skripsie-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2783/1/wulandari.pdf · 2018. 3. 13. · wulandari...
TRANSCRIPT
-
i
TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP NAFKAH ANAK
SETELAH PERCERAIAN DALAM TINJAUAN HUKUM
ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
(Studi Kasus di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran)
SKRIPSI
Disusun guna Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
WULANDARI
NIM. 211-12-013
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
-
ii
Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si
Dosen IAIN Salatiga
PENGESAHAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi,
maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Wulandari
NIM : 211-12-013
Judul : “TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP NAFKAH
ANAK SETELAH PERCERAIAN DALAM TINJAUAN
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35
TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”
(Studi Kasus Di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 02 Februari 2017
Pembimbing,
Heni Satar Nurhaida SH., M.Si
NIP.197011271999032001
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
Jl. Nakula Sadewa V No. 9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433
Website:www.iainsalatiga.ac.id Email:[email protected]
http://www.iainsalatiga.ac.id/mailto:[email protected]
-
iii
PENGESAHAN
Skripsi
“TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP NAFKAH ANAK SETELAH
PERCERAIAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN
ANAK” (Studi Kasus di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran)
Oleh:
WULANDARI
NIM. 211-12-013
Telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Senin, tanggal 27 Februari
2017, dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H).
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang : Drs. Machfudz, M.Ag
Sekretaris Sidang : Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si
Penguji I : Sukron Makmun, S.HI., M.Si
Penguji II : Luthfiana Zahriani S.H., M.H
Salatiga, 02 Februari 2017
Dekan Fakultas Syari‟ah
IAIN Salatiga,
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
NIP. 196701151998032002
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
Jl. Nakula Sadewa V No. 9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433
Website:www.iainsalatiga.ac.id Email:[email protected]
http://www.iainsalatiga.ac.id/mailto:[email protected]
-
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Wulandari
Nomor Induk Mahasiswa : 211-12-013
Fakultas : Syari‟ah
Jurusan : Ahwal Al Syakhsiyyah(AHS)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari hasil karya tulis orang lain. Pendapat dan temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 02 Februari 2017
Penulis,
Wulandari
NIM. 211-12-013
-
v
MOTTO
“Hidup itu bukan masalah siapa yang terbaik, tapi hidup itu
siapa yang bisa berbuat baik.”
-
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah „ala kulli hal. Atas limpahan kasih sayang Sang Maha
Rahmaan dan Rahiim yang telah mengantarkan penulis pada kesempatan istimewa
ini. Penulis persembahkan karya kecil ini sebagai kado bukti keseriusan kepada
orang-orang terkasih yang Allah titipkan untuk mendampingi hingga penghujung
awal perjuangan.
1. Terimakasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, orang pertama yang selalu
memotivasi dan mendoakanku. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan
untuk kalian.
2. Adik kandungku, Diyah Ariyati dan Bayu Aji, yang senantiasa menjadi
saudara seperjuangan.
3. Terimaksih juga kepada Muhammad Mustaqim, orang terdekat yang
senantiasa mengarahkan kebaikan dan memudahkan dalam pengerjaan tugas
akhir ini sehingga semuanya dapat terseleseikan.
4. Teman-teman halaqah, Ustadzah Tsam, Dita, Insani, Kanti, Nanda yang
memberikan pencerahan di setiap waktu.
5. Teman-teman Al Kahfi yang senantiasa menjadi sahabat sholihah.
-
vii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut asmaa Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Puji syukur hanya layak dan pantas dipersembahkan kepada Sang
Pemilik Keagungan, Allah swt. Atas takdirNyalah, dijadikannya manusia sebagai
“akhsani taqwiim”, yang senantiasa berfikir, berilmu dan beriman.
Lantunan shalawat serta salam terhaturkan kepada Nabi penyempurna
akhlak manusia, Nabi penyampai mau‟idzah khasanah, Dialah Nabi Muhammad
salallahu „alaihi wa salam. Atas wahyu yang Ia sampaikan kepada umatnya, telah
mengantarkan manusia pada ketaqwaan kepada Allah swt.
Skripsi ini terselesaikan bukan atas jerih payah penulis sendiri, melainkan
atas bantuan dan kebaikan dari orang-orang hebat. Maka dari itu, atas bimbingan
dan arahannya, penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga.
3. Bapak Sukron Makmun, S.HI., M.Si selaku Ketua Jurusan Ahwal Al
Syakhsiyyah IAIN Salatiga.
4. Ibu Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah mencurahkan pikiran, tenaga, dan waktunya dalam upaya membimbing
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Yahya, S.Ag., M.H.I, selaku dosen pembimbing akademik.
6. Bapak/Ibu dosen IAIN Salatiga, yang telah mendidik, mengarahkan dan
memotivasi dari awal hingga akhir perkuliahan.
-
viii
7. Segenap civitas akademika IAIN Salatiga, dan seluruh pihak yang telah
membantu hingga skipsi ini selesai.
8. Para responden di desa Tengaran, Kecamatan Tengaran yang senantiasa
memudahkan dalam penyelesaian tugas akhir ini.
9. Teman-teman AHS semuanya Angkatan 2012, kebersamaan dengan kalian
telah menciptakan canda, tawa, tangis, bahagia, dan sejuta pengalaman yang
terukir dalam bingkai kenangan manis yang teramat indah untuk dilupakan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Saran dan kritik konstruktif sangat
diperlukan dalam kesempurnaan skripsi ini. Jazaakumullah akhsanal jazaa‟.
Salatiga, 02 Februari 2017
Penulis,
Wulandari
NIM. 211-12-013
-
ix
ABSTRAK
Wulandari, 211-12-013. ”Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak
Setelah Perceraian Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”
(Studi Kasus di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran). Jurusan
Ahwal Al Syakhsiyyah (AHS), Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Heni Satar
Nurhaida S.H., M.Si
Kata Kunci: Nafkah, Anak, Perceraian
Tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya merupakan suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh semua orang tua. Anak berhak
mendapatkan segala kepentingannya untuk menunjang tumbuh
kembangnya, berhak atas pemenuhan kebutuhan, sandang, pangan, dan
papan secara wajar. Putusnya perkawinan antara suami dan istri tidaklah
menggugurkan segala kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap
anaknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Apakah tanggung
jawab ayah terhadap nafkah anak setelah perceraian di desa Tengaran,
Kecamatan Tengaran, menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor
35 tahun 2014 tentang perlindungan anak? Upaya hukum apa yang dapat
ditempuh oleh ibu agar (ayah) melaksanakan tanggung jawabnya dalam
memberi nafkah kepada anaknya setelah terjadinya perceraian di desa
Tengaran, Kecamatan Tengaran?. Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian field research dimana penelitian ini dilakukan dengan terjun
langsung ke lapangan guna memperoleh data sebanyak dan seakurat
mungkin dari para responden yang diteliti.
Adapun hasil analisis dari penelitian diperoleh kesimpulan,
Pertama, tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak yang diberikan secara
berbelit-belit dan kurang sepenuhnya dilaksanakan, bertentangan dengan
surat At Thalaq ayat 7, hendaknya nafkah itu diberikan sesuai dengan
kemampuan suami, dengan hati yang ikhlas dan tidak berbelit-belit. Kedua,
tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak yang tidak pernah dilaksanakan,
hal ini bertentangan dengan surat Al-Baqarah ayat 233, ayat ini menjelaskan
bahwa ayah yang bertanggung jawab atas kewajibannya memberikan nafkah
kepada anaknya. Dan itu sesuai dengan kesanggupannya. Menurut Undang-
undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak di dalamnya
mencantumkan ketentuan pidana dan sangsi hukum bagi seseorang yang
melakukan penelantaran terhadap anak.
Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu, belum ada upaya hukum
dari pihak ibu untuk menuntut nafkah anak, hal ini disebabkan karena
minimnya pengetahuan tentang hukum itu sendiri. Pihak ibu hanya
melakukan upaya-upaya non hukum seperti, pertama, mengantarkan dan
menyuruh anak memintanya secara langsung kepada ayahnya. Kedua,
dengan menelpon dan memintanya secara langsung kepada mantan suami
(ayah).
-
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................... i
Pengesahan Pembimbing ............................................................................... ii
Lembar Pengesahan ....................................................................................... iii
Pernyataan Keaslian Tulisan ........................................................................ iv
Motto ............................................................................................................... v
Persembahan .................................................................................................. vi
Kata Pengantar .............................................................................................. vii
Abstrak ............................................................................................................ ix
Daftar isi .......................................................................................................... x
Daftar Lampiran ............................................................................................ xiii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 8
E. Penegasan Istilah ........................................................................................ 9
F. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 10
G. Metode Penelitian ........................................................................................ 12
H. Sistematika Penulisan .................................................................................. 16
BAB II Perceraian Dan Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih Dan Hukum
Positif
A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian ........................................................... 18
1. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya ......................................... 18
-
xi
2. Rukun dan Syarat Thalaq ....................................................................... 22
3. Sebab-sebab Perceraian .......................................................................... 23
4. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan............................................. 25
B. Hak Nafkah Anak menurut Fiqih dan Hukum Positif ................................. 38
1. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya............................................... 38
2. Batas Usia Pemberian Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih ....................... 43
3. Dasar Hukum Nafkah menurut Hukum Positif ...................................... 44
4. Macam-macam Nafkah ........................................................................... 45
5. Sebab-sebab yang mewajibkan Nafkah .................................................. 46
6. Kadar Pemberian Nafkah ........................................................................ 46
7. Pentingnya Nafkah Terhadap Kehidupan Anak ..................................... 48
C. Hakikat Anak ............................................................................................... 50
1. Pengertian Anak Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan ................................................................................. 50
2. Pengertian Anak Menurut Undang-undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perlindungan Anak..................................................................... 51
3. Pengertian Anak Menurut Hukum Islam ................................................ 52
BAB III Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak Setelah
Perceraian Di Desa Tengaran Kecamatan Tengaran
A. Gambaran Umum Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran ........................... 55
1. Kondisi Geografis ................................................................................... 55
2. Keadaan Demografis .............................................................................. 56
3. Kondisi Sosial ......................................................................................... 61
-
xii
4. Kondisi Ekonomi .................................................................................... 62
B. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak di desa Tengaran,
Kecamatan Tengaran ................................................................................... 62
BAB IV Analisis Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak Mengenai Tanggung Jawab Ayah
Terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian
A. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian
menurut hukum Islam ................................................................................ 85
B. Upaya Hukum yang dapat ditempuh oleh Ibu agar orang tua laki-laki
(ayah) melaksanakan kewajibannya dalam memberikan nafkah anak
setelah perceraian ....................................................................................... 90
BAB V Penutup
A. Kesimpulan .................................................................................................. 94
B. Saran ........................................................................................................... 95
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
-
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Konsultasi Skripsi
2. Surat Penunjukan Pembimbing Skripsi
3. Surat Izin Penelitian
4. Surat Keterangan Kegiatan (SKK)
5. Daftar Riwayat Hidup
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan aqad dengan upacara ijab qabul antara
calon suami dan istri untuk hidup bersama sebagai pertalian suci (sacral),
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dengan
tujuan membentuk keluarga dalam memakmurkan bumi Allah SWT yang
luas ini. Dengan perkawinan terpeliharalah kehormatan, keturunan,
kesehatan jasmani, dan rohani, serta jelasnya nasab seseorang (Leter,
1985: 7).
Perkawinan juga merupakan sebuah ikatan yang mengakibatkan
munculnya sebuah tanggung jawab, yang mengakibatkan munculnya hak
dan kewajiban bagi masing-masing pihak yakni suami dan istri. Dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun1974 Pasal 1 disebutkan bahwa “ tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Begitu mulia tujuan
perkawinan itu, akan tetapi untuk mencapai dan mewujudkan tujuan
tersebut tidaklah semudah yang diucapkan dan diangankan. Karena
manakala setelah perkawinan itu dijalani, banyak lika-liku kehidupan yang
menerjang. Sebuah perkawinan tidak selamanya baik-baik saja, manakala
ikatan cinta kasih sebagai pondasi penting dalam perkawinan itu sudah
terurai dan tidak bisa dipertahankan lagi, maka perceraian adalah jalan
-
2
yang kerap diambil suami atau istri untuk menyelesaikan
permasalahannya.
Selain orang tua merasa tidak cocok lagi dan memutuskan
berpisah, ada beberapa hal yang menjadi penyebab orang tua bercerai,
diantaranya adalah faktor ekonomi, ketidaksetiaan, kekerasan dalam
rumah tangga, pernikahan usia dini, perubahan budaya, salah satu pihak
hanya mementingkan dirinya sendiri, maupun adanya pihak ketiga dalam
rumah tangga. Seorang anak juga memiliki hak tersendiri yakni hak
mendapatkan nafkah dengan tujuan anak dapat tumbuh berkembang secara
sempurna didalam lingkungan yang utuh. Bagi anak-anak yang dilahirkan,
perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncang
kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan
perkembangannya, sehingga biasanya anak-anak adalah pihak yang paling
menderita dengan terjadinya perceraian orangtuanya.
Konflik keluarga yang berkepanjangan dan berakhir dengan
perceraian ternyata berakibat fatal bagi kehidupan anak. Banyak anak
nakal dan hancur masa depannya karena pertengkaran dan perceraian
orang tua. Dapat dibayangkan bagaimana anak mendapatkan haknya
secara sempurna jika orang tua bercerai. Tidak dapat dipungkiri jika orang
tua anak bercerai, maka salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban
sehingga hak anak terabaikan.
-
3
Dari semua permasalahan yang ada di dalam sebuah keluarga, baik
itu masalah perceraian, suami tetaplah mempunyai tanggung jawab kepada
anak-anaknya untuk menyampaikan atau memberikan hak-hak mereka,
sehingga hak-hak mereka tidak terabaikan. Sebuah perceraian mempunyai
akibat hukum untuk suami, isteri maupun anak dalam perkawinan tersebut.
Masalah suami yang tidak mau memberikan nafkah pada keluarga banyak
terjadi di sebagian masyarakat Indonesia, hal seperti itu sering penulis
jumpai dalam kehidupan sehari-hari terutama di lingkungan penulis di
desa Tengaran.
Desa Tengaran merupakan kota kecamatan yang meliputi dusun-
dusun atau kelurahan-kelurahan yang masuk dalam wilayah kecamatan
Tengaran. Secara Administratif desa Tengaran sebelah utara berbatasan
dengan desa Klero, sebelah selatan berbatasan dengan desa Tegal Rejo,
sebelah barat berbatasan dengan desa Sampetan dan sebelah timur
berbatasan dengan desa Suruh. Penduduk desa Tengaran sebagian bermata
pencaharian sebagai petani, abdi negara, dan buruh. Penduduk desa
Tengaran beraneka ragam latar belakang, ada yang penduduk asli ada juga
yang penduduk pendatang dengan membawa kultur budaya serta pola pikir
yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut menyebabkan munculnya
fenomena perilaku masyarakat.
Salah satu bentuk fenomena tersebut adalah tanggung jawab ayah
terhadap nafkah anak yang terabaikan setelah terjadinya perceraian, ada
beberapa pasangan yang memutuskan untuk bercerai namun seringkali
-
4
mengabaikan hak-hak anak. Masih banyak hal lain yang sering diabaikan
oleh mantan suami terhadap anak sesudah perceraian terjadi. Dari situlah
penulis menemukan beberapa keluarga dari suami yang melalaikan
kewajibannya, bahkan sejak awal dari anak itu terlahir tidak sekalipun
suami memperhatikan keperluan istri maupun persalinan bagi buah hatinya
tersebut. Di lain hal adapula anak-anak yang biaya pendidikan atau
sekolah mengandalkan pihak-pihak tertentu (kerabat) dekat, bukan dari
ayah kandungnya sendiri.
Untuk mantan istri atau ibu dari anak-anak tersebut, hal ini sangat
memberatkan karena harus menanggung biaya perawatan dan pendidikan
anak-anaknya. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun1974 tentang
perkawinan, pasal 41 menentukan bahwa “Akibat putusnya perkawinan
suami tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada anak-
anaknya”.
Allah SWT berfirman dalam surat Ath Thalaq ayat 7 dibawah ini:
نَْسَعةٍُْْذوْلُِينِفقْْ َْماِْإلَّْْنَ ْفساًْْاللَّوُْْيَُكلِّفَُْْلْْاللَّوُْْآتَاهُِْْمَّاْفَ ْلُينِفقْْْرِْزقُوَُْْعَلْيوُِْْقِدرََْْوَمنَْسَعِتوِْْمِّ ﴾٧﴿ُْيْسراًُْْعْسرٍْْبَ ْعدَْْاللَّوَُْْسَيْجَعلُْْآتَاَىا
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. At
Thalaq:7).
-
5
Firman Allah yang lain dalam surat Al Baqarah ayat 233 sebagai
berikut :
ْ ْاْلَمْوُلوِد َْوعَلى ْالرََّضاَعَة ْيُِتمَّ َْأن ْأَرَاَد ِْلَمْن َْكاِمَلْْيِ َْحْوَلْْيِ ْأَْوَلَدُىنَّ ْيُ ْرِضْعَن لَُوَْواْلَواِلَداُتَْواِلَدٌةِْبَوَلِدَىاَْوَلَْموْْ ُوْسَعَهاَْلُْتَضآرَّ ْبِاْلَمْعُروِفَْلُْتَكلَُّفْنَ ْفٌسِْإلَّْ ْوَِكْسَوتُ ُهنَّ ُلوٌدْلَُّوْرِْزقُ ُهنَّ
ُهَماَْوَتَشاُوٍرَْفاَلُْجَناَحَْعَلْيهِْ ن ْ َماِْبَوَلِدِهَْوَعَلىْاْلَواِرِثِْمْثُلَْذِلَكْفَِإْنْأَرَاَداِْفَصاًلَْعنْتَ رَاٍضْمِّْبِاْلمَْ ْآتَ ْيُتم ا ْمَّ َْسلَّْمُتم ِْإَذا َْعَلْيُكْم ُْجَناَح َْفاَل ْأَْوَلدَُكْم َْتْستَ ْرِضُعوْا َْأن ْأََردُّتمْ َْوات َُّقواَْْوِإْن ْعُروِف
ْالّلَوِْبَاْتَ ْعَمُلوَنَْبِصرٌيْ﴿ ﴾ٖٖٕالّلَوَْواْعَلُمواَْْأنَّ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berke wajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah: 233).
Berdasarkan beberapa ayat diatas tampak beberapa hak-hak anak
seperti, hak mendapatkan penjagaan dalam kandungan, hak mendapatkan
asi dari ibu atau penggantinya, hak mendapatkan asuhan,dan hak
mendapatkan perlindungan.
Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan
nasab juga karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang
membutuhkan pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak
yang bertanggung jawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling
-
6
dekat adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas
pengasuhan anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan
nafkah anaknya. Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak
kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan
nafkah.
. Pasal 9 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak menyebutkan bahwa orang tua adalah yang pertama-
tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara
fisik, jasmani maupun sosial. Tanggung jawab orangtua atas kesejahteraan
anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian
rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang
cerdas, sehat berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan, serta berkemampuan
untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan pancasila.
Disebutkan pula dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 35 tahun
2014 tentang Perlindungan Anak mengenai hak anak yaitu “ Setiap anak
berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Kelahiran anak sebagai
peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan perkawinan membawa
konsekuensi hukum berupa hak dan kewajiban timbal balik antara orang
tua dan anak. Anak mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh orang tua,
seperti pemenuhan kebutuhan materil untuk biaya kehidupan anak
pendidikan anak serta kasih sayang dari orang tua.
-
7
Diantaranya yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 tahun
1974, pasal 45 (1,2) menjelaskan bahwa : “Kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Dan
kewajiban orang tua yang dimaksud pada pasal (1), berlaku sampai anak
itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban itu berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tuanya putus.
Akan tetapi masih banyak orang tua laki-laki (ayah) tidak
melaksanakan kewajiban menafkahi anaknya setelah terjadinya perceraian.
Hal ini menjadi salah satu faktor terabaikannya hak anak dalam proses
kehidupan dan perkembangannya baik dilihat dari sisi rohani maupun
jasmani berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan
yang layak. Berangkat dari masalah tersebut diatas, penulis tertarik untuk
menjadikan sebuah karya ilmiah berupa skripsi. Untuk itu penulis
mengambil judul TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP
NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN DALAM TINJAUAN
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN
2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Di Desa
Tengaran Kecamatan Tengaran).
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, ada beberapa pokok masalah yang menjadi
bahasan utama yaitu :
-
8
1. Apakah tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah terjadinya
perceraian di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran, menurut Hukum
Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak?
2. Upaya hukum apa yang dapat ditempuh oleh ibu agar (ayah)
melaksanakan tanggung jawabnya dalam memberi nafkah kepada
anaknya setelah terjadi perceraian di Desa Tengaran, Kecamatan
Tengaran?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok masalah diatas, penelitian ini mempunyai
tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah
terjadinya perceraian di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran menurut
Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak.
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu agar
(ayah) melaksanakan tanggung jawabnya dalam memberi nafkah
kepada anaknya setelah terjadi perceraian di Desa Tengaran,
Kecamatan Tengaran.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Memperluas wawasan dalam ranah keilmuan Hukum Perkawinan.
-
9
b. Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan dan
konstribusi kepada khasanah ilmu pengetahuan dan khususnya
yang berkaitan dengan tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak
setelah terjadinya perceraian.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pembaca
Dapat menambah wawasan tentang tanggung jawab ayah terhadap
nafkah anak setelah perceraian.
b. Bagi Peneliti
1) Menerapkan ilmu yang didapat dari mata kuliah Hukum
Perkawinan dalam menjawab persoalan nafkah ayah kepada
anak setelah perceraian khususnya di Desa Tengaran,
Kecamatan Tengaran.
2) Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana strata
satu (S.1) dalam bidang Hukum Perdata Islam (Syari‟ah).
E. Penegasan Istilah
Untuk mempemudah pemahaman terhadap judul penelitian ini, maka
disampaikan beberapa penjelasan istilah sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya,
kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan
sebagainya ( http://kbbi.web.id/tanggung jawab).
2. Nafkah yakni belanja, kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-
orang yang membutuhkannya (Jauhari, 2003: 84).
-
10
3. Anak adalah seseorang yang masih berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan ( UU RI No. 23 Tahun 2002, 2006: 4).
4. Perceraian adalah pisah, putus hubungan sebagai suami-istri
(Depdikbudd, 1990: 164).
5. Undang-undang Nomor 35 Tahun2014 Tentang Perlindungan Anak
yaitu peraturan yang mengatur tentang segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dari hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi ( UU RI No. 35 Tahun 2014, pasal 1 ayat 2).
6. Hukum Islam yaitu peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan
kehidupan berdasarkan Al Qur‟an dan Hadits, Hukum syara‟
(Depdiknas, 2002: 411).
F. Tinjauan Pustaka
Diantaranya referensi khususnya dari skripsi yang dapat dijadikan
sumber telaah pustaka adalah sebagai berikut:
Pertama adalah skripksi M. Fathur Rois yang berjudul “Pemberian
Hak Nafkah Anak Setelah Putusan Perceraian” (Studi Analisis Di
Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2001). Dalam penelitian ini terfokus
pada minimnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang
perlindungan hak nafkah anak setelah perceraian secara hukum di
pengadilan maupun dalam Undang-undang. Hal tersebut tergambar dengan
-
11
tidak adanya gugatan nafkah yang berdiri sendiri yang diajukan ke
pengadilan.
Kedua adalah skripsi Dedy Sulistyanto yang berjudul “ Kewajiban
Suami Narapidana Terhadap Nafkah Keluarga” ( Studi Kasus di Lembaga
Permasyarakatan Kelas II.A Beteng Ambarawa). Penelitian ini terfokus
pada pemberian nafkah oleh ayah selama di dalam penjara, dan nafkah
dari hasil yang diperoleh selama bekerja dalam pembinaan kemandirian
dilapas, dikumpulkan, diberikan saat keluarga menjenguknya.
Memberikan wewenang penuh kepada keluarga untuk mengelola barang
yang ditinggalkan.
Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Zaerodin dalam
skripsinya yang berjudul “Nafkah Hadhanah Dalam Putusan Verstek”
(Studi Kasus Di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2008). Dimana dalam
penelitiannya terfokus pada pertimbangan hakim dalam memutus perkara
perceraian, nafkah anak (hadhanah) dalam putusan verstek adalah tetap
berdasarkan kemampuan suami, dalam menentukan kadar nafkah meski
tanpa kehadiran suami, dengan mempertimbangkan kebiasaan dan
masyarakat di daerah salatiga dalam memberi nafkah pada anak.
Penelitian yang berikutnya adalah Wahyu Izzati dalam skripsinya
yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Istri Dalam Memperoleh
Hak Nafkah Akibat Cerai Talak” (Studi Kasus Di Pengadilan Agama
Brebes Tahun 2001). Dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa,
upaya perlindungan hukum terhadap istri untuk memperoleh hak nafkah di
-
12
pengadilan agama pada waktu persidangan cerai talak, membimbing
pemohon untuk menuntut haknya yang berupa nafkah. Sekalipun ada
sebagian majlis hakim di pengadilan agama dalam memberikan putusan
terikat dengan kaidah ultra petitum partium (tidak boleh memutus hal-hal
yang tidak dimohon atau melebihi yang dimohon). Sehingga termohon
(istri) yang awam tentang hukum, tidak mengerti akan hak-haknya yang
berupa nafkah.
Berbeda dengan penelitian yang sedang penulis lakukan saat ini,
dimana fokus pada penelitian yang penulis lakukan adalah “Tanggung
jawab Ayah terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian dalam tinjauan
Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak (Studi Kasus Di Desa Tengaran, Kecamatan
Tengaran). Dalam penelitian ini terfokus pada pemberian nafkah oleh ayah
setelah perceraian yang berbelit-belit dan tidak pernah dilaksanakan, serta
tidak adanya gugatan nafkah dari pihak ibu yang disebabkan karena
minimnya pengetahuan ibu tentang hukum itu sendiri.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dibagi menjadi dua yakni field research dan library
research.
a. Field research menurut Sutrisno Hadi (1981:4) adalah penelitian
yang dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan guna
mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas.
-
13
b. Library Research atau Penelitian Kepustakaan adalah metode
penelitian yang digunakan untuk mencari data, dengan cara
membaca buku yang menjadi sumber penelitian.
Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian
yang field research dimana penulis terjun langsung ke lapangan
yakni ke lokasi penelitian, di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran
guna memperoleh data sebanyak dan seakurat mungkin dari para
responden yang diteliti.
2. Sumber Data
Sumber Data menurut Soerjono Soekanto (1984:12) terbagi
menjadi dua yaitu sebagai berikut :
a. Data Primer
Yaitu Data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dan
merupakan keterangan atau fakta yang terjadi dilapangan.
b. Data Sekunder
Yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil
penelitian yang berwujud laporan .
Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan dua data
sekaligus yakni data primer yang dapat diperoleh langsung dari
keterangan ibu, anak, masyarakat sekitar, baik tetangga maupun
kerabat dekat. di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran mengenai
pemberian nafkah anak setelah terjadinya perceraian. Dan data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya Undang-
-
14
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014.
3. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menurut Suharismi Arikunto ada
beberapa macam yakni:
a. Wawancara yaitu : Sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari responden
(Arikunto, 1996:115). Dalam penelitian ini informasi dapat
diperoleh melalui wawancara dengan ibu, anak, masyarakat sekitar,
baik tetangga maupun kerabat dekat.
b. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable
yang berupa catatan , buku-buku, surat kabar, majalah dan
sebagainya (Arikunto, 1998: 236).
c. Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan jalan
pengamatan dan pencatatan secara langsung dan sistematis
terhadap fenomena-fenomena yang diteliti. (Arikunto, 1987:128).
d. Studi Pustaka yaitu sebagai penelitian yang menggali dari bahan-
bahan tertulis (Amirin, 1990:135).
Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara, penelitian ini dilakukan dengan acuan-acuan
catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan
ditanyakan. Kemudian peneliti akan mendatangi rumah
-
15
beberapa keluarga di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran,
untuk melakukan wawancara di masing –masing keluarga yang
menjadi responden.
b. Dokumentasi, penulis mencari data mengenai beberapa hal baik
yang berupa catatan, data monografi Desa Tengaran,
Kecamatan Tengaran, akta cerai dan lain sebagainya.
4. Teknis Analisis Data
Menurut Prof. Dr. Lexy J.Moleong , (2002:45) teknis analisis data
terbagi menjadi dua yakni:
a. Metode analisis deskriptif kualitatif adalah penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan.
b. Analisis data kuantitatif adalah penelitian yang menggambarkan
keadaan gejala sosial apa adanya, tanpa melihat hubungan-
hubungan yang ada.
Dalam penelitian ini seluruh data penelitian yang telah
dikumpulkan atau diperoleh, dianalisa secara kualitatif dengan cara
menggambarkan masalah secara jelas dan mendalam. Jenis analisis
yang akan peneliti gunakan dalam penelitian adalah metode
deskriptif kualitatif yakni dengan menggambarkan keadaan yang
sebenarnya terjadi dilapangan mengenai latar belakang ekonomi
keluarga responden, sebab-sebab perceraian, serta bagaimana
upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu agar ayah
melaksanakan kewajiban memberi nafkah anak setelah perceraian.
-
16
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran umum yang lebih jelas mengenai
penelitian ini, peneliti akan menyajikannya dalam sistematika penulisan
penelitian sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan, yang meliputi tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
penegasan istilah, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, yang berisi
tentang jenis penelitian, sumber data, pengumpulan data, teknis analisis
data dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah perceraian dan hak nafkah anak menurut fiqih
dan hukum positif, yang meliputi tentang pengertian perceraian, rukun dan
syarat talak, sebab-sebab perceraian, akibat hukum atas putusnya
perkawinan, pengertian nafkah dan dasar hukumnya, batas usia pemberian
nafkah anak menurut fiqih, dasar hukum nafkah anak menurut hukum
positif, macam-macam nafkah, sebab-sebab yang mewajibkan nafkah,
kadar pemberian nafkah, pentingnya nafkah terhadap kehidupan anak,
pengertian anak menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, pengertian anak menurut undang-undang nomor 35 tahun
2014 tentang perlindungan anak, dan pengertian anak menurut Hukum
Islam.
Bab ketiga adalah gambaran umum desa Tengaran Kecamatan
Tengaran sebagai lokasi penelitian, identitas keluarga yang bercerai,
meliputi tentang profil keluarga, latar belakang ekonomi, sebab-sebab
-
17
perceraian, pola pemberian nafkah anak oleh ayah, upaya yang dilakukan
ibu dan faktor penyebab tidak dilaksanakannya tanggung jawab ayah
terhadap nafkah anak setelah perceraian.
Bab keempat adalah analisis mengenai tanggung jawab ayah
terhadap nafkah anak setelah perceraian menurut Hukum Islam dan
Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan
upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu.
Bab Kelima adalah penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran.
-
18
BAB II
PERCERAIAN DAN HAK NAFKAH ANAK MENURUT FIQIH DAN
HUKUM POSITIF
A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian
1. Pengertian Perceraian (Thalaq) dan Dasar Hukumnya
Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan
dengan pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka
bumi, sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk
menjaga kekekalan keturunan mereka.
Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batasan
pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki
tujuan-tujuan penting, Di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.
b. Suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan
keturunan.
c. Sebagai suatu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali
persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki ( suami ) dengan kaum
kerabat perempuan ( istri ) sehingga pertalian itu akan menjadi suatu
jalan yang membawa satu kaum (golongan) untuk tolong menolong
dengan kau yang lainnya (Rasjid, 2014:401).
Apabila pergaulan kedua suami istri tidak dapat mencapai tujuan-
tujuan tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan berpisahnya dua
-
19
keluarga. Karena tidak adanya kesepakatan antara suami istri, maka
dengan keadilan Allah Subhanahu Wata‟ala, dibukakanNya suatu jalan
keluar dari segala kesukaran itu yakni pintu perceraian.
Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa yaitu
“melepaskan atau meninggalkan”, dan menurut istilah yaitu melepas tali
perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri (Ghazali, 2006:191-
192). Dalam ilmu fiqih (Depag, 1985:226) kata “thalaq” dalam bahasa
Arab berasal dari kata “Thalaqa-Yathlaqu-Thalaqan” yang artinya
melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat kongrit
seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat
perkawinan. Disebutkan pula oleh Sayyid Sabiq (1980:7) mendefinisikan
istilah thalak yakni melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya
hubungan perkawinan.
Agama Islam adalah agama yang sangat toleran dalam menentukan
suatu agama yaitu berupa permasalahan dalam perkawinan. Pada dasarnya
perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah
seorang suami dan istri, inilah sebenarnya yang di keendaki oleh agama
Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki
putus perkawinan dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan,
maka kemudhratan akan terjadi. Apalagi perselisihan suami istri itu
menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya
terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan
ikhtiyar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi, maka thalaq
-
20
(perceraian) itulah jalan satu-satunya yang menjadi pemisah antara
mereka. Berdasarkan hadits Nabi Shallallah Alaihi Wasallam yang
berbunyi:
ْ :ْ َْوَسلََّم َْعَلْيِو ْاهلُل َْصلَّى ْاهلِل َْرُسْوُل ْقَاَل َْقاَل: ُْعَمَر ْاْبِن ْاهللِْْاْلَْاَللِْْضُْبْ غَْأََْعِن ِْإََل .ْرواهْأبوْداودْوابنْماجو.الطَّاَلقُْ
Artinya : Dari ibnu umar ia berkata bahwa Rasulullah Shallallah Alaihi
Wasallam telah bersabda, “ sesuatu yang halal yang amat
dibenci oleh Allah ialah thalaq.” ( riwayat Abu Dawud dan Ibn
Majah )
Berdasarkan hadis tersebut, menunjukkan bahwa perceraian
merupakan alternative terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh
suami-isteri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat
dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternative terakhir
dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan tehnik untuk mencari
kedamaian diantara kedua belah pihak, baik melalui hakim dari kedua
belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh
Qur‟an dan hadis (Ali, 2006:73). Hadis ini juga menjadi dalil bahwa suami
wajib selalu menjauhkan diri selalu dari menjatuhkan talak selagi masih
ada jalan untuk menghindarkannya. Suami dibenarkan menjatuhkan talak
jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk menghindarinya. Serta talak itulah
satu-satunya jalan untuk terciptanya kemaslahatan.
Menurut hukum asalnya thalaq atau perceraian itu makruh, namun
melihat keadaan tertentu, maka hukum talak ada empat diantaranya :
-
21
a. Wajib yaitu Talak yang dijatuhkan oleh pihak hakim atau penengah
karena perpecahan antara suami istri yang sudah berat.
b. Haram yaitu dilakukan tanpa alasan, karena merugikan bagi suami dan
istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang mau dicapai dengan
perbuatan talaknya itu.
c. Sunnah yaitu talak karena perpecahan antara suami istri yang sudah
berat dan bila isteri keluar rumah dengan minta khulu‟ karena ingin
terlepas dari bahaya (Sabiq, 1980:10).
d. Mubah yakni boleh saja diakukan bila memang perlu terjadi perceraian
dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu,
sedangkan manfaatnya juga ada (Syarifuddin, 2003:127).
Di dalam Al-qur‟an banyak ayat yang berbicara tentang masalah
perceraian. Diantara ayat-ayat yang menjadi landasan hukum perceraian
adalah firman Allah SWT:
لْمَْفالَْْطَلََّقَهاْفَِإن َرهَُْْزْوجاًْْتَنِكحََْْحّتََّْْبَ ْعدُِْْمنْلَوَُْْتَِ ُْجنَاحََْْفالَْْطَلََّقَهاْفَِإنَْغي ْنُ َهاْالّلوُِْْحُدودَُْْوتِْلكَْْالّلوُِْْحُدودَْْيُِقيَماَْأنْظَنَّاِْإنْيَ تَ رَاَجَعاَْأنَْعَلْيِهَما ْلَِقْومٍْْيُ بَ ي ِّ
﴾ٖٕٓ﴿ْيَ ْعَلُمونَْArtinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia
kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas
suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) mengetahui” (QS. Al Baqarah:230).
-
22
2. Rukun dan Syarat Talak (Perceraian)
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.
Rukun talak ada empat yaitu:
a. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak
menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh
karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak
tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan
yang sah.
b. Istri, masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap
istrinya sendiri, tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap
istri orang lain. Untuk sahnya talak, pada istri yang ditalak disyaratkan
kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad
perkawinan yang sah dan istri itu masih tetap berada dalam
perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalani masa iddah talak
raj‟i dari suaminya oleh hukum islam dipandang masih berada dalam
perlindungan kekuasaan suami, karenanya bila dalam masa itu suami
menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah
jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki
suami.
c. Shighat Talak yaitu kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap
istrinya yang menunjukkan talak, baik yang sarih (jelas) maupun yang
-
23
kinayah (sindiran), baik berupa ucapan, lisan, tulisan dan isyarat bagi
suami tuna wicara.
d. Qashdu (kesengajaan) artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang
dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk
maksud lain (Ghazaly, 2003: 201-204).
Dalam ilmu fiqih (Depag, 1985: 235) untuk sahnya talak, suami yang
menjatuhkan talak diisyaratkan:
a. Berakal, suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Dimaksudkan
dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit.
b. Baligh, tidak dipandang jatuh, talak yang dinyatakan oleh orang yang
belum dewasa.
c. Atas kemauannya sendiri, dimaksudkan dengan atas kemauannya
sendiri dalam hal ini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk
menjatuhkan talak itu dan dilakukan atas pilihan sendiri, bukan karena
dipaksa orang lain.
3. Sebab-sebab Perceraian
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 disebutkan ada tiga hal
yang menjadi sebab putusnya perkawinan diantaranya, kematian,
perceraian dan atas putusan pengadilan.
a. Kematian yakni jika salah seorang dari suami atau isteri meninggal
dunia, atau suami-isteri itu bersama-sama meninngal dunia maka
terputuslah perkawinan mereka (Depag, 1985:271).
-
24
b. Perceraian sebagaimana ketentuan dari Undang-undang Perkawinan
pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan
didepan sidang pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak” (Undang-Undang No 1
Tahun1974 pasal 39 ayat 1).
c. Putusan pengadilan
Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 39 dinyatakan
bahwa :
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami isteri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tatacara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri (Ali, 2006: 74).
Berkaitan dengan pasal diatas maka selanjutnya dijelaskan
mengenai penyebab terjadinya perceraian yakni pada Putusan
Presiden Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 dinyatakan perceraian dapat
terjadi karena alasan-alasan berikut :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar di sembuhkan.
-
25
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga (Muhammad, 1993:109-110).
7) Salah satu pihak melanggar taklik talakyang dia ucapkan saat ijab
kabul pernikahan.
8) Salah satu pihak beralih agama atau murtad yang mengakibatkan
ketidakharmonisan dalam keluarga dan tidak bisa hidup rukun
(Manjorang, Aditya, 2015: 19).
4. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan
a. Bagi Pihak Mantan Istri
Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan
antara seorang suami dan istri dapat dilihat beberapa garis hukum,
baik yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan maupun
yang tertulis dalam KHI. Dan dapat dilihat pula mengenai tanggung
-
26
jawab orang tua dan hak-hak anak dalam Undang-undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan
menjadi 5 (lima) karakteristik yaitu :
1) Akibat Talak
Pasal 149 KHI, bila perkawinan putus karena talak, maka
bekas suami wajib :
a) Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla
al-dukhul.
b) Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan
pakaian) kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali
bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
c) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan
separuh apabila qobla al-dukhul.
d) Memberi biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak
yang belum mencapai umur 21 tahun.
2) Akibat perceraian atau (cerai gugat)
Cerai gugat yaitu seorang istri yang menggugat suaminya
untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak
pengadilan mengabulkan gugatan yang dimaksud sehingga
-
27
putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami)
perkawinan (Ali, 2006:77).
Pasal 156 KHI mengatur putusnya perkawinan sebagai
akibat perceraian (cerai gugat) yaitu :
a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah
dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia,
maka kedudukannya diganti oleh :
(1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibunya
(2) Ayah
(3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
(4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
(5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis
samping dari ibu
(6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis
samping dari ayah
b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya
nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan
kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak
hadhanah pula.
-
28
d) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi
tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-
kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).
e) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan
nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya
berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
f) Pengadilan dapat pula dengan kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
3) Akibat Khuluk
Perceraian yang terjadi akibat khulu‟ yaitu suatu ikatan
perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan
hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan.
Selain itu khulu‟ adalah istri memisahkan diri dari suaminya
dengan ganti rugi kepadanya (Sabiq, 1980:100).
Hal ini berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi :
“perceraian dengan jalan khulu‟ mengurangi jumlah talak dan
tak dapat dirujuk”.
4) Akibat Li‟an
Perceraian yang terjadi sebagai akibat li‟an, yaitu ikatan
perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya
perkawinan yang dimaksud, anak yang dikandung oleh istri
-
29
dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li‟an. Pasal 162
KHI yang berbunyi “ bilamana li‟an terjadi maka perkawinan
ini putus selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan
kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban
memberi nafkah”.
5) Akibat ditinggal mati suaminya
Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 157 KHI yang berbunyi
“harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut
dalam pasal 96 dan 97.
Pasal 96 KHI
a) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lama.
b) Pembagian harta bersama bersama bagi seorang suami atau
istri yang istri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan
sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya
secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 KHI
“ Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan”.
Pasal 41 UUP membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh
perceraian. Adapun bunyi pasal sebagai berikut :
-
30
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak,
pengadilan memberi keputusannya.
b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak
dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.
Selain kewajiban nafkah oleh suami dan seorang istri yang
telah diceraipun mempunyai kewajiban menjalani masa iddah
atau masa tunggu sebagai akibat dari perceraian tersebut.
Dimana hal tersebut telah dijelaskan dalam firman Allah surat
Al Baqarah ayat 228 :
﴾٨ٕٕ﴿ْ…ْقُ ُرَوءٍَْْثالَثَةَْْبِأَنُفِسِهنَّْْيَ تَ َربَّْصنََْْواْلُمطَلََّقاتُْArtinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟ “ (Sabiq, 1980:151).
Adapun masa-masa iddah adalah :
a) Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli
oleh suaminya dalam masa itu, iddahnya adalah 4 bulan 10
hari.
-
31
Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah ayat
234:
ْأَْربَ َعَةْ ْبِأَنُفِسِهنَّ ْيَ تَ َربَّْصَن ْأَْزَواجًا َْوَيَذُروَن ِْمنُكْم ْيُ تَ َوف َّْوَن َوالَِّذيَنَْوعَْ ِْفَْأْشُهٍر ْفَ َعْلَن ِْفيَما َْعَلْيُكْم ُْجَناَح َْفاَل َْأَجَلُهنَّ ْبَ َلْغَن ْفَِإَذا ْشرًا
ْبِاْلَمْعُروِفَْوالّلُوِْبَاْتَ ْعَمُلوَنَْخِبرٌيْ﴿ ﴾ٖٕٗأَنُفِسِهنَّArtinya : "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat”.
b) Istri yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak
menjalani masa iddah. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat
Al-Ahzab ayat 49:
ِْمنْ ْطَلَّْقُتُموُىنَّ ُُْثَّ ْاْلُمْؤِمَناِت َْنَكْحُتُم ِْإَذا ْآَمُنوا ْالَِّذيَن ْأَي مَها يَاْ ُعوُىنَّ َْفَمت ِّ ونَ َها ْتَ ْعَتدم ٍة ِْعدَّ ِْمْن َْلُكْمَْعَلْيِهنَّ َْفَما وُىنَّ ََْتَسم َْأن قَ ْبِل
يالًْ﴿ َْسرَاحاًَْجَِ ﴾٩َٗوَسرُِّحوُىنَّArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-
kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya, Maka
berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
Adapun perempuan yang kematian suami yang
belum sempat digauli oleh suaminya yang berlaku
baginya adalah beriddah 4 bulan 10 hari. Alasannya ialah
-
32
bahwa kewajiban beriddah disini bukan untuk
mengetahui kebersihan rahimnya, dari bibit bekas
suaminya, tetapi sebagai penghormatan terhadap
suaminya yang meninggal itu.
c) Istri yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh
suaminya sedangkan ia masih dalam haid, maka
iddahnya adalah selama tiga quru‟, sebagaimana firman
Allah dalam urat al-Baqarah ayat 228 :
﴾٨ٕٕ﴿ْ…ْقُ ُرَوءٍَْْثالَثَةَْْبِأَنُفِسِهنَّْْيَ تَ َربَّْصنََْْواْلُمطَلََّقاتُْ Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru‟ “.
Yang dimaksud dengan tiga quru‟ dalam ayat ini
menurut jumhur ulama adalah tiga kali suci; sedangkan
bagi ulama Hanafiyah tiga quru‟ itu berarti tiga kali masa
haid. Di antara dua masa tersebut di atas tiga kali haid
lebih panjang daripada tiga kali suci.
d) Istri yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah
digauli suaminya, dan tidak lagi dalam masa haid atau
tidak berhaid sama sekali, maka masa iddahnya adalah
selama tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT dalam surat At-Thalaq ayat 4 yakni:
-
33
ْ تُ ُهنَّ َْفِعدَّ ْاْرتَ ْبُتْم ِْإِن ْنَِّساِئُكْم ِْمن ْاْلَمِحيِض ِْمَن ْيَِئْسَن ِئي َوالالََّْأنْ َْأَجُلُهنَّ ْاْْلَْْحَاِل َْوأُْوَلُت َْيَِْضَن َْلَْ ِئي َْوالالَّ َْأْشُهٍر َثاَلثَُة
َْوَمنْيَ تَِّقْاللََّوََْيَْعلْلَُّوِْمْنْأَْمرِِهُْيْسراًْ﴿ ﴾َٗيَضْعَنَْْحَْلُهنَّArtinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid
lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa iddahnya) maka iddah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya”.
e) Istri-istri yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan
hamil iddahnya adalah melahirkan anaknya. Ketentuan ini
ditetapkan Allah SWT dalam surat At Thalaq ayat 4:
َْأنَْيَضْعَنَْْحَْلُهنَّْ ْ....َْوأُْوَلُتْاْْلَْْحَاِلَْأَجُلُهنَّArtinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya....”
Adapun perempuan hamil yang kematian suami, menurut
jumhur ulama iddahnya adalah melahirkan anaknya,
meskipun masanya belum empat bulan sepuluh hari, dalam
arti yang berlaku baginya adalah iddah hamil. Sedangkan
menurut ulama lain, diantaranya Ali bin Abi Thalib, iddah
perempuan hamil yang kematian suami adalah masa yang
terpanjang antara empat bulan sepuluh hari dengan
melahirkan anak. Bila anak lahir sebelum empat bulan
-
34
sepuluh hari maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh
hari,namun bila setelah 4 bulan sepuluh hari anaknya belum
lahir juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak
(Syarifuddin, 2003: 142-144).
Perempuan yang menjalani masa iddah ada dua macam :
a) Iddah raj‟iyah ialah iddah dari perceraian dimana istri
masih dinikahi (ruju‟) lagi oleh bekas suaminya.
b) Iddah ba‟in ialah iddah dari perceraian dimana istri tidak
boleh lagi dinikahi (ruju‟) oleh bekas suaminya (sebelum
dinikahi oleh lelaki lain). (Rifa‟I, Zuhri, Salomo, 1978:
337).
Istri yang telah bercerai dari suaminya masih
mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama
berada dalam masa iddah, karena dalam masa itu dia tidak
boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain,
namun hak itu tidaklah sempurna sebagaimana yang
berlaku semasa dalam hubungan perkawinan. Bentuk hak
yang diterima tidak tergantung pada lama masa iddah yang
dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian yang
dialaminya (Syarifuddin, 2003: 144).
Adapun hak-hak mereka itu adalah sebagai berikut:
a) Perempuan yang ta‟at dalam iddah raj‟iyah berhak
menerima tempat tinggal (rumah), pakaian, dan segala
-
35
keperluan hidupnya, dari yang menalaknya (bekas
suaminya); kecuali istri yang durhaka, tidak berhak
menerima apa-apa. Rasulullah bersabda :
ْ ْقَ ْيٍس: ْبِْنِت ْفَاِطَمَة ْاهللُْلَّصَْْاهللِْْلُْوْْسُْرَْْالَْقََْعْن اْلََْْمَْلَّسَْوَْْوِْْيْلَْعَْْىْكَْذَِْإْْةِْأَْرْْمَْلْْْلَِْنْكْْالسْموَْْةُْقَْفَْاْالن َّّْنََّْ:ْإِْ .ْرواهْةُْعَْجْْاْالرَّهَْي ْْلَْاْعَْهَْجِْْوْزَِْلْْانَْا
ْأْحدْوالنساءArtinya: dari Fatimah binti Qois, “ Rasulullah telah
bersabda kepadanya : “Perempuan yang
berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman
dari bekas suaminya itu apabila bekas
suaminya itu berhak ruju‟ kepadanya”.
(Riwayat Ahmad dan Nasa‟i)
b) Perempuan yang dalam iddah bain, kalau ia mengandung,
ia berhak juga atas kediaman, nafkah, dan pakaian. Allah
berfirman:
ْوَْ َْيَضْعَنَْْحَْلُهنَّ َْحّتَّ ْأُوَلِتَْْحٍْلَْفأَنِفُقواَْعَلْيِهنَّ ُْكنَّ ْ﴾٦﴿...ِإنArtinya: “Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, ... ” (At-Talaq: 6) c) Perempuan dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain
dengan talak tebus maupun dengan talak tiga, hanya
berhak mendapatkan tempat tinggal, tidak yang lainnya.
Allah berfirman:
نُْوْجدُِكْمْ ِْمْنَْحْيُثَْسَكنُتمْمِّ ﴾٦﴿...َأْسِكُنوُىنَّArtinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana
kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu …”(At-Talaq: 6)
-
36
Sebagian ulama berpendapat bahwa bain yang tidak
hamil, tidak berhak mendapatkan nafkah dan tidak pula
tempat tinggal. Rasulullah bersabda:
َْعنِْ ْقَ ْيٍس ْبِْنِت ْفَاِطَمَة َْْعْن ْاهللُْلَّصَْالنَِّبِّ ِفْْمَْلَّسَْوَْْوِْْيْلَْعَْْىْمسلمرواهْأْحدْْوُسْكَنَْوَلْنَ َفَقٌة.ْْالََْاْلُمطَلََّقِةَْثاَلثًاْقَاَلْلَْيَسْ
Artinya: “Dari Fatimah binti Qois, dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, mengenai perempuan yang
ditalak tiga. Sabda Rasulullah: “ia tidak berhak
atas tempat tinggal dan tidak pula atas
nafkah”.(Riwayat Ahmad dan Muslim)
Adapun Firman Allah dalam surat At-Talaq ayat 6
tersebut di atas, menurut mereka hanya berlaku untuk
perempuan yang dalam iddah raj‟iyah.
d) Perempuan yang dalam iddah wafat mereka tidak
mempunyai hak sama sekali meskipundia mengandung,
karena dia dan anak yang berada dalam kandungannya
telah mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal
itu (Rasjid, 2014: 416-417).
b. Bagi Pihak Anak
Disebutkan pula dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perlindungan Anak dijelaskan dalam bab 1 mengenai hak
anak, kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak
diantaranya:
-
37
Hak Anak
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam
bimbingan orang tua.
Pasal 7
1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan,
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka
anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau
anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a) Diskriminasi
b) Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
c) Penelantaran
d) Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.
e) Ketidakadilan, dan
f) Perlakuan salah lainnya.
2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali
ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Pasal 20
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelanggaraan
perlindungan anak.
-
38
Pasal 26
1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk ;
a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi,
b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya, dan
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya,
atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada
keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pendidikan
Pasal 49
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan.
Ketentuan Pidana
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:
1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya, atau
2) penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
B. Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih Dan Hukum Positif
1. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya
Kata nafkah berasal dari kata an nafaqoh yang artinya pengeluaran,
yaitu pengeluaran yang biasanya digunakan oleh seseorang untuk orang-
orang yang menjadi tanggung jawabnya (Depag, 2008:112). Yang
-
39
dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang
berlaku menurut keadaan dan tempat seperti makanan, pakaian, dan
rumah dan sebagainya (Rasjid, 2014: 421). Nafkah juga merupakan hak
istri terhadap suami sebagai akibat telah terjadinya akad nikah yang sah
(Depag, 1985:184).
Keharusan nafkah dari mantan suami tak hanya sewaktu dia masih
menjalin hubungan dengan mantan istrinya, akan tetapi terhadap anak-
anak dari mantan istrinya itu, mantan suamipun wajib memberi nafkah,
bahkan saaat perceraian. Apalagi terhadap nafkah anak dan kesejahteraan
ibunya merupakan tanggung jawab seorang ayah, meskipun terjadi
perceraian jangan sampai mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu dan
anaknya sesuai keadaanya. Seperti yang dijelaskan dalam surat Al-
Baqarah ayat 233 :
َْلوُْْاْلَمْوُلودَِْْوعَلىْالرََّضاَعةَْْيُِتمََّْْأنْأَرَادَِْْلَمنَْْْكاِمَلْْيَِْْحْوَلْْيِْْأَْوَلَدُىنَّْْيُ ْرِضْعنََْْواْلَواِلَداتُِْْبَوَلِدَىاَْواِلَدةٌُْْتَضآرَّْْلَُْْوْسَعَهاِْإلَّْنَ ْفسٌُْْتَكلَّفُْْلَْْبِاْلَمْعُروفِْْوَِكْسَوتُ ُهنَّْْرِْزقُ ُهنَّْ
ُهَماْتَ رَاضٍَْْعنِْفَصالًْْأَرَاَداْفَِإنَْْْذِلكَِْْمْثلُْْاْلَواِرثَِْْوَعَلىِْبَوَلِدهِْْلَّوُُْْلودٌَْموَْْْولَْ ن ْ ْمَِّْعَلْيُكمُْْْجَناحََْْفالَْْأَْوَلدَُكمَْْْتْستَ ْرِضُعواَْْْأنْأََردُّتمَْْْوِإنَْْْعَلْيِهَماُْجَناحََْْفالََْْوَتَشاُورٍْ
َْبِصريٌْْتَ ْعَمُلونَِْْبَاْالّلوََْْأنََّْْواْعَلُمواْْْالّلوََْْوات َُّقواْْْْعُروفِْبِاْلمَْْآتَ ْيُتمْمَّاَْسلَّْمُتمِْإَذا﴿ٕٖٖ﴾:
Artinya:“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
-
40
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah :233).
Menurut pendapat setengah ahli tafsir, ibu-ibu yang dimaksud ialah
perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan mengandung
(Zaeroddin, 2012:30). Dapat diartikan pula bahwa kewajiban nafkah
pada mantan istri yang telah mempunyai anak, adalah satu kesatuan yaitu
nafkah istri dan pemeliharaan anak. Begitu juga M. Quraish Shihab
dalam Tafsir Al Misbah berpendapat atas ayat yang artinya merupakan
kewajiban ayah, yaitu atas apa yang dilahirkan untuknya (anak), yakni
memberi makan dan pakaian kepada para ibu kalau ibu anak-anak yang
disusukan itu telah diceraikan secara ba‟in bukan raj‟i. Adapun jika
masih berstatus istri walau ditalak raj‟i, maka kewajiban memberi makan
dan pakaian adalah kewajiban atas dasar hubungan suami istri
(Zaeroddin, 2012:18).
Islam sebagai agama yang praktis, tidak memaksakan beban yang
berlebihan kepada salah satu pihak. Tetapi mereka harus melakukan
yang terbaik untuk kepentingan anak sesuai dengan kemampuan mereka.
Apabila mereka bertindak dengan tulus, maka Allah akan memberi solusi
untuk mengatasi masalah biaya pemeliharaan anak, seperti yang
dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat At-Thalaq ayat 6 yakni :
-
41
نَْسَكنُتمَْحْيثُْْنْْمَِْْأْسِكُنوُىنَّْ ُقواُْتَضارموُىنََّْْوَلُْْوْجدُِكمْْْمِّ ُْكنََّْْوِإنَْعَلْيِهنَّْْلُِتَضي َِّْفآُتوُىنََّْْلُكمْْْأَْرَضْعنَْْفَِإنَْْْْحَْلُهنََّْْيَضْعنََْْحّتََّْْعَلْيِهنََّْْفأَنِفُقواَْْحْلٍْْأُوَلتِْ
َنُكمَْوْأَتَُِرواُْأُجوَرُىنَّْ :﴾٦ْ﴿ُْأْخَرىْلَوَُْْفَستُ ْرِضعُْْاَسْرُّتُْْتَ عََْْوِإنِْبَْعُروفٍْْبَ ي ْArtinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan
jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan
baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (Q.S At-Thalaq:6).
Ayat diatas mempertegas hak-hak wanita itu memperoleh tempat
tinggal yang layak. Ini perlu dalam rangka mewujudkan yang ma‟ruf,
sekaligus memelihara hubungan agar tidak semakin keruh dengan
perceraian itu. Ayat diatas menyatakan, tempatkanlah mereka para istri
yang dicerai itu dimana kamu wahai yang menceraikannya bertempat
tinggal. Kalau dahulu kamu mampu tinggal di tempat yang mewah
sedangkan sekarang penghasilan menurun atau sebaliknya maka
tempatkanlah mereka menurut atau sesuai dengan kemampuan kamu
sekarang, dan janganlah sekali-kali kamu menyusahkan mereka dalam
hal tempat tinggal atau selainnya dengan tujuan untuk menyempitkan hati
dan keadaan mereka sehingga mereka terpaksa keluar atau minta keluar
(Zaeroddin, 2012:20).
Ibnu Taimiyah berkata, “ Nash menyebutkan anak ini agar menjadi
peringatan, bahwa ketika anak masih berada di kandungan dan masih
dalam susuan, maka nafkahnya wajib diberikan kepada ibu yang
-
42
mengandung dan menyusuinya, karena tidak mungkin menafkahi anak
dengan kondisi demikian kecuali dengan cara tersebut. Apalagi ketika
anak tersebut telah lepas dari pengasuhan ibunya, tentu menafkahinya
jauh lebih ditekankan dan diprioritaskan (Ibrahim, 2005:231-232). Dan
dijelaskan dalam surat At-Talaq ayat 7 yang berbunyi:
نَْسَعةٍُْْذوْلِيُنِفقْْ ْاللَّوُُْْيَكلِّفَُْْلْْاللَّوُْْآتَاهُِْْمَّاْفَ ْليُنِفقْْْرِْزقُوَُْْعَلْيوُِْْقِدرََْْوَمنَْسَعِتوِْْمِّ ﴾٧﴿ُْيْسراًُْْعْسرٍْْبَ ْعدَْْاللَّوَُْْسَيْجَعلُْْآتَاَىاَْماِْإلَّْْنَ ْفساًْ
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Qs.
At Thalaq:7)”.
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat diatas menjelaskan
prisip umum mencakup prinsip umum dan sebagainya sekaligus
menengahi kedua pihak dengan menyatakan bahwa, Hendaklah yang
lapang yakni mampu dan memiliki banyak rezeki memberi nafkah
untuk istri dan anak-anaknya sebatas kemampuan suami dan dengan
demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu
memiliki pula kelapangan dan keluasan berbelanja dan siapa yang
disempitkan rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah
ia memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Dalam jumlah nafkah M. Quraish Shihab mengatakan tidak ada
ketentuan yang pasti melainkan melihat kondisi masing-masing dan
adat kebiasaan yang berlaku pada satu masyarakat dengan masyarakat
-
43
lain serta waktu dan waktu yang lain. Pendapat ini juga dikemukakan
oleh Imam Malik dan Abu Hanifah (Zaerodin, 2012:22). Adapun Dasar
Hukum Nafkah Anak dari Al Hadist, Rosululllah SAW bersabda:
خذْيْماْْيعفيكْوولدْاْكْباْملعرْوْفْ)متفقْعليو(Artinya: “Ambilah hartanya yang cukup buatmu dan anak-anakmu
dengan cara yang makruf” (HR. Muttafaqun Alaih) (Depag
1985: 195).
لكْقوْتوْ)رواهْمسلمْواْلنساءْيْوابوْكفيْباْمرْءْامشاْاْنَْيبسْعمنْمي دْاْوْد(ْ
Artinya: “Cukup besar dosa seseorang bila ia menahan nafkah
terhadap orang yang ia miliki (Riwayat Muslim, Nasa‟i dan
Abu Daud) (Nashif, 1993: 107).
2. Batas Usia Pemberian Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih
Batas usia pemberian hak nafkah anak menurut fiqih, kewajiban itu
gugur jika anak mencapai usia dewasa, dewasa menurut hukum islam
adalah sudah baligh (kira-kira seseorang itu berusia 14 tahun).
Sedangkan dewasa menurut negara dan KHI adalah 21 tahun. Jika anak
yang sudah dewasa itu miskin dan secara fisik sehat, sebagian besar
ulama berpendapat tidak wajib memberi nafkah karena anak dianggap
mampu untuk bekerja sendiri.
Namun ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya, kewajiban
menafkahi anak tetap pada bapak, menurut Ibnu Taimiyah apabila anak
yang miskin tadi secara fisik lemah atau cacat, maka kewajiban
membiayai ada pada bapak. Lain halnya dengan anak perempuan,
sebagian besar ulama fiqih berpendapat, wajib bagi seorang bapak
-
44
memberi nafkah pada anak perempuan hingga anak perempuannya
menikah. Hal ini dikarenakan anak perempuan tidak mampu bekerja, atau
kalaupun mampu bekerja diluar akan cenderung berakibat pada
kemudaratan atau berdampak negatif.
3. Dasar Hukum Nafkah Anak menurut Hukum Positif
a. Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41 1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak,
pengadilan memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.
b. Kompilasi Hukum Islam Pasal 149
Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
1) Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-
dukhul.
2) Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah
dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qobla al-dukhul.
4) Memberi biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian,
1) Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
2) Pemelharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. c. UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak
Pasal 26
1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk ;
-
45
a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi, b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya, dan
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. 2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada
keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Macam-macam nafkah
a. Makanan yang sesuai dengan kondisi daerah, baik isterinya
muslimah atau dzimi, baik hamba maupun merdeka. Allah
berfirman:
نْسَْ َعِتِوَْوَمنُْقِدَرَْعَلْيِوْرِْزقُُوْفَ ْليُنِفْقِْمَّاْآتَاُهْاللَُّوَْلْلِيُنِفْقُْذوَْسَعٍةْمَِّْماْآتَاَىاَْسَيْجَعُلْاللَُّوْبَ ْعَدُْعْسٍرُْيْسراًْ﴿ ﴾٧ُيَكلُِّفْاللَُّوْنَ ْفساًِْإلَّ
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang
Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Qs. At
Thalaq:7)”.
Memberi makan dengan baik, artinya dengan cara-cara yang
halal, usaha yang halal.
b. Pakaian yakni segala sesuatu yang bisa menutupi tubuh
c. Nafkah ibadah seperti, diizinkan pergi berhaji, puasa wajib dan lain-
lain (Rifa‟i, Zuhri, Salomo, 1978:349).
-
46
5. Sebab-sebab yang mewajibkan nafkah
a. Sebab keturunan. Yang dimaksud ialah orang tua menjadi asal adanya
anak/keturunan maka orang tua wajib memberikan nafkah anaknya.
Syarat wajibnya nafkah atas kedua ibu-bapak kepada anak iala