tradisi perkawinan merariq suku sasak di...

Download TRADISI PERKAWINAN MERARIQ SUKU SASAK DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36117/1/ANNISA... · TRADISI PERKAWINAN MERARIQ SUKU SASAK DI LOMBOK: Studi Kasus Integrasi

If you can't read please download the document

Upload: dangphuc

Post on 06-Feb-2018

267 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

  • TRADISI PERKAWINAN MERARIQ SUKU SASAK DI LOMBOK: Studi Kasus

    Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional

    Skripsi

    Diajukan Sebagai Tugas Akhir Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

    Oleh :

    ANNISA RIZKY AMALIA

    NIM : 1113032100014

    JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

    FAKULTAS USHULUDDIN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1438 H/2017 M

  • iv

    ABSTRAK

    Annisa Rizky Amalia

    Judul Skripsi : Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus

    Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional

    Kajian pokok penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan gambaran tradisi

    Merariq dalam Suku Sasak di Lombok di desa Sade, serta ingin mengetahui apa saja

    alasan masyarakat menjalankan tradisi Merariq tersebut. Dalam hal ini yang menjadi

    subjek penelitian adalah seluruh masyarakat Suku Sasak Lombok yang berada di desa

    Sade, sedangkan objek kajiannya adalah perspektif Islam dengan menggunakan metode

    kualitatif dengan melakukan pendekatan antropologi agama. Responden yang diteliti

    sebanyak empat orang dari latar belakang yang berbeda.

    Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa tradisi Merariq ini

    dalam Suku Sasak Lombok di desa Sade terdiri dari beberapa tahapan yaitu: (1) Midang

    (meminang). Termasuk bagian dari midang ini adalah ngujang (mengunjungi calon istri

    di luar rumah), disini terjadilah kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan

    penculikan atau si laki-laki membawa lari si perempuan. (2) Pihak laki-laki harus

    menculik (melarikan) pengantin perempuan. (3) Pihak laki-laki harus melaporkan

    kejadian kawin lari itu kepada kepala dusun tempat pengantin perempuan tersebut

    tinggal, yang dikenal dengan istilah selabar (nyelabar). (4) Pelunasan uang jaminan dan

    mahar. (5) Melakukan akad nikah dengan cara Islam. (6) Adapun istilah yang digunakan

    dalam pembayaran adat ketika ingin menikah di Suku Sasak Lombok disebut dengan

    Sorong doe atau sorong serah. (7) Nyongkolan, yaitu mengantarkan kembali pihak

    perempuan pada pihak keluarganya, diarak keliling kampung dengan berjalan kaki

    diiringi musik tradisional khas lombok (gendang belek dan kecimol).

    Tradisi Merariq ini tidak di benarkan dalam Islam, karena proses peminangan

    dalam Islam dengan peminangan tradisi Merariq sangat berbeda dan tradisi ini banyak

    menimbulkan kemudharatan dan bertentangan dengan hukum Islam. Walaupun begitu

    Merariq tetap diakui sebagai status hukum karena merupakan salah satu adat istiadat.

    Kata Kunci : Suku Sasak, Tradisi Perkawinan Merariq, Integrasi Agama dengan

    Budaya Masyarakat Desa Sade.

  • v

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillahirabbil alamin rasa syukur untuk Allah SWT yang tak

    henti-henti memberikan nikmatnya untuk kita sehingga sampai detik ini kita

    masih bisa berdiri tegak dan menikmati kehidupan dengan penuh

    kebahagiaan. Tidak lupa juga salam serta sholawat terus saya ucapkan

    teruntuk Nabi Muhammad SAW.

    Selanjutnya penulis haturkan ungkapan terimakasih yang sebesar-

    besarnya kepada beliau-beliau yang telah banyak berjasa dalam membantu

    penyelesaian tugas akhir ini :

    1. Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi,

    atas kesabaran dan ketelitian dalam membimbing penulis. Beliau

    yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan

    memberikan arahan, motivasi serta bimbingan kepada penulis

    sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    2. Dra. Hj, Hermawati MA. Selaku Penasehat Akademik yang

    memberikan arahan dan motivasi kepeda penulis untuk

    menyelesaikan dengan baik.

    3. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku Ketua Jurusan Studi Agama-

    Agama dan Dr. Halimah Mahmudy M.A, selaku sekretaris Jurusan

    Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu

    memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

    4. Prof. Dr. Ikhsan Tangok, M.A, selaku Wadek I bidang Administrasi

    Fakultas Ushuluddin. Dr. Bustami, M.A, selaku Wadek II bidang

  • vi

    Administrasi Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku Wadek III

    bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para Staff Akademik Fakultas

    Ushuluddin, para Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan para

    Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    6. Ayahanda tercinta Agus Santoso dan Ibunda tercinta Evi Syafiiyah

    yang tidak pernah lepas memberikan kasih sayangnya mulai dari

    kecil sampai waktu yang tak terkira, semoga beliau berdua selalu

    memberikan semangat, motivasi, kasih sayang, dan doa yang tulus

    untuk kesuksesan penulis. Semoga Allah selalu melimpahkan

    rahmat-Nya dan memberikan umur panjang kepada mereka.

    7. Kepada keluarga bapak Ir. H. Ikhsan Gemala Putra dan Ibu Hj.

    Asiah yang telah memberikan doa, motivasi serta bantuannya dan

    segala fasilitas untuk penulis melakukan penelitian di Lombok.

    Semoga Beliau berdua diberikan umur panjang dan sehat walafiat

    dan para Narasumber yang telah membantu penulis dalam

    mengumpulkan informasi terkait dengan penulisan skripsi ini

    sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

    8. Kakak-kakak tersayang Mba Ambartyas Niken, Mba Nindy Febriani

    Agustina, Mba Alfitiara, Teteh Fauzia Nashiha, Teteh Sofia Ade

    Putri, juga adik-adik tersayang Chairul Anam, Yusran Kamil, Mutia

    Sufi Ulwani, Fadhilah Putri Gemala, Berlianty Ratu Piningit

    terimakasih atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat

  • vii

    menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas doa dan dukungannya

    sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    9. Teman tersayang seperjuangan selama kuliah dan skripsi Khemas

    Aulia Ulwan yang selalu memberikan motivasi, bantuan, dan doa

    yang tiada hentinya, terimakasih banyak sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini.

    10. Teman-teman tersayang yaitu Tri Indah Annisa, Rayyan Adilla

    Anwar, Nur Syamsiyah, Mawaddah Salimah, Siti Khusniatussaidah

    dan juga teman-teman seperjuangan Studi Agama-agama angkatan

    2013 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terimakasih

    banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini.

    11. Sahabat-sahabat tersayang Irda sudistiani Putri, Yayi Rista Radanti,

    Suci Alvia Helmi, Zuhria Nisa Pratiwi, Ratnawati Inesia Pratiwi,

    Ariska Sukmawati, Alfianur Fidia Rahma dan Resty Rahmawati,

    terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis

    dapat menyelesaikan skripsi ini.

    12. Dan kepada semua orang yang saya kenal maupun yang mengenal

    saya, terimakasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan.

    Terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis

    dapat menyelesaikan skripsi ini.

  • viii

    Semoga peran-peran beliau semua mendapat imbalan yang

    sepantasnya dan mendapatkan ridho dari Allah SWT Amin. Penulis

    menyadari bahwa sedikit karya tulis ini bukanlah akhir dan puncak dari

    pencarian ilmu pengetahuan akan tetapi merupakan awal dalam

    mengembangkan karya-karya ilmiah lainnya. Kritik dan saran serta solusi

    sangat penulis harapkan dari berbagai pihak guna penyempurnaan dari

    kebaikan karya-karya penulis nantinya.

    Jakarta, 03 Juli 2017

    Annisa Rizky Amalia

  • ix

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... i

    LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SIDANG ................................................ ii

    LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii

    ABSTRAK ............................................................................................................. iv

    KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

    DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah ............................................................................10

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................... 10

    D. Kajian Pustaka ................................................................................ 11

    E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 14

    F. Sumber Data ................................................................................... 19

    G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 21

    BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASAK

    A. Sejarah Singkat Suku Sasak ............................................................ 23

    B. Letak Geografis ............................................................................... 24

    C. Sistem Keyakinan Masyarakat Sasak ............................................. 27

    a. Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuan kepada

    Allah ........................................................................................ 30

    b. Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak

    kepada Allah ............................................................................ 32

    c. Akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosial ................ 34

    BAB III KEBUDAYAAN

    A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang Menghasilkan

    Kreativitas Kebudayaan .................................................................. 37

    B. Karya dalam Tradisi Merariq yang Mengahsilkan Inovasi

    Kebudayaan .................................................................................... 45

  • x

    C. Tujuan dalam Tradisi Merariq yang Menghasilkan Nilai

    Kebudayaan .................................................................................... 48

    BAB IV FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM

    TRAIDI MERARIQ

    A. Tujuan Merariq ............................................................................... 53

    B. Alasan Merariq ............................................................................... 59

    C. Perspektif Merariq .......................................................................... 64

    BAB V PENUTUPAN

    A. Kesimpulan .................................................................................... 68

    B. Saran-saran ...................................................................................... 70

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71

    LAMPIRAN ......................................................................................................... 75

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Kebudayaan biasa kita sambungkan pada hal-hal yang indah

    (seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusastraan dan filsafat)

    saja. Sedangkan kebudayaan dalam antropologi jauh lebih luas sifat dan

    ruang lingkupnya. Menurut antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan

    sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan

    masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal

    tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah

    kebudayaan, karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan

    masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya

    beberapa tindakan naluri, beberapa refleksi, beberapa tindakan akibat

    proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan

    manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen

    bersama kelahirannya (seperti makan, minum atau berjalan dengan kedua

    kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan kebudayaan.1

    Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan

    paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya

    merupakan konsep-konsep mengenai suatu yang ada dalam alam pikiran

    sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, suatu

    1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 144-

    145.

  • 2

    pedoman yang memberi arah orientasi pada kehidupan para warga

    masyarakat tersebut. Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman

    hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep suatu nilai budaya

    itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan

    biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena

    sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya

    dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa

    para individu yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan. Selain

    itu juga, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai

    budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu

    sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-

    nilai budaya yang lain dalam waktu singkat, dengan cara

    mendiskusikannya secara rasional.2

    Ritual merupakan salah satu aspek terpenting di dalam masyarakat

    adat dan agama lokal di Indonesia. Begitu juga halnya dengan Islam di

    Lombok, sejumlah ritus keagamaan seperti perkawinan mendapat porsi

    yang cukup penting di dalam kajian mengenai Islam di wilayah ini. Dalam

    beberapa tahun terakhir ini, kajian Islam di Lombok juga beragam,

    khususnya dengan meletusnya peristiwa kerusuhan di Mataram pada tahun

    2001. Lombok mengalami banyak perubahan pada masa reformasi,

    ditandai dengan kemunculan berbagai kelompok sosial dan politik yang

    turut bermain di dalam politik lokal di Lombok. Aspek kesenian lokal,

    2 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 153.

  • 3

    khususnya seni musik di Lombok juga dikaji karena keterkaitannya

    dengan agama Islam, budaya Bali dan adat khas Lombok sendiri. Namun

    demikian, sejauh ini belum cukup banyak kajian yang memfokuskan diri

    kepada Islam dan dinamika agama lokal, bukan hanya terkait dengan Islam

    semata tetapi juga kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, sejumlah kasus

    merebak di tanah air karena sebagian masyarakat adat pengaku tidak

    mendapatkan perlakuan yang sama sebagai warga negara, khususnya

    terkait dengan sistem kepercayaan dan adat istiadatnya. Disinilah arti

    pentingnya penelitian ini, di mana agama lokal dilihat sebagai suatu sistem

    kepercayaan yang dinamis. Terlebih dengan adanya Undang-undang yang

    menjamin hak-hak yuridis dan hak-hak sipil setiap warga negara, disini

    para pemeluk dan pengikut agama lokal seperti yang terdapat di Lombok

    didengar aspirasi dan permasalahan yang dihadapi.3

    Antara agama dan budaya sama-sama melekat pada diri

    seseorang. Dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal, praktik

    agama akan selalu bersamaan, dan bahkan berinteraksi dengan budaya.

    Kebudayaan sangat berperan penting di dalam terbentuknya sebuah praktik

    keagamaan bagi seseorang atau masyarakat. Tidak hanya melahirkan

    bermacam-macam agama, kebudayaan ini lah juga mempunyai andil besar

    bagi terbentuknya aneka ragam praktik beragama dalam satu payung

    agama yang sama. Dalam kenyataannya dua atau lebih orang dengan

    agama yang sama belum tentu mempunyai praktik atau cara pengamalan

    3Suhanah, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama, 2004),

    h.161-162.

  • 4

    agama, khususnya ritual, yang sama. Keragaman cara beribadah dalam

    suatu komunitas agama ini mudah kita dapati dalam setiap masyarakat,

    dengan terbentuknya berbagai macam kelompok agama.4

    Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat

    guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk

    mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi. Hal ini sangat

    disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan fitrah bagi setiap

    makhluk Tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu masyarakat kecil

    dalam bentuk keluarga hdan dari situlah akan terlahir beberapa suku dan

    bangsa.5

    Sejarah perkawinan telah tercatat semenjak Nabi Adam turun ke

    bumi dan menjalani kehidupan bersama-sama dengan anak cucunya.

    Sedangkan perkawinan merupakan satu hal yang paling mendasar dan

    sangat di butuhkan dalam kehidupan manusia. Perkawinan merupakan hal

    yang fitrah bagi manusia yang sudah tertanam dan terpatri dalam hati dan

    perasaan manusia laki-laki dan wanita. Keduanya saling membutuhkan

    guna saling mengisi dan membagi perasaan suka maupun duka. Hidup ini

    terasa kurang sempurnatanpa kehadiran orang lain disisinya, menjalin

    kasih sayang bersamanya, membangun mahligai rumah tangga yang

    bahagia dan sejahtera.6

    4Khadziq, Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama Dalam

    Masyarakat (Yogyakarta: Teras, 2009), h.42-43. 5Musifin Asad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya (Jakarta: Pustaka

    Al-Kaustar, 1993), h. 14. 6Asad dan Basyarahil, Perkawinan dan masalahnya, h. 17-18.

  • 5

    Selanjutnya, sebelum kita membahas tentang Merariq, terdapat 2

    macam penulisan Merariq. Yakni (Merariq7 dan Merari

    8) akan tetapi

    penulis memilih menggunakan kata Merariq dengan alasan karena lebih

    banyak digunakan oleh penulisan karya Ilmiah. Dalam adat sasak

    pernikahan sering disebut dengan Merariq. Secara etimologis kata

    Merariq diambil dari kata lari, berlari. Merarian berarti Melaiang

    artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih

    diterapkan di Lombok. Apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak

    bisa terlepas membicarakan Merariq. Merariq yaitu melarikan anak gadis

    untuk dijadikan istri. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam

    masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status

    pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang

    bersangkutan telah Merariq atau belum. Oleh karenanya tepat jika

    dikatakan bahwa Merariq merupakan hal yang sangat penting dalam

    perkawinan Sasak.9

    Ada dua pandangan yang mengemukakan munculnya tradisi kawin

    lari (Merariq) di pulau Lombok, yaitu: Pertama, orisinalitas Merariq.

    Kawin lari (Merariq) dianggap sebagai budaya produk lokal dan

    merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah

    7M Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPIM

    IAIN Mataram, 2012). 8Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi

    (Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012). 9Nur Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 150-

    151.

  • 6

    dipraktikkan oleh masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali maupun

    kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak

    yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu

    Mudjitahid, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak

    (MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini.

    Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak

    adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi

    kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang

    sebenarnya. Kedua, akulturasi Merariq. Kawin lari (Merariq) dianggap

    budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat

    sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial

    Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan

    dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,

    Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (Merariq) karena

    dianggap manifestasi Hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal

    yang sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di

    Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan

    Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis

    antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya

    Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An

    Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam

    bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip

    Bartolomew, memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok

  • 7

    dalam Merariq. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di

    Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali.

    Karena telah dijelaskan di awal bab 1 bahwa Merariq ini memiliki dua

    pandangan yang mengemuka di Lombok, pertama yaitu keorisinalitas

    budaya, yaitu merupakan budaya lokal, dan yang kedua itu Merariq

    merupakan budaya produk impor, bukan asli (ungenuine) dari leluhur

    masyarakat sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya

    kolonial Bali. Berdasarkan kedua argument tentang sejarah kawin lari

    (Merariq) di atas, tampak bahwa paham akulturasi Merariq memiliki

    tingkat akurasi lebih valid.10

    Dalam konteks ini penulis lebih kepada pendapat kedua, yakni

    Merariq ini dilatar belakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai

    bagian dari rekayasa sosial budaya Hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam

    suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata

    sosial ini sudah jelas sama dengan pola Hindu-Bali. 11

    Dalam menyikapi tradisi kawin lari, secara garis besar pendapat

    masyarakat Sasak terhadap Merariq terjadi menjadi dua, yaitu mereka

    yang menyetujuinya dan mereka yang menolaknya. Perbedaan pendapat

    kedua kelompok ini masih merupakan rangkaian dari perbedaan pendapat

    mereka dalam melihat asal mula kawin lari. Para tokoh adat Sasak yang

    berpendapat bahwa kawin lari merupakan budaya asli masyarakat Sasak

    tentu mendukung lestarinya tradisi ini. Sedangkan para tokoh agama atau

    10

    Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak, h. 155-157. 11

    John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak (Yogyakarta: PT.

    Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 49.

  • 8

    tuan guru yang berpendapat bahwa budaya kawin lari merupakan tradisi

    masyarakat Hindu Bali yang diikuti oleh masyarakat Sasak sudah tentu

    juga lebih menganjurkan untuk meninggalkan tradisi ini. Menurut tuan

    guru haji Muharror, meskipun ada perbedaan antara kawin lari di Lombok

    dan Bali, dimana bagi umat Hindu, setelah perempuan dilarikan mereka

    langsung boleh bergaul, sedangkan pada masyarakat Sasak, setelah

    pelarian mereka masih tetap di larang bergaul sampai terlaksananya

    akad nikah secara Islami, tetap saja tradisi kawin lari sebaiknya

    ditinggalkan. Menurutnya, budaya kawin lari merupakan salah satu bentuk

    tasyabbuh bi al-kuffar (penyerupaan dengan orang-orang kafir) dan umat

    Islam dilarang untuk melakukannya. Seharusnya umat Islam lebih

    mentradisikan khitbah atau lamaran dari pada kawin lari, namun untuk

    mensosialisasikannya harus tetap tanpa mengencam adat istiadat

    Merariq.12

    Tradisi Merariq ini merupakan bagian dari kebudayaan.

    Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas

    dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang

    mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang

    dipengaruhi oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam.

    Kedua aliran kebudayaan itu nampak jelas pada kebudayaan orang

    Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan

    Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali

    12

    Ahmad Fathan Aniq, konflik peran Gender pada tradisi merariq di pulau Lombok

    (Surabaya: IAIN Sunan Ampel) h. 33-35.

  • 9

    sebagai sinkretis Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari

    penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan

    sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar

    adalah orang Sasak. Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku

    pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi

    masyarakat Sasak, Merariq berarti mempertahankan harga diri dan

    menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil

    mengambil (melarikan) seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi

    lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau

    tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika

    diminta secara biasa (konvensional), karena mereka beranggapan bahwa

    anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, karena perempuan/gadis di

    lombok itu sangat dihargai, ditambah kalau perempuan itu memiliki tahta

    atau garis keturunan bangsaawan, tetapi tetap wanita yang tidak memiliki

    tahta atau garis keturunan bangsawan tetap sangat berharga, jika diminta

    secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga.

    Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Aram

    ngendeng anak manok baen (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam

    konteks ini, Merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan

    prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.13

    13

    Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak, h. 152-154.

  • 10

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu

    membatasi ruang lingkup kajian dalam pembahasan penelitian ini

    agar lebih fokus dan tidak menjadi bias. Oleh karena itu, di sini penulis

    telah merumuskan permasalahan yang ingin dikaji lebih dalam terkait

    Tradisi Merariq tentang Perkawinan Suku Sasak yang mendiami Pulau

    Lombok, yaitu:

    1. Bagaimana pola Integrasi Agama dengan Adat suku Sasak?

    2. Bagaimana Format Tradisi Perkawinan Merariq di Lombok?

    3. Bagaimana Masa Depan Perkawinan Merariq di Lombok dengan

    Tuntutan Kehidupan Modern?

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah :

    1. Untuk mengetahui bagaimana pola Integrasi Agama dengan adat

    suku Sasak

    2. Untuk mengetahui Format Tradisi perkawinan Merariq di Lombok

    3. Untuk mengetahui Masa Depan Perkawinan Merariq di Lombok

    dengan Tuntutan Kehidupan Modern

    Sedangkan kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Untuk memberi pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat

    tentang Tradisi perkawinan Merariq di Lombok

    2. Untuk tambahan koleksi kepustakaan Islam mengenai Tradisi

    perkawinan Merariq di Lombok

  • 11

    D. Kajian Pustaka

    Dalam kajian pustaka ini adalah sebagai penelitian terdahulu yang

    mana bukan untuk melihat referensi buku yang ingin kita gunakan tetapi

    untuk mengetahui keorisinilan judul yang ingin saya teliti, dan di sisi lain

    untuk mengetahui siapakah sarjanah yang pernah membahas tentang judul

    ini agar kita bisa melacaknya. Kajian pustaka ini bertujuan untuk pijakan

    kita dalam menulis penelitian ini untuk mencari data-data terdahulu. Dan

    sementara yang berkaitan dengan judul penulis teliti ini membahas tentang

    Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus Integrasi

    Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional. Dalam penelusuran

    penulis tidak ada sarjana yang membahas tentang judul yang bersangkutan

    dengan judul ini, sehingga penulis dapat melanjutkannya. Dan ada

    beberapa buku yang membahas juga tentang Perkawinan Merariq antara

    lain:

    1. Tulisan yang pertama adalah buku yang terbit pada tahun 2012 karya

    Muhammad Harfin Zuhdi dengan judul Praktik Merariq: Wajah

    Sosial Masyarakat Sasak. Buku ini menjelaskan tentang adat

    perkawinan suku Sasak di Lombok yang sudah mengakar dan

    dilakukan secara turun temurun dan hingga kini lebih banyak di

    pahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh sebab itu tidak heran kalau

    Merariq mendapat konotasi yang negatif juga prosesinya yang panjang

    dengan melalui delapan tahapan dan memerlukan biaya yang sangat

    besar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengantin pria. Seolah

  • 12

    sampai timbul asumsi bahwa perempuan disamakan dengan barang

    dagangan atau kepemilikian sang pria. Hal ini berpengaruh terhadap

    hubungan suami istri dalam rumah tangga dan berdampak pada

    pelestarian praktik bias jender.

    2. Tulisan yang kedua adalah buku yang terbit pada tahun 2001 karya

    dari John Ryan Bartholomew terjemahan dari Alif Lam Mim:

    Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian

    Kampung... yang kemudian di terjemahkan oleh Imron Rosyidi

    dengan judul Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak. Buku ini

    menjelaskan tentang adat perkawinan suku Sasak di Lombok yang

    mana berpijak pada kasus perkawinan Merariq yang dilakukan oleh

    Ali dan Windi dikampung Demen. Dengan kondisi kampung Demen

    dan aktivitas kedua masjid yaitu Nahdatul Wathan (NW) dan

    Muhammadiyah, yang mendamaikan hubungan antara Islam, tradisi,

    dan modernitas. Kasus antara Ali dan Windi menjadi pintu masuk

    yang sangat pas karena kedua organisasi Islam diatas berbeda

    pandangan tentang Merariq. Masjid Al Aziz yang dikuasai oleh

    organisasi Muhammadiyah menolak Merariq, sementara masjid Al

    Jibril yang dikuasai oleh organisasi Nahdatul Wathan meskipun tidak

    menyetujui, namun tidak juga secara aktif melarang jamaahnya

    mempraktikan adat tersebut. Karena, letak kedua masjid ini

    berdekatan, Merariq menjadi persoalan kontroversial di Demen.

  • 13

    3. Tulisan yang ketiga adalah jurnal yang terbit pada tahun 2006 karya

    dari M. Yasin dengan judul Kontekstualisasi Doktrin Tradisional di

    Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari

    (Merariq) di Pulau Lombok. ada empat prinsip dasar yang terkandung

    dalam praktik kawin lari (Merariq) di pulau lombok. Pertama, prestise

    keluarga perempuan, dipahami dan diyakini sebagai bentuk

    kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Ada

    anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental

    masyarakat tertentu di lombok bahwa dengan melarikan berarti anak

    gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya,

    keluarga perempuan merasa terhina jika perkawinan gadisnya tidak

    dengan kawin lari (Merariq). Kedua, superioritas lelaki, inferioritas

    perempuan. Satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari sebuah kawin

    lari (Merariq) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai,

    dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri. Kawin

    lari tetap memberikan legitimasi kepada kaum perempuan. Ketiga,

    egalitarisnisme, terjadinya kawin lari menimbulkan rasa kebersamaan

    di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya di lingkungan

    kelurga tetapi juga kebersamaan melibatkan komunitas besar

    masyarakat di lingkungan setempat. Keempat, komersial. Terjadinya

    kawin lari hampir selalu berlanjut pada tawar menawar. Apapun

    alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang

    paling kuat dan dominan. Ada indikasi bahwa orangtua merasa telah

  • 14

    membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk itu

    semua usaha tersebut telah menghabiskan banyak biaya yang tidak

    sedikit. Untuk itu memperoleh sebagai ganti dari calon menantunya.

    Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan

    orangtua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya,

    semakin rendah tingkat sosial dan tinggkat pendidikan anak serta

    orangtua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.

    E. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Jenis Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode

    ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif ini adalah sebuah

    penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu gejala

    sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang mana dalam penelitian

    ini penulis berusaha untuk menggambarkan suatu tradisi

    perkawinan Merariq di Lombok.14

    2. Teknik Pengumpulan Data

    Sedangkan untuk mendapatkan sebuah data dalam

    melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan dua cara yaitu:

    1) Studi kepustakaan (Library research)

    Studi kepustakaan ialah mengumpulkan data dengan cara

    mencari buku-buku yang sesuai dengan tema yang kita buat

    14

    Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Grafindo

    Persada, 2006) h. 29.

  • 15

    dengan tujuan sebagai dasar untuk mendapatkan data-data baik

    itu data primer maupun data skunder. Sumber studi

    kepustakaan ini di dapatkan dari buku, majalah, artikel, jurnal,

    dll.

    2) Penelitian Lapangan (Field research)

    Metode penelitian lapangan ini yang mengadakan

    penelitian lapangan terhadap ritual perkawinan Merariq

    khususnya pada suku Sasak dengan pendekatan Kualitatif.

    Yang mana dibagi menjadi 3 cara yaitu:

    a. Observasi

    Observasi atau pengamatan langsung di lakukan

    untuk memperoleh fakta nyata tentang tradisi upacara

    perkawinan suku sasak (Merariq) dan hal-hal yang

    berkaitan kemudian melakukan pencatatan di salah satu

    sebuah Desa Sade yang terletak di bagian Lombok

    Tengah, Nusa Tenggara Barat. Kemudian penulis

    mewawancarai salah satu pemangku adat Sasak yang

    berada di tempat observasi Desa Sade.

    Kemudian observasi juga di lakukan di jalan raya

    cakranegara yang mana, sedang diadakan nyongkolan

    (arak-arakan pengantin dari rumah pria kerumah wanita

    dengan di iringi musik khas tradisional suku Sasak).

    Metode ini di lakukan dengan cara terjun langsung ke

  • 16

    lapangan untuk melakukan pengamatan tentang pelaksaan

    upacara perkawinan suku Sasak (Merariq), yang meliputi

    proses upacara, perlengkapan upacara, dan tempat

    penyelenggaraan upacara. Agar terpenuhi standar ilmiah

    maka peneliti harus mampu masuk di dalamnya untuk

    berperan serta dalam ritual adat setempat.15

    b. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)

    Wawancara adalah metode pengumpulan data

    dengan melakukan dialog atau percakapan terkait dengan

    tema penelitian kepada informan.16

    Metode ini

    dimaksudkan untuk memperoleh data primer, karena data

    ini diperoleh langsung melalui wawancara dengan pelaku

    upacara. Adapun tokoh upacara, pemimpin/pemangku adat

    perkawinan Merariq, kedua pasangan pengantin, dan

    berbagai pihak yang bersangkutan.

    c. Dokumentasi

    Dalam penelitian ini penulis mengkaji bahan tertulis

    dan tidak tertulis yang bertujuan untuk mendapatkan data

    skunder sebagai pelengkap dari kedua data diatas. Sumber

    tertulis tersebut berupa data monografi dan arsip-arsip

    yang ada relevansinya dengan penelitian, sedangkan

    15

    Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gajah Mada

    University Press, 2006), h. 169. 16

    Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

    2006), h. 186.

  • 17

    sumber tidak tertulis brupa foto-foto dan video tentang

    praktik terjadinya Tradisi Perkawinan Merariq.

    3) Analisis data

    Data yang terkumpul selanjutnya perlu diolah dan dianalisis

    untuk menjawab masalah penelitian yang mana analisis data

    yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis

    deskriptif. Penulis menggambarkan dan menjelaskan mengenai

    tentang situasi yang terjadi dalam tempat penelitian sehingga

    nantinya akan memperoleh deskripsi yang sistematis dan

    fakta-fakta dalam tempat penelitian.17

    4) Pendekatan Penelitian

    Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan

    beberapa pendekatan, pendekatan-pendekatan tersebut adalah:

    a. Pendekatan Antropologis

    Pendekatanan antropologis adalah dasar

    filosofis yang fokus pembahasannya berkaitan

    dengan kegiatan manusia, baik secara normatif

    maupun historis. Itulah mengapa penelitian ini perlu

    sekali dikaitkan dengan penelitian saya karena

    peduli terhadap tindakan manusia di masa lalu dan

    kelanjutannya. Untuk menghasilkan gambaran yang

    tepat tentang fenomena antropologis peneliti

    17

    Sumardi Suryabrata, metodologi penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998)

    h.18.

  • 18

    menggunakan pendekatan induktif, dalam lingkup

    yang tidak terlalu luas, fleksibel, dan kontekstual.18

    b. Pendekatan Sosiologis

    Pendekatan Sosiologis dibedakan dari

    pendekatan studi Agama lainnya karena fokus

    perhatiannya pada interaksi antara agama dan

    masyarakat. Beranggapan dasar perspektif

    sosiologis adalah Concern-nya pada struktur sosial,

    konstruksi pengalaman manusia, dan kebudayaan

    termasuk Agama.19

    c. Pendekatan Historis

    Pendekatan Historis ialah salah satu

    pendekatan yang digunakan untuk memahami gejala

    sosial keagamaan. Pendekatan ini cukup populer di

    kalangan para ahli di lingkungan Departemen

    Agama. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa

    realitas sosial yang terjadi sekarang ini sebenarnya

    merupakan hasil proses sejarah yang terjadi sejak

    beberapa tahun, ratusan tahun, bahkan ribuan tahun

    18

    Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT

    Rineka Cipta, 2006) h. 15. 19

    Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: PT LkiS Printing

    Cemerlng, 2002) h. 271

  • 19

    yang lalu.20

    Maka dari itu penulis juga

    menggunakan pendekatan ini.

    d. Pendekatan Teologis

    Pendekatan Teologis ini ialah merupakan

    pendekatan yang paling dominan dan paling

    berpengaruh dalam Studi Agama dan Studi Agama-

    agama. Inilah pendekatan yang bersifat normatif

    dan subyektif. Dengan pendekatan ini seorang

    peneliti melakukan satu dari dua hal: (1) studi

    internal. Dalam hal ini, seorang sarjana/peneliti

    agama adalah orang yang berusaha secara aktif

    dalam kegiatan ilmiahnya untuk mrlrstarikan dan

    mempromosikan keunggulan agamanya serta

    mempertahankannya dari ancaman atau serangan

    dari orang lain. (2) studi eksternal. Dalam hal ini,

    soeang peneliti/ penganut agama tertentu melakukan

    kajian terhadap agama/keyakinan orang lain untuk

    menilai dan menghakiminya dengan ukuran agama

    sang peneliti.21

    F. Sumber Data

    Sumber data ialah dari mana kita mendapatkan sebuah data

    tersebut, dalam hal ini peneliti mempunyai dua sumber data yang pertama

    20

    Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama, h. 149.

    21

    Media Zainul Bahri, Aneka Pendekatan Studi Agama-agama (Jakarta: 2014), h.8.

  • 20

    sumber data primer dan sumber data skunder. Sedangkan sumber sementara

    yang peneliti miliki:

    a. Sumber Primer adalah data yang sebenarnya langsung dengan

    tema penelitian yang sumbernya berupa:

    1. Nur Yasin. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN

    Malang Press, 2008.

    2. Ahmad Fathan Aniq. Konflik Peran Gender pada Tradisi

    Merariq di Pulau Lombok, Surabaya: IAIN Sunan Ampel

    3. M. Harfin Zuhdi. Praktik Merariq: Wajah Sosial

    Masyarakat Sasak, Mataram: LEPPiM IAIN Mataram,

    2012.

    4. John Ryan Bartholomew. Alif Lam Mim: kearifan

    Masyarakat Sasak, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,

    2001.

    5. Melakukan wawancara mendalam dengan pemimpin/

    pemangku upacara adat perkawinan dan masyarakat Sasak.

    b. Sumber Sekunder adalah data yang relevan tapi tidak

    berhubungan langsung yang didapat melalui literatur

    kepustakaan (Library Research), seperti buku, jurnal, arsip,

    ensiklopedi, majalah, dan sumber kepustakaan lainnya yang

    berhubungan dengan penelitian ini.

  • 21

    G. Sistematika Penulisan

    Agar mempermudah dalam pembahasan maka dari itu disusun

    sistematika penulisan bab per bab.

    BAB I PENDAHULUAN

    Pada Bab I ini terdiri dari tujuh sub bab yang terdiri dari:

    Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan kegunaan

    Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian, Sumber

    Data, dan Sistematika Penulisan.

    BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU SASAK

    Pada Bab II ini akan menguraikan Sejarah Singkat Suku

    Sasak di Lombok, Letak Geografisnya serta membahas

    tentang sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat

    Sasak yang terdiri dari Akidah Masyarakat Sasak terhadap

    Pengetahuannya kepada Allah, Pendekatan Ibadah yang

    dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah serta akhlak

    Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosialnya.

    BAB III KEBUDAYAAN

    Pada Bab III ini akan menguraikan beberapa teori budaya

    yang mana dalam Tradisi Merariq melahirkan Tantangan

    yang menghasilkan Kreasi Budaya dan dalam Tradisi

    Merariq menimbulkan Karya yang menghasilkan Inovasi

    Budaya dan akhir dari Tujuan Budaya Merariq

    menghasilkan nilai-nilai Budaya.

  • 22

    BAB IV FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN

    BUDAYA DALAM TRADISI MERARIQ

    Pada Bab IV ini akan menguraikan tentang Tujuan Merariq

    itu seperti apa, alasan Merariq itu bagaimana dan perspektif

    Merariq menurut pandangan masyarakat Sasak maupun

    diluar Sasak.

    BAB V PENUTUP

    Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan dan Saran.

  • 23

    BAB II

    GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASAK

    A. Sejarah Singkat Suku Sasak

    Sasak secara etimologi, berasal dari kata sah yang berarti pergi

    dan shaka yang berarti leluhur. Dengan begitu dapat disimpulkan

    bahwa sasak memiliki arti pergi ke tanah leluhur. Dari pengertian

    inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa. Bukti

    lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak

    disebut sebagai Jejawan, merupakan aksara yang berasal dari tanah

    Jawa, pada perkembangannya, aksara ini dipersepsikan dengan baik oleh

    para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusastraan Sasak.1

    Pendapat lain beranggapan bahwa kata Sasak berasal dari kata sak-

    sak yang dalam bahasa Sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan

    dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan

    sampan dari arah barat. Sumber lainnya yang sering dihubungkan dengan

    etimologi Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat catatan

    kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab

    Nagarakertagama terhadap ungkapan lombok sasak mirah adi,

    pemaknaan ini merujuk kepada kata Sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai

    satu atau utama, Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan

    sebagai jujur atau lurus, mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna

    baik. Maka, Lombok Sasak Mirah Adi berarti kejujuran adalah permata

    1Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok

    Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.

  • 24

    kenyataan yang baik atau utama. Masyarakat suku Sasak merupakan

    masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan mempertahankan

    kebudayaan sampai saat ini. Kini, suku Sasak bukan hanya sebuah

    kelompok masyarakat tetapi juga merupakan salah satu etnis yang

    melambangkan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh Indonesia.2

    Sasak adalah penduduk asli dan kelompok etnik mayoritas

    Lombok. mereka meliputi lebih dari 90% dari keseluruhan penduduk

    Lombok. kelompok-kelompok etnik lain seperti Bali, Sumbawa, Jawa,

    Arab, dan Cina adalah para pendatang. Diantara mereka, orang Bali

    merupakan kelompok etnik kedua terbesar setelah Islam di pulau Lombok.

    Orang Sumbawa terutama bermukim di Lombok Timur, dan orang-orang

    Arab di Ampenan. Lingkungan pemukiman masyarakat Arab Ampenan

    disebut sebagai kampung Arab Ampenan. Orang-orang Cina, mayoritas

    adalah pedagang yang tinggal di pusat-pusat pasar, seperti Ampenan dan

    Cakra. Orang-orang Bugis, khususnya yang hidup sebagai nelayan, tinggal

    di kawasan pantai Tanjung Ringgit dan Tanjung Luar di Lombok Timur.

    Kampung Jawa atau pemukiman orang Jawa terletak di Praya, Lombok

    Tengah.3

    B. Letak Geografis

    Diantara kepulauan Indonesia, Lombok terletak disebelah timur

    Bali dan disebelah barat Sumbawa. Pada bagian Barat, terletak selat

    2Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah: ditinjau dari aspek Budaya (Mataram:

    2005), h. 3. 3Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000),

    h. 6-7.

  • 25

    Lombok dan pada bagian Timur, terdapat selat Alas. Disebelah utara

    Lombok juga berbatasan dengan laut Jawa dan disebelah timur lautan

    Indonesia di bagian selatannya. Lombok diantara pulau-pulau

    tentangganya, Bali dan Jawa disebelah baratnya yang mendapatkan lebih

    banyak curah hujan dan disebelah timurnya, Sumbawa dan NTT, yang

    realif tandus dan kering. Pada tanggal 14 Agustus 1958, Propinsi Sunda

    Kecil dipisahkan menjadi tiga propinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB),

    dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Bali menjadi propinsi tersendiri dengan

    ibukotanya Denpasar yang terletak di Bali Selatan. Lombok dan Sumbawa

    disatukan menjadi propinsi NTB (Nusa Tenggara Barat) dengan

    ibukotanya Mataram yang terletak di Lombok Barat. Propinsi NTT (Nusa

    Tenggara Timur) terdiri dari gabungan seluruh pulau di kawasan Timur,

    dari Flores hingga Timor (termasuk pulau-pulau yang sangat kecil) dengan

    Kupang sebagai ibukotanya.4

    Propinsi NTB terdiri dari enam kabupaten dan satu kota. Enam

    kabupaten itu adalah Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur

    yang terletak di Pulau Lombok dan Sumbawa, Dompu, dan Bima yang

    terletak di Pulau Sumbawa. Mataram merupakan salah satu kabupaten di

    NTB, yang juga merupakan ibukota propinsi dan kabupaten Lombok

    Barat. NTB merupakan daerah dengan luas sekitar 2,015,315 kilometer

    dan mempunyai penduduk sekitar 3,369,649 yang tersebar secara tidak

    merata di keenam kabupatennya. Lebih dari 70% atau sekitar 2,4 juta

    4Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 4-5

  • 26

    penduduk NTB bermukim di Lombok. Lombok sendiri merupakan

    kawasan dengan luas 470,000 kilometer atau hampir seperempat dari luas

    propinsi NTB. Lombok Barat dengan penduduk berjumlah 859,273 orang

    merupakan kabupaten dengan penduduk paling padat. Lebih dari 83%

    penduduk NTB tinggal di pedesaan dan hidup dengan bertani. Dan lebih

    dari 36% penduduk Lombok Barat bertempat tinggal di kota-kota.5

    Orang sasak mendiami pulau Lombok di deretan pulau-pulau Nusa

    Tenggara (Sunda Kecil). Jumlah populasinya sekitar 1,8 juta jiwa. Bahasa

    Sasak terdiri atas beberapa dialek, yaitu dialek Sasak Pejanggi, Sasak

    Selaparang, Sasak Bayan, Sasak Tanjong, Sasak Punjut, Sasak Sembalun,

    Sasak Tebanggo, dan Sasak Pengantap. Bahasa Sasak juga mengenal

    tingkatan, yaitu halus dalam, halus biasa, dan Kasar. Peneliti akan

    membahas tentang Sasak Punjut, yang mana ada di desa Rembitan

    kecamatan Punjut ini terdapat Dusun Sade yang terletak di kecamatan

    Punjut Lombok Tengah. Mengapa peneliti membahas tentang Sasak

    Punjut, karena salah satunya penulis juga penasaran akan hal tradisi-tradisi

    yang ada di sasak Punjut ini dan juga sebelumnya penulis mengetahui desa

    sade tersebut, penulis sempat berwisata ke Lombok dan berinisiatif untuk

    mempelajari dan mendalami apa itu desa sade dan sasak Punjut yang ada

    di Lombok dan juga sasak Punjut yang masih asli sampai saat ini yaitu

    tempat tinggalnya, juga beberapa tradisi yang masih dijalankannya,

    walaupun hanya sebagian kecil tradisi yang dijalankan sampai saat ini,

    5Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 6.

  • 27

    karena pada saat ini sudah hampir menjalankan Islam sempurna sekarang

    akibat pendakwah Islam yang mulai menyebar di Nusa Tenggara Barat.6

    Dusun Sade atau Desa Sade terletak di wilayah Desa Rambitan,

    kecamatan Punjut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

    Letak kampung ini 50 km arah Tenggara Kota Mataram (Ibu Kota NTB)

    dan 19 km dari kota Praya (Ibu Kota Lombok Tengah). Desa Sade

    memiliki Luas 50 Ha. Secara geografis pada koordinat 08 derajat 50 LS

    dan 116 derajat BT. Desa Sade terletak pada ketinggian120-126 m di atas

    permukaan laut, terletak pada sebuah panteisme bukit, di sebelah Utara

    dan Selatan terdapat persawahan dan ladang penduduk. Batas wilayah

    yaitu Sebelah Barat Dusun Penyalu, Sebelah Utara Dusun Selak, sebelah

    Selatan Dusun Selemang.7

    C. Sistem Keyakinan yang dianut Masyarakat Sasak

    Sebelum kedatangan pengaruh asing di Lombok, Boda merupakan

    kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada waktu itu, menganut

    kepercayaan ini, disebut sebagai Sasak Boda. Kendati demikian agama ini

    tidaklah sama dengan Buddhisme karena ia tidak mengakui Sidarta

    Gautama atau Sang Buddha sebagai figur utama pemujaannya maupun

    terhadap ajaran pencerahannya. Agama Boda dari orang Sasak asli

    terutama ditandai oleh animisme dan pemujaan dan penyembahan roh-roh

    leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari

    6Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional Masyarakat Sasak (NTB: KSU Primaguna,

    2012) , h. 5-6. 7Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok

    Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.

  • 28

    praktik keagamaan Sasak Boda. Berbagai kekuatan asing yang

    menaklukkan Lombok selama berabad-abad, sangat menentukan cara

    orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar.8

    Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah

    pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bagian

    selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orang-orang Sasak yang dari

    segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka

    menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan diri dari Islamisasi di

    Lombok.9

    Kemudian kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa

    serta budayanya. Hindu-Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh

    suku Sasak. Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan

    agama Islam menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan

    Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan suku Sasak sebagian

    berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Berdasarkan sistem

    kepercayaan suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat

    diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu

    Lima).10

    Sementara sinkretisme Islam wetu telu kini berkembang terbatas di

    beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran

    tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah,

    8Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 8

    9Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 11

    10Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah, h. 6

  • 29

    dan Tanjung di Lombok Barat. Istilah Islam wetu telu diberikan karena

    penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu sholat

    pada waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Penganut kepercayaan wetu

    telu melakukan ibadah tiga waktu itu, konon pada saat penyebaran agama

    Islam di Nusa Tenggara Barat atau di Lombok itu baru mengajarkan

    setengahnya. Jadi belum sempurna penyebarannya para pendakwah Islam

    yang datang ke Lombok sudah pergi meninggalkan Lombok. jadi memang

    yang didapat oleh orang-orang terdahulu orang sasak seperti itu, sampai

    saat ini pun orang Sasak memahaminya seperti itu. Di luar bulan puasa,

    mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada

    hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Salah satu alasan mereka

    melakukan ibadah dengan menitipkan kepada pemangku karena memang

    begitulah adat yang mereka yakini, bahwa beribadah mereka harus

    diwakili oleh pemangku atau orang yang mempunyai ilmu lebih tinggi

    dibandingkan orang-orang biasa. Kalau di ibaratkan pada Islam, yaitu

    kepada kiyai atau pemangku. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya

    dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu. Para

    penganut Islam Wetu telu membangun Masjid (tempat ibadah) mereka

    dengan gaya arsitektur khas suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan

    bagian atapnya terbuat dari jenis alang-alang atau sirap dari bambu.

    Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid

    bertumpang yang disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai

    arsitektur masjid ini mirip dengan Arsitektur masjid lama yang ada di

  • 30

    Ternate dan Tidore.11

    a. Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuannya kepada Allah

    Awalnya Agama wetu telu memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali

    dan Kejawen. Kemudian mengapa saat ini orang sasak sudah beralih

    kepada Islam sempurna seperti sekarang, karena pendakwah Islam

    sekarang yang sudah berusaha menyebarkan Islam yang benar dan

    sempurna yang orang Islam yakini seperti sekarang ini. Pada

    perkembangannya wetu telu justru lebih dekat dengan Islam. Dari peneliti

    temui bahwan sekarang hampir semua suku Sasak bahkan di desa sade

    kecamatan Punjut sudah menganut Agama Islam lima waktu dan

    meninggalkan wetu telu sepenuhnya. 12

    Penganut paham Islam wetu telu ini tersebar di beberapa desa dan

    kampung di pulau Lombok. Secara prinsipil tidak ada perbedaan paham

    antara wetu telu dengan wetu lima, mengapa karena meski wetu telu lebih

    percaya kepada pemangku adat dan wetu lima lebih kepada ajaran agama,

    tetapi tetap saja, sama sama berkeyakinan kepada yang satu yaitu

    Tuhannya. Perbedaan ajaran yang diikuti sampai saat ini masih

    berkeyakinan yang disebut kepada Tuhannya, dalam wetu telu hanya cara

    penyampaiannya saja melalui pemimpin mereka atau kepada kepala adat

    pemangku, sedangkan wetu lima atau Islam sekarang lebih kepada pribadi

    individual manusianya masing masing. Beberapa ajaran Islam ada yang

    11

    H. Masnun, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Al-Madjid: Gagasan dan Gerakan

    Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat (Mataram: Pustaka Al-Miqdad, 2007), h.53.

    12

    Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok

    Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.

  • 31

    mirip dengan wetu telu, yaitu penyampaian ibadahnya melalui pemangku,

    misalnya kalau di Islam melalui Ustad, fungsinya Ustad yaitu sebagai

    penghubung antara umatnya dalam suatu hal, semisal dalam tradisi Islam

    di Indonesia ada yang namanya Akikah atau Selametan pengajian, acara

    seperti itu diharuskan ada pak ustad yang memimpin doa-doa dalam acara

    tersebut. Perbedaannya hanya terletak pada tata cara pelaksanaan syariat

    atau praktik ibadah sehari-hari. Islam seperti yang diamalkan oleh wetu

    telu lebih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Di Lombok Barat,

    praktik ajaran Islam lebih dipengaruhi oleh kepercayaan Hinduisme.

    Sedangkan di Lombok Timur dan Tengah, Islam yang dipraktikkan oleh

    paham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam. Maksud

    paham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam disini, ialah

    orang sasak pada saat ini walaupun mereka masih meyakini wetu telu

    tetapi pada kenyataannya sudah menjalankan wetu lima, menjalankan

    syariat Islam pada masa sekarang ini. Mereka paham wetu telu hanya

    meyakini wetu telu hanya karena menghargai tradisi keturunan dari nenek

    moyangnya saja.13

    Secara teologis wetu telu sedikit memiki perbedaan dengan konsep

    Islam. Ia percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada nabi dan rasul,

    malaikat, hari akhir, serta percaya adanya surga dan neraka. Hanya saja

    kepercayaannya sebatas yang mereka ketahui, misalnya mereka hanya

    mengetahui tiga malaikat yakni Malaikat Izrail, Mungkar, dan Nakir.

    13

    H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.55.

  • 32

    Mereka dikenal sangat fanatik terhadap Nabi Muhammad SAW,

    sedangkan nabi-nabi yang lain tidak banyak disebut. Mereka membaca dua

    kalimat syahadat yang dalam istilah wetu telu yang disebut nyadat.14

    b. Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah

    Dalam siklus hubungan ini status pemangku dan dewa berfungsi

    sebagai penghubung. Jika seseorang melaksanakan nazar, misalnya

    memohon keselamatan, sembuh dari penyakit dan sebagainya, mereka

    minta kepada pemangku untuk mengantarkan dan memimpin upacara ke

    tempat tertentu dan kepada dewa mana untuk permohonan tersebut

    disampaikan. Pemangku adalah orang yang dipilih oleh masyarakat untuk

    menjadi kepala atau ketua adat (pemangku adat). Pemangku juga bisa di

    anggap sebagai pemangku jika usianya lebih tua, kemudian memiliki

    aspek ilmu agama yang lebih dan juga berwibawa. Permohonan dimaksud

    kemudian dihubungkan kepada Tuhan oleh dewa karena Tuhanlah yang

    dapat memutuskan segala sesuatunya. Jadi, pemangku dan dewa berfungsi

    perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam pola beribadah

    Pemangku mengantarkan manusia berhubungan kepada Tuhannya.

    Sebagai petugas, seluruh tugas-tugas dan kewajiban peribadatan dari

    Tuhan, menurut paham Islam wetu telu cukup dikerjakan oleh para Tuan

    Guru atau kyai. Oleh karena itu tugasnya yang tergolong berat, maka Tuan

    Guru atau Kyai cukup dihormati. Masyarakat setempat sangat patuh

    terhadap sikap dan nasehatnya. Itulah yang menjadi pendekatan ibadah

    14

    Sumber data dari Kejaksaan Negeri Nusa Tenggara Barat, Data-data tentang Ajaran

    Wetu Telu di Nusa Tenggara Barat (Mataram: tanggal 30 maret 2017).

  • 33

    masyarakat sasak terhadap Tuhannya.15

    Meskipun sebagian masyarakat sasak ada yang masih mempercayai

    wetu telu, ada juga yang sudah meninggalkannya dan mengerjakan waktu

    lima yaitu Islam sempurna. Mereka hanya mempercayai untuk tetap

    menghormati leluhur Budaya mereka tentang wetu telu tersebut. Dan wetu

    telu itu mereka tidak pernah mengerjakannya, karena setiap ibadah wetu

    telu itu hanya di lakukan oleh pemimpin seperti Pemangku Adat yang

    sudah dijelaskan diatas, jadi ibadah wetu telu dahulu dilakukan hanya

    diwakilkan saja oleh pemimpinnya dan jamaahnya hanya meyakini dan

    mempercayainya saja. Dan tidak ada resiko jika paham wetu telu tidak

    mengikuti ajaran leluhurnya, akan tetapi jika tidak mengikuti atau

    meyakininya lagi, tradisi adat keturunan mereka akan benar benar punah

    seiring waktu berjalan dengan berjalannya para pendakwah Islam yang

    mulai banyak menyebarkannya ke daerah Lombok. Itulah masyarakat

    sasak yang masih menganut wetu telu, beda halnya yang sudah

    meninggalkannya dan mengerjakan waktu lima, mereka hanya percaya saja

    tidak mengerjakannyanya. Dengan begitu mereka tetap mempercayai

    adanya Allah, taat kepada Allah, percaya adanya Nabi Muhammad SAW,

    dan juga percaya manusia pertama itu adalah Adam. Masyarakat sasak

    tetap mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa, bersedekah, dan

    sebagainya seperti Islam pada umumnya tetapi yang membedakan mereka

    masih melakukan ritual-ritual adat budaya peninggalan nenek moyang

    15

    H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.65.

  • 34

    mereka16

    c. Akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosial

    Sejak semula, manusia tidak pernah dapat hidup berdiri sendiri,

    melainkan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain saling

    membutuhkan dan hidup dalam suatu kelompok sosial atau homoni socius.

    Dalam kehidupan sosial, proses interaksi antara mereka terus terjadi.

    Menurut Soejono Soekanto, terjadinya interaksi sosial di dahului dengan

    adanya kontak sosial (social contact) dan komunikasi. Lebih lanjut

    dijelaskan bahwa terjadinya suatu kontak tidak semata-mata tergantung

    dari tindakan, tetapi tanggapan terhadap tindakan itu. Tanggapan terhadap

    tingkah laku orang atau kelompok kemungkinan besar terjadi perbedaan.

    Dengan demikian komunikasi memainkan peranan penting untuk

    menjembatani perbedaan menjadi kerjasama antara orang perorangan atau

    antara kelompok manusia.17

    Dalam bagian ini akan disampaikan nilai

    budaya yang berhubungan dengan hakikat hubungan manusia dengan

    sesama manusia yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan tradisional

    masyarakat Sasak. Penyampaian nilai-nilai yang dimaksud akan

    dipaparkan berdasarkan klasifikasi ungkapan-ungkapan tersebut seperti

    pengklasifikasian yang telah dihasilkan:

    a. Persatuan kelompok

    Terdapat dua nilai hakikat hubungan manusia dengan sesama

    manusia yang saling berlawanan yang tercermin dalam ungkapan pertama

    16

    H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.68. 17

    Muhammad Ahyar Fadly, Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak (Lombok:

    STAIIQH Press, 2008), h. 67-68.

  • 35

    dalam kelompok ini. Nilai pertama bersifat positif dan nilai kedua

    mengarah ke sifat negatif. Penyebutan nilai yang positif disebabkan karena

    ungkapan ini mencerminkan persatuan dalam satu kelompok masyrakat

    etnis sasak yang begitu kuat. Anggota individu dalam kelompok tersebut

    merasa senasib seperjuangan. Sebagai konsekuensinya, apapun yang

    terjadi suatu masalah mereka akan saling membantu atas nama kelompok.

    Namun begitu, persatuan yang terlalu kuat berujung pada munculnya ego-

    kelompok yang berlebihan, yaitu sifat negatif. Hal ini didasarkan pada

    bukti empiris yang terjadi selama ini di beberapa daerah lombok.

    Pertikaian atau bentrok fisik antarkelompok masayrakat dalam etnis Sasak

    kebanyakan dipicu oleh hal sepele. Ungkapan ini memiliki nilai yang

    berhubungan dengan hakikat hubungan manusia dengan sesama manusia

    yang hampir sama. Mereka akan selalu saling membantu satu sama lainnya

    baik suka maupun duka. Dalam keadaan suka bisa dilihat pada acara

    perkawinan yang mana satu anggota kelompok akan membantu anggota

    lain dalam mempersiapan acara, dari berlangsungnya acara hingga akhir.

    Begitu pula pada saat duka, anggota kelompok akan membantu anggota

    kelompok lain ketika sedang tertimpa musibah baik secara fisik, material,

    dan spiritual. Dengan kata lain, ungkapan ini mencerminkan hubungan

    antarindividu yang kuat dalam kelompok masyarakat Sasak.18

    b. Ikatan persatuan

    Bila lisan sudah dipercaya dan menjadi ikatan dalam suatu

    18

    Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional, h. 48-49

  • 36

    kelompok masyarakat berarti hubungan antar individu dalam kelompok

    tersebut sangat kuat. Hal inilah yang dicerminkan oleh kelompok ini.

    Dengan demikian nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan

    antarsesama manusia dalam masyarakat Sasak begitu kuat mengingat

    mereka sudah saling percaya yang berpegang pada ucapan yang mereka

    ujarkan.19

    Nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan

    sesama manusia yang terkandung dalam kelompok ungkapan ini adalah

    usaha menjaga hubungan yang baik dengan individu dan masyarakat

    sekitarnya. Antar individu dalam masyarakat sasak memiliki perasaaan

    saling memiliki, suku bangsa Sasak, satu sama lainnya. Dan salah satu dari

    kelompok etnis sasak yang saya ambil adalah Desa Sade asli suku Sasak,

    maka sosialisasi mereka tidak jauh-jauh dari lingkungan sekitar kampung

    itu. Tetapi mereka tetap berinteraksi di luar dari kampung tersebut. Karena

    bagaimanapun tetap satu komunitas masih membutuhkan bantuan dan

    interaksi sosial di luar dari komunitasnya tersebut. Dengan demikian maka

    masyarakat Sade pun ada komunikasi antarkelompok terhadap masyarakat

    di luar kampung Sade.20

    19

    Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional, h. 49-50. 20

    Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok

    Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.

  • 37

    BAB III

    KEBUDAYAAN

    A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreativitas

    Kebudayaan

    Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil

    karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang diperoleh

    melalui belajar. Kebudayaan bisa dikatakan sebagai suatu sistem dalam

    masyarakat di mana terjadi interaksi antar individu/kelompok dengan

    individu/kelompok lain sehingga menimbulkan suatu pola tertentu,

    kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama (baik secara langsung

    ataupun tidak langsung).1

    Kreativitas manusia sepanjang sejarah meliputi banyak kegiatan,

    diantaranya dalam organisasi sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan,

    teknologi, dan proses simbolis2. Uraian ini memusatkan perhatian pada

    proses simbolis, yaitu pada kegiatan manusia dalam menciptakan makna

    yang berujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari.

    Proses dari simbolis tersebut meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni,

    ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa.3

    Dalam masyarakat patrimonial, misalnya akan ada dikotomi sosial

    budaya antara golongan bangsawan dan petani. Ada budaya istana dan ada

    1Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia (Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya, 2015), h.26.

    2Simbolis Ialah Lambang. kalau proses simbolis ialah peristiwa yang sedang terjadi dan

    akan menjadi suatu lambang. 3 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1987),

    h. 3.

  • 38

    budaya rakyat yang masing-masing mempunyai lembaga, simbol dan

    normanya sendiri. Demikian juga pada kategori kapitalis dikenal adanya

    dikotomi budaya dalam budaya tinggi dan budaya populer, dengan

    lembaga, simbol dan norma sendiri-sendiri. Dalam hal ini perlu diingat

    bahwa sekalipun dikotomi itu ada, ada pula mobilitas budaya, ke atas atau

    ke bawah, yang menyebabkan baik lembaga, simbol dan normanya tentu

    saja mengalami transformasi. 4

    Mengapa sebuah proses simbolis mengalami transformasi,

    merupakan bahan studi tentang anomali budaya. Kebudayaan dapat

    menjadi tidak fungsional jika simbol dan normanya tidak lagi didukung

    oleh lembaga-lembaga sosialnya, atau oleh modus organisasi sosial dari

    budaya itu. Johns menyatakan bahwa Indonesia terdapat ketegangan antara

    tradisi historiografi Melayu yang cenderung bersifat mitis dengan tradisi

    historiografi Islam yang pada dasarnya realistis. Perbedaan tradisi budaya

    ini menerangkan juga ketegangan antara istana dan pusat-pusat penyebaran

    agama pada awal berdirinya kerajaaan Mataram.5

    Dalam Tradisi Perkawinan Merariq tantangan yang menghasilkan

    kreasi disini ialah cara meminta untuk dinikahkannya yaitu dengan dibawa

    lari atau dalam bahasa sasak di sebut Merariq. Dalam Merariq ada 2 versi

    yang mana Merariq atau kawin lari yakni perkawinan yang terjadi dengan

    cara melarikan si gadis tanpa sepengetahuan orang tua si gadis karena

    merupakan keputusan terakhir yang diambil oleh calon pengantin laki

    4Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 11.

    5Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 7.

  • 39

    apabila tidak mendapat restu dari orang tua calon pengantin wanita. Yang

    kedua yaitu dengan persetujuan orangtua dan tetap melakukan Merariq

    karena merupakan adat istiadat. 6

    Dalam tradisi adat Sasak, melakukan perkawinan itu harus dengan

    Merariq jika tidak maka justru orang tua perempuan merasa tersinggung

    jika anak perempuannya tidak dilarikan. Biasanya kawin lari di lakukan

    pada malam hari antara waktu magrib dan isya, dimana si gadis dijemput

    pada tempat yang telah disepakati kedua calon pengantin. Dan selanjutnya

    dalam rombongan penjemput, ketentuan adat mengharuskan keikutsertaan

    seorang wanita suci dalam arti telah memasuki masa menopause. Ini

    bertujuan, agar ada yang menemani si gadis dalam proses perjalanan

    kawin lari, sehingga tidak terjadi sesuatu di luar norma susila dan demi

    menghindari kecurigaan masyarakat.7

    Pada masyarakat Sasak, sebelum melaksanakan perkawinan atau

    melakukan Merariq ada beberapa proses yang harus dilalui sebagai sarana

    saling kenal mengenal antara laki-laki dan perempuan. Berikut

    penjelasannya:

    1. Midang (meminang), yaitu kunjungan secara langsung oleh laki-laki

    kerumah perempuan yang diidam-idamkan dalam rangka saling

    mengenal lebih mendalam tentang keberadaan mereka masing-

    masing untuk selanjutnya bersepakat untuk mengikat hubungan

    6Merariq bisa dikatakan Anomali yang artinya bisa dikatakan suatu penyimpangan tetapi masih bisa di terima.

    7Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi Sasak (NTB:

    KSU Primaguna, 2012), h. 5-7.

  • 40

    pertalian yang lebih mendalam dalam bentuk perkawinan. Proses

    peminangan diatur oleh adat yang disebut awig-awig, yaitu

    aturan-aturan pelaksanaan adat yang diberlakukan dan berdasarkan

    kesepakatan bersama warga setempat. Beberapa aturan-aturan

    meminang:8

    a. Yang boleh meminang adalah setiap laki-laki yang bukan

    muhrim, baik dia masih jejaka/gadis, janda/duda atau masih

    beristri.

    b. Tidak boleh saling mencemburui karena masih berada dalam

    proses peminang

    c. Cara duduk pada saat meminang tidak boleh berdekatan

    dengan yang dipinang

    d. Kalau ada peminang lain yang datang menyusul, bagi yang

    sudah datang terlebih dahulu harus meninggalkan tempat

    peminangan meskipun pembicaranya belum tuntas.

    e. Kalau terjadi peminangan yang dilakukan dalam waktu yang

    bersamaan oleh dua orang laki-laki atau lebih terhadap satu

    orang perempuan, maka laki-laki sebagai tamu tidak boleh

    saling mempersilahkan (menyuguhkan sesuatu), harus

    perempuan yang dipinang yang mempersilahkannya.

    8M. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi

    (Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2013), h.118-119.

  • 41

    f. Bagi peminangan yang tadinya meninggalkan karena ada yang

    menyusul datang, boleh meminang perempuan lain lagi

    ditempat yang lain.

    g. Pada waktu terlaksananya peminangan orangtua si gadis/janda

    harus meninggalkan ruang tempat peminangan itu dilakukan.

    h. Tempat peminangan harus terbuka

    i. Meminang tidak boleh dilakukan pada tempat yang sepi/petang

    Tujuan utama midang (peminangan) itu adalah untuk bertemu

    dengan perempuan yang menjadi idamannya. Midang disamping sebagai

    sarana kenal mengenal di dalamnya juga dibicarakan soal perkawinan

    dikemudian hari. Apabila kesepakatan dapat diperoleh pada saat

    meminang tersebut, maka untuk melangsungkan perkawinan, mereka

    merencanakan untuk sepakat lari pada malam hari yang telah ditentukan

    bersama.9

    2. Merariq merupakan rangkaian akhir dari proses pencarian jodoh

    (pasangan) untuk menuju perkawinan. Merariq artinya membawa

    lari seorang perempuan oleh pihak laki-laki untuk kawin. Merariq

    merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh suku Sasak

    dibeberapa tempat di Lombok dari dulu hingga sekarang untuk

    perkawinan. Beberapa aturan Merariq yang berlaku secara umum

    pada suku Sasak adalah sebagai berikut:10

    9M. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat..., h.119.

    10M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPiM

    IAIN Mataram, 2012), h. 62.

  • 42

    a. Calon mempelai perempuan harus diambil di rumah

    orangtuanya dan tidak boleh diambil di rumah keluarganya

    atau di tengah jalan, sawah, tempar kerja, pondok, apalagi di

    sekolah.

    b. Calon mempelai perempuan yang mau diambil itu benar-benar

    bersedia untuk kawin dan bahkan pernah ada janji dengannya

    untuk kawin.

    c. Merariq harus dilakukan pada malam hari dari habis magrib

    samapai jam 23.00 Wita, dan terhina bagi yang Merariq pada

    siang hari

    d. Merariq harus dilakukan dengan cara-cara yang sopan dan

    bijaksana, tidak boleh dengan jalan paksaan, kekerasan, dan

    keusilan lainnya.

    e. Harus mengikutkan seorang perempuan dalam mengambil

    sebagai teman gadis calon mempelai guna menghindarinya

    hal-hal yang tidak diinginkan.

    f. Calon mempelai perempuan yang diambil itu harus dibawa ke

    rumah salah seorang keluarga pihak laki-laki guna

    menghindari keterkejutan atau kemarahan orangtua laki-laki

    karena tidak setuju, sehingga si perempuan tidak dapat

    mendengarkan kata-kata tidak senonoh yang keluar dari calon

    mertuanya. Di tempat ini, calon pengantin perempuan harus

    ditemani oleh seorang perempuan lain dari keluarga laki-laki

  • 43

    dan baru boleh pulang ke rumah orangtua laki-laki setelah

    selesai Betikah.11

    g. Calon mempelai perempuan yang diambil harus segera

    diinformasikan keadaannya kepada kepala dusunnya dan

    keluargnaya atau tepesejati dan tepeselebar.12

    3. Kemudian yang selanjutnya ialah Mesejati dan Selabar. Mesejati

    adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh keluarga pengantin laki-

    laki kepada keluarga pengantin perempuan bahwa anak kedua

    keluarga tersebut telah kawin. Sedangkan Berselabar ialah

    penyeberahan kepada khalayak ramai tentang peristiwa Merariq

    yang terjadi. Orang yang datang mesejati paling sedikit 4 orang

    terdiri atas keliang (kepala dusun), kepala RT, kepala RW dan satu

    orang dari pihak keluarga pengantin laki. Keempat orang ini

    mendatangi kepala desa, kepala dusun dan ketua RT di mana

    pengantin perempuan bertempat tinggal yang selanjutnya bersama

    sama mendatangi orang tua dari pengantin wanita. Keempat utusan

    dari keluarga pengantin wanita melaporkan bahwa proses mbait

    wali13

    dilakukan tanpa sepengetahuan keluarga calon pengantin

    perempuan. Untuk menghindari kecemasan orang tua calon

    pengantin wanita yang kehilangan anak gadisnya maka sesegera

    mungkin dilakukan pemberitahuan. Biasanya langsung bersamaan

    11Betikah dalam Bahasa Sasak Ialah Kawin/Nikah.

    12M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat..... h. 65-66.

    13

    Mbait Wali ialah seseorang yang diutus memberi kabar kepada kedua orang tua calon

    pengantin perempuan, bahwa anaknya siap untuk dinikahkan.

  • 44

    dengan acara merangkat atau kalau ditunda waktunya paling lambat

    tiga hari. Persoalan yang sering terjadi dalam penyelesaian adat ini

    adalah ajikrama dan permasalahan yang terkait dengan biaya

    penyelesaian upacara begawe (resepsi). Setelah semua

    kesepakatan ini diperoleh maka dilanjutkan dengan acara akad nikah

    yang diselenggarakan dirumah calon mempelai laki-laki. Pelaksaan

    akad nikah dilaksanakan sesuai aturan yang diberlakukan menurut

    syariat Islam. 14

    4. Sorong serah atau ajikrama. Merupakan acara dalam upacara adat

    perkawinan di Lombok. yaitu acara pesta perkawinan pada waktu

    orangtua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai laki-

    laki. Dalam acara ini keluarga perempuan juga mengadakan suatu

    acara selametan yang biasanya biaya ditanggung oleh pihak laki-laki

    atas dasar kesepakatan yang telah di tentukan pada saat pelaksanaan

    selabar. Pada saat ini juga dilakukan beberapa tagihan yang terkait

    dengan adat yang harus dilaksanakan, terutama berupa denda yang

    dikenakan kepada pihak laki-laki apabila dalam proses penyelesaian

    adat sebelum acara ini pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran

    terhadap adat yang diperlukan.15

    5. Nyongkol adalah kegiatan terakhir dari seluruh proses perkawinan.

    Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan seluruh anggota keluarga

    mempelai laki-laki bersama masyarakat berkunjung kerumah

    14

    Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi... h. 10. 15

    Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan

    Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.

  • 45

    mempelai perempuan. Tujuannya adalah untuk menampakkan

    dirinya secara resmi dihadapan orangtuanya dan keluarga-

    keluarganya bahkan juga kepada seluruh masyarakat sambil meminta

    maaf serta memberi hormat kepada kedua orangtua pengantin

    perempuan. Kedua mempelai dalam kegiatan ini bagaikan sang raja

    dan permaisurinya yang diiringi oleh rakyatnya. Keduanya

    menggunakan pakaian serba mewah sebagaimana layaknya

    perlengkapan seorang raja bersama permaisurinya. Adapun bentuk

    pakaian yang dikenakan oleh kedua mempelai dalam acara nyongkol

    harus menggunakan pakaian sesuai ketentuan adat. Untuk

    menyamarkan kegiatan ini biasanya diiringi dengan berbagai

    kesenian tradisional, seperti gamelan, klentang dan kesenian

    tradisional Lombok lainnya.16

    B. Karya dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan

    Ketika seseorang yang melakukan perkawinan maka terdorong

    untuk bersikeras berjuang demi perkawinannya, alasannya adalah Dalam

    adat suku sasak yang unik ini mempelai laki-laki dituntut untuk bisa

    memberi mahar yang cukup fantastis kepada mempelai wanitanya. Sebagai

    contoh mahar yang harus diberikan berupa seekor kerbau atau seekor sapi,

    bagi para masyarakat suku pedalaman Sasak itu adalah bentuk mahar yang

    sangat besar tanggungannya.17

    16

    Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi, h. 126.

    17Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan

    Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.

  • 46

    Jadi mereka para lelaki jika ingin pertahankan cintanya maka

    mereka haruslah berusaha keras untuk pencapaian mahar tersebut. Tetapi

    yang membuat inovasi dalam masyarakat sasak ini adalah Merariq itu

    sendiri, dimana para lelaki sudah siap rencana untuk membawa lari

    pasangannya agar dapat dinikahkan, disinilah bentuk kelihaian dan

    kematangan strategi para kaum lelaki suku sasak dalam Merariq. Pasangan

    yang sudah benar-benar serius ingin melangsungkan perkawinan dituntut

    untuk bisa meyakinkan kepala suku adat ketika pasangan yang sudah

    berhasil kabur dari kediaman mereka dan kembali setelah kedua orang tua

    mempelai melaporkan kejadiaan ini dan sudah mengetahui lokasi anak-

    anak mereka masing-masing, bahwa mereka sudah saling siap satu sama

    lain untuk melangsungkan perkawinan.18

    Permasalahan krusial

    ketika mempelai laki-laki tidak memiliki harta apapun pada dirinya, maka

    keputusan bagaimana dari orang tua mempelai wanita tetapi sejauh ini

    apabila hal ini terjadi biasanya orang tua dari mempelai wanita

    memberikan waktu untuk pria tersebut memenuhi maharnya dalam tempo

    waktu yang ditentukan dengan kata lain (hutang mahar). Jadi sebagai

    gantinya mahar saat penikahan berlangsung bisa berupa berapapun jumlah

    uang yang dimiliki atau harta benda yang ada pada diri mempelai laki-laki

    tersebut.19

    Pada saat ingin melangsungkan perkawinan biasanya para kaum

    wanita haruslah bisa menjahit dan merajut karena pada dasarnya mata

    18Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi, h. 100.

    19Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan

    Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.

  • 47

    pencaharian mereka para suku sasak ini adalah bertani. Jadi apabila musim

    hujan sudah melanda maka penghasilan dari bertani mereka bisa kurang

    hingga 70% dari biasanya. Maka dari itu solusi dari mereka para wanita

    suku sasak yang nantinya akan melangsungkan perkawinan adalah harus

    bisa menjahit atau merajut dan hasilnya dijual ke sekitar desa bahkan bisa

    sampai Kota Mataram. Semua ini juga demi kelangsungan hidup anak

    mereka dan keturunannya kelak.20

    Rata-rata survei yang sudah dilakukan bahwa masyarakat suku

    Sasak Merariq muda. Mulai dari kalangan remaja lulusan SMA sampai

    baru lulus SMP sudah melakukan Merariq, jadi bisa dibayangkan

    bagaimana mereka yang ingin Merariq sudah harus berfikir dewasa untuk

    bisa membawa lari wanita yang dicintainya. Sedangkan apabila sudah

    dibawa lari tetapi pada ujungnya orang tua wanita tetap tidak mau merestui

    maka keduan pasangan lari ini akan sangat malu pada masyarakat desa.

    Bagaimana tidak karena ketika kejadian bawa lari itu terjadi maka kepala

    suku dan orang tua para anak pasti menyebarkan berita tersebut, jadi

    seluruh masyarakat di desa itu pasti mendengar dan mengetahuinya. Maka

    dari itu kebanyakan para orang tua merestui anak-anaknya yang sudah

    sama-sama mencintai karena takut omongan dan kebencian masyarakat

    terhadap anaknya.21

    C. Tujuan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Nilai Kebudayaan

    20 Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak di Desa Sade Lombok,

    Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017. 21

    Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan

    Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.

  • 48

    Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak

    memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarakat sasak, Merariq

    berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan

    seorang laki-laki sasak karena ia berhasil mengambil (melarikan) seorang

    gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang

    dilarikan juga cenderung resisten, kalau tidak dikatakan menolak untuk

    memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa (konvensional).

    Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa anak gadisnya

    adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap

    seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa

    diucapkan dalam bahasa Sasak: Aram ngendeng anak manok baen

    (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam konteks ini, Merariq

    dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan,

    disamping itu juga cara untuk keluar dari konflik. Mengapa seperti itu,

    karena pengertian dari Merariq atau kawin lari itu, bisa karena orang tua

    sang gadis tidak merestui pernikahan anaknya, dikarenakan harus sang

    laki-laki melarikan anak perempuannya, maka mau tidak mau itu harus di

    kawinkan tetapi tetap ada bayar denda karena sudah melarikan anak gadis

    orang.22

    Munculnya stratifikasi sosial disebabkan karena adanya perbedaan

    tinggi rendah kedudukan seseorang dalam masyarakat sehingga

    menyebabkan adanya kedudukan yang dinilai lebih tinggi dari kedudukan

    22

    Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas (Ketua Forum Kerukunan Umat

    Beragamadi Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.

  • 49

    yang lainnya.23

    Sistem ini merupakan ciri yang tetap dan umum dalam

    setiap masyarakat yang hidupnya teratur. Begitu juga dengan masyarakat

    suku Sasak di Lombok. pelapisan masyarakat di daerah ini didasarkan

    pada kebijaksanaan, keberanian, kebesaran darma, dan asal-usul

    keturunan.

    Stratifikasi sosial merupakan berbagai macam susunan hubungan

    antarindividu yang menyebabkan adanya berbagai sistem dalam

    masyarakat. Konsep stratifikasi sosial suku sasak pada umumnya banyak

    ditentukan oleh susunan keluarga yang berawal dari perkawinan yang

    disebut nurut mama (dibaca: mame).24

    Artinya, garis keturunan darah

    ditekankan pada laki-laki (garis bapak). Garis keturunan ini memberi

    pengaruh pada pembentukan lapisan sosial dan pola kekerabatan dalam

    sistem kemasyarakatan etnis suku Sasak. Perkawinan seorang perempuan

    bangsawan dengan laki-laki dari lapisan status sosial rendah, maka anak

    yang di lahirkan tidak berhak menggunakan identitas kebangsawanan

    ibunya. 25

    Demikian pula sebaliknya, anak yang di lahirkan akan diberikan

    hak untuk