks; Farming.

Upload: vicianti1482

Post on 12-Jun-2015

3.840 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

1

Jurnal Hortikultura, Tahun 1999, Volume 8, Nomor (4): 1299-1311

STRATEGI PETANI DALAM PENGELOLAAN RESIKO PADA USAHATANI CABAI

Witono Adiyoga dan T. Agoes Soetiarso

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu no 517, Lembang-Bandung 40391 ABSTRAK. Adiyoga, W. dan T. A. Soetiarso. 1997. Strategi petani dalam pengelolaan resiko pada

usahatani cabai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi strategi petani cabai dalam menghadapi

resiko usahatani dan implikasinya terhadap usaha perbaikan atau perancangan teknologi baru. Survai

dilaksanakan pada bulan Desember 1995 sampai Januari 1996 di sentra produksi cabai Brebes, Jawa Tengah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan untuk mengadopsi pola tanam dominan (bawang merah dan cabai

- bawang merah - padi) serta memilih sistem produksi tumpang gilir (bawang merah dan cabai) merupakan

pencerminan strategi pengelolaan resiko ex ante yang ditempuh petani. Sementara itu, strategi pengelolaan resiko

interactive dilaksanakan melalui penggunaan masukan (pupuk dan pestisida) yang cenderung berlebih, karena

petani menganggap kedua jenis masukan tersebut bersifat mengurangi resiko. Sedangkan jika terjadi kegagalan

yang mengganggu sumber pendapatan keluarga dan keberlanjutan usahatani, petani cenderung memilih menjual

sebagian aset yang dimilikinya sebagai manifestasi strategi pengelolaan resiko ex post. Beberapa implikasi penting

dari penelitian ini adalah: (1) perancangan teknologi harus mempertimbangkan cabai sebagai salah satu komponen

dalam sistem produksi tumpang gilir, (2) perbaikan teknologi harus lebih diarahkan untuk meningkatkan ketahanan

sistem terhadap kejutan yang terjadi pada akhir musim, sekaligus meningkatkan respon sistem terhadap kejutan

pada awal atau pertengahan musim, (3) proses perancangan teknologi harus melibatkan berbagai simulasi agro-

ekosistem (lingkungan produksi) yang dihadapi petani, dan (4) berdasarkan asumsi bahwa petani pada umumnya

penolak resiko, rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian-pengujian teknologi, secara implisit harus

mengandung informasi mengenai variabilitas dan ketidak-simetrisan distribusi probabilitas luaran.

Kata kunci: Cabai; Tumpang gilir; Resiko; Usahatani. ABSTRACT. Adiyoga, W. and T. A. Soetiarso. 1997. Farmers’ strategy in managing risk on hot pepper

farming. The objective of this study was to identify hot pepper farmers’ risk management strategy and its

implications on the effort for improving and generating new technology. A survey was conducted in Brebes, Central

Java from December 1995 to January 1996. Results show that farmers’ decisions to adopt the existing dominant

cropping pattern (shallot and hot pepper - shallot - rice) and to choose sequential cropping system (shallot and hot

pepper) are part of their ex ante risk management strategy. As the season progresses, farmers employ their

interactive risk management method by using inputs (fertilizers and pesticides) intensively, even tends to be

excessive, since those two input are perceived by farmers as risk reducing. Meanwhile, when their crop fails, the

main ex post risk management method used by farmers is mostly to sell some of their assets. Some important

implications resulted from this study are: (1) new technology should be designed by considering hot pepper as a

crop in sequential cropping system, not as a crop for monoculture, (2) in designing technology, more emphasis

should be placed on increasing system resistance to late season shocks, while increasing system responsiveness

to early and mid-season shocks, so that the technology can provide farmers with greater flexibility, (3) the process

of technology design should involve more simulations on farmer’s circumstances, and (4) assuming that most

farmers are moderately risk averse and most crop yield distributions are asymmetric, design of trials should provide

information for documenting not only the variability, but also the skewness of distributions.

Key words: Hot pepper; Sequential cropping; Risks; Farming.

Page 2: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

2

Program pengembangan usahatani cabai merah tidak lagi semata-mata ditujukan untuk

meningkatkan produksi per hektar, tetapi lebih ditekankan kepada pencapaian sasaran peningkatan

pendapatan petani. Pendekatan yang dipilih untuk mencapai sasaran tersebut adalah pengembangan

usahatani yang berorientasi agribisnis (Adiyoga dan Soetiarso, 1994). Salah satu prinsip yang menempati

urutan pertama dalam pengembangan agribisnis adalah ketersediaan teknologi baru tepat guna dan

berkelanjutan. Dalam menerima teknologi baru tersebut, petani sebenarnya dihadapkan kepada ketidak-

pastian yang menyangkut kesesuaian teknologi dengan sumberdaya dan kemampuan manajerial yang

mereka miliki. Antisipasi petani terhadap kegagalan usahatani merupakan faktor penting dalam proses

pengambilan keputusan. Strategi yang ditempuh dalam menghadapi ketidak-pastian ini dapat

mengkondisi-kan perilaku petani jika dihadapkan kepada pilihan atau alternatif baru. Oleh karena itu,

informasi yang menyangkut strategi pengelolaan resiko sangat diperlukan agar teknologi baru yang

dikembangkan dapat berdampak optimal.

Ketidak-mungkinan untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi luaran usahatani

menghadapkan petani kepada resiko atau ketidak-pastian usaha. Di samping itu, karakteristik petani di

Indonesia didominasi oleh skala usaha kecil, struktur non-perusahaan dan kesempatan yang sangat

terbatas untuk melakukan diversifikasi usaha. Sebagai akibat dari struktur yang ada, resiko usahatani

lebih banyak terkonsentrasi di pihak petani kecil secara individual (Barry, 1984). Sementara itu,

rendahnya elastisitas harga dan pendapatan yang dihadapkan kepada ketidak-pastian iklim serta faktor

lain yang tidak dapat dikontrol, dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi tajam untuk harga luaran.

Terlebih lagi, petani secara individu tidak memiliki atau memiliki kapasitas yang sangat terbatas dalam

mempengaruhi harga-harga masukan dan luaran. Kombinasi dari berbagai faktor yang mengandung

ketidak-pastian ini menempatkan petani pada posisi sulit untuk memperbaiki tingkat efisiensi dan

kesejahteraannya (Zavaleta et al., 1984).

Lima sumber utama resiko usaha di sektor pertanian adalah: (a) resiko produksi atau teknis, (b)

resiko pasar atau harga, (c) resiko teknologi, (d) resiko legal atau sosial, dan (e) resiko karena kesalahan

manusia (Sonka dan Patrick, 1984). Kelima sumber resiko tersebut dapat menimbulkan efek jangka

pendek maupun jangka panjang terhadap usahatani. Variabilitas pendapatan tahunan dapat

mengganggu usahatani terutama dikaitkan dengan kemungkinan kekurangan modal tunai untuk musim

tanam tertentu. Dengan demikian, berbagai resiko di atas dapat menimbulkan variabilitas kelayakan

usaha serta ukuran keragaan usahatani jangka panjang lainnya.

Respon petani terhadap resiko dapat dikategorikan menjadi: (a) usaha yang diarahkan untuk

mengendalikan kemungkinan timbulnya resiko, dan (b) tindakan yang ditujukan untuk mengurangi

dampak resiko (Jolly, 1983). Dalam usaha mengontrol sumber resiko, pengambil keputusan harus

memilih himpunan distribusi probabilitas yang paling mungkin dihadapi. Keputusan-keputusan yang

diambil dapat berupa: pemilihan jenis usaha, diversifikasi usaha, pemilihan pasar, keikut-sertaan dalam

program pemerintah dan penentuan skala usaha. Sementara itu, jenis respon yang kedua tidak

berdampak langsung terhadap distribusi probabilitas yang dihadapi pengambil keputusan. Pada

dasarnya, respon tersebut sangat berpengaruh terhadap kapasitas usahatani untuk tetap bertahan

menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan atau untuk memanfaatkan peluang seoptimal mungkin

dalam kondisi yang menguntungkan. Strategi yang ditempuh dapat meliputi pemilihan struktur finansial,

pencadangan dana tunai dan peningkatan produktivitas atau efisiensi unit usahatani.

Respon petani terhadap goncangan/kejutan yang dihadapi usahatani dapat dibedakan menjadi:

(a) respon sebelum terjadi goncangan -- ex ante, (b) respon pada saat terjadi goncangan -- interactive,

dan (c) respon setelah terjadi goncangan -- ex post (Matlon, 1991). Respon yang pertama dirancang

untuk mempersiapkan usahatani agar tidak berada pada posisi yang terlalu rawan pada saat goncangan

terjadi. Respon pada saat terjadi goncangan melibatkan realokasi sumberdaya agar dampak resiko

terhadap produksi dapat diminimalkan. Sedangkan respon setelah goncangan diarahkan untuk

Page 3: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

3

meminimalkan dampak berikutnya. Ketiga jenis respon tersebut saling bergantung satu dengan yang

lainnya (respon yang satu merupakan fungsi dari respon yang lain). Dengan demikian, pendekatan sistem

yang dinamis diperlukan agar perilaku petani dalam mengelola resiko dapat tergambarkan secara lebih

lengkap.

Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa petani pada umumnya berperilaku sebagai penghin-

dar/penolak resiko (Binswanger, 1980; Dillon dan Scandizzo, 1978). Perilaku tersebut mengindikasikan

bahwa petani lebih menyukai perencanaan usahatani yang dapat memberikan rasa aman walaupun

harus mengorbankan sebagian pendapatannya. Sampai sejauh mana proposisi tersebut berlaku untuk

petani cabai merah di Indonesia yang masih dikategorikan subsisten dalam penggunaan masukan

(Adiyoga dan Soetiarso, 1994) merupakan topik yang menarik untuk dikaji. Terlebih lagi jika dikaitkan

dengan impli-kasinya terhadap usaha pengembangan teknologi baru. Berdasarkan uraian tersebut,

diduga strategi petani dalam menghadapi resiko dapat dikelompokkan menjadi strategi pengelolaan

resiko yang bersifat ex ante, interaktif dan ex-post dan implementasi strategi ini secara langsung

tercermin pada teknik budidaya cabai yang dilakukan petani.

Penelitian ini bertujuan untuk (a) mengidentifikasi strategi petani cabai dalam menghadapi resiko

usahatani yang berkaitan dengan variabilitas luaran, biaya produksi dan harga luaran, dan (b) mengiden-

tifikasi berbagai implikasi dari faktor resiko dalam usaha pengembangan teknologi baru usahatani cabai.

METODOLOGI PENELITIAN

Pemilihan lokasi dan responden penelitian :

Lokasi penelitian dipilih secara sengaja berdasarkan pertimbangan: (a) potensinya sebagai sentra

produksi cabai merah, dan (b) pola pengusahaan yang dilakukan terus menerus dari tahun ke tahun.

Mengacu pada Data Bank (LEHRI dan ATA-395, 1992), kabupaten Brebes, Jawa Tengah ditetapkan

sebagai lokasi penelitian. Kriteria yang sama digunakan untuk memilih unit lokasi penelitian yang lebih

kecil, yaitu kecamatan Wanasari (desa Tegal Gandu dan Cisalam). Penelitian dilaksanakan dari bulan

Desember 1995 sampai dengan Januari 1996. Target populasi dari penelitian ini adalah petani yang

menanam/mengusahakan cabai merah dari tahun ke tahun. Berdasarkan kriteria tersebut, 20 orang

petani responden dipilih secara acak sederhana.

Pengumpulan data :

Data yang diperlukan akan diperoleh melalui penelitian survai. Rancangan survai yang digunakan

adalah rancangan perbandingan grup statis -- static group comparison design (Kidder dan Judd, 1986).

Melalui rancangan ini, penelitian diarahkan untuk memperoleh penjelasan dan interpretasi hubungan

antara berbagai peubah yang diamati. Penelitian dilaksanakan dengan mengikuti tahapan: (a) survai

pendahuluan dan (b) survai utama. Survai pendahuluan mencakup kegiatan: pemilihan lokasi dan

responden, uji coba kuesioner dan pengumpulan data sekunder. Sedangkan survai utama diarahkan

untuk menghimpun data primer melalui wawancara dengan penggunaan kuesioner. Daftar pertanyaan

yang disusun terutama mencakup: (a) karakteristik petani responden, (b) aspek budidaya dan pola

tanam, (c) masukan dan luaran usahatani, dan (d) perilaku petani dalam mengelola resiko. Untuk

memperoleh konfirmasi mengenai data primer yang diperoleh dari petani responden, diskusi kelompok

dengan responden kunci (penyuluh, kontak tani, petani andalan) juga dilaksanakan.

Page 4: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

4

Analisis data :

Data yang dihimpun dari pertanyaan-pertanyaan tertutup dianalisis dengan menggunakan

statistika deskriptif (Tukey, 1974). Sementara itu, data yang berasal dari respon pertanyaan-pertanyaan

terbuka diolah dengan menggunakan analisis isi (Scott, 1975).

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden

Beberapa karakteristik responden yang dikumpulkan sengaja dibatasi untuk berbagai karakteristik

yang dianggap paling berpengaruh terhadap strategi pengelolaan resiko yang dilakukan petani. Tabel 1

menunjukkan bahwa pengalaman petani responden dalam mengusahakan cabai cukup bervariasi.

Namun demikian, proporsi petani yang memiliki pengalaman di bawah dan di atas 10 tahun, ternyata

sama. Hal ini memberikan indikasi bahwa cabai sejak lama telah diusahakan dan dipilih oleh petani

secara reguler (setiap tahun) sebagai salah satu sumber pendapatan. Pengalaman tersebut juga

mencerminkan tingkat familiaritas petani yang cukup tinggi dalam mengusahakan cabai, yang sangat

berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, cara menghindari resiko dan tingkat adopsi inovasi.

Kisaran luas pengusahaan terendah adalah 0,125-0,475 ha (rata-rata 0,22 ha) dengan proporsi

petani yang lebih tinggi pada kisaran 0,10-0,25 ha. Sementara itu, kisaran luas pengusahaan tertinggi

adalah 0,25-1,00 ha (rata-rata 0,69 ha) dengan proporsi petani yang lebih tinggi pada kisaran 0,51-1,00

ha. Untuk cabai yang merupakan komoditas komersial, kisaran terendah maupun tertinggi di atas

mengindikasikan bahwa petani di lokasi penelitian masih tergolong ke dalam kategori petani kecil.

Hubungan antara luas lahan dengan strategi pengelolaan resiko sebenarnya dipengaruhi juga oleh

faktor-

Tabel 1 Karakteristik Responden Petani Cabai, Kec. Wanasari, Brebes 1996 (Characteristics of hot pepper farmers, Kec.

Wanasari, Brebes 1996)

Karakteristik

(Characteristics)

%

n = 20

1. Pengalaman mengusahakan cabai (Experience in cultivating hot pepper):

1 - 10 tahun/years

11 - 20 tahun/years

21 - 30 tahun/years

50

35

15

2. Kisaran luas tertinggi pengusahaan cabai (Range of largest size in hot pepper cultivation):

0,25 - 0,50 ha

0,51 - 1,00 ha

35

65

3. Kisaran luas terendah pengusahaan cabai (Range of smallest size in hot pepper cultivation:

0,10 - 0,25 ha

0,26 - 0,50 ha

80

20

4. Status penguasaan lahan (Land tenure status):

milik - owned

sewa - rented

bagi hasil - sharecropping

milik dan sewa - owned and rented

sewa dan bagi hasil - rented and sharecropping

50

15

10

15

10

5. Keikut-sertaan dalam pelatihan budidaya sayuran (Participation in vegetable training):

pernah - yes

tidak pernah - never

35

65

Page 5: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

5

faktor lain yang berkaitan dengan produktivitas lahan bersangkutan. Namun demikian, secara umum,

semakin sempit luas lahan, semakin rentan pula posisi petani terhadap dampak resiko. Ketidak-stabilan

pendapatan usahatani, khususnya bagi petani kecil, secara langsung dapat mengancam eksistensi

usahatani sebagai sumber utama pendapatan keluarga. Sesuai dengan Kebede (1988), strategi yang

ditempuh petani cenderung mengarah kepada elemen-elemen pengelolaan yang mencerminkan perilaku

menolak resiko.

Status penguasaan lahan di lokasi penelitian cukup bervariasi, tetapi masih didominasi oleh status

milik. Sementara itu, persentase petani yang melakukan bagi hasil, yaitu status penguasaan yang sering

dianggap sebagai salah satu strategi petani untuk berbagi resiko, ternyata hanya sekitar 10%. Hasil

wawancara menunjukkan bahwa status penguasaan bagi hasil bukannya tidak diminati oleh petani

(walaupun petani mengetahui bahwa status penguasaan bagi hasil ini dapat mengurangi resiko yang

dihadapi), tetapi penawarannya (supply) yang memang relatif rendah. Pemilik tanah (landlord) lebih

tertarik untuk menyewakan tanahnya, karena resiko yang dihadapi lebih kecil. Menghadapi kondisi

demikian, tidak ada pilihan lain bagi petani yang tidak memiliki lahan (landless) selain melakukan sewa

sebagai satu-satunya cara untuk melakukan usahatani.

Keikut-sertaan dalam pelatihan budidaya sayuran memberikan kesempatan bagi petani untuk

lebih banyak menyerap informasi dari luar yang dapat membantu petani dalam mengidentifikasi,

memahami dan mengukur resiko usahatani. Hasil survei menunjukkan bahwa baru 35% responden yang

menyatakan pernah mengikuti pendidikan informal bersifat pelatihan, khususnya dalam budidaya

sayuran, misalnya sekolah lapang pengendalian hama terpadu atau program latihan lainnya yang

dirancang oleh penyuluh. Sebenarnya kaitan antar berbagai program pelatihan di atas dengan strategi

pengendalian resiko masih bersifat tidak langsung, karena tidak satupun program-program tersebut

dirancang untuk memberikan pelatihan mengenai pengambilan keputusan usahatani yang selalu harus

berhadapan dengan faktor ketidak-pastian.

Persepsi Petani Terhadap Resiko Usahatani

Perbedaan pengertian antara resiko dan ketidak-pastian belum pernah terdefinisi dengan jelas,

bahkan dalam penggunaan praktisnya, kedua istilah tersebut cenderung dipakai untuk maksud yang

sama (Heyer, 1972; Kennedy dan Francisco, 1974). Resiko seringkali diartikan sebagai suatu keadaan

dari gambaran kejadian yang bersifat tidak pasti atau derajat ketidak-pastian yang terjadi pada situasi

tertentu. Sedangkan ketidak-pastian diartikan sebagai suatu kisaran keadaan yang memastikan bahwa

probabilitas absolut tidak akan pernah terjadi, seperti halnya pada kasus resiko. Dalam tulisan ini, istilah

yang akan sering digunakan adalah resiko, yang secara terminologis dapat diartikan sebagai

kemungkinan kehilangan atau variabilitas kemungkinan kejadian (Dillon dan Anderson, 1971). Tabel 2

menguraikan pengertian resiko berdasarkan persepsi petani. Berdasarkan analisis isi (Tabel 2), persepsi

petani mengenai resiko (terutama kategori jawaban a, b dan c) secara implisit menyatakan bahwa resiko

adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya ketidak-stabilan produksi dan pendapatan yang

cenderung menimbulkan kerugian. Sebagian kecil petani (15%) berpendapat bahwa resiko atau

kemungkinan mengalami kerugian tersebut dapat dikendalikan secara preventif (pengaturan pola

tanam, waktu tanam dan luas penanaman). Sementara itu, hanya 25% dari responden petani yang

tidak menghubungkan resiko secara langsung dengan kemungkinan kerugian, tetapi menganggapnya

sebagai suatu konsekuensi yang harus diterima (pengeluaran untuk input bibit, tenaga kerja, pestisida

dan pupuk) jika hendak mengusahakan cabai. Dalam kasus ini, sebagian besar petani (55%)

menganggap bahwa resiko berkaitan dengan kemungkinan mengalami kerugian. Dengan demikian,

seperti dinyatakan oleh Bond dan Wonder (1980), pada dasarnya petani menganggap resiko sebagai

penyimpangan atau deviasi dari hasil yang diharapkan (expected outcome).

Page 6: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

6

Tabel 2 Persepsi petani mengenai resiko usahatani cabai (Farmers' perceptions regarding risks in hot pepper farming)

No Persepsi Petani

(Farmers’ Perceptions)

(%)

(n=20)

1.

Resiko menurut persepsi petani (Risk as perceived by farmers):

• suatu ukuran penyebab terjadinya penyimpangan dari produksi cabai yang diharapkan (things that may

cause the occurrence of unexpected low hot pepper production ) • semua hal yang cenderung menjurus kepada terjadinya kerugian usahatani cabai (everything that may

result in the financial loss of hot pepper farming)

• semua hal yang dapat membahayakan usahatani cabai, tetapi dapat dicegah atau dikurangi

dampaknya jika diwaspadai sejak awal (everything that may endanger the profitability of hot pepper farming, however

the impacts can be prevented or reduced if farmers are cautious from the beginning)

• konsekuensi yang membebani petani jika hendak berusahatani cabai, misalnya menyediakan modal,

sarana produksi dsb. (consequences for farmers in cultivating hot pepper, such as providing capital, making inputs

available, etc.)

5

55

15

25

2.

.

Usahatani cabai yang dikategorikan gagal menurut persepsi petani (Farming failure as perceived by

farmers):

• produksi cabai yang dihasilkan relatif rendah (relatively low yield of production)

• harga cabai yang diterima relatif rendah (relatively low price of output)

• produksi dan harga cabai keduanya relatif rendah (relatively low yield and price of output)

45

10

45

3.

Tingkat resiko usahatani menurut persepsi petani (Risk of hot pepper farming as perceived by farmers):

• tinggi (high)

• sedang (moderate)

• rendah (low)

35

40

25

4.

Meskipun menanam cabai dianggap beresiko, petani masih tetap mengusahakannya karena (Farmers’

reasons for cultivating hot pepper, even though it is very risky):

• dampak resiko tersebut masih dapat dikurangi atau dicegah (risk impacts can be reduced or prevented)

• tidak ada pilihan lain, sehingga apapun resikonya cabai tidak dapat ditinggalkan (experience has shown that there is a limited choice)

• pengusahaan tanaman lain mengandung tingkat resiko yang jauh lebih tinggi (cultivating other crops is considered riskier)

20

45

35

Walaupun faktor harga produk juga cukup menentukan, secara dominan petani menganggap

kegagalan produksi (hasil per satuan luas rendah) sebagai kriteria utama untuk mengkategorikan

keberhasilan atau kegagalan usahatani. Dengan kata lain, jika produksi normal atau tinggi, tetapi

harga rendah, petani cenderung tidak mengklasifikasikannya sebagai kegagalan usahatani. Meskipun

dihadapkan kepada berbagai kendala yang bersifat alami, petani menganggap bahwa keberhasilan

produksi juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (modal, tenaga kerja, kemampuan

pengelolaan, dsb), yang pada batas-batas tertentu masih mungkin dikendalikan secara individual.

Rendahnya tingkat produksi yang merupakan akibat dari ketidak-berhasilan untuk mengatasi faktor-

faktor internal tersebut dianggap oleh petani sebagai kegagalan usahatani. Sementara itu, harga

produk yang diharapkan seringkali berbeda dengan harga yang terjadi pada saat panen. Untuk petani

skala kecil, harga produk bukanlah faktor yang dianggap paling penting dalam memilih komoditas.

Sejauh kegiatan usahataninya dirasa dapat mencukupi kebutuhan keluarga, maka pemilihan jenis

tanaman atau kombinasi tanaman tidak terlalu tergantung kepada kekuatan pasar/harga (Wolgin,

1985). Terlebih lagi, petani juga cenderung menganggap harga sebagai faktor eksternal yang secara

individual kecil kemungkinannya untuk dikendalikan.

Hanya 25% responden (terutama petani dengan pengalaman mengusahakan cabai antara 11-

20 tahun) menyatakan bahwa tingkat resiko usahatani cabai rendah, sedangkan sebagian besar

responden lainnya cenderung menggolongkan sedang sampai tinggi. Perbedaan persepsi mengenai

tingkat resiko ternyata tidak berpengaruh terhadap keputusan petani untuk mengusahakan cabai.

Sebagian besar petani (45%) menyatakan bahwa apapun resikonya, usahatani cabai tidak dapat

ditinggalkan. Hal ini terutama disebabkan oleh lingkungan produksi yang cocok serta sistem tumpang-

gilir bawang merah dan cabai yang merupakan komponen pola tanam dominan.

Page 7: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

7

Persepsi Petani Mengenai Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Resiko Usahatani

Sebagian besar petani responden (90%) menanam cabai satu kali dalam setahun, sedangkan

sebagian kecil lainnya (10%) menanam lebih dari satu kali. Selama tiga tahun terakhir, persentase

rata-rata kejadian petani memperoleh keuntungan, impas dan mengalami kerugian secara berturut-

turut adalah 56,7%, 6,6% dan 36,7%. Dengan kata lain, perbandingan antara kemungkinan

memperoleh keuntungan dengan mengalami kerugian adalah 3:2. Perbandingan ini menggambarkan

bahwa tingkat resiko yang dihadapi petani dalam mengusahakan cabai sangat tinggi, terutama jika

ditinjau secara parsial per komoditas (monokultur/bukan dalam konteks pola tanam setahun).

Beberapa faktor yang menurut petani berperanan penting dalam kaitannya dengan resiko

usahatani dapat diklasifikasikan menjadi: faktor eksternal (iklim, hama penyakit, harga sarana

produksi, harga luaran) dan faktor internal (ketersediaan modal dan pengelolaan). Serangan hama

penyakit dinyatakan sebagai faktor urutan pertama yang paling berpengaruh terhadap resiko usahatani

cabai dan diikuti oleh harga luaran pada urutan kedua. Hal ini tampaknya sejalan dengan persepsi

petani yang lebih cenderung menyatakan bahwa usahatani cabai dikategorikan gagal seandainya hasil

per satuan luas rendah. Lebih jauh lagi, persepsi di atas memberikan penjelasan menyangkut pola

penggunaan pestisida oleh petani yang cenderung berlebihan, dalam mengendalikan hama penyakit.

Sementara itu, dari kedua faktor internal (diasumsikan lebih mudah untuk dikendalikan, sehingga

diduga akan menempati dua urutan terakhir), yaitu ketersediaan modal dan pengelolaan, ternyata

hanya pengelolaan yang urutan kepentingannya dipersepsi petani sejalan dengan dugaan awal.

Sesuai dengan karakteristik petani yang tergolong ke dalam kategori petani skala kecil, hal ini

mengindikasikan bahwa ketersediaan modal ternyata masih merupakan salah satu kendala yang

cukup penting. Tabel 3 Persepsi petani mengenai urutan kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap resiko (Farmers'

perceptions with regard to the importance of some factors that influence the occurrence of risk)

Faktor

(Factors)

Persepsi petani menyangkut urutan kepentingan

untuk setiap faktor (The rank of importance as

perceived by farmers)

(%) (n=20)

Ranking

total

(Total rank)

I II III IV V VI

•••• iklim (climate) 5 15 25 40 15 - IV

•••• hama penyakit (pests and diseases) 65 30 - 5 - - I

•••• harga sarana produksi (price of inputs) - - - 5 70 25 V

•••• harga output (price of output) 25 50 25 - - - II

•••• ketersediaan modal (funds/capital availability) - 5 45 40 10 - III

•••• pengelolaan (management) 5 - 5 10 5 75 VI

Strategi Pengelolaan Resiko Ex-ante

Beberapa strategi pengelolaan resiko yang ditempuh petani sebelum terjadinya kejutan (shock)

pada dasarnya ditujukan untuk memperkecil variabilitas penerimaan (net revenue). Tabel 4

menunjukkan bahwa pola tanam: padi - bawang merah dan cabai - bawang merah, diikuti oleh semua

petani responden. Strategi ini ditempuh berdasarkan pengalaman 10 tahun dalam mengusahakan

cabai yang memberikan acuan bahwa pola tanam di atas sampai saat ini masih merupakan pilihan

Page 8: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

8

terbaik dan memiliki tingkat resiko terendah. Hal ini juga tercermin dari berbagai alasan yang

dikemukakan petani menyangkut latar belakang pemilihan pola tanam tersebut.

Khusus untuk cabai, sistem produksi yang dipilih oleh semua petani responden adalah sistem

tumpang gilir (sequential cropping) dengan bawang merah. Cabai ditanam setelah bawang merah

berumur satu bulan. Ditinjau dari aspek pengendalian resiko, strategi tersebut memiliki beberapa

keunggulan dibandingkan dengan sistem produksi monokultur. Dari segi fisio-teknis, sistem tumpang

gilir memanfaatkan lahan dan energi sinar matahari secara lebih baik, karena sistem pertanaman akan

menempati lahan dalam waktu yang lebih lama. Secara implisit, hal ini berarti meningkatkan foto-

sintesis serta memperbaiki efisiensi pemanfaatan air dan unsur hara. Di samping itu, instabilitas hasil

yang disebabkan oleh cekaman lingkungan maupun serangan hama penyakit secara keseluruhan

dapat dikurangi oleh karena sistem terdiri dari dua spesies tanaman yang berbeda. Dari segi sosio-

Tabel 4 Strategi pengelolaan resiko ex-ante (Ex-ante risk management strategy)

No Uraian

(Description)

%

(n=20)

1. Pola tanam setahun (Yearly cropping system):

o padi (rice) : bulan (month) 10, 11 atau 12

o bawang merah (shallot) : bulan (month) 2, 3 atau 4

o cabai (hot pepper) : bulan (month) 3, 4 atau 5

o bawang merah (shallot) : bulan (month) 7, 8 atau 9

100

2. Alasan mengikuti pola tanam di atas secara konsisten dalam lima tahun terakhir (Reasons for

consistently following the existing cropping system in the last five years) :

o rotasi tanaman yang paling menguntungkan (experience has shown that it is the most profitable crop rotation)

o sesuai dengan kondisi iklim setempat (suitable to local climate)

o jika berbeda, mengundang serangan hama (if it is different, it may invite pest

attack)

40

35

25

3. Sistem produksi cabai yang digunakan (Hot pepper production system):

o monokultur (monocropping)

o tumpang sari atau tumpang gilir (multiple cropping or sequential cropping)

-

100

4. Alasan menggunakan sistem produksi di atas (Reasons for adopting the production system):

o secara keseluruhan memberikan pendapatan bersih yang lebih tinggi

dibandingkan dengan sistem monokultur (in general, it provides higher net income

as compared to monocropping) o penggunaan input (terutama lahan dan tenaga kerja) yang lebih efisien

(input use, especially land and labor, is more efficient) o saling menutupi sebagian kerugian jika salah satu tanaman kurang

berhasil (crops are compesating to each other, if one of them fails)

o pertanaman cabai menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik (hot pepper grows very well)

20

20

25

35

5. Jumlah atau jenis varietas cabai yang digunakan (Number of hot pepper varieties used):

o selalu varietas tunggal pada semua lahan yang diusahakan (always single variety in all parcels cultivated)

o lebih dari satu varietas pada lahan/hamparan yang sama (more than one

variety in the same parcel cultivated) o lebih dari satu varietas pada lahan/hamparan yang berbeda (more than one

variety in different parcel cultivated)

65

15

20

6. Sumber dari seluruh atau sebagian besar bibit/benih cabai yang digunakan (Source of hot

pepper seeds):

o sendiri (own-produced)

o orang lain (buy from others)

65

35

7. Banyaknya lokasi/persil pertanaman cabai dalam setahun (Number of locations/parcels

cultivated for hot pepper in a year):

o hanya ada di satu lokasi (only one)

o ada di beberapa atau lebih dari satu lokasi (more than one)

45

55

Page 9: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

9

ekonomis, sistem tumpang gilir memungkinkan penggunaan tenaga kerja dan modal produksi secara

lebih efisien. Sistem tersebut memungkinkan pengolahan tanah (untuk dua cabang usaha) yang padat

tenaga kerja hanya dilakukan satu kali serta penggunaan input eksternal yang lebih hemat (misalnya

pupuk, kemungkinan pemborosan akibat pencucian/leaching dapat ditekan). Sementara itu, dua

cabang usaha (bawang merah dan cabai) yang menopang sistem tersebut juga dapat saling menutupi

jika salah satu di antaranya mengalami kerugian.

Diversifikasi varietas sebenarnya juga merupakan salah satu metode pengelolaan resiko ex

ante. Namun demikian, tabel 4 memperlihatkan bahwa hanya sebagian kecil petani responden (35%)

yang menggunakan lebih dari satu varietas pada lahan yang sama atau pada lahan yang berbeda. Hal

ini menunjukkan bahwa ketersediaan varietas yang menawarkan karakteristik spesifik (umur panen,

ketahanan terhadap hama penyakit, ketahanan terhadap cekaman lingkungan) jumlahnya sangat

terbatas. Dalam kondisi seperti ini, petani cenderung bertumpu pada varietas tunggal (Tit Super) yang

dominan digunakan, karena secara lokal spesifik telah teruji kelayakannya.

Untuk mengurangi resiko kegagalan, sebagian besar petani (65%) memilih bibit yang diproduksi

sendiri dengan anggapan bahwa di samping kualitasnya lebih terjamin, petani juga dapat menghemat

pengeluaran bibit. Preferensi ini terutama dilatar-belakangi keyakinan akan kualitas bibit yang diseleksi

oleh petani sendiri dari pertanaman sebelumnya. Sementara itu, sebagian petani lain menggunakan

bibit dari luar (membeli), terutama karena pertanaman sebelumnya dianggap kurang berhasil.

Keputusan untuk membeli bibit dari luar pada umumnya diambil jika petani bersangkutan mengetahui

kondisi yang baik dari pertanaman sumber bibit tersebut di lapangan.Walaupun dalam luasan yang

relatif sempit, sebagian responden (55%) mengusahakan cabai pada beberapa (lebih dari satu) lokasi.

Di samping mengusahakan lahan milik sendiri, sepanjang modal produksi dan penawaran lahan sewa

tersedia, petani juga melakukan kegiatan sewa. Hal ini sebenarnya merupakan salah satu strategi

pengendalian resiko, karena melalui diversifikasi hamparan petani dapat mengurangi kovariasi

hamparan-hasil (plot-yield covariation) dan variabilitas produksi agregat (aggregate production

variability). Demikian pula jika secara spasial lokasi hamparan tersebut tersebar, variabilitas produksi

agregat yang diakibatkan oleh dampak spesifik lokasi (misalnya, serangan hama penyakit dan

kekeringan setempat) dapat dikurangi. Strategi Pengelolaan Resiko Interactive

Pada awal musim tanam, petani selalu memiliki harapan subyektif (subjective expectation) yang

dikembangkan dari pengalaman di musim sebelumnya. Misalnya, menyangkut perkiraan kejadian, jum-

lah, distribusi dan durasi hujan atau kemungkinan insiden hama penyakit. Sejalan dengan usia tanam-

an, harapan tersebut akan diperbaiki dan secara bertahap petani akan melakukan pengaturan pola

tanam dan cara budidaya, sehubungan dengan adanya kejutan-kejutan dari luar (exogenous shocks).

Ketersediaan air merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi pengambilan

keputusan petani dalam menentukan waktu tanam. Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar

petani responden (55%) menanam cabai pada akhir musim kemarau (menjelang musim hujan)

dengan pertimbangan bahwa sejak tanam sampai panen tidak akan kekurangan air. Salah satu faktor

yang membedakan waktu tanam (awal, pertengahan, akhir musim kemarau) adalah perbedaan

harapan petani terhadap ketersediaan air. Banyaknya petani yang memutuskan waktu tanam pada

akhir musim kemarau mengindikasikan bahwa walaupun probabilitas jangka panjang terjadinya hujan

meningkat jika menanam lebih lambat, secara intuitif petani menyadari bahwa probabilitas kondisional

dari keberhasilan pertanaman melalui penanaman awal yang diikuti oleh penyulaman bertahap adalah

lebih tinggi dibandingkan dengan penanaman lambat. Resiko yang dihadapi petani berkenaan dengan

Page 10: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

10

Tabel 5 Strategi pengelolaan resiko interactive (Interactive risk management strategy)

No Uraian

(Description)

% (n=20)

1. Waktu penanaman bawang merah (Time of shallot planting) :

• awal musim kemarau dengan perkiraan ketersediaan air masih mencukupi (at the beginning of dry season with expectation that water availability is still sufficient)

• akhir musim kemarau (menjelang musim hujan) agar kebutuhan air dapat terjamin (by the end of dry season so that the water is beginning to be available)l

• pertengahan musim kemarau pada saat air masih tersedia (in the middle of dry season when water is still available)

15 55 30

2. Bila sebagian tanaman di lapangan ternyata mati, maka (If some plants are not survive):

• dilakukan penyulaman (replanting) • tidak dilakukan penyulaman (no replanting)

90 10

3. Jarak tanam yang digunakan (Planting distance):

• 20 cm x 20 cm • 20 cm x 30 cm • 20 cm x 40 cm • 25 cm x 25 cm • 25 cm x 30 cm • 25 cm x 40 cm

25 25 10 20 10 10

4. Jenis pupuk yang digunakan pada pertanaman bawang merah (Type of fertilizer used):

• pupuk tunggal atau pupuk majemuk (single or compound fertilizer)

• pupuk tunggal dan pupuk majemuk (single and compound fertilizer)

25 75

5. Penggunaan pupuk pada musim kemarau vs. musim penghujan (The use of fertilizer in dry season vs. wet season):

• tidak berbeda jenis maupun volumenya (no different in type and amount)

• tidak berbeda jenis, tetapi berbeda volumenya (N pada musim penghujan dikurangi) (no different in type, but the amount of N is reduced)

65 35

6. Metode pengendalian hama penyakit yang dilakukan (Pest and disease controlling method):

• preventif (preventive)

• kuratif (curative) • preventif dan kuratif (preventive and curative)

80 5 15

7. Pencampuran pestisida dalam pengendalian hama penyakit (Mixing pesticidesin controlling pests and diseases):

• ya, sebagai usaha preventif (yes, as a preventive measure)

• ya, sebagai usaha kuratif (yes, as a curative measure)

80 20

8. Alasan melakukan pencampuran pestisida (Reasons for mixing pesticides):

• sekaligus mencegah/mematikan beberapa jenis hama/penyakit (controlling some pests and diseases simultaneously)

• menghemat biaya dengan mencampur pestisida mahal dan murah (cost-saving effort by mixing expensive pesticide

and the cheap one)

• hasil coba-coba menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi dibanding pestisida tunggal (trial and error show that the result of mixing pesticides is more effective than the use of single pesticide)

• menghemat waktu dan tenaga (time and labor-saving)

40 10 30 20

9. Tindakan yang dilakukan saat mengalami kesulitan dalam memperoleh tenaga kerja sewa (Actions taken when there is

labor shortage):

• memanfaatkan tenaga kerja yang tersedia secara bergantian dengan sesama petani (take turn with other farmers in

using the available labor)

• mencari tenaga kerja sewa dari luar desa (look for hired labor from outside the village)

75 25

10. Tindakan yang dilakukan jika mengalami kekurangan atau kesulitan permodalan (Actions taken if there is capital

shortage):

• meminjam dari institusi formal (borrowing from formal institution)

• meminjam dari institusi informal (borrowing from informal institution)

• menjual sebagian aset (selling some assets)

5 75 20

pemilihan waktu tanam adalah matinya tanaman pada saat umur di bawah satu bulan dan kekurangan

air (kejadian di luar harapan awal). Strategi pengelolaan resiko interactive yang dilakukan petani untuk

mengatasi kedua masalah di atas adalah dengan melakukan penyulaman (90%) yang berasal dari

persediaan semaian atau membeli dari petani lain, dan melakukan penyiraman rutin yang pada

umumnya bersumber dari sumur-sumur pantek.

Sebagian besar petani responden (70%) cenderung menggunakan jarak tanam yang relatif

rapat (20cm x 20cm, 20cm x 30cm, 25 cmx 25 cm). Petani juga menyebutkan bahwa jarak tanam

cabai keriting lebih jarang dibandingkan cabai besar. Jarak tanam yang dipilih merupakan strategi

untuk menyiasati harapan kelembaban sesuai dengan zona agroklimat dan jenis tanah, mengantisipasi

Page 11: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

11

tingkat kematian bibit, dan menciptakan fleksibilitas jika terpaksa harus mengubah densitas

pertanaman.

Di samping menggunakan pupuk tunggal, sebagian besar responden (75%) juga menggunakan

pupuk majemuk. Walaupun petani mengetahui bahwa unsur yang terdapat dalam pupuk majemuk

sama dengan yang terkandung dalam pupuk tunggal, alasan petani tetap menggunakan keduanya

adalah untuk menambah keyakinannya. Dari sisi efisiensi, penggunaan kedua jenis pupuk tersebut

secara sekaligus dapat dipandang sebagai suatu pemborosan. Namun demikian, jika dipandang dari

aspek pengelolaan resiko, hal ini juga dapat dikategorikan sebagai salah satu metode "interactive",

karena petani dapat mengatur penambahan atau pengurangan pupuk sesuai dengan persepsinya

menyangkut kebutuhan hara tanaman. Sebagian petani (35%) mengurangi penggunaan nitrogen pada

musim penghujan untuk menghemat dan sekaligus membatasi pertumbuhan daun agar tidak

mengundang hama penyakit.

Pada umumnya, petani responden (>80%) menggunakan pestisida sebagai tindakan preventif

dalam mengendalikan hama penyakit. Dengan kata lain, pengambilan keputusan pengendalian

cenderung lebih diarahkan untuk mengantisipasi resiko terjadinya serangan hama penyakit

dibandingkan dengan usaha untuk mengatasi serangan tersebut secara aktual. Produktivitas input

pengendalian hama penyakit sebenarnya tergantung pada kejadian yang bersifat acak (random

events), yaitu adanya serangan hama penyakit. Jika tidak ada serangan, maka input ini tidak akan

berpengaruh terhadap produksi, bahkan mungkin menimbulkan efek sekunder terhadap organisme

yang bermanfaat atau pertumbuhan tanaman (Mumford, 1981). Dengan demikian, produktivitas

pengendalian hama penyakit secara integral berhubungan erat dengan resiko produksi. Berkaitan

dengan strategi pengelolaan resiko interactive, petani sebenarnya memiliki fleksibilitas untuk mengatur

perlu tidaknya penggunaan pestisida selama pertanaman berada di lapangan. Namun demikian, pola

pengendalian kimiawi yang dicirikan dengan penyemprotan preventif serta pencampuran pestisida

(>80%) justru memberikan indikasi adanya penggunaan pestisida yang berlebih. Petani pada

umumnya cenderung memandang pestisida bukan saja sebagai bahan beracun untuk mengendalikan

hama penyakit, tetapi juga sebagai asuransi penangkal kegagalan usahatani.

Tenaga kerja tampaknya masih belum merupakan kendala penting dalam usahatani cabai. Jika

petani mengalami kesulitan tenaga kerja, terutama pada saat pengolahan tanah, pemanfaatan tenaga

kerja tersedia secara bergantian atau menyewa tenaga kerja dari luar desa masih mungkin dilakukan

tanpa mengganggu kelancaran usahatani. Sementara itu, meminjam uang atau sarana produksi dari

institusi informal serta menjual sebagian aset merupakan dua metode utama strategi pengelolaan

resiko interactive jika petani mengalami kesulitan modal pada saat mengusahakan cabai. Strategi Pengelolaan Resiko Ex-post

Jika terjadi kegagalan panen, walaupun petani telah melaksanakan strategi pengelolaan resiko

ex ante dan interactive, maka pilihan satu-satunya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini

adalah strategi ex post. Namun demikian, tindakan yang dipilih sangat bergantung pada status

usahatani bersangkutan dalam kaitannya dengan sumber pendapatan keluarga. Hanya 30% petani

responden yang menyatakan bahwa sumber penghidupan keluarga sebagian besar bergantung pada

usahatani cabai. Sebagian petani lainnya menyatakan lebih mengandalkan usahatani bawang merah

sebagai sumber pendapatan keluarga. Strategi ex post yang lebih dominan dipilih petani adalah

menjual sebagian aset. Walaupun usahatani cabai pada umumnya dianggap bukan sumber

pendapatan utama, kegagalan panen tidak berarti petani berhenti menanam pada musim selanjutnya.

Petani tetap akan menanam cabai walaupun harus meminjam sarana produksi dari toko/kios saprotan.

Page 12: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

12

Tabel 6 Strategi pengelolaan resiko ex post (Ex-post risk management strategy).

No Uraian (Description) % (n=20)

1. Status usahatani cabai dalam menghidupi keluarga (The status of hot pepper farming in supporting

the family):

• sepenuhnya bergantung pada usahatani cabai (fully depends on income from hot pepper farming)

• sebagian besar bergantung pada usahatani cabai (mostly depends on income from hot pepper farming)

• sebagian kecil bergantung pada usahatani cabai (partly depends on income from hot pepper farming

• sama sekali tidak bergantung pada usahatani cabai (does not depend on incpme from hot pepper farming)

-

30

70

-

2. Jika usahatani cabai mengalami kegagalan, usaha untuk menutupi kekurangan dalam menghidupi

keluarga (If hot pepper farming fails, the effort to support the family will come from):

• meminjam uang dari petani lain atau pihak-pihak lain (borrowing money from other farmers or other

sources) • mencari pekerjaan tambahan (looking for additional job)

• menjual sebagian aset (selling some assets)

30

25

45

3. Jika mengalami kerugian, tindakan apa atau sumber modal mana yang dipilih untuk pertanaman

berikutnya (If there is a loss in hot pepper farming, actions taken for funding the next planting):

• luas pertanaman berikutnya disesuaikan dengan modal yang tersedia (the size of next planting is adjusted to the available capital)

• menambah modal dengan mengambil sebagian/seluruh uang tabungan (adding capital by using part or all of the saving)

• menambah modal dengan menjual sebagian aset yang dimiliki (adding capital by selling some assets)

• menambah modal dengan meminjam uang (adding capital by borrowing money)

• meminjam sarana produksi dari toko/kios saprotan (borrowing inputs from shops)

30

10

15

5

40

4. Tindakan yang dilakukan jika pertanaman cabai dianggap gagal (Actions taken following the failure

of hot pepper farming):

• tidak menanam cabai lagi karena takut kegagalan tersebut terulang (stop cultivating hot pepper because of the fear repeating the loss)

• tetap akan menanam cabai lagi dan mencari penyebab kegagalan (keep cultivating hot pepper and trying to look for the cause of failure)

• tetap akan menanam cabai tanpa mencoba mencari penyebab kegagalan (keep cultivating hot pepper and without trying to look for the cause of failure)

-

65

35

Implikasi Terhadap Perbaikan atau Perancangan Teknologi Baru

Perubahan teknologi (adanya teknologi baru) dapat mempengaruhi strategi pengelolaan resiko

petani dalam tiga aspek: (1) meningkatkan ketidak-pastian dan harapan produksi petani pada fase

awal adopsi teknologi baru, (2) menurunkan atau meningkatkan varians hasil, tergantung dari interaksi

antara teknologi baru tersebut dengan cara yang ditempuh petani dalam mengelola lingkungan

produksi, dan (3) mempengaruhi kemampuan petani dalam dalam kaitannya dengan penerapan

metode pengelolaan resiko interactive. Hal ini menunjukkan bahwa setiap usaha untuk memperbaiki/

merancang teknologi baru, harus mempertimbangkan ketiga aspek tersebut.

Beberapa implikasi hasil penelitian untuk perbaikan/perancangan teknologi:

• Perbaikan atau perancangan teknologi baru harus mempertimbangkan cabai tidak saja sebagai

tanaman yang diusahakan secara monokultur, tetapi juga sebagai salah satu komponen dalam

sistem produksi tumpang gilir.

• Perancangan teknologi harus lebih diarahkan untuk meningkatkan resistensi sistem (system

resistence) terhadap kejutan (shock) yang terjadi pada akhir musim, sekaligus meningkatkan

respon sistem (system responsiveness) terhadap kejutan pada awal atau pertengahan musim.

Sebagai contoh, pengembangan varietas cabai yang memiliki umur panen lebih cepat serta tingkat

keseragaman (kematangan) yang lebih serempak, dapat memungkinkan petani untuk melakukan

Page 13: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

13

penyulaman secara lebih fleksibel dan sekaligus menghindarkan kekeringan di akhir musim jika

hujan berakhir lebih dini.

• Perbaikan efisiensi penggunaan masukan (pupuk maupun pestisida) sebaiknya dirancang bukan

semata-mata untuk mengubah pola pemberian masukan di tingkat petani yang dianggap

berlebihan. Perlu disadari bahwa pola tersebut sebenarnya juga merupakan salah satu metode

pengelolaan resiko interactive (risk-reducing method). Dengan demikian, proses perancangan

teknologi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan masukan harus melibatkan berbagai simulasi

agroekosistem dan mempertimbangkan kompatibilitasnya dengan strategi pengelolaan resiko yang

dilakukan petani.

• Mengacu pada perilaku petani yang cenderung bersifat menolak/menghindari resiko serta

distribusi probabilitas luaran yang bersifat asimetrik, rancangan percobaan yang digunakan dalam

pengujian-pengujian teknologi, secara implisit harus mengandung informasi yang menyangkut

variabilitas dan ketidak-simetrisan distribusi probabilitas luaran.

KESIMPULAN 1. Probabilitas keuntungan/kerugian selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa usahatani cabai

relatif rentan terhadap resiko. Persepsi petani terhadap kegagalan usahatani cenderung lebih

mengarah pada ketidak-berhasilan mencapai produksi per satuan luas (fisik), bukan kerugian secara

finansial.

2. Keputusan petani untuk mengikuti pola tanam dominan (bawang merah dan cabai - bawang merah -

padi) serta memilih sistem produksi tumpang gilir (bawang merah dan cabai) merupakan

pencerminan strategi pengelolaan resiko ex ante yang dilakukan.

3. Strategi pengelolaan resiko interactive dilaksanakan melalui penggunaan input (pupuk dan pestisida)

yang cenderung berlebih, karena petani menganggap kedua jenis input tersebut bersifat mengurangi

resiko (risk reducing).

4. Jika kegagalan usahatani cabai sampai pada suatu titik yang dianggap mengganggu sumber

pendapatan keluarga dan kelangsungan usahatani, petani cenderung memilih menjual sebagian aset

yang dimiliki sebagai manifestasi strategi pengelolaan resiko ex post.

5. Teknik budidaya cabai yang dilakukan petani bukan hanya semata-mata cara untuk menanam cabai,

tetapi juga mencerminkan strategi pengelolaan resiko yang telah teruji efektivitasnya berdasarkan

pengalaman berhadapan langsung dengan berbagai perubahan lingkungan produksi.

PUSTAKA

Adiyoga, W. dan T. A. Soetiarso. 1994. Aspek agroekonomi cabai. Makalah disampaikan pada Seminar

Agribisnis Cabai, Agribisnis Club. Jakarta.

Barry, P. J. (Ed.). 1984. Risk management in agriculture. Iowa State University Press, Ames, Iowa.

Binswanger, H. P. 1980. Attitudes toward risk : Experimental measurement in rural India. American

Journal of Agricultural Economics (62): 395 - 407.

Bond, G. dan B. Wonder. 1980. Risk attitudes among Australian farmers. Australian Journal of Agricultural

Economics, 24(1): 16-34.

Page 14: Strategi Petani Dalam Pengelolaan Resiko Pada Usahatani Cabai

14

Dillon, J. L. and J. R. Anderson. 1971. Allocative efficiency, traditional agriculture and risk. American

Journal of Agricultural Economics (53): 26-32.

Dillon, J. L. and P. P. Scandizzo. 1978. Risk attitudes of subsistence farms in Northeast Brazil : A

sampling approach. American Journal of Agricultural Economics (60): 425 - 435.

Heyer, J. 1974. An analysis of peasant farm production under conditions of uncer-tainty. Journal of

Agricultural Economics 23(2): 135-145.

Jolly, R. W. 1983. Risk management in agricultural production. American Journal of Agricultural

Economics. (76): 1107 - 1113.

Kebede, Y. 1988. Risk behavior and new agricultural technologies: The case of producers in the central

highlands of Ethiopia. Canadian Journal of Agricultural Economics 36(1):269-283.

Kennedy, J. O. S. and E. M. Francisco. 1974. On the formulation of risk constraints for linear

programming. Journal of Agricultural Economics 25(2): 129-145.

Kidder, L. H. and C. M. Judd. 1986. Research methods in social relations. Holt, Reinhart and Winston,

Inc. The Dryden Press, Orlando, Florida, USA.

Matlon, P. J. 1991. Farmer risk management strategies : The case of the West African semi-arid tropics.

In Holden, D., Hazell, P., & Pritchard, A. (Eds.). Risk in agriculture: Proceeding of the Tenth

Agriculture Sector Symposium. The World Bank, Washington, D. C.

Mumford, J. D. 1981. Pest control decision making: Sugar beet in England. Journal of Agricultural

Economics. 32(1): 31-41.

Scott, W. A. 1975. Reliability of content analysis: The case of nominal scale coding. Public Opinion

Quarterly, 19: 321-325.

Sonka, S. T. and G. F. Patrick. 1984. Risk management and decision making in agricultural firms. In P. J.

Barry (Ed.), Risk management in agriculture. Iowa State University Press, Ames, Iowa.

Tukey, W. 1974. Tables of the percentage points of the Chi-distribution. Annals of Mathematical Statistics,

18: 495-513.

Wolgin, J. M. 1985. Resource allocation and risk: A case study of smallholder agriculture in Kenya.

American Journal of Agricultural Economics, 57(4): 314-327.

Zavaleta, L. R., B. Eleveld, M. Kogan, L. Wax, D. Kuhlman & S. M. Lim. 1984. Income and risk associated

with various pest management levels, tillage systems, and crop rotations: An analysis of

experimental data. Agricultural Economics Research Report 3(2): 1-14.