tradisi perkawinan merariq suku sasak di...
TRANSCRIPT
-
TRADISI PERKAWINAN MERARIQ SUKU SASAK DI LOMBOK: Studi Kasus
Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional
Skripsi
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh :
ANNISA RIZKY AMALIA
NIM : 1113032100014
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
-
iv
ABSTRAK
Annisa Rizky Amalia
Judul Skripsi : Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus
Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional
Kajian pokok penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan gambaran tradisi
Merariq dalam Suku Sasak di Lombok di desa Sade, serta ingin mengetahui apa saja
alasan masyarakat menjalankan tradisi Merariq tersebut. Dalam hal ini yang menjadi
subjek penelitian adalah seluruh masyarakat Suku Sasak Lombok yang berada di desa
Sade, sedangkan objek kajiannya adalah perspektif Islam dengan menggunakan metode
kualitatif dengan melakukan pendekatan antropologi agama. Responden yang diteliti
sebanyak empat orang dari latar belakang yang berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa tradisi Merariq ini
dalam Suku Sasak Lombok di desa Sade terdiri dari beberapa tahapan yaitu: (1) Midang
(meminang). Termasuk bagian dari midang ini adalah ngujang (mengunjungi calon istri
di luar rumah), disini terjadilah kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan
penculikan atau si laki-laki membawa lari si perempuan. (2) Pihak laki-laki harus
menculik (melarikan) pengantin perempuan. (3) Pihak laki-laki harus melaporkan
kejadian kawin lari itu kepada kepala dusun tempat pengantin perempuan tersebut
tinggal, yang dikenal dengan istilah selabar (nyelabar). (4) Pelunasan uang jaminan dan
mahar. (5) Melakukan akad nikah dengan cara Islam. (6) Adapun istilah yang digunakan
dalam pembayaran adat ketika ingin menikah di Suku Sasak Lombok disebut dengan
Sorong doe atau sorong serah. (7) Nyongkolan, yaitu mengantarkan kembali pihak
perempuan pada pihak keluarganya, diarak keliling kampung dengan berjalan kaki
diiringi musik tradisional khas lombok (gendang belek dan kecimol).
Tradisi Merariq ini tidak di benarkan dalam Islam, karena proses peminangan
dalam Islam dengan peminangan tradisi Merariq sangat berbeda dan tradisi ini banyak
menimbulkan kemudharatan dan bertentangan dengan hukum Islam. Walaupun begitu
Merariq tetap diakui sebagai status hukum karena merupakan salah satu adat istiadat.
Kata Kunci : Suku Sasak, Tradisi Perkawinan Merariq, Integrasi Agama dengan
Budaya Masyarakat Desa Sade.
-
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil alamin rasa syukur untuk Allah SWT yang tak
henti-henti memberikan nikmatnya untuk kita sehingga sampai detik ini kita
masih bisa berdiri tegak dan menikmati kehidupan dengan penuh
kebahagiaan. Tidak lupa juga salam serta sholawat terus saya ucapkan
teruntuk Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya penulis haturkan ungkapan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada beliau-beliau yang telah banyak berjasa dalam membantu
penyelesaian tugas akhir ini :
1. Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi,
atas kesabaran dan ketelitian dalam membimbing penulis. Beliau
yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan
memberikan arahan, motivasi serta bimbingan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Dra. Hj, Hermawati MA. Selaku Penasehat Akademik yang
memberikan arahan dan motivasi kepeda penulis untuk
menyelesaikan dengan baik.
3. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku Ketua Jurusan Studi Agama-
Agama dan Dr. Halimah Mahmudy M.A, selaku sekretaris Jurusan
Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu
memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.
4. Prof. Dr. Ikhsan Tangok, M.A, selaku Wadek I bidang Administrasi
Fakultas Ushuluddin. Dr. Bustami, M.A, selaku Wadek II bidang
-
vi
Administrasi Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku Wadek III
bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para Staff Akademik Fakultas
Ushuluddin, para Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan para
Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ayahanda tercinta Agus Santoso dan Ibunda tercinta Evi Syafiiyah
yang tidak pernah lepas memberikan kasih sayangnya mulai dari
kecil sampai waktu yang tak terkira, semoga beliau berdua selalu
memberikan semangat, motivasi, kasih sayang, dan doa yang tulus
untuk kesuksesan penulis. Semoga Allah selalu melimpahkan
rahmat-Nya dan memberikan umur panjang kepada mereka.
7. Kepada keluarga bapak Ir. H. Ikhsan Gemala Putra dan Ibu Hj.
Asiah yang telah memberikan doa, motivasi serta bantuannya dan
segala fasilitas untuk penulis melakukan penelitian di Lombok.
Semoga Beliau berdua diberikan umur panjang dan sehat walafiat
dan para Narasumber yang telah membantu penulis dalam
mengumpulkan informasi terkait dengan penulisan skripsi ini
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Kakak-kakak tersayang Mba Ambartyas Niken, Mba Nindy Febriani
Agustina, Mba Alfitiara, Teteh Fauzia Nashiha, Teteh Sofia Ade
Putri, juga adik-adik tersayang Chairul Anam, Yusran Kamil, Mutia
Sufi Ulwani, Fadhilah Putri Gemala, Berlianty Ratu Piningit
terimakasih atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat
-
vii
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas doa dan dukungannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman tersayang seperjuangan selama kuliah dan skripsi Khemas
Aulia Ulwan yang selalu memberikan motivasi, bantuan, dan doa
yang tiada hentinya, terimakasih banyak sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman tersayang yaitu Tri Indah Annisa, Rayyan Adilla
Anwar, Nur Syamsiyah, Mawaddah Salimah, Siti Khusniatussaidah
dan juga teman-teman seperjuangan Studi Agama-agama angkatan
2013 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terimakasih
banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
11. Sahabat-sahabat tersayang Irda sudistiani Putri, Yayi Rista Radanti,
Suci Alvia Helmi, Zuhria Nisa Pratiwi, Ratnawati Inesia Pratiwi,
Ariska Sukmawati, Alfianur Fidia Rahma dan Resty Rahmawati,
terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Dan kepada semua orang yang saya kenal maupun yang mengenal
saya, terimakasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan.
Terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
-
viii
Semoga peran-peran beliau semua mendapat imbalan yang
sepantasnya dan mendapatkan ridho dari Allah SWT Amin. Penulis
menyadari bahwa sedikit karya tulis ini bukanlah akhir dan puncak dari
pencarian ilmu pengetahuan akan tetapi merupakan awal dalam
mengembangkan karya-karya ilmiah lainnya. Kritik dan saran serta solusi
sangat penulis harapkan dari berbagai pihak guna penyempurnaan dari
kebaikan karya-karya penulis nantinya.
Jakarta, 03 Juli 2017
Annisa Rizky Amalia
-
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SIDANG ................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................... 10
D. Kajian Pustaka ................................................................................ 11
E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 14
F. Sumber Data ................................................................................... 19
G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 21
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASAK
A. Sejarah Singkat Suku Sasak ............................................................ 23
B. Letak Geografis ............................................................................... 24
C. Sistem Keyakinan Masyarakat Sasak ............................................. 27
a. Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuan kepada
Allah ........................................................................................ 30
b. Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak
kepada Allah ............................................................................ 32
c. Akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosial ................ 34
BAB III KEBUDAYAAN
A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang Menghasilkan
Kreativitas Kebudayaan .................................................................. 37
B. Karya dalam Tradisi Merariq yang Mengahsilkan Inovasi
Kebudayaan .................................................................................... 45
-
x
C. Tujuan dalam Tradisi Merariq yang Menghasilkan Nilai
Kebudayaan .................................................................................... 48
BAB IV FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM
TRAIDI MERARIQ
A. Tujuan Merariq ............................................................................... 53
B. Alasan Merariq ............................................................................... 59
C. Perspektif Merariq .......................................................................... 64
BAB V PENUTUPAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 68
B. Saran-saran ...................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71
LAMPIRAN ......................................................................................................... 75
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan biasa kita sambungkan pada hal-hal yang indah
(seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusastraan dan filsafat)
saja. Sedangkan kebudayaan dalam antropologi jauh lebih luas sifat dan
ruang lingkupnya. Menurut antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal
tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah
kebudayaan, karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan
masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya
beberapa tindakan naluri, beberapa refleksi, beberapa tindakan akibat
proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan
manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen
bersama kelahirannya (seperti makan, minum atau berjalan dengan kedua
kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan kebudayaan.1
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan
paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya
merupakan konsep-konsep mengenai suatu yang ada dalam alam pikiran
sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, suatu
1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 144-
145.
-
2
pedoman yang memberi arah orientasi pada kehidupan para warga
masyarakat tersebut. Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman
hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep suatu nilai budaya
itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan
biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena
sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya
dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa
para individu yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan. Selain
itu juga, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai
budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu
sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-
nilai budaya yang lain dalam waktu singkat, dengan cara
mendiskusikannya secara rasional.2
Ritual merupakan salah satu aspek terpenting di dalam masyarakat
adat dan agama lokal di Indonesia. Begitu juga halnya dengan Islam di
Lombok, sejumlah ritus keagamaan seperti perkawinan mendapat porsi
yang cukup penting di dalam kajian mengenai Islam di wilayah ini. Dalam
beberapa tahun terakhir ini, kajian Islam di Lombok juga beragam,
khususnya dengan meletusnya peristiwa kerusuhan di Mataram pada tahun
2001. Lombok mengalami banyak perubahan pada masa reformasi,
ditandai dengan kemunculan berbagai kelompok sosial dan politik yang
turut bermain di dalam politik lokal di Lombok. Aspek kesenian lokal,
2 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 153.
-
3
khususnya seni musik di Lombok juga dikaji karena keterkaitannya
dengan agama Islam, budaya Bali dan adat khas Lombok sendiri. Namun
demikian, sejauh ini belum cukup banyak kajian yang memfokuskan diri
kepada Islam dan dinamika agama lokal, bukan hanya terkait dengan Islam
semata tetapi juga kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, sejumlah kasus
merebak di tanah air karena sebagian masyarakat adat pengaku tidak
mendapatkan perlakuan yang sama sebagai warga negara, khususnya
terkait dengan sistem kepercayaan dan adat istiadatnya. Disinilah arti
pentingnya penelitian ini, di mana agama lokal dilihat sebagai suatu sistem
kepercayaan yang dinamis. Terlebih dengan adanya Undang-undang yang
menjamin hak-hak yuridis dan hak-hak sipil setiap warga negara, disini
para pemeluk dan pengikut agama lokal seperti yang terdapat di Lombok
didengar aspirasi dan permasalahan yang dihadapi.3
Antara agama dan budaya sama-sama melekat pada diri
seseorang. Dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal, praktik
agama akan selalu bersamaan, dan bahkan berinteraksi dengan budaya.
Kebudayaan sangat berperan penting di dalam terbentuknya sebuah praktik
keagamaan bagi seseorang atau masyarakat. Tidak hanya melahirkan
bermacam-macam agama, kebudayaan ini lah juga mempunyai andil besar
bagi terbentuknya aneka ragam praktik beragama dalam satu payung
agama yang sama. Dalam kenyataannya dua atau lebih orang dengan
agama yang sama belum tentu mempunyai praktik atau cara pengamalan
3Suhanah, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama, 2004),
h.161-162.
-
4
agama, khususnya ritual, yang sama. Keragaman cara beribadah dalam
suatu komunitas agama ini mudah kita dapati dalam setiap masyarakat,
dengan terbentuknya berbagai macam kelompok agama.4
Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat
guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk
mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi. Hal ini sangat
disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan fitrah bagi setiap
makhluk Tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu masyarakat kecil
dalam bentuk keluarga hdan dari situlah akan terlahir beberapa suku dan
bangsa.5
Sejarah perkawinan telah tercatat semenjak Nabi Adam turun ke
bumi dan menjalani kehidupan bersama-sama dengan anak cucunya.
Sedangkan perkawinan merupakan satu hal yang paling mendasar dan
sangat di butuhkan dalam kehidupan manusia. Perkawinan merupakan hal
yang fitrah bagi manusia yang sudah tertanam dan terpatri dalam hati dan
perasaan manusia laki-laki dan wanita. Keduanya saling membutuhkan
guna saling mengisi dan membagi perasaan suka maupun duka. Hidup ini
terasa kurang sempurnatanpa kehadiran orang lain disisinya, menjalin
kasih sayang bersamanya, membangun mahligai rumah tangga yang
bahagia dan sejahtera.6
4Khadziq, Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama Dalam
Masyarakat (Yogyakarta: Teras, 2009), h.42-43. 5Musifin Asad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya (Jakarta: Pustaka
Al-Kaustar, 1993), h. 14. 6Asad dan Basyarahil, Perkawinan dan masalahnya, h. 17-18.
-
5
Selanjutnya, sebelum kita membahas tentang Merariq, terdapat 2
macam penulisan Merariq. Yakni (Merariq7 dan Merari
8) akan tetapi
penulis memilih menggunakan kata Merariq dengan alasan karena lebih
banyak digunakan oleh penulisan karya Ilmiah. Dalam adat sasak
pernikahan sering disebut dengan Merariq. Secara etimologis kata
Merariq diambil dari kata lari, berlari. Merarian berarti Melaiang
artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih
diterapkan di Lombok. Apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak
bisa terlepas membicarakan Merariq. Merariq yaitu melarikan anak gadis
untuk dijadikan istri. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam
masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status
pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang
bersangkutan telah Merariq atau belum. Oleh karenanya tepat jika
dikatakan bahwa Merariq merupakan hal yang sangat penting dalam
perkawinan Sasak.9
Ada dua pandangan yang mengemukakan munculnya tradisi kawin
lari (Merariq) di pulau Lombok, yaitu: Pertama, orisinalitas Merariq.
Kawin lari (Merariq) dianggap sebagai budaya produk lokal dan
merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah
7M Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPIM
IAIN Mataram, 2012). 8Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi
(Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012). 9Nur Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 150-
151.
-
6
dipraktikkan oleh masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali maupun
kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak
yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu
Mudjitahid, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak
(MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini.
Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak
adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi
kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang
sebenarnya. Kedua, akulturasi Merariq. Kawin lari (Merariq) dianggap
budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat
sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial
Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan
dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,
Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (Merariq) karena
dianggap manifestasi Hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal
yang sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di
Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan
Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis
antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya
Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An
Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam
bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip
Bartolomew, memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok
-
7
dalam Merariq. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di
Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali.
Karena telah dijelaskan di awal bab 1 bahwa Merariq ini memiliki dua
pandangan yang mengemuka di Lombok, pertama yaitu keorisinalitas
budaya, yaitu merupakan budaya lokal, dan yang kedua itu Merariq
merupakan budaya produk impor, bukan asli (ungenuine) dari leluhur
masyarakat sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya
kolonial Bali. Berdasarkan kedua argument tentang sejarah kawin lari
(Merariq) di atas, tampak bahwa paham akulturasi Merariq memiliki
tingkat akurasi lebih valid.10
Dalam konteks ini penulis lebih kepada pendapat kedua, yakni
Merariq ini dilatar belakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai
bagian dari rekayasa sosial budaya Hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam
suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata
sosial ini sudah jelas sama dengan pola Hindu-Bali. 11
Dalam menyikapi tradisi kawin lari, secara garis besar pendapat
masyarakat Sasak terhadap Merariq terjadi menjadi dua, yaitu mereka
yang menyetujuinya dan mereka yang menolaknya. Perbedaan pendapat
kedua kelompok ini masih merupakan rangkaian dari perbedaan pendapat
mereka dalam melihat asal mula kawin lari. Para tokoh adat Sasak yang
berpendapat bahwa kawin lari merupakan budaya asli masyarakat Sasak
tentu mendukung lestarinya tradisi ini. Sedangkan para tokoh agama atau
10
Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak, h. 155-157. 11
John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 49.
-
8
tuan guru yang berpendapat bahwa budaya kawin lari merupakan tradisi
masyarakat Hindu Bali yang diikuti oleh masyarakat Sasak sudah tentu
juga lebih menganjurkan untuk meninggalkan tradisi ini. Menurut tuan
guru haji Muharror, meskipun ada perbedaan antara kawin lari di Lombok
dan Bali, dimana bagi umat Hindu, setelah perempuan dilarikan mereka
langsung boleh bergaul, sedangkan pada masyarakat Sasak, setelah
pelarian mereka masih tetap di larang bergaul sampai terlaksananya
akad nikah secara Islami, tetap saja tradisi kawin lari sebaiknya
ditinggalkan. Menurutnya, budaya kawin lari merupakan salah satu bentuk
tasyabbuh bi al-kuffar (penyerupaan dengan orang-orang kafir) dan umat
Islam dilarang untuk melakukannya. Seharusnya umat Islam lebih
mentradisikan khitbah atau lamaran dari pada kawin lari, namun untuk
mensosialisasikannya harus tetap tanpa mengencam adat istiadat
Merariq.12
Tradisi Merariq ini merupakan bagian dari kebudayaan.
Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas
dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang
mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang
dipengaruhi oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam.
Kedua aliran kebudayaan itu nampak jelas pada kebudayaan orang
Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan
Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali
12
Ahmad Fathan Aniq, konflik peran Gender pada tradisi merariq di pulau Lombok
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel) h. 33-35.
-
9
sebagai sinkretis Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari
penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan
sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar
adalah orang Sasak. Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku
pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi
masyarakat Sasak, Merariq berarti mempertahankan harga diri dan
menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil
mengambil (melarikan) seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi
lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau
tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika
diminta secara biasa (konvensional), karena mereka beranggapan bahwa
anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, karena perempuan/gadis di
lombok itu sangat dihargai, ditambah kalau perempuan itu memiliki tahta
atau garis keturunan bangsaawan, tetapi tetap wanita yang tidak memiliki
tahta atau garis keturunan bangsawan tetap sangat berharga, jika diminta
secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga.
Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Aram
ngendeng anak manok baen (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam
konteks ini, Merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan
prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.13
13
Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak, h. 152-154.
-
10
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu
membatasi ruang lingkup kajian dalam pembahasan penelitian ini
agar lebih fokus dan tidak menjadi bias. Oleh karena itu, di sini penulis
telah merumuskan permasalahan yang ingin dikaji lebih dalam terkait
Tradisi Merariq tentang Perkawinan Suku Sasak yang mendiami Pulau
Lombok, yaitu:
1. Bagaimana pola Integrasi Agama dengan Adat suku Sasak?
2. Bagaimana Format Tradisi Perkawinan Merariq di Lombok?
3. Bagaimana Masa Depan Perkawinan Merariq di Lombok dengan
Tuntutan Kehidupan Modern?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pola Integrasi Agama dengan adat
suku Sasak
2. Untuk mengetahui Format Tradisi perkawinan Merariq di Lombok
3. Untuk mengetahui Masa Depan Perkawinan Merariq di Lombok
dengan Tuntutan Kehidupan Modern
Sedangkan kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberi pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat
tentang Tradisi perkawinan Merariq di Lombok
2. Untuk tambahan koleksi kepustakaan Islam mengenai Tradisi
perkawinan Merariq di Lombok
-
11
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini adalah sebagai penelitian terdahulu yang
mana bukan untuk melihat referensi buku yang ingin kita gunakan tetapi
untuk mengetahui keorisinilan judul yang ingin saya teliti, dan di sisi lain
untuk mengetahui siapakah sarjanah yang pernah membahas tentang judul
ini agar kita bisa melacaknya. Kajian pustaka ini bertujuan untuk pijakan
kita dalam menulis penelitian ini untuk mencari data-data terdahulu. Dan
sementara yang berkaitan dengan judul penulis teliti ini membahas tentang
Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus Integrasi
Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional. Dalam penelusuran
penulis tidak ada sarjana yang membahas tentang judul yang bersangkutan
dengan judul ini, sehingga penulis dapat melanjutkannya. Dan ada
beberapa buku yang membahas juga tentang Perkawinan Merariq antara
lain:
1. Tulisan yang pertama adalah buku yang terbit pada tahun 2012 karya
Muhammad Harfin Zuhdi dengan judul Praktik Merariq: Wajah
Sosial Masyarakat Sasak. Buku ini menjelaskan tentang adat
perkawinan suku Sasak di Lombok yang sudah mengakar dan
dilakukan secara turun temurun dan hingga kini lebih banyak di
pahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh sebab itu tidak heran kalau
Merariq mendapat konotasi yang negatif juga prosesinya yang panjang
dengan melalui delapan tahapan dan memerlukan biaya yang sangat
besar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengantin pria. Seolah
-
12
sampai timbul asumsi bahwa perempuan disamakan dengan barang
dagangan atau kepemilikian sang pria. Hal ini berpengaruh terhadap
hubungan suami istri dalam rumah tangga dan berdampak pada
pelestarian praktik bias jender.
2. Tulisan yang kedua adalah buku yang terbit pada tahun 2001 karya
dari John Ryan Bartholomew terjemahan dari Alif Lam Mim:
Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian
Kampung... yang kemudian di terjemahkan oleh Imron Rosyidi
dengan judul Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak. Buku ini
menjelaskan tentang adat perkawinan suku Sasak di Lombok yang
mana berpijak pada kasus perkawinan Merariq yang dilakukan oleh
Ali dan Windi dikampung Demen. Dengan kondisi kampung Demen
dan aktivitas kedua masjid yaitu Nahdatul Wathan (NW) dan
Muhammadiyah, yang mendamaikan hubungan antara Islam, tradisi,
dan modernitas. Kasus antara Ali dan Windi menjadi pintu masuk
yang sangat pas karena kedua organisasi Islam diatas berbeda
pandangan tentang Merariq. Masjid Al Aziz yang dikuasai oleh
organisasi Muhammadiyah menolak Merariq, sementara masjid Al
Jibril yang dikuasai oleh organisasi Nahdatul Wathan meskipun tidak
menyetujui, namun tidak juga secara aktif melarang jamaahnya
mempraktikan adat tersebut. Karena, letak kedua masjid ini
berdekatan, Merariq menjadi persoalan kontroversial di Demen.
-
13
3. Tulisan yang ketiga adalah jurnal yang terbit pada tahun 2006 karya
dari M. Yasin dengan judul Kontekstualisasi Doktrin Tradisional di
Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari
(Merariq) di Pulau Lombok. ada empat prinsip dasar yang terkandung
dalam praktik kawin lari (Merariq) di pulau lombok. Pertama, prestise
keluarga perempuan, dipahami dan diyakini sebagai bentuk
kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Ada
anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental
masyarakat tertentu di lombok bahwa dengan melarikan berarti anak
gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya,
keluarga perempuan merasa terhina jika perkawinan gadisnya tidak
dengan kawin lari (Merariq). Kedua, superioritas lelaki, inferioritas
perempuan. Satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari sebuah kawin
lari (Merariq) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai,
dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri. Kawin
lari tetap memberikan legitimasi kepada kaum perempuan. Ketiga,
egalitarisnisme, terjadinya kawin lari menimbulkan rasa kebersamaan
di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya di lingkungan
kelurga tetapi juga kebersamaan melibatkan komunitas besar
masyarakat di lingkungan setempat. Keempat, komersial. Terjadinya
kawin lari hampir selalu berlanjut pada tawar menawar. Apapun
alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang
paling kuat dan dominan. Ada indikasi bahwa orangtua merasa telah
-
14
membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk itu
semua usaha tersebut telah menghabiskan banyak biaya yang tidak
sedikit. Untuk itu memperoleh sebagai ganti dari calon menantunya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan
orangtua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya,
semakin rendah tingkat sosial dan tinggkat pendidikan anak serta
orangtua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode
ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif ini adalah sebuah
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu gejala
sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang mana dalam penelitian
ini penulis berusaha untuk menggambarkan suatu tradisi
perkawinan Merariq di Lombok.14
2. Teknik Pengumpulan Data
Sedangkan untuk mendapatkan sebuah data dalam
melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan dua cara yaitu:
1) Studi kepustakaan (Library research)
Studi kepustakaan ialah mengumpulkan data dengan cara
mencari buku-buku yang sesuai dengan tema yang kita buat
14
Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2006) h. 29.
-
15
dengan tujuan sebagai dasar untuk mendapatkan data-data baik
itu data primer maupun data skunder. Sumber studi
kepustakaan ini di dapatkan dari buku, majalah, artikel, jurnal,
dll.
2) Penelitian Lapangan (Field research)
Metode penelitian lapangan ini yang mengadakan
penelitian lapangan terhadap ritual perkawinan Merariq
khususnya pada suku Sasak dengan pendekatan Kualitatif.
Yang mana dibagi menjadi 3 cara yaitu:
a. Observasi
Observasi atau pengamatan langsung di lakukan
untuk memperoleh fakta nyata tentang tradisi upacara
perkawinan suku sasak (Merariq) dan hal-hal yang
berkaitan kemudian melakukan pencatatan di salah satu
sebuah Desa Sade yang terletak di bagian Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat. Kemudian penulis
mewawancarai salah satu pemangku adat Sasak yang
berada di tempat observasi Desa Sade.
Kemudian observasi juga di lakukan di jalan raya
cakranegara yang mana, sedang diadakan nyongkolan
(arak-arakan pengantin dari rumah pria kerumah wanita
dengan di iringi musik khas tradisional suku Sasak).
Metode ini di lakukan dengan cara terjun langsung ke
-
16
lapangan untuk melakukan pengamatan tentang pelaksaan
upacara perkawinan suku Sasak (Merariq), yang meliputi
proses upacara, perlengkapan upacara, dan tempat
penyelenggaraan upacara. Agar terpenuhi standar ilmiah
maka peneliti harus mampu masuk di dalamnya untuk
berperan serta dalam ritual adat setempat.15
b. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara adalah metode pengumpulan data
dengan melakukan dialog atau percakapan terkait dengan
tema penelitian kepada informan.16
Metode ini
dimaksudkan untuk memperoleh data primer, karena data
ini diperoleh langsung melalui wawancara dengan pelaku
upacara. Adapun tokoh upacara, pemimpin/pemangku adat
perkawinan Merariq, kedua pasangan pengantin, dan
berbagai pihak yang bersangkutan.
c. Dokumentasi
Dalam penelitian ini penulis mengkaji bahan tertulis
dan tidak tertulis yang bertujuan untuk mendapatkan data
skunder sebagai pelengkap dari kedua data diatas. Sumber
tertulis tersebut berupa data monografi dan arsip-arsip
yang ada relevansinya dengan penelitian, sedangkan
15
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2006), h. 169. 16
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), h. 186.
-
17
sumber tidak tertulis brupa foto-foto dan video tentang
praktik terjadinya Tradisi Perkawinan Merariq.
3) Analisis data
Data yang terkumpul selanjutnya perlu diolah dan dianalisis
untuk menjawab masalah penelitian yang mana analisis data
yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif. Penulis menggambarkan dan menjelaskan mengenai
tentang situasi yang terjadi dalam tempat penelitian sehingga
nantinya akan memperoleh deskripsi yang sistematis dan
fakta-fakta dalam tempat penelitian.17
4) Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan
beberapa pendekatan, pendekatan-pendekatan tersebut adalah:
a. Pendekatan Antropologis
Pendekatanan antropologis adalah dasar
filosofis yang fokus pembahasannya berkaitan
dengan kegiatan manusia, baik secara normatif
maupun historis. Itulah mengapa penelitian ini perlu
sekali dikaitkan dengan penelitian saya karena
peduli terhadap tindakan manusia di masa lalu dan
kelanjutannya. Untuk menghasilkan gambaran yang
tepat tentang fenomena antropologis peneliti
17
Sumardi Suryabrata, metodologi penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998)
h.18.
-
18
menggunakan pendekatan induktif, dalam lingkup
yang tidak terlalu luas, fleksibel, dan kontekstual.18
b. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan Sosiologis dibedakan dari
pendekatan studi Agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan
masyarakat. Beranggapan dasar perspektif
sosiologis adalah Concern-nya pada struktur sosial,
konstruksi pengalaman manusia, dan kebudayaan
termasuk Agama.19
c. Pendekatan Historis
Pendekatan Historis ialah salah satu
pendekatan yang digunakan untuk memahami gejala
sosial keagamaan. Pendekatan ini cukup populer di
kalangan para ahli di lingkungan Departemen
Agama. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa
realitas sosial yang terjadi sekarang ini sebenarnya
merupakan hasil proses sejarah yang terjadi sejak
beberapa tahun, ratusan tahun, bahkan ribuan tahun
18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2006) h. 15. 19
Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: PT LkiS Printing
Cemerlng, 2002) h. 271
-
19
yang lalu.20
Maka dari itu penulis juga
menggunakan pendekatan ini.
d. Pendekatan Teologis
Pendekatan Teologis ini ialah merupakan
pendekatan yang paling dominan dan paling
berpengaruh dalam Studi Agama dan Studi Agama-
agama. Inilah pendekatan yang bersifat normatif
dan subyektif. Dengan pendekatan ini seorang
peneliti melakukan satu dari dua hal: (1) studi
internal. Dalam hal ini, seorang sarjana/peneliti
agama adalah orang yang berusaha secara aktif
dalam kegiatan ilmiahnya untuk mrlrstarikan dan
mempromosikan keunggulan agamanya serta
mempertahankannya dari ancaman atau serangan
dari orang lain. (2) studi eksternal. Dalam hal ini,
soeang peneliti/ penganut agama tertentu melakukan
kajian terhadap agama/keyakinan orang lain untuk
menilai dan menghakiminya dengan ukuran agama
sang peneliti.21
F. Sumber Data
Sumber data ialah dari mana kita mendapatkan sebuah data
tersebut, dalam hal ini peneliti mempunyai dua sumber data yang pertama
20
Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama, h. 149.
21
Media Zainul Bahri, Aneka Pendekatan Studi Agama-agama (Jakarta: 2014), h.8.
-
20
sumber data primer dan sumber data skunder. Sedangkan sumber sementara
yang peneliti miliki:
a. Sumber Primer adalah data yang sebenarnya langsung dengan
tema penelitian yang sumbernya berupa:
1. Nur Yasin. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN
Malang Press, 2008.
2. Ahmad Fathan Aniq. Konflik Peran Gender pada Tradisi
Merariq di Pulau Lombok, Surabaya: IAIN Sunan Ampel
3. M. Harfin Zuhdi. Praktik Merariq: Wajah Sosial
Masyarakat Sasak, Mataram: LEPPiM IAIN Mataram,
2012.
4. John Ryan Bartholomew. Alif Lam Mim: kearifan
Masyarakat Sasak, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,
2001.
5. Melakukan wawancara mendalam dengan pemimpin/
pemangku upacara adat perkawinan dan masyarakat Sasak.
b. Sumber Sekunder adalah data yang relevan tapi tidak
berhubungan langsung yang didapat melalui literatur
kepustakaan (Library Research), seperti buku, jurnal, arsip,
ensiklopedi, majalah, dan sumber kepustakaan lainnya yang
berhubungan dengan penelitian ini.
-
21
G. Sistematika Penulisan
Agar mempermudah dalam pembahasan maka dari itu disusun
sistematika penulisan bab per bab.
BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab I ini terdiri dari tujuh sub bab yang terdiri dari:
Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan kegunaan
Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian, Sumber
Data, dan Sistematika Penulisan.
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU SASAK
Pada Bab II ini akan menguraikan Sejarah Singkat Suku
Sasak di Lombok, Letak Geografisnya serta membahas
tentang sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat
Sasak yang terdiri dari Akidah Masyarakat Sasak terhadap
Pengetahuannya kepada Allah, Pendekatan Ibadah yang
dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah serta akhlak
Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosialnya.
BAB III KEBUDAYAAN
Pada Bab III ini akan menguraikan beberapa teori budaya
yang mana dalam Tradisi Merariq melahirkan Tantangan
yang menghasilkan Kreasi Budaya dan dalam Tradisi
Merariq menimbulkan Karya yang menghasilkan Inovasi
Budaya dan akhir dari Tujuan Budaya Merariq
menghasilkan nilai-nilai Budaya.
-
22
BAB IV FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN
BUDAYA DALAM TRADISI MERARIQ
Pada Bab IV ini akan menguraikan tentang Tujuan Merariq
itu seperti apa, alasan Merariq itu bagaimana dan perspektif
Merariq menurut pandangan masyarakat Sasak maupun
diluar Sasak.
BAB V PENUTUP
Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan dan Saran.
-
23
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASAK
A. Sejarah Singkat Suku Sasak
Sasak secara etimologi, berasal dari kata sah yang berarti pergi
dan shaka yang berarti leluhur. Dengan begitu dapat disimpulkan
bahwa sasak memiliki arti pergi ke tanah leluhur. Dari pengertian
inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa. Bukti
lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak
disebut sebagai Jejawan, merupakan aksara yang berasal dari tanah
Jawa, pada perkembangannya, aksara ini dipersepsikan dengan baik oleh
para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusastraan Sasak.1
Pendapat lain beranggapan bahwa kata Sasak berasal dari kata sak-
sak yang dalam bahasa Sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan
dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan
sampan dari arah barat. Sumber lainnya yang sering dihubungkan dengan
etimologi Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat catatan
kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab
Nagarakertagama terhadap ungkapan lombok sasak mirah adi,
pemaknaan ini merujuk kepada kata Sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai
satu atau utama, Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan
sebagai jujur atau lurus, mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna
baik. Maka, Lombok Sasak Mirah Adi berarti kejujuran adalah permata
1Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
-
24
kenyataan yang baik atau utama. Masyarakat suku Sasak merupakan
masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan mempertahankan
kebudayaan sampai saat ini. Kini, suku Sasak bukan hanya sebuah
kelompok masyarakat tetapi juga merupakan salah satu etnis yang
melambangkan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh Indonesia.2
Sasak adalah penduduk asli dan kelompok etnik mayoritas
Lombok. mereka meliputi lebih dari 90% dari keseluruhan penduduk
Lombok. kelompok-kelompok etnik lain seperti Bali, Sumbawa, Jawa,
Arab, dan Cina adalah para pendatang. Diantara mereka, orang Bali
merupakan kelompok etnik kedua terbesar setelah Islam di pulau Lombok.
Orang Sumbawa terutama bermukim di Lombok Timur, dan orang-orang
Arab di Ampenan. Lingkungan pemukiman masyarakat Arab Ampenan
disebut sebagai kampung Arab Ampenan. Orang-orang Cina, mayoritas
adalah pedagang yang tinggal di pusat-pusat pasar, seperti Ampenan dan
Cakra. Orang-orang Bugis, khususnya yang hidup sebagai nelayan, tinggal
di kawasan pantai Tanjung Ringgit dan Tanjung Luar di Lombok Timur.
Kampung Jawa atau pemukiman orang Jawa terletak di Praya, Lombok
Tengah.3
B. Letak Geografis
Diantara kepulauan Indonesia, Lombok terletak disebelah timur
Bali dan disebelah barat Sumbawa. Pada bagian Barat, terletak selat
2Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah: ditinjau dari aspek Budaya (Mataram:
2005), h. 3. 3Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000),
h. 6-7.
-
25
Lombok dan pada bagian Timur, terdapat selat Alas. Disebelah utara
Lombok juga berbatasan dengan laut Jawa dan disebelah timur lautan
Indonesia di bagian selatannya. Lombok diantara pulau-pulau
tentangganya, Bali dan Jawa disebelah baratnya yang mendapatkan lebih
banyak curah hujan dan disebelah timurnya, Sumbawa dan NTT, yang
realif tandus dan kering. Pada tanggal 14 Agustus 1958, Propinsi Sunda
Kecil dipisahkan menjadi tiga propinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB),
dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Bali menjadi propinsi tersendiri dengan
ibukotanya Denpasar yang terletak di Bali Selatan. Lombok dan Sumbawa
disatukan menjadi propinsi NTB (Nusa Tenggara Barat) dengan
ibukotanya Mataram yang terletak di Lombok Barat. Propinsi NTT (Nusa
Tenggara Timur) terdiri dari gabungan seluruh pulau di kawasan Timur,
dari Flores hingga Timor (termasuk pulau-pulau yang sangat kecil) dengan
Kupang sebagai ibukotanya.4
Propinsi NTB terdiri dari enam kabupaten dan satu kota. Enam
kabupaten itu adalah Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur
yang terletak di Pulau Lombok dan Sumbawa, Dompu, dan Bima yang
terletak di Pulau Sumbawa. Mataram merupakan salah satu kabupaten di
NTB, yang juga merupakan ibukota propinsi dan kabupaten Lombok
Barat. NTB merupakan daerah dengan luas sekitar 2,015,315 kilometer
dan mempunyai penduduk sekitar 3,369,649 yang tersebar secara tidak
merata di keenam kabupatennya. Lebih dari 70% atau sekitar 2,4 juta
4Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 4-5
-
26
penduduk NTB bermukim di Lombok. Lombok sendiri merupakan
kawasan dengan luas 470,000 kilometer atau hampir seperempat dari luas
propinsi NTB. Lombok Barat dengan penduduk berjumlah 859,273 orang
merupakan kabupaten dengan penduduk paling padat. Lebih dari 83%
penduduk NTB tinggal di pedesaan dan hidup dengan bertani. Dan lebih
dari 36% penduduk Lombok Barat bertempat tinggal di kota-kota.5
Orang sasak mendiami pulau Lombok di deretan pulau-pulau Nusa
Tenggara (Sunda Kecil). Jumlah populasinya sekitar 1,8 juta jiwa. Bahasa
Sasak terdiri atas beberapa dialek, yaitu dialek Sasak Pejanggi, Sasak
Selaparang, Sasak Bayan, Sasak Tanjong, Sasak Punjut, Sasak Sembalun,
Sasak Tebanggo, dan Sasak Pengantap. Bahasa Sasak juga mengenal
tingkatan, yaitu halus dalam, halus biasa, dan Kasar. Peneliti akan
membahas tentang Sasak Punjut, yang mana ada di desa Rembitan
kecamatan Punjut ini terdapat Dusun Sade yang terletak di kecamatan
Punjut Lombok Tengah. Mengapa peneliti membahas tentang Sasak
Punjut, karena salah satunya penulis juga penasaran akan hal tradisi-tradisi
yang ada di sasak Punjut ini dan juga sebelumnya penulis mengetahui desa
sade tersebut, penulis sempat berwisata ke Lombok dan berinisiatif untuk
mempelajari dan mendalami apa itu desa sade dan sasak Punjut yang ada
di Lombok dan juga sasak Punjut yang masih asli sampai saat ini yaitu
tempat tinggalnya, juga beberapa tradisi yang masih dijalankannya,
walaupun hanya sebagian kecil tradisi yang dijalankan sampai saat ini,
5Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 6.
-
27
karena pada saat ini sudah hampir menjalankan Islam sempurna sekarang
akibat pendakwah Islam yang mulai menyebar di Nusa Tenggara Barat.6
Dusun Sade atau Desa Sade terletak di wilayah Desa Rambitan,
kecamatan Punjut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Letak kampung ini 50 km arah Tenggara Kota Mataram (Ibu Kota NTB)
dan 19 km dari kota Praya (Ibu Kota Lombok Tengah). Desa Sade
memiliki Luas 50 Ha. Secara geografis pada koordinat 08 derajat 50 LS
dan 116 derajat BT. Desa Sade terletak pada ketinggian120-126 m di atas
permukaan laut, terletak pada sebuah panteisme bukit, di sebelah Utara
dan Selatan terdapat persawahan dan ladang penduduk. Batas wilayah
yaitu Sebelah Barat Dusun Penyalu, Sebelah Utara Dusun Selak, sebelah
Selatan Dusun Selemang.7
C. Sistem Keyakinan yang dianut Masyarakat Sasak
Sebelum kedatangan pengaruh asing di Lombok, Boda merupakan
kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada waktu itu, menganut
kepercayaan ini, disebut sebagai Sasak Boda. Kendati demikian agama ini
tidaklah sama dengan Buddhisme karena ia tidak mengakui Sidarta
Gautama atau Sang Buddha sebagai figur utama pemujaannya maupun
terhadap ajaran pencerahannya. Agama Boda dari orang Sasak asli
terutama ditandai oleh animisme dan pemujaan dan penyembahan roh-roh
leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari
6Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional Masyarakat Sasak (NTB: KSU Primaguna,
2012) , h. 5-6. 7Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
-
28
praktik keagamaan Sasak Boda. Berbagai kekuatan asing yang
menaklukkan Lombok selama berabad-abad, sangat menentukan cara
orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar.8
Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah
pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bagian
selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orang-orang Sasak yang dari
segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka
menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan diri dari Islamisasi di
Lombok.9
Kemudian kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa
serta budayanya. Hindu-Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh
suku Sasak. Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan
agama Islam menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan
Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan suku Sasak sebagian
berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Berdasarkan sistem
kepercayaan suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat
diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu
Lima).10
Sementara sinkretisme Islam wetu telu kini berkembang terbatas di
beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran
tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah,
8Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 8
9Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 11
10Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah, h. 6
-
29
dan Tanjung di Lombok Barat. Istilah Islam wetu telu diberikan karena
penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu sholat
pada waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Penganut kepercayaan wetu
telu melakukan ibadah tiga waktu itu, konon pada saat penyebaran agama
Islam di Nusa Tenggara Barat atau di Lombok itu baru mengajarkan
setengahnya. Jadi belum sempurna penyebarannya para pendakwah Islam
yang datang ke Lombok sudah pergi meninggalkan Lombok. jadi memang
yang didapat oleh orang-orang terdahulu orang sasak seperti itu, sampai
saat ini pun orang Sasak memahaminya seperti itu. Di luar bulan puasa,
mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada
hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Salah satu alasan mereka
melakukan ibadah dengan menitipkan kepada pemangku karena memang
begitulah adat yang mereka yakini, bahwa beribadah mereka harus
diwakili oleh pemangku atau orang yang mempunyai ilmu lebih tinggi
dibandingkan orang-orang biasa. Kalau di ibaratkan pada Islam, yaitu
kepada kiyai atau pemangku. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya
dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu. Para
penganut Islam Wetu telu membangun Masjid (tempat ibadah) mereka
dengan gaya arsitektur khas suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan
bagian atapnya terbuat dari jenis alang-alang atau sirap dari bambu.
Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid
bertumpang yang disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai
arsitektur masjid ini mirip dengan Arsitektur masjid lama yang ada di
-
30
Ternate dan Tidore.11
a. Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuannya kepada Allah
Awalnya Agama wetu telu memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali
dan Kejawen. Kemudian mengapa saat ini orang sasak sudah beralih
kepada Islam sempurna seperti sekarang, karena pendakwah Islam
sekarang yang sudah berusaha menyebarkan Islam yang benar dan
sempurna yang orang Islam yakini seperti sekarang ini. Pada
perkembangannya wetu telu justru lebih dekat dengan Islam. Dari peneliti
temui bahwan sekarang hampir semua suku Sasak bahkan di desa sade
kecamatan Punjut sudah menganut Agama Islam lima waktu dan
meninggalkan wetu telu sepenuhnya. 12
Penganut paham Islam wetu telu ini tersebar di beberapa desa dan
kampung di pulau Lombok. Secara prinsipil tidak ada perbedaan paham
antara wetu telu dengan wetu lima, mengapa karena meski wetu telu lebih
percaya kepada pemangku adat dan wetu lima lebih kepada ajaran agama,
tetapi tetap saja, sama sama berkeyakinan kepada yang satu yaitu
Tuhannya. Perbedaan ajaran yang diikuti sampai saat ini masih
berkeyakinan yang disebut kepada Tuhannya, dalam wetu telu hanya cara
penyampaiannya saja melalui pemimpin mereka atau kepada kepala adat
pemangku, sedangkan wetu lima atau Islam sekarang lebih kepada pribadi
individual manusianya masing masing. Beberapa ajaran Islam ada yang
11
H. Masnun, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Al-Madjid: Gagasan dan Gerakan
Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat (Mataram: Pustaka Al-Miqdad, 2007), h.53.
12
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
-
31
mirip dengan wetu telu, yaitu penyampaian ibadahnya melalui pemangku,
misalnya kalau di Islam melalui Ustad, fungsinya Ustad yaitu sebagai
penghubung antara umatnya dalam suatu hal, semisal dalam tradisi Islam
di Indonesia ada yang namanya Akikah atau Selametan pengajian, acara
seperti itu diharuskan ada pak ustad yang memimpin doa-doa dalam acara
tersebut. Perbedaannya hanya terletak pada tata cara pelaksanaan syariat
atau praktik ibadah sehari-hari. Islam seperti yang diamalkan oleh wetu
telu lebih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Di Lombok Barat,
praktik ajaran Islam lebih dipengaruhi oleh kepercayaan Hinduisme.
Sedangkan di Lombok Timur dan Tengah, Islam yang dipraktikkan oleh
paham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam. Maksud
paham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam disini, ialah
orang sasak pada saat ini walaupun mereka masih meyakini wetu telu
tetapi pada kenyataannya sudah menjalankan wetu lima, menjalankan
syariat Islam pada masa sekarang ini. Mereka paham wetu telu hanya
meyakini wetu telu hanya karena menghargai tradisi keturunan dari nenek
moyangnya saja.13
Secara teologis wetu telu sedikit memiki perbedaan dengan konsep
Islam. Ia percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada nabi dan rasul,
malaikat, hari akhir, serta percaya adanya surga dan neraka. Hanya saja
kepercayaannya sebatas yang mereka ketahui, misalnya mereka hanya
mengetahui tiga malaikat yakni Malaikat Izrail, Mungkar, dan Nakir.
13
H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.55.
-
32
Mereka dikenal sangat fanatik terhadap Nabi Muhammad SAW,
sedangkan nabi-nabi yang lain tidak banyak disebut. Mereka membaca dua
kalimat syahadat yang dalam istilah wetu telu yang disebut nyadat.14
b. Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah
Dalam siklus hubungan ini status pemangku dan dewa berfungsi
sebagai penghubung. Jika seseorang melaksanakan nazar, misalnya
memohon keselamatan, sembuh dari penyakit dan sebagainya, mereka
minta kepada pemangku untuk mengantarkan dan memimpin upacara ke
tempat tertentu dan kepada dewa mana untuk permohonan tersebut
disampaikan. Pemangku adalah orang yang dipilih oleh masyarakat untuk
menjadi kepala atau ketua adat (pemangku adat). Pemangku juga bisa di
anggap sebagai pemangku jika usianya lebih tua, kemudian memiliki
aspek ilmu agama yang lebih dan juga berwibawa. Permohonan dimaksud
kemudian dihubungkan kepada Tuhan oleh dewa karena Tuhanlah yang
dapat memutuskan segala sesuatunya. Jadi, pemangku dan dewa berfungsi
perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam pola beribadah
Pemangku mengantarkan manusia berhubungan kepada Tuhannya.
Sebagai petugas, seluruh tugas-tugas dan kewajiban peribadatan dari
Tuhan, menurut paham Islam wetu telu cukup dikerjakan oleh para Tuan
Guru atau kyai. Oleh karena itu tugasnya yang tergolong berat, maka Tuan
Guru atau Kyai cukup dihormati. Masyarakat setempat sangat patuh
terhadap sikap dan nasehatnya. Itulah yang menjadi pendekatan ibadah
14
Sumber data dari Kejaksaan Negeri Nusa Tenggara Barat, Data-data tentang Ajaran
Wetu Telu di Nusa Tenggara Barat (Mataram: tanggal 30 maret 2017).
-
33
masyarakat sasak terhadap Tuhannya.15
Meskipun sebagian masyarakat sasak ada yang masih mempercayai
wetu telu, ada juga yang sudah meninggalkannya dan mengerjakan waktu
lima yaitu Islam sempurna. Mereka hanya mempercayai untuk tetap
menghormati leluhur Budaya mereka tentang wetu telu tersebut. Dan wetu
telu itu mereka tidak pernah mengerjakannya, karena setiap ibadah wetu
telu itu hanya di lakukan oleh pemimpin seperti Pemangku Adat yang
sudah dijelaskan diatas, jadi ibadah wetu telu dahulu dilakukan hanya
diwakilkan saja oleh pemimpinnya dan jamaahnya hanya meyakini dan
mempercayainya saja. Dan tidak ada resiko jika paham wetu telu tidak
mengikuti ajaran leluhurnya, akan tetapi jika tidak mengikuti atau
meyakininya lagi, tradisi adat keturunan mereka akan benar benar punah
seiring waktu berjalan dengan berjalannya para pendakwah Islam yang
mulai banyak menyebarkannya ke daerah Lombok. Itulah masyarakat
sasak yang masih menganut wetu telu, beda halnya yang sudah
meninggalkannya dan mengerjakan waktu lima, mereka hanya percaya saja
tidak mengerjakannyanya. Dengan begitu mereka tetap mempercayai
adanya Allah, taat kepada Allah, percaya adanya Nabi Muhammad SAW,
dan juga percaya manusia pertama itu adalah Adam. Masyarakat sasak
tetap mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa, bersedekah, dan
sebagainya seperti Islam pada umumnya tetapi yang membedakan mereka
masih melakukan ritual-ritual adat budaya peninggalan nenek moyang
15
H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.65.
-
34
mereka16
c. Akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosial
Sejak semula, manusia tidak pernah dapat hidup berdiri sendiri,
melainkan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain saling
membutuhkan dan hidup dalam suatu kelompok sosial atau homoni socius.
Dalam kehidupan sosial, proses interaksi antara mereka terus terjadi.
Menurut Soejono Soekanto, terjadinya interaksi sosial di dahului dengan
adanya kontak sosial (social contact) dan komunikasi. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa terjadinya suatu kontak tidak semata-mata tergantung
dari tindakan, tetapi tanggapan terhadap tindakan itu. Tanggapan terhadap
tingkah laku orang atau kelompok kemungkinan besar terjadi perbedaan.
Dengan demikian komunikasi memainkan peranan penting untuk
menjembatani perbedaan menjadi kerjasama antara orang perorangan atau
antara kelompok manusia.17
Dalam bagian ini akan disampaikan nilai
budaya yang berhubungan dengan hakikat hubungan manusia dengan
sesama manusia yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan tradisional
masyarakat Sasak. Penyampaian nilai-nilai yang dimaksud akan
dipaparkan berdasarkan klasifikasi ungkapan-ungkapan tersebut seperti
pengklasifikasian yang telah dihasilkan:
a. Persatuan kelompok
Terdapat dua nilai hakikat hubungan manusia dengan sesama
manusia yang saling berlawanan yang tercermin dalam ungkapan pertama
16
H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.68. 17
Muhammad Ahyar Fadly, Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak (Lombok:
STAIIQH Press, 2008), h. 67-68.
-
35
dalam kelompok ini. Nilai pertama bersifat positif dan nilai kedua
mengarah ke sifat negatif. Penyebutan nilai yang positif disebabkan karena
ungkapan ini mencerminkan persatuan dalam satu kelompok masyrakat
etnis sasak yang begitu kuat. Anggota individu dalam kelompok tersebut
merasa senasib seperjuangan. Sebagai konsekuensinya, apapun yang
terjadi suatu masalah mereka akan saling membantu atas nama kelompok.
Namun begitu, persatuan yang terlalu kuat berujung pada munculnya ego-
kelompok yang berlebihan, yaitu sifat negatif. Hal ini didasarkan pada
bukti empiris yang terjadi selama ini di beberapa daerah lombok.
Pertikaian atau bentrok fisik antarkelompok masayrakat dalam etnis Sasak
kebanyakan dipicu oleh hal sepele. Ungkapan ini memiliki nilai yang
berhubungan dengan hakikat hubungan manusia dengan sesama manusia
yang hampir sama. Mereka akan selalu saling membantu satu sama lainnya
baik suka maupun duka. Dalam keadaan suka bisa dilihat pada acara
perkawinan yang mana satu anggota kelompok akan membantu anggota
lain dalam mempersiapan acara, dari berlangsungnya acara hingga akhir.
Begitu pula pada saat duka, anggota kelompok akan membantu anggota
kelompok lain ketika sedang tertimpa musibah baik secara fisik, material,
dan spiritual. Dengan kata lain, ungkapan ini mencerminkan hubungan
antarindividu yang kuat dalam kelompok masyarakat Sasak.18
b. Ikatan persatuan
Bila lisan sudah dipercaya dan menjadi ikatan dalam suatu
18
Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional, h. 48-49
-
36
kelompok masyarakat berarti hubungan antar individu dalam kelompok
tersebut sangat kuat. Hal inilah yang dicerminkan oleh kelompok ini.
Dengan demikian nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan
antarsesama manusia dalam masyarakat Sasak begitu kuat mengingat
mereka sudah saling percaya yang berpegang pada ucapan yang mereka
ujarkan.19
Nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
sesama manusia yang terkandung dalam kelompok ungkapan ini adalah
usaha menjaga hubungan yang baik dengan individu dan masyarakat
sekitarnya. Antar individu dalam masyarakat sasak memiliki perasaaan
saling memiliki, suku bangsa Sasak, satu sama lainnya. Dan salah satu dari
kelompok etnis sasak yang saya ambil adalah Desa Sade asli suku Sasak,
maka sosialisasi mereka tidak jauh-jauh dari lingkungan sekitar kampung
itu. Tetapi mereka tetap berinteraksi di luar dari kampung tersebut. Karena
bagaimanapun tetap satu komunitas masih membutuhkan bantuan dan
interaksi sosial di luar dari komunitasnya tersebut. Dengan demikian maka
masyarakat Sade pun ada komunikasi antarkelompok terhadap masyarakat
di luar kampung Sade.20
19
Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional, h. 49-50. 20
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
-
37
BAB III
KEBUDAYAAN
A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreativitas
Kebudayaan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang diperoleh
melalui belajar. Kebudayaan bisa dikatakan sebagai suatu sistem dalam
masyarakat di mana terjadi interaksi antar individu/kelompok dengan
individu/kelompok lain sehingga menimbulkan suatu pola tertentu,
kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama (baik secara langsung
ataupun tidak langsung).1
Kreativitas manusia sepanjang sejarah meliputi banyak kegiatan,
diantaranya dalam organisasi sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan,
teknologi, dan proses simbolis2. Uraian ini memusatkan perhatian pada
proses simbolis, yaitu pada kegiatan manusia dalam menciptakan makna
yang berujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari.
Proses dari simbolis tersebut meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni,
ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa.3
Dalam masyarakat patrimonial, misalnya akan ada dikotomi sosial
budaya antara golongan bangsawan dan petani. Ada budaya istana dan ada
1Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2015), h.26.
2Simbolis Ialah Lambang. kalau proses simbolis ialah peristiwa yang sedang terjadi dan
akan menjadi suatu lambang. 3 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1987),
h. 3.
-
38
budaya rakyat yang masing-masing mempunyai lembaga, simbol dan
normanya sendiri. Demikian juga pada kategori kapitalis dikenal adanya
dikotomi budaya dalam budaya tinggi dan budaya populer, dengan
lembaga, simbol dan norma sendiri-sendiri. Dalam hal ini perlu diingat
bahwa sekalipun dikotomi itu ada, ada pula mobilitas budaya, ke atas atau
ke bawah, yang menyebabkan baik lembaga, simbol dan normanya tentu
saja mengalami transformasi. 4
Mengapa sebuah proses simbolis mengalami transformasi,
merupakan bahan studi tentang anomali budaya. Kebudayaan dapat
menjadi tidak fungsional jika simbol dan normanya tidak lagi didukung
oleh lembaga-lembaga sosialnya, atau oleh modus organisasi sosial dari
budaya itu. Johns menyatakan bahwa Indonesia terdapat ketegangan antara
tradisi historiografi Melayu yang cenderung bersifat mitis dengan tradisi
historiografi Islam yang pada dasarnya realistis. Perbedaan tradisi budaya
ini menerangkan juga ketegangan antara istana dan pusat-pusat penyebaran
agama pada awal berdirinya kerajaaan Mataram.5
Dalam Tradisi Perkawinan Merariq tantangan yang menghasilkan
kreasi disini ialah cara meminta untuk dinikahkannya yaitu dengan dibawa
lari atau dalam bahasa sasak di sebut Merariq. Dalam Merariq ada 2 versi
yang mana Merariq atau kawin lari yakni perkawinan yang terjadi dengan
cara melarikan si gadis tanpa sepengetahuan orang tua si gadis karena
merupakan keputusan terakhir yang diambil oleh calon pengantin laki
4Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 11.
5Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 7.
-
39
apabila tidak mendapat restu dari orang tua calon pengantin wanita. Yang
kedua yaitu dengan persetujuan orangtua dan tetap melakukan Merariq
karena merupakan adat istiadat. 6
Dalam tradisi adat Sasak, melakukan perkawinan itu harus dengan
Merariq jika tidak maka justru orang tua perempuan merasa tersinggung
jika anak perempuannya tidak dilarikan. Biasanya kawin lari di lakukan
pada malam hari antara waktu magrib dan isya, dimana si gadis dijemput
pada tempat yang telah disepakati kedua calon pengantin. Dan selanjutnya
dalam rombongan penjemput, ketentuan adat mengharuskan keikutsertaan
seorang wanita suci dalam arti telah memasuki masa menopause. Ini
bertujuan, agar ada yang menemani si gadis dalam proses perjalanan
kawin lari, sehingga tidak terjadi sesuatu di luar norma susila dan demi
menghindari kecurigaan masyarakat.7
Pada masyarakat Sasak, sebelum melaksanakan perkawinan atau
melakukan Merariq ada beberapa proses yang harus dilalui sebagai sarana
saling kenal mengenal antara laki-laki dan perempuan. Berikut
penjelasannya:
1. Midang (meminang), yaitu kunjungan secara langsung oleh laki-laki
kerumah perempuan yang diidam-idamkan dalam rangka saling
mengenal lebih mendalam tentang keberadaan mereka masing-
masing untuk selanjutnya bersepakat untuk mengikat hubungan
6Merariq bisa dikatakan Anomali yang artinya bisa dikatakan suatu penyimpangan tetapi masih bisa di terima.
7Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi Sasak (NTB:
KSU Primaguna, 2012), h. 5-7.
-
40
pertalian yang lebih mendalam dalam bentuk perkawinan. Proses
peminangan diatur oleh adat yang disebut awig-awig, yaitu
aturan-aturan pelaksanaan adat yang diberlakukan dan berdasarkan
kesepakatan bersama warga setempat. Beberapa aturan-aturan
meminang:8
a. Yang boleh meminang adalah setiap laki-laki yang bukan
muhrim, baik dia masih jejaka/gadis, janda/duda atau masih
beristri.
b. Tidak boleh saling mencemburui karena masih berada dalam
proses peminang
c. Cara duduk pada saat meminang tidak boleh berdekatan
dengan yang dipinang
d. Kalau ada peminang lain yang datang menyusul, bagi yang
sudah datang terlebih dahulu harus meninggalkan tempat
peminangan meskipun pembicaranya belum tuntas.
e. Kalau terjadi peminangan yang dilakukan dalam waktu yang
bersamaan oleh dua orang laki-laki atau lebih terhadap satu
orang perempuan, maka laki-laki sebagai tamu tidak boleh
saling mempersilahkan (menyuguhkan sesuatu), harus
perempuan yang dipinang yang mempersilahkannya.
8M. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi
(Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2013), h.118-119.
-
41
f. Bagi peminangan yang tadinya meninggalkan karena ada yang
menyusul datang, boleh meminang perempuan lain lagi
ditempat yang lain.
g. Pada waktu terlaksananya peminangan orangtua si gadis/janda
harus meninggalkan ruang tempat peminangan itu dilakukan.
h. Tempat peminangan harus terbuka
i. Meminang tidak boleh dilakukan pada tempat yang sepi/petang
Tujuan utama midang (peminangan) itu adalah untuk bertemu
dengan perempuan yang menjadi idamannya. Midang disamping sebagai
sarana kenal mengenal di dalamnya juga dibicarakan soal perkawinan
dikemudian hari. Apabila kesepakatan dapat diperoleh pada saat
meminang tersebut, maka untuk melangsungkan perkawinan, mereka
merencanakan untuk sepakat lari pada malam hari yang telah ditentukan
bersama.9
2. Merariq merupakan rangkaian akhir dari proses pencarian jodoh
(pasangan) untuk menuju perkawinan. Merariq artinya membawa
lari seorang perempuan oleh pihak laki-laki untuk kawin. Merariq
merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh suku Sasak
dibeberapa tempat di Lombok dari dulu hingga sekarang untuk
perkawinan. Beberapa aturan Merariq yang berlaku secara umum
pada suku Sasak adalah sebagai berikut:10
9M. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat..., h.119.
10M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPiM
IAIN Mataram, 2012), h. 62.
-
42
a. Calon mempelai perempuan harus diambil di rumah
orangtuanya dan tidak boleh diambil di rumah keluarganya
atau di tengah jalan, sawah, tempar kerja, pondok, apalagi di
sekolah.
b. Calon mempelai perempuan yang mau diambil itu benar-benar
bersedia untuk kawin dan bahkan pernah ada janji dengannya
untuk kawin.
c. Merariq harus dilakukan pada malam hari dari habis magrib
samapai jam 23.00 Wita, dan terhina bagi yang Merariq pada
siang hari
d. Merariq harus dilakukan dengan cara-cara yang sopan dan
bijaksana, tidak boleh dengan jalan paksaan, kekerasan, dan
keusilan lainnya.
e. Harus mengikutkan seorang perempuan dalam mengambil
sebagai teman gadis calon mempelai guna menghindarinya
hal-hal yang tidak diinginkan.
f. Calon mempelai perempuan yang diambil itu harus dibawa ke
rumah salah seorang keluarga pihak laki-laki guna
menghindari keterkejutan atau kemarahan orangtua laki-laki
karena tidak setuju, sehingga si perempuan tidak dapat
mendengarkan kata-kata tidak senonoh yang keluar dari calon
mertuanya. Di tempat ini, calon pengantin perempuan harus
ditemani oleh seorang perempuan lain dari keluarga laki-laki
-
43
dan baru boleh pulang ke rumah orangtua laki-laki setelah
selesai Betikah.11
g. Calon mempelai perempuan yang diambil harus segera
diinformasikan keadaannya kepada kepala dusunnya dan
keluargnaya atau tepesejati dan tepeselebar.12
3. Kemudian yang selanjutnya ialah Mesejati dan Selabar. Mesejati
adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh keluarga pengantin laki-
laki kepada keluarga pengantin perempuan bahwa anak kedua
keluarga tersebut telah kawin. Sedangkan Berselabar ialah
penyeberahan kepada khalayak ramai tentang peristiwa Merariq
yang terjadi. Orang yang datang mesejati paling sedikit 4 orang
terdiri atas keliang (kepala dusun), kepala RT, kepala RW dan satu
orang dari pihak keluarga pengantin laki. Keempat orang ini
mendatangi kepala desa, kepala dusun dan ketua RT di mana
pengantin perempuan bertempat tinggal yang selanjutnya bersama
sama mendatangi orang tua dari pengantin wanita. Keempat utusan
dari keluarga pengantin wanita melaporkan bahwa proses mbait
wali13
dilakukan tanpa sepengetahuan keluarga calon pengantin
perempuan. Untuk menghindari kecemasan orang tua calon
pengantin wanita yang kehilangan anak gadisnya maka sesegera
mungkin dilakukan pemberitahuan. Biasanya langsung bersamaan
11Betikah dalam Bahasa Sasak Ialah Kawin/Nikah.
12M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat..... h. 65-66.
13
Mbait Wali ialah seseorang yang diutus memberi kabar kepada kedua orang tua calon
pengantin perempuan, bahwa anaknya siap untuk dinikahkan.
-
44
dengan acara merangkat atau kalau ditunda waktunya paling lambat
tiga hari. Persoalan yang sering terjadi dalam penyelesaian adat ini
adalah ajikrama dan permasalahan yang terkait dengan biaya
penyelesaian upacara begawe (resepsi). Setelah semua
kesepakatan ini diperoleh maka dilanjutkan dengan acara akad nikah
yang diselenggarakan dirumah calon mempelai laki-laki. Pelaksaan
akad nikah dilaksanakan sesuai aturan yang diberlakukan menurut
syariat Islam. 14
4. Sorong serah atau ajikrama. Merupakan acara dalam upacara adat
perkawinan di Lombok. yaitu acara pesta perkawinan pada waktu
orangtua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai laki-
laki. Dalam acara ini keluarga perempuan juga mengadakan suatu
acara selametan yang biasanya biaya ditanggung oleh pihak laki-laki
atas dasar kesepakatan yang telah di tentukan pada saat pelaksanaan
selabar. Pada saat ini juga dilakukan beberapa tagihan yang terkait
dengan adat yang harus dilaksanakan, terutama berupa denda yang
dikenakan kepada pihak laki-laki apabila dalam proses penyelesaian
adat sebelum acara ini pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran
terhadap adat yang diperlukan.15
5. Nyongkol adalah kegiatan terakhir dari seluruh proses perkawinan.
Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan seluruh anggota keluarga
mempelai laki-laki bersama masyarakat berkunjung kerumah
14
Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi... h. 10. 15
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
-
45
mempelai perempuan. Tujuannya adalah untuk menampakkan
dirinya secara resmi dihadapan orangtuanya dan keluarga-
keluarganya bahkan juga kepada seluruh masyarakat sambil meminta
maaf serta memberi hormat kepada kedua orangtua pengantin
perempuan. Kedua mempelai dalam kegiatan ini bagaikan sang raja
dan permaisurinya yang diiringi oleh rakyatnya. Keduanya
menggunakan pakaian serba mewah sebagaimana layaknya
perlengkapan seorang raja bersama permaisurinya. Adapun bentuk
pakaian yang dikenakan oleh kedua mempelai dalam acara nyongkol
harus menggunakan pakaian sesuai ketentuan adat. Untuk
menyamarkan kegiatan ini biasanya diiringi dengan berbagai
kesenian tradisional, seperti gamelan, klentang dan kesenian
tradisional Lombok lainnya.16
B. Karya dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan
Ketika seseorang yang melakukan perkawinan maka terdorong
untuk bersikeras berjuang demi perkawinannya, alasannya adalah Dalam
adat suku sasak yang unik ini mempelai laki-laki dituntut untuk bisa
memberi mahar yang cukup fantastis kepada mempelai wanitanya. Sebagai
contoh mahar yang harus diberikan berupa seekor kerbau atau seekor sapi,
bagi para masyarakat suku pedalaman Sasak itu adalah bentuk mahar yang
sangat besar tanggungannya.17
16
Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi, h. 126.
17Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
-
46
Jadi mereka para lelaki jika ingin pertahankan cintanya maka
mereka haruslah berusaha keras untuk pencapaian mahar tersebut. Tetapi
yang membuat inovasi dalam masyarakat sasak ini adalah Merariq itu
sendiri, dimana para lelaki sudah siap rencana untuk membawa lari
pasangannya agar dapat dinikahkan, disinilah bentuk kelihaian dan
kematangan strategi para kaum lelaki suku sasak dalam Merariq. Pasangan
yang sudah benar-benar serius ingin melangsungkan perkawinan dituntut
untuk bisa meyakinkan kepala suku adat ketika pasangan yang sudah
berhasil kabur dari kediaman mereka dan kembali setelah kedua orang tua
mempelai melaporkan kejadiaan ini dan sudah mengetahui lokasi anak-
anak mereka masing-masing, bahwa mereka sudah saling siap satu sama
lain untuk melangsungkan perkawinan.18
Permasalahan krusial
ketika mempelai laki-laki tidak memiliki harta apapun pada dirinya, maka
keputusan bagaimana dari orang tua mempelai wanita tetapi sejauh ini
apabila hal ini terjadi biasanya orang tua dari mempelai wanita
memberikan waktu untuk pria tersebut memenuhi maharnya dalam tempo
waktu yang ditentukan dengan kata lain (hutang mahar). Jadi sebagai
gantinya mahar saat penikahan berlangsung bisa berupa berapapun jumlah
uang yang dimiliki atau harta benda yang ada pada diri mempelai laki-laki
tersebut.19
Pada saat ingin melangsungkan perkawinan biasanya para kaum
wanita haruslah bisa menjahit dan merajut karena pada dasarnya mata
18Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi, h. 100.
19Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
-
47
pencaharian mereka para suku sasak ini adalah bertani. Jadi apabila musim
hujan sudah melanda maka penghasilan dari bertani mereka bisa kurang
hingga 70% dari biasanya. Maka dari itu solusi dari mereka para wanita
suku sasak yang nantinya akan melangsungkan perkawinan adalah harus
bisa menjahit atau merajut dan hasilnya dijual ke sekitar desa bahkan bisa
sampai Kota Mataram. Semua ini juga demi kelangsungan hidup anak
mereka dan keturunannya kelak.20
Rata-rata survei yang sudah dilakukan bahwa masyarakat suku
Sasak Merariq muda. Mulai dari kalangan remaja lulusan SMA sampai
baru lulus SMP sudah melakukan Merariq, jadi bisa dibayangkan
bagaimana mereka yang ingin Merariq sudah harus berfikir dewasa untuk
bisa membawa lari wanita yang dicintainya. Sedangkan apabila sudah
dibawa lari tetapi pada ujungnya orang tua wanita tetap tidak mau merestui
maka keduan pasangan lari ini akan sangat malu pada masyarakat desa.
Bagaimana tidak karena ketika kejadian bawa lari itu terjadi maka kepala
suku dan orang tua para anak pasti menyebarkan berita tersebut, jadi
seluruh masyarakat di desa itu pasti mendengar dan mengetahuinya. Maka
dari itu kebanyakan para orang tua merestui anak-anaknya yang sudah
sama-sama mencintai karena takut omongan dan kebencian masyarakat
terhadap anaknya.21
C. Tujuan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Nilai Kebudayaan
20 Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak di Desa Sade Lombok,
Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017. 21
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
-
48
Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak
memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarakat sasak, Merariq
berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan
seorang laki-laki sasak karena ia berhasil mengambil (melarikan) seorang
gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang
dilarikan juga cenderung resisten, kalau tidak dikatakan menolak untuk
memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa (konvensional).
Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa anak gadisnya
adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap
seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa
diucapkan dalam bahasa Sasak: Aram ngendeng anak manok baen
(seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam konteks ini, Merariq
dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan,
disamping itu juga cara untuk keluar dari konflik. Mengapa seperti itu,
karena pengertian dari Merariq atau kawin lari itu, bisa karena orang tua
sang gadis tidak merestui pernikahan anaknya, dikarenakan harus sang
laki-laki melarikan anak perempuannya, maka mau tidak mau itu harus di
kawinkan tetapi tetap ada bayar denda karena sudah melarikan anak gadis
orang.22
Munculnya stratifikasi sosial disebabkan karena adanya perbedaan
tinggi rendah kedudukan seseorang dalam masyarakat sehingga
menyebabkan adanya kedudukan yang dinilai lebih tinggi dari kedudukan
22
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas (Ketua Forum Kerukunan Umat
Beragamadi Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
-
49
yang lainnya.23
Sistem ini merupakan ciri yang tetap dan umum dalam
setiap masyarakat yang hidupnya teratur. Begitu juga dengan masyarakat
suku Sasak di Lombok. pelapisan masyarakat di daerah ini didasarkan
pada kebijaksanaan, keberanian, kebesaran darma, dan asal-usul
keturunan.
Stratifikasi sosial merupakan berbagai macam susunan hubungan
antarindividu yang menyebabkan adanya berbagai sistem dalam
masyarakat. Konsep stratifikasi sosial suku sasak pada umumnya banyak
ditentukan oleh susunan keluarga yang berawal dari perkawinan yang
disebut nurut mama (dibaca: mame).24
Artinya, garis keturunan darah
ditekankan pada laki-laki (garis bapak). Garis keturunan ini memberi
pengaruh pada pembentukan lapisan sosial dan pola kekerabatan dalam
sistem kemasyarakatan etnis suku Sasak. Perkawinan seorang perempuan
bangsawan dengan laki-laki dari lapisan status sosial rendah, maka anak
yang di lahirkan tidak berhak menggunakan identitas kebangsawanan
ibunya. 25
Demikian pula sebaliknya, anak yang di lahirkan akan diberikan
hak untuk