gamb.umum kebudayaan sasak

40
GAMBARAN UMUM KEBUDAYAAN SASAK Oleh: Nyoman Argawa Balai Bahasa Provinsi Bali Email: [email protected] _________________________________________________________ ___________ Geografi Pada masa penjajahan, gugusan kepulauan di Indonesia bagian Timur disebut Sunda Kecil meliputi pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Solor, Alor, Sumba, dan Timor. Setelah masa kemerdekaan (tahun 1958), wilayah Sunda Kecil yang dikenal dengan nama Nusa Tenggara dipecah menjadi tiga daerah provinsi yaitu provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pulau Lombok

Upload: manargawa

Post on 19-Jan-2016

73 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

GAMBARAN UMUM KEBUDAYAAN SASAK

Oleh: Nyoman ArgawaBalai Bahasa Provinsi Bali

Email: [email protected]____________________________________________________________________

Geografi

Pada masa penjajahan, gugusan kepulauan di Indonesia bagian Timur disebut

Sunda Kecil meliputi pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Solor, Alor, Sumba, dan

Timor. Setelah masa kemerdekaan (tahun 1958), wilayah Sunda Kecil yang dikenal

dengan nama Nusa Tenggara dipecah menjadi tiga daerah provinsi yaitu provinsi

Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pulau Lombok yang terletak

di sebelah timur pulau Bali masuk dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat

bersama-sama dengan pulau Sumbawa.

Bentangan geografis pulau Lombok antara 8o 12 dan 9o 1 Lintang Selatan

dan 115o 44 – 116o 40 Bujur Timur. Batas-batasnya: di sebelah Barat, Selat

Lombok; di sebelah Timur, Selat Alas; di sebelah Utara, Laut Jawa; di sebelah

Selatan, Samudera Hindia. Di sekitar wilayah laut pulau Lombok terdapat beberapa

Page 2: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

pulau kecil yang disebut gili, yaitu gili Terawangan, gili Meno, gili Air, gili Lawang,

gili Sulat, gili Lampu, gili Poh, gili Gede, dan gili Nanggu. Luas wilayah daratan

pulau Lombok mencapai 4.738, 70 km2 . Secara administratif, wilayah pulau Lombok

dibagi menjadi tiga kabupaten dan satu kota madya yaitu kabupaten Lombok Barat

ibu kotanya Giri Menang (Gerung), kabupaten Lombok Tengah ibu kotanya Praya,

kabupaten Lombok Timur ibu kotanya Selong, dan kota madya Mataram ibu kotanya

Mataram yang sekaligus menjadi ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat.

Topografi pulau Lombok dibedakan menjadi tiga bagian bentang alam.

Pertama, bagian Utara, merupakan dataran tinggi yang basah dan pegunungan yang

memanjang dari tepi pantai Barat sampai ke tepi pantai Timur dengan puncak-puncak

gunungnya yaitu gunung Sangkareang (2.914 m), gunung Nanggi (2.330 m), gunung

Punikan (1.490 m), dan gunung Rinjani. Gunung Rinjani adalah gunung tertinggi di

pulau Lombok atau gunung tertinggi ketiga di Indonesia dengan ketinggian mencapai

3.726 m. Di sebelah Barat gunung Rinjani, pada ketinggian 2.008 m dari atas

permukaan laut, terdapat sebuah danau yang dikenal dengan nama danau Segara

Anak. Air danau ini berwarna biru laut dan mengandung kadar sulfur serta mineral

yang sangat tinggi. Kandungan ini mempengaruhi air yang mengalir pada koko’ Pute’

menjadi berwarna seperti susu dan agak keruh. Kedua, bagian Tengah, merupakan

dataran rendah yang subur dengan areal persawahan yang luas. Daerah ini

membentang mulai dari Ampenan di tepi pantai Barat sampai ke Labuhan Lombok di

tepi pantai Timur. Ketiga, bagian Selatan, merupakan wilayah dataran tinggi yang

kering dengan pegunungan dan perbukitan kapur. Puncak-puncak gunungnya antara

35

Page 3: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

lain gunung Ponggod, gunung Mareje, dan gunung Jagok. Gunung Mareje merupakan

gunung tertinggi di bagian Selatan yang ketinggiannya mencapai 716 m.

Pulau Lombok termasuk daerah beriklim tropis dengan dua perubahan musim

yaitu musim kemarau dan musim hujan. Angin Muson yang sifatnya basah serta

bergerak dari arah Barat Daya terjadi pada bulan Oktober s.d. April yang

mengakibatkan terjadi musim hujan. Sedangkan angin Muson yang sifatnya kering

serta bergerak dari arah Tenggara terjadi pada bulan Mei s.d. November yang

mengakibatkan musim kemarau. Kawasan Lombok Barat, kawasan Kodya Mataram,

kawasan Lombok Tengah bagian utara, dan kawasan Lombok Timur bagian barat

daya, merupakan kawasan-kawasan yang paling banyak mendapatkan curah hujan

sehingga merupakan kawasan yang subur. Kawasan ini tampak menghijau dengan

aliran air sungai yang melimpah, areal persawahan pun menghampar luas. Pada

kawasan tersebut terdapat banyak sungai yang berhulu di hutan pegunungan Rinjani

seperti: sungai (koko’) Meninting, koko’ Jangko’, koko’ Babak, koko’ Belimbing,

koko’ Palung, koko’ Pute’, koko’ Sedutan, koko’ Bengkok, koko’ Segara, dan lain-

lain. Sedangkan kawasan Lombok Tengah bagian Selatan dan kawasan Lombok

Timur bagian Selatan merupakan daerah yang kurang mendapatkan curah hujan.

Ketika musim kemarau, sungai-sungi yang ada di kawasan tersebut seperti koko’

Penujak, koko’ Landak, koko’ Renggung, koko’ Pare, dan koko’ Runtak akan menjadi

kering. Pertanian di kawasan itu merupakan pertanian tadah hujan yang pada musim

kemarau sering terancam gagal panen dan masyarakat yang tinggal di kawasan

tersebut terancam bahaya kelaparan. Karena itu kawasan tersebut juga dikenal dengan

sebutan kawasan kritis Lombok Selatan.

36

Page 4: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

Kondisi alam terutama kawasan hutan pegunungan Rinjani kini mengalami

degradasi ekologis. Kawasan hutan Rinjani seluas 125.200 ha terdiri dari kawasan

hutan lindung 51. 500 ha, hutan produksi terbatas 9.935 ha, hutan produksi biasa

22.975 ha, dan kawasan hutan suaka marga satwa seluas 41.330 ha. Adanya aksi-aksi

penebangan liar, perambahan hutan, dan pembukaan lahan peladangan dengan cara

membakar hutan telah menimbulkan kerusakan hutan di kawasan Rinjani. Kepala

Dinas Kehutanan NTB, Badrun Zaenal, menyatakan tingkat kerusakan hutan di

kawasan hutan pegunungan Rinjani mencapai kisaran 13.000 ha atau 11 persen dari

luas seluruh kawasan hutan (125.000 ha). Kerusakan itu mencakup beberapa kawasan

hutan di wilayah kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Tengah

(Media Indonesia, 7 Maret 2005).

Kerusakan hutan di kawan Rinjani kini telah berdampak pada kelestarian

lingkungan alam seperti hilangnya beberapa titik mata air. Berdasarkan data dari

Balai Hidrologi, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah NTB, diketahui bahwa

dari 725 titik mata air yang ada sebelumnya kini hanya masih 446 titik mata air

(Laporan Pertemuan Multi Pihak II, 2005: 67). Demikian juga debit air pada beberapa

daerah aliran sungai. Contoh, sungai Babak yang debit airnya semula 8, 436 meter

kubik per detik kini menurun menjadi 5,86 meter kubik per detik. Sungai Ai’ Nyet

debit airnya semula 27,3 meter kubik per detik kini menurun menjadi 10,37 meter

kubik per detik (Kompas, 15 Juni 2004).

Dampak yang lebih luas dari kerusakan kawasan hutan bagi kelangsungan

kehidupan masyarakat yaitu terjadinya bencana banjir bandang. Ketika curah hujan

dengan intensitas tinggi yang disertai angin kencang melanda hampir seluruh

37

Page 5: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

kawasan kepulauan di Indonesia sekitar bulan Januari 2006 mengakibatkan terjadi

bencana banjir bandang seperti di beberapa desa di wilayah kabupaten Jember, Jawa

Timur dan di beberapa desa di wilayah kabupaten Banjar Negara, Jawa Tengah. Pada

tanggal 21 Januari 2006 bencana banjir bandang pun melanda beberapa desa di

kecamatan Sambelia dan Sembalun, kabupaten Lombok Timur yang menelan korban

jiwa dan harta benda, bahkan ribuan keluarga harus mengungsi ke tempat-tempat

yang lebih aman (Kompas, 22 dan 23 Januari 2006). Menurut hasil investigasi yang

dilakukan oleh WALHI Nusa Tenggara Barat, ditemukan indikasi yang jelas bahwa

kejadian luar biasa (banjir bandang) di Lombok Timur disebabkan oleh penggundulan

hutan di kawasan Rinjani yang dilakukan oleh para pihak seperti masyarakat,

korporasi maupun oknum aparat yang tidak bertanggung jawab.

Jumlah penduduk yang mendiami pulau Lombok sebanyak 2.747.941 orang

dengan rincian persebarannya: Lombok Barat, 703.416 jiwa; Lombok Tengah,

748.518 jiwa; Lombok Timur, 964.228 jiwa; dan Kodya Mataram, 331.779 jiwa

(Bappeda NTB,2001: 3). Dari jumlah keseluruhan penduduk pulau Lombok tersebut

sekitar 90 % diantaranya adalah suku bangsa (etnik) asli yakni orang-orang Sasak.

Sisanya adalah para pendatang yakni suku bangsa Bali, Jawa, Samawa (Sumbawa),

Mbojo (Bima), Bugis, Arab, Cina, dan lain-lain. Di antara suku bangsa pendatang

tersebut, suku bangsa Bali dan Jawa memiliki hubungan kultural dengan Sasak.

Pendatang dari suku bangsa Bali yang bermukim di Lombok berjumlah paling

banyak. Pemukiman mereka menyebar di beberapa tempat di wilayah Lombok Barat

seperti Sokong (Tanjung), Gerung, Suranadi, Narmada, Kediri, dan Sengkongo. Di

wilayah Kodya Mataram mereka bermukim di Mataram, Cakranegara, Sueta,

38

Page 6: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

Pagesangan, dan Pagutan. Keberadaan orang Bali di Lombok dalam jumlah cukup

banyak dan tersebar itu akibat dari migrasi besar-besaran pada saat Pulau Lombok

berada di bawah kekuasaan Raja Karangasem sekitar abad ke-17 (Fatthurrahman,

1988: 18-19; Agung, 1990: 99; 135). Kehidupan orang Bali di tempat-tempat seperti

tersebut di atas baik dalam hal adat-istiadat, kepercayaan, agama, bahasa, stratifikasi,

aktivitas sosial, maupun dalam hal berkesenian, memperlihatkan kesamaan dengan

orang Bali di Bali. Karena itu mereka acap kali disebut “Balok” alias Bali Lombok,

maksudnya orang Bali di Lombok. Di samping itu, keberadaan mereka di Lombok

yang telah bermukim cukup lama membuka ruang interaksi (antarhubungan) antara

orang-orang Bali dengan orang-orang Sasak sehingga muncul wujud-wujud budaya

Sasak yang mencerminkan adanya proses akulturasi atau asimilasi, seperti dalam hal

busana adat Sasak, seni musik (gamelan) Sasak, dan upacara adat perkawinan Sasak.

Bahkan ada satu bentuk kesenian Sasak yaitu Cepung yang mencerminkan persatuan

dua komunitas yaitu Sasak dan Bali (Depdikbud, tt: 6-7; Gunayasa, 2001: 161—162).

Hubungan Sasak dengan Bali dapat dikatakan telah terjadi sejak abad ke-10.

Ketika itu di Bali memerintah seorang raja bernama Anak Wungsu, putera ketiga dari

Raja Udayana. Pada masa pemerintahannya telah terbina hubungan dagang dengan

wilayah Lombok. Dalam Prasasti Lutungan disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu

membeli 30 ekor kerbau dari Gurun (Lombok) (Sartono Kartodirdjo, 1976: 201).

Pada zaman pemerintahan Raja Jayapangus di Bali sekitar abad ke-12, pulau

Lombok yang penduduknya disebut suku bangsa Sasak telah berada di bawah

kekuasaannya. Hal itu dapat diketahui dari sebuah benda tinggalan purbakala yaitu

kentongan perunggu yang kini tersimpan di Pura Manik Geni, Pujungan, Bali. Pada

39

Page 7: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

kentongan perunggu itu yaitu pada bagian badan, di sebelah kanan dan kiri lubang

kentongan, terdapat tulisan dengan posisi vertikal. Huruf yang digunakan dalam

tulisan itu adalah huruf Kediri Kwadrat. De Casparis (dalam Surasmi 1982: 15-16)

menyebutkan bahwa bacaan dari tulisan itu adalah “Sasak dana prih han Srih

Jayanira”. Artinya ‘benda ini pemberian (orang) Sasak untuk peringatan

kemenangannya’. Kentongan itu diperkirakan sebagai hadiah atau tanda jasa oleh

seorang pembesar kerajaan Sasak (Lombok) sekitar abad ke-12 atas kemenangan raja

(Jayacihna). Perkiraan masa tersebut lebih mengacu pada penggunaan huruf Kediri

Kwadrat. Kepurbakalaan di Bali lainnya yang menggunahan huruf Kediri Kwadrat

juga terdapat di Pura Gunung Kawi dan Pura Penulisan yang diperkirakan mendapat

pengaruh dari Kediri, Jawa Timur sekitar abad ke-12 (bdk. Ginarsa, 1980: 10). Pada

masa tersebut raja yang memerintah di Bali adalah Jaya Pangus, putera dari raja

Ragajaya (Sartono Kartodirjo, 1976: 152). Jadi ada kemungkinan bahwa Jayacihna

yang disebutkan di atas adalah Jayapangus.

Pada masa pemerintahan Raja Waturenggong (1460-1550) di Gelgel,

Klungkung – Bali, wilayah Sasak (Lombok) pun pernah ditaklukkan lalu berada

dibawah kekuasaannya (Sejarah Bali, 1980: 61; Agung, 1990: 17). Tampaknya

hubungan antara raja-raja taklukan di Lombok dengan raja penguasa di Klungkung,

Bali, terbina dengan baik dalam suasana kekeluargaan. Dalam Babad Selaparang (bait

337 – 347) disebutkan bahwa Raja Pejanggi’, Selaparang, dan Bayan berangkat ke

Bali memenuhi undangan Raja Kelungkung yang melaksanakan upacara pelebon

(bdk. Sri Yaningsih, 1995: 100-102).

40

Page 8: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

Mengenai suku bangsa Jawa, pada kenyataan sekarang tidak seperti orang

Bali di Lombok, dalam arti keberadaan mereka tidak tersebar dalam kelompok-

kelompok kecil di desa-desa dan masih memegang teguh identitasnya sebagai orang

Jawa. Mungkinkah orang-orang Jawa itu sudah melebur dan kini menjadi orang

Sasak? Kiranya perlu upaya penelitian yang representatif untuk menjawab pertanyaan

tersebut.

Orang-orang Sasak secara umum mengakui leluhur mereka berasal dari Jawa.

Berbagai cerita yang berkembang di masyarakat semakin mengukuhkan keyakinan

sebagian besar orang Sasak bahwa leluhur mereka berasal dari Jawa. Salah satu

cerita yang menyebutkan leluhur orang sasak berasal dari Jawa adalah cerita tentang

Raja Kedaro, di Belongas – Lombok Selatan. Dalam cerita itu disebutkan bahwa raja

Kedaro bernama Ratu Mas Panji berasal dari Jawa (Monografi NTB, 1977: 13;

Sejarah NTB, 1988: 20). Demikian pula dengan orang-orang Sasak di Sembalun

(Lombok Timur bagian Utara) dan Bayan (Lombok Barat bagian Utara) yang

menganggap keberadaan mereka di pulau Lombok sebagai keturunan dari Jawa

(Majapahit). Anggapan itu diperkuat oleh adanya makam keramat yang dipercaya

sebagai makam salah seorang leluhurnya dari Majapahit. Ada juga gelar pemimpin

upacara yaitu Pemangku Majapahit yang bertugas mengawali upacara turun bibit dan

upacara-upacara yang lain dalam rangkaian upacara penanaman padi. Demikian pula

dengan nama dari salah satu sumber mata air di Sembalun yaitu perembukan (mata

air) Majapahit menunjukkan adanya keterhubungan dengan Jawa (Majapahit).

Sehubungan dengan adanya anggapan bahwa leluhur orang Sasak berasal dari

Jawa ini Goris (dalam Sejarah NTB, 1988: 9-10) menguraikan kata Sasak berasal dari

41

Page 9: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

bahasa Sanskerta yaitu Sahsaka. Sah artinya ‘pergi’ sedangkan saka artinya ‘asal’.

Orang Sasak adalah orang yang pergi dari daerah asal dengan mengendarai rakit.

Daerah asal yang dimaksud adalah Jawa yang pergi mengendari rakit lalu berkumpul

di Lombok.

Pada masa jaya kerajaan Majapahit (abad ke-14), wilayah kekuasaannya

meliputi hampir seluruh wilayah Nusantara. Ketika itu Lombok juga berada di bawah

kekuasaannya. Ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh Mpu Nala berhasil

menundukkan Lombok sekitar tahun 1357. Ketika itu kerajaan di Lombok yang

ditundukkan oleh Majapahit adalah kerajaan Selaparang Hindu yang memerintah di

Lombok sekitar abad ke-14. Bersamaan dengan peristiwa tersebut diperkirakan

terjadi pula migrasi orang-orang Jawa (Majapahit) dan berpengaruh pada perubahan

pola hidup orang sasak dari berladang liar menjadi bertani di sawah dan tinggal

menetap. (Sejarah NTB, 1977: 20; 70). Pandangan orang Sasak terhadap padi tidak

sebagai bahan makanan pokok semata melainkan juga sebagai perwujudan seorang

dewi yaitu Dewi Sri. Lantaran pandangan tersebut maka siklus menaman padi mulai

dari penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, panen, sampai pada penyimpanan padi

di lumbung selalu diiringi dengan upacara ritual. Hal itu menunjukkan budaya Sasak

mendapat pengaruh dari Jawa (bdk. Soepanto, 1977: 3--30).

Salah satu karya sastra lama dari zaman Majapahit yaitu naskah Negara

Kertagama karangan pujangga Prapanca, pada pupuh 14 bait 4, menyebutkan nama

Lombok Mirah, Saksak, Gurun, dan Sukun sebagai bagian dari wilayah kekuasaan

kerajaan Majapahit yang letaknya di bagian timur pulau Jawa (Pigeaud, 1960:17).

Beberapa ahli antara lain W.F Stutterheim, R.Goris, A.Teeuw (dalam Tawalinuddin

42

Page 10: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

Haris, 1994: 4-8) memberikan pendapat yang berbeda ketika mengidentifikasikan

Lombok Mirah dan Saksak. Stutterheim mengidentifikasikan Lombok Mirah dengan

Lombok Barat sedangkan Saksak sama dengan Lombok Timur. Adapun Goris

mengidentifikasikan Lombok Mirah sama dengan Lombok Utara sedangkan Saksak

sama dengan Lombok Timur. Teeuw mengidentifikasikan Lombok Mirah sama

dengan Labuhan Lombok sedangkan Saksak sama dengan Lombok Barat Daya

dimana di sana ada sebuah gunung yaitu gunung Saksak. Adapun Sukun sama dengan

Sokong dan Gurun sama dengan Gerung. Sokong merupakan salah satu pelabuhan

kuno khususnya bagi perahu-perahu nelayan sedangkan Gerung adalah sebuah desa

yang kini menjadi ibu kota kabupaten Lombok Barat. Tidak jauh dari tempat ini yaitu

di bagian timur terdapat gunung Saksak (sekarang lebih dikenal dengan nama gunung

Sasak). Di wilayah Gerung juga terdapat sebuah pelabuhan yaitu Labuhan Tereng

yang kini bernama Pelabuhan Lembar. Pelabuhan-pelabuhan tersebut di atas

merupakan pintu-pintu masuk menuju ke Lombok.

Mengacu pada pendapat-pendapat tersebut, penulis lebih cenderung mengikuti

pendapat Teeuw sebab Labuan Lombok adalah salah satu pelabuhan terpenting di

pantai timur dan memiliki peranan yang tidak kecil dalam lintas pelayaran dan

perdagangan rempah-rempah antara Indonesia Bagian Barat dengan Maluku di

Indonesia Bagian Timur. Tidak jauh dari tempat inilah lokasi Kerajaan Selaparang.

Setelah kerajaan Majapahit di Jawa mengalami keruntuhan sekitar abad ke-15

beberapa kerajaan-kerajaan taklukannya seperti kerajaan Lombok, Langko, Pejanggi’,

Parwa, Sokong, Bayan berkembang sendiri-sendiri mejadi kerajaan-kerajaan kecil

yang berdaulat. Diantara kerajaan-kerajaan tersebut yang paling terkemuka adalah

43

Page 11: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

Kerajaan Lombok yang berlokasi di Labuhan Lombok. Kota kerajaan di Pelabuhan

Lombok ini sangat indah dan mempunyai sumber mata air tawar yang banyak. Kota

itu banyak disinggahi oleh para pedagang dari Palembang, Banten, Gresik, dan

Sulawesi untuk membongkar dan memuat barang-barang dagangan serta mengisi air

minum (Tawalinuddin Haris, 1994:5; Sejarah NTB, 1977: 43). Di Labuhan Lombok

itulah, Pangeran Perapen, putera dari Sunan Giri, bersama rombongannya dari Jawa

pernah mendarat lalu mengislamkan kerajaan Lombok sekitar abad ke-16. Setelah

berhasil mengislamkan kerajaan Lombok lalu Sunan Prapen bersama rombongan dari

Jawa melanjutkan misi penyebaran Islam ke kerajaan-kerajaan lain di Lombok seperti

kerajaan Pejanggi’, Langko, Suradadi, Parwa, Sokong, dan Bayan (Babad Lombok,

bait 578 – bait 594; bait 682 – bait 692). Orang-orang Sasak yang tidak mau memeluk

agama Islam menyingkir ke daerah dataran tinggi. Mereka inilah yang kemudian

dikenal sebagai orang Boda yang sekarang bisa dijumpai di Penasan dan Tebango

(Lombok Barat bagian Utara) serta di Belongas dan Pengantap (Lombok Tengah

bagian Selatan) (Tawalinuddin Haris, tt: 14).

Babad Lombok (lempir 183a; 184a; 225a) juga menyebutkan bahwa Sunan

Prapen menyebarkan Islam di Lombok diiringi oleh para pengiring dari Semarang,

Madura, Sumenep, Surabaya, Sedayu, Majalengka, Tuban, dan Basuki. Keseluruhan

pengiring itu berjumlah 10.000 orang. Saat Pangeran Prapen meninggalkan Lombok

untuk melanjutkan misi penyebaran Islam ke Sumbawa, banyak para pengiringnya

yang ditinggalkan di Lombok.

Setelah peristiwa tersebut lalu kerajaan Lombok yang berlokasi di Labuhan

Lombok di pindahkan ke Seleparang, sekitar 20 km ke arah barat daya. Seleparang

44

Page 12: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

merupakan bekas kerajaan Selaparang Hindu yang telah dihancurkan oleh bala

tentara Majapahit dibawah pimpinan Mpu Nala. Pemindahan kerajaan dari Labuhan

Lombok ke Selaparang dengan pertimbangan letak yang strategis dan keamanan agar

tidak mudah diserang oleh musuh. Kerajaan Selaparang yang sebelumnya mengalami

masa jatuh bangun akhirnya mencapai puncak kejayaannya pada masa kerajaan

Selaparang Islam. Kerajaan ini di samping sebagai agen penyebaran Islam juga

memegang hegemoni atas kerajaan-kerajaan lain di Lombok. Hubungan antara

Kerajaan Selaparang Islam dengan kerajaan Islam di pesisir utara Jawa yaitu kerajaan

Demak berlangsung cukup erat. Karya sastra Jawa yang bernuasa Islam pun banyak

masuk ke Lombok dan disadur kembali menggunakan aksara Jejawan, berbahasa

Jawa Madya (Kawi) dan berbentuk tembang macapat. Demikian pula pengaruh seni

pedalangan yang mementaskan lakon Amir Hamzah (lakon ini banyak terekam di

dalam naskah lontar) masuk dan berkembang dengan baik pada masa tersebut. Kedua

cabang seni itu sangat berperan dalam upaya penyebaran Islam di Lombok yaitu

sebagai media dakwah. (Sejarah NTB, 1978: 43,44, dan 73-74; Babad Lombok,

lempir 241 - 242).

Menjelang abad ke-17 di Lombok telah berkembang dua kerajaan yang

masing-masing memegang hegemoni atas wilayah di Pulau Lombok. Kira-kira pada

paruh abad tersebut, Kerajaan Selaparang dan Pejanggi’ berhasil ditundukkan oleh

kerajaan Karangasem, Bali, yang selanjutnya memegang kekuasaan penuh atas kedua

wilayah kerajaan tersebut (Agung, 1990: 87).

Dari uraian di atas maka dapat diduga bahwa migrasi orang Bali dan Jawa ke

Lombok terjadi secara bergelombang, mereka lalu berinteraksi dengan orang-orang

45

Page 13: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

Sasak sehingga berpeluang memunculkan budaya Sasak yang mencerminkan

perpaduan dengan budaya Bali dan Jawa.

Selayang Pandang Kebudayaan Sasak

Dalam tulisan ini yang dimaksud kebudayaan adalah semua ide atau pikiran,

aktivitas, dan karya manusia dalam upayanya untuk mempertahankan kelangsungan

kehidupan. Manusia dan kebudayaan merupakan dua komponen yang terkait erat.

Tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, yaitu manusia. Akan tetapi

usia hidup manusia tidak lama. Karena itu untuk melangsungkan kebudayaan,

pendukungnya harus lebih dari satu orang, bahkan harus lebih dari satu turunan, atau

turun temurun. Koentjaraningrat (1993:27) menyebutkan, kebudayaan mempunyai

tiga wujud yaitu: (1) wujud ideel (gagasan, nilai-nila, norma-norma; (2) wujud

kelakuan manusia dalam masyarakat; (3) wujud fisik yaitu benda-benda hasil karya

manusia. Wujud pertama bersifat abstrak dan lokasinya ada dalam pikiran manusia

atau masyarakat dimana kebudayaan itu hidup. Wujud kedua bersifat konkret dan

sering disebut sistem sosial yakni aktivitas-aktivitas manusia yang berhubungan dan

bergaul (berinteraksi) antara satu dengan yang lain dalam masyarakat berdasarkan

adat istiadat. Wujud ketiga bersifat paling konkret yaitu berupa benda-benda hasil

karya manusia.

Jika gagasan itu dinyatakan dalam tulisan maka lokasi kebudayaan ideel

berada dalam karangan seperti naskah-naskah atau buku-buku. Adat istiadat adalah

wujud ideel kebudayaan yang berfungsi untuk mengatur, mengendali, dan memberi

arah kepada kelakuan dan karya manusia dalam masyarakat. Adat istiadat dibagi lagi

ke dalam beberapa tingkatan, salah satunya adalah sistem nilai budaya yaitu ide-ide

46

Page 14: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat.

Sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia mengenai lima masalah pokok

kehidupan manusia yaitu: (1) masalah hakekat hidup manusia; (2) masalah hakekat

karya manusia; (3) masalah hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (4)

masalah hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya; dan (5) masalah hakekat

hubungan manusia dengan sesamanya (F. Klockhohn dalam Koentjaraningrat,

1993:27).

Gambaran tentang kebudayaan Sasak dalam tulisan ini lebih menekankan

pada adat istiadat masyarakat Sasak sebagai refleksi dari sistem kepercayaan yakni

adanya kekuatan di luar dirinya dan kekuatan itu lebih tinggi dari kekuatan dirinya.

Oleh karena itu mereka melakukan berbagai cara antara lain melakukan upacara ritual

untuk berhubungan dengan kekuatan tersebut.

Masyarakat Sasak yang masih teguh pada adat istiadatnya, sejak dahulu

sampai sekarang, percaya akan adanya roh-roh leluhur dan makhluh halus (istilah

Sasak: bake’, belata, beboro, jim). Roh-roh leluhur diyakini bersemayam di gunung-

gunung. Kepercayaan seperti ini merupakan kepercayaan dari masa prasejarah yang

tradisinya terus berlanjut sampai sekarang.

Berdasarkan temuan arkeologis di situs Gunung Piring, di Desa Truwai,

Kecamatan Pujud, Lombok Tengah bagian Selatan berupa kerangka manusia, periuk,

kereweng, fragmen keramik asing, fragmen perunggu, fragmen besi, manik-manik,

kerang, dan batu-batuan, maka disimpulkan situs tersebut merupakan situs

penguburan yang mendapat pengaruh dari tradisi prasejarah. Situs Gunung Piring

yang berada di atas gunung memberikan gambaran bahwa di wilayah tersebut telah

47

Page 15: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

berkembang kepercayaan kuno yaitu gunung sebagai tempat yang suci, sumber dari

segala kehidupan, dan tempat bersemayam roh-roh nenek moyang (Goenadi, 1977:

122-123).

Di Lombok banyak terdapat tempat-tempat pemujaan yang pada umumnya

berlokasi di puncak-puncak gunung atau bukit. Salah satunya Pedewa’ Dapur dan

Pedewa’ Pujud yang terdapat di dataran puncak Gunung Pujud. Lokasi pedewa’ ini di

Desa Sengkol, Kec. Pujud, Kab. Lombok Tengah bagian Selatan. Objek pemujaan di

Pedewa’ Pujud, kini telah menjadi situs purbakala, adalah batu-batu monolit yang

diletakkan bediri tegak. Bentuk pemujaan seperti ini mengingatkan kita pada bentuk

pemujaan dari masa pra sejarah yaitu menhir (bdk. Soekmono, 1973: 73). Demikian

juga dengan tempat pemujaan ini yang berlokasi di puncak gunung sebagai

pengejawantahan dari keyakinan bahwa puncak gunung merupakan tempat yang suci

serta tempat bersemayam roh nenek moyang dan para dewa. Tawalinuddin Haris

(1985: 736) menyebutkan, Pedewa’ Dapur dan Pedewa’ Pujud adalah tempat suci

untuk memuja roh-roh nenek moyang. Hal itu berdasarkan keyakinan masyarakat

sekitarnya bahwa di tempat tersebut Datu (Raja) Pujud musnah atau lenyap jasadnya

dalam arti menyatu dengan Hyang Maha Tunggal atau Dewa. Jadi, di samping

pedewa’ sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang juga menandakan adanya

konsepsi kepercayaan bahwa Datu diyakini sebagai titisan dewa dan setelah

meninggal akan kembali kepada Dewa.

Bentuk pemujaan berupa menhir (tumpukan batu-batu) tidak hanya terdapat di

puncak gunung atau bukit. Dapat dikatakan hampir di setiap desa di Lombok terdapat

bentuk pemujaan pra Islam berupa menhir yang letaknya di dataran tinggi di desa

48

Page 16: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

tersebut yang lebih dikenal dengan sebutan kemali’. Mali’ (bahasa Sasak) artinya

keramat, suci, tabu. Kemali’ adalah tempat yang dikeramatkan atau disucikan

sehingga tabu untuk melakukan hal-hal bertentangan dengan ketentuan yang berlaku

pada kemali’ tersebut. Dalam Monografi NTB (1977:79) menyebutkan, arwah nenek

moyang dan orang-orang terkemuka yang dianggap suci dibuatkan menhir lalu di-

kemali’-kan (dikeramatkan atau disucikan). Di tempat itulah mereka memuja dan

memohon berkah atau keselamatan. Kepercayaan lama masyarakat Sasak juga

meyakini mata air sebagai tempat yang suci karena itu di di Lombok juga terdapat

kemali’ yang berlokasi dimata air seperti Kemali’ Beleka di Lombok Tengah, dan

Kemali’ Lingsar di Mataram. Kemali’ atau pedewa’ juga banyak terdapat di kawasan

lereng gunung Rinjani (Tawalinuddin Haris, 1985: 735).

Masyarakat Sasak juga percaya bahwa makam merupakan tempat

bersemayam roh-roh leluhur. Secara garis besar makam-makam yang terdapat di

desa-desa di Lombok itu dibedakan atas dua jenis yaitu makam biasa dan makam

keramat. Makam biasa adalah tempat dimana para orang tua, kakek - nenek, buyut,

dan kerabat lainnya dikuburkan. Sedangkan makam keramat adalah tempat yang

diyakini bahwa di situ dikuburkan seorang tokoh (cikal bakal pendiri desa, penyebar

agama, datu/raja) dikuburkan. Makam-makam keramat seperti ini banyak jumlahnya

dan tersebar di seluruh penjuru wilayah Lombok. Di antara makam-makam keramat

itu yang cukup terkenal dan sering menjadi tempat berziarah saat menjelang hari raya

agama Islam antara lain: Makam Reak, Makam Selaparang, Makam Sriwa, Makam

Nyato’, Makam Batu Dendeng, Makam Batu Layar, Makam Mendana, dan Makam

Loang Balu’.

49

Page 17: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

Sistem kepercayaan lama masyarakat Sasak juga meyakini adanya makhluk

super natural yang disebut Batara (Dewa) untuk laki-laki dan Idadari (Dewi) untuk

perempuan. Dalam Monografi NTB (1997: 83) disebutkan Batara Guru adalah raja

dewa-dewa yang menurunkan Raja Lombok. Keyakinan terhadap Batara Guru

terekam dalam mitos sebagai berikut:

Batara Guru, raja di pulau Sasak, memeliki empat orang anak, anak pertama, kedua dan ketiga laki-laki sedangkan yang bungsu seorang puteri, bernama Dewi Anjani. Suatu ketika Batara Guru hendak kembali ke Sorga. Untuk menentukan calon penggantinya beliau mengadakan sayembara yakni barang siapa diantara putera dan puterinya yang berhasil mencabut Petung Bayan (Bambu Bayan) maka dialah yang berhak menggantikan ayahnya menjadi raja.Ketiga puteranya tidak berhasil mencabut Petung Bayan, walaupun telah berusaha mencabut dengan sekuat tenaga sampai darah membersit dari sela-sela jari kedua tangan mereka. Ketika tiba giliran Dewi Anjani untuk mencabut Petung Bayan maka dengan mudah ia berhasil mencabutnya. Atas keberhasilan itu maka Dewi Anjani ditetapkan untuk menggantikan ayahnya menjadi raja di pulau Sasak.Ketiga kakaknya yang laki-laki itu merasa malu dan putus asa dikalahkan oleh adiknya yang seorang wanita. Karena itu mereka pergi mengembara tanpa tujuan. Pengambaraan kakak yang paling sulung akhirnya tiba di Gowa, menjadi raja di Gowa. Kakak yang nomer dua mengembara dan akhirnya tiba di Bali, menjadi raja di Bali. Kakak yang nomor tiga menceburkan dirinya ke tengah laut lalu terdampar di Pengantap (suatu tempat di Lombok bagian Selatan). Ia dipungut oleh seorang nelayan kemudian menjadi raja di Batu Dendeng.Mengetahui ketiga kakaknya menghilang, Dewi Anjani meresa kecewa, karena itu ia meninggalkan istana masuk ke alam jin di gunung Rinjani dan menjadi ratu jin.

Selain kepercayaan seperti tersebut di atas, masyarakat Sasak juga percaya

akan adanya makhluk-makhluk halus yang dikategorikan memiliki dua karakter yaitu

baik dan jahat. Makhluk halus yang jahat diyakini kerap menggangu manusia.

Sebutan ketemu’ atau tesapa’ adalah salah satu gambaran bahwa seseorang yang

dalam keadaan sakit itu dipercayai telah mendapat gangguan dari makhluk halus yang

50

Page 18: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

jahat yaitu bake’, beboro, dan belata. Makhluk halus jahat itu tidak hanya

mengganggu manusia juga tanaman dan hewan peliharaan. Penguasa dari segala jenis

makhluk halus itu adalah Dewi Anjani yang berstana di Gunung Rinjani.

Masyarakat Sasak senantiasa berupaya memelihara hubungan dengan daya-

daya kekuatan di luar dirinya (yang dipersonifikasikan sebagai roh-roh nenek

moyang, makhluk super natural/dewa-dewi, dan makhluk halus), agar tercipta

kehidupan yang selaras, luput dari mara bahaya, wabah penyakit, serta memperoleh

berkah. Roh-roh leluhur dan makhluk-makhluk halus itu akan diundang dengan

menggunakan sarana-sarana ritual di tempat-tempat keramat agar mereka hadir

memberikan berkah atau keselamatan tatkala orang Sasak melaksanakan upacara

adat. Ada beberapa upacara adat di lingkungan masyarakat Sasak yang secara umum

dapat dibedakan menjadi: (1) gawe urip, upacara yang berhubungan dengan siklus

hidup seseorang seperti: buang au, bakuris, basunat, dan merari’; (2) gawe pati,

upacara bagi orang yang sudah meninggal; (3) upacara adat yang berhubungan

dengan kesuburan alam atau keselamatan kehidupan manusia dan lingkungannya

seperti: ngayu-ayu atau neda, matulak, dan selamet gumi.

Demikian juga makhluk mitis Dewi Anjani yang kerap diundang dalam

pelaksanaan ritual adat khususnya ritual adat yang berhubungan dengan penolakan

wabah penyakit baik wabah penyakit yang menimpa manusia maupun wabah

penyakit yang menimpa binatang ternak atau tanaman padi.

Sekarang mayoritas orang Sasak telah menganut agama Islam, hanya sebagian

kecil orang Sasak yang menganut agama Budha. Orang Sasak yang sekarang

menganut agama Budha itu dahulu kerap disebut orang Boda. Orang Sasak yang

51

Page 19: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

bukan penganut Boda tersebut mengkonotasikan sebutan Boda itu adalah orang

bodoh, terisolir, dan memegang teguh budaya asli dalam pengertian tidak menerima

pengaruh dari luar. Van Eerde dalam salah satu artikelnya (1901: 6) menyebutkan,

orang-orang Boda di Panasan dan Tebango memiliki kepercayaan kepada lima dewa

utama yaitu Batara Guru, Idadari Sakti, Batara Sakti, Idadari Jeneng, dan Batara

Jeneng. Di samping itu masih ada dewa-dewa lain yang dipercayai dan dipuja oleh

mereka. Menurut keyakinan mereka, dewa-dewa itu bersemayam di puncak-puncak

gunung dan hutan-hutan lebat yang setiap saat bisa mendatangkan kebaikan dan

celaka. Karena itulah kerap dilaksanakan upacara-upacara dan setiap pelaksanaan

upacara diyakini kelima dewa utama tersebut hadir. Dari kelima dewa itu Batara Guru

adalah dewa tertinggi.

Sebelum Islam masuk dan berkembang di Lombok, diperkirakan agama Buda

maupun Hindu atau Hindu-Buda pernah berkembang di Lombok. Hal tersebut di

samping tertuang di dalam Babad Lombok juga dikuatkan oleh penemuan beberapa

benda arkeologi. Pada tahun 1960 di Desa Batu Pandang, Kec. Pringgabaya, Kab.

Lombok Timur pernah ditemukan empat buah patung arca Budha dari perunggu.

Keempat buah patung tersebut kini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Menurut

Soekmono, dua dari patung tersebut dikenal sebagai Tara dan Awalokiteswara yang

sezaman dengan patung Budha di Candi Borobudur sekitar abad ke-8. Berdasarkan

temuan itu diduga agama Budha Mahayana pernah berkembang di wilayah tersebut

sekitar abad ke-8 (Usri Indah Handayani dkk, 2004: 82). Pada tahun 1974, di

Kampung Pendua, Desa Sesait, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat,

beberapa kilometer ke arah utara Tanjung, pernah ditemukan benda-benda seperti

52

Page 20: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

genta pendeta dari perunggu, pedupaan dari perunggu, dan sejumlah manik-manik

yang diduga sebagai tasbih (genitri) pendeta, dan bekas candi. Dari temuan tersebut

diperkirakan pada abad ke-15 di sekitar wilayah itu pernah berkembang agama Hindu

(Tawalinuddin Haris 1994: 11; Sejarah NTB, 1984: 38).

Ritual yang mencerminkan agama apa yang tengah berkembang di Lombok

sebelum masuknya Islam tertuang dalam Babad Lombok yakni pada episode

kematian raja Lombok lantaran berperang dengan Demung Brangbantun. Terjadinya

peperangan itu dipicu oleh kematian Demung Sandubaya, adik dari Demung

Brangbantun. Demung Sandubaya punya isteri yang parasnya cantik jelita bernama

Lala Seruni. Raja Lombok tergila-gila pada Lala Seruni dan ingin memperisterinya.

Dengan tipu mulihat, Demung Sandubaya berhasil dibunuh saat diajak berburu di

hutan Gebong. Lala Seruni yang tidak menerima cinta raja Lombok pun akhirnya

bunuh diri dengan jalan menceburkan dirinya di tengah laut di teluk Menanga Baris.

Kematian Demung Sandubaya dan Lala Seruni memicu kemarahan Demung

Brangbantun sehingga terjadilah peperangan yang berlangsung cukup sengit. Dalam

perang itu Raja Lombok meninggal dibunuh oleh Demung Brangbantun. Upacara

pembakaran jenazah Raja Lombok digambarkan sebagai berikut:

… wus munggah ring tumpang,salu layon sang nata,dan Ki Patih akon aglis,akriya kang wadah,bade pan sampun dadi.

Jangkep kalih dina dennya akriya,mangke samapta dadi,bade atumpang sanga, yata pinundut samya, ingiring dene kakawin, wus prapteng setra,

53

Page 21: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

ya ta dipun toyain.

Wus palastra sadyane sampun binakar,titiran den lepasi, minduhur ngawang-ngawang,henti tustane mulat,sang nata sampun kabasmi, ing lembu petak, palinggiyan sang aji,...

Terjemahan dari kutipan di atas lebih kurang sebagai berikut:

…sudah naik ke tumpang salu,jenazah sang raja,dan Ki Patih segera memerintahkan,membuat wadah,bade (wadah) pun telah jadi.

Genap dua hari mereka mengerjakan wadah,Sekarang telah selesai semuanya,bade bertumpang sembilan,bade digotong oleh rakyat sekalian,diiringi irama kakawin,setelah tiba di kuburan,jenazah sang raja pun diperciki air (tirta).

Setelah jenasah siap hendak dibakar,burung perkutut pun dilepas,lalu terbang ke angkasa raya,yang menyaksikan sangat senang,sang raja telah terbakar,pada lembu putih,tempat pembakaran jenazah sang raja,…(Babad Lombok,lempir 113 b)

Gambaran pembakaran jenazah raja Lombok mengingatkan kita pada upacara

ngaben di Bali (bdk. Singgih Wikarman, 1998, 23-31). Jika apa yang tertuang pada

Babad Lombok itu benar maka dapat diperkirakan bahwa agama yang berkembang di

Lombok sebelum kedatangan Islam adalah agama Hindu yang pelaksanaan ritualnya

54

Page 22: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

mirip dengan di Bali. Bentuk-bentuk tempat pemujaan pun memiliki kemiripan yaitu

sanggah dan meru. Tempat pemujaan tersebut banyak yang dimusnahkan ketika

Islam masuk dan berkembang di Lombok (Babad Lombok, lempir 181a – 181b).

Hal yang menarik dari pemeluk agama Islam di kalangan orang Sasak di

Lombok adalah adanya dua golongan yaitu Islam Waktu Telu (Tiga) dan Islam

Waktu Lima. Pemeluk Islam Waktu Telu diabstraksikan sebagai orang-orang Sasak

yang tidak menjalankan ajaran Islam secara utuh sebagaimana diamanatkan dalam

Alqur’an dan Hadist. Sedangkan pemeluk Islam Waktu Lima adalah orang-orang

Sasak yang melaksanakan ajaran Islam secara utuh.

Menurut beberapa sumber disebutkan bahwa ketidakutuhan yang

dimaksudkan antara lain: (a) pemeluk Islam Waktu Telu tidak melaksanakan rukun

Islam (syahadat, sembahyang, puasa, zakat, Haji) secara utuh melainkan hanya tiga

rukun saja yakni syahadat, sembahyang dan puasa. Tiga rukun itu pun tidak juga

dilaksanakan secara utuh. Syahadat sebagai sumpah atau komitmen bahwa Allah

adalah satu dan Nabi Muhammad adalah utusanNya hanya diucapkan pada saat

upacara perkawinan yakni oleh mempelai laki-laki dengan tuntunan kyai atau

penghulu. Dalam hal sembahyang hanya melaksakan tiga rukun sembahyang yaitu

pada hari Jumat, pada hari Lebaran (Lebaran Haji/Idul Adha) dan Lebaran

Puasa/Idul Fitri), dan pada saat orang meninggal. Sembahyang Jumat pun bukan

sembahyang lima waktu (Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isa) melainkan hanya

tiga waktu saja yakni Ashar, Magrib, dan Isa. Kewajiban sembahyang hanya

dilaksanakan oleh para pemimpin agamanya yaitu Kyai sedangkan pengikutnya

hanya menjalankan perintah dari Kyai. Sebagai imbalan, para pengikutnya

55

Page 23: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

memberikan zakat fitrah dan sedekah kepada para Kyai pada hari-hari tertentu.

Jabatan Kyai ini bersifat turun-temurun. Pengangkatannya dilakukan di Mesjid

dengan sebuah upacara yang dihadiri oleh semua pengikutnya.

Di Sembalun (Lombok Timur bagian Utara), pengangkatan Kyai baru melalui

pentasbihan oleh seorang pemangku dengan cara menyiramkan air yang diambil dari

Danau Segara Anak. Jumlah Kyai dalam satu desa lebih dari tiga orang, tergantung

pada banyaknya jumlah penduduk. Di antara Kyai-kyai itu, ada seorang Pengulu yang

diangkat berdasarkan kesepakatan bersama. Pengulu itu bertugas memimpin upacara

agama dan upacara adat di mesjid maupun di luar mesjid antara lain: upacara

ngurisang, khitanan, kematian, pertanian, metulak, ngayu-ayu atau neda, dan lain-

lain. Sebagaimana telah disinggung juga di atas, diantara jabatan Pengulu dan kiyai

sebagai pemimpin agama, juga terdapat jabatan Pemangku. Tugas Pemangku

berhubungan dengan pemujaan roh nenek moyang. Di samping itu Pemangku juga

bertugas memelihara tempat-tempat suci, seperti pedewa’ atau kemali’. Tidak jarang

seorang Pemangku juga berprofesi sebagai dukun (bahasa Sasak: belian).

Dalam hal puasa, pemeluk Islam Waktu Telu tidak melaksakan ibadah puasa

selama sebulan penuh melainkan hanya puasa tiga hari saja yakni pada saat

permulaan bulan puasa, pada saat pertengahan bulan puasa, dan pada penghujung

bulan puasa (Ramadan/Lebaran). Di samping ajaran-ajaran yang bersumber kepada

Islam seperti disebutkan di atas, pemeluk Islam Waktu Telu juga menganut

kepercayaan yang bersumber dari pra Islam yaitu pemujaan terhadap roh-roh nenek

moyang. Gunung Rinjani dianggap sebagai gunung yang suci tempat bersemayamnya

para dewa dan roh-roh nenek moyang. Di Gunung Rinjani terdapat sebuah danau

56

Page 24: Gamb.umum Kebudayaan Sasak

yang disebut danau Segara Anak. Air danau itu diyakini sebagai air yang suci dan

dapat memberi berkah bagi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu disimpulkan

bahwa Agama Islam Waktu Telu di Lombok merupakan perpaduan antara agama pra

Islam, baik animisme/dinamisme, buhisme, maupun Hinduisme, dengan ajaran Islam

sehingga menimbulkan ajaran baru yaitu Islam Waktu Telu yang oleh pemeluk Islam

Waktu Lima dikatakan menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya

(Tawalinuddin Haris, 1978: 9-10; Monografi NTB, 1977: 80; Erni Budiwanti, 2000:

133-134).

Terlepas dari adanya dua kelompok Islam di kalangan orang Sasak

sebagaimana telah disinggung di atas, tulisan ini hanya bermaksud mangetengahkan

bahwa masih banyak orang Sasak terutama dari kalangan petani, walaupun secara

formal telah menyatakan diri sebagai pemeluk Islam akan tetapi masih teguh

melaksanakan adat-istiadat mereka, baik adat yang berkaitan dengan gawe urip,

gawe pati, maupun adat yang berhubungan dengan kesuburan alam atau keselamatan

kehidupan manusia Sasak.

57