skripsie-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2783/1/wulandari.pdf · 2018. 3. 13. · wulandari...

119
i TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran) SKRIPSI Disusun guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: WULANDARI NIM. 211-12-013 JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017

Upload: others

Post on 02-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP NAFKAH ANAK

    SETELAH PERCERAIAN DALAM TINJAUAN HUKUM

    ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014

    TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

    (Studi Kasus di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran)

    SKRIPSI

    Disusun guna Memperoleh Gelar

    Sarjana Hukum (S.H)

    Oleh:

    WULANDARI

    NIM. 211-12-013

    JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

    FAKULTAS SYARI’AH

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA

    2017

  • ii

    Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si

    Dosen IAIN Salatiga

    PENGESAHAN PEMBIMBING

    Lamp : 4 (empat) eksemplar

    Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

    Kepada Yth.

    Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga

    di Salatiga

    Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi,

    maka naskah skripsi mahasiswa:

    Nama : Wulandari

    NIM : 211-12-013

    Judul : “TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP NAFKAH

    ANAK SETELAH PERCERAIAN DALAM TINJAUAN

    HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35

    TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”

    (Studi Kasus Di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran)

    Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan

    dalam sidang munaqosyah.

    Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan

    digunakan sebagaimana mestinya.

    Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Salatiga, 02 Februari 2017

    Pembimbing,

    Heni Satar Nurhaida SH., M.Si

    NIP.197011271999032001

    KEMENTERIAN AGAMA RI

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

    Jl. Nakula Sadewa V No. 9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433

    Website:www.iainsalatiga.ac.id Email:[email protected]

    http://www.iainsalatiga.ac.id/mailto:[email protected]

  • iii

    PENGESAHAN

    Skripsi

    “TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP NAFKAH ANAK SETELAH

    PERCERAIAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-

    UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN

    ANAK” (Studi Kasus di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran)

    Oleh:

    WULANDARI

    NIM. 211-12-013

    Telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah,

    Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Senin, tanggal 27 Februari

    2017, dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana

    Hukum (S.H).

    Dewan Sidang Munaqasyah

    Ketua Sidang : Drs. Machfudz, M.Ag

    Sekretaris Sidang : Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si

    Penguji I : Sukron Makmun, S.HI., M.Si

    Penguji II : Luthfiana Zahriani S.H., M.H

    Salatiga, 02 Februari 2017

    Dekan Fakultas Syari‟ah

    IAIN Salatiga,

    Dra. Siti Zumrotun, M.Ag

    NIP. 196701151998032002

    KEMENTERIAN AGAMA RI

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

    Jl. Nakula Sadewa V No. 9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433

    Website:www.iainsalatiga.ac.id Email:[email protected]

    http://www.iainsalatiga.ac.id/mailto:[email protected]

  • iv

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Wulandari

    Nomor Induk Mahasiswa : 211-12-013

    Fakultas : Syari‟ah

    Jurusan : Ahwal Al Syakhsiyyah(AHS)

    Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

    saya sendiri, bukan jiplakan dari hasil karya tulis orang lain. Pendapat dan temuan

    orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

    etik ilmiah.

    Salatiga, 02 Februari 2017

    Penulis,

    Wulandari

    NIM. 211-12-013

  • v

    MOTTO

    “Hidup itu bukan masalah siapa yang terbaik, tapi hidup itu

    siapa yang bisa berbuat baik.”

  • vi

    PERSEMBAHAN

    Alhamdulillah „ala kulli hal. Atas limpahan kasih sayang Sang Maha

    Rahmaan dan Rahiim yang telah mengantarkan penulis pada kesempatan istimewa

    ini. Penulis persembahkan karya kecil ini sebagai kado bukti keseriusan kepada

    orang-orang terkasih yang Allah titipkan untuk mendampingi hingga penghujung

    awal perjuangan.

    1. Terimakasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, orang pertama yang selalu

    memotivasi dan mendoakanku. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan

    untuk kalian.

    2. Adik kandungku, Diyah Ariyati dan Bayu Aji, yang senantiasa menjadi

    saudara seperjuangan.

    3. Terimaksih juga kepada Muhammad Mustaqim, orang terdekat yang

    senantiasa mengarahkan kebaikan dan memudahkan dalam pengerjaan tugas

    akhir ini sehingga semuanya dapat terseleseikan.

    4. Teman-teman halaqah, Ustadzah Tsam, Dita, Insani, Kanti, Nanda yang

    memberikan pencerahan di setiap waktu.

    5. Teman-teman Al Kahfi yang senantiasa menjadi sahabat sholihah.

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Dengan menyebut asmaa Allah yang Maha Pengasih lagi Maha

    Penyayang. Puji syukur hanya layak dan pantas dipersembahkan kepada Sang

    Pemilik Keagungan, Allah swt. Atas takdirNyalah, dijadikannya manusia sebagai

    “akhsani taqwiim”, yang senantiasa berfikir, berilmu dan beriman.

    Lantunan shalawat serta salam terhaturkan kepada Nabi penyempurna

    akhlak manusia, Nabi penyampai mau‟idzah khasanah, Dialah Nabi Muhammad

    salallahu „alaihi wa salam. Atas wahyu yang Ia sampaikan kepada umatnya, telah

    mengantarkan manusia pada ketaqwaan kepada Allah swt.

    Skripsi ini terselesaikan bukan atas jerih payah penulis sendiri, melainkan

    atas bantuan dan kebaikan dari orang-orang hebat. Maka dari itu, atas bimbingan

    dan arahannya, penulis ucapkan terimakasih kepada:

    1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.

    2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga.

    3. Bapak Sukron Makmun, S.HI., M.Si selaku Ketua Jurusan Ahwal Al

    Syakhsiyyah IAIN Salatiga.

    4. Ibu Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang

    telah mencurahkan pikiran, tenaga, dan waktunya dalam upaya membimbing

    penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

    5. Bapak Yahya, S.Ag., M.H.I, selaku dosen pembimbing akademik.

    6. Bapak/Ibu dosen IAIN Salatiga, yang telah mendidik, mengarahkan dan

    memotivasi dari awal hingga akhir perkuliahan.

  • viii

    7. Segenap civitas akademika IAIN Salatiga, dan seluruh pihak yang telah

    membantu hingga skipsi ini selesai.

    8. Para responden di desa Tengaran, Kecamatan Tengaran yang senantiasa

    memudahkan dalam penyelesaian tugas akhir ini.

    9. Teman-teman AHS semuanya Angkatan 2012, kebersamaan dengan kalian

    telah menciptakan canda, tawa, tangis, bahagia, dan sejuta pengalaman yang

    terukir dalam bingkai kenangan manis yang teramat indah untuk dilupakan.

    Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Saran dan kritik konstruktif sangat

    diperlukan dalam kesempurnaan skripsi ini. Jazaakumullah akhsanal jazaa‟.

    Salatiga, 02 Februari 2017

    Penulis,

    Wulandari

    NIM. 211-12-013

  • ix

    ABSTRAK

    Wulandari, 211-12-013. ”Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak

    Setelah Perceraian Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-

    Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”

    (Studi Kasus di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran). Jurusan

    Ahwal Al Syakhsiyyah (AHS), Fakultas Syari’ah Institut

    Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Heni Satar

    Nurhaida S.H., M.Si

    Kata Kunci: Nafkah, Anak, Perceraian

    Tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya merupakan suatu

    kewajiban yang harus dilaksanakan oleh semua orang tua. Anak berhak

    mendapatkan segala kepentingannya untuk menunjang tumbuh

    kembangnya, berhak atas pemenuhan kebutuhan, sandang, pangan, dan

    papan secara wajar. Putusnya perkawinan antara suami dan istri tidaklah

    menggugurkan segala kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap

    anaknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Apakah tanggung

    jawab ayah terhadap nafkah anak setelah perceraian di desa Tengaran,

    Kecamatan Tengaran, menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor

    35 tahun 2014 tentang perlindungan anak? Upaya hukum apa yang dapat

    ditempuh oleh ibu agar (ayah) melaksanakan tanggung jawabnya dalam

    memberi nafkah kepada anaknya setelah terjadinya perceraian di desa

    Tengaran, Kecamatan Tengaran?. Penelitian ini menggunakan jenis

    penelitian field research dimana penelitian ini dilakukan dengan terjun

    langsung ke lapangan guna memperoleh data sebanyak dan seakurat

    mungkin dari para responden yang diteliti.

    Adapun hasil analisis dari penelitian diperoleh kesimpulan,

    Pertama, tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak yang diberikan secara

    berbelit-belit dan kurang sepenuhnya dilaksanakan, bertentangan dengan

    surat At Thalaq ayat 7, hendaknya nafkah itu diberikan sesuai dengan

    kemampuan suami, dengan hati yang ikhlas dan tidak berbelit-belit. Kedua,

    tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak yang tidak pernah dilaksanakan,

    hal ini bertentangan dengan surat Al-Baqarah ayat 233, ayat ini menjelaskan

    bahwa ayah yang bertanggung jawab atas kewajibannya memberikan nafkah

    kepada anaknya. Dan itu sesuai dengan kesanggupannya. Menurut Undang-

    undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak di dalamnya

    mencantumkan ketentuan pidana dan sangsi hukum bagi seseorang yang

    melakukan penelantaran terhadap anak.

    Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu, belum ada upaya hukum

    dari pihak ibu untuk menuntut nafkah anak, hal ini disebabkan karena

    minimnya pengetahuan tentang hukum itu sendiri. Pihak ibu hanya

    melakukan upaya-upaya non hukum seperti, pertama, mengantarkan dan

    menyuruh anak memintanya secara langsung kepada ayahnya. Kedua,

    dengan menelpon dan memintanya secara langsung kepada mantan suami

    (ayah).

  • x

    DAFTAR ISI

    Halaman Judul ............................................................................................... i

    Pengesahan Pembimbing ............................................................................... ii

    Lembar Pengesahan ....................................................................................... iii

    Pernyataan Keaslian Tulisan ........................................................................ iv

    Motto ............................................................................................................... v

    Persembahan .................................................................................................. vi

    Kata Pengantar .............................................................................................. vii

    Abstrak ............................................................................................................ ix

    Daftar isi .......................................................................................................... x

    Daftar Lampiran ............................................................................................ xiii

    BAB I Pendahuluan

    A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

    B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 7

    C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 8

    D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 8

    E. Penegasan Istilah ........................................................................................ 9

    F. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 10

    G. Metode Penelitian ........................................................................................ 12

    H. Sistematika Penulisan .................................................................................. 16

    BAB II Perceraian Dan Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih Dan Hukum

    Positif

    A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian ........................................................... 18

    1. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya ......................................... 18

  • xi

    2. Rukun dan Syarat Thalaq ....................................................................... 22

    3. Sebab-sebab Perceraian .......................................................................... 23

    4. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan............................................. 25

    B. Hak Nafkah Anak menurut Fiqih dan Hukum Positif ................................. 38

    1. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya............................................... 38

    2. Batas Usia Pemberian Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih ....................... 43

    3. Dasar Hukum Nafkah menurut Hukum Positif ...................................... 44

    4. Macam-macam Nafkah ........................................................................... 45

    5. Sebab-sebab yang mewajibkan Nafkah .................................................. 46

    6. Kadar Pemberian Nafkah ........................................................................ 46

    7. Pentingnya Nafkah Terhadap Kehidupan Anak ..................................... 48

    C. Hakikat Anak ............................................................................................... 50

    1. Pengertian Anak Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

    tentang Perkawinan ................................................................................. 50

    2. Pengertian Anak Menurut Undang-undang Nomor 35 tahun 2014

    tentang Perlindungan Anak..................................................................... 51

    3. Pengertian Anak Menurut Hukum Islam ................................................ 52

    BAB III Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak Setelah

    Perceraian Di Desa Tengaran Kecamatan Tengaran

    A. Gambaran Umum Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran ........................... 55

    1. Kondisi Geografis ................................................................................... 55

    2. Keadaan Demografis .............................................................................. 56

    3. Kondisi Sosial ......................................................................................... 61

  • xii

    4. Kondisi Ekonomi .................................................................................... 62

    B. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak di desa Tengaran,

    Kecamatan Tengaran ................................................................................... 62

    BAB IV Analisis Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014

    Tentang Perlindungan Anak Mengenai Tanggung Jawab Ayah

    Terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian

    A. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian

    menurut hukum Islam ................................................................................ 85

    B. Upaya Hukum yang dapat ditempuh oleh Ibu agar orang tua laki-laki

    (ayah) melaksanakan kewajibannya dalam memberikan nafkah anak

    setelah perceraian ....................................................................................... 90

    BAB V Penutup

    A. Kesimpulan .................................................................................................. 94

    B. Saran ........................................................................................................... 95

    Daftar Pustaka

    Lampiran-lampiran

  • xiii

    DAFTAR LAMPIRAN

    1. Lembar Konsultasi Skripsi

    2. Surat Penunjukan Pembimbing Skripsi

    3. Surat Izin Penelitian

    4. Surat Keterangan Kegiatan (SKK)

    5. Daftar Riwayat Hidup

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Perkawinan merupakan aqad dengan upacara ijab qabul antara

    calon suami dan istri untuk hidup bersama sebagai pertalian suci (sacral),

    untuk menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dengan

    tujuan membentuk keluarga dalam memakmurkan bumi Allah SWT yang

    luas ini. Dengan perkawinan terpeliharalah kehormatan, keturunan,

    kesehatan jasmani, dan rohani, serta jelasnya nasab seseorang (Leter,

    1985: 7).

    Perkawinan juga merupakan sebuah ikatan yang mengakibatkan

    munculnya sebuah tanggung jawab, yang mengakibatkan munculnya hak

    dan kewajiban bagi masing-masing pihak yakni suami dan istri. Dalam

    Undang-undang Nomor 1 tahun1974 Pasal 1 disebutkan bahwa “ tujuan

    perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

    kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Begitu mulia tujuan

    perkawinan itu, akan tetapi untuk mencapai dan mewujudkan tujuan

    tersebut tidaklah semudah yang diucapkan dan diangankan. Karena

    manakala setelah perkawinan itu dijalani, banyak lika-liku kehidupan yang

    menerjang. Sebuah perkawinan tidak selamanya baik-baik saja, manakala

    ikatan cinta kasih sebagai pondasi penting dalam perkawinan itu sudah

    terurai dan tidak bisa dipertahankan lagi, maka perceraian adalah jalan

  • 2

    yang kerap diambil suami atau istri untuk menyelesaikan

    permasalahannya.

    Selain orang tua merasa tidak cocok lagi dan memutuskan

    berpisah, ada beberapa hal yang menjadi penyebab orang tua bercerai,

    diantaranya adalah faktor ekonomi, ketidaksetiaan, kekerasan dalam

    rumah tangga, pernikahan usia dini, perubahan budaya, salah satu pihak

    hanya mementingkan dirinya sendiri, maupun adanya pihak ketiga dalam

    rumah tangga. Seorang anak juga memiliki hak tersendiri yakni hak

    mendapatkan nafkah dengan tujuan anak dapat tumbuh berkembang secara

    sempurna didalam lingkungan yang utuh. Bagi anak-anak yang dilahirkan,

    perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncang

    kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan

    perkembangannya, sehingga biasanya anak-anak adalah pihak yang paling

    menderita dengan terjadinya perceraian orangtuanya.

    Konflik keluarga yang berkepanjangan dan berakhir dengan

    perceraian ternyata berakibat fatal bagi kehidupan anak. Banyak anak

    nakal dan hancur masa depannya karena pertengkaran dan perceraian

    orang tua. Dapat dibayangkan bagaimana anak mendapatkan haknya

    secara sempurna jika orang tua bercerai. Tidak dapat dipungkiri jika orang

    tua anak bercerai, maka salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban

    sehingga hak anak terabaikan.

  • 3

    Dari semua permasalahan yang ada di dalam sebuah keluarga, baik

    itu masalah perceraian, suami tetaplah mempunyai tanggung jawab kepada

    anak-anaknya untuk menyampaikan atau memberikan hak-hak mereka,

    sehingga hak-hak mereka tidak terabaikan. Sebuah perceraian mempunyai

    akibat hukum untuk suami, isteri maupun anak dalam perkawinan tersebut.

    Masalah suami yang tidak mau memberikan nafkah pada keluarga banyak

    terjadi di sebagian masyarakat Indonesia, hal seperti itu sering penulis

    jumpai dalam kehidupan sehari-hari terutama di lingkungan penulis di

    desa Tengaran.

    Desa Tengaran merupakan kota kecamatan yang meliputi dusun-

    dusun atau kelurahan-kelurahan yang masuk dalam wilayah kecamatan

    Tengaran. Secara Administratif desa Tengaran sebelah utara berbatasan

    dengan desa Klero, sebelah selatan berbatasan dengan desa Tegal Rejo,

    sebelah barat berbatasan dengan desa Sampetan dan sebelah timur

    berbatasan dengan desa Suruh. Penduduk desa Tengaran sebagian bermata

    pencaharian sebagai petani, abdi negara, dan buruh. Penduduk desa

    Tengaran beraneka ragam latar belakang, ada yang penduduk asli ada juga

    yang penduduk pendatang dengan membawa kultur budaya serta pola pikir

    yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut menyebabkan munculnya

    fenomena perilaku masyarakat.

    Salah satu bentuk fenomena tersebut adalah tanggung jawab ayah

    terhadap nafkah anak yang terabaikan setelah terjadinya perceraian, ada

    beberapa pasangan yang memutuskan untuk bercerai namun seringkali

  • 4

    mengabaikan hak-hak anak. Masih banyak hal lain yang sering diabaikan

    oleh mantan suami terhadap anak sesudah perceraian terjadi. Dari situlah

    penulis menemukan beberapa keluarga dari suami yang melalaikan

    kewajibannya, bahkan sejak awal dari anak itu terlahir tidak sekalipun

    suami memperhatikan keperluan istri maupun persalinan bagi buah hatinya

    tersebut. Di lain hal adapula anak-anak yang biaya pendidikan atau

    sekolah mengandalkan pihak-pihak tertentu (kerabat) dekat, bukan dari

    ayah kandungnya sendiri.

    Untuk mantan istri atau ibu dari anak-anak tersebut, hal ini sangat

    memberatkan karena harus menanggung biaya perawatan dan pendidikan

    anak-anaknya. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun1974 tentang

    perkawinan, pasal 41 menentukan bahwa “Akibat putusnya perkawinan

    suami tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada anak-

    anaknya”.

    Allah SWT berfirman dalam surat Ath Thalaq ayat 7 dibawah ini:

    نَْسَعةٍُْْذوْلُِينِفقْْ َْماِْإلَّْْنَ ْفساًْْاللَّوُْْيَُكلِّفَُْْلْْاللَّوُْْآتَاهُِْْمَّاْفَ ْلُينِفقْْْرِْزقُوَُْْعَلْيوُِْْقِدرََْْوَمنَْسَعِتوِْْمِّ ﴾٧﴿ُْيْسراًُْْعْسرٍْْبَ ْعدَْْاللَّوَُْْسَيْجَعلُْْآتَاَىا

    Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

    kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya

    hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah

    kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang

    melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah

    kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. At

    Thalaq:7).

  • 5

    Firman Allah yang lain dalam surat Al Baqarah ayat 233 sebagai

    berikut :

    ْ ْاْلَمْوُلوِد َْوعَلى ْالرََّضاَعَة ْيُِتمَّ َْأن ْأَرَاَد ِْلَمْن َْكاِمَلْْيِ َْحْوَلْْيِ ْأَْوَلَدُىنَّ ْيُ ْرِضْعَن لَُوَْواْلَواِلَداُتَْواِلَدٌةِْبَوَلِدَىاَْوَلَْموْْ ُوْسَعَهاَْلُْتَضآرَّ ْبِاْلَمْعُروِفَْلُْتَكلَُّفْنَ ْفٌسِْإلَّْ ْوَِكْسَوتُ ُهنَّ ُلوٌدْلَُّوْرِْزقُ ُهنَّ

    ُهَماَْوَتَشاُوٍرَْفاَلُْجَناَحَْعَلْيهِْ ن ْ َماِْبَوَلِدِهَْوَعَلىْاْلَواِرِثِْمْثُلَْذِلَكْفَِإْنْأَرَاَداِْفَصاًلَْعنْتَ رَاٍضْمِّْبِاْلمَْ ْآتَ ْيُتم ا ْمَّ َْسلَّْمُتم ِْإَذا َْعَلْيُكْم ُْجَناَح َْفاَل ْأَْوَلدَُكْم َْتْستَ ْرِضُعوْا َْأن ْأََردُّتمْ َْوات َُّقواَْْوِإْن ْعُروِف

    ْالّلَوِْبَاْتَ ْعَمُلوَنَْبِصرٌيْ﴿ ﴾ٖٖٕالّلَوَْواْعَلُمواَْْأنَّ

    Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua

    tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan

    penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian

    kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani

    melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang

    ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah

    karena anaknya, dan warispun berke wajiban demikian. Apabila

    keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan

    keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas

    keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang

    lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan

    pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada

    Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang

    kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah: 233).

    Berdasarkan beberapa ayat diatas tampak beberapa hak-hak anak

    seperti, hak mendapatkan penjagaan dalam kandungan, hak mendapatkan

    asi dari ibu atau penggantinya, hak mendapatkan asuhan,dan hak

    mendapatkan perlindungan.

    Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan

    nasab juga karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang

    membutuhkan pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak

    yang bertanggung jawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling

  • 6

    dekat adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas

    pengasuhan anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan

    nafkah anaknya. Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak

    kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan

    nafkah.

    . Pasal 9 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang

    kesejahteraan anak menyebutkan bahwa orang tua adalah yang pertama-

    tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara

    fisik, jasmani maupun sosial. Tanggung jawab orangtua atas kesejahteraan

    anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian

    rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang

    cerdas, sehat berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertakwa

    kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan, serta berkemampuan

    untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan pancasila.

    Disebutkan pula dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 35 tahun

    2014 tentang Perlindungan Anak mengenai hak anak yaitu “ Setiap anak

    berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan

    kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Kelahiran anak sebagai

    peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan perkawinan membawa

    konsekuensi hukum berupa hak dan kewajiban timbal balik antara orang

    tua dan anak. Anak mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh orang tua,

    seperti pemenuhan kebutuhan materil untuk biaya kehidupan anak

    pendidikan anak serta kasih sayang dari orang tua.

  • 7

    Diantaranya yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 tahun

    1974, pasal 45 (1,2) menjelaskan bahwa : “Kedua orang tua wajib

    memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Dan

    kewajiban orang tua yang dimaksud pada pasal (1), berlaku sampai anak

    itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban itu berlaku terus meskipun

    perkawinan antara kedua orang tuanya putus.

    Akan tetapi masih banyak orang tua laki-laki (ayah) tidak

    melaksanakan kewajiban menafkahi anaknya setelah terjadinya perceraian.

    Hal ini menjadi salah satu faktor terabaikannya hak anak dalam proses

    kehidupan dan perkembangannya baik dilihat dari sisi rohani maupun

    jasmani berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan

    yang layak. Berangkat dari masalah tersebut diatas, penulis tertarik untuk

    menjadikan sebuah karya ilmiah berupa skripsi. Untuk itu penulis

    mengambil judul TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP

    NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN DALAM TINJAUAN

    HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN

    2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Di Desa

    Tengaran Kecamatan Tengaran).

    B. Rumusan Masalah

    Dari uraian diatas, ada beberapa pokok masalah yang menjadi

    bahasan utama yaitu :

  • 8

    1. Apakah tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah terjadinya

    perceraian di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran, menurut Hukum

    Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

    perlindungan anak?

    2. Upaya hukum apa yang dapat ditempuh oleh ibu agar (ayah)

    melaksanakan tanggung jawabnya dalam memberi nafkah kepada

    anaknya setelah terjadi perceraian di Desa Tengaran, Kecamatan

    Tengaran?

    C. Tujuan Penelitian

    Sesuai dengan pokok masalah diatas, penelitian ini mempunyai

    tujuan sebagai berikut :

    1. Untuk mengetahui tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah

    terjadinya perceraian di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran menurut

    Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

    perlindungan anak.

    2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu agar

    (ayah) melaksanakan tanggung jawabnya dalam memberi nafkah

    kepada anaknya setelah terjadi perceraian di Desa Tengaran,

    Kecamatan Tengaran.

    D. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

    1. Manfaat Teoritis

    a. Memperluas wawasan dalam ranah keilmuan Hukum Perkawinan.

  • 9

    b. Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan dan

    konstribusi kepada khasanah ilmu pengetahuan dan khususnya

    yang berkaitan dengan tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak

    setelah terjadinya perceraian.

    2. Manfaat Praktis

    a. Bagi Pembaca

    Dapat menambah wawasan tentang tanggung jawab ayah terhadap

    nafkah anak setelah perceraian.

    b. Bagi Peneliti

    1) Menerapkan ilmu yang didapat dari mata kuliah Hukum

    Perkawinan dalam menjawab persoalan nafkah ayah kepada

    anak setelah perceraian khususnya di Desa Tengaran,

    Kecamatan Tengaran.

    2) Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana strata

    satu (S.1) dalam bidang Hukum Perdata Islam (Syari‟ah).

    E. Penegasan Istilah

    Untuk mempemudah pemahaman terhadap judul penelitian ini, maka

    disampaikan beberapa penjelasan istilah sebagai berikut:

    1. Tanggung Jawab yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya,

    kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan

    sebagainya ( http://kbbi.web.id/tanggung jawab).

    2. Nafkah yakni belanja, kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-

    orang yang membutuhkannya (Jauhari, 2003: 84).

  • 10

    3. Anak adalah seseorang yang masih berusia 18 tahun, termasuk anak

    yang masih dalam kandungan ( UU RI No. 23 Tahun 2002, 2006: 4).

    4. Perceraian adalah pisah, putus hubungan sebagai suami-istri

    (Depdikbudd, 1990: 164).

    5. Undang-undang Nomor 35 Tahun2014 Tentang Perlindungan Anak

    yaitu peraturan yang mengatur tentang segala kegiatan untuk menjamin

    dan melindungi anak dari hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh

    berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

    martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

    diskriminasi ( UU RI No. 35 Tahun 2014, pasal 1 ayat 2).

    6. Hukum Islam yaitu peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan

    kehidupan berdasarkan Al Qur‟an dan Hadits, Hukum syara‟

    (Depdiknas, 2002: 411).

    F. Tinjauan Pustaka

    Diantaranya referensi khususnya dari skripsi yang dapat dijadikan

    sumber telaah pustaka adalah sebagai berikut:

    Pertama adalah skripksi M. Fathur Rois yang berjudul “Pemberian

    Hak Nafkah Anak Setelah Putusan Perceraian” (Studi Analisis Di

    Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2001). Dalam penelitian ini terfokus

    pada minimnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang

    perlindungan hak nafkah anak setelah perceraian secara hukum di

    pengadilan maupun dalam Undang-undang. Hal tersebut tergambar dengan

  • 11

    tidak adanya gugatan nafkah yang berdiri sendiri yang diajukan ke

    pengadilan.

    Kedua adalah skripsi Dedy Sulistyanto yang berjudul “ Kewajiban

    Suami Narapidana Terhadap Nafkah Keluarga” ( Studi Kasus di Lembaga

    Permasyarakatan Kelas II.A Beteng Ambarawa). Penelitian ini terfokus

    pada pemberian nafkah oleh ayah selama di dalam penjara, dan nafkah

    dari hasil yang diperoleh selama bekerja dalam pembinaan kemandirian

    dilapas, dikumpulkan, diberikan saat keluarga menjenguknya.

    Memberikan wewenang penuh kepada keluarga untuk mengelola barang

    yang ditinggalkan.

    Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Zaerodin dalam

    skripsinya yang berjudul “Nafkah Hadhanah Dalam Putusan Verstek”

    (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2008). Dimana dalam

    penelitiannya terfokus pada pertimbangan hakim dalam memutus perkara

    perceraian, nafkah anak (hadhanah) dalam putusan verstek adalah tetap

    berdasarkan kemampuan suami, dalam menentukan kadar nafkah meski

    tanpa kehadiran suami, dengan mempertimbangkan kebiasaan dan

    masyarakat di daerah salatiga dalam memberi nafkah pada anak.

    Penelitian yang berikutnya adalah Wahyu Izzati dalam skripsinya

    yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Istri Dalam Memperoleh

    Hak Nafkah Akibat Cerai Talak” (Studi Kasus Di Pengadilan Agama

    Brebes Tahun 2001). Dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa,

    upaya perlindungan hukum terhadap istri untuk memperoleh hak nafkah di

  • 12

    pengadilan agama pada waktu persidangan cerai talak, membimbing

    pemohon untuk menuntut haknya yang berupa nafkah. Sekalipun ada

    sebagian majlis hakim di pengadilan agama dalam memberikan putusan

    terikat dengan kaidah ultra petitum partium (tidak boleh memutus hal-hal

    yang tidak dimohon atau melebihi yang dimohon). Sehingga termohon

    (istri) yang awam tentang hukum, tidak mengerti akan hak-haknya yang

    berupa nafkah.

    Berbeda dengan penelitian yang sedang penulis lakukan saat ini,

    dimana fokus pada penelitian yang penulis lakukan adalah “Tanggung

    jawab Ayah terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian dalam tinjauan

    Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

    Perlindungan Anak (Studi Kasus Di Desa Tengaran, Kecamatan

    Tengaran). Dalam penelitian ini terfokus pada pemberian nafkah oleh ayah

    setelah perceraian yang berbelit-belit dan tidak pernah dilaksanakan, serta

    tidak adanya gugatan nafkah dari pihak ibu yang disebabkan karena

    minimnya pengetahuan ibu tentang hukum itu sendiri.

    G. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian dibagi menjadi dua yakni field research dan library

    research.

    a. Field research menurut Sutrisno Hadi (1981:4) adalah penelitian

    yang dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan guna

    mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas.

  • 13

    b. Library Research atau Penelitian Kepustakaan adalah metode

    penelitian yang digunakan untuk mencari data, dengan cara

    membaca buku yang menjadi sumber penelitian.

    Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian

    yang field research dimana penulis terjun langsung ke lapangan

    yakni ke lokasi penelitian, di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran

    guna memperoleh data sebanyak dan seakurat mungkin dari para

    responden yang diteliti.

    2. Sumber Data

    Sumber Data menurut Soerjono Soekanto (1984:12) terbagi

    menjadi dua yaitu sebagai berikut :

    a. Data Primer

    Yaitu Data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dan

    merupakan keterangan atau fakta yang terjadi dilapangan.

    b. Data Sekunder

    Yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil

    penelitian yang berwujud laporan .

    Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan dua data

    sekaligus yakni data primer yang dapat diperoleh langsung dari

    keterangan ibu, anak, masyarakat sekitar, baik tetangga maupun

    kerabat dekat. di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran mengenai

    pemberian nafkah anak setelah terjadinya perceraian. Dan data

    sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya Undang-

  • 14

    undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum

    Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014.

    3. Pengumpulan Data

    Metode pengumpulan data menurut Suharismi Arikunto ada

    beberapa macam yakni:

    a. Wawancara yaitu : Sebuah dialog yang dilakukan oleh

    pewawancara untuk memperoleh informasi dari responden

    (Arikunto, 1996:115). Dalam penelitian ini informasi dapat

    diperoleh melalui wawancara dengan ibu, anak, masyarakat sekitar,

    baik tetangga maupun kerabat dekat.

    b. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable

    yang berupa catatan , buku-buku, surat kabar, majalah dan

    sebagainya (Arikunto, 1998: 236).

    c. Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan jalan

    pengamatan dan pencatatan secara langsung dan sistematis

    terhadap fenomena-fenomena yang diteliti. (Arikunto, 1987:128).

    d. Studi Pustaka yaitu sebagai penelitian yang menggali dari bahan-

    bahan tertulis (Amirin, 1990:135).

    Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan metode

    pengumpulan data sebagai berikut:

    a. Wawancara, penelitian ini dilakukan dengan acuan-acuan

    catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan

    ditanyakan. Kemudian peneliti akan mendatangi rumah

  • 15

    beberapa keluarga di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran,

    untuk melakukan wawancara di masing –masing keluarga yang

    menjadi responden.

    b. Dokumentasi, penulis mencari data mengenai beberapa hal baik

    yang berupa catatan, data monografi Desa Tengaran,

    Kecamatan Tengaran, akta cerai dan lain sebagainya.

    4. Teknis Analisis Data

    Menurut Prof. Dr. Lexy J.Moleong , (2002:45) teknis analisis data

    terbagi menjadi dua yakni:

    a. Metode analisis deskriptif kualitatif adalah penelitian yang tidak

    mengadakan perhitungan.

    b. Analisis data kuantitatif adalah penelitian yang menggambarkan

    keadaan gejala sosial apa adanya, tanpa melihat hubungan-

    hubungan yang ada.

    Dalam penelitian ini seluruh data penelitian yang telah

    dikumpulkan atau diperoleh, dianalisa secara kualitatif dengan cara

    menggambarkan masalah secara jelas dan mendalam. Jenis analisis

    yang akan peneliti gunakan dalam penelitian adalah metode

    deskriptif kualitatif yakni dengan menggambarkan keadaan yang

    sebenarnya terjadi dilapangan mengenai latar belakang ekonomi

    keluarga responden, sebab-sebab perceraian, serta bagaimana

    upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu agar ayah

    melaksanakan kewajiban memberi nafkah anak setelah perceraian.

  • 16

    H. Sistematika Penulisan

    Untuk memberikan gambaran umum yang lebih jelas mengenai

    penelitian ini, peneliti akan menyajikannya dalam sistematika penulisan

    penelitian sebagai berikut:

    Bab pertama adalah pendahuluan, yang meliputi tentang latar

    belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

    penegasan istilah, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, yang berisi

    tentang jenis penelitian, sumber data, pengumpulan data, teknis analisis

    data dan sistematika penulisan.

    Bab kedua adalah perceraian dan hak nafkah anak menurut fiqih

    dan hukum positif, yang meliputi tentang pengertian perceraian, rukun dan

    syarat talak, sebab-sebab perceraian, akibat hukum atas putusnya

    perkawinan, pengertian nafkah dan dasar hukumnya, batas usia pemberian

    nafkah anak menurut fiqih, dasar hukum nafkah anak menurut hukum

    positif, macam-macam nafkah, sebab-sebab yang mewajibkan nafkah,

    kadar pemberian nafkah, pentingnya nafkah terhadap kehidupan anak,

    pengertian anak menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

    perkawinan, pengertian anak menurut undang-undang nomor 35 tahun

    2014 tentang perlindungan anak, dan pengertian anak menurut Hukum

    Islam.

    Bab ketiga adalah gambaran umum desa Tengaran Kecamatan

    Tengaran sebagai lokasi penelitian, identitas keluarga yang bercerai,

    meliputi tentang profil keluarga, latar belakang ekonomi, sebab-sebab

  • 17

    perceraian, pola pemberian nafkah anak oleh ayah, upaya yang dilakukan

    ibu dan faktor penyebab tidak dilaksanakannya tanggung jawab ayah

    terhadap nafkah anak setelah perceraian.

    Bab keempat adalah analisis mengenai tanggung jawab ayah

    terhadap nafkah anak setelah perceraian menurut Hukum Islam dan

    Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan

    upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu.

    Bab Kelima adalah penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran.

  • 18

    BAB II

    PERCERAIAN DAN HAK NAFKAH ANAK MENURUT FIQIH DAN

    HUKUM POSITIF

    A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian

    1. Pengertian Perceraian (Thalaq) dan Dasar Hukumnya

    Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan

    dengan pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka

    bumi, sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk

    menjaga kekekalan keturunan mereka.

    Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batasan

    pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki

    tujuan-tujuan penting, Di antaranya adalah sebagai berikut:

    a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

    b. Suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan

    keturunan.

    c. Sebagai suatu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali

    persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki ( suami ) dengan kaum

    kerabat perempuan ( istri ) sehingga pertalian itu akan menjadi suatu

    jalan yang membawa satu kaum (golongan) untuk tolong menolong

    dengan kau yang lainnya (Rasjid, 2014:401).

    Apabila pergaulan kedua suami istri tidak dapat mencapai tujuan-

    tujuan tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan berpisahnya dua

  • 19

    keluarga. Karena tidak adanya kesepakatan antara suami istri, maka

    dengan keadilan Allah Subhanahu Wata‟ala, dibukakanNya suatu jalan

    keluar dari segala kesukaran itu yakni pintu perceraian.

    Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa yaitu

    “melepaskan atau meninggalkan”, dan menurut istilah yaitu melepas tali

    perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri (Ghazali, 2006:191-

    192). Dalam ilmu fiqih (Depag, 1985:226) kata “thalaq” dalam bahasa

    Arab berasal dari kata “Thalaqa-Yathlaqu-Thalaqan” yang artinya

    melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat kongrit

    seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat

    perkawinan. Disebutkan pula oleh Sayyid Sabiq (1980:7) mendefinisikan

    istilah thalak yakni melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya

    hubungan perkawinan.

    Agama Islam adalah agama yang sangat toleran dalam menentukan

    suatu agama yaitu berupa permasalahan dalam perkawinan. Pada dasarnya

    perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah

    seorang suami dan istri, inilah sebenarnya yang di keendaki oleh agama

    Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki

    putus perkawinan dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan,

    maka kemudhratan akan terjadi. Apalagi perselisihan suami istri itu

    menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya

    terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan

    ikhtiyar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi, maka thalaq

  • 20

    (perceraian) itulah jalan satu-satunya yang menjadi pemisah antara

    mereka. Berdasarkan hadits Nabi Shallallah Alaihi Wasallam yang

    berbunyi:

    ْ :ْ َْوَسلََّم َْعَلْيِو ْاهلُل َْصلَّى ْاهلِل َْرُسْوُل ْقَاَل َْقاَل: ُْعَمَر ْاْبِن ْاهللِْْاْلَْاَللِْْضُْبْ غَْأََْعِن ِْإََل .ْرواهْأبوْداودْوابنْماجو.الطَّاَلقُْ

    Artinya : Dari ibnu umar ia berkata bahwa Rasulullah Shallallah Alaihi

    Wasallam telah bersabda, “ sesuatu yang halal yang amat

    dibenci oleh Allah ialah thalaq.” ( riwayat Abu Dawud dan Ibn

    Majah )

    Berdasarkan hadis tersebut, menunjukkan bahwa perceraian

    merupakan alternative terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh

    suami-isteri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat

    dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternative terakhir

    dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan tehnik untuk mencari

    kedamaian diantara kedua belah pihak, baik melalui hakim dari kedua

    belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh

    Qur‟an dan hadis (Ali, 2006:73). Hadis ini juga menjadi dalil bahwa suami

    wajib selalu menjauhkan diri selalu dari menjatuhkan talak selagi masih

    ada jalan untuk menghindarkannya. Suami dibenarkan menjatuhkan talak

    jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk menghindarinya. Serta talak itulah

    satu-satunya jalan untuk terciptanya kemaslahatan.

    Menurut hukum asalnya thalaq atau perceraian itu makruh, namun

    melihat keadaan tertentu, maka hukum talak ada empat diantaranya :

  • 21

    a. Wajib yaitu Talak yang dijatuhkan oleh pihak hakim atau penengah

    karena perpecahan antara suami istri yang sudah berat.

    b. Haram yaitu dilakukan tanpa alasan, karena merugikan bagi suami dan

    istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang mau dicapai dengan

    perbuatan talaknya itu.

    c. Sunnah yaitu talak karena perpecahan antara suami istri yang sudah

    berat dan bila isteri keluar rumah dengan minta khulu‟ karena ingin

    terlepas dari bahaya (Sabiq, 1980:10).

    d. Mubah yakni boleh saja diakukan bila memang perlu terjadi perceraian

    dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu,

    sedangkan manfaatnya juga ada (Syarifuddin, 2003:127).

    Di dalam Al-qur‟an banyak ayat yang berbicara tentang masalah

    perceraian. Diantara ayat-ayat yang menjadi landasan hukum perceraian

    adalah firman Allah SWT:

    لْمَْفالَْْطَلََّقَهاْفَِإن َرهَُْْزْوجاًْْتَنِكحََْْحّتََّْْبَ ْعدُِْْمنْلَوَُْْتَِ ُْجنَاحََْْفالَْْطَلََّقَهاْفَِإنَْغي ْنُ َهاْالّلوُِْْحُدودَُْْوتِْلكَْْالّلوُِْْحُدودَْْيُِقيَماَْأنْظَنَّاِْإنْيَ تَ رَاَجَعاَْأنَْعَلْيِهَما ْلَِقْومٍْْيُ بَ ي ِّ

    ﴾ٖٕٓ﴿ْيَ ْعَلُمونَْArtinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang

    kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia

    kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain

    itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas

    suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya

    berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

    Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang

    (mau) mengetahui” (QS. Al Baqarah:230).

  • 22

    2. Rukun dan Syarat Talak (Perceraian)

    Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan

    terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.

    Rukun talak ada empat yaitu:

    a. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak

    menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh

    karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak

    tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan

    yang sah.

    b. Istri, masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap

    istrinya sendiri, tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap

    istri orang lain. Untuk sahnya talak, pada istri yang ditalak disyaratkan

    kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad

    perkawinan yang sah dan istri itu masih tetap berada dalam

    perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalani masa iddah talak

    raj‟i dari suaminya oleh hukum islam dipandang masih berada dalam

    perlindungan kekuasaan suami, karenanya bila dalam masa itu suami

    menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah

    jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki

    suami.

    c. Shighat Talak yaitu kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap

    istrinya yang menunjukkan talak, baik yang sarih (jelas) maupun yang

  • 23

    kinayah (sindiran), baik berupa ucapan, lisan, tulisan dan isyarat bagi

    suami tuna wicara.

    d. Qashdu (kesengajaan) artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang

    dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk

    maksud lain (Ghazaly, 2003: 201-204).

    Dalam ilmu fiqih (Depag, 1985: 235) untuk sahnya talak, suami yang

    menjatuhkan talak diisyaratkan:

    a. Berakal, suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Dimaksudkan

    dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit.

    b. Baligh, tidak dipandang jatuh, talak yang dinyatakan oleh orang yang

    belum dewasa.

    c. Atas kemauannya sendiri, dimaksudkan dengan atas kemauannya

    sendiri dalam hal ini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk

    menjatuhkan talak itu dan dilakukan atas pilihan sendiri, bukan karena

    dipaksa orang lain.

    3. Sebab-sebab Perceraian

    Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 disebutkan ada tiga hal

    yang menjadi sebab putusnya perkawinan diantaranya, kematian,

    perceraian dan atas putusan pengadilan.

    a. Kematian yakni jika salah seorang dari suami atau isteri meninggal

    dunia, atau suami-isteri itu bersama-sama meninngal dunia maka

    terputuslah perkawinan mereka (Depag, 1985:271).

  • 24

    b. Perceraian sebagaimana ketentuan dari Undang-undang Perkawinan

    pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan

    didepan sidang pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

    berhasil mendamaikan kedua belah pihak” (Undang-Undang No 1

    Tahun1974 pasal 39 ayat 1).

    c. Putusan pengadilan

    Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 39 dinyatakan

    bahwa :

    1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan

    setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

    mendamaikan kedua belah pihak.

    2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara

    suami isteri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.

    3) Tatacara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam

    peraturan perundang-undangan tersendiri (Ali, 2006: 74).

    Berkaitan dengan pasal diatas maka selanjutnya dijelaskan

    mengenai penyebab terjadinya perceraian yakni pada Putusan

    Presiden Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 dinyatakan perceraian dapat

    terjadi karena alasan-alasan berikut :

    1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat,

    penjudi dan lain sebagainya yang sukar di sembuhkan.

  • 25

    2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun

    berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

    karena hal lain diluar kemampuannya.

    3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau

    hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

    4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

    yang membahayakan pihak lain.

    5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

    akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

    6) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan

    pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah

    tangga (Muhammad, 1993:109-110).

    7) Salah satu pihak melanggar taklik talakyang dia ucapkan saat ijab

    kabul pernikahan.

    8) Salah satu pihak beralih agama atau murtad yang mengakibatkan

    ketidakharmonisan dalam keluarga dan tidak bisa hidup rukun

    (Manjorang, Aditya, 2015: 19).

    4. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan

    a. Bagi Pihak Mantan Istri

    Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan

    antara seorang suami dan istri dapat dilihat beberapa garis hukum,

    baik yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan maupun

    yang tertulis dalam KHI. Dan dapat dilihat pula mengenai tanggung

  • 26

    jawab orang tua dan hak-hak anak dalam Undang-undang Nomor 35

    Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

    Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan

    menjadi 5 (lima) karakteristik yaitu :

    1) Akibat Talak

    Pasal 149 KHI, bila perkawinan putus karena talak, maka

    bekas suami wajib :

    a) Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik

    berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla

    al-dukhul.

    b) Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan

    pakaian) kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali

    bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam

    keadaan tidak hamil.

    c) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan

    separuh apabila qobla al-dukhul.

    d) Memberi biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak

    yang belum mencapai umur 21 tahun.

    2) Akibat perceraian atau (cerai gugat)

    Cerai gugat yaitu seorang istri yang menggugat suaminya

    untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak

    pengadilan mengabulkan gugatan yang dimaksud sehingga

  • 27

    putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami)

    perkawinan (Ali, 2006:77).

    Pasal 156 KHI mengatur putusnya perkawinan sebagai

    akibat perceraian (cerai gugat) yaitu :

    a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah

    dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia,

    maka kedudukannya diganti oleh :

    (1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibunya

    (2) Ayah

    (3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah

    (4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

    (5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis

    samping dari ibu

    (6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis

    samping dari ayah

    b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk

    mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

    c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

    keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya

    nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan

    kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan

    hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak

    hadhanah pula.

  • 28

    d) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi

    tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-

    kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat

    mengurus diri sendiri (21 tahun).

    e) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan

    nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya

    berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).

    f) Pengadilan dapat pula dengan kemampuan ayahnya

    menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan

    pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

    3) Akibat Khuluk

    Perceraian yang terjadi akibat khulu‟ yaitu suatu ikatan

    perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan

    hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan.

    Selain itu khulu‟ adalah istri memisahkan diri dari suaminya

    dengan ganti rugi kepadanya (Sabiq, 1980:100).

    Hal ini berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi :

    “perceraian dengan jalan khulu‟ mengurangi jumlah talak dan

    tak dapat dirujuk”.

    4) Akibat Li‟an

    Perceraian yang terjadi sebagai akibat li‟an, yaitu ikatan

    perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya

    perkawinan yang dimaksud, anak yang dikandung oleh istri

  • 29

    dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li‟an. Pasal 162

    KHI yang berbunyi “ bilamana li‟an terjadi maka perkawinan

    ini putus selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan

    kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban

    memberi nafkah”.

    5) Akibat ditinggal mati suaminya

    Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 157 KHI yang berbunyi

    “harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut

    dalam pasal 96 dan 97.

    Pasal 96 KHI

    a) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama

    menjadi hak pasangan yang hidup lama.

    b) Pembagian harta bersama bersama bagi seorang suami atau

    istri yang istri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan

    sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya

    secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

    Pasal 97 KHI

    “ Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta

    bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian

    perkawinan”.

    Pasal 41 UUP membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh

    perceraian. Adapun bunyi pasal sebagai berikut :

  • 30

    a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan

    mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan

    anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak,

    pengadilan memberi keputusannya.

    b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan

    dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak

    dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,

    pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya

    tersebut.

    c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

    memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu

    kewajiban bagi bekas istri.

    Selain kewajiban nafkah oleh suami dan seorang istri yang

    telah diceraipun mempunyai kewajiban menjalani masa iddah

    atau masa tunggu sebagai akibat dari perceraian tersebut.

    Dimana hal tersebut telah dijelaskan dalam firman Allah surat

    Al Baqarah ayat 228 :

    ﴾٨ٕٕ﴿ْ…ْقُ ُرَوءٍَْْثالَثَةَْْبِأَنُفِسِهنَّْْيَ تَ َربَّْصنََْْواْلُمطَلََّقاتُْArtinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri

    (menunggu) tiga kali quru‟ “ (Sabiq, 1980:151).

    Adapun masa-masa iddah adalah :

    a) Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli

    oleh suaminya dalam masa itu, iddahnya adalah 4 bulan 10

    hari.

  • 31

    Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah ayat

    234:

    ْأَْربَ َعَةْ ْبِأَنُفِسِهنَّ ْيَ تَ َربَّْصَن ْأَْزَواجًا َْوَيَذُروَن ِْمنُكْم ْيُ تَ َوف َّْوَن َوالَِّذيَنَْوعَْ ِْفَْأْشُهٍر ْفَ َعْلَن ِْفيَما َْعَلْيُكْم ُْجَناَح َْفاَل َْأَجَلُهنَّ ْبَ َلْغَن ْفَِإَذا ْشرًا

    ْبِاْلَمْعُروِفَْوالّلُوِْبَاْتَ ْعَمُلوَنَْخِبرٌيْ﴿ ﴾ٖٕٗأَنُفِسِهنَّArtinya : "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu

    dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah

    para isteri itu) menangguhkan dirinya

    (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian

    apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa

    bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat

    terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah

    mengetahui apa yang kamu perbuat”.

    b) Istri yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak

    menjalani masa iddah. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat

    Al-Ahzab ayat 49:

    ِْمنْ ْطَلَّْقُتُموُىنَّ ُُْثَّ ْاْلُمْؤِمَناِت َْنَكْحُتُم ِْإَذا ْآَمُنوا ْالَِّذيَن ْأَي مَها يَاْ ُعوُىنَّ َْفَمت ِّ ونَ َها ْتَ ْعَتدم ٍة ِْعدَّ ِْمْن َْلُكْمَْعَلْيِهنَّ َْفَما وُىنَّ ََْتَسم َْأن قَ ْبِل

    يالًْ﴿ َْسرَاحاًَْجَِ ﴾٩َٗوَسرُِّحوُىنَّArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu

    menikahi perempuan-perempuan yang

    beriman, kemudian kamu ceraikan mereka

    sebelum kamu mencampurinya maka sekali-

    kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu

    yang kamu minta menyempurnakannya, Maka

    berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah

    mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.

    Adapun perempuan yang kematian suami yang

    belum sempat digauli oleh suaminya yang berlaku

    baginya adalah beriddah 4 bulan 10 hari. Alasannya ialah

  • 32

    bahwa kewajiban beriddah disini bukan untuk

    mengetahui kebersihan rahimnya, dari bibit bekas

    suaminya, tetapi sebagai penghormatan terhadap

    suaminya yang meninggal itu.

    c) Istri yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh

    suaminya sedangkan ia masih dalam haid, maka

    iddahnya adalah selama tiga quru‟, sebagaimana firman

    Allah dalam urat al-Baqarah ayat 228 :

    ﴾٨ٕٕ﴿ْ…ْقُ ُرَوءٍَْْثالَثَةَْْبِأَنُفِسِهنَّْْيَ تَ َربَّْصنََْْواْلُمطَلََّقاتُْ Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah

    menahan diri (menunggu) tiga kali quru‟ “.

    Yang dimaksud dengan tiga quru‟ dalam ayat ini

    menurut jumhur ulama adalah tiga kali suci; sedangkan

    bagi ulama Hanafiyah tiga quru‟ itu berarti tiga kali masa

    haid. Di antara dua masa tersebut di atas tiga kali haid

    lebih panjang daripada tiga kali suci.

    d) Istri yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah

    digauli suaminya, dan tidak lagi dalam masa haid atau

    tidak berhaid sama sekali, maka masa iddahnya adalah

    selama tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah

    SWT dalam surat At-Thalaq ayat 4 yakni:

  • 33

    ْ تُ ُهنَّ َْفِعدَّ ْاْرتَ ْبُتْم ِْإِن ْنَِّساِئُكْم ِْمن ْاْلَمِحيِض ِْمَن ْيَِئْسَن ِئي َوالالََّْأنْ َْأَجُلُهنَّ ْاْْلَْْحَاِل َْوأُْوَلُت َْيَِْضَن َْلَْ ِئي َْوالالَّ َْأْشُهٍر َثاَلثَُة

    َْوَمنْيَ تَِّقْاللََّوََْيَْعلْلَُّوِْمْنْأَْمرِِهُْيْسراًْ﴿ ﴾َٗيَضْعَنَْْحَْلُهنَّArtinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid

    lagi (monopause) di antara perempuan-

    perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang

    masa iddahnya) maka iddah mereka adalah

    tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-

    perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-

    perempuan yang hamil, waktu iddah mereka

    itu ialah sampai mereka melahirkan

    kandungannya. Dan barangsiapa yang

    bertakwa kepada Allah niscaya Allah

    menjadikan baginya kemudahan dalam

    urusannya”.

    e) Istri-istri yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan

    hamil iddahnya adalah melahirkan anaknya. Ketentuan ini

    ditetapkan Allah SWT dalam surat At Thalaq ayat 4:

    َْأنَْيَضْعَنَْْحَْلُهنَّْ ْ....َْوأُْوَلُتْاْْلَْْحَاِلَْأَجُلُهنَّArtinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu

    iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan

    kandungannya....”

    Adapun perempuan hamil yang kematian suami, menurut

    jumhur ulama iddahnya adalah melahirkan anaknya,

    meskipun masanya belum empat bulan sepuluh hari, dalam

    arti yang berlaku baginya adalah iddah hamil. Sedangkan

    menurut ulama lain, diantaranya Ali bin Abi Thalib, iddah

    perempuan hamil yang kematian suami adalah masa yang

    terpanjang antara empat bulan sepuluh hari dengan

    melahirkan anak. Bila anak lahir sebelum empat bulan

  • 34

    sepuluh hari maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh

    hari,namun bila setelah 4 bulan sepuluh hari anaknya belum

    lahir juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak

    (Syarifuddin, 2003: 142-144).

    Perempuan yang menjalani masa iddah ada dua macam :

    a) Iddah raj‟iyah ialah iddah dari perceraian dimana istri

    masih dinikahi (ruju‟) lagi oleh bekas suaminya.

    b) Iddah ba‟in ialah iddah dari perceraian dimana istri tidak

    boleh lagi dinikahi (ruju‟) oleh bekas suaminya (sebelum

    dinikahi oleh lelaki lain). (Rifa‟I, Zuhri, Salomo, 1978:

    337).

    Istri yang telah bercerai dari suaminya masih

    mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama

    berada dalam masa iddah, karena dalam masa itu dia tidak

    boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain,

    namun hak itu tidaklah sempurna sebagaimana yang

    berlaku semasa dalam hubungan perkawinan. Bentuk hak

    yang diterima tidak tergantung pada lama masa iddah yang

    dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian yang

    dialaminya (Syarifuddin, 2003: 144).

    Adapun hak-hak mereka itu adalah sebagai berikut:

    a) Perempuan yang ta‟at dalam iddah raj‟iyah berhak

    menerima tempat tinggal (rumah), pakaian, dan segala

  • 35

    keperluan hidupnya, dari yang menalaknya (bekas

    suaminya); kecuali istri yang durhaka, tidak berhak

    menerima apa-apa. Rasulullah bersabda :

    ْ ْقَ ْيٍس: ْبِْنِت ْفَاِطَمَة ْاهللُْلَّصَْْاهللِْْلُْوْْسُْرَْْالَْقََْعْن اْلََْْمَْلَّسَْوَْْوِْْيْلَْعَْْىْكَْذَِْإْْةِْأَْرْْمَْلْْْلَِْنْكْْالسْموَْْةُْقَْفَْاْالن َّّْنََّْ:ْإِْ .ْرواهْةُْعَْجْْاْالرَّهَْي ْْلَْاْعَْهَْجِْْوْزَِْلْْانَْا

    ْأْحدْوالنساءArtinya: dari Fatimah binti Qois, “ Rasulullah telah

    bersabda kepadanya : “Perempuan yang

    berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman

    dari bekas suaminya itu apabila bekas

    suaminya itu berhak ruju‟ kepadanya”.

    (Riwayat Ahmad dan Nasa‟i)

    b) Perempuan yang dalam iddah bain, kalau ia mengandung,

    ia berhak juga atas kediaman, nafkah, dan pakaian. Allah

    berfirman:

    ْوَْ َْيَضْعَنَْْحَْلُهنَّ َْحّتَّ ْأُوَلِتَْْحٍْلَْفأَنِفُقواَْعَلْيِهنَّ ُْكنَّ ْ﴾٦﴿...ِإنArtinya: “Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah

    ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah

    kepada mereka nafkahnya hingga mereka

    bersalin, ... ” (At-Talaq: 6) c) Perempuan dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain

    dengan talak tebus maupun dengan talak tiga, hanya

    berhak mendapatkan tempat tinggal, tidak yang lainnya.

    Allah berfirman:

    نُْوْجدُِكْمْ ِْمْنَْحْيُثَْسَكنُتمْمِّ ﴾٦﴿...َأْسِكُنوُىنَّArtinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana

    kamu bertempat tinggal menurut

    kemampuanmu …”(At-Talaq: 6)

  • 36

    Sebagian ulama berpendapat bahwa bain yang tidak

    hamil, tidak berhak mendapatkan nafkah dan tidak pula

    tempat tinggal. Rasulullah bersabda:

    َْعنِْ ْقَ ْيٍس ْبِْنِت ْفَاِطَمَة َْْعْن ْاهللُْلَّصَْالنَِّبِّ ِفْْمَْلَّسَْوَْْوِْْيْلَْعَْْىْمسلمرواهْأْحدْْوُسْكَنَْوَلْنَ َفَقٌة.ْْالََْاْلُمطَلََّقِةَْثاَلثًاْقَاَلْلَْيَسْ

    Artinya: “Dari Fatimah binti Qois, dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, mengenai perempuan yang

    ditalak tiga. Sabda Rasulullah: “ia tidak berhak

    atas tempat tinggal dan tidak pula atas

    nafkah”.(Riwayat Ahmad dan Muslim)

    Adapun Firman Allah dalam surat At-Talaq ayat 6

    tersebut di atas, menurut mereka hanya berlaku untuk

    perempuan yang dalam iddah raj‟iyah.

    d) Perempuan yang dalam iddah wafat mereka tidak

    mempunyai hak sama sekali meskipundia mengandung,

    karena dia dan anak yang berada dalam kandungannya

    telah mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal

    itu (Rasjid, 2014: 416-417).

    b. Bagi Pihak Anak

    Disebutkan pula dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014

    tentang Perlindungan Anak dijelaskan dalam bab 1 mengenai hak

    anak, kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak

    diantaranya:

  • 37

    Hak Anak

    Pasal 6

    Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

    berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam

    bimbingan orang tua.

    Pasal 7

    1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan,

    dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

    2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin

    tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka

    anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau

    anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku.

    Pasal 13

    1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, atau pihak lain

    mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak

    mendapat perlindungan dari perlakuan:

    a) Diskriminasi

    b) Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.

    c) Penelantaran

    d) Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.

    e) Ketidakadilan, dan

    f) Perlakuan salah lainnya.

    2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala

    bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka

    pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

    Pasal 14

    Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali

    ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa

    pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan

    merupakan pertimbangan terakhir.

    Kewajiban dan Tanggung Jawab

    Pasal 20

    Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua

    berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelanggaraan

    perlindungan anak.

  • 38

    Pasal 26

    1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk ;

    a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi,

    b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,

    dan minatnya, dan

    c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

    2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya,

    atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan

    tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada

    keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku.

    Pendidikan

    Pasal 49

    Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan

    kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh

    pendidikan.

    Ketentuan Pidana

    Pasal 77

    Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:

    1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami

    kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi

    sosialnya, atau

    2) penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami

    sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,

    3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

    dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta

    rupiah).

    B. Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih Dan Hukum Positif

    1. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya

    Kata nafkah berasal dari kata an nafaqoh yang artinya pengeluaran,

    yaitu pengeluaran yang biasanya digunakan oleh seseorang untuk orang-

    orang yang menjadi tanggung jawabnya (Depag, 2008:112). Yang

  • 39

    dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang

    berlaku menurut keadaan dan tempat seperti makanan, pakaian, dan

    rumah dan sebagainya (Rasjid, 2014: 421). Nafkah juga merupakan hak

    istri terhadap suami sebagai akibat telah terjadinya akad nikah yang sah

    (Depag, 1985:184).

    Keharusan nafkah dari mantan suami tak hanya sewaktu dia masih

    menjalin hubungan dengan mantan istrinya, akan tetapi terhadap anak-

    anak dari mantan istrinya itu, mantan suamipun wajib memberi nafkah,

    bahkan saaat perceraian. Apalagi terhadap nafkah anak dan kesejahteraan

    ibunya merupakan tanggung jawab seorang ayah, meskipun terjadi

    perceraian jangan sampai mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu dan

    anaknya sesuai keadaanya. Seperti yang dijelaskan dalam surat Al-

    Baqarah ayat 233 :

    َْلوُْْاْلَمْوُلودَِْْوعَلىْالرََّضاَعةَْْيُِتمََّْْأنْأَرَادَِْْلَمنَْْْكاِمَلْْيَِْْحْوَلْْيِْْأَْوَلَدُىنَّْْيُ ْرِضْعنََْْواْلَواِلَداتُِْْبَوَلِدَىاَْواِلَدةٌُْْتَضآرَّْْلَُْْوْسَعَهاِْإلَّْنَ ْفسٌُْْتَكلَّفُْْلَْْبِاْلَمْعُروفِْْوَِكْسَوتُ ُهنَّْْرِْزقُ ُهنَّْ

    ُهَماْتَ رَاضٍَْْعنِْفَصالًْْأَرَاَداْفَِإنَْْْذِلكَِْْمْثلُْْاْلَواِرثَِْْوَعَلىِْبَوَلِدهِْْلَّوُُْْلودٌَْموَْْْولَْ ن ْ ْمَِّْعَلْيُكمُْْْجَناحََْْفالَْْأَْوَلدَُكمَْْْتْستَ ْرِضُعواَْْْأنْأََردُّتمَْْْوِإنَْْْعَلْيِهَماُْجَناحََْْفالََْْوَتَشاُورٍْ

    َْبِصريٌْْتَ ْعَمُلونَِْْبَاْالّلوََْْأنََّْْواْعَلُمواْْْالّلوََْْوات َُّقواْْْْعُروفِْبِاْلمَْْآتَ ْيُتمْمَّاَْسلَّْمُتمِْإَذا﴿ٕٖٖ﴾:

    Artinya:“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua

    tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan

    penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian

    kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani

    melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang

    ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah

    karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila

    keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan

    keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas

  • 40

    keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang

    lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan

    pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada

    Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang

    kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah :233).

    Menurut pendapat setengah ahli tafsir, ibu-ibu yang dimaksud ialah

    perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan mengandung

    (Zaeroddin, 2012:30). Dapat diartikan pula bahwa kewajiban nafkah

    pada mantan istri yang telah mempunyai anak, adalah satu kesatuan yaitu

    nafkah istri dan pemeliharaan anak. Begitu juga M. Quraish Shihab

    dalam Tafsir Al Misbah berpendapat atas ayat yang artinya merupakan

    kewajiban ayah, yaitu atas apa yang dilahirkan untuknya (anak), yakni

    memberi makan dan pakaian kepada para ibu kalau ibu anak-anak yang

    disusukan itu telah diceraikan secara ba‟in bukan raj‟i. Adapun jika

    masih berstatus istri walau ditalak raj‟i, maka kewajiban memberi makan

    dan pakaian adalah kewajiban atas dasar hubungan suami istri

    (Zaeroddin, 2012:18).

    Islam sebagai agama yang praktis, tidak memaksakan beban yang

    berlebihan kepada salah satu pihak. Tetapi mereka harus melakukan

    yang terbaik untuk kepentingan anak sesuai dengan kemampuan mereka.

    Apabila mereka bertindak dengan tulus, maka Allah akan memberi solusi

    untuk mengatasi masalah biaya pemeliharaan anak, seperti yang

    dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat At-Thalaq ayat 6 yakni :

  • 41

    نَْسَكنُتمَْحْيثُْْنْْمَِْْأْسِكُنوُىنَّْ ُقواُْتَضارموُىنََّْْوَلُْْوْجدُِكمْْْمِّ ُْكنََّْْوِإنَْعَلْيِهنَّْْلُِتَضي َِّْفآُتوُىنََّْْلُكمْْْأَْرَضْعنَْْفَِإنَْْْْحَْلُهنََّْْيَضْعنََْْحّتََّْْعَلْيِهنََّْْفأَنِفُقواَْْحْلٍْْأُوَلتِْ

    َنُكمَْوْأَتَُِرواُْأُجوَرُىنَّْ :﴾٦ْ﴿ُْأْخَرىْلَوَُْْفَستُ ْرِضعُْْاَسْرُّتُْْتَ عََْْوِإنِْبَْعُروفٍْْبَ ي ْArtinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat

    tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu

    menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan

    jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,

    maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka

    bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu

    untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan

    musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan

    baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain

    boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (Q.S At-Thalaq:6).

    Ayat diatas mempertegas hak-hak wanita itu memperoleh tempat

    tinggal yang layak. Ini perlu dalam rangka mewujudkan yang ma‟ruf,

    sekaligus memelihara hubungan agar tidak semakin keruh dengan

    perceraian itu. Ayat diatas menyatakan, tempatkanlah mereka para istri

    yang dicerai itu dimana kamu wahai yang menceraikannya bertempat

    tinggal. Kalau dahulu kamu mampu tinggal di tempat yang mewah

    sedangkan sekarang penghasilan menurun atau sebaliknya maka

    tempatkanlah mereka menurut atau sesuai dengan kemampuan kamu

    sekarang, dan janganlah sekali-kali kamu menyusahkan mereka dalam

    hal tempat tinggal atau selainnya dengan tujuan untuk menyempitkan hati

    dan keadaan mereka sehingga mereka terpaksa keluar atau minta keluar

    (Zaeroddin, 2012:20).

    Ibnu Taimiyah berkata, “ Nash menyebutkan anak ini agar menjadi

    peringatan, bahwa ketika anak masih berada di kandungan dan masih

    dalam susuan, maka nafkahnya wajib diberikan kepada ibu yang

  • 42

    mengandung dan menyusuinya, karena tidak mungkin menafkahi anak

    dengan kondisi demikian kecuali dengan cara tersebut. Apalagi ketika

    anak tersebut telah lepas dari pengasuhan ibunya, tentu menafkahinya

    jauh lebih ditekankan dan diprioritaskan (Ibrahim, 2005:231-232). Dan

    dijelaskan dalam surat At-Talaq ayat 7 yang berbunyi:

    نَْسَعةٍُْْذوْلِيُنِفقْْ ْاللَّوُُْْيَكلِّفَُْْلْْاللَّوُْْآتَاهُِْْمَّاْفَ ْليُنِفقْْْرِْزقُوَُْْعَلْيوُِْْقِدرََْْوَمنَْسَعِتوِْْمِّ ﴾٧﴿ُْيْسراًُْْعْسرٍْْبَ ْعدَْْاللَّوَُْْسَيْجَعلُْْآتَاَىاَْماِْإلَّْْنَ ْفساًْ

    Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

    kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya

    hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah

    kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang

    melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah

    kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Qs.

    At Thalaq:7)”.

    M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat diatas menjelaskan

    prisip umum mencakup prinsip umum dan sebagainya sekaligus

    menengahi kedua pihak dengan menyatakan bahwa, Hendaklah yang

    lapang yakni mampu dan memiliki banyak rezeki memberi nafkah

    untuk istri dan anak-anaknya sebatas kemampuan suami dan dengan

    demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu

    memiliki pula kelapangan dan keluasan berbelanja dan siapa yang

    disempitkan rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah

    ia memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya.

    Dalam jumlah nafkah M. Quraish Shihab mengatakan tidak ada

    ketentuan yang pasti melainkan melihat kondisi masing-masing dan

    adat kebiasaan yang berlaku pada satu masyarakat dengan masyarakat

  • 43

    lain serta waktu dan waktu yang lain. Pendapat ini juga dikemukakan

    oleh Imam Malik dan Abu Hanifah (Zaerodin, 2012:22). Adapun Dasar

    Hukum Nafkah Anak dari Al Hadist, Rosululllah SAW bersabda:

    خذْيْماْْيعفيكْوولدْاْكْباْملعرْوْفْ)متفقْعليو(Artinya: “Ambilah hartanya yang cukup buatmu dan anak-anakmu

    dengan cara yang makruf” (HR. Muttafaqun Alaih) (Depag

    1985: 195).

    لكْقوْتوْ)رواهْمسلمْواْلنساءْيْوابوْكفيْباْمرْءْامشاْاْنَْيبسْعمنْمي دْاْوْد(ْ

    Artinya: “Cukup besar dosa seseorang bila ia menahan nafkah

    terhadap orang yang ia miliki (Riwayat Muslim, Nasa‟i dan

    Abu Daud) (Nashif, 1993: 107).

    2. Batas Usia Pemberian Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih

    Batas usia pemberian hak nafkah anak menurut fiqih, kewajiban itu

    gugur jika anak mencapai usia dewasa, dewasa menurut hukum islam

    adalah sudah baligh (kira-kira seseorang itu berusia 14 tahun).

    Sedangkan dewasa menurut negara dan KHI adalah 21 tahun. Jika anak

    yang sudah dewasa itu miskin dan secara fisik sehat, sebagian besar

    ulama berpendapat tidak wajib memberi nafkah karena anak dianggap

    mampu untuk bekerja sendiri.

    Namun ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya, kewajiban

    menafkahi anak tetap pada bapak, menurut Ibnu Taimiyah apabila anak

    yang miskin tadi secara fisik lemah atau cacat, maka kewajiban

    membiayai ada pada bapak. Lain halnya dengan anak perempuan,

    sebagian besar ulama fiqih berpendapat, wajib bagi seorang bapak

  • 44

    memberi nafkah pada anak perempuan hingga anak perempuannya

    menikah. Hal ini dikarenakan anak perempuan tidak mampu bekerja, atau

    kalaupun mampu bekerja diluar akan cenderung berakibat pada

    kemudaratan atau berdampak negatif.

    3. Dasar Hukum Nafkah Anak menurut Hukum Positif

    a. Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41 1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan

    mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan

    anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak,

    pengadilan memberi keputusannya.

    2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam

    kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan

    dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

    3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu

    kewajiban bagi bekas istri.

    b. Kompilasi Hukum Islam Pasal 149

    Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :

    1) Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-

    dukhul.

    2) Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah

    dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

    3) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qobla al-dukhul.

    4) Memberi biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.

    Pasal 105

    Dalam hal terjadinya perceraian,

    1) Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

    2) Pemelharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

    pemeliharaannya.

    3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. c. UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak

    Pasal 26

    1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk ;

  • 45

    a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi, b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,

    dan minatnya, dan

    c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. 2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui

    keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan

    kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung

    jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada

    keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku.

    4. Macam-macam nafkah

    a. Makanan yang sesuai dengan kondisi daerah, baik isterinya

    muslimah atau dzimi, baik hamba maupun merdeka. Allah

    berfirman:

    نْسَْ َعِتِوَْوَمنُْقِدَرَْعَلْيِوْرِْزقُُوْفَ ْليُنِفْقِْمَّاْآتَاُهْاللَُّوَْلْلِيُنِفْقُْذوَْسَعٍةْمَِّْماْآتَاَىاَْسَيْجَعُلْاللَُّوْبَ ْعَدُْعْسٍرُْيْسراًْ﴿ ﴾٧ُيَكلُِّفْاللَُّوْنَ ْفساًِْإلَّ

    Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah

    menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan

    rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang

    diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan

    beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang

    Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan

    memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Qs. At

    Thalaq:7)”.

    Memberi makan dengan baik, artinya dengan cara-cara yang

    halal, usaha yang halal.

    b. Pakaian yakni segala sesuatu yang bisa menutupi tubuh

    c. Nafkah ibadah seperti, diizinkan pergi berhaji, puasa wajib dan lain-

    lain (Rifa‟i, Zuhri, Salomo, 1978:349).

  • 46

    5. Sebab-sebab yang mewajibkan nafkah

    a. Sebab keturunan. Yang dimaksud ialah orang tua menjadi asal adanya

    anak/keturunan maka orang tua wajib memberikan nafkah anaknya.

    Syarat wajibnya nafkah atas kedua ibu-bapak kepada anak iala