skenario a blok 21 (revisi)
TRANSCRIPT
SKENARIO A BLOK 21
KEDOKTERAN OKUPASI
Disusun oleh:
Group D
Fakultas kedokteran Non-reg
Universitas Sriwijaya
1
Group member:
1. Fitria Koeshardani
2. Evi Lusiana
3. Winda haryati P
4. Ulfa Primadhani
5. Shafiq Shahmi
6. Tri Hari Irfani
7. Rudi Chandra
8. Febria Restissa
9. Fella Halimah P
10. Ramadhan Ananditia
11. Leon P
Tutor :
Dr. Yan Effendi
2
B. Term Clarification
1. Shift bergilir
2. Boiler
3. ammonia plant
4. urea plant
5. Petugas K3
6. kebisingan
7. ketulian
8. Ear plug
9. APD ( alat pelindung diri )
10. berdenging
11. Tuberculosis
12. Audiogram
13. air conduction
14. hearing acuity
15. Presbicusis
16. Jamsostek
17. NIHL ( noise induced hearing loss )
C. Problem Identification
1. Tn. Rahmat, 55tahun, selama 30 tahun terpapar kebisingan dengan intensitas
kebisingan :
- 87 dBA di boiler ( 10 tahun )
- 88 dBA di ammonia plant ( 10 tahun )
- 90 dBA di urea plant ( 10 tahun )
Tiap 8jam/hari
2. Tn. Rahmat selama bekerja tidak pernah memakai alat pelindung diri (APD) berupa
alat penyumbat telinga karena merasa tidak nyaman kalau harus memakainya saat
bekerja.
3. Petugas selalu mengontrol pemakaian alat tersebut akhiir2 ini saja namun tidak
demikian di masa lampau
3
4. Tn. Rahmat mengalami penurunan pendengaran pada trek tinggi, namun ia
menganggap hal itu biasa terjadi pada orang seumurannya.
5. Tn. Rahmat akhir-akhir ini sering merasa telinganya berdenging, dengan hasil
audiogram berikut :
250 Hz 500 Hz 1000 Hz 2000 Hz 3000 Hz 4000 Hz 6000 Hz
1998
( dB)
15 20 20 20 25 25 20
2008
(Db)
20 25 30 35 40 50 25
D. Problem Analysis
1. Berapa ambang batas normal maksimal yang dapat ditolerir oleh system audiotory
manusia ? ( waktu dan intensitas )
2. Berapa ambang batas maksimal pemaparan terhadap kebisingan di tempat kerja ?
( waktu dan intensitas )
3. Bagaimana dengan HRA nya ?
4. Apa hasi; kesimpulan dari hasil pemaparan yang diterima Tn. Rahmat selama 30thn
bekerja di perusuhaan itu ? dan apa dampaknya ke Tn. Rahmat ?
5. a. Apa dampak tidak menggunakan alat penyumbat telinga saat bekerja
b. Faktor apa yang membuat alat ini dirasa tidak nyaman dipakai saat bekerja?
6. a. Bagaimana interpretasi dari hasil audiogram Tn. Rahmat pada tahun 1998 dan
2008?
b. Bagaimana diagnosis nya?
c. Apa type nya?
d. Bagaimana cara membedakan Noise Induce Hearing Loss (NIHL) dengan
presbikusis?
7. a. Apakah ini work-related atau terlibat dari kerja ?
b. Apa kewajiban hokum dari perusahaan tersebut ?
8. Bagaimana peran Jamsostek dalam kasus Tn.Rahmat ?
9. Bagaimana solusi untuk kasus ini dengan menerapkan prinsip kedokteran pencegahan
( Primer, Sekunder, Tersier )
4
E. HYPOTESIS
Tn. Rahmat, 55 tahun, mengalami gangguan pendengaran akibat kerja karena perilaku
kesehatan yang kurang baik dan kurangnya kontrol dimana ia bekerja.
F. Synthesis
1. Berapa ambang batas normal maksimal yang dapat ditolerir oleh system audiotory
manusia ?
( waktu dan intensitas )
Anatomi Telinga
Secara anatomi, telinga dapat dibagi menjadi tiga yaitu telinga luar, tengah,
dan dalam. Telinga luar berfungsi mengumpulkan suara dan mengubahnya menjadi
energi getaran sampai ke gendang telinga. Telinga tengah menghubungkan gendang
telinga sampai ke kanalis semisirkularis yang berisi cairan. Di telinga tengah ini,
gelombang getaran yang dihasilkan tadi diteruskan melewati tulang-tulang
pendengaran sampai ke cairan di kanalis semisirkularis; adanya ligamen antar tulang
mengamplifikasi getaran yang dihasilkan dari gendang telinga. Telinga dalam
merupakan tempat ujung-ujung saraf pendengaran yang akan menghantarkan
rangsangan suara tersebut ke pusat pendengaran di otak manusia.
Konduksi Tulang
5
Konduksi tulang adalah konduksi energi akustik oleh tulang-tulang tengkorak
ke dalam telinga tengah, sehingga getaran yang terjadi di tulang tengkorak dapat
dikenali oleh telinga manusia sebagai suatu gelombang suara. Jadi segala sesuatu
yang menggetarkan tubuh dan tulang-tulang tengkorak dapat menimbulkan konduksi
tulang ini. Secara umum tekanan suara di udara harus mencapai lebih dari 60 dB
untuk menimbulkan efek konduksi tulang ini. Hal ini perlu diketahui, karena
pemakaian sumbat telinga tidak menghilangkan sumber suara yang berasal dari jalur
ini.
Nilai Ambang Batas Kebisingan
Nilai ambang Batas Kebisingan adalah angka 85 dB yang
dianggap aman untuk sebagian besar tenaga kerja bila bekerja 8
jam/hari atau 40 jam/minggu. Nilai Ambang Batas untuk kebisingan
di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan rata-rata
yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan
hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu terus-menerus tidak
lebih dari dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya. Waktu
maksimum bekerja adalah sebagai berikut
No. TINGKAT
KEBISINGAN
(dBA)
PEMAPARAN
HARIAN
1. 85 8 jam
2. 88 4 jam
3. 91 2 jam
4. 94 1 jam
5. 97 30 menit
6. 100 15 menit
6
2. Berapa ambang batas maksimal pemaparan terhadap kebisingan di tempat
kerja ?
( waktu dan intensitas )
KepMenNaker No.51 Tahun 1999, NAB dapat dilihat pada tabel dibawah
ini :
Waktu pemajanan per hari Intensitas kebisingan dB(A)
8 Jam 854 882 911 94 30 Menit 9715 1007.5 1033.75 1061.88 1090.94 112 28.12 Detik 11514.06 1187.03 1213.52 1241.76 1270.88 1300.44 1330.22 1360.11 139Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB(A) walaupun sesaat
Agar kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan perlu
diambil tindakan seperti penggunaan peredam pada sumber bising,
penyekatan, pemindahan, pemeliharaan, penanaman pohon, pembuatan
bukit buatan ataupun pengaturan tata letak ruang dan penggunaan alat pelindung
diri sehingga kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan.
7
3. Bagaimana dengan HRA nya ?
Langkah-langkah Pokok HRA:
Identifikasi Hazards:
Jenis; Lokasi; Kelompok terpapar;
Dampak negatif;
Karakteristik Pemaparan:
Tingkat Pemaparan (kwalitatif vs. kwantitatif;
NAB(TLVs) dan BEIs.
Pengendalian dan Dokumentasi.
Cara mengukur kebisingan ditempat kerja:
Pengukuran dengan titik sampling
Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas
hanya pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat
dilakukan untuk mengevalusai kebisingan yang disebabkan oleh suatu
peralatan sederhana, misalnya Kompresor/generator. Jarak pengukuran dari
sumber harus dicantumkan, misal 3 meter dari ketinggian 1 meter. Selain itu
juga harus diperhatikan arah mikrofon alat pengukur yang digunakan.
Pengukuran dengan peta kontur
Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam mengukur
kebisingan, karena peta tersebut dapat menentukan gambar tentang kondisi
kebisingan dalam cakupan area. Pengukuran ini dilakukan dengan membuat
gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai dengan pengukuran yang
dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambarkan keadaan
kebisingan, warna hijau untuk kebisingan dengan intensitas dibawah 85 dBA
warna orange untuk tingkat kebisingan yang tinggi diatas 90 dBA, warna
kuning untuk kebisingan dengan intensitas antara 85 – 90 dBA.
Pengukuran dengan Grid
Untuk mengukur dengan Grid adalah dengan membuat contoh data kebisingan
pada lokasi yang di inginkan. Titik–titik sampling harus dibuat dengan jarak
interval yang sama diseluruh lokasi. Jadi dalam pengukuran lokasi dibagi
menjadi beberpa kotak yang berukuran dan jarak yang sama, misalnya : 10 x
8
10 m. kotak tersebut ditandai dengan baris dan kolom untuk memudahkan
identitas.
4. Apa hasil kesimpulan dari hasil pemaparan yang diterima Tn. Rahmat selama
30thn bekerja di perusuhaan itu ? dan apa dampaknya ke Tn. Rahmat ?
Berdasarkan nilai ambang batas kebisingan yang telah ditetapkan dalam
KepMenNaker No.51 Tahun 1999 yaitu nilai ambang batas untuk jam
kerja 8 jam yaitu 85dB(A),maka dapat disimpulkan bahwa ambang batas
kebisingan yang ada pada tiap bagian yang pernah Th.Rahmat geluti
selama 10 tahun di setiap bagian telah melampaui nilai ambang batas. Hal
ini dapat berakibat buruk kepada Tn.Rahmat yaitu kerusakan pada sistem
pendengarannya seperti penyakit Noise Induce Hearing Lose yang
merupkan salah satu penyakit yang diakibatkan pemaparan kebisingan.
Ditambah dengan perilaku Tn rahmat yang kurang peduli terhadap
pengunaan ear plug yang merupakan salah satu dari APD, dapat
meningkatkan risiko Tn.rahmat untuk mengalami gangguan pada sistem
auditorinya.
5. a. Apa dampak tidak menggunakan alat penyumbat telinga saat bekerja
Dampak terpapar Kebisingan
i. Pengaruh auditorial: NIHL
ii. Pengaruh non-auditorial: gangguan komunikasi, gelisah, rasa tidak
nyaman, gangguan tidur, peningkatan tekanan darah.
Lebih rinci dampak kebisingan terhadap kesehatan pekerja dijelaskan sbb:
1. Gangguan Fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila
terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa
peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg), peningkatan nadi, konstriksi
pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat
9
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris. Bising dengan intensitas tinggi
dapat menyebabkan pusing/sakit kepala. Hal ini disebabkan bising dapat
merangsang situasi reseptor vestibular dalam telinga dalam yang akan
menimbulkan evek pusing/vertigo. Perasaan mual,susah tidur dan sesak nafas
disbabkan oleh rangsangan bising terhadap sistem saraf, keseimbangan organ,
kelenjar endokrin, tekanan darah, sistem pencernaan dan keseimbangan
elektrolit.
2. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi,
susah tidur, dan cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat
menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, jantung, stres, kelelahan
dan lain-lain.
3. Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang
menutupi pendengaran yang kurang jelas) atau gangguan kejelasan suara.
Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini
menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya
kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya. Gangguan
komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan keselamatan seseorang.
4. Gangguan Keseimbangan
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa
atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala
pusing (vertigo) atau mual-mual.
5. Efek pada pendengaran
Pengaruh utama dari bising pada kesehatan adalah kerusakan pada indera
pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan efek ini telah diketahui dan
diterima secara umum dari zaman dulu. Mula-mula efek bising pada
pendengaran adalah sementara dan pemuliahan terjadi secara cepat sesudah
pekerjaan di area bising dihentikan. Akan tetapi apabila bekerja terus-menerus
di area bising maka akan terjadi tuli menetap dan tidak dapat normal kembali,
10
biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz dan kemudian makin meluas
kefrekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang biasanya
digunakan untuk percakapan.
6. Efek produktivitas-gangguan performa kerja.
b.Faktor apa yang membuat alat ini dirasa tidak nyaman dipakai saat bekerja?
Ada beberapa hal yang mungkin dapat menyebabkan seorang pekerja tidak
mengunakan alat pelindung diri,dalam kasus ini adalah pengunaan air plug, antara
lain:
Merasa risih,panas ditelinga
Menganggu komunikasi antar sesama pekerja.
Tidak adanya sangsi yang tegas apabila tidak memakai.
Pengetahuan yang kurang mengenai alat pelindung tersebut.
Alat Pelindung pendengaran.
1. Fungsi.
Untuk melindungi alat pendengaran (telinga) akibat kebisingan, dan
melindungi telingadari percikan api atau logam-logam yang panas.
2. Jenis.
Secara umum pelindungi telinga 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Sumbat telinga atau ear plug, yaitu alat pelindung telinga yang cara
penggunaannya dimasukkan pada liang telinga
b. Tutup telinga atau ear muff, yaitu alat pelindung telinga yang
penggunaanya ditutupkan pada seluruh daun telinga.
3. Spesifikasi.
a. Sumbat Telinga atau ear plug.
Sumbatan telinga yang baik adalah yang bisa menahan atau
mengabsorbsi bunyi atau suara dengan frekuensi tertentu saja,
sedangkan bunyi atau suara dengan frekwensi untuk pembicaraan
(komunikasi) tetap tidak terganggu. Biasanya terbuat dari karet,
platik ,lilin atau kapas. Harus bisa mereduksi suara frekwensi tinggi
(4000 dba) yang masuk lubang telinga, minimal sebesar x-85 dba,
11
dimana x adalah intensitas suara atau kebisingan di tempat kerja yang
diterima oleh tanaga kerja.
b. Penutup Telinga atau Ear Muff.
Terdiri dari sepasang (2 buah, kiri dan kanan) cawan atau cup, dan
sebuahsabuk kepala (head band) Cawan atau cup berisi cairan atau busa
(foam) yang berfungsi untuk menyerap suara yang frekwensinya
tinggi.Pada umumnya tutup telinga bisa meriduksi suara frekwensi
2800-4000 hz sebesar 35-45 dba.Tutup telinga harus mereduksi suara
yang masuk ke lubang telinga minimal sebesar x- 85 dba, dimana x
adalah intensitas suara atau kebisingan di tempat kerja yang diterima
oleh tenaga kerja.
6. a. Bagaimana interpretasi dari hasil audiogram Tn. Rahmat pada tahun 1998
dan 2008?
diagnosis
- Anamnesis : penurunan pendengaraan pada frekuensi tinggi
Telinga berdenging
usia→55 tahun
terpapar kebisingan >85 dB (8jam)
- Supportive test (audiogram) : terdapat takik(notch) pada frekuensi 4000hz
- Derajat ketulian
Dapat dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu :
Ambang dengar (AD) = AD500Hz + AD1000Hz + AD2000Hz + AD4000Hz
4
= 25 + 30 + 35 + 50
4
= 35dB tuli ringan
12
Audiogram
Data-data diatas menunjukkan jika Pak Rahmat menderita gangguang
pendengaran akibat bising (Noise induced hearing loss), jenis tuli sensorineural
dan dengan derajat ketulian tuli ringan.
b. Bagaimana cara membedakan Noise Induce Hearing Loss (NIHL) dengan
presbikusis?
NIHL Presbycusis
Gejala Kurang pendengaran disertai
tinnitus/tidak.
berat: keluhan sukar menangkap
percakapan dgn kekerasan biasa
amat berat: percakapn yang keras pu
sukar dimengerti.
Kurangnya pendengaran
secara perlahan-lahan dan
progresif disertai dengan
telingan bedenging
(tinnitus nada tinggi).
Dapat mendengar suara
percakapan tapi sulit untuk
memahami terutama
didaerah bising.
Sifat tuli Tuli sensorineural Tuli sensorineural koklea
Usia >60tahun
Patognomnik Audiometric : takik (notch) pada
frekuensi 4000hz
Noise Induced Hearing Loss (NIHL)
Definisi
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki. Dari
definisi ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu sangat subyektif, tergantung dari
masing-masing individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Sedangkan secara
audiologi, bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekwensi.
Cacat pendengaran akibat kerja (occupational deafness/noise induced hearing
loss) adalah hilangnya sebahagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat
13
permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus
dilingkungan tempat kerja.
Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan antara lain:2
1. Intensitas kebisingan
2. Frekwensi kebisingan
3. Lamanya waktu pemaparan bising
4. Kerentanan individu
5. Jenis kelamin
6. Usia
7. Kelainan di telinga tengah
Pembagian Bising
Berdasarkan sifatnya bising dapat dibedakan menjadi:
1. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas
Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas amplitudo kurang
lebih 5dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut.
Contoh: dalam kokpit pesawat helikopter, gergaji sirkuler, suara katup mesin gas,
kipas angin, suara dapur pijar, dsb.
2. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit
Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja (misal 5000, 1000 atau
4000 Hz), misalnya suara gergaji sirkuler, suara katup gas.
3. Bising terputus-putus
Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu kebisingan tidak
berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Contoh kebisingan
ini adalah suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang dll
4. Bising impulsive
Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu
sangat cepat dan biasanya me-ngejutkan pendengarnya.
Contoh: suara ledakan mercon, tembakan, meriam dll.
5. Bising impulsif berulang-ulang
Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya pada mesin
tempa. Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah bising yang
14
bersifat kontinu, terutama yang memilikis pektrum frekuensi lebar dan intensitas yang
tinggi.
7. Apakah ini work-related atau terlibat dari kerja ?
Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu dilakukan suatu
pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan
menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi tujuh
langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman, yaitu:
1. Tentukan Diagnosis klinisnya
Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu, dengan memanfaatkan
fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk
mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinik ditegakkan baru dapat
dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan
atau tidak.
2. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah
esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk
ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan
teliti, yang mencakup:
a. Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita
secara kronologis
b. Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan
c. Bahan yang diproduksi
d. Materi (bahan baku) yang digunakan
e. Jumlah pajanannya
f. Pemakaian alat perlindungan diri (masker)
g. Pola waktu terjadinya gejala
h. Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala
serupa)
i. Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan
(MSDS, label,dan sebagainya)
3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit
tersebut.
15
Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung pendapat
bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam
kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut di
atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam
kepustakaan ada yang mendukung. Perlu dipelajari lebih lanjut secara khusus
mengenai pajanan sehingga dapat menyebabkan penyakit yang diderita
(konsentrasi, jumlah, lama, dan sebagainya).
4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat
mengakibatkan penyakit tersebut.
Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu,
maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti
lebih lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat
menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.
5. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi
Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya, yang
dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD, riwayat adanya
pajanan serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien
mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita
lebih rentan/lebih sensitive terhadap pajanan yang dialami.
6. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah
penderita
mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit.
Meskipundemikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk
menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
7. Membuat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh
pekerjaannya.
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan
berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab langsung
16
suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya memperberat suatu kondisi yang
telah ada
sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan pada waktu menegakkan diagnosis. Suatu
pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa
melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan
menderita penyakit tersebut pada saat ini. Sedangkan pekerjaan dinyatakan
memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah ada atau timbul pada waktu
yang sama tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi pekerjaannya/pajanannya
memperberat/mempercepat timbulnya penyakit.
Peran Diagnosis PAK berkontribusi terhadap:
Pengendalian Pajanan
Identifikasi pajanan baru secara dini
Asuhan medis dan upaya rehabilitasi pekerja yang sakit dan/atau cedera
Pencegahan terulang/makin berat kejadian penyakit/kecelakaan
Perlindungan terhadap pekerja lain
Pemenuhan hak kompensasi pekerja
Identifikasi ada hubungan antara pajanan dengan penyakit.
PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 Tanggal 27 Pebruari 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
Bahwa untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja, Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menetapkan
perlunya pengaturan mengenai penyakit yang timbul karena hubungan kerja
dengan Keputusan Presiden.
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
17
4. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 20,
5. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3520);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYAKIT
YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA.
Pasal 1
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja.
Pasal 2
Setiap tenaga kerja yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja
berhak mendapat jaminan Kecelakaan Kerja baik pada saat masih dalam hubungan
kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir.
Pasal 3
(1) Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang hubungan
kerjanya telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan, apabila
menurut hasil diagnosis dokter yang merawat penyakit tersebut diakibatkan oleh
pekerjaan selama tenaga kerja yang bersangkutan masih dalam hubungan kerja.
(2) Hak jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan, apabila penyakit tersebut timbul dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun
terhitung sejak hubungan kerja tersebut berakhir.
18
Pasal 4
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.
Pasal 5
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
b. Apa kewajiban hukum dari perusahaan tersebut ?
a. Bagaimana peran Jamsostek dalam kasus Tn.Rahmat ?
JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN
Pemeliharaan kesehatan adalah hak tenaga kerja. JPK adalah salah satu
program Jamsostek yang membantu tenaga kerja dan keluarganya
mengatasi masalah kesehatan. Mulai dari pencegahan, pelayanan di
klinik kesehatan, rumah sakit, kebutuhan alat bantu peningkatan fungsi
organ tubuh, dan pengobatan, secara efektif dan efisien. Setiap tenaga
kerja yang telah mengikuti program JPK akan diberikan KPK (Kartu
Pemeliharaan Kesehatan) sebagai bukti diri untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan.
Manfaat JPK bagi perusahaan yakni perusahaan dapat memiliki tenaga
kerja yang sehat, dapat konsentrasi dalam bekerja sehingga lebih
produktif.
Cakupan Program
Program JPK memberikan manfaat paripurna meliputi seluruh
kebutuhan medis yang diselenggarakan di setiap jenjang PPK dengan
rincian cakupan pelayanan sebagai berikut:
19
1. Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama, adalah pelayanan
kesehatan yang dilakukan oleh dokter umum atau dokter gigi di
Puskesmas, Klinik, Balai Pengobatan atau Dokter praktek solo
2. Pelayanan Rawat Jalan tingkat II (lanjutan) , adalah
pemeriksaan dan pengobatan yang dilakukan oleh dokter
spesialis atas dasar rujukan dari dokter PPK I sesuai dengan
indikasi medis
3. Pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit, adalah pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada peserta yang memerlukan
perawatan di ruang rawat inap Rumah Sakit
4. Pelayanan Persalinan, adalah pertolongan persalinan yang
diberikan kepada tenaga kerja wanita berkeluarga atau istri
tenaga kerja peserta program JPK maksimum sampai dengan
persalinan ke 3 (tiga).
5. Pelayanan Khusus, adalah pelayanan rehabilitasi, atau manfaat
yang diberikan untuk mengembalikan fungsi tubuh
6. Emergensi, Merupakan suatu keadaan dimana peserta
membutuhkan pertolongan segera, yang bila tidak dilakukan
dapat membahayakan jiwa.
Hak-hak Peserta Program JPK:
1. Memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang optimal dan menyeluruh, sesuai kebutuhan dengan
standar pelayanan yang ditetapkan, kecuali pelayanan khusus
seperti kacamata, gigi palsu, mata palsu, alat bantu dengar, alat
Bantu gerak tangan dan kaki hanya diberikan kepada tenaga kerja
dan tidak diberikan kepada anggota keluarganya.
2. Bagi Tenaga Kerja berkeluarga peserta tanggungan yang diikutkan
terdiri dari suami/istri beserta 3 orang anak dengan usia maksimum
21 tahun dan belum menikah.
3. Memilih fasilitas kesehatan diutamakan dalam wilayah yang sesuai
atau mendekati dengan tempat tinggal.
20
4. Dalam keadaan Emergensi peserta dapat langsung meminta
pertolongan pada Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) yang
ditunjuk oleh PT Jamsostek (Persero) ataupun tidak.
5. Peserta berhak mengganti fasilitas kesehatan rawat jalan Tingkat I
bila dalam Kartu Pemeliharaan Kesehatan pilihan fasilitas
kesehatan tidak sesuai lagi dan hanya diizinkan setelah 6 (enam)
bulan memilih fasilitas kesehatan rawat jalan Tingkat I, kecuali
pindah domisili.
6. Peserta berhak menuliskan atau melaporkan keluhan bila tidak puas
terhadap penyelenggaraan JPK dengan memakai formulir JPK
yang disediakan diperusahaan tempat tenaga kerja bekerja, atau PT.
JAMSOSTEK (Persero) setempat.
7. Tenaga kerja/istri tenaga kerja berhak atas pertolongan persalinan
kesatu, kedua dan ketiga.
8. Tenaga kerja yang sudah mempunyai 3 orang anak sebelum
menjadi peserta program JPK, tidak berhak lagi untuk
mendapatkan pertolongan persalinan.
b. Bagaimana solusi untuk kasus ini dengan menerapkan prinsip
kedokteran pencegahan ( Primer, Sekunder, Tersier )
Pencegahan primer
Public Health Level
– Memantau status kesehatan untuk identifikasi problim di tingkat
komunitas;
– Investigasi Health Hazards di tingkat komunitas
– Enforcing law and regulations
– Mengembangkan kebijakan dan perencanaan;
Menegmbangkan kemitraan public
Pada Tingkat korporasi – perusahaan.
– Substitusi proses atau bahan beracun dengan yang tidak atau
kurang berbahaya.
21
– Memakai pendekatan Engineering:
• Exhaust system
• Preventive maintenance.
– Job Re-design
• Fit the job to the workers
• Work organisation and work practices.
. Pada Tingkat Individu.
– Pendidikan dan pelatihan
– Personal Protective Equiment
• Safety helmet;
• Safety shoes
• Glove n Apron
• Face shield n Goggle
• Respirators (dust, gases)
• Garment (Al, cover all)
• Ear plug n Ear muff
– Tindakan Administratif
Pencegahan sekunder
• Screening n Surveillance
– Skrining: untuk mencari kasus yang harus diobati;
– Surveillans: adalah pengumpulan data yang sistimatik ttg Sentinel
Events.
Kedua hal diatas untuk mendeteksi gagalnya program pencegahan
Pencegahan tersier
– Pengobatan saat penyakit sudah nyata untuk meminimalisir
komplikasi dan kecacatan. Bahkan dengan tindakan rehabilitasi
atau paliatif.
22