seri: islam dan hegemoni budaya global hukum islam dan... · melihat peta, pola dan praktik...

32
Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global PERGUMULAN HUKUM ISLAM DAN BUDAYA SASAK (MENGARIFI FIQIH ISLAM WETU TELU DI PULAU LOMBOK) OLEH: MASNUN TAHIR, M.Ag SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) NURUL HAKIM KEDIRI LOMBOK BARAT

Upload: buidat

Post on 15-Mar-2019

246 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global

PERGUMULAN HUKUM ISLAM DAN BUDAYA SASAK (MENGARIFI FIQIH ISLAM WETU TELU DI PULAU LOMBOK)

OLEH:

MASNUN TAHIR, M.Ag

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) NURUL HAKIM

KEDIRI LOMBOK BARAT

Page 2: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

1

NTB

PERGUMULAN HUKUM ISLAM DAN BUDAYA SASAK

(MENGARIFI FIQIH ISLAM WETU TELU)

Oleh: Masnun Tahir, M.Ag1

Abstraks Tulisan ini membahas masalah pergumulan hukum Islam dengan budaya Sasak tepatnya

dengan Islam Wetu Telu, sebuah varian Islam di daerah Sasak Lombok. Pembahasan dimulai dengan

melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian

yaitu Islam Waktu Lima dan Islam Wetu Telu. Dari kedua kelompok ini terdapat Islam dengan

karakteristik yang membedakan keduanya, meskipun menempati wilayah yang sama. Perbedaan yang

amat mencolok adalah dalam hal pengamalan-pengamalan fiqih, doktrin Islam Waktu Lima lebih

cenderung berkomitmen pada ideal Islam, sementara Islam Wetu Telu ajaran yang mereka jalankan

banyak diwarnai oleh kepercayaan terhadap ketuhanan anismistic leluhur dan benda-benda

antromorfis lainnya. Dalam hal ini mereka dapat dikatakan panteis. Adapun secara umum mengenai

ajaran Islam, kelompok Islam Wetu Telu mengenal tiga rukun Islam saja, yaitu syahadat yang hanya

dilakukan waktu akad nikah saja,serta solat dan puasa yang hanya merupakan kewajiban dan

dilakukan oleh kyai saja, sementara orang awam tidak wajib melakukannya. Hal ini karena mereka

berpandangan bahwa kiai adalah orang suci dan bebas dari dosa dan mampu menanggung segala

urusannya di akhirat. Adapun kewajiban bagi masyarakat hanyalah taat dan membayar zakat pad

kyai.

Dalam hal perkawinan, tradisi Kawin Lari masyarakat Islam Wetu Telu adalah sebuah tradisi yang

secara turun-temurun masih dipertahankan oleh masyarakat Sasak secara umum. Kawin Lari

dipandang sebagai sebuah konsep perkawinan yang utuh dengan tahapan prosesi yang panjang,

sakral. Dikatakan menarik karena setiap ritual yang dijalankan, sarat dengan simbol-simbol dengan

filosofi yang sarat makna.

Sebagai kelompok minoritas Islam Wetu Telu, baik secara langsung maupun tidak langsung

keberadaannya semakin ditekan oleh tiga lapis “penindasan” sekaligus, yakni arus modernitas,

penetrasi aktif dakwah Islamiyah yang tak kunjung surut, dan implikasi massif dari kebijakan politik

khususnya program transmigrasi. Mereka yang tersisa kini kian terpencil dari komunitas besar etnis

Sasak dan distigma sebagai segmen masyarakat yang “ketinggalan zaman” dan secara teologis

“sesat” dan karenanya perlu didakwahkan.

Benarkah ajaran mereka secara fiqh dan teologis sesat? Mengapa selalu termarginalkan nasib

keyakinan Islam yang bernuansa lokal? Bukankah ini justru bukti pluralitas keagamaan dalam Islam

sendiri, yang menunjukkan keramahannya terhadap budaya lokal.Padahal beralihnya Orang Sasak

dari Boda (sinkretisme Hindu-Budha) menjadi Islam, kemudian dari muslim sinkretis dan nominal –

disebut Wetu Telu- menjadi Islam yang sempurna –Waktu Lima- memperlihatkan dinamisme

kultural dalam cara Islam disebarkan, kemudian diserap, diakomodasi dan diekspresikan di

Indonesia. Dinamisme kultural juga melatari fakta bahwa aktifitas penyebaran dan penanaman ajaran

1 Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Nurul Hakim, Kediri Lombok Barat, NTB.

Page 3: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

2

Islam merupakan proses panjang dan berkesinambungan dalam antagonisme dan asimilasi tiada

henti. Bukankah dalam wacana fiqh ada istilah ‘urf, maslahah dn teknik-teknik tambahan lainnya

yang mengpresiasi budaya lokal?

Bagi penulis, kasus Islam Wetu Telu adalah masalah pergulatan klaim kebenaran yang biasa terjadi

sepanjang sejarah antara kalangan tekstualis, konservatif dan inovatif, arabis dan kultural, dan antar

berbagai varian Islam lain.

Setelah menguraikan argumen teologis adanya praktek dialektika Islam dan budaya lokal yang

melahirkan fiqh lokal, bagaimana wujud fiqih Islam Wetu Telu, penulis menutup dengan berbagai

catatan untuk melahirkan kearifan terhadap Islam lokal ditengah hegemoni budaya global dan

modernitas. Dengan demikian kita tidak congkak sehingga mengkafirkan atau mengklaim mereka

sesat, bisa jadi mereka lebih mulia dan lebih Islam di hadapan Tuhan (kufrun indan nass wa lakin

mukmin indallah), dan inilah kontribusi penting dari tulisan ini.

Pengantar: Pola Keberagamaan Masyarakat Sasak

Lombok adalah potret sebuah mozaik. Ada banyak warna budaya dan nilai menyeruak

di masyarakatnya. Mozaik ini terjadi antara lain karena lombok masa lalu adalah merupakan

objek perebutan dominasi berbagai budaya dan nilai. Antara sasak (suku dominan di

Lombok) yang pribumi yang harus berhadapan pula dengan pengaruhnya Hindu Bali yang

dominan di Lombok Barat dan pengaruh Islam Jawa yang kuat ekspansinya di Lombok

Tengah dan Lombok Timur.2

Dari segi geografis, Lombok juga mozaik dari berbagai kondisi. Lombok Barat

(sekarang terbagi menjadi Kab. Lombok Barat dan Kotamadya Mataram) adalah daerah

yang dikenal paling subur. Karenanya, di masa lalu Lombok Barat menjadi salah satu

sasaran Bali (tepatnya Kerajaan Karang Asem) dalam mengembangkan pengaruhnya. Tak

aneh, kalau di daerah ini Pura-Pura tempat sakral bagi persembahyangan kaum Hindu masih

banyak dijumpai. Orang Hindu dari Ampenan, Mataram dan Cakranegara datang ke Lombok

Barat untuk melakukan ritual keagamaan.

Dua kawasan lainnya, yakni Lombok Tengah dan Lombok Timur juga diwarnai

kondisi yang berbeda. Lombok Tengah adalah daerah miskin tanahnya kurang subur.

Sedangkan Lombok Timur terhitung sedikit lebih subur jika dibanding Lombok Tengah

karena kawasannya yang terletak di dataran tinggi Gunung Rinjani (Gunung tergolong

Merapi aktif di Lombok). Dua kawasan inilah yang di masa lalu menjadi benteng Islamisasi

kerajaan Islam Jawa di kawasan timur nusantara. 3

Pengaruh Kerajaan inilah yang kemungkinan menyebabkan Islam menjadi agama

mayoritas suku asli Lombok sekarang ini. Tetapi klaim ini masih perlu diuji kembali, karena

masuknya Islam di Lombok belum di ketahui secara pasti. Awal perkembangan Islam di

2 Balairung No. 26/TH.XII/1997, hlm. 76. 3 Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan (Jakarta: Kuning Mas, 1992), hlm. 8-12.

Page 4: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

3

Pulau Lombok diliputi ketidakjelasan, sekabur perkembangan Islam di Nusantara. Akan

tetapi diperkirakan pada abad ke-16 yang di bawa oleh Sunan Prapen, Putera dari Sunan

Giri, salah seorang Wali Songo di Jawa. Sebelum Islam datang ke Pulau Lombok terdapat

beberapa kepercayaan atau agama yang di anut oleh oarng-orang Sasak yaitu animisme,

Dinamisme, Budhisme, Bodaisme dan Hinduisme.4

Dalam perkembangan selanjutnya, Islam merupakan dan menjadi sebuah faktor utama

dalam masyarakat Lombok. Hampir 95 % dari penduduk kepulauan itu adalah orang Sasak

dan hampir semuanya adalah muslim. Seorang etnografis bahkan jauh mengatakan bahwa

“menjadi Sasak berarti menjadi muslim”. Sentimen-sentimen itu dipegangi bersama oleh

sebagian besar penduduk Lombok karena identitas Sasak begitu erat terkait dengan identitas

mereka sebagai muslim.

Bila lombok dicap sebagai “sebuah pulau dengan 1000 masjid” yang mungkin

meremehkan keberadaan sejumlah masjid kecil di Pulau tersebut, pesannya adalah jelas.

Lombok sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah tempat di mana Islam diterima secara

serius dan tipe Islam yang dipraktekkan adalah pada umumnya adalah agak kaku dan

bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan di daerah lain di negeri ini.5 Islam

sebagaimana ia di praktekkan dan di pahami di Lombok menampilkan sejumlah variasi yang

signifikan. Dalam tradisi keislaman masyarakat Sasak akan ditemukan dua varian Islam

yaitu “Islam Wetu Telu ” dan “Islam Waktu Lima ”.6

Wetu Telu adalah orang sasak yang, meskipun mengaku sebagai muslim, masih

sangat percaya terhadap ketuhanan animistik leluhur (ancestral animistic deitis) maupun

benda-benda antropomorfis (anthropomorphised inanimate objects). Dalam hal itu mereka

adalah panteis. Sebaliknya, Waktu Lima adalah orang muslim sasak yang mengikuti ajaran

syari’ah secara lebih keras sebagaimana diajarkan oleh al-Qur’an dan Hadis. Mengikuti

dikotomi Geertz dalam Religion of Java, agama Wetu Telu lebih mirip dengan Islam

abangan yang sinkretik, walaupun Waktu Lima tidaklah seperti bentuk Islam santri.7

4 Untuk informasi mendetail tentang pengaruh agama atau kepercayaan ini terhadap masyarakat Sasak

dan sejarah masuknya Islam ke Lombok baca, Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-

Nilai Islam dalam Budaya Sasak (Yogyakarta: Adab Press, 2006), hlm. 17-42 5 Kebenaran reputasi ini bisa kita uji dengan melihat praktik keagamaan di Lombok. Menurut

pengamatan penulis selama ini ternyata siang-malam penuh dengan ritual keagamaan (apalagi pada bulan-bulan

penting). Siang hari di setiap sudut desa mesti kita akan menemukan Tuan Guru sedang memberikan pengajian

keagamaan, sedangkan pada malam hari, dari masjid-masjid maupun Langgar-Langgar terdengar sekelompok

orang (jamaah) baca Hizib, Barzanji maupun amalan-amalan sunnah lainnya. 6 John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terj. Imron Rosyadi

(Yogyakarta: Tiara wacana, 2001), hlm. 86. 7 Erni Budiwanti, Islam Sasak; Wetu Telu Versus Waktu Lima, terj. Noorcholis dan Hairus Salim

(Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 1.

Page 5: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

4

Adanya dikotomi pola keberagaman orang Sasak menjadi Waktu Lima dan Waktu

Telu seperti dikatakan oleh Hasan Muarif Ambari adalah sangat khas, karena pola seperti ini,

khususnya Waktu Telu hanya ada di Lombok dan tidak pernah ditemukan ditempat lain di

Nusantara.8 Meski demikian, dengan merujuk kepada dikotomi Geertz terhadap umat Islam

Jawa. Erni Budiwanti mengatakan bahwa Islam Waktu Telu sebenarnya lebih mirip dengan

Islam Abangan yang sering juga disebut sebagai umat Islam secara formal, berdasarkan KTP

semata atau Islam statistik. Sedangkan Waktu Lima mirip dengan santri yang taat

menjalankan ibadah mahdah.9 Dengan demikian garis batas antara kedua varian Islam

tersebut sebenarnya sangat tipis, karena jika terjadi mobilitas sedikit saja, Islam abangan atau

Islam Waktu Telu sudah menjadi Islam santri atau Islam Waktu Lima.10

Sepanjang sejarahnya, antara penganut Waktu Lima dan Waktu Telu selalu terlibat

konflik. Konflik ini mulai meruncing pada masa penjajahan Belanda. Gerakan pembaharuan

Islam Waktu Lima mendapat perlawanan keras dari pribumi Sasak penganut Waktu Telu.

Konflik ini semakin parah karena campur tangan Belanda. Setelah kemerdekaan RI (1950-

1955), sebagian pengikut Waktu Telu yang berada dibawah naungan PKI dan sebagian

lainnya yang berada dibawah naungan PIR (Partai Indonesia Raya) mendapat tekanan hebat

dari pengikut Waktu Lima yang berada dibawah naungan Masyumi. Karena kedua kubu ini

selalu berkonflik, maka setelah peristiwa G30 S PKI, Waktu Telu dinyatakan dilarang

sebagai varian agama Islam oleh pemerintah. Maka secara hukum, sejak saat itu penganut

Waktu Telu telah habis. Namun di beberapa tempat secara sembunyi-sembunyi praktek

Waktu Telu masih dijalankan. Perkembangan terakhir menyebutkan bahwa Waktu Telu

mengalami re-interpretasi. Waktu Telu tidak lagi berfungsi sebagai varian agama, namun

hanya sebagai adat semata. Dalam kaitan ini. H. Rumeidi, salah seorang kepala desa di

Sembalun Bubung mengatakan, “kalau kita berbicara Waktu Telu, bukan agamanya yang

dimaksud di sini, tetapi manusianya. Manusianyalah yang Waktu Telu karena manusia hidup

di tiga dunia. Pertama, di alam nur yang dimulai dari alam roh sampai alam kandungan.

Kedua, alam dunia yang dimulai sejak manusia lahir dari rahim ibu sampai ia dikuburkan.

Ketiga, alam kubur dan alam akhirat”.11

8 Hasan Muarif Ambari, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia

(Jakarta: Logos Wacana Ilmu), hlm. 267

9 Erni Budiwanti, Islam Sasak., hlm. 1.

10 M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 1999), hlm. 170.

11 Erni Budiwanti, Islam Sasak., hlm. 136.

Page 6: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

5

Jika dalam perkembangannya, Waktu Telu mengalami proses stagnasi, maka

sebaliknya, Waktu Lima mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan tidak

berlebihan dikatakan bahwa hampir semua orang Islam Sasak sekarang ini adalah pengikut

Waktu Lima, sehingga apabila dikatakan “orang Islam” tidak lain yang dimaksud adalan

varian yang terakhir ini. Prestasi gemilang ini tentu tidak terlepas dari peran para tokoh

agama (da’i dan tuan guru) yang didukung oleh pemerintah yang secara aktif melakukan

dakwah ke seluruh Lombok, termasuk kepada pengikut Waktu Telu yang dianggap sebagai

Islam abangan karena tidak atau belum melaksanakan ajaran Islam secara benar.12

Seperti halnya kebanyakan orang Islam di Indonesia, umat Islam Sasak umumnya

mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengenal Islam dari sudut pandang fiqh,

khususnya fiqh Syafi’iyah ditambah dengan tinjauan tauhid seperti yang terdapat dalam

teologi Asy’ariyah.13 Mereka ini sering diasosiasikan sebagai tradisionalis yang bercorak

formalis-simbolis dan formal-ritual karena lebih menekankan ibadah formal atau ritual

dalam arti sempit (ibadah mahdah) sebagai standar utama dalam mengukur kadar

keberagamaan, kesalehan dan bahkan keimanan seseorang. Ini berlawanan dengan Islam

yang bercorak substantif-fungsional yang melihat Islam secara lebih komprehensif dan tidak

terbatas pada ibadah dalam arti sempit. Asumsi ini diperkuat oleh pengamatan selintas

penulis bahwa aspek syari’ah (hukum Islam) yang dihayati dan diamalkan masyarakat Islam

Lombok, tampaknya masih sangat terbatas pada segi-segi ajaran agama yang bersifat

seremonial, sehingga tampaknya mereka berpandangan bahwa itulah keseluruhan agama.

Akibatnya adalah lahirnya berbagai kepincangan dalam tata pergaulan masyarakat, baik

yang berkaitan dengan hukum Islam maupun yang berkaitan dengan aspek-aspek ajaran

Islam lainnya.

Meski demikian, terlepas dari corak keberagamaan yang dilekatkan kepadanya, harus

diakui bahwa semangat untuk melaksanakan ajaran Islam sangat tinggi di kalangan umat

Islam Sasak. Ini terlihat dari banyaknya sarana peribadatan yang ada seperti masjid, mausalla

dan langgar. Pada tahun 1980-1981 saja tercatat 7.538 buah tempat ibadah dengan rincian

2.402 buah masjid, 1.789 buah musalla dan 3.347 buah langgar.14 Di kecamatan Praya

12 Istilah “tuan guru” yang berkembang dan memasyarakat di kalangan suku Sasak di Pulau Lombok

identik dengan sebutan “Kyai Haji” yang berkembang pada masyarakat Islam, terutama di pulau Jawa. Ia

adalah tokoh agama Islam yang dipandang sangat menguasai ajaran agama Islam dalam berbagai aspeknya 13 Lihat dalam Saeful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution

(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 160 14 Lihat H. L. Wacana, Kebudayaan Sasak., hlm. 21.

Page 7: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

6

sendiri pada tahun 1999 tercatat 129 buah masjid, 73 buah musalla dan 192 buah langgar.15

Kenyataan inilah yang menyebabkan Lombok dikenal sebagai Pulau Seribu Masjid.16

Dalam perkembangan terakhir, konstruks kesadaran beragama umat Islam di Lombok

banyak dipengaruhi oleh elitnya yaitu tuan guru. Sebagai elit terdidik di masyarakat, tuan

guru memberikan pengetahuan Islam kepada masyarakat, di samping itu juga diyakini

memiliki otoritas yang sangat besar dan kharismatik. Hal ini, karena tuan guru adalah orang

suci yang dianugerahi “berkah”, tipe otoritas ini berada “di luar” dunia kehidupan rutin dan

profan sehari-hari. Otoritas tuan guru dalam hubungannya dengan masyarakat telah dibentuk

oleh kepedulian dan orientasinya pada kepentingan-kepentingan umat Islam.Tipe

kharismatik yang melekat pada diri kyai adalah karunia yang diperoleh dari kekuatan

Tuhan.17

Islam Sasak (Islam Wetu Telu): Wujud Dialektika Islam Dengan Budaya Sasak

Pergumulan Islam dengan khazanah lokal menjadikan Islam begitu multiwajah. Ketika

ia menjumpai varian kultur lokal, maka yang segera berlangsung ialah aneka proses

simbiose yang saling memperkaya. Demikian diberbagai belahan, halnya juga di Indonesia.

Muncullah beragam varian Islam. Ada Islam-Jawa, Islam-Sasak, Islam-Melayu, Islam-

Madura, Islam-Pesisir, Islam-Poliwali, Islam-Ambon, Islam-Padang, Islam-Banjar, Islam-

Bima dan seterusnya yang masing-masing mengetengahkan karakter kebenaran yang

berbeda. Begitu pula, tak cuma Islam-Arab, tetapi juga Islam-Iran, Islam-Cina, Islam

Amerika, Islam India, Islam Indonesia, dan sebagainya yang muncul dengan bangunan

kebenaran sendiri-sendiri.18

Agama sasak atau lebih spesifik lagi Islam sasak merupakan cermin dari pergulatan

agama lokal atau tradisional berhadapan dengan agama dunia yang universal dalam hal ini

15 Sumber: Kantor Urusan Agama Praya. 16 Lihat Abdul Baqir Zein, Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),

hlm. 305. 17 Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisa atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta: Rajawali, 1984),

hlm. 168-169. 18 Islam lokal yang merupakan hasil integrasi antara universalitas Islam dan lokalitas tradisi selama ini

sering dituduh sebagai sejenis Islam yang bernilai rendah, terutama karena ia berbeda dari apa yang biasa

dianggap sebagai “genuine” Islam dalam arti Islam Timur Tengah”. Seorang muslim dalam kategori itu

dikalangan pengkaji Islam disebut dengan istilah nominal muslims. Ada sebuah kata yang sering diucapkan

disini untuk menandai orang-orang Islam yang tidak menjalankan syari’at Islam, yaitu “Islam KTP”. Istilah

nominal Islam kurang lebih searti dengan istilah “Islam KTP” tersebut. Istilah nominal muslims berasal dari

studi Geerzt tentang Islam di Jawa. Geerz membagi orang (Muslim) Jawa ke dalam tiga kategori dengan

keyakinan dan artikulasi keagamaan yang berbeda-beda. Ketiga kategori tersebut adalah santri, abangan dan

priyai. Lihat seutuhnya Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyai dalam Masyarakat Jawa , terj. Aswab

Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).

Page 8: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

7

Islam. Seperti yang terjadi di Bayan (Lombok), Islam Wetu Telu (Islam Lokal) yang banyak

dipeluk oleh penduduk Sasak asli dianggap sebagai “tata cara keagamaan Islam yang salah

(bahkan cenderung syirik)” oleh kalangan Islam Waktu Lima, sebuah varian Islam universal

yang dibawa oleh orang-orang dari daerah lain di Lombok. Tak pelak, Islam Waktu Lima

sejak awal kehadirannya disengaja untuk melakukan misi atau dakwah Islamiyah terhadap

kalangan Wete Telu.

Secara sederhana barangkali dapat dikatakan bahwa Wetu Telu merupakan sejenis

Islam yang dijalankan dengan tradisi-tradisi lokal dan adat sasak. Varian Islam ini lebih

mirip dengan Islam abangan atau Islam Jawa di Jawa, seperti yang ditulis Mark Woodward

dalam buku “Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan”.19 Dalam agama Wetu

Telu, yang paling menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat,

bukan pengetahuan tentang sebagai rumusan doktrin yang datang dari Arab. Akan tetapi

juga bukan tidak menggunakan Islam sama sekali, dalam doa-doa, tempat peribadatan

masjid dan beberapa praktek ibadah lain, merupakan introduksi keislaman mereka.

Penyebutan istilah Wetu Telu mempunyai perspektif yang berbeda-beda. Komunitas

Waktu Lima menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai waktu tiga (tiga:telu) dan mengaitkan

makna ini dengan reduksi seluruh ibadah Islam menjadi tiga. Orang Bayan20 sebagai

penganut terbesar Islam Wetu Telu ini, menolak penafsiran semacam itu. Pemangku

Adatnya mengatakan bahwa, term wetu sering dikacaukan dengan waktu. Wetu berasal dari

kata “metu” yang berarti “muncul” atau “datang dari”. Sedangkan “telu” artinya “tiga”.

Secara simbolis makna ini mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup muncul melalui

tiga macam sistem reproduksi, yaitu melahirkan (disebut menganak), bertelur (disebut

menteluk) dan berkembang biak dari benih (disebut juga mentiuk). Term Wetu Telu juga

tidak hanya menunjuk kepada tiga macam sistem reproduksi, tetapi juga menunjuk pada

19 Corak Islam Jawa adalah corak keislaman yang sejak dini ditanam di Jawa oleh para Wali. Para wali

menyemai orientasi keislaman yang memadukan antara syari’ah dan tasawuf. Orientasi inilah yang

memungkinkan kalangan Islam tradisional Jawa mampu mengapresiasi lokalitas tanpa harus mengkhianati

prinsip dasar Islam. Karena itu, maka tidak mengherankan jika Woodward kecele ketika melakukan studi

tentang Islam Jawa. Karena pengaruh wacana dominan bahwa Islam Jawa sangat dipengaruhi Hindu, maka

salah satu persiapan penting yang ia lakukan sebelum melakukan penelitian di Jawa adalah mempelajari

doktrin-doktrin agama Hindu. Namun apa yang terjadi? Dia sama sekali tidak menemukan bukti bahwa apa

yang dituduhkan selama ini terhadap Islam Jawa sebagai warisan Hindu bisa ditemukan dalam ajaran-ajaran

skriptualis Hinduisme. Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj.

Hairus Salim HS (Yogyakarta: LKiS, 2004). 20 Penganut Islam Wetu Telu tidak hanya di Bayan (Lombok Barat), tetapi juga di daerah lombok

Tengah (Sengkol).Lihat Asnawi, Respon Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam, Ulumuna, Volume IX

Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005, hlm. 11. Lihat Juga Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang

Mataram (Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998),hlm. 158. Penjelasan yang agak lengkap tentang

geneologi Islam Wetu Telu ini bisa di baca pada karya Fawaizul Umam dkk, Membangun Resistensi, Merawat

Tradisi (Mataram: LKIM, 2006).

Page 9: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

8

kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan

mengembangkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.21 Sumber lain menyebutkan

bahwa ungkapan Wetu Telu berasal dari bahasa Jawa yaitu Metu Saking Telu yakni keluar

atau bersumber dari tiga hal: Al-Qur’an, Hadis dan Ijma. Artinya, ajaran-ajaran komunitas

penganut Islam Wetu Telu bersumber dari ketiga sumber tersebut.22

Komunitas Islam Wetu Telu ini dalam perjalanannya mulai terdesak sedikit demi

sedikit oleh ortodoksisme Islam dan “serangan” dakwah terus menerus yang dilakukan oleh

Islam Waktu Lima ( jenis Islam puritan yang ada di Lombok) terhadap Wetu Telu. Mengapa

selalu termarginalkan nasib keyakinan Islam yang bernuansa lokal? Bukankah ini justru

bukti pluralitas keagamaan dalam Islam sendiri, yang menunjukkan keramahannya terhadap

budaya lokal.Padahal beralihnya Orang Sasak dari Boda (sinkretisme Hindu-Budha) menjadi

Islam, kemudian dari muslim sinkretis dan nominal –disebut Wetu Telu- menjadi Islam yang

sempurna –Waktu Lima- memperlihatkan dinamisme kultural dalam cara Islam disebarkan,

kemudian diserap, diakomodasi dan diekspresikan di Indonesia. Dinamisme kultural juga

melatari fakta bahwa aktifitas penyebaran dan penanaman ajaran Islam merupakan proses

panjang dan berkesinambungan dalam antagonisme dan asimilasi tiada henti.

Lepas dari berbagai stigma yang dilekatkan pada Islam lokal (seperti Jawa dan Sasak)

ada baiknya menyimak pendapat Eickelman bahwa melihat Islam lokal dengan melepas

kaitannya dengan Islam normatif adalah sebuah pandangan yang gagal melihat fakta betapa

kebanyakan kaum muslim menjadikan normativitas Islam sebagai esensi untuk memaknai

praktik dan keyakinan Islamnya. Dalam konteks ini,adalah menarik melihat penolakan

Braten terhadap pandangan Geertz. Braten mengawalinya dengan sebuah penelitian di salah

satu desa yang dikenal kuat Islamnya di wilayah Jawa, tepatan di Desa Batasan, kabupaten

Semarang. Desa tersebut terkenal yang sangat fanatik Islamnya terutama NU. Berdasarkan

spirit harmoni yang membentuk sikap hidup masyarakat Jawa, Braten menemukan bahwa

dakwah Islam sama sekali tidak dilakukan dengan melangsungkan oposisi terhadap tradisi

lokal. Sekali lagi bahwa ini bukan dengan mengorbankan Islam atau mengorbankan tradisi,

tapi mewarnai tradisi dengan spirit Islam. Bacaan Bismillah menjadi pembuka bagi seluruh

akatifitas kemasyarakatan. Masyarakat bahkan memiliki caranya sendiri untuk tetap

menjaga harmoni itu. Mereka tahu bahwa adat tetap dilakukan dengan tanpa mencederai

jiwa Islam. Sementara Islam dilakukan dengan tetap menjaga harmoni tradisi masyarakat.

21 Erni Budiwanti, Islam..., hlm. 136. Juga John Ryan Bartholomew, Alif .., hlm.98. 22 Zaki Yamani Athar, Kearifan Lokal Dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok, Ulumuna, Volume

IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005, hlm. 76.

Page 10: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

9

Oleh sebab itu, yang terpenting bahwa tuduhan bahwa praktik-praktik Islam lokal, seperti

Jawa dan Sasak, semata-mata bersifat animis-hindu-budhis dan tidak memiliki landasannya

secara normatif dalam doktrin Islam, patut dipertanyakan ulang. Apa yang selama ini

dianggap sebagai kepercayaan dan praktik Islam lokal nyatanya juga dipraktikkan oleh

banyak kaum muslim di belahan dunia lain. Untuk konteks nusantara, ia hadir mengemuka

bersama dengan proses panjang islamisasi ini sendiri.23

Jadi Kehadiran varian Islam lokal seperti Wetu Telu ini sendiri jelas tak terelakan. Ia

imbas lanjut dari ketidakmungkinan Islam (termasuk agama lain) sebagai agama hadir

dengan melepas diri dari realitas. Agama, tak terkecuali Islam, selalu merupakan hasil dialog

antara dirinya dan realitas budaya dimana ia muncul. Karena itu, setiap agama pastilah

sinkretik. Sebab, tak ada wahyu yang turun bermula dari suatu ruang dan waktu yang vakum

budaya. Sinkretisme, hingga tingkat tertentu, berfungsi membuat agama memiliki makna

spiritual dan bernilai sosial. Sebaliknya, upaya purifikasi atasnya (sesuatu yang sejatinya

mustahil, karena itu naif) merupakan bentuk pengasingan atau alienasi dari dinamika

realitas. Sebab ia tak pernah merupakan kepercayaan murni; ia dituntut untuk memhami

dunia real lewat basis normatifnya sendiri.

Aspek Lokalitas dalam Fiqh Islam

Disiplin keilmuan Islam yang menjadi fakta sejarah bagaimana doktrin Islam

mengaprisiasi budaya lokal adalah ilmu fiqih. Sebagai institusi pembebas, fiqh harus

dimaknai proses bukan produk monumental. Hukum Islam atau fiqh, memiliki karakteristik

yang jauh berbeda dengan hukum dalam pengertian ilmu hukum modern. Hukum Islam

dikembangkan berdasarkan wahyu di samping pemikiran manusia dan juga diwarnai oleh

ciri kelokalan di samping ciri keuniversalan. Dengan demikian, fiqh dikatakan sebagai hasil

akhir dari suatu proses dialogis dan dialektis antara pesan-pesan samawi (normativitas)

dengan kondisi aktual bumi (historisitas). Aturan-aturan yang terbukukan dalam berbagai

kitab fiqh tidak dapat dilepaskan dari pengaruh cara pandang manusia, baik secara pribadi

maupun sosial. Dengan demikian, selain sarat dengan nilai teologis, fiqh juga memiliki

watak sosiologis.24

Dengan penjelasan di atas, fiqh berarti dapat membentuk dan dibentuk oleh

masyarakat. Hubungan yang saling mengisi ini menunjukkan betapa dominan muatan

23 Ahmad Zainul Hamdi, “Islam Lokal; Ruang Perjumpaan Universalitas dan Lokalitas” Ulumuna,

Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005, hlm. 122-123. 24 Amin Syukur, “Fiqh dalam Rentang Sejarah”, dalam Noor Ahmad dkk, Epistemologi Syara’;

Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. X.

Page 11: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

10

kultural dalam fiqh itu. Kuatnya muatan kultural itu dapat dibuktikan dengan keterbukaan

fiqh untuk menerima konsep ‘urf, istihsan serta istislah sebagai bagian dari sumber-sumber

fiqh.25

Ada beberapa bukti kesejarahan lainnya untuk menunjukkan bagaimana kondisi sosial

budaya memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukan fiqih. Adanya qaul jadid dari

Imam Syafi’i yang dikompilasikan setelah sampainya ia di Mesir, ketika dikontraskan

dengan qaul qadim-nya yang dikompilasikan di Irak, merefleksikan adanya pengaruh dari

tradisi adat kedua negeri yang berbeda.26 Imam Malik percaya bahwa aturan adat dari suatu

negeri harus dipertimbangkan dalam memformulasikan suatu ketetapan, walaupun ia

memandang adat atau ‘amal ahl al-Madinah sebagai variabel yang paling otoritatif dalam

teori hukumnya, merupakan bukti lain dari kuatnya pengaruh kultur setempat tidak pernah

dikesampingkan oleh para juris muslim dalam usahanya untuk membangun hukum. Bagi

Malik ‘Amal ahli Madinah ini lebih kuat dari hadis Ahad (transmisi tunggal). “Al-‘amal

atsbat min al-hadits”, katanya. Pendirian Malik yang menghargai tradisi lokal Madinah

tersebut terus dipertahankan meski banyak ulama yang menentangnya dan meski harus

berhadapan dengan rezim yang berkuasa. Pada suatu saat, Khalifah Abbasiyah Abu Ja’far al-

Manshur, memintanya agar kitab Muwattha’ yang menghimpun hadits-hadits Nabi karyanya

dijadikan sumber hukum positif yang akan diberlakukan diseluruh wilayah Islam. Imam

Malik menolak, katanya: “ Anda tahu bahwa diberbagai wilayah negeri ini telah berkembang

berbagi tradisi hukum sesuai dengan tuntutan kemaslahatan setempat. Biarkan masyarakat

memilih sendiri panutannya. Saya kira tidak ada alasan untuk menyeragamkannya. Tidak

ada seorangpun yang berhak secara eklusif mengklaim kebenaran atas namaTuhan”.27

Dalam konteks Indonesia lahirnya KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang didalamnya

juga diadopsi sistem gono-gini merupakan bentuk dialektika hukum Islam dengan tradisi

yang berkembang di Indonesia. Ini merupakan cita-cita lama dari para pemikir hukum Islam

25 Karena secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berurat

berakar pada budaya masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena fleksibelitas dan elastisitas yang dimiliki

hukum Islam. Artinya, kendatipun hukum Islam tergolong hukum yang otonom –karena adanya otoritas Tuhan

di dalamnya— akan tetapi dalam tataran implementasinya ia sangat aplicable dan acceptable dengan berbagai

jenis budaya lokal. Karena itu, bisa dipahami bila dalam sejarahnya di sebagian daerah ia mampu menjadi

kekuatan moral masyarakat (moral force of people) dalam berdialektika dengan realitas kehidupan. Baca

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 81. 26 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998), hlm.

19. Kajian lebih lengkap tentang qaul qadim dan qaul al-jadid-nya Imam Syafi’i baca Jaih Mubarok,

Modifikasi Hukum Islam; Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). 27 Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren (Yogyakarta: Pustaka

Rihlah, 2006), hlm.159.

Page 12: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

11

di Indonesia yang menginginkan adanya fiqh yang berkepribadian Indonesia, seperti Hasbi

Ash-Shiddieqi ataupun Hazairin.28

Fenomena yang disebut terakhir ini menunjukkan bahwa fiqh Islam adalah hukum

yang hidup dan berkembang, yang mampu bergumul dengan persoalan-persoalan lokal yang

senantiasa meminta etik dan paradigma baru. Keluasan hukum Islam adalah satu bukti dari

adanya ruang gerak dinamis itu. Ia merupakan implementasi obyektif dari doktrin Islam

yang meskipun berdiri di atas kebenaran mutlak dan kokoh, juga memiliki ruang gerak

dinamis bagi perkembangan, pembaharuan dan kehidupan sesuai dengan fleksibilitas ruang

dan waktu.

Besarnya adanya akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui juga

dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu usul al-fiqh, bahwa “adat itu

dihukumkan” (al-adah muhakkamah), atau lebih lengkapnya, “ Adat adalah syari’ah yng

dihukumkan” (al-adah syari’ah muhakkamah). Artinya, adat dan kebiasaan suatu

masyarakat, yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam Islam. 29

Islam sebagai agama yang universal yang melintasi batas ruang dan waktu kadangkala

bertemu dengan tradisi lokal yang berbeda-beda. Ketika Islam bertemu dengan tradisi lokal,

wajah Islam berbeda dari tempat satu dengan lainnya. Menyikapi masalah ini ada dua hal

yang penting disadari. Pertama, Islam itu sebenarnya lahir sebagai produk lokal yang

kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi, sehingga kemudian menjadi universal.

Dalam konteks arab, yang dimaksud dengan Islam sebagai produk lokal adalah Islam yang

lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada waktu itu ditujukan

sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan yang berkembang disana. Islam arab tersebut

terus berkembang ketika bertemu dengan budaya dan peradaban Persia dan Yunani, sehingga

kemudian Islam mengalami proses dinamisasi kebudayaan dan peradaban.

Kedua, walaupun kita yakin bahwa Islam itu wahyu Tuhan yang universal, yang gaib,

namun akhirnya ia dipersepsi oleh sipemeluk sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas,

intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk didalam

komunitasnya. Dengan demikian, memang justru kedua dimensi ini perlu disadari yang

disatu sisi Islam sebagai universal, sebagai kritik terhadap budaya lokal, dan kemudian

28 Untuk pemikiran Hasbi baca Yudian Wahyudi, Hasbi’s Theory of Ijtihad in the Context of

Indonesian Fiqh (Yogyakarta: Nawesea, 2007). Tentang Hazairin baca Hazairin, Hendak kemana Hukum Islam

(Jakarta: Tintamas, 1976). Juga Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005). 29 Nurcholish Madjid, “Islam dan Budaya Lokal: Masalah Akulturasi Timbal Balik”, dalam Islam

Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992) hlm. 542-554.

Page 13: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

12

budaya lokal sebagai bentuk kearifan (local wisdom) masing-masing pemeluk di dalam

memahami dan menerapkan Islam itu.

Berkaitan dengan itu, Syah Waliyullah al-Dahlawi, pemikir Islam India

mengemukakan adanya Islam universal dan Islam lokal. Ajaran tentang Tauhid (pengesaan

Tuhan) adalah universal yang harus menembus batas-batas geografis dan kultural yang tidak

dapat ditawar-tawar lagi. Sementara itu ekspresi kebudayaan dalam bentuk tradisi, cara

berpakaian, arsitektur, sastra dan lain-lain memiliki muatan lokal yang tidak selalu sama.

Doktrin Fiqh Islam Wetu Telu

Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur'an diturunkan oleh Allah SWT sebagai wahyu

kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantaraan malaikat Jibril untuk disampaikan

kepada umatnya. Seperti juga agama-agama yang lain yang mempunyai landasan moral dan

pranata tertentu untuk mengatur tingkah laku para pengikutnya. Begitu juga dalam ajaran

Islam, al-Qur'an juga mengandung berbagai petunjuk-petunjuk moral dan pranata tertentu

sebagai seorang muslim. Yang hal ini jelas menuntut para pengikutnya untuk

melaksanakannya sesuai dengan apa yang telah digariskan. Al-Qur'an bagi seorang muslim

merupakan pedoman dalam kehidupan untuk menuju jalan yang benar dan membimbing

seseorang kepada keselamatan dunia dan akhirat.

Dan sebagaimana masyarakat muslim Sasak yang lainnya, masyarakat penganut ajaran

Islam Wetu Telu juga mengakui bahwa, sebagai seorang muslim mereka menjadikan al-

Qur'an sebagai petunjuk dan pedoman dalam kehidupan mereka. Di dalam al-Qur'an telah

ditetapkan hal-hal yang harus dijalani oleh seorang muslim, baik itu mengenai moral ataupun

berbagai hal yang berkaitan dengan kewajiban ibadah sebagai seorang muslim.

Namun dalam hal ibadah, masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Telu mempunyai

cara dan keyakinan tersendiri dalam menjalani ibadah mereka sebagai seorang muslim. Hal

inilah yang membedakan dan menimbulkan pertentangan yang tajam di kalangan muslim

Sasak. Bagi mereka yang lebih dikenal dengan masyarakat penganut ajaran Islam Wetu

Lima, mengakui bahwa Islam itu didirikan atas lima prinsip dasar yaitu rukun Islam. Dan

bagi masyarakat penganut ajran Islam Wetu Telu mereka menjalani kelima rukun Islam

sesuai dengan yang telah digariskan oleh al-Qur'an dan dijelaskan dalam hadis Rasulullah

SAW.

Page 14: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

13

Bagi masyrakat penganut ajaran Islam Wetu Lima, mereka mengucapkan Syahadat

sebagai bentuk pengakuannya sebagai seorang muslim, pengucapan ini tidak terbatas pada

suatu peristiwa saja. Kemudian masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Lima melaksanakan

shalat lima waktu sebagaimana yang telah ditetapkan. Masyarakat penganut ajaran Islam

Wetu Lima juga menjalankanpuasa Ramadhan sebulan penuh. Masyarakat penganut ajaran

Islam Wetu Lima membayar zakat kepada mereka yang berhak dan telah ditentukan oelh al-

Qur'an, serta melaksanakan ibadah haji bagi mereka yang telah mampu untuk

melaksanakannya.

Sementara tidak demikian bagi masyarakat penanut ajaran Islam Wetu Telu yang

mempunyai cara dana keyakinann tersendiri dalam menjalani rukun Islam, yaitu sebagai

berikut:

1. Syahadat

Telah diterangkan dalam ayat al-Qur'an yakni:

Artinya: " Allah telah menyatakan, bahwasanya tidak ada Tuhan, melainkan Dia,

Dialah yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga

menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan Melainkan Dia, Yang Maha Perkasa

lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali-Imran: 8).

Pada dasarnya syahadat yang diyakini oleh masyarakat penganut ajaran Islam Wetu

Telu sama dengan yang diyakini oleh mayarakat penganut ajaran Islam Wetu Lima , yaitu

syahadat tauhid sebagai pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah, yang kedua adalah syahadat

Rasul yaitu sebagai sebuah pengakuan akan eksistensi Nabi Muhammad sebagai utusan

Allah. Yang membedakan dari kedua kelompok tersebut yaitu: pertama, pada masyarakat

penganut ajaran Islam Wetu Telu mengutamakan pengucapan syahadat dengan bahasa Jawa

daripada dengan bahasa Arab. Adapun bunyi lafal syahadat yang telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Jawa tersebut sebagai berikut:

“Weruh ingsun nora ana pangeran liane Allah, lan weruh ingsun setuhune Nabi

Muhammad utusan Allah”.

Adapun artinya apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu: Aku bersaksi

bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Kedua, masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Telu mengucapkan dua kalimat

syahadat hanya pada saat melakukan akad nikah saja.

Sementara masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Lima meyakini bahwa pengucapan

kalimat syahadat adalah suatu perbuatan yang didasari oleh rasa iman dan pengakuan

Page 15: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

14

seutuhnya, kemudian dibuktikan dengan ibadah dan muamalah yang sesuai dengan yang

telah diajarkan oleh Nabi Muhammad, sehingga seseorang menjadi muslim seutuhnya.

2. Sholat

Telah ditegaskan dalam al-Qur'an dan hadits Nabi mengenai perintah dan tata cara

pelaksanaan ibadah sholat seperti dalam ayat al-Qur'an sebagai berikut:

Artinya: " Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa yang kamu

usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala pada sisi Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan." (Qs. al-Baqarah:

110)

Ibadah sholat pertama kali diperintahkan pada saat Nabi melaksanakan Isra dan Mi'raj,

di mana pada saat itu untuk pertama kalinya Nabi melakukan komunikasi langsung dengan

Allah. Pada mulanya perintah melaksanakan sholat sebanyak lima puluh kali dalam sehari

semalam, akan tetapi melihat kemampuan umat Muhammad yang tidak sanggup

melaksanakan ibadah sholat sebanyak itu dalam waktu satu hari satu malam, maka Nabi

Muhammad meminta sedikit keringanan kepada Allah, sehinggga perintah melakukan sholat

sebanyak lima puluh kali dalam satu hari satu malam dikurangi menjadi lima kali sehari

semalam.

Perintah untuk melaksanakan ibadah sholat lima waktu sehari semalam ini telah

dipraktekkan oleh Nabi semasa beliau masih hidup, dan telah diriwayatkan secara

mutawattir, sehingga umat Islam bisa melaksanakannya seperti apa yang telah dicontohkan

oleh Nabi. Mengenai perintah sholat sebanyak lima waktu sehari semalam ini tidak

diterangkan secara detail di dalam ayat-ayat al-Qur'an, disinilah terlihat urgensi dari

eksistensi hadis Nabi, yaitu sebagai penegas bagi ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat umum.

Dalam hal ini, Nabi menegaskan perintah sholat tersebut melalui hadis beliau sebagai

berikut:

Artinya: "Muhammad bin Yahya an-Naisaburi menceritakan kepada kami, 'Abdurrazak

menceritakan kepada kami Ma'mar menceritakan kepada kami dari Zuhri dari Anas bin

Malik berkata, telah difardukan atas Nabi pada malam ketika beliau di-Isra-kan lima

puluh sholat. Kemudian dikurangi sehingga menjadi lima. Kemudian diserukan, " Hai

Muhammad sesungguhnya perkataanmu di mukaku tidak diganti dan dengan ini kamu

mendapatkan lima puluh sholat. Dalam hal ini 'Abu 'Isa berkomentar mengenai hadis

ini, bahwa hadis 'Anas adalah hadis Hasan Shahih Gharib (HR: Turmuzi).30

30 Muhammad Isa bin Surrah al-Tirmiazi, Jami'us Sahih, Sunan al-Turmidzi (Beirut: Dar al-Fikr, tt), I:

213.

Page 16: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

15

Perintah untuk melaksanakan ibadah sholat ini hukumnya wajib bagi semua orang

Islam yang mukallaf dan beriman kepada Allah, kecuali tiga golongan mukallaf yang tidak

termasuk ke dalamnya yaitu:Orang yang sudah tidak mampu melaksanakannya dengan

isyarat,orang yang pingsan sehingga kehabisan waktu untuk melakukan ibadah sholat, dan

wanita yang sedang haid.31

Bagi masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Lima memahami sholat sebagai salah

satu alat untuk berkomunikasi secara langsung dengan sang Pencipta alam semesta ini

(Allah). Adapun komunikasi antara manusia dengan Allah akan berjalan dengan mulus

apabila manusia memahami dengan benar lafal yang diucapkan, kemudian memperhatikan

beberapa hal yang tergolong urgen sebelum melaksanakan sholat. Yaitu sebelum

melaksanakan sholat ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, seperti wudhu sebagai

salah satu cara untuk mensucikan diri dari hadas kecil, kemudian syarat yang lain adalah

dalam bentuk pakaian dan tempat yang bersih dan suci dari na'jis. Demikian syarat yang

harus dipenuhi sebelum melaksanakan ibadah sholat, adapun tujuannya adalah untuk

menciptakan komunikasi yang baik antara manusia dengan Allah.

Bagi masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Lima melaksanakan ibadah sholat

sebanyak lima waktu dalam sehari semalam, yang demikian itu seperti juga yang berlaku

bagi semua umat Islam yang mengaku sebagai orang yang bertaqwa kepada Allah. Adapun

jumlah rakaat dari sholat yang diwajibkan tersebut secara keseluruhan berjumlah tujuh belas

rakaat, ketentuan-ketentuan yang lainnya adalah mengenai waktu-waktu pelaksanaan ibadah

sholat bagi masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Lima sama seperti yang diperintahkan

oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun waktu-waktu pelaksanaannya adalah waktu subuh,

zuhur, ashar, magrib dan isya’.

Sementara bagi penganut ajaran Islam Wetu Telu, mereka hanya meyakini dan

melaksanakan ibadah sholat hanya ada tiga saja. Dan dalam hal tata cara pelaksanaan ibadah

sholat juga berbeda dengan muslim Sasak yang lainnya. Pelaksanaan tiga sholat itu adalah

sebagai berikut: sholat jumat,solat jenazah dan solat dua hari raya.

- Sholat Jumat

Pelaksanaan sholat Jumat yang dimaksud oleh masyarakat penganut ajaran Islam Wetu

Telu berbeda dengan sholat Jumat penganut ajaran Islam Wetu Lima. Adapun sholat Jumat

yang dimaksud oleh masyarakat Islam Wetu Telu adalah sholat fardhu yang lima waktu,

yaitu sholat Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Dalam pelaksanaannya, sholat yang

31 Hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Sholat (Jakarta: Bulan Bintang, 1951), hlm. 59.

Page 17: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

16

dilaksanakan hanyalah sholat Subuh, Sholat Maghrib dan sholat Isya, yang dilaksanakan

pada dini hari, senja dan malam hari. Dua sholat yang lainnya yaitu sholat Dzuhur dan Ashar

tidak dilaksanakan. Masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Telu meyakini bahwa mereka

belum pernah diajarkan oleh para kiyai yang membawa ajaran Islam ke Bayan. Atas dasar

inilah kelompok ini disebut sebagai “muslim sinkretis”32

Adapun syarat-syarat untuk melaksanakan sholat bagi masyarakat penganut ajaran

Islam Wetu Telu adalah sama dengan penanut ajaran Islam Wetu Lima, seperti melakukan

Wudhu sebelum melaksanakan ibadah sholat, gerakan-gerakannya, maupun melaksanakan

ibadah sholat di tempat yang suci.

- Sholat Jenazah

Tata cara melaksanakan sholat Jenazah bagi masyrakat penganut Islam Wetu Telu

adalah sama dengan masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Lima. Yang membedakan

adalah pada proses kremasi jenazah serta tempat diadakannya sholat seelum dimasukkan ke

dalam lubang kubur. Ketika ada ajaran Islam Wetu Telu yang meninggal, maka sebagai

langkah awal, jenazahnya akan dimandikan terlebih dahulu, baru kemudian jenazah tersebut

dikafani. Pada umumnya penganut ajaran Islam Wetu Lima menggunakan beberapa helai

kain putih sebagai kain kafan, akan tetapi berbeda halnya dengan penganut ajaran Islam

Wetu Telu , dimana mereka menggunakan pakaian teerakhir sebagai kain kafannya. Adapun

maksud dari semua itu adalah agar bisa menjadi saksi di hari kemudian. Sementara dalam

ajaran Islam Wetu Lima, Rasulullah sendiri mengajarkan agar mengkafani orang muslim

yang meninggal, sebagaimana hadis beliau yang berbunyi:

Artinya: Qutaibah menceritakan kepada kami, Hafs bin Ghiyats memberitahukan

kepada kami dari Hisam bin 'Urwat dari Ayahnya dari A'isyah ia berkata: "Nabi

dikafani pada tiga lapis kain Yaman yang putih yang di dalamnya tidak ada baju tidak

ada surban". Rawi berkata: Mereka mengatakan kepada A'isyah tentang ucapannya

bahwa Nabi dikafani pada dua lapis kain dan satu selimut bergaris-garis, maka A'isyah

menjawab, semua memang diberi alas selimut, tetapi Sahabat menariknya, dan mereka

juga tidak mengkafannya" Abu 'Isa berkata, hadis ini adalah hadis Hasan Shahih (HR.

Turmudzi).33

Sementara dalam ajaran penganut Islam Wetu Lima meyakini bahwa seseorang yang

hanya dikafani dengan menggunakan pakaian terakhir yang digunakan, hanya berlaku bagi

mereka yang mati dalam keadaan mati syahid.

32 Bartholomew, Alif Lam Mim…, hlm. 98. 33 Muhammad Isa bin Surrah al-Tirmiazi, Jami'us..hadis No. 996

Page 18: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

17

Sebelum jenazah dimasukkan ke dalam lubang kubur terlebih dahulu ditempatkan di

sebuah tempat yang disebut dengan Beruga,34 sementara para keluarga akan menyebarkan

berita duka tersebut ke seluruh kerabat jenazah. Sementara tamu laki-laki yang datang untuk

melayat, akan disuguhi minuman Berem atau semacam arak, setelah meminum minuman

tersebut, barulah mereka mengadakan zikir, setelah sampai pada waktu yang telah

disepakati, maka baru dilaksanakan sholat jenazah. Di kalangan masyarakat penganut ajaran

Islam Wetu Lima melaksanakan sholat jenazah adalah di rumah keluarga yang meninggal

atau di masjid, baik secara berjamaah maupun secara individu. Berbeda dengan masyarakat

penganut ajaran Islam Wetu Telu yang lebih mengutamakan melaksanakan sholat Jenazah di

kuburan.35

- Sholat Dua Hari Raya

Pelaksanaan shoalt Idul Fitri maupun sholat Idul Adha bagi masyarakat penganut

ajaran Islam Wetu Telu pada dasarnya sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat

penganut Islam Wetu Lima, baik mengenai tata cara pelaksanaan maupun bacaannya. Yang

membedakannya adalah waktu pelaksanaannya (pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan Idul

Adha). Bagi penganut ajaran Islam Wetu Lima biasanya melaksanakan sholat Idul Fitri pada

tanggal I Syawal, sementara pelaksanaan sholat Idul Adha dilaksanakan pada tanggal 10

Zulhijjah, yang demikian itu berdasarkan perhitungan bulan Islam. Akan tetapi berbeda

dengan masyarakat penganut Islam Wetu Telu yang melaksanakan sholat Idul Fitri dan Idul

Adha mundur 4 hari, sehingga pelaksanaan sholat Idul Fitri jatuh pada tanggal 4 Syawal,

sementara pelaksanaan sholat Idul Adha jatuh pada tanggal 14 Zulhijjah.

Bagi masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Telu berlaku perhitungan hari yang

dilakukan dan ditentukan oleh para penghulu dan kiyai mereka. Tugas-tugas para kiyai dan

penghulu adalah meliputi penyelenggaraan serta memimpin jalannya kehidupan yang

bersifat keagamaan, kemudian para kiyai dan penghulu melakukan musyawarah bersama

untuk menentukan kapan pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Ketika musyawarah

ini berlangsung di Beruga Agung. Beruga Agung digunakan sebagai tempat musyawarah

para kiyai dan penghulu sebelum melaksanakan sebuah perayaan keagamaan, termasuk juga

ketika melakukan musyawarah untuk menentukan kapan pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan

hari Raya Idul Adha. Penganut ajaran Islam Wetu Telu, khususnya para kiyai dan penghulu

ketika menentukan kapan pelaksanaan hari raya Idul Adha, serta untuk menentukan kapan

34 Beruga adalah sebuah bangunan yang terbuat dari kayu yang mempunyai tiang sebanyak empat

buah atau enam, beeratap dari ilalang, yang berfungsi untuk tempat berkumpul masyarakat biasa dalam sebuah

masyarakat adat. 35 Erni Budiwanti, Islam…, hlm. 46.

Page 19: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

18

waktu yang baik untuk melaksanakan upacara-upacara selamatan berpedoman pada

perhitungan bulan yang mereka percayai,

Cara perhitungan yang berlaku dalam kepercayaan masyrakat penganut ajaran Islam

Wetu Telu dapat dicontohkan sebagai berikut: Suatu upacara yang akan dilakukan pada tahun

Jimawal bulan Syawal, berarti Nektunya adalah 3 + 7 = 10 karena di sini Jimawal

mempunyai Nektu 3, sementara Syawal mempunyai Nektu 7, maka menghitungnya dimulai

dari hari ketiga yaitu Minggu. Hal ini berarti upacara tersebut harus dimulai pada hari

Minggu, yang puncaknya hari tersebut jatuh kira-kira 5 hari kemudian, yang berarti hari

Kamis dan bertepatan dengan tanggal 14 Syawal. Nektu Kamis adalah 8 ditambah tanggal 14

sehingga memperoleh angka 22. Karena Nektu tahun dan bulan berjumlah 10, kemudian

ditambah 22 sehingga memeperoleh angka 32. Angka pertama yaitu 3 harus dibuang,

sehingga angka yang teersisa adalah 2. Angka 2 adalah angka Aras Gunung, yang berarti

pertanda baik. Hari Minggu tanggal 14 Syawal/ tahun Jimawal merupakan hari yang baik.

3. Puasa

Mengenai ibadah puasa, menurut pandangan masyarakat penganut ajaran Islam Wetu

Telu, tidak sama dengan ibadah puasa yang dilakukan oleh masyarakat penganut ajaran

Islam Wetu Lima, dimana biasanya penganut ajaran Islam Wetu Lima melaksanakan ibadah

puasa selama satu bulan penuh dalam bulan Ramadhan. Sementara masyarakat penganut

ajaran Islam Wetu Telu melaksanakan ibadah puasa hanya pada tiga waktu saja. Mengenai

pelaksanaan ibadah puasa yang hanya dilakukan pada tiga waktu saja di kalangan

masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Telu ini, terdapat beberapa pendapat yang penulis

temukan, diantaranya adalah pendapat yang pertama H. M. Zaki, dalam penelitian

mengatakan bahwa masyrakat penganut ajaran Islam Wetu Telu melakukan ibadah puasa

dibagi ke dalam tiga waktu, yaitu:

- Dari tanggal 1 sampai tanggal 15 Ramadhan. Adapun pelaksanaannya adalah

sebagaimana yang dilaksanakan oleh masyarakat penganut ajaran Islam Wetu

Lima, yaitu dimulai dari sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Sampai

waktu untuk berbuka puasa.

- Dari tanggal 16 sampai tanggal 20 Ramadhan. Ibadah pusa dilaksanakan dimulai

dari sejak terbit fajar sampai tiba waktu untuk melaksanakan sholat Ashar, setelah

itu boleh melakukan berbuka puasa.

- Dari tanggal 21 sampai tanggal 30 Ramadhan. Ibadah puasa dilaksanakan seperti

biasa, yaitu dari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, hingga memasuki

waktu berbuka puasa.36

Pendapat yang kedua adalah pendapat dari Erni Budiwanti dalam bukunya Islam Sasak

(Wetu Telu Versus Wetu Lima), yang amengatakan bahwa para penganutajaran Islam Wetu

36 J. Van Ball, Pesta Alip di Bayan…, hlm. 55

Page 20: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

19

Telu melakukan ibadah puasa hanya pada tiga waktu saja, yaitu: pada permulaan bulan

Ramadhan, pada pertengahan bulan Ramadhan, dan yang terakhir yaitu pada penghujung

bulan Ramadhan.37

Pendapat yang ketiga dalah pendapat dari Raden Singaderia salah seorang tokoh

masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Telu, yang mengatakan bahwa penganut ajaran

Islam Wetu Telu melaksanakan ibadah puasa cukup hanya 9 hari saja, yaitu 3 hari berturut-

turut pada hari pertama bulan Ramadhan, 3 hari berturut-turut pada pertengahan bulan

Ramadhan, kemudian 3 hari berturut-turut pada akhir bulan Ramadhan.38

Dalam menentukan awal waktu pelaksanaan bulan Ramadhan, masyarakat penganut

ajaran Islam Wetu Telu mempunyai pedoman perhitungan sendiri dalam menentukan awal

pelaksanaan puasa. Dalam melaksanakan ibadah puasa, masyarakat penganut ajaran Islam

Wetu Telu juga mempunyai pantangan-pantangan yang harus dihindari. Pantangan tersebut

antara lain: tidak boleh melakukan suatu pekerjaan, tidak boleh berkata dusta dan juga tidak

boleh keluar dari rumah.

4. Zakat

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam al-Qur'an dan hadis tersebut bahwa zakat

adalah salah satu dari rukun Islam yang lima, adapun status hokum mengeluarkan zakat

adalah wajib bagi orang-orang yang mampu sebagai wujud iman dan taqwanya kepada

Allah. Eksistensi zakat sangatlah penting, seperti terlihat dalam beberapa hal berikut:

Zakat apabila ditinjau dari aspek hubungan antara manusia dengan Allah. Zakat yang

dikeluarkan oleh umat Islam, adalah sebagai salah satu cara untuk beribadah kepada Allah,

denagn kata lain, zakat berfungsi sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Allah, serta

sebagai bentuk kepatuhan umat Islam terhadap peritah Allah dan menjauhi semua larangan-

Nya.

Fungsi zakat apabila ditinjau dari aspek hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Dalam hal ini fungsi zakat adalah sebagai sebuah bentuk kesadaran diri, bahwa semua harta

benda yang dimiliki oleh manusia, semuanya itu adalah milik Allah yang dititipkan kepada

manusia untuk sementara. Selain berfungsi sebagai bentuk kesadaran diri, bahwa semua

yang dimiliki adalah milik Allah, juga berfungsi sebagai salah satu cara menghilangkan sifat

materialistis yang sering menghinggapi jiwa manusia, sehingga secara tidak langsung,

37 Erni Budiwanti, Islam Sasak.., hlm. 134 38 Zaki Yamani, Kearifan …, hlm. 81.

Page 21: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

20

manusia telah belajar untuk menyisihkan sedikit dari harta benda yang dimiliki untuk

kepentingan orang lain.

Di dalam masyarakat sekarang ini, realitas yang terjadi adalah adanya kesenjangan

ekonomi antara orang kaya dengan orang miskin semakin terlihat jelas jaraknya, sehingga

tidak jarang terjadi adanya sifat iri hati bagi orang-orang miskin yang melihat kemewahan

yang dimiliki oelh orang-orang kaya. Dalam hal ini salah satu fungsi dari zakat adalah

sebagai penghapus dari kesenjangan ekonomi antara orang kaya dengan orang miskin.

Dengan sedikit mengeluarkan zakat, kemudian diberikan kepada orang-orang miskin, secara

tidak langsung mampu menghilangkan sifat iri hati orang miskin, selain itu juga, akan

memberikan sedikit motivasi bagi orang miskin untuk meningkatkan perekonomian

mereka.39

Dalam doktrin Islam Wetu Telu, zakat dan sedekah lainnya mereka serahkan kepada

para kyai dan imam mereka, sebagai bentuk balas budi kepada kyai yang telah menyerahkan

kewajiban salat dan puasa mereka pada kyai. Ada dua macam zakat fitrah yang ditunaikan

dalam doktrin Islam Wetu Telu yaitu “zakat fitrah urip” dan zakat fitrah pati”. Zakat fitrah

urip” adalah zakat fitrah orang yang masih hidup. Sedangkan zakat fitrah pati” adalah zakat

fitrah bagi orang yang sudah meninggal dunia, yang dikeluarkan oleh keluarganya yang

masih hidup. Kedua zakat ini diserahkan kepada kyai mereka dengan niat mencari

kesejahteraan dan perbaikan kehidupan di dunia dan akhirat.

5. Haji

Meskipun ibadah haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang wajib diyakini dan

dilaksanakan bagi umat Islam yang telah mampu, namun tidak bagi masyarakat penganut

ajaran Islam Wetu Telu. Mereka tidak meyakininya seabagai rukun Islam yang wajib

dilaksanakan oleh umat Islam. Karena masyarakat Islam Wetu Telu hanya meyakini dan

melaksanakan tiga rukun Islam saja yaitu syahadat, sholat dan puasa, yang dalam

pelaksanaannya mempunyai cara tersendiri, seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Namun tidak hanya dalam pelaksanaannya saja yang berbeda, akan tetapi juga di

kalangan masyarakat penganut ajaran Islam Weiu Telu meyakini bahwa hal yang berkaitan

dengan ibadah sholat dan puasa adalah ibadah yang hanya wajib dilaksanakan oleh para

kiyai mereka. Di samping itu, pemberian zakat hanya wajib diberikan kepada kiyai. Karena

dalam masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Telu, menjadi seorang kiyai berarti ia harus

39 Zakiah Darajat, Ilmu Fiqih (Yogyakarta: Dana Bakti, 1995), hlm. 219.

Page 22: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

21

menanggung segala urusan akhirat dari para warganya. Hal ini terjadi tidak lepas dari

pandangan mereka mengenai konsep kepemimpinan di dalam masyarakat penganut ajaran

Islam Wetu Telu.

Masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Telu menyerahkan kewajiban-kewajiban

sebagai seorang muslim seutuhnya kepada kiyai atau guru mereka. Para kiyai atau yang

sering disebut dengan guru inilah yang akan menanggung segala resiko di akhirat nanti.

Seorang kiyai di tengah-tengah masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Telu mempunyai

status sosial yang tinggi, semua ucapan dan peritah kiyai harus selalu ditaati, barangsiapa

yang tidak mematuhi perintahnya, maka malapetaka akan menimpa diri dan keluarganya,

selain itu juga, dalam Banjar Agama, seseorang yang berani untuk tidak patuh pada perintah

kiyai, maka mereka akan diasingkan dari perkumpulan Banjar tersebut. Adapun sanksi

tersebut bisa dihapus apabila terlebih dahulu melakukan sebuah upacara selamatan, upacara

selamatan ini bukan sebagai upacara menebus dosa, melainkan upacara ini dilakukan sebagai

langkah pertama untuk melakukan rehabilitasi diri.

Dalam menjalankan ibadah, seperti ibadah sholat dan puasa, tidak diwajibkan kepada

penganut ajaran Islam Wetu Telu yang masih dianggap awam untuk melaksanakan sebuah

ibadah. Hal ini disebabkan karena mereka masih dianggap kotor dan belum suci. Ukuran

bagi seseorang penganut ajaran Islam Wetu Telu baru bisa dianggap sebagai orang suci

adalah apabila sudah memangku jabatan sebagai seorang kiyai atau guru. Dalam tradisi

masyarakat penganut ajaran Islam Wetu Telu, pengangkatan seorang kiyai dilakukan dengan

cara pemberian wasiat dari kiyai sebelumnya, atau dengan cara musyawarah di kalangan

para kiyai-kiyai sesepuh. Dalam proses ini biasanya mengambil tempat di Beruga Agung.

6. Pernikahan (Merarik)

Merari' adalah sebuah langkah awal ketika seorang pemuda ingin menikahi wanita

idamannya. Ketika kedua pasangan tersebut telah mencapai kesepakatan untuk melakukan

Merari', maka pada waktu yang telah disepakati, wanita tersebut akan dicuri dari rumah

orang tuanya, kemudian dibawa ke tempat persembunyian yang telah disepakati bersama.40

Kemudian setelah tiga hari, barulah kedua pasangan tersebut dinikahkan. Tradisi seperti ini

tidak hanya berlaku bagi para penganut ajaran Islam Wetu Telu Islam dan penganut ajaran

Islam Wetu Lima saja, melainkan berlaku bagi semua masyarakat Sasak yang tinggal di

pulau Lombok.

40 Erni Budiwanti, Islam...., hlm. 263

Page 23: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

22

Tradisi merarik dalam masyarakat Sasak baik komunitas Islam Waktu Lima maupun

Wetu Telu diimplementasikan dengan tradisi kawin lari. Kata kawin lari (Sasak: melarikan)

dalam gramatika bahasa Sasak dimaknai dan digunakan sebagai kata dengan pengertian yang

sama dengan perkawinan atau pernikahan. Pada masyarakat Sasak secara umum

menggunakan kata melarikan sebagai identifikasi bagi status perkawinan itu sendiri. Begitu

kuat eksistensi budaya kawin lari ini, sehingga sudah menjadi bahasa baku yang digunakan

sehari-hari oleh masyarakat Sasak di seluruh lapisan sosial. Sampai di sini, terlihat dengan

jelas seakan-akan laku budaya kawin lari telah menjadi kearifan lokal bagi komunitas Sasak.

Kawin Lari sebagai seperangkat prosesi adat dilaksanakan dalam beberapa graduasi

yang sekurang-kurangnya harus dijalankan oleh calon pasangan suami istri dalam adat

masyarakat Sasak. Dalam setiap prosesi memiliki kekuatan argumentasi budaya, simbul

budaya, laku dan peran sosial dalam substansinya.

Prosesi kawin lari pada masyarakat Sasak dilaksanakan dalam lima tahap tindakan

(aksi). Tindakan pertama adalah memaling (mencuri) yaitu tahap melarikan diri atau lari

bersama pasangan , proses kedua, sembunyi (Sasak; Sebo’) yang berarti gadis yang sudah

dilarikan disembunyikan di rumah keluarga atau sahabat calon suami. Proses ketiga adalah

mesejati yaitu tindakan pemberitahuan kepada pihak keluarga gadis yang dilakukan oleh dua

orang utusan dari pihak laki-laki tentang pencurian anak gadisnya, proses keempat yaitu

pembicaraan antar dua keluarga pasangan kaitannya dengan jumlah besarnya maskawin

(mahar) dan biaya prosesi lainnya yang disebut selabar. Selanjutnya proses yang kelima

adalah proses sorong serah dan nyongkolang.

- Memaling atau memaren (mencuri)

Tahap ini adalah melarikan diri atau lari bersama pasangan. Menurut para informan

dari para tokoh-tokoh adat dan masyarakat Sasak menjelaskan bahwa ada tiga opsi cara yang

mungkin digunakan untuk pelarian diri. Pertama, pasangan memutuskan untuk bertemu di

suatu tempat kemudian melarikan diri,41 kedua adalah pihak laki-laki dengan melalui

perantara biasanya keluarga laki-laki mengatas namakan lelaki yang akan melakukan

pelarian diri dan juga meracang untuk bertemu di suatu tempat, terakhir yaitu pelamar laki-

laki menggunakan magis untuk menarik perempuan ke sebuah tempat di mana laki-laki itu

menunggu untuk melarikan diri. Akan tetapi alernatif cara ketiga tidak terlalu banyak

dilakukan oleh muda-mudi Sasak dikarenakan oleh determinasi merariq itu sendiri yang

41 Cara pertama ini yang paling umum digunakan oleh calon pasangan perkawinan Sasak dimana lari

bersama antara pemuda dan gadis yang saling mencintai dilakukan karena ada kemauan dan kesepakatan

bersama yang dalam istilah Sasak dinamakan pada teruq atau pada mele.

Page 24: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

23

lebih kuat pada pengertian keinginan bersama yang bersangkutan untuk melaksanakan

pelarian diri secara bersama.

- Pesebo’an (sebo’)

Pesebo’an atau tempat persembunyian atau tempat tinggal sementara Sebo’ merupakan

prosesi lanjutan dari tahap kawin lari sebuah pasangan. Sebo’ dilaksanakan setelah

melarikan dilakukan di mana sang gadis dititipkan di rumah atau tempat tinggal keluarga

patrilateral atau sahabat pihak laki-laki. Tempat tinggal sementara itu dalam istilah Sasak di

sebut pesebo’an. Dalam keadaan sebo’ baik gadis maupun calon suaminya terikat dengan

norma-norma adat yang harus ditaati bila tidak menginginkan sangsi-sangsi adat. Aturan-

aturan adat itu terdiri dari ketentuan laku pelaku merariq yang dalam tahap penyebo’an,

misalnya larangan untuk kedua calon pasangan keluar dari penyebo’an sehingga dilihat oleh

keluarga perempuan, atau atas dasar keinginan untuk menemui keluarga gadis. Jika hal itu

terjadi, akan mengakibatkan dedaosan atau sangsi adat berupa denda pada tahap seremonial

kawin lari selanjutnya.

Berbeda dengan masyarakat adat Hindu Bali dan masyarakat Muslim Bayan Wetu

Telu dengan masyarakat adat Sasak yang muslim (Waktu Lima), pada masa penyebo’an

(persembunyian) kedua calon mempelai diperbolehkan melakukan hubungan biologis

asalkan setelah mendapat restu dari seorang belian atau tokoh adat setempat berupa bedak

langah yakni kelapa parut yang diusapkan kepada kedua calon mempelai.

Upacara yang membolehkan pasangan berhubungan biologis disebut juga dengan

tobat kakas (pertobatan) atau tobat maling, balik tindoan. Rangkaian ritual simbolis ini

dilakukan oleh masyarakat di Desa Bantek dan Kuranji di Bayan dan masyarakat Hindu Bali

di Lombok.42 Sedangkan pada masyarakat Sasak muslim baik perkotaan maupun pedesaan

tidak mengenal ritual itu, karena kehalalan berhubungan biologis hanya dapat dilaksanakan

bila akad nikah secara islami telah dilaksanakan.

- Mesejati dan Selabar

Mesejati merupakan pemberitahuan kepada orang tua gadis tentang pelarian diri

tersebut dengan menyebutkan identitas laki-laki teman gadis itu lari bersama untuk dijadikan

istrinya. Pemberitahuan ini dilakukan oleh dua orang laki-laki dengan menggunakan pakaian

adat. Sedangkan selabar adalah komunikasi diplomatis calon mempelai laki-laki dan

keluarga dengan wali dari keluarga perempuan tentang perkawinan dengan lari bersama itu.

Pada momentum inilah dua keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan menyepakati

42 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, Khasanah Budaya Nusantara VII, hlm. 164-165,

Bandingkan dengan Erni Budiwanti, Islam Sasak ..,hlm. 264-265

Page 25: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

24

dengan membicarakan penentuan wali, persoalan bayar adat, denda-denda adat jika ada serta

penentuan hari melakukan sorong serah.

Dalam normal adat, interval waktu antara mesejati dengan selabar diperkirakan

berjarak dua atau tiga hari. Bila mesejati telah dilaksanakan oleh utusan dari keluarga

mempelai laki-laki dengan memastikan kepada wali perempuan tentang adanya pelarian diri

anaknya, maka keluarga laki-laki termasuk ayah biologis laki-laki tersebut menemui kembali

keluarga perempuan atau nyelabar guna membicarakan seremoni perkawinan selanjutnya.

Dalam proses selabar keterlibatan pemerintahan desa seperti kepala kampung dan tokoh adat

dibutuhkan sebagai wujud keterlibatan struktural dari aparat desa dan wujud fungsional bagi

tokoh-tokoh adat masyarakat Sasak.

Pada masyarakat Sasak perkotaan dan beberapa wilayah pedesaan mengidentifikasi

proses selabar sebagai negosiasi pengambilan wali (S. bait wali) bila perkawinan itu

disetujui.43 Karena pada hari pertemuan itu juga semua persoalan tentang pelaksanaan

upacara dan pernikahan dibicarakan oleh utusan pihak laki-laki dengan pihak keluarga gadis.

- Sorong serah dan Nyongkolang (nyondol)

Prosesi sorong serah merupakan tindak lanjut dari proses sebelumnya yaitu proses

mesejati dan selabar. Sorong serah merupakan upacara adat yang melibatkan pemuka adat

kampung dan aparat pemerintahan desa guna penyelesaian mengenai persoalan-persoalan

adat yang timbul dari perkawinan tersebut. 44

Pada prosesi sorong serah ini kedua keluarga baik dari pihak laki-laki dan perempuan

berembuk dan negosiasi terbuka dengan membawa syarat-syarat yang telah disepakati

sebelumnya pada waktu selabar. Pada saat ini juga dapat dilakukan pembayaran-

pembayaran baik ajikrama45 dan denda-denda adat lainnya.

Signifikansi upacara sorong serah sangat nampak dan substansinya tetap dijaga

sehingga dalam keadaan bagaimanapun upacara sorong serah selalu dilaksanakan.

Konsekuensi dari itu, bagi setiap sanak kerabat mempelai laki-laki bahu membahu dalam

pelaksanaan prosesi tersebut dan bila ada kesulitan ditanggulangi bersama-sama. Adat pun

43 Ibid., hlm. 166. 44 Kata sorong dalam bahasa Sasak berarti menyodorkan, dorong (mendorong), sedangkan serah

artinya dalam kata benda berarti seserahan, memberikan atau menyerahkan. Sebagai bahasa adat Sasak sorong

serah berarti upacara pemberian seserahan dan syarat-syarat perkawinan yang telah disepakati oleh mempelai

laki-laki dan keluarganya kepada mempelai perempuan dan keluarganya. Tatiek Kartikasari (Ed.), Upacara

Tradisional Sorong Serah dan Nyondol Dalam Adat Perkawinan Sasak di Lombok, (Mataram : Proyek

Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai Budaya, 1991), hlm. 13 45 Ajikrama berasal dari bahasa Sanskerta, aji dan krama. Aji artinya raja, mulia dan krama artinya

adat. Ajikrama berarti adat yang mulia, dapat juga diartikan benda adat yang mulia. Dikatakan mulia karena

kedudukan dan fungsinya dalam adat Sasak adalah untuk menetapkan harkat dan martabat anak-anak yang

akan lahir dari perkawinan tersebut. Ibid, hlm. 14.

Page 26: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

25

membenarkan penyelenggaraan upacara sorong serah dengan sesuai kemampuan keluarga

laki-laki, mulai dari yang sangat sederhana, cukup dan megah yang dalam terminologi Sasak

dikenal dengan istilah nista (sederhana), madia (sedang), dan utama (besar-besaran).

Ketika upacara pernikahan tersebut dilaksanakan, dikenal dua hal yang sangat menarik

untuk dikaji, dimana kedua hal inilah yang menimbulkan kontroversi antara ajaran Islam

Wetu Telu dengan ajaran Islam Wetu Lima, yaitu, Tobat Kakas46 dan Tobat Sah. Ketika acara

Tobat Kakas berlangsung, seorang kiyai langsung menyampaikan khutbah nikah. Yang

menjadikan kontroversi adalah masalah wali nikah pada acara Tobat Kakas, adalah wali

dalam upacara ini adalah wali dari pihak laki-laki. Sementara upacara aqad nikah yang

diselenggarakan oleh penganut ajaran Islam Wetu Lima yag menjadi wali adalah dari pihak

wanita. Kemudian dalam Tobat Sah yang menjadi wali pernikahan adalah dari pihak wanita.

Menurut pandangan penganut ajaran Islam Wetu Telu perwalian dari pihak perempuan tidak

dianggap tidak sah. Tobat Sah ini dilakukan setelah sanggup melaksanakan syarat-syarat,

seperti Sorong Serah. Upacara Tobat Sah dilaksanakan setelah upacara Tobat Kakas

dilaksanakan. Adapun Ajik Karma (tata cara) Sorong Serah adalah sebagai berikut:

1. Mempelai laki-laki harus menyerahkan sejumlah uang yang telah disepakati, uang ini

disebut dengan uang Sorong.

2. Memberikan beberapa helai kain kepada mempelai wanita yang terlebih dahulu dikemas

dalam sebuah kotak.

3. Memberikan Tumpun Wireng (senjata tajam).

4. Memberikan sehelai kain, di mana kain tersebut akan digunakan sebagai alat untuk

membungkus uang Penyorong.

5. Memberikan puan (yang berisi kapur, sirih, dan tembakau).

Prosesi pemberkatan perkawinan (menikah) dalam dimensi Wetu Telu antara lain: wali

mempelai wanita, mengenakan kain dipundaknya, berjalan didepan diikuti oleh mempelai

pria dan kerabat laki-lakinya yang membawa selembar tikar, sebuah rombong dan penjalin

(tongkat rotan). Wali dan mempelai pria mengambil air wudlu kemudian duduk bersila

berhadapan, saling menyentuh ibu jari dan jemari mereka. Disaksikan oleh tokoh-tokoh

terkemuka: Kyai, Pemangku, Toaq Lokaq dan tamu lain serta kerabat.

Kemudian Kyai memimpin untuk menikahkan calon mempelai pria dan wanita,

sesudah itu, Kyai memimpin ritual pertobatan (tobat). Ia membuka tutup rombong dan

mengeluarkan batun kawin, 200 keping uang logam Cina dan menyusunnya menjadi lima

46 Tobat kakas adalah istilah dalam upacara pernikahan, di mana wali nikah dari piahk mempelai laki-

laki.

Page 27: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

26

tumupukan berjumlah sama. Lalu ia memungut empat puluh keping dan melemparkannya

satu demi satu ke berugak dimana undangan utama duduk bersila saling berhadap-hadapan.

Setiap kali kepingan uang logam Cina dilempar ke tikar, Wali memukul rotannya ke

punggung mempelai pria. Pukulan tongkat rotan melambangkan hukuman bagi mempelai

pria karena melakukan kawin lari. Sesudah itu Kyai mengucapkan do’a penobat dalam

bahasa Jawa Kuno dan do’a ini memohonkan agar perbuatan keliru pasangan tersebut

diampuni. Ketika Kyai sudah selesai dengan do’anya, Wali mengajukan permintaan secara

formal (menyilak) untuk memimpin upacara pernikahan.47

Di sini, mempelai pria menyatakan syahadat Jawa, pernyataan keimanan yang baku

dalam Islam, yang berbunyi:

“Bismillahirrahmanirrahim

Asyhadu alla ilaha ilallah

Wa Asyhadu anna Muhammad ya Rasulullah

Urung ingsun satuhune orana Pangeran among Allah

Lan uruh satuhune Nabi Muhammad utusan Allah”

Akan tetapi, sebelum dinikahkan, orang-orang yang menganut Wetu Telu, mereka

terlebih dahulu harus mengikrarkan sebagai berikut:

“Asyhadu alla ilaha ilallah

Wa Asyhadu anna Muhammad ya Rasulullah

Astaffirullah al azhim

Tobat ingsung maring kang Maha Suci saking dosa

Kang agung kang alit kang samara miwah kang nyata”48

Mempelai pria mengucapkan pernyataan syahadat sambil menyentuh ibu jari Kyai

dengan ibu jarinya sendiri, keduanya mempertautkan jemari masing-masing. Pernyataan itu

kemudian disusul dengan pernyataan taqlid dalam bahasa Arab oleh mempelai pria dengan

bimbingan Kyai. Pernyataan ini akan menjamin hak mempelai wanita atas suaminya. Setelah

taqlid diucapkan, Kyai memberikan berkatnya dalam bahasa Jawa Kuno. Do’a ini berisi

harapan agar pasangan yang dinikahkan hidup berbahagia di dunia dan akhirat.

Penutup

Karakter dan watak Islam sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an adalah sempurna.

Kesempurnaan ini harus dilihat pada prinsip-prinsip dasar yang terdapat pada Islam yang

sangat lentur dan kemampuannya untuk terbuka dengan peradaban lain di luar Islam. Sejarah

47 Erni Budiwanti, Islam ..,hlm. 267-269 48 Lalu Lukman, Sejarah, Masyarakat dan Budaya Lombok, (Mataram, 2004), hlm. 8

Page 28: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

27

Islam telah memperlihatkan suatu dinamika internal dan eksternal dalam memberikan warna

terhadap peradaban manusia.

Munculnya Islam sebagai suatu peradaban, bukanlah peristiwa yang bersipat kebetulan,

tetapi merupakan suatu rangkaian proses yang dilakukan secara sistematis dalam

menghadapkan doktrin Islam dengan suatu setting sejarah. Dalam proses demikian, jelas

sekali peran umat Islam dalam melakukan perambahan intelektual, yang kemudian

melahirkan pemikiran Islam dalam upaya memberikan respon terhadap berbagai

permasalahan atau menjadikan Islam sebagai kekuatan sejarah.

Islam adalah agama yang terbuka terhadap pemikiran diluarnya. Dari perspektif sejarah

bisa diketahui bahwa begitu keluar dari Jazirah Arabia dan mendapati kekayaan peradaban

dan budaya yang lebih tinggi, tanpa banyak membuang waktu, mengadaptasi dan

menjadikannya seperti milik sendiri.

Keterbukaan terhadap peradaban lain dan rasa percaya diri yang kuat terhadap

kemampuan menalar tanpa taklid buta, merupakan kunci penting dalam melahirkan produk

pemikiran. Sikap semacam inilah yang dianut oleh pemuka imam mazhab terdahulu.

Misalnya, Imam Abu Hanifah menyatakan: “mereka (para ulama terdahulu) adalah manusia

biasa, dan kitapun manusia. Kita mesti berterima kasih atas karya dan pemikiran mereka,

walaupun kita tidak mengikuti pendapat mereka”.

Ajaran normative dan sejarah Islam yang sangat terbuka dan mengapresiasi tradisi

local kiranya bisa menjadi modal bagi umat Islam dalam memasuki era multikulturalisme.

Setiap manusia, apa dan bagaimanapun tradisinya, menempati posisi sejajar yang patut

dihargai dan diakui keberadaannya. Oleh karenanya, bagi Islam, multikulturalisme malah

menjadi celah dalam upaya mewujudkan visi Islam yang rahmatan lil alamin.

Akhirnya, setiap muslim harus membangun hubungan dialogisnya sendiri dengan

teks-teks ajaran (termasuk fiqh) berdasar horizon budayanya masing-masing. Setidaknya

agar khazanah sisi majiner itu kembali menghuni kesadaran berislam umat. Dengan cara

begitu Islam akan selalu memiliki relevansi dengan setiap kebudayaan yang berbeda dengan

kebudayaan Arab tempat asalnya. Hingga pada gilirannya mampu mengantar umat Islam

yang berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya masing-masing. Dan

yang lebih penting lagi’ itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa

beragama memang haruslah benar-benar untuk manusia, dan bukan untuk Allah.

Page 29: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

28

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Budaya

Sasak (Yogyakarta: Adab Press, 2006),

Ahmad Zainul Hamdi, “Islam Lokal; Ruang Perjumpaan Universalitas dan Lokalitas”

Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005.

Al-Ghazali, Keagungan Solat, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998),

Amin Syukur, “Fiqh dalam Rentang Sejarah”, dalam Noor Ahmad dkk, Epistemologi

Syara’; Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)

Abdul Baqir Zein, Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press,

1999).

Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisa atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta:

Rajawali, 1984)

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyai dalam Masyarakat Jawa , terj. Aswab Mahasin

(Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).

Erni Budiwanti, Islam Sasak; Wetu Telu Versus Waktu Lima, (Yogyakarta : LKiS, 2000).

Erni Budiwanti,”The Impact of Islam on the Religion of the Sasak in Bayan, West Lombok”

dalam Kultur Volume I, No.2/2001.

Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram (Mataram: Yayasan Sumurmas Al-

Hamidy, 1998)

Fawaizul Umam dkk, Membangun Resistensi, Merawat Tradisi (Mataram: LKIM, 2006).

Hasan Muarif Ambari, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam

Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu)

Hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Sholat (Jakarta: Bulan Bintang, 1951).

Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren (Yogyakarta:

Pustaka Rihlah, 2006), hlm.159.

Imam Syafi’i baca Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam; Studi Tentang Qawl Qadim dan

Qawl Jadid (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).

John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terj. Imron Rosyadi

(Yogyakarta: Tiara wacana, 2001)

Lalu Lukman, Sejarah, Masyarakat dan Budaya Lombok, (Mataram, 2004).

M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 1999)

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001).

Muhammad Isa bin Surrah al-Tirmiazi, Jami'us Sahih, Sunan al-Turmidzi (Beirut: Dar al-

Fikr, tt)

Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim

HS (Yogyakarta: LKiS, 2004)

Nurcholish Madjid, “Islam dan Budaya Lokal: Masalah Akulturasi Timbal Balik”, dalam

Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992).

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS,

1998).

Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan (Jakarta: Kuning Mas, 1992)

Tatiek Kartikasari (Ed.), Upacara Tradisional Sorong Serah dan Nyondol Dalam Adat

Perkawinan Sasak di Lombok, (Mataram : Proyek Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai Budaya, 1991)

Page 30: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

29

Yudian W. Asmin, Catatan Editor, dalam Yudian (ed) “Ke Arah Fiqh Indonesia”,

(Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam, 1994).

Yudian Wahyudi, Hasbi’s Theory of Ijtihad in the Context of Indonesian Fiqh (Yogyakarta:

Nawesea, 2007)

Zaki Yamani Athar, Kearifan Lokal Dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok, Ulumuna,

Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005

Riwayat Hidup Penulis

Nama : Masnun Tahir, M.Ag

TTL : Dasan Baru, Lombok Tengah, 27 Agustus 1975

Pekerjaan : Dosen Tetap STIT Nurul Hakim, Kediri Lombok Barat, NTB

Alamat Lengkap : Kantor PWNU NTB, Jl. Pendidikan No. 6 Mataram Tlp.

(0370) 637040, Fax. (0370) 632014

Jenjang Pendidikan :

- 1982-1987 SDN Lendang Terong

- 1987-1990 MTS di Pon. Pes “Uswatun Hasanah” Lombok Tengah

- 1990-1993 MAN.PK Mataram NTB

- 1994-1999 Fak.Syari’ah(PM) UIN Sunan Kalijaga

- 2000-2002 Pascasarjana S2 UIN Sunan Kalijaga

- 2005-….. Pascasarjana S3 UIN Sunan Kalijaga

Pengalaman Organisasi:

1. Koord. Humas “IKAMANSA” Mataram-Yogyakarta 1994-1996

2. Koord. Humas “Jamaah Ibnu Abbas IAIN Su-Ka” 1994-1996.

3. Ketua Korp. “FORDINDA” PMII Rayon Fak. Syari’ah 1995-1996.

4. Koord. Humas PMII Rayon Fak. Syari’ah 1995-1996.

5. Koord. Humas “KOSPEHI” Fak. Syari’ah 1996-1997.

6. Divisi Humas “Mading LACAK” Fak.Syari’ah 1996-1997.

7. Ketua HMJ-PM Fak. Syari’ah 1996-1998.

8. Pengurus BPM Fak. Syari’ah 1996-1998.

9. Pengurus SMI IAIN Sunan Kalijaga 1996-1998.

10. LITBANG PMII Kom. IAIN Sunan Kalijaga 1997-1998.

11. Pengurus FORMASI Orwil DIY 1997-1998.

12. Koord. Divisi Kerohanian Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Lombok (KPML)

Yogyakarta 1995-1997.

13. Ketua Umum Dewan Tanfiziyah Ikatan Alumni Pondok Pesantren Uswatun Hasanah

(IKAPPUH) Batukliang, Lombok Tengah, NTB, 2000-Sekarang

14. Ketua Umum DPAC-PKB Batukliang (2002-2005)

15. Wakil Ketua PW-GP Ansor NTB (2004-2006)

16. MABINCAB PMII Cab. Mataram 2004-20006

17. Direktur Pendidikan Yayasan Pon.Pes Uswatun Hasanah (2004-Sekarang)

18. Konsultan beberapa pesantren (Darul Atfal, Batukliang Utara, Qudwatun Hasanah,

Nurul Hidayah, Sabilal Muhtadin NW, Islahul Anam NTB)

19. Wakil Katib Syuriah PWNU NTB (2007-2012)

Prestasi Akademik:

Page 31: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

30

1. Lulusan Terbaik I SDN Lendang Terong tahun 1987.

2. Juara Umum I Lomba Cerdas Cermas P4 Tingkat Kec. Batukliang tahun 1989.

3. Lulusan terbaik II KKM MTS Se-Kab. Lombok Tengah tahun 1990.

4. Lulusan Terbaik I EBTA di Pondok Pesantren Uswatun Hasanah 1990.

5. Lulusan Terbaik VI KKM MANSA Mataram 1993.

6. Juara II Lomba Debat P4 IAIN Sunan Kalijaga Yogkarta 1995.

7. Juara I LKTI (Lomba Karya Tulis Imiah) untuk DIY & Jawa Tengah Fak. Syari’ah

1998.

8. Juara II Lomba Debat “Bukan Basa Basi” A Mild untuk DIY & Jawa Tengah

Kategori Mahasiswa 1999.

9. Wisudawan Terbaik dengan Comloude (3,79) Fak. Syari’ah, tahun 2002

10. Wisudawan Terbaik dengan Comloude (3,72) Fak. Pascasarjana UIN Sunan

Kalijaga, 2002

Karya Tulis Ilmiah :

- Pemikiran TM.Hasbi Ash-Shiddiqie Tentang Sumber Hukum Islam (Skripsi S1).

- Wacana Pemikiran Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia: Studi Atas

Gagasan Kaum Islam Liberal Tahun 1970-2000, (Tesis S2)

- Titi Singgung An-Naim dalam Membelah Belantara Dogma Syari’ah (Suara

Muhammadiyah, 1997).

- Resensi Buku Tradisionalisme Radikal (Banjarmasin Post, 1998).

- Makna Strategis Ibadah Haji (Buletin Amal Bakti, Depag NTB, 2004)

- Paradigma Pemikiran Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia: Sebuah Telaah

Historis Politis (Jurnal Istinbath IAIN Mataram, Januar-Juni 2004)

- Faktor Kerelaan Istri Dalam Rujuk; Perspektif Keadilan Gender (Jurnal Ulumuna

IAIN Mataram, Januari-Juni 2004)

- Pergeseran Paradigma Pemikiran Fiqh Tuan Guru ((Penelitian Kolektif IAIN

Mataram 2005)

- Perspektif Baru Fiqh Lintas Agama (Jurnal El-Huda STAIIQH Bagu, Nopember

2005)

- Dasar-dasar Pemikiran Pembaharuan Liberalisme Hukum Islam di Indonesia (Jurnal

Istinbath IAIN Mataram, Desember 2005)

- Pencarian Otentisitas Islam Liberal di Indonesia ((Jurnal Ulumuna IAIN Mataram,

Januari-Juni 2006)

- Metodologi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jurnal Hermenia Pasca

sarjana UIN Sunan Kalijaga, Januari-Juni 2006)

- Paradigma Baru Fiqh Muamalah di Indonesia (Penelitian Kolektif IAIN Mataram

2006)

- Moralitas Agama atau Keagamaan (Jurnal Tasamuh IAIN Mataram, Juni-Desember

2006)

- Analisis Jender dalam Studi Islam (Jurnal al-Qawwam, IAIN Mataram 2007).

- Wacana Pemikiran Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia: Studi Atas

Gagasan Kaum Islam Liberal Tahun 1970-2000 (Antologi Tesis LKIM IAIN

Mataram)

- Munawir Sadzali dan Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Yogyakarta: Politea

Press, 2007)

- Islam dan Hubungan Antar Agama; Pedoman Bagi Para Da’I (Yogyakarta: LKiS,

2007)

Page 32: Seri: Islam dan Hegemoni Budaya Global HUKUM ISLAM DAN... · melihat peta, pola dan praktik keagamaan pada masyarakat Sasak yang terbagi menjadi dua varian ... dan implikasi massif

31